Pengembangan metode elisa untuk mendeteksi keberadaan koproantigen fasciola gigantica pada ruminansia model uji diagnostik untuk human fasciolosis

(1)

KEBERADAAN KOPROANTIGEN Fasciola gigantica

PADA RUMINANSIA:

MODEL UJI DIAGNOSTIK UNTUK HUMAN FASCIOLOSIS

SAMARANG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Metode ELISA

untuk Mendeteksi Keberadaan Koproantigen Fasciola gigantica pada Ruminansia: Model Uji Diagnostik untuk Human Fasciolosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Samarang


(3)

SAMARANG. Development of ELISA Method for Detecting Coproantigen of Fasciola gigantica in Ruminant: A Model for Human

The study was designed to develop ELISA method to detect coproantigen of

Fasciola gigantica in ruminant as a model for human fasciolosis diagnostic test. Fasciolosis Diagnostic Test. Under direction of FADJAR SATRIJA and SRI MURTINI.

Excretory Secretory (ES) antigen were isolated from adult stage of F. gigantica

incubated in the RPMI medium at 370

C for 4 hours. Each worm produced roughly 0.18 mg ES antigen. ES protein showed five protein bands with the molecular weight of 104.99, 90.05, 56.43, 47, 30.27 kDa in SDS-PAGE analysis. Polyclonal antibodies against ES antigen were raised from rabbits and chicken egg yolk. These polyclonal antibodies were used in sandwich ELISA for detection of coproantigen using IgY as capture antibody and IgG as detection antibody. Specificity and sensitivity test revealed that the ELISA have 87,5% sensitivity and 100% specificity compared to gold standard post-mortem examination.


(4)

RINGKASAN

SAMARANG. Pengembangan Metode ELISA untuk Mendeteksi Keberadaan Koproantigen Fasciola gigantica pada Ruminansia: Model Uji Diagnostik untuk

Human Fasciolosis. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan SRI MURTINI.

Cacing hati (Fasciola spp) merupakan salah satu jenis cacing parasit dari kelas Trematoda yang penting, dan menimbulkan kerugian ekonomis pada ternak ruminansia. Fasciolosis disebabkan oleh infeksi dua spesies utama dari genus

Fasciola yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Selain ruminansia Fasciola

juga dapat menginfeksi hewan lain diantaranya kuda, babi, kelinci, dan tikus. Fasciolosis pada ternak mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Di Kenya, kerugian selama 16 tahun pengamatan mencapai 4 408 272 KES (shilling Kenya) atau US$. 72.272. Di Indonesia, kerugian mencapai Rp.513,6 milyar per tahun dengan prevalensi antara 60-90%. Manusia juga dapat terinfeksi oleh

Fasciola. Diperkirakan 2,4 hingga 17 juta orang di berbagai belahan dunia termasuk Asia menderita fasciolosis. Penyakit ini menyebabkan kematian pada fase akut dan menyebabkan gangguan kesehatan berupa hepatomegali dan spleniomegali pada stadium kronis.

Diagnosis fasciolosis secara konvensional berdasarkan pada penemuan telur cacing di dalam feses penderita. Diagnosis ini memiliki kelemahan yaitu tidak mampu mendeteksi infeksi pada masa prepaten (8-10 minggu pasca infeksi) serta rendahnya sensitivitas karena produksi telur yang relatif rendah setelah memasuki masa patensi. Keterbatasan ini mendorong dikembangkannya imunodiagnosis fasiolosis. Teknik diagnosis fascilosis dengan uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Western blot telah dikembangkan untuk mendeteksi infeksi

F. hepatica, namun ELISA yang didesain untuk mendiagnosis F. gigantica masih sangat terbatas.

Deteksi antigen cacing yang dikeluarkan bersama feses (koproantigen) merupakan pendekatan baru yang lebih sensitif dan spesifik dibanding pemeriksaan parasitologis atau deteksi antibodi parasit dalam sirkulasi darah. Penelitian koproantigen cacing dengan teknik ELISA Sandwich menggunakan antibodi monoklonal telah dilakukan oleh Estuningsih et al. (2009). Namun untuk mempersiapankan monoclonal antibodi memerlukan biaya yang tinggi. Metode deteksi ELISA dapat juga dilakukan dengan antibodi poliklonal, salah satu antibodi poliklonal yang mudah diproduksi adalah antibodi IgY. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan metode ELISA menggunakan poliknonal antibodi dari kuning telur ayam dan serum kelinci, untuk mendeteksi antigen Ekskretori dan Sekretori (ES) dalam feses (koproantigen) pada ruminansia. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai model untuk mendiagnosis fasciolosis pada manusia.

Penelitian ini dilakukan dalam lima tahap yaitu Isolasi, produksi dan karakterisasi antigen ES, Produksi dan deteksi poliklonal antibodi, Optimasi ELISA,

Uji sensitifitas dan spesifisitas, Uji coba ELISA dengan sampel feses dari lapangan.

Sebanyak 38 sampel feses sapi dari RPH Palu, Bubulak, dan Purwodadi, enam sampel feses banteng dari Ujung Kulon diperiksa secara mikroskopis untuk melihat jenis infeksi sampel feses. Sampel feses dilarutkan 1:4 dengan PBS menjadi supernatan untuk mendapatkan koproantigen. Antigen ES diisolasi dari cacing


(5)

dalam medium RPMI selama empat jam pada suhu 37

Antibodi poliklonal asal kelinci dan kuning telur ayam yang diimunisasi ES

F. gigantica isolat asal kerbau digunakan sebagai antibodi pendeteksi antigen dan antibodi penangkap antigen. Antibodi poliklonal asal kelinci dan kuning telur ayam diuji kesesuaiannya terhadap antigen ES F. gigantica asal sapi dengan uji AGPT. Hasil pengujian menunjukkan bahwa antibodi mampu bereaksi dengan antigen ES

F. gigantica asal sapi yang dibuktikan dengan terbentuknya garis presipitasi.

C. ES F. gigantica asal sapi ini memiliki lima pita protein, masing-masing berat molekulnya adalah 104,99, 90,05, 56,43, 47, 30,27 kDa dengan metode SDS-PAGE.

