Penampilan reproduksi induk ikan baung dengan pemberian pakan buatan yang ditambahkan asam lemak n 6 dan n 3 dan dengan implantasi estradiol 17β dan tiroksin

(1)

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK IKAN BAUNG

(Hemibagrus nemurus Blkr) DENGAN PEMBERIAN

PAKAN BUATAN YANG DITAMBAHKAN ASAM

LEMAK N-6 DAN N-3 DAN DENGAN IMPLANTASI

ESTRADIOL-17

β

DAN TIROKSIN

ADHARTHO UTIAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Ditambahkan Asam Lemak n-6 dan n-3 dan dengan Implantasi Estradiol-17β dan Tiroksin” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2006

Adhartho Utiah NIM C061020051


(3)

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK IKAN BAUNG

(Hemibagrus nemurus Blkr) DENGAN PEMBERIAN

PAKAN BUATAN YANG DITAMBAHKAN ASAM

LEMAK N-6 DAN N-3 DAN DENGAN IMPLANTASI

ESTRADIOL-17

β

DAN TIROKSIN

ADHARTHO UTIAH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Departemen Budidaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(4)

Judul Disertasi : Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr) dengan Pemberian Pakan Buatan Yang Ditambahkan Asam Lemak n-6 dan n-3 dan dengan Implantasi Estradiol-17β dan Tiroksin

Nama : Adhartho Utiah

Nomor Pokok : C061020051

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Jr., M.Sc. Prof. Dr. Ir. Ing Mokoginta, MS. Ketua Anggota

Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perairan

Prof. Dr. Ir. H. Enang Harris, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: 21 Desember 2006 Tanggal Lulus:


(5)

ABSTRAK

Adhartho Utiah. Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus

nemurus Blkr) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Ditambahkan Asam

Lemak n-6 dan n-3 dan dengan Implantasi Estradiol-17β dan Tiroksin. Komisi Pembimbing: M. Zairin Jr, I. Mokoginta, R. Affandi, K. Sumantadinata.

Penelitian terdiri dari dua tahap. Percobaan tahap I bertujuan untuk menentukan kebutuhan asam lemak n-6 dan n-3. Dalam percobaan ini digunakan empat jenis pakan dengan perbedaan kadar asam lemak n-6 dan n-3 sebagai berikut. Pakan A 0.77% asam lemak n-6, 0.56% asam lemak n-3; pakan B 1.56%,0.78%; pakan C 1.74%, 1.00% dan pakan D 2.03%, 1.82%. Tujuh ekor induk dengan berat rata-rata 290-327g ditebar ke setiap jaring apung. Pakan diberikan dua kali sehari secara at satiation. Sampling dilakukan setiap dua minggu untuk mengevaluasi perkembangan gonad. Kandungan lemak dan komposisi asam lemak di hati, telur dan larva umur 0 dan 24 jam dianalisis. Berdasarkan evaluasi pada lama waktu matang gonad, fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsung hidup dan persentase larva abnormal yang dihasilkan induk, dapat disimpulkan kadar asam lemak n-6 1.56% dan n-3 0.78% optimal untuk pakan induk.

Percobaan tahap II dilakukan untuk menentukan kombinasi dari hormon E2 dan T4 yang diimplant dan diberi pakan yang terbaik dari percobaan tahap I. Lima dosis kombinasi E2 dan T4 yang digunakan dalam percobaan ini berturut-turut A E2 0 µg/kg dan T4 0 mg/kg; B E2 600 µg/kg dan T4 0 mg/kg bobot induk; perlakuan C E2 400 µg/kg dan T4 10 mg/kg bobot induk; perlakuan D E2 200 µg/kg dan T4 50 mg/kg bobot induk dan perlakuan E E2 0 µg/kg dan T4 100 mg/kg bobot induk. Hormon diberikan ke induk dengan cara diimplant. Tujuh induk ditebar ke setiap jaring apung. Pakan diberikan dua kali sehari secara at satiation. Sampling dilakukan setiap dua minggu untuk mengevaluasi perkembangan gonad dan profil hormon E2. Kandungan lemak dan komposisi asam lemak di hati, telur dan larva umur 0 dan 24 jam dianalisis. Berdasarkan evaluasi pada lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal yang dihasilkan induk, dapat disimpulkan bahwa kombinasi E2 dan T4 optimum adalah 400 g dan 10 mg per kg bobot badan.

Kata kunci: asam lemak n-6 and n-3, estradiol-17β, tiroksin, kualitas telur dan larva, ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr)


(6)

ABSTRACT

Adhartho Utiah. Reproduction Performance of Green Catfish (Hemibagrus

nemurus Blkr) After n-6 and n-3 Fatty Acids Addition in Artificial Feed and

Estradiol-17β and Thyroxine Implantation. Advisors: M. Zairin Jr, I. Mokoginta, R. Affandi, K. Sumantadinata.

This research consisted of two experimental phases. The aim of the first experiment phase is to determine the optimum dietary of n-6 and n-3 fatty acids level. Four experimental diets with different level of n-6 and n-3 fatty acids namely diet A containing 0.77% n-6 fatty acids and 0.56% n-3 fatty acids; diet B 1.56%, 0.78%; diet C 1.74%, 1.00% and diet D 2.03%,1.82%, respectively, were used in this experiment. Seven broodstocks with mean body weight of 290-327g were placed in each net cage. Fish fed on the experimental diet two times daily, at satiation. Sampling of fish was done in every two weeks in order to evaluate the gonad development. Analysis of lipid level and fatty acids composition was done for the liver, eggs, larva at 0 and 24th hour after hatching. Based on the time of gonad maturation, fecundity, hatching rate, survival rate and percentage of abnormal larva produced by the broodstock, it was concluded that the optimum dietary n-6 fatty acids level is 1.56% and n-3 fatty acids is 0.78%.

The second experiment was conducted to determine the combination of E2 and T4 implant using the best feed from first experiment. Five level of E2 and T4 was used in this experiment, namely A 0 µ g/kg E2 and 0 mg/kg weight T 4; B 600 µ g/kg E2 and 0 mg/kg weight T4; C 400 µg/kg E2 and 10 mg/kg weight T4; D 200 µg/kg E2 and 50 mg/kg weight T4; E 0 µ g/kg E2 and 100 mg/kg weight T4, respectively. These hormone were given to the broodstock by implantation technique. Seventh broodstock were reared in each net cages. Fish fed on the experimental diets two times daily, at satiation. Sampling of fish was done in every two weeks in order to evaluate the gonad development and E2 serum profile. Analysis of lipid level and fatty acids composition were done for the liver, eggs, and larva at 0 and 24th hour after hatching. Based on the time of gonad maturation, fecundity, hatching rate, survival rate and percentage of abnormal larva produced by the broodstock, it was concluded that the optimum combination E2 and T4 was 400 g and 10 mg per kg of body weight.

Key words : n-6 and n-3 fatty acids, estradiol-17β, thyroxine, eggs and larvae quality, green catfish (Hemibagrus nemurus Blkr)


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 21 Maret 1967 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Prof. Drs. Hi. Madun Haruna Utiah dan Ibu Dra. Syamsiah Dalie (Alm). Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Manado pada tahun 1981, sedangkan pendidikan menengah tingkat pertama dan menengah tingkat atas jurusan biologi diselesaikan masing-masing pada tahun 1984 dan 1987.

Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado pada tahun 1991. Pendidikan Magister ditempuh pada Program Studi Ilmu Perairan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000. Sejak tahun 1993 penulis telah bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikan Universitas Sam Ratulangi Manado. Pada tahun 1995 penulis menikah dengan Monalisa Manoppo, SE dan dikaruniai satu orang anak Damitha Utiah.

Pada tahun 2002 penulis diberikan kesempatan mengikuti program doktor pada Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program S3, penulis sempat menyampaikan karya ilmiah dengan judul ”Pengaruh Perbedaan Kandungan Asam Lemak n-6 dan n-3 dalam Pakan Induk Terhadap Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr)”, pada Simposium Nasional Bioteknologi dalam Akuakultur, Bogor 2006. Artikel yang disampaikan dalam simposium tersebut akan diterbitkan pada jurnal Akuakultur Indonesia.


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha pengasih karena hanya dengan berkat kemurahanNya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Peningkatan produksi perikanan dan peningkatan kualitas dan kuantitas benih ikan merupakan issue yang mendasari penelitian ini, dengan judul ”Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Ditambahkan Asam Lemak n-6 dan n-3 dan dengan Implantasi Estradiol-17β dan Tiroksin.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. M. Zairin Jr., M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, Ibu Prof. Dr. Ing Mokoginta, MS, Bapak Dr. Ridwan Affandi, DEA dan Bapak Prof. Dr. Komar Sumantadinata, M.Sc, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan nasihat, petunjuk dan bimbingan sangat berharga selama proses penelitian sampai dengan penyelesaian studi. Terima kasih kepada Prof. Dr. Hi. Enang Haris, MS. Ketua Program Studi Ilmu Perairan dan DR. Chairul Muluk mantan Ketua Program Studi Ilmu perairan yang terus memberikan motivasi dan nasehat agar penulis cepat selesai.

Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada DR. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. sebagai penguji luar komisi dalam ujian tertutup, DR. Atmadja hardjamulia, MS. APU dan DR. Dedi Jusadi, M.Sc. sebagai penguji luar komisi dalam ujian terbuka, yang banyak memberikan masukan konstruktif penyempurnaan disertasi ini.

Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada pimpinan Universitas Sam Ratulangi, dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Manado yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Pimpinan Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Pascasarjana, yang telah menerima penulis untuk belajar dan menyelesaikan studi di Lembaga ini.

Terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah mengisinkan penulis


(9)

melaksanakan penelitian di Instalasi Riset Cijeruk, terima kasih juga kepada Drs. Jojo Subardja, M.Si. sebagai kepala INRIS Cijeruk dan Ibu Ani Widiyati mantan kepala INRIS Cijeruk beserta staf karyawan yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.

Banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama proses perkuliahan, penelitian sampai penulisan disertasi; oleh karena itu ucapan terima kasih disampaikan kepada: staf administrasi dan perpustakaan Departemen Budidaya Perairan: Ibu Yuli, Ibu Hani dan Ibu Desi; teknisi laboratorium: Ibu Lina, Bapak Wasjan, Bapak Ranta, Bapak Jajang dan Bapak Kosasi (Biokimia Terpadu); Teman-teman di prog studi Ilmu Perairan: Suradi, Gunarto Latama, Hengky Sinyal dan Surya Darwisito; Rekan-rekan di Bogor: Anderson Kumenaung, Ridwan Lasabuda, Agung Windarto, Alfret Luasunaung, Adnan Wantasen, Edwin Ngangi, Donata Pandin, Tommy Lolowang, Hasnawaty, Joice Rimper.

Terima kasih kepada Ayahanda Prof. Drs Hi. M.H. Utiah dan Ibunda Dra Syamsiah Dalie (Alm), Ibu mertua Hj. Rohani Kombo, adik-adik, kakak-kakak dan adik-adik ipar, atas bantuan doa dan dana dalam penyelesaian studi penulis.

