Infestasi Kutu Pada Kerbau Albino (Bubalus Bubalis) Di Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

INFESTASI KUTU PADA KERBAU ALBINO (Bubalus bubalis)
DI DESA SUKAMAJU KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR

FIRNA KRISTIN N K

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infestasi Kutu pada
Kerbau Albino (Bubalus bubalis) di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014
Firna Kristin N K
NIM B04090176

ABSTRAK
FIRNA KRISTIN N K. Infestasi Kutu pada Kerbau Albino (Bubalus bubalis) di
Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SUSI
SOVIANA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis dan mengukur
derajat infestasi kutu serta pengaruh berkubang terhadap infestasi kutu pada
kerbau albino di peternakan kerbau Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Koleksi kutu menggunakan metode pengambilan
secara manual dan pengukuran derajat infestasi kutu berdasarkan jumlah kutu
pada beberapa regio tubuh kerbau yang dilakukan sebelum dan sesudah
berkubang. Kutu yang dikoleksi dipreservasi ke dalam preparat kaca untuk proses
identifikasi. Total kerbau albino yang diteliti sebanyak 10 ekor dengan pembagian
8 regio tubuh yang terdiri atas regio I (kepala), II (leher), III (dada), IV (abdomen
1), V (abdomen 2), VI (punggung), VII (ekor), dan VIII (kaki). Jenis kutu yang
diperoleh hanya satu jenis yaitu Haematopinus tuberculatus (Phthiraptera:
Haematopinidae). Infestasi kutu sebelum berkubang terdapat pada regio VIII

(kaki) sebesar 21.89%. Penurunan infestasi kutu tertinggi akibat aktivitas
berkubang terdapat pada regio VI (punggung) sebesar 8.34%. Hasil analisis
Wilcoxon menunjukkan penurunan derajat infestasi kutu yang signifikan sebelum
dan sesudah berkubang.
Kata kunci: kutu, derajat infestasi, kerbau albino, peternakan kerbau, berkubang.

ABSTRACT
FIRNA KRISTIN N K. Lice Infestation on Albino Buffalo (Bubalus bubalis)in
Sukamaju Village, Ciampea, Bogor, West Java. Supervised by SUSI SOVIANA.
This study is aimed to determine the diversity of lice species, measure the
degree of lice infestation and the influence of buffalo wallowing toward the lice
infestation in albino buffalos at a buffalo farm in Sukamaju Village, Ciampea,
Bogor, West Java. Collected lice using manual retrieval methods and measuring
the degree of lice infestation based on the number of lice on multiple body regions
buffalo were performed before and after wallowing. Collected lice preserved into
glass preparation for identification process. Total albino buffalo that used in this
study were 10 animal with 8 body regional division consisting of region I (head),
II (neck), III (chest), IV (abdominal 1), V (abdominal 2), VI (back), VII (tail), and
VIII (feet). Only one species obtained which was H. tuberculatus (Phthiraptera:
Haematopinidae). Lice infestation in the region VIII (feet), which is 21.89%

obtained prior to wallow. Decreased of lice infestations was highest cause to
wallow activity in the region VI (back) of 8.34%. The results of Wilcoxon analysis
showed decrease in the degree of lice infestation significantly before and after
wallowing.
Keywords: Albino buffalo, buffalo farm, degree infestation, lice, wallow.

INFESTASI KUTU PADA KERBAU ALBINO (Bubalus bubalis)
DI DESA SUKAMAJU KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR

FIRNA KRISTIN N K

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 hingga Januari
2014 ini ialah Infestasi Kutu pada Kerbau Albino (Bubalus bubalis) di Desa
Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh
Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi saran
dan nasihat selama proses penulisan skripsi. Penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Dr Drh Sri Murtini, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama perkuliahan. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada orang tua tercinta Bapak Ofir dan Ibu Ratna atas segala doa,
kasih sayang, dan nasihat serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Geochelone (46),
Rumah putih, dan teman-teman yang telah mendukung dan membantu dalam
proses akademik. Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari
kekurangan, untuk itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran

yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Firna Kristin N K

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

Error! Bookmark not defined.1

Latar Belakang


Error! Bookmark not defined.1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kerbau

2

Ragam Jenis dan Biologi Kutu Kerbau


3

Masalah Infestasi Kutu terhadap Kesehatan Kerbau

6

METODE

6

Waktu dan Tempat

6

Metode Penelitian

6

Analisis Data


7

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Kondisi Peternakan

8

Ragam Jenis Kutu pada Kerbau

9

Derajat Infestasi dan Sebaran Kutu

10

Pengaruh Berkubang terhadap Infestasi Kutu


12

Infestasi Kutu terhadap Kesehatan Kerbau

13

SIMPULAN DAN SARAN

14

Simpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA


14

LAMPIRAN

17

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1 Derajat infestasi (%) dan sebaran kutu pada tiap regio sebelum
berkubang
2 Derajat infestasi (%) dan sebaran kutu pada tiap regio sesudah
berkubang
3 Jumlah total dan penurunan jumlah kutu sebelum dan sesudah
berkubang kerbau