Dua pola model pada optimasi uji ELISA Sandwich digunakan dalam penelitian ini. Model pertama adalah penggunaan IgG sebagai antibodi penangkap konsentrasi 4, 2, 1, dan 0,5 µg/ml dan IgY sebagai antibodi pendeteksi dengan konsentrasi 2 dan 1 µgl/ml. Model kedua mengggunakan IgY konsentrasi 4, 2, 1, dan 0,5 µg/ml dan IgG konsentrasi 2 dan 1 µg/ml sebagai antibodi pendeteksi. Sampel pada kedua model ini, digunakan antigen ES asal sapi dengan konsentrasi sama yaitu 5 µgl/ml. Hasil kombinasi dari optimasi kedua model uji ELISA Sandwich

ini yaitu, pertama IgG sebagai antibodi penangkap dan IgY sebagai antibodi deteksi menghasilkan jarak nilai 1,68 - 3,31 kali lipat dari nilai sampel negatif. Kedua IgY sebagai antibodi penangkap dan IgG sebagai antibodi pendeteksi, mempunyai jarak nilai 3,15 – 8,03 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif. Uji ELISA untuk menentukan sensitifitas dan spesifisitas menggunakan model dengan nilai kelipatan absorbansi positif terjauh dari nilai absorbansi negatif. Kombinasi model tersebut adalah IgY sebagai antibodi penangkap dan IgG sebagai antibodi deteksi.

Uji spesifisitas dan sensitifitas terhadap koproantigen dilakukan pada 37 sampel feses asal sapi dari RPH. Berdasarkan hasil pemeriksaan post mortem

diperoleh delapan sampel positif terinfeksi cacing F. gigantica dewasa dan 29 sampel tidak terinfeksi cacing. Batas penentuan absorbansi untuk deteksi keberadaan ES F. gigantica (cut off) ditentukan dengan menghitung rataan absorbansi kontrol negatif (feses sapi tanpa infeksi) ditambakan dua kali standard deviasi. Hasil uji menunjukkan tingkat akurasi uji 97,3%, dengan sensitifitas uji ELISA 87,5% dan spesifisitas sebesar 100%.

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa uji ELISA Sandwich

dapat mendeteksi keberadaan koproantigen F. gigantica dengan model IgY sebagai antibodi penangkap dan IgG sebagai antibodi deteksi dengan tingkat akurasi 97,3%, berpotensi dikembangkan untuk mendeteksi human fasciolosis.


(6)

PENGEMBANGAN METODE ELISA

UNTUK MENDETEKSI KEBERADAAN KOPROANTIGEN

Fasciola gigantica

PADA RUMINANSIA:

MODEL UJI DIAGNOSTIK UNTUK

HUMAN

FASCIOLOSIS

SAMARANG

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

(8)

Judul Tesis : Pengembangan Metode ELISA untuk Mendeteksi Keberadaan Koproantigen Fasciola gigantica pada Ruminansia: Model Uji

Diagnostik untuk Human Fasciolosis

Nama : Samarang

NIM : B252090031

Disetujui Komisi Pembimbing

drh. Fadjar Satrija, M.Sc. Ph.D

Ketua Anggota

Dr. drh. Sri Murtini, M.Si

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(9)

Untuk


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Nopember 2009 mengenai Fasciolosis, dengan judul Pengembangan Metode ELISA untuk Mendeteksi Keberadaan Koproantigen

Fasciola gigantica pada Ruminansia: Model Uji Diagnostik untuk Human Fasciolosis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph.D. dan Ibu Dr. drh. Sri Murtini, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bantuan, serta kepada Ibu Dr. drh. Elok Retnani, M.S selaku penguji luar komisi. Kepada Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S sebagai ketua program studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan. Bapak Prof. Dr. drh. Singgih H. Sigit, M.S serta seluruh Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bantuan baik berupa moril maupun materil. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Kepala Balai Litbang P2B2 Donggala yang telah memberikan izin untuk melanjutkan studi. Kepada Kementerian Kesehatan RI khususnya Pustanserdik yang telah memberikan beasiswa program S2. Bapak Suwandi, Bapak Darwis selaku Kepala Rumah Potong Hewan (RPH) Palu dan RPH Kabupaten Sigi Biromaru Sulawesi Tengah, serta Kepala dan staf di Rumah Potong Hewan Bubulak Bogor. Bapak Sulaeman staf laboratorium Helminth Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, anak serta seluruh keluarga, atas segala dukungan doa dan kasih sayangnya.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011


(11)

Penulis dilahirkan di Tawau (Malaysia) pada tanggal 25 Agustus 1973 dari ayah Pawakkangi (Almarhum) dan ibu Hapi, merupakan putri kedua dari enam bersaudara. Penulis menikah dengan Harianto Majid 11 juni 2000 dan dikaruniai seorang putra Moh. Syahrul Harianto berusia 9 tahun.

Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri I Rappang Sulawesi Selatan, Tahun 1995 lulus dari Akademi Penilik Kesehatan Muhammadiyah Ujung Pandang, Pendidikan sarjana ditempuh di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Palu, lulus tahun 2006. Bulan September tahun 2009 penulis diterima di Program Studi Parasitologi Dan Entomologi Kesehatan (PEK) Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2011. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai tenaga Sanitarian di Puskesmas Mabelopura, Palu Sulawesi Tengah, sejak tahun 1998. Lulus rekruitmen tenaga peneliti di Stasiun Lapangan Pemberantasan Vektor (SLPV) sekarang dikenal sebagai Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Donggala sejak tahun 2001 hingga sekarang di Sulawesi Tengah.


(12)

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL .. ..………. ... xiv

DAFTAR GAMBAR ..………. ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ...………. ... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang .. ...………. ... 1

Rumusan Masalah ...…...………... 3

Tujuan Penelitian ………... 3

Manfaat Penelitian ..………... 3

TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica ...………. ... 5

Siklus Hidup Fasciola gigantica ... 6

Fasciolosis ..…….………... 7

Metode Diagnosis Fasciolosis ... ....……….... 9

1 Pemeriksaan secara klinis ... 9

2 Pemeriksaan secara laboratorium ... 10

Antibodi Poliklonal .………... 11

Antigen Ekskretori dan Sekretori ... 13

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

Prosedur Penelitian ... 15

1 Isolasi, Produksi dan Karakterisasi Antigen ESFg ... 15

2 Produksi Poliklonal Antibodi ... 16

3 Optimasi ELISA ... 18

4 Uji Sensitifitas dan Spesifisitas ... 19

5 Uji Coba ELISA dengan Sampel Feses dari Lapangan ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi, Produksi dan karakterisasi Antigen ESFg ..………... 23

Produksi Poliklonal Antibodi ...………... 27

Optimasi ELISA ...………... 29

Sensitifitas dan Psesifisitas ... 31

Uji Coba ELISA dengan Sampel Feses dari Lapangan ………... 33

SIMPULAN DAN SARAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 39


(13)