Secara khusus disampaikan terima kasih kepada istri tercinta Monalisa Manoppo SE atas pengertian, pengorbanan dan kesabaran selama penulis menyelesaikan studi. Terima kasih kepada anakda Damitha Anisa Utiah, yang penuh pengertian, kesabaran dan rela ditinggal lama tanpa didampingi secara fisik oleh penulis sebagai seorang ayah.

Penulis menyadari, bahwa apa yang penulis lakukan masih belum memadai karena keterbatasan waktu dan dana. Oleh karena itu kritik dan saran penyempurnaan selanjutnya penulis sangat hargai. Diharapkan apa yang penulis lakukan dapat bermanfaat dalam memacu perkembangan teknologi pembenihan ikan pada umumnya dan khususnya ikan baung .

Bogor, Desember 2006 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman PRAKATA DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN v x xi xii I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang... ... 1.2 Perumusan Masalah... 1.3 Tujuan dan Manfaat...

1 3 4 II KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka... 2.1.1 Kematangan Gonad pada Ikan... 2.1.2 Kualitas Telur Ikan... 2.1.3 Peranan Asam Lemak Tak Jenuh (n-6 dan n-3) pada Kualitas Telur... 2.1.4 Peranan Hormon E2 dalam Reproduksi... 2.1.5 Peranan Hormon T4 dalam Reproduksi... 2.1.6 Faktor Lain yang Mempengaruhi Kualitas Telur... 2.2 Kerangka Teoritis….………... 2.3 Hipotesis...

5 5 8 11 14 15 16 17 18 III METODE PENELITIAN

3.1 Percobaan Tahap Pertama... 3.1.1 Rancangan Perlakuan... 3.1.2 Pakan Uji ... 3.1.3 Ikan Uji... 3.1.4 Pemeliharaan Induk dan Penetasan Telur ... 3.1.5 Analisis Data... 3.2 Percobaan Tahap Kedua………...……….. 3.2.1 Rancangan Perlakuan... 3.2.2 Pakan Uji... 3.2.3 Ikan Uji... 3.2.4 Implantasi Hormon ... 3.2.5 Pemeliharaan Induk dan Penetasan Telur... 3.2.6 Analisis Data...

19 19 20 21 21 23 25 25 25 25 26 26 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Percobaan Tahap I... 4.1.1 Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Hati, Telur dan Larva... 4.1.2 Fosfolipid dan Lipid Netral...

30 30 32


(11)

4.1.3 Bobot Tubuh, Diameter Telur, Gonadosomatik Indeks dan Hepatosomatik Indeks... 4.1.4 Lama Waktu Matang, Fekunditas, Derajat Tetas Telur,

Derajat Kelangsungan Hidup dan Persentase Larva Abnormal 4.1.5 Pembahasan... 4.2 Percobaan Tahap II... 4.2.1 Kadar Estradiol-17β dalam Plasma Darah... 4.2.2 Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Hati, Telur dan Larva... 4.2.3 Fosfolipid dan Lipid Netral... 4.2.4 Bobot Tubuh, Diameter Telur, Gonadosomatik Indeks dan Hepatosomatik Indeks... 4.2.5 Lama Waktu Matang, Fekunditas, Derajat Tetas Telur, Total Larva, Derajat Kelangsungan Hidup dan Persentase Larva Abnormal... 4.2.6 Pembahasan...

32 34 36 40 40 42 43 43

47 50 V KESIMPULAN DAN SARAN


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Kriteria perkembangan gonad ikan jambal siam betina secara morfologis

dan histologis pada berbagai tingkat kematangan (Siregar, 1999)... 7 2 Kebutuhan asam lemak esensial pada benih dan ikan air tawar dewasa

(Sargent et al., 2002)... 14 3 Daya hidup telur setelah ovulasi pada berbagai spesies (Kjorsvik et al.,

1990)... 17 4 Komposisi pakan setiap perlakuan... 20 5 Komposisi proksimat dan asam lemak n-6 dan n-3 pakan percobaan (%

bobot kering)... 21 6 Total kadar asam lemak (% area) hati, telur dan larva ikan baung

(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I……... 31 7 Kadar FL dan NL (%) telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada

percobaan tahap I... 32 8 Bobot tubuh, diameter telur, GSI dan HSI dari induk ikan baung

(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I... 33 9 Lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, kelangsungan hidup

larva, dan persentase larva abnormal dari induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... 35 10 Total kadar asam lemak (% area) hati, telur, dan larva ikan baung

(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... 44 11 Kadar FL dan NL (%) telur induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr)

pada percobaan tahap II... 45 12 Bobot tubuh, diameter telur, GSI dan HSI dari induk ikan baung

(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... 45 13 Lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, total larva, derajat

kelangsungan hidup larva, dan persentase larva abnormal dari induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... 49


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Rata-rata diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada

percobaan tahap I... 33 2 Struktur jaringan gonad induk-induk ikan baung (Hemibagrus nemurus

Blkr) pada percobaan tahap I, gonad yang diambil pada awal percobaan (A), gonad yang diambil pada akhir percobaan (B), granula kuning telur (g), nukleolus (n) dan sel teka (t). Pembesaran 40X. Pewarnaan HE...

34 3 Gambaran morfologis larva: normal (a), larva abnormal pada bagian

punggung (b) dan larva abnormal pada bagian perut (c) dari induk-induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I ...

35 4 Kadar E2 plasma darah induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr)

pada percobaan tahap II... 41 5 Hubungan dosis E2 yang diimplantasi dengan kadar E2 plasma darah

induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... 42 6

7

8

Rata-rata diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... Struktur jaringan gonad induk-induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II: awal (a) dan akhir percobaan (b,c,d,e,dan f). Gonad induk matang dari kelima perlakuan secara berurut dari perlakuan A sampai E (b,c,d,e,f). Pembesaran 40X. Pewarnaan HE... Pembelahan sel telur-telur dari perlakuan A (a,b,c) dan telur-telur dari perlakuan E (d,e,f). Telur 1 jam setelah pembuahan (a dan d), telur 5 jam setelah pembuahan awal fase gastrulasi (b dan e), telur 10 jam setelah pembuahan awal organogenesis (c dan f)...

46

47

50

9 Gambaran morfologis larva: normal (a) abnormal (b, c dan d), dari induk ikan

baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... 50 10 Warna telur dan cairan ovari: telur berwarna coklat kehitaman serta

cairan ovari agak cair dari induk perlakuan B (a), telur dan cairan ovari pada induk perlakuan A (b) pada percobaan tahap II...

52


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Komposisi asam lemak pakan percobaan (% area)... 63

2 Prosedur penyiapan preparat histologis gonad…….……… 64

3 Cara pembuatan pelet hormon E2 dan T4 ...………... 67

4 Prosedur radioimmunoassay………... 68

5 Analisis lipida polar (Takeuchi , 1988)………... 69

6 Komposisi asam lemak hati induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) (% area) pada percobaan tahap I...………. 70 7 Komposisi asam lemak telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) (% area) pada percobaan tahap I……… 71

8 Komposisi asam lemak larva ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) (% area) pada percobaan tahap I... 72 9 Komposisi asam lemak hati induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) (% area) pada percobaan tahap II...…………... 73

10 Komposisi asam lemak telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) (% area) pada percobaan tahap II…...………... 74

11 Komposisi asam lemak larva ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) (% area) pada percobaan tahap II...………... 75

12 Hasil pengukuran bobot tubuh, diameter telur matang, GSI dan HSI induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I... 76

13 Analisis ragam diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I………... 77

14 15 Sebaran diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I…... Rataan diameter telur (mm) ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I... 78 82 16 Data lama waktu matang gonad, fekunditas telur, derajat penetasan telur, derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari dan persentase larva abnormal... 83

17 Analisis ragam lama waktu matang gonad induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I... 84

18 Analisis ragam fekunditas telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I... 84


(15)

19 Analisis ragam derajat kelangsungan hidup larva dari induk ikan baung

(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I... 85 20 Analisis ragam persentase larva abnormal ikan baung (Hemibagrus nemurus

Blkr) pada percobaan tahap I... 85 21 Analisis ragam derajat tetas telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr)

pada percobaan tahap I... 86 22 Rataan kadar E2 (ng/ml) plasma darah induk ikan baung (Hemibagrus nemurus

Blkr) pada percobaan tahap II... 87 23 Analisis ragam kadar E2 plasma darah induk ikan baung (Hemibagrus

nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... 88 24 Analisis ragam kadar E2 plasma darah induk ikan baung (Hemibagrus nemurus

Blkr) berdasarkan waktu pengamatan pada percobaan tahap II... 89 25 Analisis regresi kadar dosis E2 dengan kadar E2 plasma dara pada pengamatan

ke 14 dari percobaan tahap II... 90 26 Hasil pengukuran bobot tubuh, diameter telur, GSI dan HSI induk ikan baung

(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... 91 27 Analisis ragam diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada

percobaan tahap II ... 91 28 Analisis ragam diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr)

berdasarkan waktu pengamatan pada percobaan tahap II... 92 29 Rataan diameter telur (mm) ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada

percobaan tahap II... 93 30 Sebaran diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan

tahap II………... 94 31 Data lama waktu matang gonad, fekunditas, derajat tetas telur, total larva,

derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari dan persentase larva abnormal

ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II... 99 32 Analisis ragam lama waktu matang gonad induk ikan baung

(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II...…... 100 33 Analisis ragam fekunditas telur induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr)

pada percobaan tahap II………... 100 34 Analisis ragam derajat tetas telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada

percobaan tahap II...………... 101 35 Analisis ragam total larva ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada

percobaan tahap II... 102 36 Analisis ragam derajat kelangsungan hidup larva ikan baung (Hemibagrus


(16)

37 Analisis ragam persentase larva abnormal ikan baung (Hemibagrus nemurus


(17)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) adalah ikan air tawar yang terdapat di sungai-sungai di Indonesia. Usaha budidaya ikan baung, khususnya budidaya dalam keramba telah berkembang dengan pesat. Tetapi pesatnya perkembangan budidaya ikan ini belum diimbangi dengan tingkat produksi yang tinggi karena tidak didukung oleh produksi benih dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Hal ini disebabkan antara lain sulitnya mendapatkan induk matang gonad. Selain itu beberapa peneliti menunjukkan bahwa daya tetas telur ikan baung masih rendah yaitu sebesar 34.5% (Muflikhah, 1993), 63,63% (Hardiantho et al., 2002), dan 39% (Sukendi, 2005).

Kualitas telur yang berubah-ubah adalah salah satu faktor pembatas produksi massal benih ikan. Kualitas telur dipengaruhi faktor internal yang meliputi umur dan ukuran induk, dan genetik; serta faktor eksternal seperti pakan, suhu, kepadatan dan polusi. Masih banyak sisi budidaya yang perlu diketahui untuk memperbaiki kualitas telur dan meningkatkan produksi benih ikan baung, diantaranya kebutuhan nutrisi induk ikan baung yang belum diketahui. Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas pakan (protein dan lemak) yang diberikan kepada induk merupakan faktor penting yang mempunyai hubungan erat dengan kematangan gonad, jumlah telur yang diproduksi dan kualitas telur (Watanabe, 1988). Saat telur menetas, sumber energi untuk perkembangan larva ikan sangat bergantung kapada bahan bawaan telur yang telah disiapkan oleh induk.