11

12
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Morfologi kutu Anoplura (Ignoffo 1959 dalam Mullen et al.)
Siklus hidup kutu (Remedylice 2014)
Pembagian regio
Bangunan kandang kerbau, kondisi bagian dalam kandang, bagian luar
peternakan, aktivitas berkubang kerbau
5 Ciri morfologi umum H. tuberculatus, rambut pada paratergal, sternal
plate, H. tuberculatus betina, H. tuberculatus jantan
6 Persentase rata-rata derajat infestasi kutu tiap regio sebelum berkubang
7 Lesio pada kerbau

5
5
7
8
10
11
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil data penelitian kerbau albino di peternakan di Desa Sukamaju
Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor

17

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerbau merupakan satu diantara ruminansia besar penghasil bahan makanan
berupa daging dan susu yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan arti penting
dalam kehidupan masyarakat. Prospek peternakan kerbau di Indonesia sangat
terbuka dalam waktu yang lama. Permintaan akan kebutuhan daging dan susu di
Indonesia mengalami peningkatan seiring meningkatnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan meningkatnya
daya beli masyarakat. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian (2013) bahwa tingkat konsumsi daging di Indonesia pada tahun 2012
sebesar 7.05 kg/kapita/tahun dan tingkat konsumsi susu sebesar 11.01
kg/kapita/tahun.
Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging nasional yaitu dengan
meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas ternak ruminansia di
antaranya kerbau. Keberadaan parasit di sekitar lingkungan peternakan
memberikan pengaruh terhadap produktivitas dan kesehatan ternak. Kutu
merupakan satu diantara beberapa ektoparasit pengisap darah. Menurut Hadi
(2011) infestasi kutu pada kerbau dapat mengganggu kenyamanan sehingga
menurunkan nafsu makan, status gizi dan hasil produksi ternak.
Permasalahan lain akibat infestasi kutu pada kerbau dapat menimbulkan
beberapa gejala klinis. Menurut Walker (2007) akibat langsung gejala klinis pada
kerbau yang ditimbulkan oleh kutu adalah iritasi, alopesia, dan anemia. Akibat
tidak langsung yang ditimbulkan antara lain ketidaknyamanan, kegatalan,
menurunnya aktivitas merumput (Weeks et al. 1995). Selain itu, penurunan bobot
badan dan produksi susu dapat mencapai 15-25% per hewan/tahun (Solusby 1982;
Otteret et al. 2003 dalam Kakar and Kakarsulemankhel 2009). Permasalahan
infestasi kutu baik akibat secara langsung maupun tidak langsung dapat
menurunkan kondisi imun sehingga menjadi rentan terhadap penyakit lain.
Beragamnya permasalahan infestasi kutu pada kerbau di lingkungan
peternakan menuntut peternak untuk melakukan program pengendalian. Program
pengendalian perlu dilakukan untuk menurunkan, menekan, serta mengendalikan
perkembangbiakan kutu. Informasi tentang ektoparasit pada kerbau jumlahnya
sangat sedikit. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui keragaman jenis, sebaran kutu pada kerbau dan pengaruh berkubang
terhadap infestasi kutu pada kerbau.
Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan di peternakan kerbau ini bertujuan untuk
mengetahui keragaman jenis kutu pada kerbau, mengukur derajat infestasi dan
sebaran kutu, serta mengetahui pengaruh berkubang terhadap infestasi kutu pada
kerbau di peternakan kerbau Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat.

2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dasar tentang
infestasi kutu pada kerbau di Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor. Jawa Barat. Selain itu, dapat meningkatkan kewaspadaan peternak dan
menentukan pengendalian yang tepat dalam menurunkan infestasi kutu pada
kerbau.

TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau
Kerbau adalah ruminansia dari sub famili Bovinae yang berkembang di
banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi
atau Water Buffalo yang terdapat saat ini berasal dari spesies Bubalus arnee.
Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah Bubalus mindorensis, Bubalus
depressicornis dan Bubalus caffer (Hasinah dan Handiwirawan 2006).
Berbagai keragaman jenis kerbau banyak ditemukan di seluruh dunia.
Menurut The Water Buffalo Co-operative (2007), terdapat dua spesies kerbau
yaitu kerbau liar Afrika atau African Buffalo (Syncerus) dan Asian Buffalo
(Bubalus). Kerbau Asia terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau
domestik. Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri atas dua tipe yaitu kerbau
rawa dan kerbau sungai. Kerbau rawa adalah kerbau tipe pedaging sedangkan
kerbau sungai merupakan kerbau tipe perah.
Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Arthiodactyla
Famili
: Bovidae
Genus
: Bos
Spesies
: Bubalus bubalis
Kerbau sungai (riverine buffalo) memiliki kebiasaan berkubang pada air
jernih. Kerbau sungai merupakan salah satu ternak penghasil susu. Bahri dan
Talib (2007) melaporkan sebanyak 16.5% susu yang dikonsumsi masyarakat
dunia berasal dari susu kerbau. Populasi kerbau sungai banyak terdapat di India,
Pakistan, Mesir, dan daerah Mediterania (Fahimuddin 1975).
Kerbau rawa (swamp buffalo) atau dengan nama latin bubalus bubalis
carabanesis pada umumnya banyak ditemukan di daerah Asia Tenggara. Menurut
Fahimuddin (1975) ciri-ciri kerbau rawa adalah berwarna keabu-abuan, leher
terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke belakang, badan pendek dan
besar serta memiliki performa tubuh yang berat dan berisi. Selain itu, bagian
wajah memiliki dahi datar, pendek, moncong lebar dan terdapat bercak putih di
sekitar mata (Mason 1974). Kerbau rawa memiliki kebiasaan berkubang pada

3
lumpur. Kerbau rawa merupakan salah satu hewan ternak penghasil daging dan
sebagai hewan kerja.
FAO (2010) melaporkan populasi kerbau di dunia mencapai 190 juta ekor
serta meningkat hampir 1.3% per tahun (Borghese 2005). Populasi kerbau di
Indonesia sekitar 3.0 juta ekor dan populasinya terus menurun sampai tahun 2005.
Kerbau di Indonesia paling banyak adalah tipe kerbau rawa atau lumpur dan
hanya beberapa ratus ekor kerbau tipe sungai yang terdapat di Sumatera Utara
(Situmorang 2005). Ternak kerbau merupakan ternak semi akuatik sehingga
Indonesia menjadi habitat yang tepat untuk ternak kerbau karena 40% dari
wilayah Indonesia beriklim tropis basah.
Populasi kerbau di Kabupaten Bogor pada tahun 2007 sebanyak 16 662
ekor yang tersebar di hampir seluruh kecamatan kecuali Gunung Putri. Populasi
kerbau tertinggi terdapat di Kecamatan Sukajaya sebanyak 2 566 ekor dan jumlah
terendah terdapat di Kecamatan Cibinong sebanyak 9 ekor. Populasi kerbau tahun
2007 di Kecamatan Ciampea sebanyak 307 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bogor 2008). Daerah Bogor pada umumnya memiliki kerbau yang
berasal dari Lebak Banten dan peternakan lokal di daerah Bogor (Dinas
Peternakan Kabupaten Bogor 2007 dalam Robbani et al. 2010).
Kerbau merupakan ternak yang memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan ternak lainnya. Kerbau dapat bertahan hidup di daerah yang minim
pakan. Kerbau juga dapat berkembang biak dalam rentang agroekosistem yang
luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering. (Diwyanto dan
Handiwirawan 2006). Selain itu, kerbau memiliki kebiasaan yaitu berkubang.
Siang hari kerbau menghabiskan waktunya dengan berkubang, sehingga kerbau
tidak mudah terserang kutu atau ektoparasit lainnya.
FAO (2000) melaporkan di beberapa negara kerbau dikembangbiakkan
terutama untuk produksi susu dan bahan baku produk olahan susu karena kadar
lemak susu kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi. Negara Italia memproduksi
keju yang terbuat dari susu kerbau yang berkualitas tinggi. Kerbau juga memiliki
peran penting dalam bidang ekonomi khususnya di beberapa negara seperti
Brazil, India, Pakistan, Turki, dan Italia (Zicarelli 2004).
Kerbau albino termasuk ke dalam jenis kerbau rawa (swamp buffalo).
Kerbau albino memiliki kulit berwarna putih (albino), dengan ukuran tubuh lebih
kecil dari jenis kerbau rawa lainnya, dan tidak memiliki garis kalung atau chevron
(Kampas 2008). Kerbau albino merupakan satu diantara ternak penghasil susu,
daging dan sebagai hewan pekerja. Selain itu, kerbau albino di percaya memiliki
peran penting dalam masyarakat antara lain sebagai ternak pembawa
keberuntungan, urinnya dapat dijadikan obat penyakit tertentu serta sebagai
pengukur status sosial masyarakat di daerah Banten (Fadillah 2010). Walaupun
harga kerbau albino lebih murah dibanding kerbau lainnya karena penampilannya
kurang menarik (Tappa 2010).
Ragam Jenis dan Biologi Kutu Kerbau
Kutu merupakan serangga yang berukuran kecil dan memiliki bentuk
tubuh pipih dorsoventral, bagian kepala biasanya lebih sempit daripada
prothoraks, dan memiliki antena beruas-ruas. Kutu termasuk ke dalam ordo
Phthiraptera dan membagi dalam tiga subordo yaitu Mallophaga (kutu penggigit),