DAFTAR TABEL

1 Standarisasi berdasarkan hasil pemeriksaan post mortem... 32 2 Standarisasi berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis... 34


(14)

xv

DAFTAR GAMBAR

1 Perbedaan bentuk F. gigantica dengan F. hepatica …... 5

2 Siklus hidup F. gigantica ... 6

3 Hypertrophia hati pada kambing ... 8

4 Struktur IgG pada mamalia ... 12

5 Konsentrasi antigen ES F. gigantica asal sapi per ekor ... 24

6 Profil protein antigen ES F. gigantica sapi (A), ES F. gigantica kerbau (B), ES F.gigantica sapi pewarnaan silver (C) ... 25

7 Hasil AGPT serum kelinci IgG anti ESFg asal kerbau ... 27

8 Hasil AGPT kuning telur IgY ... 28

9 Hasil Konfirmasi model ELISA IgG capture ... 29

10 Hasil Konfirmasi model ELISA IgY capture ... 30

11 Hasil pemeriksaan sampel feses sapi secara mikroskopis ... 31

12 Sebaran deteksi koproantigen dalam feses ... 32


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Metode Bradford ...………... 47 2 Metode Sodium Deodecil Sulphate-Poly Acrilamide Gel Elektrophoresis

(SDS-PAGE) ... 50 3 Uji Agar Gel Presipitation Test (AGPT) ... ... 51 4 Komposisi reagen SDS-PAGE ... ... 52


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cacing hati (Fasciola spp) merupakan salah satu jenis cacing parasit dari kelas Trematoda yang penting dan menimbulkan kerugian ekonomis pada ternak ruminansia (Velusamy et al. 2006). Fasciolosis disebabkan oleh infeksi dua spesies

utama dari genus Fasciola yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica.

F. hepatica memiliki penyebaran kosmopolit termasuk di wilayah beriklim empat musim dan subtropik, sedangkan F. gigantica di wilayah beriklim tropis basah seperti di Asia dan Afrika. Selain ruminansia Fasciola juga dapat menginfeksi hewan lain diantaranya kuda, babi, kelinci, tikus (Nasser et al. 2008; Eslami et al. 2009).

Fasciolosis pada hewan mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Di Indonesia, kerugian mencapai Rp.513,6 milyar per tahun dengan prevalensi antara 60-90% (Estuningsih et al. 2004). Pengamatan selama 16 tahun di Kenya menunjukkan kerugian akibat fasciolosis mencapai 4 408 272 KES (shilling Kenya) atau US$. 72.272. Kontribusi spesies F. gigantica terhadap total kerugian adalah 3.505.410 KES (79,5%) (Mungube 2006). Suatu studi pada peternakan sapi di Ethiopia Selatan memperlihatkan bahwa, petani mengalami kerugian rata-rata 4000 USD pertahun dari 57 sapi yang diperiksa, akibat fasciolosis (Abunna 2010).

Fasciola dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan zoonosis yang

dikenal dengan nama Human Fasciolosis (Garsia et al. 2009). Pada manusia diperkirakan 2,4 hingga 17 juta orang di berbagai belahan dunia menderita fasciolosis termasuk Asia (WHO 2009). Kejadian luar biasa human fasciolosis

dilaporkan pernah terjadi di propinsi Gilan (Iran) tahun 1987, 1998 yaitu sekitar 1500 penderita (Asrafi et al. 2010). Penyakit ini menyebabkan kematian pada fase akut dan menyebabkan gangguan kesehatan yang serius akibat hepatomegali dan sirosis hati pada stadium kronis (Mas-Coma et al. 2005, 2009; Sripa et al. 2010). Kasus fasciolosis terjadi pada masyarakat yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi tanaman air tanpa di masak hingga matang. Human fasciolosis lebih sering disebabkan oleh F. hepatica dibandingkan F. gigantica (WHO 2009).

Upaya menekan kerugian ekonomis dan angka kesakitan akibat kecacingan hanya akan berhasil melalui program pengendalian kecacingan yang di dasarkan pada diagnosa dini infeksi cacing. Dengan diagnosa dini maka keberadaan cacing


(17)

parasit dalam tubuh akan dapat diketahui sebelum menimbulkan perubahan patofisiologis dan mengkontaminasi lingkungan dengan telurnya. Diagnosa fasciolosis umumnya dengan cara konvensional didasarkan pada penemuan telur cacing yang dikeluarkan oleh cacing dewasa bersama feses. Kelemahan metode ini adalah ketidakmampuannya untuk mendeteksi infeksi pada masa prepaten (8-10 minggu masa infeksi) serta rendahnya sensitifitas karena produksi telur yang relatif rendah setelah memasuki masa patensi (Estuningsih et al. 2009). Pada manusia kesalahan diagnosa fasciolosis terjadi karena, telur cacing tidak ditemukan selama pemeriksaan. Di Iran diagnosa fasciolosis telah dikecohkan dengan penyakit yang mempunyai gejala yang sama seperti dirofilariasis (Asrafi et al. 2010), visceral leishmaniasis, hal ini terjadi terutama pada daerah endemik parasitosis karena meremehkan penyakit penting lainnya yang bersifat sporadis (Mawlavi et al. 2010).

Keterbatasan ini mendorong dikembangkannya imunodiagnosis fasiolosis terutama F. hepatica agar diperoleh hasil diagnosis yang lebih cepat dan akurat diantaranya dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan dot ELISA (Kumar et al. 2008). Pengembangan ELISA ada yang diarahkan untuk mendeteksi antibodi (Zhang et al. 2005; Yadav et al. 2005) maupun antigen didalam darah atau feses (Yokanant et al. 2005). Sebaliknya ELISA yang dikembangkan untuk mendiagnosis F. gigantica masih sangat terbatas (Estuningsih 2006; Estuningsih et al. 2009). Deteksi dengan teknis imunologis yang didasarkan pada penggunaan antibodi dengan target antigen parasit yang dicari merupakan metode yang sensitif dan spesifik. Namun, metode ini memiliki keterbatasan karena kehadiran antibodi menunjukkan paparan parasit sebelumnya daripada keberadaan dari infeksi saat ini. Deteksi antigen cacing yang dikeluarkan bersama feses (koproantigen) merupakan pendekatan baru mendeteksi infeksi cacing parasit. Metode deteksi koproantigen lebih sensitif dan spesifik dibanding pemeriksaan parasitologis atau deteksi antibodi parasit dalam sirkulasi darah (Charlier et al. 2008). Penelitian

koproantigen cacing dengan teknik ELISA Sandwich menggunakan antibodi

monoklonal telah dilakukan oleh Estuningsih et al. (2009) namun persiapannya cukup kompleks dan butuh biaya yang tinggi. Metode deteksi ELISA juga dapat dilakukan dengan antibodi poliklonal, salah satu antibodi poliklonal yang mudah diproduksi adalah antibodi IgY. Pengembangan metode ELISA yang dilaksanakan dalam penelitian ini mencoba membuat terobosan dengan memproduksi poliknonal


(18)

3

antibodi dari kuning telur ayam dan serum kelinci, untuk mendeteksi antigen Ekskretori dan Sekretori (ES) dalam feses (koproantigen) pada ruminansia. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai model untuk mendiagnosis fasciolosis pada manusia.