Asam lemak esensial linoleat dan linolenat pada induk sangat diperlukan terutama untuk kebutuhan dalam proses perkembangan embrio. Menurut Izquierdo et al. (2001), asam lemak tidak jenuh seperti linoleat (18:2n-6) dan linolenat (18:3n-3) dalam pakan ikan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidup larva. Oleh karena itu, pengaturan komposisi kedua jenis asam lemak ini dalam pakan diharapkan dapat memperbaiki kualitas telur.


(18)

Peran pakan dalam perkembangan gonad penting untuk fungsi endokrin yang normal. Tingkatan pakan tampaknya mempengaruhi sintesis maupun pelepasan hormon dari kelenjar-kelenjar endokrin. Kelambatan perkembangan gonad karena kekurangan pakan dapat menyebabkan rendahnya kadar gonadotropin hipofisis, kurangnya respon ovari terhadap stimulus hormon atau mungkin kegagalan ovari untuk menghasilkan jumlah estrogen yang cukup (Toelihere, 1981). Selain ketersediaan materi baik kualitas maupun kuantitas untuk mendukung proses reproduksi, diperlukan juga kerja hormon untuk meningkatkan proses sintesis vitelogenin dan penyerapannya oleh sel telur. Manipulasi hormonal yang sering dilakukan berupa suntikan dan implantasi hormon, tidak lain adalah upaya “potong kompas” mengganti sinyal lingkungan sebagai sinyal untuk pematangan gonad (Zairin, 2003). Setelah matang gonad, ikan baung masih memerlukan manipulasi hormonal karena ikan ini tidak dapat memijah secara spontan dalam wadah budidaya. Estradiol-17β (E2) merupakan perangsang biosintesis vitelogenin di hati. Vitelogenin yang disintesis di hati dengan bantuan hormon E2 disekresikan ke dalam aliran darah dan dibawa menuju ke gonad. Vitelogenin di dalam aliran darah secara selektif akan diserap oleh lapisan folikel oosit. Penyerapan vitelogenin oleh oosit dibantu oleh hormon gonadotropin dan tiroksin (T4). T4 merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang dikenal dengan struktur kimia L-3,5,3’,5’-tetraiodothyronine (T4). Selain membantu dalam proses penyerapan vitelogenin oleh oosit, keberadaan hormon (T4) dalam telur juga sangat membantu dalam menstimulasi perkembangan embrio (Ayson dan Lam, 1993).

Dengan memberikan perlakuan mengikuti proses fisiologis di atas, maka diharapkan telur yang dihasilkan akan berkualitas baik sehingga larva yang dihasilkan juga berkualitas baik dengan memiliki ketahanan yang prima. Selama ini pendekatan untuk memecahkan masalah kualitas telur sering dilakukan secara parsial dan tidak bersifat menyeluruh. Pendekatan yang akan menghasilkan pematangan gonad yang cepat dengan kualitas telur yang baik adalah dengan mengkombinasikan faktor lingkungan, pakan dan hormonal. Mengingat faktor lingkungan sangat kompleks dan


(19)

sukar ditiru, maka pada penelitian ini digunakan kombinasi antara pakan dan hormon dengan memberikan lingkungan reproduksi yang optimal.

Dari uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peranan perbandingan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 dalam pakan dan dosis kombinasi hormon E2 dan T4 yang optimal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas telur dan larva ikan baung.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah yang dihadapi dalam budidaya ikan baung adalah kurangnya pengetahuan mengenai kebutuhan nutrisi induk, khususnya kebutuhan asam lemak esensial untuk menghasilkan telur dan larva dengan kualitas maupun kuantitas yang tinggi. Rendahnya kualitas telur diduga karena rendahnya kadar fosfolipid dalam telur sehingga kualitas telur juga menjadi rendah akibatnya nutrien yang terserap oleh telur tidak dapat mendukung perkembangan larva.

Selain itu, pemberian pakan yang tidak optimal dapat menyebabkan kurangnya energi untuk mendukung proses reproduksi, terutama dalam mensintesis hormon E2 yang terlibat dalam proses vitelogenesis. Hormon E2 adalah hormon steroid yang disintesis pada lapisan granulosa folikel. Hormon ini disekresikan kedalam darah dan merupakan perangsang dalam biosintesis vitelogenin di hati.

Di dalam tubuh ikan, lipid terutama di hati terdapat dalam bentuk lipoprotein plasma kompleks, very low density lipoprotein (VLDL) dan low density lipoprotein (LDL) serta dengan kombinasi lipoprotein lipase dan lesitin membentuk high density lipoprotein (HDL). Kurangnya lipid yang diangkut ke hati dari pheripheral diduga akibat dari kurangnya lipid dalam pakan, juga lipid tersebut digunakan sebagai sumber energi untuk proses metabolisme. Akibatnya lipid yang disintesis membentuk vitelogenin sangat rendah sehingga mengakibatkan kadar fosfolipid telur rendah. Dipihak lain asam lemak essensial tidak dapat disintesis sendiri oleh tubuh sehingga perlu ditambahkan ke dalam pakan dalam jumlah yang optimal.

Oleh karena pakan buatan masih banyak kekurangan sumber nutrien seperti asam lemak esensial serta kerja hormon dalam proses vitelogenesis tidak maksimal


(20)

maka kuantitas dan kualitas telur menjadi rendah sehingga produksi larva juga menjadi rendah pula. Untuk mengatasinya perlu manajemen pemberian pakan, terutama jenis dan jumlah yang optimal serta perlakuan hormon yang dapat mendukung proses reproduksi. Dengan cara ini diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi, kerja hormon optimal sehingga diharapkan kualitas vitelogenin dapat meningkat dan akhirnya kualitas telur meningkat pula, dengan demikian dapat dihasilkan benih dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan :

1. Mengkaji penampilan reproduksi induk ikan baung dengan pemberian pakan buatan yang ditambahkan asam lemak n-6 dan asam lemak n-3. Serta keterkaitannya dengan komposisi asam lemak pada hati, telur dan larva.

2. Mengkaji penampilan reproduksi induk ikan baung dengan pemberian hormon E2 dan T4 serta kombinasinya yang diimplantasi pada induk yang diberi pakan optimal.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar dalam manajemen pemberian pakan, serta perlakuan hormonal yang tepat pada induk ikan sehingga dapat mempercepat pematangan gonad, meningkatkan kuantitas dan kualitas telur yang pada akhirnya meningkatkan kualitas larva ikan baung.


(21)

II.

KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kematangan Gonad Pada Ikan

Kematangan gonad ikan pada umumnya adalah tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Menurut Effendie (2002), pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10 – 25 persen dari bobot tubuh, dan pada ikan jantan 5 – 10 persen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. Pendapat ini diperkuat oleh Kuo et al. (1979)bahwa kematangan gonad pada ikan dicirikan dengan perkembangan diameter rata-rata telur dan pola distribusi ukuran telurnya.

Kematangan gonad ikan baung dimulai apabila telah mencapai panjang 215 mm dengan bobot 90g (Tang et al., 1999). Secara garis besar, perkembangan gonad ikan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad ikan sampai ikan menjadi dewasa kelamin dan selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap pertama berlangsung mulai ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin, dan tahap kedua dimulai setelah ikan mencapai dewasa, dan terus berkembang selama fungsi reproduksi masih tetap berjalan normal (Lagler et al., 1977). Lebih lanjut dikatakan bahwa kematangan gonad pada ikan tertentu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar antara lain dipengaruhi oleh suhu dan adanya lawan jenis, faktor dalam antara lain perbedaan spesies, umur serta sifat-sifat fisiologi lainnya.

Ikan baung tergolong ikan yang bertulang sejati (teleostei). Ikan teleostei biasanya mempunyai sepasang ovarium yang merupakan organ memanjang dan


(22)

kompak, terdapat di dalam rongga perut, berisi oogonium, oosit dengan sel-sel folikel yang mengitarinya, jaringan penunjang atau stroma, jaringan pembuluh darah dan saraf (Nagahama, 1983). Berdasarkan klasifikasi Wallace dan Selman (1981) pola perkembangan oosit ikan teleostei dapat dibagi atas tiga tipe, pertama disebut tipe sinkronisme total, yaitu semua oosit dalam ovarium dibentuk dalam waktu yang relatif sama. Tipe ini ditemukan pada ikan-ikan yang mengalami migrasi (“katadromous” dan “anadromous”). Tipe kedua, tipe sinkronisme kelompok. Pada tipe ini paling sedikit terdapat dua populasi oosit pada suatu saat. Ketiga adalah asinkronisme, yaitu oosit terdiri dari semua tingkat perkembangan. Tipe ini ditemukan pada ikan yang memijah sepanjang tahun, misalnya pada beberapa jenis ikan tropis.

Setiap oosit selama permulaan perkembangannya dikelilingi oleh selapis folikel. Dengan tumbuhnya oosit, sel-sel folikel membelah diri dan membentuk suatu lapisan folikular yang kontinyu (lapisan granulosa). Secara bersamaan dikelilingi bagian jaringan pengikat yang juga menjadi terorganisir membentuk suatu lapisan luar yang berbeda dari penutup folikular yang disebut lapisan teka. Dengan demikian oosit dikelilingi oleh dua lapisan utama, dibagian luar lapisan teka dan dibagian dalam adalah lapisan granulosa yang masing-masing dipisahkan oleh membran. Sel teka mengandung fibroblas, jaringan kolagen dan kapiler darah pada beberapa jenis ikan. Sel teka dan granulosa berperan sebagai penghasil steroid. Sel folikular pada pinggiran memainkan peranan penting dalam inkoporasi material lipoprotein yang berasal dari hati ke dalam oosit. Pematangan oosit dicirikan oleh pergerakan awal dari vesikula germinalis (germinal vesicle) dan diakhiri dengan tahap pembelahan meiosis pertama (Takashima dan Hibiya, 1995).

Tingkat kematangan gonad merupakan pengelompokan kematangan gonad ikan berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada perkembangan gonad. Pengamatan perkembangan gonad dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengelompokan berdasarkan morfologi dan berdasarkan histologi. Dari pengamatan secara histologi akan dapat diketahui lebih jelas dan mendetail. Sedangkan pengamatan secara morfologi tidak akan sedetail dengan cara histologi, namun cara morfologi banyak


(23)

dilakukan karena dapat dilakukan di lapangan. Pembagian tingkat kematangan gonad berbeda setiap peneliti dan bergantung pada jenis ikan yang diteliti. Siregar (1999) membagi tingkat perkembangan gonad ikan jambal siam kedalam empat kelompok berdasarkan morfologi dan histologi (Tabel 1).