4
Anoplura (kutu pengisap), dan Rhynchophtirina (kutu gajah). Kutu yang terdapat
pada kerbau terutama dari subordo Anoplura, famili Haematopinidae, dan spesies
Haematopinus sp. (Hadi dan Soviana 2010). Terdapat 22 spesies pada genus
Haematopinus diantaranya adalah H. tuberculatus, H. eurysternus, dan H.
quadripertusis yang merupakan jenis kutu yang banyak ditemukan pada kerbau.
H. eurysternus merupakan kutu berwarna abu-abu kehitaman. Paling banyak
ditemukan pada sapi. Ukuran tubuh kutu betina sebesar 3-5 mm sedangkan pada
jantan berukuran lebih kecil. Kutu tersebut memiliki probosis pendek serta banyak
ditemukan di sekitar tanduk, mata, dan ujung telinga kerbau. H. quadripertusis
disebut kutu ekor karena banyak ditemukan pada rambut panjang di sekitar ekor.
Ukuran tubuh kutu ini sekitar 4.5 mm. H. quadripertusis banyak ditemukan di
daerah tropis (Cotter 2009).
H. tuberculatus lebih dikenal sebagai kutu kerbau. Memiliki ukuran tubuh
relatif besar sekitar 5.5 mm (Cotter 2009). H. tuberculatus merupakan kutu
pengisap yang memiliki tiga stilet penusuk yang terdapat pada bagian dorsal,
tengah, dan ventral. Bagian mulut memiliki rostrum pendek pada ujung anterior
kepala. Selain itu, memiliki ukuran kaki pendek dan cakar pengait yang
termodifikasi untuk melekat pada inang (Borror et al. 1996; Elzinga 1978).
Kerbau tidak hanya terinfestasi oleh kutu H.tuberculatus, tetapi sering kali
dilaporkan juga terinfestasi oleh kutu H.quadripertusis dan H. eurysternus. Hal ini
sebagaimana dilaporkan oleh Kakar and Kakarsulemankhel (2009) bahwa
infestasi campuran dari kutu H. quadripertusis dan H. eurysternus ditemukan pada
menginfestasi 271 ekor kerbau dari total populasi 671 ekor kerbau di kota Quetta,
Pakistan.
Tubuh kutu terdiri atas tiga bagian, yaitu kepala, thoraks, dan abdomen jelas
terpisah (Gambar 1). Kepala dilengkapi dengan 3-5 ruas antena berbentuk filiform
yang menonjol keluar. Kutu tidak memiliki sayap dan sebagian besar tidak
bermata. Bagian mulut kutu disesuaikan untuk menusuk, menghisap atau
mengunyah. Kutu memiliki tipe mulut penusuk atau pengisap dan probosis halus
dan kecil (haustellum). Bagian dalam mulut dilengkapi dengan gigi-gigi kecil
yang diarahkan ke luar untuk ditancapkan pada kulit inangnya. Selain itu, terdapat
tiga buah organ penusuk seperti jarum (stilet) keluar untuk mengisap darah dan
menyuntikkan kelenjar ludah ke tubuh inang. (Hadi dan Soviana 2010).
Thoraks kutu memiliki sternal plate yang khas pada masing-masing jenis
kutu. Bagian abdomen kutu terdiri atas 8-10 ruas. Abdomen dilengkapi paratergal
plate yang berfungsi sebagai tempat spirakel (Roberts 1952). Tungkai pada kutu
Anoplura berkembang sangat baik dan kokoh yang terdiri atas enam tungkai
dengan kuku berukuran besar pada ujung tarsus dengan tonjolan tibia yang
berfungsi untuk merayap dan memegangi bulu atau rambut inangnya. Organ penis
pada kutu jantan dapat dikeluarkan secara permanen, sedangkan kutu betina tidak
memiliki ovipositor, tetapi terdapat sepasang gonopod (Hadi dan Soviana 2010).

5

Kepala

Thoraks

Abdomen

Gambar 1 Morfologi kutu Anoplura (Ignoffo 1959 dalam Mullen et al. 2009)
Telur kutu menetas menjadi nimfa (kutu muda) setelah 5 sampai 18 hari
tergantung jenis kutu. Nimfa kutu dewasa berwarna keputih-putihan, dan makin
tua umurnya akan berwarna gelap. Kutu dewasa bisa hidup selama 10 hari hingga
beberapa bulan (Hadi dan Soviana 2010). Seluruh stadium dalam siklus hidup
kutu Anoplura membutuhkan darah untuk menyelesaikan siklus reproduksi. Kutu
betina dewasa meletakkan satu telur per hari dan menempelkan ke batang rambut
dekat dengan kulit. Telur menetas dalam 1-2 minggu. Setiap nimfa mengalami
tiga tahap, masing-masing tahap membutuhkan waktu 10 hari. Siklus hidup
lengkap membutuhkan waktu antara 3 sampai 6 minggu (Cotter 2009). Menurut
Walker (2007) siklus hidup pada H. eurysternus dan H. tuberculatus sama dengan
kutu lainnya.