Rumusan Masalah

Diagnosis fasciolosis dengan cara konvensional mempunyai kelemahan tidak mampu mendeteksi infeksi pada masa prepaten, serta rendahnya sensitifitas pada masa patensi. Metode ELISA yang dikembangkan untuk mendiagnosis fasciolosis dengan deteksi koproantigen masih sangat terbatas.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode ELISA sebagai teknik diagnosis fasciolosis untuk mendeteksi antigen ES dalam feses (koproantigen) pada ruminansia.

Manfaat Penelitian

Jangka pendek : Sebagai teknik diagnosis fasciolosis pada ruminansia baik di lapangan maupun di tempat pelayanan kesehatan.

Jangka panjang : Menjadi dasar pengembangan model uji diagnostik pada human


(19)

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Fasciola gigantica

Fasciola spp lebih dikenal dengan cacing hati (liver fluke), dua spesies penting diantaranya yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Berdasarkan taxonomi F. gigantica dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Soulsby 1982) :

Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda (Rudolphi 1808)

Ordo : Digenea (Van Beneden 1858)

Family : Fasciolidae (Railliet 1895)

Genus : Fasciola (Linnaeus 1758)

Species : Fasciola gigantica (Cobbold 1885)

Fasciola spp secara anatomi berbentuk pipih dorsoventral. Cacing ini

memiliki dua batil hisap berukuran hampir sama besar, yaitu batil isap ventral

(asetabulum) sejajar dengan bahu, dan batil isap oral (oral sucker) juga berfungsi sebagai mulut. Ukuran dan bentuk tubuh F. gigantica dengan F. hepatica berbeda, Cacing F. hepatica dewasa lebih pendek, kerucut kepala lebih panjang, alat reproduksi terletak lebih posterior, batil isap perut lebih kecil (Soulsby 1982). Lebih jelasnya perbedaan kedua spesies Fasciola ini, dapat dilihat seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Perbedaan bentuk F. hepatica (A) dan F. gigantica (B)

(http//www.dpd.cdc.gov/dpdx)

F. gigantica mempunyai ukuran panjang tubuh berkisar 31,73-52,29 mm,

berwarna merah muda pucat, pundaknya tidak begitu nyata, telurnya berukuran 156-197 X 90-104 µm. Ukuran panjang tubuh F. hepatica yaitu 12,22-29,00 mm, berwarna coklat keabuan, pundak lebar, telurnya berukuran 130-160 X 63-90 µm, warna keemasan dengan operkulum (Periago 2006).


(21)

Siklus hidup Fasciola gigantica

F. gigantica memiliki siklus hidup tidak langsung dengan menggunakan siput sebagai inang antara. Inang antara dari Fasciola, umumnya adalah siput genus

Lymnaea. Di Indonesia diketahui inang antara F. gigantica adalah Lymnaea

rubiginosa (Mas-Coma et al. 2009; Sripa et al. 2010). Infeksi fasciolosis berpeluang terjadi di daerah yang basah atau lembab dimana banyak terdapat siput. Penularan fasciolosis pada manusia sama dengan penularan pada hewan. Manusia terinfeksi karena memakan tanaman air yang tidak dimasak dan mengandung metaserkaria. Skema penularan pada manusia dan ternak secara rinci diuraikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Siklus hidup Fasciola giganca (http//www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Telur-telur akan terbawa oleh cairan empedu, masuk kedalam lumen usus dan keluar ke alam bebas bersama feses. Telur di air dapat bertahan hidup selama 10-15 hari pada suhu 23-25°C dan dapat mati pada suhu -4°C. Telur-telur Fasciola

berwarna kuning kecoklatan, dan memiliki operkulum pada ujungnya. Pada kondisi lingkungan yang mendukung, embrio dalam telur akan berkembang menjadi mirasidium dalam waktu 1-2 minggu. Selanjutnya mirasidium keluar dari telur untuk menginfeksi inang antara siput yang cocok, termasuk genus lymnaea (Lymnaea


(22)

7 perkembangan (sporokista, redia, dan serkaria). Serkaria yang keluar dari siput akan berenang. Bila serkaria tidak termakan oleh inang defenitif, maka akan menempel pada tumbuhan air atau permukaan lain dan terjadi enkistasi membentuk kista. Kista ini menjadi metaserkaria (fase infektif), yang akan termakan oleh hewan atau manusia sebagai inang definitif. Mamalia dan manusia terinfeksi karena memakan tanaman air tawar yang mengandung metaserkaria, terutama selada air. Setelah konsumsi, metaserkaria ekskistasi di duodenum dan bermigrasi melalui dinding usus, rongga peritoneal, dan parenkim hati ke dalam saluran empedu, di mana mereka berkembang menjadi dewasa. Larva masuk ke dalam hati dengan menembus kapsula hati (kapsul glissoni) dan mengembara ke seluruh parenkim hati selama sembilan minggu (2-3 bulan), larva masuk kedalam saluran empedu, mereka menjadi dewasa dan menghasilkan telur. Pada manusia, pematangan metaserkaria menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan (Garsia et al. 2009).

Fasciolosis

Fasciolosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh cacing hati

(Fasciola spp), yang hidup didalam hati dan saluran empedu pada hewan mamalia

maupun manusia. F. hepatica dan F. gigantica merupakan dua spesies utama penyebab fasciolosis. Penyakit ini juga dikenal dengan berbagai nama lain, misalnya Distomatosis hepatik, Cattle liver fluke, Giant liver fluke (Akoso 1991). Fasciola spp sebagai penyebab kerugian ekonomi pada ternak ruminansia terutama domba dan sapi diseluruh dunia bahkan pada manusia (Swai 2009; Mas-Coma et al. 2009).