Ukuran sel telur ada hubungannya dengan fekunditas. Makin banyak telur yang dipijahkan ukuran telurnya makin kecil, misalnya pada ikan cod yang diameternya 1-1,7mm produksi telurnya 10 juta butir. Salmon atlantik diameter telur 5-6 mm produksi telurnya 2000-3000 (Blaxter, 1969). Sementara itu, untuk ikan baung dengan berat 2,7 kg produksi telurnya mencapai 1.365 sampai 160.235 butir (Tang et al., 1999).

Tabel 1. Kriteria perkembangan gonad ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus) betina secara morfologis dan histologis pada berbagai tingkat kematangan (Siregar, 1999)

TKG Morfologi Histologi

I

II

III

IV

Ovari kecil dan halus seperti benang, warna ovari merah muda, memanjang di rongga perut.

Ukuran ovari bertambah besar, warna coklat muda, butiran telur belum terlihat dengan mata telanjang.

Ukuran ovari relatif lebih besar dan mengisi hampir 1/3 rongga perut, butiran-butiran telur terlihat jelas dan berwarna kuning muda. Gonad mengisi penuh rongga perut, semakin pejal dan warna butiran telur kuning tua. Butiran telur besarnya hampir sama dan mudah dipisahkan, kantung tubulus seminifer agak lunak.

Didominasi oleh oogonia berukuran 7.5-12.5µm, inti sel besar.

Oogonia menjadi oosit ukuran 200-250µm,

membentuk kantung kuning telur, sitoplasma berwarna ungu.

Lumen berisi telur. ukuran oosit 750-1125µm. Inti mulai tampak.

Inti terlihat jelas dan sebaran kuning telur mendominasi oosit. Ukuran oosit 1300-1500µm.


(24)

2.1.2 Kualitas Telur Ikan

Telur merupakan hasil akhir dari proses gametogenesis, setelah oosit mengalami fase pertumbuhan yang panjang yang sangat bergantung pada gonadotropin. Perkembangan diameter telur pada oosit teleostei umumnya karena akumulasi kuning telur selama proses vitelogenesis. Akibat proses ini, telur yang tadinya kecil menjadi besar.

Ada tiga macam bahan kuning telur yang berbeda 1) butir minyak (oil droplet), 2) gelembung kuning telur (yolk vesicle), 3) bola kecil kuning telur (yolk globule). Dalam vitelogenesis yang sedang berlangsung, sitoplasma telur yang matang ruangannya diisi oleh bola-bola kecil kuning telur saling bersatu dengan yang lainnya membentuk menjadi masa kuning telur.

Definisi kualitas telur yang umum digunakan adalah kemampuan telur untuk menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia. Beberapa indikator kualitas telur adalah sebagai berikut.

Pembuahan

Pembuahan atau fertilisasi merupakan asosiasi gamet, dimana asosiasi ini merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses fertilisasi. Rasio pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi kualitas telur.

Penggabungan gamet biasanya disertai dengan pengaktifan telur. Selama fertilisasi dan pengaktifan, telur-telur ikan teleostei mengalami reaksi kortikal. Kortikal alveoli melebur, melepaskan cairan koloids, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang periviteline (Yamamoto, 1961 dalam Kjorsvik et al., 1990). Kortikal alveoli muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas telur yang jelek. Beberapa hal yang mempengaruhi pembuahan adalah berat telur ketika terjadi pembengkakan oleh air, pH cairan ovari, dan konsentrasi protein (Lahnsteiner et al., 2001).


(25)

Morfologi

Telur yang belum dibuahi bagian luarnya dilapisi oleh selaput yang dinamakan selaput kapsul atau khorion. Di bawah khorion terdapat selaput yang kedua dinamakan selaput vitelin. Selaput yang mengelilingi plasma telur dinamakan selaput plasma. Ketiga selaput ini semuanya menempel satu sama lain dan tidak terdapat ruang diantaranya. Lapisan vitelin pada ikan mas mempunyai ukuran ketebalan 10.0-10.2 µm dan mempunyai struktur yang komplek dan terdiri dari 4 lapisan yang penamaannya berbeda berdasarkan penemu (Linhart et al., 1995). Lapisan bagian luar terdiri 2 bagian berdasarkan perbedaan sitokimia. Selanjutnya dikatakan bahwa kedua lapisan ini kaya akan protein.

Selama oogenesis kuning telur mengakumulasi sejumlah besar yolk granules dan lipid yang terisi pada bagian tengah. Diameter granula berkisar antara 6-24µm (Linhart et al., 1995). Jumlah dan distribusi dari lemak (butir lemak) sangat bervariasi dengan diameter 1-1.5µm (Linhart et al., 1995). Distribusi dari butir-butir lemak ini juga menjadi parameter kualitas telur.

Selama oogenesis, salah satu yang paling mencolok adalah pembentukan sebuah zona tebal yang sangat berdiferensiasi yang terdiri dari membran telur, membran vitelin, zona radiata, zona pelusida dan terletak diantara lapisan-lapisan granulosa dan oosit. Bergantung pada spesies dan tahap pertumbuhan oosit, membran telur bervariasi dalam hal ketebalan. Tebalnya 7-8µm pada oosit ikan mas koki dan sekitar 30 µm pada rainbow trout (Kjorsvik et al., 1990) .

Perubahan morfologi yang dialami membran mencerminkan adaptasi terhadap berbagai kondisi ekologi. Membran telur ini banyak mengandung protein dan karbohidrat. Belum dapat dipisahkan apakah asal membran ini dari oosit atau dari sel folikel atau dari kedua-duanya. Pada oosit kuda laut, Hippocampus erectus dan ikan pipa Syngnathus fuscus, membran dibentuk oleh oosit, sehingga diklasifikasikan sebagai selubung primer (Nagahama, 1983).

Menurut Kjorsvik et al. (1990), morfologi sel juga sering digunakan untuk meneliti kualitas telur dan parameter morfologi ini lebih sensitif dibandingkan dengan


(26)

kelangsungan hidup. Pada pembelahan awal (blastomer) embrio tidak berdifferensiasi, dan ini menjadi dasar untuk perkembangan embrio selanjutnya. Kerusakan pada sel ini akan mempengaruhi perkembangan akhir dari embrio, dan akhirnya akan terjadi kerusakan pada salah satu sel dalam perkembangannya. Pengamatan juga termasuk melihat simetri pembelahan awal serta banyaknya embrio dan larva yang cacat.

Ukuran telur

Ukuran telur dapat dinyatakan dalam banyak cara. Diameter tunggal yang biasa digunakan, tetapi diameter terpanjang juga kadang-kadang digunakan. Selain itu panjang telur dan lebar telur juga digunakan. Ukuran-ukuran telur yang lain mencakup volume telur, bobot basah dan bobot kering. Dari segi energetika istilah terbaik untuk ukuran telur adalah kandungan energi per telur atau joule per telur. Kalori telur menunjukkan jumlah energi yang tersedia bagi embrio untuk berkembangan.

Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil. Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan Clupea harengus (Kamler, 1992). Keuntungan ukuran awal yang dimiliki larva yang menetas dari telur besar dapat kurang berarti selama perkembangan selanjutnya, atau bahkan hilang. Pada Salmo salar keuntungan ini hilang setelah 5 minggu pertama pertumbuhan; pada Oncorhynchus mykiss keuntungan ini hilang setelah 16 minggu (Kamler, 1992).

Kemampuan larva yang kecil untuk bertumbuh sehingga mempunyai kecepatan yang sama dengan larva yang lebih besar sangat penting untuk tujuan komersial. Potensi yang sangat penting adalah menemukan kelangsungan hidup telur dan larva tidak dipengaruhi oleh ukuran telur (Kjorsvik et al., 1990).

Kandungan kimia

Komposisi biokimia telur yang sehat menggambarkan kebutuhan embrio terhadap nutrisi dan pertumbuhan. Komponen tertentu diketahui “essensial” untuk


(27)

organisme yang tidak dapat mensintesis nutrien tersebut. Komponen ini harus ada dalam jumlah tertentu untuk kebutuhan fisiologi. Oleh karena itu parameter biokimia kualitas telur dapat digunakan. Hasil evaluasi biokimia kualitas telur sebelum fertilisasi mungkin dapat digunakan.

Material yang diperlukan selama perkembangan secara umum dapat dibagi menjadi 1) diperlukan secara langsung untuk sintesis jaringan embrionik, dan 2) digunakan untuk energi metabolisme (Tang dan Affandi, 2000). Lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah total dan relatif berbagai nutrien yang diperlukan jelas bervariasi bergantung kepada faktor seperti waktu pengeraman, ukuran ikan pada waktu menetas dan lamanya anak-anak ikan memerlukan persediaan bahan endogen sebelum menemukan semua keperluan dari sumber lain.

Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler, 1992). Hasil penelitian dari pemijahkan induk belanak garis (striped mullet) dalam beberapa fasilitas yang berbeda (air laut dan air payau atau ditempatkan di dalam gedung serta di kolam air payau), menunjukkan kadar asam oleat, eikosanoat dan arakidonat yang berbeda kadarnya pada telur induk matang (Tamaru et al., 1991). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pematangan induk akan mempengaruhi kandungan kimia telur.

2.1.3 Peranan Asam Lemak Tak Jenuh (n-6 dan n-3) Pada Kualitas Telur

Lemak pakan merupakan sumber energi dan sumber asam lemak esensial bagi ikan. Sumber dari lemak akan menentukan susunan asam lemak esensialnya. Pada tubuh ikan, asam lemak tersebut merupakan salah satu senyawa fosfolipid membran sel. Watanabe (1988) melaporkan bahwa lemak, selain sebagai sumber energi juga digunakan untuk struktur sel, dan mempertahankan integritas pada biomembran.

Lemak dan komposisi asam lemak dalam pakan induk telah diidentifikasi sebagai faktor utama dari nutrien yang menentukan keberhasilan reproduksi dan


(28)

meningkatkan derajat kelangsungan hidup larva (Izquierdo et al., 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa pada beberapa spesies, HUFA dalam pakan induk dapat meningkatkan fekunditas, fertilisasi dan kualitas telur.

Fosfolipid disusun oleh gliserol, fosfat, asam lemak esensial dan non esensial terutama asam lemak dari kelompok HUFA (High Unsaturated Fatty Acid) dan PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) berperan penting untuk kegiatan metabolisme, komponen membran, senyawa awal prostaglandin seperti tromboksan, prostasiklin dan leukotrin (BNF, 1992). Lebih lanjut dikatakan kadar lipid telur masak adalah sebasar 2-10% dari berat telur bergantung kepada spesiesnya. Telur yang mengandung lipid tinggi mempunyai banyak gelembung minyak berisi lipid netral (tryacyl gliserol dan wax ester).

Hepher (1990) menyatakan bahwa lipid netral berfungsi sebagai energi metabolisme bagi embrio selama perkembangan; sedangkan fosfolipid berguna untuk penyediaan asam lemak essensial yang diendapkan menjadi membran sel sebagai jaringan. Telur dengan kadar lipid tinggi disertai dengan lipid netral yang tinggi kadarnya merupakan ciri telur yang masa pengeramannya lama sampai beberapa minggu seperti pada salmon.

