9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Auditor Switching
Auditor switching merupakan perpindahan auditor yang dilakukan oleh perusahaan karena adanya kewajiban rotasi auditor. Auditor
switchingdimaksudkan untuk menjaga independensi auditor agar tetap obyektif dalam mengaudit laporan keuangan klien. Ketentuan mengenai auditor
switchingtelah diatur dalam regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 359PMK.062003 pasal 6 dan
kemudian diperbaharui pada tahun 2008 dengan KMK No. 17PMK.012008.
Ketika klien mencari auditor yang baru, maka pada saat itu informasi yang dimiliki oleh klien lebih besar dibandingkan dengan informasi yang dimiliki
auditor karena klien pasti memilih auditor yang kemungkinan besar akan lebih mudah untuk sepakat tentang praktek akuntansi mereka. Sementara itu, auditor
kemungkinan tidak memiliki informasi yang lengkap tentang kliennya. Jika auditor bersedia menerima klien baru, maka hal ini dapat disebabkan karena
auditor telah mengetahui informasi tentang klien baru tersebut atau auditor menerima klien baru untuk alasan lain, seperti keuangan. Maka jelas bahwa dalam
pergantian auditor seperti hal tersebut disebut voluntary auditor switching pergantian auditor secara sukarela, perhatian pada alasan mengapa klien
menganti auditor, dan mengapa auditor bersedia menerima klien baru.
10 Perusahaan juga melakukan voluntary auditor switching pada saat industri
yang sama sedang bersaing dalam mempekerjakan auditor yang mempunyai reputasi tinggi, hal itu dilakukan untuk menaikkan nilai perusahaan di mata
pengguna laporan keuangan. Menurut General Accounting Office GAO, 2003 dalam Azmi 2014 “menyatakan bahwa untuk memberi manfaat pada cara
pandang baru fresh look, perusahaan menunjuk KAP baru untuk melakukan jasa audit atas laporan keuangan mereka”. Maka, sangat jelas voluntary auditor
switching layak untuk dinalisa karena mengapa perusahaan mengganti auditornya di saat masa audit yang ditentukan pemerintah belum habis.
2.1.2 Financial Distress
Penelitian yang dilakukan oleh Hofer 1980 dan Whitaker 1999 dalam Wijayanti 2010 mendefinisikan “financial distress sebagai suatu kondisi
perusahaan mengalami laba bersih net income negatif selama beberapa tahun. Kerugian utama perusahaan yang mempunyai tingkat hutang yang lebih tinggi
adalah peningkatan resiko kesulitan keuangan, dan akhirnya likuidasi”. Hal ini mungkin mempunyai pengaruh merugikan bagi pemilik ekuitas dan hutang
menurut Net, el Africa, 2002 dalam Zulen 2013 akibat kesulitan keuangan sebagai berikut:
1. Resiko biaya kesulitan keuangan mempunyai dampak negatif terhadap nilai
perusahaan yang mengoffset nilai pembebasan pajak trax relief atas peningkatan level hutang.
2. Jika pun manajer perusahaan menghindarkan likuidasi ketika kesulitan,
hubungannya dengan suplier, pelanggan, pekerja, dan kreditor menjadi rusak parah.
11 3.
Suplier penyedia barang dan jasa secara kredit mungkin lebih berhati-hati atau bahkan menghentikan pasokan sama sekali, jika mereka yakin tidak ada
kesempatan peningkatan perusahaan dalam beberapa bulan. 4.
Pelanggan mungkin mengembangkan hubungan dengan suplier mereka, dan merencanakan sendiri produksi mereka dengan andaian ada keberlanjutan
dari hubungan tersebut. Adanya keraguan tentang longevity perusahaan tidak menjamin kontrak yang baik. Pelanggan umumnya menginginkan
jaminan bahwa perusahaan cukup stabil untuk menepati janji.
2.1.3 Pergantian Manajemen