Hewan yang rentan adalah sapi dan kerbau, hewan yang kurang rentan adalah domba, kambing dan ruminan lain, serta dapat juga menyerang babi, anjing, kucing, kuda, kelinci dan manusia (Soulsby 1982). Pada ternak, fase migrasi larva menyebabkan kerusakan parenkim hati yang luas, penyakit ini dikenal dengan Liver rot (Lim et al. 2008). Bentuk akut, berupa mati mendadak disertai darah yang merembes atau keluar dari hidung dan anus. Bentuk kronik tahap pertama anemia, kelemahan otot, penurunan nafsu makan, serta bulu menjadi kering dan rontok, akhirnya terjadi kebotakan dan hewan menjadi lemah dan kurus. Ternak domba penderita fasciolosis kadang, mendapat infeksi sekunder oleh bakteri Clostridium novyi tipe B, dikenal sebagai penyakit hitam (Black desease) (Soulsby 1982).


(23)

Fasciola adalah cacing penghisap darah yang dapat menghabiskan 0,2 ml per hari (Jennings et al. 1956). Kerusakan utama ternak adalah serosis hati akibat munculnya tenunan pengikat yang mengisi luka, bekas migrasi Trematoda sehingga akhirnya hati menjadi keras. Dinding saluran empedu menebal, sering kali disertai pengapuran yang mengandung cacing, telur cacing serta darah, warna empedu hijau kehitaman. Pengapuran sering kali sangat tebal sehingga sulit dikerat dengan pisau seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 Hypertrophia hati dari saluran empedu disebabkan

Fasciola hepatica pada kambing (http//www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Di Indonesia fascioliasis pertama kali dilaporkan oleh Van Velzen di Tangerang pada tahun 1890. Saat ini diketahui cacing ini tersebar pada ternak di seluruh Indonesia sesuai dengan penyebaran siput Lymnaea yang menjadi inang antara. F. gigantica, merupakan parasit asli dari Indonesia sedangkan F. hepatica

datang ke Indonesia mungkin bersama dengan di bawanya sapi perah FH dari Belanda (Kusumamihardja 1992). Menurut Suweta (1982), ternak kerbau di Indonesia diperkirakan dari 25-48 ternak rata-rata 36-38 ternak terinfeksi oleh

F. gigantica. Ternak yang rentan biasanya diperlukan lebih dari 1000 metaserkaria untuk menimbulkan fasciolosis klinis, dan kematian terjadi setelah terinfeksi oleh 10.000 metaserkaria (Nasser 2008).

Fasciolosis pada manusia dalam fase laten memiliki gejala utama yang dapat diwaspadai yaitu: Demam 40-42°C, nyeri abdomen, gangguan gastrointestinal (hilang nafsu makan, mual perut kembung, diare), gejala pernapasan (sangat jarang), hepatomegali dan splenomegali, asites, anemia, penyakit kuning. Fase ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan atau tahun. Proporsi asimtomatik pada fase ini tidak diketahui. Survei di beberapa daerah menggambarkan bahwa terdapat wilayah endemik dengan fascioliasis pada manusia, estimasi menunjukkan bahwa


(24)

9 2,4 juta bahkan sampai 17 juta orang terinfeksi dengan F. hepatica di dunia (Sripa et al. 2010). Fasciolosis pada manusia, jarang ditemukan cacing dewasa, sehingga seringkali tidak ditemukan adanya telur cacing dalam feses. Identifikasi spesies bergantung pada ukuran telur yang terdeteksi hanya 3-4 bulan setelah infeksi, dengan dinamika pengeluaran telur berselang. Dengan demikian, mayoritas kasus fasciolosis manusia didiagnosa melalui metode serologis. Metode ini tidak dapat dipercaya karena menghasilkan diferensiasi spesies, meskipun demikian di negara Eropa, dipercaya bahwa fasciolosis manusia disebabkan oleh F. hepatica karena di lapangan F. hepatica adalah spesies dominan dalam ternak Eropa (Mas-coma et al. 2009).

Fasciolosis pada manusia banyak dilaporkan dari negara Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Oceania. Prevalensi penyakit pada manusia berkorelasi dengan penyakit pada hewan. Di Asia kasus dilaporkan di Iran dengan jumlah 10.000 kasus, sedang di Asia tenggara kasus ini bersifat sporadik. Prevalensi tertinggi fasciolosis manusia ditemukan di wilayah Altiplano Bolivia (Mas-Coma et al. 2005). Tiga jenis situasi endemik dapat dibedakan menurut prevalensi populasi diperoleh dari coprologikal diagnosis yaitu Hypoendemik prevalensi <1%, Mesoendemik prevalensi 1 ± 10%, Hiperendemik prevalensi > 10% (Sampaio 1990; Knobloch et al. 1985).

Metode Diagnosis Fasciolosis 1) Pemeriksaan secara klinis

Diagnosis secara klinis yaitu ditegakkan berdasarkan observasi, riwayat sakit penderita yang mengalami pembesaran hati yang melunak, disertai sindrom demam eosinofilik. Migrasi cacing muda dari usus ke hati dapat menimbulkan lesi ektopik di dinding usus, jantung, bola mata, paru dan jaringan dibawah kulit, sehingga menimbulkan keluhan setempat. Bentuk akut dapat keliru dengan penyakit antraks, karena adanya pengeluaran darah dari hidung dan anus. Bentuk kronik pada domba dapat keliru dengan haemonchosis karena adanya bottle jaw, anemia pada fascioliasis dapat keliru dengan anemia oleh penyebab yang lain (Akoso 1991).

2) Pemeriksaan secara laboratorium

Pemeriksaan secara laboratorium dapat dibedakan dalam beberapa metode yaitu antara lain pemeriksaan secara mikroskopis, serologi dan molekuler.


(25)

a Pemeriksaan secara mikroskopis atau konvensional

Fasciolosis kronis dapat didiagnosis melalui pemeriksaan telur dalam feses dibawah mikroskop. Teknik konvensional dengan pulasan sederhana atau metode konsentrasi, dapat dibedakan atas pengendapan (sedimentasi), pengapungan

(floating), saringan bertingkat. Metode konsentrasi adalah suatu metode yang

dirancang untuk memisahkan organisme protozoa dengan telur cacing dari kotoran feses melalui perbedaan berat jenis (Taylor 1964). Penegakkan diagnosis pasti, dilakukan dengan pemeriksaan feses, cairan duodenum, atau cairan empedu hospes untuk menemukan telur cacing Fasciola dengan penghitungan jumlah telur tiap gram feses. Penemuan metaserkaria pada rumput, membantu menegakkan diagnosis terutama fasciolosis jaringan dan fascioliasis dalam periode prepaten. Diagnosa infeksi secara konvensional didasarkan pada penemuan telur cacing yang dikeluarkan oleh cacing dewasa di dalam feses hewan atau manusia (Garcia et al.