Gambar 2 Siklus hidup kutu (Remedylice 2014)

6
Masalah Infestasi Kutu terhadap Kesehatan Kerbau
Kutu merupakan serangga yang berperan sebagai vektor penyakit pada
hewan ternak ruminansia terutama kerbau. Kutu Anoplura berperan dalam
timbulnya penyakit pada kerbau. Beberapa gejala klinis yang timbul akibat
infestasi kutu diantaranya anemia, penurunan berat badan, penurunan produksi
susu, ketidaknyamanan kerbau dengan menggaruk yang berlebihan, serta rambut
berminyak dan kusam (Otteret et al. 2003 dalam Kakar and Kakarsulemankhel
2009).
Menurut Walker (2007) infestasi pada H. eurysternus menyebabkan iritasi,
alopesia, kehilangan darah dan anemia. Selain itu, kerbau menjadi gelisah, nafsu
makan berkurang, serta penurunan kondisi imun sehingga rentan terinfeksi
penyakit lain. Chaudhry (1978) melaporkan infestasi kutu H.tuberculatus
menyebabkan kulit yang terinfestasi kutu menyebabkan gatal dan menimbulkan
erythematosa. Kondisi tersebut menyebabkan kerbau menjadi gelisah, adanya lesi
pada kulit sehingga menurunkan bobot badan kerbau seperti anoreksia, cachexia,
serta mengurangi produktivitas.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 hingga Januari 2014.
Pengoleksian kutu dilakukan pada peternakan kerbau di Desa Sukamaju,
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Proses identifikasi dilakukan
di Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
Koleksi dan Identifikasi Kutu
Koleksi kutu (sampling), pengukuran derajat dan sebaran kutu dilakukan
setiap seminggu sekali pada satu ekor kerbau albino. Jumlah Kerbau albino yang
digunakan sebanyak 10 ekor dengan waktu penelitian selama 10 minggu (1 ekor
kerbau/minggu). Koleksi kutu dilakukan secara manual dengan mengambil 5 kutu
tiap regio tubuh. Pengambilan kutu menggunakan pinset kemudian kutu yang
didapat pada masing-masing regio tubuh di masukkan ke dalam botol kecil berisi
alkohol dan diberi label pada setiap botol.
Hasil koleksi kutu pada kerbau selanjutnya melalui tahapan preservasi kutu
dengan cara kering yaitu preparat kaca. Kutu yang telah diperoleh dimasukkan ke
dalam KOH 10%, kemudian dilakukan proses pencucian menggunakan air.
Tahapan selanjutnya dehidratasi dengan alkohol bertingkat mulai dari 70% hingga
100%. Proses penjernihan dilakukan dengan cara perendaman kutu dalam minyak
cengkeh selama 15-30 menit. Tahap akhir pencucian menggunakan larutan xylol.
Kutu diletakkan pada kaca objek, ditetesi balsem kanada atau entelan kemudian
ditutup dan disimpan dalam inkubator selama 2-3 hari sampai kering. Prosedur

7
yang digunakan dalam pembuatan preparat kaca mengacu pada Hadi dan Soviana
(2010). Acuan yang digunakan untuk kunci identifikasi kutu adalah Insects of
Micronesia: Anoplura (Ferris 1959).
Pengukuran Derajat Infestasi dan Sebaran Kutu
Penghitungan kutu dilakukan setelah pengambilan kutu menggunakan
counter yang dihitung pada masing-masing regio tubuh. Penghitungan dilakukan
sebelum waktu berkubang pada pukul 05.00 WIB serta sesudah berkubang pukul
10.00 WIB dan dibagi menjadi delapan regio tubuh. Pembagian regio terdiri atas
regio I (kepala), II (leher), III (dada), IV (abdomen 1), V (abdomen 2), VI
(punggung), VII (ekor), dan VIII (kaki) sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.
Data yang diperoleh pada penghitungan infestasi kutu pada kerbau dari hasil
pengoleksian dan identifikasi dilakukan secara deskriptif. Pengukuran derajat
infestasi kutu kerbau sebelum dan sesudah berkubang disajikan dalam bentuk
Tabel. Derajat infestasi dan sebaran kutu sebelum dan sesudah berkubang pada
kerbau disajikan dalam bentuk persentase (%).
Analisis Data
Selain data mengenai hasil identifikasi kutu yang disajikan berupa deskripsi
morfologi dan persentase ragam jenis kutu yang diperoleh dari hasil sampling
kutu, juga disampaikan prevalensi infestasi kutu pada populasi kerbau di lokasi
penelitian. Prevalensi dinyatakan dalan persentase jumlah kerbau albino yang
terinfestasi kutu dibandingkan terhadap seluruh populasi kerbau albino yang ada
di lokasi penelitian. Pengukuran pengaruh berkubang terhadap infestasi kutu
dilakukan dengan membandingkan jumlah kutu pada kerbau sebelum dan sesudah
berkubang menggunakan uji Wilcoxon.