Hubungan positif antara kelangsungan hidup dengan konsentrasi lipid total telur telah ditunjukkan Xu et al. (1993) pada udang cina (Penaeus chinensis). Diyakini bahwa kadar asam lemak telur dapat meningkatkan daya tetas dan daya hidup larva. Dilaporkan bahwa induk ikan yang diberi pakan yang kekurangan asam lemak esensial (EFA) akan menghasilkan telur yang rendah daya tetasnya dan sebagian besar dari larva yang dihasilkan adalah abnormal (Watanabe et al., 1984). Pengaruh ini jelas terlihat pada pemberian pakan tanpa asam lemak esensial pada induk ikan redsea bream yang dilakukan 2-3 bulan sebelum memijah.

Kualitas pemijahan sea bream dapat ditingkatkan dengan penambahan n-3 HUFA sampai sebesar 1,6% (Palacios et al., 1995). Penelitian lain juga menunjukkan penambahan n-3 HUFA lebih besar dari 1% (1,5-2,0%) dalam pakan induk Japanese flounder, dapat meningkatkan normalitas dan derajat kelangsungan hidup larva (Furuita et al., 2000). Proporsi n-3 HUFA diharapkan lebih tinggi


(29)

dalam pakan induk karena sangat terkait dengan kualitas telur terutama untuk meningkatkan daya tetasnya. Namun dari hasil penelitian pada Japanese flounder, Furuita et al. (2002) memperoleh proporsi n-3 HUFA tidak boleh lebih dari 32% (diantara 20-25% dari total asam lemak) karena meningkatnya level n-3 HUFA dapat menurunkan level asam amino dalam telur yang menyebabkan menurunnya kualitas telur.

Leray et al. (1985) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh defisiensi asam lemak esensial terhadap proses reproduksi ikan trout selama satu tahun. Ternyata efisiensi fertilisasi sebanding antara telur-telur yang berasal dari induk yang mendapat pakan tanpa asam lemak esensial dan dari induk yang mendapatkan asam lemak esensial. Namun kematian embrio tertinggi dapat terjadi pada hari ke 8 dan ke 22 pada kelompok telur yang induknya tidak mendapatkan asam lemak essensial. Berdasarkan pengamatan morfologi maka ternyata kegagalan pembelahan sel yang normal (sel tidak berkelompok) terjadi pada stadia ke 16 dan ke 32 sel, dan juga terjadi suatu hambatan perkembangan gastrulasi, dan pada akhirnya terjadi berbagai kelainan pada proses organogenesis. Selain gejala abnormal tersebut, vitelus pada kelompok larva yang berasal dari induk yang mendapat makanan tanpa asam lemak esensial lebih cepat habis dibandingkan dengan kelompok larva yang berasal dari induk yang mendapat makanan yang mengandung asam lemak esensial (50 hari vs 60 hari). Dari hasil ini ternyata asam lemak mempunyai peranan yang sangat penting sampai ke perkembangan larva.

Kebutuhan asam lemak essensial pada ikan air tawar di daerah tropik dapat dipenuhi dari asam lemak linoleat (18:3n-6) atau linolenat (18:3n-3) atau kombinasi keduanya (Hepher, 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa ikan ini mempunyai kemampuan untuk mengkonversi asam-asam lemak tadi menjadi asam lemak berantai karbon panjang C20 dan C22 dengan jalan memperpanjang rantai karbon dan desaturasi. Kebutuhan asam lemak esensial pada ikan-ikan air tawar dapat dilihat pada Tabel 2.


(30)

2.1.4Peranan Hormon E2 dalam Reproduksi

Saat ini telah banyak yang diketahui tentang keterlibatan hormon dalam proses vitelogenesis. Selain E2 beberapa hormon diduga terlibat dalam pertumbuhan oosit adalah GTH, T4, Triiodotironin, insulin dan hormon pertumbuhan (GH) (Tang dan Affandi, 2000). E2 adalah estrogen utama pada ikan betina. E2 merupakan perangsang dalam biosintesis vitelogenin di hati. Disamping itu E2 yang terdapat dalam darah memberikan rangsangan balik terhadap hipofisis dan hipotalamus ikan. Rangsangan yang diberikan oleh E2 terhadap hipofisis ikan adalah rangsangan dalam proses pembentukan gonadotropin. Rangsangan terhadap hipotalamus adalah dalam memacu sintesis GnRH.

Tabel 2. Kebutuhan asam lemak esensial pada benih dan ikan air tawar dewasa (Sargent et al., 2002)

Spesies ikan

Asam lemak

esensial % bobot kering

Rainbouw trout (Onchorhynchus mykiss)

Chum salmon (Onchorhynchus keta)

Coho salmon (Onchorhynchus kisutch)

Cherry salmon (Onchorhynchus masou)

Arctic charr (Salvelinus alpinus)

Ikan mas (Cyprinus carpio)

Ikan koan (Ctenopharyngodon idella)

Tilapia :

Oreochromis zilli Oreochromis nilotica

Sidat (Anguilla japonica)

Ayu (Plecoglossus altivelis)

Ikan bandeng (Chanos chanos)

Channel catfish (Ictalurus punctatus)

8:3n-3 n-3 HUFA

18:2n-6 dan 18:3n-3 18:2n-6 dan 18:3n-3 18:3n-3 atau n-3 HUFA

18:3n-3 18:2n-6 18:3n-3

18:2n-6 dan 18:3n-3 18:2n-6

18:2n-6

18:2n-6 dan 18:3n-3 18:3n-3 atau 20:5n-3 18:2n-6 dan 18:3n-3 18:3n-3

n-3 HUFA

0.7-1.0 0.4-0.5

1.0 untuk masing-masimg 1.0 untuk masing-masimg 1.0

1.0-2.0 1.0 0.5-1.0 1.0 dan 0.5

1.0 0.5

0.5 untuk masing-masimg 1.0

0.5 untuk masing-masimg 1.0-2.0

0.5-0.75


(31)

GnRH yang dihasilkan bekerja untuk merangsang hipofisis dalam melepaskan gonadotropin. Gonadotropin yang dihasilkan nantinya berperan dalam proses biosintesis E2 pada lapisan granulosa. Siklus hormon terus berjalan di dalam tubuh ikan selama terjadinya proses vitelogenesis (Nagahama, 1983; Yaron, 1995).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi E2 akan meningkatkan konsentrasi vitelogenin darah dan konsentrasi E2 yang tinggi dijumpai pada saat vitelogenesis (Hassin et al., 1991). Penelitian untuk melihat hubungan tersebut telah dilakukan pada ikan trout, Salmo trutta dan rainbouw trout Salmo gairdneri (Hjartarson et al., 1991), striped bass Morone sexatilis (Sullivan et al., 1991), dan Clarias macrocepalus (Tan-Fermin et al., 1997). Sintesis vitelogenin di hati sangat dipengaruhi oleh E2 yang merupakan stimulator dalam biosintesis vitelogenin. Selain itu, dipengaruhi juga oleh androgen seperti testosteron yang ada dalam tubuh ikan dan mungkin karena perubahan dari androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase folikel (Yaron, 1995). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan GtH dapat meningkatkan E2, dan pola kadar E2 seiring dengan perkembangan telur (Yaron, 1995; Tan-Ferming et al., 1997).

2.1.5 Peranan Hormon T4 dalam Reproduksi

Aktivitas setiap sel-sel tubuh memerlukan oksigen sehingga sebagian besar sel-sel itu memerlukan hormon tiroid. Dalam status defisiensi T4 pertumbuhan dan perkembangan kelenjar seks biasanya akan terganggu dan mengalami retardasi. Defisiensi hormon tiroid menyebabkan ovarium dan testis menunjukkan gejala-gejala disfungsi akibat terjadinya degenerasi pada sel-selnya sehingga baik ovarium maupun testes mengalami atropi.

Menurut Griffin (1996), kelenjar tiroid menghasilkan dua hormon asam iodoamino yaitu mono dan triiodotirosin, serta 3,5,3’-triiodotironin (T3) dan 3,5,3’,5’-tetraiodotironin atau T4. T4 adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang disimpan dalam folikel serta mengandung unsur iodium (Djojosoebagyo, 1990). Lebih lanjut dikatakan bahwa T4 merupakan hormon yang berasal dari asam amino tirosin yang mengalami modifikasi melalui iodinisasi


(32)

yakni pengikatan iodium pada asam amino tirosin dan penyatuan dua molekul diiodotironin (DIT) yang merupakan molekul dari asam amino tirosin. Konsentrasi T4 pada Salmo gaidneri enam kali lebih banyak dibandingkan triiodotironin (Donaldson et al., 1979).

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa hormon T4 juga dapat meningkatkan kelangsungan hidup larva, misalnya penelitian pada ikan betutu (Banta, 1997). Pada ikan mas yang diteliti oleh Lam dan Sharma (1985), hormon T4 dapat menstimulasi perkembangan embrionik pada ikan mas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi T4 sebesar 0,01 ppm memberikan hasil terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan larva ikan mas. Diketahui beberapa jenis hormon cenderung ada pada telur-telur dan larva ikan. Keberadaan hormon T4 pada tahap awal hidup ikan teleostei secara tidak langsung menunjukkan bahwa hormon ini punya peranan dalam perkembangan ikan (Ayson dan Lam, 1993). Larva ikan beronang berumur 7 hari dari induk yang disuntik T4 sebesar 10 dan 100 µg/g bobot tubuh menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan induk kontrol dan induk yang disuntik T4 1 µg/g bobot tubuh. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa penambahan hormon T4 dapat mempengaruhi pertumbuhan pada Salmo gairdneri, Salmo trutta, Salvelinus fontinalis, Onchorhynchus kisutch, Lebistes reticulatus, Carassius auratus dan Mugil auratus (Donaldson et al., 1979).

2.1.6 Faktor Lain yang Mempengaruhi Kualitas Telur

Lewat matang (over ripe) pada telur dapat terjadi pada induk. Hal ini sangat penting untuk menentukan waktu pembuahan telur yang tepat setelah ovulasi. Lewat matang dapat menjadi masalah khususnya pada ikan yang pemijahannya harus diurut dan dibuahi secara buatan. Hasil dari beberapa penelitian mengenai fertilitas telur setelah ovulasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Perubahan kadar lipid selama pematangan dan lewat matang telah banyak diteliti. Kjorsvik et al. (1990), mendapatkan bahwa telur-telur yang lewat matang mengandung lebih banyak lipid dibanding telur biasa. Selanjutnya dikatakan bahwa


(33)

pada telur yang lewat matang kadar dari isi telurnya sama seperti gonad-gonad yang belum matang. Craik dan Harvey (1984) menemukan bahwa perubahan utama yang berhubungan dengan lewat matang pada telur rainbouw trout adalah hilangnya sejumlah bahan, meningkatnya kadar air dan menurunnya protein penting.

Tabel 3. Daya hidup telur setelah ovulasi pada berbagai spesies (Kjorsvik et al., 1990).