2009).

b Pemeriksaan secara serologi

Pemeriksaan secara serologi didasarkan pada penggunaan antibodi dengan target antigen parasit yang dicari, merupakan metode yang sensitive dan spesifik. (Teledo et al. 2003; Charlier et al. 2008). Alternatif metode yang dapat digunakan yaitu enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) ini umum digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi atau antigen dalam sampel dan relatif sederhana (Jaswir 2010).

c Pemeriksaan secara molekuler

Teknik pemeriksaan secara molekuler umumnya dilakukan dalam penelitian dan seputar dunia laboratorium dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR merupakan teknik untuk memperkuat satu salinan tunggal atau beberapa potong DNA, sebagai primer, di beberapa kali lipat, menghasilkan ribuan sampai jutaan gandaan urutan DNA tertentu. PCR dapat dimodifikasi secara luas untuk berbagai macam manipulasi genetik. teknik PCR dapat digunakan untuk memverifikasi, sertifikasi dan mendeteksi kebanyakan protein hewani (Jaswir 2010).


(26)

11

Antibodi Poliklonal

Antibodi merupakan protein yang dibuat oleh semua spesies hewan dan merupakan bagian dari sistem tanggap kebal terhadap substansi asing. Respon imun (respon humoral) terjadi akibat antigen yang merupakan substansi asing menggertak sel T sebagai helper sehingga berdiferensiasi menjadi limfokin. Limfokin berinteraksi dengan sel limfosit B, dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma

.

Sel limfosit T yang terdiri dari sel limfosit T sitotoksik dan sel limfosit T helper. Sel limfosit T sitotoksik berperan dalam menghancurkan antigen intraseluler sedangkan sel limfosit T helper berperan untuk membantu sel limfosit B (Black 2005). Mekanisme kerja antibodi untuk mempercepat penghancuran dan penyingkiran antigen dengan netralisasi, presipitasi, agglutinasi, serta lisis (Guyton dan Hall 2007).

Antibodi poliklonal diperoleh dengan cara melakukan imunisasi secara sengaja terhadap hewan dengan suatu imunogen spesifik (hiperimunisasi). Antibodi poliklonal memiliki campuran kompleks antibodi dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda serta keterbatasan produksi karena dibatasi oleh umur hewan yang digunakan (Zola 1987). Antibodi poliklonal memiliki reaktivitas multipel yaitu dapat menangkap sejumlah epitop (antigen determinan) yang berbeda pada antigen. Reaktivitas multipel antibodi poliklonal dapat menimbulkan reaksi silang. Reaksi silang ini dapat terjadi karena epitop yang sama dimiliki oleh antigen yang berbeda atau epitop yang secara struktur mirip atau memiliki keserupaan dengan epitop pembuat peka (priming epitop) yang dikenali oleh antibodi (Smith 1995). Antibodi dapat digunakan sebagai reagensia untuk mengukur, mendeteksi dan memurnikan molekul biologis bahkan untuk pengobatan.

Antibodi terdiri dari unit dasar yang disebut immunoglobulin (Ig). Ig merupakan penyusun antibodi yang memiliki dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Ig secara kimia berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua rantai berat) yang tersusun dengan bentuk khusus (Gambar 4). Produksi Ig secara biologis distimulasi oleh antigen dan memiliki reaksi yang spesifik (Barriga 1981). Ada lima golongan Ig yaitu IgM, IgG, IgA, IgE dan IgD. Diantara lima golongan tersebut, IgG umum digunakan dalam immunodiagnostik. Hal ini disebabkan IgG


(27)

memiliki presentasi terbanyak yaitu 70-75% di dalam serum normal dibandingkan IgM (antibodi pertama yang muncul dalam respon primer), IgA, IgE dan IgD. IgG memiliki struktur monomer dengan berat molekul 146.000 dalton serta merupakan antibodi utama dari respon imun sekunder. Molekul imunoglobulin yang berbeda dapat memiliki sifat mengikat antigen yang berbeda karena VH yang berbeda dan daerah VL (De Buysscher dan Patterson 1995). Secara struktural, IgG memiliki empat rantai polipeptida terbagi atas dua rantai berat identik dengan berat molekul 50.000 dalton serta dua rantai ringan dengan berat molekul 25.000 dalton. Antara rantai berat dan rantai ringan polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian engsel (hinge region). Rantai berat dan ringan dari IgG masing-masing memiliki bagian konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variable, Bagian yang dapat berubah (variable) berfungsi khusus untuk melekat antigen pada struktur IgG. Bagian konstan menentukan sifat biologis IgG seperti penyebaran IgG dalam jaringan, pelekatan IgG pada struktur jaringan spesifik,

pelekatan pada kompleks komplemen, serta kemudahan IgG dalam melewati

membran (Guyton dan Hall 2007).

Fc: Fragment crystallization, FAB: Fragment antigen binding, CH1 CH2 CH3 : constant regions, HV VL : variable domains, FV : Fragment variable, Warna hijau: Rantai berat, Warna biru: Rantai ringan, bulat biru : Carbohydrate.

Gambar 4 Struktur IgG pada mamalia (Jose 2000).