VI
VII
I

II

IV

VIII

V

III

Gambar 3 Pembagian regio

VIII

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Peternakan
Peternakan kerbau yang dikelola oleh Yayasan Panti Asuhan Rumah Doa
terletak di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Peternakan
kerbau tersebut menerapkan manajemen beternak secara sederhana. Kerbau yang
dipelihara di peternakan tersebut sebagian besar adalah kerbau bule atau albino.
Ternak kerbau yang dipelihara berjumlah 16 ekor yang terdiri atas 6 betina dan 10
jantan. Peternakan terletak jauh dari pemukiman warga.
Kandang kerbau memiliki ukuran 14x7 m dengan populasi kerbau sebanyak
16 ekor (Gambar 4A). Kondisi tersebut menyebabkan kerbau di dalam kandang
saling berdekatan (Gambar 4B). Kandang memiliki atap sebagai penutup yang
terbuat dari kayu. Dinding kandang terbuat dari semen yang tidak menutupi semua
bangunan kandang. Alas atau lantai kandang terbuat dari semen. Bagian dalam
kandang terdapat ruangan khusus berukuran 3x4 m untuk kerbau yang sakit.
Kandang memiliki sistem pembuangan air yang baik sehingga memiliki
tempat menampung air dari kandang yang airnya akan dialirkan ke parit. Kandang
memiliki saluran khusus sebagai tempat pembuangan urin, sedangkan saluran
khusus pembuangan feses tidak ada. Feses dibersihkan oleh petugas kandang
menggunakan serokan selama kandang tersebut penuh dengan feses. Feses
dikumpul kemudian dibuang dan lantai semen kandang dibersihkan
menggunakan air. Tempat pakan terbuat dari semen yang berada di luar kandang
sebelah kiri dan kanan. Tidak ada ruang khusus untuk menyimpan pakan. Pakan
ditumpuk dan diletakkan diluar kandang (Gambar 4C). Pakan yang diberikan
berupa jerami.

A

B

C

D

Gambar 4 A. Bangunan kandang kerbau, B. Kondisi bagian dalam kandang,
C. Kondisi bagian luar kandang, D. Aktivitas berkubang kerbau.

9
Aktivitas berkubang kerbau pada peternakan biasanya dilakukan tiga kali
sehari. Jarak antara kandang dengan kolam berkubang sekitar 15 m dengan jalan
menurun. Kolam berkubang kerbau memiliki ukuran 25x10 m. Kondisi air pada
kolam berkubang cukup keruh. Petugas kandang membuka palang kayu pada jam
05.00 WIB untuk kerbau berkubang. Kerbau berkubang selama dua jam dengan
melakukan aktivitas menggesekan tubuh ke tubuh kerbau lainnya atau ke dinding
semen kolam berkubang, menaiki kerbau lain, serta menenggelamkan tubuh dan
wajahnya ke air (Gambar 4D).
Petugas kandang mengambil pakan dan menaruh di tempat pakan kerbau
saat berkubang. Waktu berkubang selesai, petugas kandang akan memukul lantai
semen menggunakan kayu untuk memanggil kerbau-kerbau tersebut naik dari
kolam berkubang ke kandang. Kerbau-kerbau berbaris menaiki jalan dan terdapat
palang kayu yang harus mereka lewati. Seluruh kerbau saat melewati palang kayu
akan menggesek-gesekan kepala dan punggung selama 2 menit. Seluruh kerbau
sudah berada dalam kandang, petugas kandang menutup kandang dengan palang
kayu kemudian kerbau-kerbau tersebut makan. Selanjutnya pada jam 10.00 WIB
dan jam 15.00 WIB, kerbau-kerbau berkubang kembali.
Ragam Jenis Kutu pada Kerbau
Koleksi kutu yang didapat dari 10 kerbau albino sebanyak 400 kutu.
Berdasarkan kutu yang diidentifikasi hanya diperoleh satu jenis kutu yang
ditemukan pada peternakan kerbau di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor termasuk dalam famili Haematopinidae yaitu Haematopinus
tuberculatus (Gambar 5A). H. tuberculatus memiliki ukuran tubuh relatif besar
sekitar 5.5 mm. Pengukuran kutu betina yang diteliti sekitar 4.8 mm sedangkan
ukuran kutu jantan sekitar 3.9 mm. Ukuran tubuh betina relatif besar
dibandingkan dengan jantan (Cotter 2009). Ciri morfologi pada H. tuberculatus
memiliki rambut berjumlah lima atau lebih pada paratergal plate (Gambar 5B).
Sternal plate pada bagian ventral H. tuberculatus yang khas seperti lempeng yang
terdapat penonjolan kearah kranial (Gambar 5C).
Perbedaan kutu jantan dan betina H. tuberculatus terdapat pada bagian
kaudal. Bagian kaudal H.tuberculatus betina seperti penjepit (Gambar 5 D1),
sedangkan H. tuberculatus jantan berbentuk lancip (Gambar 5 D2). Berdasarkan
hasil identifikasi 400 kutu yang diambil dari tiap regio tubuh kerbau albino pada
peternakan kerbau di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea hanya satu jenis yaitu
H. tuberculatus. Peternakan kerbau tersebut terletak pada dataran tinggi sehingga
kutu H. tuberculatus dapat bertahan hidup pada suhu dingin. Kerbau merupakan
inang bagi H. tuberculatus.
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di peternakan kerbau di
negara lain juga hanya ditemukan satu spesies kutu yaitu H. tuberculatus. Kondisi
serupa juga dilaporkan Veneziano et al. (2003) jenis kutu yang ditemukan di
peternakan kerbau Italia adalah H. tuberculatus. Jumlah dari 127 peternakan
kerbau di Italia, 14 peternakan terinfestasi kutu H. tuberculatus. Selain itu,
Desoky (2014) melaporkan jenis kutu yang ditemukan pada salah satu peternakan
kerbau di Mesir paling banyak terinfestasi kutu H. tuberculatus. Total kerbau dari
45 ekor ditemukan 35 ekor yang terinfestasi H. tuberculatus dengan prevalensi
66.67%.