Spesies Daya hidup

setelah ovulasi Temperatur (°C)

Roccus saxatilis Salmo gairdneri Salmo trutta Salvelinus alpinus Clarias macrocephalus Plecoglossus altivelis Limanda yokohama Scophthalmus maximus Hippoglossus hippoglossus Gadus morhua

Clupea harengus pallasi Clupea harengu

1jam 10 hari 5-7 hari 4-6 hari

< 28 jam

> 76 jam

7 hari 10 jam 24 jam 48 jam 10 jam

> 6 jam

9 jam 2 minggu 48 jam 10-13 jam 10-12 10 15 10 6.5 26-31 12±1 12-14 4 5 8-10 4 0.8

Pertumbuhan gonad, fekunditas dan kemampuan telur diketahui sangat tergantung pada pengaruh lingkungan, seperti suhu, pakan, faktor-faktor stres dan fotoperiodisitas (Carrillo et al., 1989; Aida et al., 1991; Campbell et al., 1991; Pankhurst dan Van Der Kraak, 1997). Selama gametogenesis suhu sangat penting untuk keberhasilan pemijahan dan daya hidup telur. Pepin et al. (1997) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi perkembangan telur dan pemijahan dari ikan Atlantik cod (Gadus morhua). Kjorsvik et al. (1990) menyimpulkan bahwa suhu penting untuk kualitas telur yang baik seperti pada ikan mas.

2.2 Kerangka Teoritis

Pematangan gonad pada ikan dipengaruhi oleh umur dan ukuran induk, pakan, hormon dan lingkungan. Pemilihan kualitas induk yang baik dengan umur dewasa


(34)

kelamin yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan pematangan gonad. Ukuran ikan saat pertama kali matang dalam setiap spesies berbeda, bahkan dalam satu speies pun akan berbeda bergantung kepada kondisi ekologis lingkungan hidupnya (Sjafei et al., 1992).

Telah diketahui bahwa asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 dapat meningkatkan kualitas telur. Peningkatan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 dalam pakan diharapkan dapat meningkatkan kadar asam lemak dalam vitelogenin sehingga terjadi peningkatan kadar fosfolipid telur akhirnya dapat meningkatkan derajat penetasan dan derajat kelangsungan hidup larva.

Vitelogenesis terjadi karena adanya sinyal lingkungan yang mempengaruhi hipotalamus dalam merangsang hipofisis menghasilkan gonadotropin yang nantinya akan mempengaruhi sintesis testosteron yang akan diubah menjadi E2. E2 merupakan perangsang utama dalam biosintesis vitelogenin di hati. T4 berperan dalam menstimulasi anabolisme (Matty, 1985) dan membantu proses penyerapan vitelogenin oleh oosit. T4 sangat diperlukan dalam proses perkembangan embrio dalam fase perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu T4 diduga dapat meningkatkan daya hidup larva.

2.3 Hipotesis

Apabila pakan dengan penambahan asam lemak n-6 dan n-3 dengan jumlah dan perbandingan yang tepat dapat meningkatkan kualitas vitelogenin maka kualitas fosfolipid telur meningkat sehingga daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva meningkat.

Apabila pemberian hormon E2 dan T4 pada kondisi asam lemak n-6 dan n-3 yang optimal dapat meningkatkan sintesis dan penyerapan vitelogenin maka kualitas fosfolipid dan T4 telur meningkat sehingga daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva meningkat.


(35)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Percobaan tahap pertama mengkaji keterkaitan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 yang ditambahkan dalam pakan buatan dari sumber alami (minyak ikan dan minyak jagung) dengan kualitas telur dan larva ikan baung. Hasil percobaan tahap pertama ini digunakan sebagai acuan untuk mengkaji berapa banyak penambahan asam lemak n-6 dan n-3 serta perbandingannya dalam pakan buatan sehingga dapat meningkatkan kualitas telur ikan baung. Di samping itu dikaji juga seberapa besar asam lemak tak n-6 dan n-3 yang diserap oleh telur.

Percobaan tahap kedua adalah mengkaji keterkaitan kombinasi hormon E2 dan T4 pada berbagai dosis yang diimplantasi dan menggunakan pakan yang terbaik hasil percobaan tahap pertama dengan kualitas telur dan larva ikan baung. Percobaan tahap kedua ini merupakan percobaan untuk memperoleh dosis yang optimum untuk mempercepat pematangan gonad dan meningkatkan kualitas telur. Fenomena tersebut dapat diindikasikan antara lain pada lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur dan derajat kelangsungan hidup larva.

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Cijeruk, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dimulai sejak Februari 2005 sampai Februari 2006.

3.1 Percobaan Tahap Pertama

Percobaan tahap pertama merupakan percobaan untuk mengetahui dosis penambahan minyak ikan dan minyak jagung sebagai sumber asam lemak tak jenuh (n-6 dan n-3) pada pakan induk ikan baung dalam meningkatkan kualitas telur.

3.1.1 Rancangan Perlakuan

Pada percobaan tahap pertama digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dengan jumlah ulangan sebanyak jumlah induk (7 induk betina).


(36)

Sebagai perlakuan adalah penambahan asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda dalam pakan percobaan (Tabel 4).

3.1.2 Pakan uji

Pakan uji yang digunakan ada empat jenis pakan yang berbeda dalam kadar asam lemak n-6 dan n-3. Pakan dibuat dalam bentuk pelet (Lampiran 3) dengan komposisi pakan berdasarkan komposisi pakan buatan untuk ikan patin dengan kadar protein 37.81 - 38.09% dan rasio energi protein 8,5 - 9,0 kkal DE/g. Asam lemak tak jenuh n-3 ditambahkan dengan pemberian minyak ikan dan n-6 dengan penambahan minyak jagung. Komposisi pakan utama yang digunakan didasarkan pada komposisi pakan dari percobaan Mokoginta et al. (2000) yang digunakan untuk ikan patin.

Selanjutnya pakan tersebut dianalisis proksimat dan kadar asam lemaknya. Komposisi pakan dan proksimat pakan serta asam lemak pakan disajikan pada Tabel 4 dan 5. Pengukuran kadar protein pakan dilakukan dengan menggunakan metode Kjedahl dan pengukuran kadar lemak dilakukan dengan metode Folch et al. (1975) (Takeuchi, 1988). Pengujian kadar asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 pakan dilakukan dengan menggunakan Gas Liquid Chromatography (GLC).

Tabel 4. Komposisi pakan setiap perlakuan

Perlakuan/As. lemak n-6;n-3 (%) Komponen pakan (%)

A(0.87;0.56) B(1.66;0.78) C(2.00;1.00) D(2.23;1.82)

Tepung ikan Tepung kedelai Pollard

Vitamin mixa

Choline chloride

Mineral mixb

Carboxy methyl cellulose Minyak kelapa Minyak jagung Minyak ikan 41.63 18.90 20.45 1.60 0.50 5.87 3.00 8.05 0.00 0.00 41.63 18.90 20.45 1.60 0.50 5.87 3.00 5.05 2.00 1.00 41.63 18.90 20.45 1.60 0.50 5.87 3.00 4.05 2.00 2.00 41.63 18.90 20.45 1.60 0.50 5.87 3.00 2.05 2.00 4.00

a.Per kilogram: Vit. A 200.000 IU; vit D3 1.000.000 IU; Vit E 40.2 IU; vit K3 8 g; vit. C 100 g; vit B1 5 g; vit. B2 5 g; vit B3 5 g; vit B12 0.01 g; Ca pentothenat 11 g; niacin 20 g; biotin 0.06 g; folic acid 1.5 g; choline 230 g. b.Per kilogram: Ca 210 g; P 168 g; Mg 13 g; Na 30 g; S 12 g; Zn 1.25 g; Cu 0.2 g; Mn 0.3 g; Fe 6.7 g; I 0.15 g;


(37)

Tabel 5. Komposisi proksimat dan asam lemak n-6 dan n-3 pakan percobaan (% bobot kering)

Perlakuan/As. lemak n-6;n-3 (%)

A(0.87;0.56) B(1.66;0.78) C(2.00;1.00) D(2.23;1.82)

Komposisi proksimat: Protein Lemak Serat kasar Abu 37.89 14.29 3.47 15.52 38.09 12.29 3.16 15.83 37.94 13.44 4.00 16.05 37.81 14.08 3.80 15.43 Asam lemak:

Σ Al. n-6 Σ Al. n-3

EPA DHA

Rasio Al. n-6/n-3

0.87 0.56 0.15 0.33 2.27 1.66 0.78 0.21 0.46 3.50 2.00 1.00 0.28 0.59 2.88 2.23 1.82 0.52 1.02 1.94

3.1.3 Ikan uji

Induk betina dan jantan ikan baung masing-masing sebanyak 28 ekor yang digunakan dalam percobaan ini diperoleh dari hasil pembesaran di Instalasi Riset Budidaya Air Tawar, Cijeruk selama 1,5 tahun dengan bobot tubuh 290-327g. Induk yang digunakan masih dara atau belum pernah memijah. Ikan uji betina ditebar dengan kepadatan 7 ekor pada setiap jaring (2x2x2m) sedangkan untuk jantan disatukan dalam kolam berukuran 10x5m.

3.1.4 Pemeliharaan Induk dan Penetasan Telur

Induk-induk ikan baung diaklimatisasi terhadap lingkungan percobaan selama 4 minggu. Pakan diberikan secara at satiation dua kali dalam sehari pada pagi dan sore hari. Monitoring dilakukan terhadap kondisi kesehatan dan respon terhadap pakan. Setelah itu pakan percobaan mulai diberikan.


(38)

Wadah pemeliharaan menggunakan jaring apung berukuran 2x2x2m sebanyak 4 buah. Induk-induk diberi pakan uji sesuai dengan perlakuan masing-masing sampai induk matang gonad. Dua minggu sekali jaring dibersihkan bersamaan dengan sampling pengecekan perkembangan gonad. Pengukuran bobot induk dilakukan satu bulan sekali. Air yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari air sungai dengan suhu berkisar antara 23-29°C, oksigen 5.22-6.93 ppm, pH 6.16-6.97 dan NH3 0.060-0.095 ppm. Evaluasi gonad dari ikan uji yang dipilih secara acak dilakukan secara mikroskopis dengan membedah satu ekor induk ikan dari tiap-tiap perlakuan. Evaluasi gonad ini dilakukan pada awal dan akhir percobaan. Gonad diambil dan ditimbang kemudian dilakukan pembuatan preparat histologi (Lampiran 2).

Pengambilan contoh telur dilakukan dengan menggunakan metode kanulasi pada semua induk. Contoh telur diambil minimal 100 butir per ekor kemudian difiksasi dalam larutan Bouin dan formaldehida 4%. Diameter telur diukur dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler dengan pembesaran 40x dan 100x. Induk yang matang gonad ditentukan dengan persentase diameter telur

≥0.9 mm sebanyak 60-70%. Selain itu dilihat juga keadaan perut dari induk, dipilih induk yang perutnya lebih besar dan lembek.