Pada ayam IgG lebih dikenal sebagai IgY. IgY merupakan antibodi humoral utama pada unggas. Pada ayam IgA dan IgM memiliki kemiripan dengan IgA dan IgM mamalia dalam hal berat molekul, morfologi, dan mobilitas imunoelektroporetik


(28)

13 (Tarigan 2003). IgY pada ayam tidak memiliki persamaan imunologis dengan IgG mamalia, namun mempunyai struktur yang sama yaitu memiliki dua rantai ringan dan dua rantai berat, urutan DNA IgY menyerupai urutan DNA pada IgE manusia (Carlender 2002). IgY ditemukan oleh Klemperer tahun 1893, yang menggambarkan adanya kekebalan pasif terhadap toksin tetanus yang diturunkan dari induk ke anak ayam. IgY terdapat dalam kuning telur dan serum dalam bentuk molekul immunoglobulin dengan konsentrasi sekitar 10-20 mg/ml (Davalos et al. 2001). IgY lebih tahan terhadap suhu dan perubahan pH dibandingkan IgG, namun sangat sensitive terhadap denaturasi. Aktifitas IgY dapat dipertahankan jika disimpan pada suhu 370C untuk jangka waktu enam bulan, bahkan dapat dipertahankan selama 10 tahun jika disimpan pada suhu 40C (Larsson et al. 1993). Inkubasi pada pH lebih dari 4 masih dapat ditoleransi, namun pada pH 2 suhu 370

Mekanisme pembentukan IgY dalam serum darah dan kuning telur memiliki kemiripan dengan pembentukan IgG pada mamalia. Namun terdapat beberapa perbedaan antara IgY dengan IgG berupa ukuran yang lebih besar, sifat keasaman, kerapatan molekul yang lebih rendah (Higgins 1995; Szabo et al. 1998). IgY dapat mengenali lebih banyak epitop antigenik dibandingkan dengan antibodi yang diproduksi mamalia. IgY juga mampu mengikat antibodi sekunder hingga tiga sampai lima kali lebih kuat dari IgG. IgY tidak mengikat reseptor permukaan sel Fc, tidak mengikat protein A dan G (Schmidt et al. 1993). Perbedaan dalam interaksi molekuler menjadi keuntungan besar untuk mengaplikasikan antibodi IgY dalam berbagai penelitian, diagnostik kedokteran, bioteknologi serta menjadi antibodi alternative unggulan untuk immunoglobulin konvensional (Hodek et al. 2003; Michael et al. 2010).

C aktivasi IgY menurun drastis. Penurunan aktivitas tersebut disebabkan oleh perubahan konformasi (Michael et al. 2010).

Antigen Ekskretori dan Sekretori (ES)

Antigen (antibody generating substances) adalah suatu senyawa atau substansi yang dapat menggertak sistem imunitas dapatan pada inang atau individu. Antigen dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti atau lipopolisakarida, maupun lipoprotein. Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan kerumitan strukturnya. Hampir semua protein berat molekulnya lebih besar dari 8000


(29)

dalton bersifat antigenik. Pembentukan sifat antigenik tergantung kepada pengulangan kelompok molekul secara regular, yang disebut epitop (antigenik determinan) pada permukaan molekul besar (Guyton dan Hall 2007).

ES merupakan antigen protektif yang dapat memicu tanggap kebal inang definitif (McKeand et al. 1995). Selain antigen ES, parasit memiliki antigen somatik dan antigen permukaan yang dapat dikenali oleh inangnya. Antigen somatik hanya dapat dikenali oleh inangnya jika cacing tersebut telah mati atau dihancurkan, sedangkan antigen permukaan selalu berubah seiring dengan rangkaian perkembangan cacing yang mengalami moulting sepanjang hidupnya sehingga menyulitkan inang defenitif dalam memberi respon tanggap kebal. Antigen ES mempunyai sifat yang lebih dapat dikenali oleh sistem tanggap kebal daripada antigen somatik dan antigen permukaan, sehingga diduga lebih protektif untuk memicu respon tanggap kebal (Chowdhury 1994).

Antigen ES mengandung glikoprotein yang menutupi kulit cacing, juga mengandung sebagian kecil enzim, yang dilepaskan secara konstan sehingga mempermudah migrasi ke jaringan inang (Bird 1991). Analisis dua dimensi gel eektroforesis mengindikasikan bahwa F. hepatica melepaskan sekitar 60 protein dalam substansi ES. Di antaranya ada 29 protein yang merupakan protein esensial

cathepsin L, superoxide dismuthase, thioredoxin peroxidase, glutathione S

transferase, dan protein yang terikat pada asam lemak. Cathepsin L menempati jumlah yang paling banyak ditemukan dalam ES Fasciola sp (Ridi et al. 2007).

Fasciola sp. menghasilkan berbagai jenis antigen ES yang berbeda-beda

pada setiap stadium hidupnya yang beredar pada sirkulasi inangnya. Antigen tersebut menjadi studi terbaik dan potensial untuk diagnostik dikenal dengan

gut-associated antigen. Molekul tersebut berasal dari usus parasit dan dilepas ke

sirkulasi inang melalui regurgitasi regular dalam pencernaan usus. Kehadiran ES menjadi indikasi infeksi aktif cacing yang masih hidup (Shehab et al. 1999).


(30)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2009 hingga Januari 2011, di bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK), Departemen Ilmu Penyakit Hewan & Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, di Bogor.

Prosedur Penelitian

Pengembangan metode ELISA untuk mendeteksi keberadaan koproantigen

F. gigantica dilakukan melalui lima tahapan : 1) Isolasi, produksi dan karakterisasi antigen ES F. gigantica. 2) Produksi dan deteksi poliklonal antibodi. 3) Optimasi ELISA. 4) Uji spesifisitas dan sensitifitas. 5) Uji ELISA dengan sampel feses dari lapangan.

Tahap 1 Isolasi,Produksi dan Karakterisasi Antigen ES F. gigantica

Cacing hati (F. gigantica) dikoleksi dari delapan hati sapi yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) Palu dan Purwodadi. Organ hati dipreparir di sepanjang saluran empedu untuk mengeluarkan cacing. Jaringan hati dibagi menjadi potongan-potongan kecil untuk memudahkan pengambilan cacing. Cacing hati (F. gigantica) dewasa yang dikoleksi dari hati sapi dicuci tiga kali dalam larutan NaCl fisiologis, untuk menghilangkan sisa jaringan dan empedu yang menempel ditubuh cacing. Kondisi fisik cacing diamati dengan mikroskop stereo atau lup. Cacing yang masih hidup dan utuh dikumpulkan dalam wadah berisi NaCl fisiologis. Cacing tersebut selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung 50 ml berisi larutan

Phosphate Buffer Saline (PBS) kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 15-20

menit (50 cacing dalam 100 ml PBS). Cacing yang telah bersih dipindahkan ke dalam media RPMI 1640 yang mengandung antibiotik dan diinkubasikan pada suhu 370C selama 20 menit. Cacing hati yang masih hidup dipindahkan ke dalam medium RPMI 1640 yang baru dan diinkubasi selama 4 jam suhu 370C (dua ekor cacing dalam 1 ml RPMI). Larutan RPMI yang mengandung antigen ES dipisahkan dari cacingnya, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 G pada suhu 4ºC selama 10 menit. Larutan dikumpulkan supernatannya dan dibuang peletnya.