10

B

A

C

D1

D2

Gambar 5 A. Ciri morfologi umum H. tuberculatus, B. Rambut pada paratergal.
C. Sternal plate. D. H. tuberculatus betina (1) dan H. tuberculatus
jantan (2).
Derajat Infestasi dan Sebaran Kutu
Pengambilan dan penghitungan jumlah kutu pada kerbau dilakukan pada
pagi hari sebelum berkubang. Jumlah kerbau yang dilakukan pengambilan dan
penghitungan kutu sebanyak 10 ekor kerbau albino. Kutu diambil berdasarkan
pembagian 8 regio tubuh pada kerbau albino. Derajat infestasi kutu pada kerbau
sebelum berkubang disajikan pada Tabel 1.
Prevalensi infestasi kutu pada seluruh kerbau albino di peternakan sebesar
100%. Hal ini menunjukkan pada 10 kerbau albino terinfestasi kutu. Rata-rata
kutu/kerbau sebelum berkubang sebanyak 734 kutu pada tiap ekor kerbau albino.
Derajat infestasi kutu tertinggi sebesar 21.89% yang terdapat pada regio VIII
(kaki) (Gambar 6). Hal ini disebabkan pada regio kaki memiliki pembuluh darah
paling banyak. Selain itu, sulit dicapai saat kerbau melakukan aktivitas
menggesek-gesekan badan ke dinding kandang dan pada lipatan kaki bagian
ventral lembab sehingga kutu bertahan hidup lebih lama. Hal ini sesuai menurut
Soulsby (1982) bahwa kutu H. tuberculatus sering ditemukan pada betis kerbau.
Kondisi tersebut juga dilaporkan Rawat et al. (1992) bahwa populasi kutu H.
tuberculatus paling tinggi ditemukan pada daerah betis kerbau sebanyak 60.58%
dari total 373 ekor kerbau yang diteliti.

11
Tabel 1 Derajat infestasi (%) dan sebaran kutu pada tiap regio sebelum berkubang
Kerbau

Regio
I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

Kerbau 1

12.07

3.23

10.58

19.92

8.71

9.33

9.33

26.77

Kerbau 2

8.19

7.85

6.17

19.30

14.81

13.46

5.49

24.69

Kerbau 3

7.14

7.49

18.95

10.22

14.10

5.46

14.55

22.04

Kerbau 4

17.96

13.54

20.83

10.93

10.41

7.03

7.81

11.45

Kerbau 5

10.28

9.19

7.40

21.94

11.65

6.31

6.85

26.33

Kerbau 6

11.36

8.80

9.72

13.81

11.05

16.27

3.99

24.97

Kerbau 7

14.41

10.36

9.90

8.10

19.81

1.80

6.30

29.27

Kerbau 8

12.86

11.60

6.32

16.24

18.98

5.06

10.75

18.14

Kerbau 9

15.05

8.94

11.92

14.90

14.90

10.43

5.96

17.88

Kerbau 10

16.38

10.23

10.23

13.65

13.65

11.94

6.82

17.06

Rata-rata (%)