Setelah 98 hari pemeliharaan, pada beberapa perlakuan sudah diperoleh induk matang gonad. Pemijahan dilakukan dengan cara pemijahan buatan yakni dengan menyuntikkan ovaprim pada dosis 0,9 ml/kg induk betina dan 0.5 ml/kg induk jantan. Penyuntikan dilakukan dua kali, penyuntikan pertama ¼ bagian dan penyuntikan kedua ¾ bagian yang dilakukan setelah 6-7 jam dari suntikan pertama. 12-14 jam setelah penyuntikan kedua, induk siap untuk dipijahkan. Untuk induk jantan penyuntikan dilakukan sekali. Setelah induk betina menunjukkan tanda-tanda akan ovulasi, sperma terlebih dahulu disiapkan dengan mengurut bagian perut induk jantan dan sperma yang keluar ditampung dalam spuit kemudian diencerkan dengan larutan fisiologis dan disimpan pada suhu 10°C. Telur dikeluarkan dengan cara pengurutan bagian perut, selanjutnya dilakukan pembuahan buatan.

Telur hasil ovulasi induk betina ditetaskan dalam akuarium kaca masing-masing berukuran 15x15x15cm dilengkapi dengan pipa-pipa aerasi. Air diberi biru


(39)

metilen dengan dosis 0,05 cc/l untuk mencegah timbulnya jamur. Telur hasil ovulasi dari satu induk diambil sebanyak 100-150 butir diletakkan pada lempengan kaca 10x10cm dan ditempatkan pada satu akuarium. Suhu penetasan berkisar antara 28 – 29 °C dan telur menetas setelah 22 – 24 jam.

Akuarium tempat penetasan telur juga digunakan untuk pemeliharaan larva. Larva yang baru menetas diambil sebanyak 100 ekor kemudian dipelihara selama 2 hari (48 jam) lalu dihitung jumlah larva yang hidup. Data ini digunakan untuk memperoleh derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari.

Pengukuran kadar asam lemak pakan dilakukan di awal percobaan, sementara pengukuran kadar asam lemak hati dilakukan di akhir percobaan. Setelah telur diovulasikan dihitung fekunditasnya dengan menggunakan metode sampling berat. Kurang lebih 20% dari seluruh telur yang diovulasikan dari setiap induk betina yang tidak dibuahi dan dibuahi dianalisis kadar asam lemaknya dengan metode Gas Liquid Chromatografi (GLC). Fosfolipid (FL) dan lipid netral (NL) dengan metode yang digunakan oleh Takeuchi (1988). Sisa telur yang dibuahi dipindahkan ke akuarium untuk ditetaskan dan dilakukan pengamatan perkembangan larva. Dari sejumlah larva yang dihasilkan dipisahkan larva yang normal dan yang abnormal dan dihitung jumlahnya untuk memperoleh nilai persentase larva abnormal. Sebanyak 1000 ekor larva yang baru ditetaskan umur 0 jam dan 500 ekor larva umur 24 jam diambil untuk analisis kadar asam lemaknya.

3.1.5 Analisis Data

Peubah yang diamati untuk perkembangan kematangan gonad dan respon ovulasi adalah:

1. Diameter telur : seratus butir telur diukur diameternya dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler dengan pembesaran 40 dan 100 kali kemudian dibuat sebaran diameter telur.

2. Perkembangan gonad : perkembangan gonad diamati dengan membuat preparat histologis ovarium dari setiap perlakuan sebanyak satu ekor dan diambil di awal dan akhir penelitian.


(40)

3. Fekunditas : fekunditas atau jumlah total telur ditentukan dengan mengukur bobot keseluruhan telur hasil ovulasi tiap induk kemudian diambil 1 g sebanyak tiga kali dan dihitung jumlah telur dalam 1g telur dan dirata-ratakan kemudian dikalikan dengan bobot keseluruhan telur lalu dibagi dengan bobot tubuh induk.

4. Derajat tetas telur

Derajat tetas telur = ×100

F n

dengan n = Jumlah telur yang menetas F = Jumlah total telur yang ditetaskan

5. Lama Waktu Matang

Lama waktu matang = TNKT 60 – 80 % - T0

TNKT 60 – 80 % = waktu saat mencapai nilai kematangan telur = 60 – 80

% (diameter telur ≥0.9 mm); T0 = waktu pengamatan TKG awal

6. Gonad somatik indeks (GSI)

Bobot ovarium

GSI = x 100

Bobot tubuh

7. Hepatosomatik Indeks (HSI)

Bobot hati

HSI = x 100

Bobot tubuh

Data lama waktu matang, fekunditas, diameter telur, derajat tetas telur, derajat kelangsungan hidup larva, dan persentase larva abnormal yang diperoleh dianalisis dengan uji F. Jika terdapat perbedaan antara perlakuan maka dilakukan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1981). Data kadar asam lemak n-6 dan n-3 (hati, telur dan larva), kadar FL dan NL, GSI dan HSI dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.


(41)

3.2 PercobaanTahap Kedua

Percobaan tahap kedua merupakan percobaan lanjutan. Pakan terbaik yang diperoleh pada percobaan tahap pertama digunakan pada tahap kedua; dan percobaan tahap kedua ini bertujuan untuk mengetahui dosis kombinasi hormon E2 dan T4 yang optimal dalam meningkatkan kualitas telur.

3.2.1 Rancangan Perlakuan

Metode yang digunakan dalam percobaan tahap kedua adalah model eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Percobaan tahap kedua terdiri atas 5 perlakuan dan 3 ulangan. Kelima perlakuan dibedakan atas dosis kombinasi hormon E2 dan T4 yang diimplant. Perlakuan dosis kombinasi hormon tersebut adalah :

Perlakuan A : 0 µg E2 + 0 mg T4 per kg induk (kontrol/pelet kolesterol)

Perlakuan B : 600 µg E2 + 0 mg T4per kg induk

Perlakuan C : 400 µg E2 + 10 mg T4 per kg induk

Perlakuan D : 200 µg E2 + 50 mg T4 per kg induk

Perlakuan E : 0 µg E2 + 100 mg T4 per kg induk

3.2.2 Pakan uji

Pakan uji yang digunakan adalah pakan terbaik yang diperoleh pada percobaan tahap pertama yakni pakan perlakuan B (n-6 1.56%; n-3 0.78%).

3.2.3 Ikan uji

Induk betina dan jantan ikan baung sebanyak masing-masing 35 ekor digunakan dalam percobaan tahap kedua. Induk diperoleh dari hasil pembesaran di Instalasi Riset Budidaya Air Tawar Cijeruk selama 2 tahun dengan bobot tubuh 393-433g. Induk yang digunakan masih dara atau belum pernah dipijahkan. Ikan uji ditebar dengan kepadatan 7 ekor per jaring.


(42)

3.2.4 Implantasi hormon

Hormon yang digunakan adalah E2 dan T4 buatan Sigma Chemical Company,

USA; dan bubuk kolesterol (5-cholesten-3β-ol) buatan Argent Laboratories Inc,

cocoa butter, alcohol 50%, 2-phenoxyethanol dan betadin (Lampiran 3).

3.2.5 Pemeliharaan Induk dan Penetasan Telur

Induk ikan baung sebanyak 35 ekor betina dan 35 ekor jantan diaklimatisasi selama 4 minggu. Selama periode aklimatisasi ikan diberi pakan terbaik yang

diperoleh pada percobaan tahap pertama. Pakan diberikan secara at satiation dua kali

dalam sehari pada pagi dan sore hari. Pemantauan dilakukan terhadap kondisi kesehatan dan respon terhadap pakan.

Wadah pemeliharaan menggunakan jaring apung berukuran 2x2x2m sebanyak 5 buah. Induk diberi pakan yang terbaik dari percobaan tahap pertama. Pakan diberikan sampai induk-induk matang gonad. Induk yang matang gonad mulai diperoleh pada hari ke-28 pemeliharaan.

Dua minggu sekali jaring dibersihkan bersamaan dengan sampling pengecekan perkembangan gonad dan pengambilan sampel darah. Pengukuran bobot insuk dilakukan satu bulan sekali. Air yang digunakan dalam percobaan tahap kedua ini sama dengan yang digunakan pada percobaan tahap pertama. Namun suhu air pada percobaan tahap kedua relatif lebih rendah 21-27°C, oksigen 5.14-6.60 ppm, pH

6.90-7 dan NH3 0.060-0.070 ppm. Evaluasi gonad dari ikan uji yang dipilih secara acak

kemudian dilakukan secara mikroskopis dengan membedah satu ekor induk ikan dari tiap-tiap perlakuan. Evaluasi gonad ini dilakukan pada awal dan akhir percobaan. Gonad diambil dan ditimbang, kemudian dibuat preparat histologinya (Lampiran 2).

Penyuntikan hormon dilakukan dengan menggunakan alat khusus yang disebut “implanter”. Caranya dengan menusuk bagian punggung kanan ikan dengan pisau kecil. Setelah itu alat implant yang berisi hormon ditusukkan ke punggung, dan hormon disuntikkan ke dalam tubuh ikan.


(1)

Selain kadar asam lemak n-6 dan n-3, juga rasio dari asam lemak n-6 dan n-3

cukup berperan. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 tertinggi pada perlakuan B

menghasilkan fekunditas dan derajat tetas telur tertinggi. Percobaan untuk melihat

pengaruh rasio dari asam lemak n-6 dan n-3 terhadap kualitas telur pada induk ikan

lele lokal dilakukan oleh Mokoginta

et al.

(1998) yang mendapatkan bahwa hasil

perbedaan rasio asam lemak n-6 dan n-3 dalam pakan induk dapat mempengaruhi

komposisi asam lemak telur serta kualitas telur induk tersebut. Dengan demikian

dapat dikatakan perbandingan asam lemak n-6 dan n-3 yang tepat akan dapat

meningkatkan kualitas telur.

Secara umum terlihat bahwa pada percobaan pertama ini induk-induk pada

seluruh perlakuan menghasilkan lama waktu matang dan diameter telur yang sama.

Kesamaan

hasil yang diperoleh disebabkan induk-induk yang digunakan masih muda

dengan selisih ukuran dari tiap induk yang kecil dan juga pertama kali dipijahkan

sehingga ukuran telur yang dihasilkan relatif sama. Tang dan Affandi (2000),

menyatakan bahwa telur yang dihasilkan oleh induk ikan sangat dipengaruhi oleh

umur, ukuran dan pemijahan awal. Disamping itu perkembangan gonad sangat

dipengaruhi oleh ketersediaan protein dan energi serta nutrien pakan yang lain.

Dalam penelitian ini pakan yang diberikan mengandung protein dan energi yang sama

serta terpenuhinya asam lemak esensial untuk memproduksi telur. Menurut Kamler

(1992), protein merupakan komponen dominan dalam kuning telur; sedangkan

jumlah dan komposisi kuning telur akan menentukan besar kecilnya ukuran telur.

Di alam ikan baung memijah pada musim penghujan bulan Desember sampai

bulan Februari (Mulflikhah

et al.,

1998). Berdasarkan hasil histologi (Gambar 2)

diperoleh diameter telur yang heterogen; dan dari pengamatan jika telur-telur yang

berukuran

≥ 0.9 mm dengan sebaran 60-70% tidak diovulasikan maka telur-telur

tersebut akan mengalami atresia. Induk-induk ikan baung akan siap dipijahkan lagi

dalam waktu 4 sampai 6 minggu kemudian, jadi dapat dikatakan bahwa induk ikan

baung dalam wadah budidaya dengan pemberian pakan yang optimal dapat memijah

sepanjang tahun.