12.57

9.12

11.20

14.90

13.81

8.71

7.79

21.89

Derajat infestasi kutu terendah ditemukan pada regio VII (ekor) sebesar
7.79%. Kondisi ini disebabkan pada regio ekor tidak memiliki banyak pembuluh
darah serta rambut dengan jumlah sedikit. Hal ini juga dilaporkan Figueiredo
(2013) bahwa derajat infestasi kutu terendah yang terinfestasi kutu H.
tuberculatus pada kerbau di negara Brazil terdapat di regio ekor sebesar 2.3%.
Derajat infestasi kutu yang paling sedikit ditemukan pada kerbau 7 di
regio VI (punggung) sebesar 1.80%. Perbedaan infestasi kutu yang terlihat
signifikan pada kerbau 7 di regio VI (punggung) dengan kerbau yang lain
disebabkan 2 hari sebelum dilakukan pengambilan dan penghitungan kutu,
petugas kandang melakukan penyemprotan insektisida dengan bahan aktif
cypermethrin. Insektisida yang biasanya digunakan untuk mengurangi infestasi
kutu adalah insektisida dengan bahan aktif cypermethrin.

Gambar 6 Persentase rata-rata derajat infestasi kutu tiap regio
sebelum berkubang.

12
Alphacypermethrin merupakan insektisida dengan bahan aktif paling efektif
dalam menurunkan infestasi kutu pada peternakan (Committee for Veterinary
Medicinal Products 2011).
Pengaruh Berkubang terhadap Infestasi Kutu
Pengambilan dan penghitungan jumlah kutu pada kerbau yang dilakukan
setelah 2 jam berkubang mengalami penurunan. Derajat infestasi kutu pada tiap
regio sesudah berkubang dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil penelitian
derajat infestasi kutu kerbau sesudah berkubang pada tiap regio mengalami
penurunan dibandingkan dengan sebelum berkubang.
Rata-rata infestasi kutu/kerbau sesudah berkubang mengalami penurunan
dari 734 kutu/kerbau menjadi 679 kutu/kerbau. Derajat infestasi kutu kerbau
albino yang mengalami penurunan terlihat pada regio VI (punggung) sebesar
8.34%. Penurunan infestasi kutu pada regio VI (punggung) disebabkan saat
berkubang kerbau melakukan aktivitas menggesek-gesekan punggung pada palang
kayu yang terdapat di pinggir kolam berkubang.
Kerbau merupakan ternak yang memiliki kebiasaan berkubang. Jumlah
total dan penurunan jumlah kutu pada kerbau sebelum berkubang dan sesudah
berkubang disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis uji Wilcoxon
didapatkan hasil bahwa seluruh kerbau terdapat nilai negatif yang berarti derajat
infestasi kutu sebelum berkubang lebih besar daripada derajat infestasi kutu
sesudah berkubang.
Tabel 2 Derajat infestasi (%) dan sebaran kutu pada tiap regio sesudah berkubang
Kerbau

Regio

Kerbau 1

I
12.26

II
2.17

III
10.62

IV
21.11

V
8.17

VI
8.85

VII
8.17

VIII
28.61

Kerbau 2

8.29

7.80

6.09

19.63

14.26

12.56

5.48

25.85

Kerbau 3

6.75

7.31

18.98

10.64

14.44

4.72

14.72

22.40

Kerbau 4

17.15

14.53

21.80

10.17

10.17

7.26

7.26

11.62

Kerbau 5

9.91

8.87

7.39

22.63

11.53

5.91

6.95

26.77

Kerbau 6

11.15

8.64

9.62

13.45

10.94

16.41

3.82

25.92

Kerbau 7

14.50

10.36

8.29

8.29

21.24

1.03

5.18

31.08

Kerbau 8

13.20

11.28

5.53

16.93

18.96

4.85

10.60

18.62

Kerbau 9

15.39

9.07

12.15

14.91

15.07

10.37

5.18

17.82

Kerbau 10

17.17

10.30

9.92

13.54

14.31

11.45

5.72

17.55

Rata-rata (%)

12.57

9.03

11.04

15.13

13.91

8.34

7.31

22.62

13
Tabel 3 Jumlah total dan penurunan jumlah kutu sebelum dan sesudah berkubang
kerbau
Kerbau

Jumlah

Penurunan jumlah kutu

222

Sesudah
734
820
1080
344
676
914
193

Kerbau 8
Kerbau 9
Kerbau 10

948
671
586

886
617
524

62
54
62

Rata-rata (kutu/kerbau)

734.5

678.8

55.7

Kerbau 1
Kerbau 2
Kerbau 3
Kerbau 4
Kerbau 5
Kerbau 6
Kerbau 7

Sebelum
803
891
1134
384
729
977

69
71
54
40
53
63
29

Hasil analisis menunjukkan tiap kerbau memiliki nilai (P