(2)

Dari hasil analisis FL dan NL pada induk-induk perlakuan B yang

menghasilkan derajat tetas telur tertinggi mengandung NL dan rasio NL dan FL yang

lebih tinggi dari perlakuan lainnya. NL (lipid nonpolar) merupakan sumber energi

utama bagi perkembangan embrio dan larva sehingga jika dalam telur kekurangan

sumber energi maka asam lemak esensial akan digunakan untuk energi. Mokoginta

et

al.

(1995) mencatat bahwa bahwa rasio lipid nonpolar dan lipid polar pada ikan lele

lokal (

Clarias batrachus

) semakin meningkat sejak awal embriogenesis yang

menunjukkan bahwa lipid nonpolar berperan penting sebagai sumber energi dan

semakin tinggi rasio NL dan FL menunjukkan ikan tersebut defisiensi akan asam

lemak esensial. Tidak terlalu banyak berkurangnya kadar asam lemak n-6 dan n-3

pada larva yang baru menetas, maka kadar asam lemak n-6 dan n-3 akan menjadi

cadangan untuk proses perkembangan larva selanjutnya sampai habis kuning telur.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ikan baung sebagai ikan air tawar

membutuhkan asam lemak n-6 1.66% dan asam lemak n-3 0.78% dalam pakannya

untuk menghasilkan kualitas telur yang tinggi. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 dalam

pakan 3.50 dapat menghasilkan kualitas telur terbaik.

4.2 Percobaan Tahap II

Ada tiga aspek utama yang dilakukan pada percobaan tahap kedua ini, yaitu

respon fisiologis, respon perkembangan ovarium dan respon kualitas larva yang

dihasilkan terhadap implantasi hormon E2 dan T4. Respon fisiologis dilihat dari

profil hormon E2 plasma; respon perkembangan ovarium dilihat dari tiga variabel

utama yaitu sebaran diameter telur, GSI dan HSI; respon kuantitas dan kualitas telur

serta larva dilihat dari fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsungan hidup larva

umur 2 hari, dan persentase larva abnormal.

4.2.1 Kadar Estradiol-17

β

dalam Plasma Darah

Kadar hormon E2 plasma darah ikan baung selama percobaan dapat dilihat

pada Gambar

4 dan Lampiran 22. Konsentrasi hormon E2 plasma pada awal

percobaan dari semua perlakuan sedikit bervariasi walaupun ukuran ikan relatif sama.


(3)

Konsentrasi hormon E2 plasma pada induk ikan yang diberi perlakuan mengalami

perubahan yang sangat berarti. Konsentrasi tertinggi terjadi pada hari ke-14 setelah

pemberian implant hormon. Dosis hormon E2 yang berbeda berpengaruh pada kadar

E2 plasma pada pengamatan hari ke-14 (P<0.05; Lampiran 23). Perlakuan B lebih

tinggi dari C dan D; C dan D lebih tinggi dari A dan E.

Konsentrasi hormon E2 plasma antar waktu sampling menunjukkan perbedaan

yang sangat nyata (P<0.01; Lampiran 24). Konsentrasi hormon E2 pada hari ke 0 dan

14 berbeda nyata dari hari sampling lainnya. Kadar hormon E2 setelah hari ke 14

pada perlakuan B, C dan D mulai mengalami penurunan sampai pengamatan hari ke

84, sedangkan perlakuan A dan E sudah mengalami penurunan sejak awal

pengamatan. Kecuali perlakuan C, kadar E2 semua perlakuan mengalami

peningkatan kembali pada pengamatan hari ke 98.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

0 14 28 42 56 70 84 98 112

W AKTU PENGAMATAN (hari ke-)

E S T R A D IO L P L A S M A ( n g /m l) A=KONTROL B=E600T0 C=E400TI0 D=E200T50 E=E0T100

Gambar 4. Kadar E2 plasma darah induk ikan baung (

Hemibagrus nemurus

Blkr)

pada percobaan tahap II

Dari hasil pengamatan ini juga terlihat bahwa dosis E2 (200 - 600µ g/kg bobot

induk) dapat meningkatkan kadar E2 dalam plasma darah sampai pada pengamatan


(4)

hari ke 14. Setelah itu implantasi hormon estradiol tidak berpengaruh lagi pada kadar

E2 plasma . Pengaruh dosis E2 terhadap kadar E2 plasma pada hari ke 14

menunjukkan kecenderungan respon linier (Lampiran 25 dan Gambar 5) yang berarti

kadar E2 plasma meningkat Y=5.92+0.004X, R

2

=0.84, dengan meningkatnya dosis

E2 yang diimplan.

Dosis Estradiol 700 600 500 400 300 200 100 0 E s tr a d io l p la s m a ( n g /m l) 9.0 8.5 8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0

Gambar 5. Hubungan dosis E2 yang diimplantasi dengan kadar E2 plasma darah

induk ikan baung (

Hemibagrus nemurus

Blkr) pada percobaan tahap II

4.2.2 Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Hati, Telur dan Larva

Komposisi kadar asam lemak hati, telur dan larva ikan baung disajikan pada

Tabel 10

dan Lampiran 9, 10 dan 11. Kadar asam lemak hati, telur dan larva,

dipengaruhi oleh implantasi hormon E2 dan T4.

Tabel 10

juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar asam lemak jenuh

pada hati dengan adanya implantasi hormon. Dosis implantasi T4 yang tinggi tanpa

E2 menyebabkan kadar asam lemak jenuh pada hati tinggi. Kadar asam lemak

monoenoat rendah pada induk yang diimplantasi dengan E2 dan T4 pada dosis

tertinggi. Sebaliknya kadar asam lemak n-6 dan n-3 tinggi.

Kadar asam lemak pada telur naik sejalan dengan naiknya dosis implantasi

hormon E2. Implantasi E2 600 µg/kg bobot induk tanpa T4 menghasilkan telur


(5)

dengan kadar lemak total, asam lemak monoenoat, asam lemak n-6 dan n-3 lebih

tinggi dibandingkan perlakuan yang diberi kombinasi E2 dan T4 ataupun T4 saja.

Rasio asam lemak n-6 dan n-3 pada telur dari semua perlakuan mengalami

peningkatan dibandingkan dengan rasio n-6 dan n-3 pada hati.

Kadar lemak, asam lemak jenuh, dan asam lemak n-6 dan asam lemak n-3

mengalami penurunan selama embriogenesis (dari telur ke larva yang baru menetas)

dan dari larva yang baru menetas ke larva berumur 2 hari. Pola ini sama dengan pola

pada percobaan tahap I. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 relatif sama atau hanya sedikit

peningkatannya.

Penurunan tertinggi dari semua kadar asam lemak dari larva yang baru menetas

ke larva umur 2 hari terjadi pada perlakuan D. Pada perlakuan D juga kadar lemak

pada larva umur 2 hari berkurang sebanyak 42% dari kadar lemak pada saat baru

menetas.

4.2.3 Fosfolipid dan Lipid Netral

Tabel 11 menyajikan kadar FL dan NL pada telur. Kadar FL tertinggi pada

perlakuan A dan B. Kadar FL telur cenderung menurun dengan menurunnya dosis

implantasi E2 dan naiknya dosis T4. Sebaliknya kadar NL dan rasio NL terhadap FL

meningkat, yang tertinggi pada perlakuan E (T4 100 mg/kg bobot induk).

4.2.4 Bobot Tubuh, Diameter Telur, Gonadosomatik Indeks dan Hepatosomatik

Indeks

Bobot induk, diameter telur, gonadosomatik indeks dan hepatosomatik indeks

disajikan pada Tabel 12. Pengaruh implantasi dosis E2 dan T4 terhadap rata-rata

diameter telur matang tidak berbeda nyata (P>0.05; Lampiran 27). Ukuran diameter

telur dari induk yang diimplantasi dengan E2 dan T4 relatif seragam.

Diameter telur antara waktu sampling menghasilkan perbedaan yang sangat

nyata (P<0.01; Lampiran 28). Perbedaan waktu pengamatan memperlihatkan bahwa

diameter telur terbagi atas tiga kelompok yakni pertama, diameter telur pada

pengamatan awal (0 hari) berbeda dengan diameter telur yang diperoleh pada waktu

berikutnya; Kedua, waktu pengamatan pada hari ke 14 memperlihatkan diameter telur


(6)

relatif sama antar perlakuan sampai pada pengamatan hari ke 98; dan ketiga, waktu

pengamatan mulai hari ke 28 menghasilkan ukuran diameter telur yang relatif sama

antar perlakuan sampai pada hari akhir pengamatan. Untuk lebih jelasnya

perkembangan diameter telur pada tiap waktu pengamatan dapat di lihat pada Gambar

6 dan Lampiran 29.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kadar Asam Lemak n-3 Berbeda pada Kadar Asam Lemak n-6 Tetap dalam Pakan terhadap Komposisi Asam Lemak Tubuh, Metamorfosis dan Pertumbuhan Kecebong Katak Lembu (Rana catesbeiana Shaw)

0 8 81

Kajian penampilan reproduksi ikan lele (Clarias gariepinus) betina melalui penambahan ascorbyl phosphate magnesium sebagai sumber vitamin C dan implantasi dengan estradiol 17β

1 10 129

Pengaruh Pemberian Dosis Vitamin E Berbeda pada Kadar Asam Lemak N-3 dan N-6 Tetap (1:3)dalam Pakan Terhadap Penampilan Reproduksi Ikan Zebra (Brachydanio Rerio) Prasalin

0 7 61

Kombinasi Asam Lemak n-3/n-6 (1:3) dan Vitamin E (a- Tokoferol) pada Pakan Induk terhadap Penampilan Reproduksi Induk Betina Ikan Zebra (Brachydanio rerio)

1 15 67

Penampilan reproduksi induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) dengan pemberian pakan buatan yang ditambahkan asam lemak n-6 dan n-3 dan dengan implantasi estradiol-17β dan tiroksin

2 14 70

Pengaruh Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Pakan yang Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Ikan Batak (Labeobarbus soro)

0 14 97

Kajian penampilan reproduksi ikan lele (Clarias gariepinus) betina melalui penambahan ascorbyl phosphate magnesium sebagai sumber vitamin C dan implantasi dengan estradiol-17β

2 13 259

Kebutuhan Asam Lemak N-6 Dan N-3 Dalam Pakan Terhadap Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr.)

0 6 9

Pengaruh Kadar Asam Lemak n 6 dan n 3 Pakan yang Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Ikan Batak (Labeobarbus soro)

0 3 43

HORMON TESTOSTERON DAN ESTRADIOL 17β DALAM PLASMA DARAH INDUK BETINA IKAN BAUNG (Mystus nemurus) TESTOSTERON AND 17β - ESTRADIOL HORMONE CONCENTRATION IN BLOOD PLASMA BAUNG CATFISH (Mystus nemurus) FEMALE BROODSTOCK

0 0 8