(31)

Supernatan hasil sentrifugasi dipekatkan dengan penambahan Ammonium sulfat 40% (w/v) sambil diaduk dengan batang pengaduk magnet selama 24 jam pada suhu 4ºC. Ekskretosi–sekretori yang telah dipekatkan dimurnikan dengan cara didialisis menggunakan membrane selulosa (Sigma®) dalam larutan PBS selama empat jam, volume PBS yang digunakan sebanyak 100 kali volume larutan yang didialisis. Buffer pendialisis diganti setiap satu jam. Hasil dialisis merupakan antigen ES yang telah dimurnikan, selanjutnya antigen ES tersebut disimpan dalam freezer -200

Konsentrasi protein antigen ES yang diperoleh diukur menggunakan metode Bradford (1976). Karakterisasi protein antigen ES diamati dengan melarikan protein tersebut menggunakan metode Sodium Deodecil Sulphate-Poly Acrilamide Gel

Elektrophoresis (SDS-PAGE) (Laemmli 1970).

C sampai saat akan digunakan.

Tahap 2 Produksi dan Deteksi Poliklonal Antibodi

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis poliklonal antibodi yaitu IgG yang berasal dari kelinci dan IgY yang berasal dari kuning telur ayam. Imunoglobulin G

anti ES F. gigantica kerbau diperoleh dengan cara menyuntikan antigen protein ES

F. gigantica asal kerbau pada dua ekor kelinci percobaan. Pada penelitian ini

digunakan dua ekor kelinci ras white New Zaeland umur dua bulan, berat badan masing-masing satu kg. Sebelum digunakan hewan coba dipelihara dan diberi obat anti cacing agar bebas dari penyakit cacing dan ivomex® agar tidak terkena infeksi penyakit parasit. Dosis imunisasi masing-masing kelinci adalah 150 µl/ekor. Imunisasi pertama dilakukan dengan rute intra vena (i.v). Imunisasi kedua dilakukan seminggu setelah imunisasi pertama dengan rute subcutan menggunakan Freud

adjuvan komplit dengan perbandingan antara Antigen dan adjuvan sama banyak.

Penyuntikan ketiga sampai kelima dengan interval tiga minggu melalui rute subkutan (s.c), menggunakan Frued adjuvan inkomplit dengan perbandingan sama.

Deteksi poliklonal antibodi dilakukan dengan, mengambil sampel serum dari vena auricularis pada telinga, seminggu setelah penyuntikan kedua hingga minggu ke 16. Pemeriksaan kualitatif metode Agar Gel Precipitation Test (AGPT) menurut Eisen (1973) digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti ES dari kelinci. Hewan coba yang telah membentuk antibodi (IgG) dalam darah terhadap antigen ES


(32)

17

37oC dengan posisi miring selama 30 menit. Kemudian disimpan dalam refrigerator semalam pada suhu 4o

Serum yang diperoleh dimurnikan untuk mendapatkan IgG menggunakan

Montage

C. Serum dikumpulkan menggunakan mikropipet. Bila perlu, darah disentrifus dengan kecepatan 2000 x g selama 15 menit.

®

Antibody Purification Kit and Spin Columns with PROSEP®-A Media.

Media PROSEP®-A yang digunakan dipre-ekuilibrasi menggunakan 10 ml Binding Buffer A dengan mensentrifuse spin column dengan kecepatan 500 x g selama 30 menit pada suhu 4oC. Sampel berupa serum kelinci anti ES F.gigantica kerbau disaring menggunakan 0.2 µm Steriflip-GP filter. Kemudian 10 ml serum yang telah difiltrasi ditambahkan dengan 10 ml Binding Buffer A (perbandingan 1:1 v/v) disentrifus dengan kecepatan 500 x g selama 30 menit suhu 4oC. Setelah 30 menit, supernatan didasar tabung dibuang kemudian spin column dibilas menggunakan 20

ml Binding Buffer A yang disentrifus dengan kecepatan 500 x g selama 30 menit

pada suhu 4oC untuk menghilangkan kontaminan yang tidak terikat. Setelah itu, sebanyak 10 ml Elution Buffer B2 ditambahkan langsung kedalam spin column

dalam tabung steril baru yang telah diisi 1,3 ml Neutralization Buffer C yang disentrifus dengan kecepatan 4500 x g selama 40 menit pada suhu 4oC. Supernatan didasar tabung yang mengandung IgG diambil, kemudian difiltrasi menggunakan Amicon® 30.000 yang disetrifus dengan kecepatan 4500 x g selama 25 menit pada suhu 4oC. Supernatan berupa IgG yang tertinggal didalam filter disimpan dalam tabung-tabung mikro volume 1.5 ml, disimpan dalam suhu -20o

Poliklonal antibodi immunoglobulin Y (IgY) dari kuning telur ayam adalah kuning telur yang telah diproduksi pada penelitian Satrija et al. (2009). Kuning telur diperiksa secara kualitatif dengan metode AGPT sama seperti IgG, untuk mendeteksi keberadaan poliklonal antibodi IgY. Setelah poliklonal antibodi IgY terdeteksi secara kualitatif, selanjutnya dilakukan pemurnian menggunakan Kit

EGGstart® IgY Perrification System (PROMEGA).

C. Konsentrasi IgG yang telah dipurifikasi diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang 595 nm dengan metode Bradford.

Telur yang akan dimurnikan terlebih dahulu dikondisikan dalam suhu ruang beberapa saat sebelum dipecah kerabangnya. Kemudian kuning telur dipisahkan dari putih telur, selanjutnya membrane vitelin kuning telur ditusuk dengan jarum steril agar cairan kuning telur keluar. Cairan kuning yang keluar ditampung dalam gelas


(33)

piala steril dan ditimbang beratnya. Larutan presipitasi A ditambahkan sebanyak tiga kali volume kuning telur dan diaduk selama 5 menit untuk menggumpalkan lemak, lalu sentrifuse dengan kecepatan 10.000 g, selama 15 menit pada suhu 40C. Supernatan disaring melalui 4 lapis kain kasa steril lalu perlahan-lahan diaduk dan ditambahkan larutan B sebanyak 1/3 dari volume filtrat. Larutan tersebut terus diaduk selama 5 menit kemudian disentrifuse dengan kecepatan 10.000 g selama

15 menit pada suhu 40C. Pellet presipitat yang terkumpul didasar tabung

dipindahkan ke tabung lain, supernatan dibuang. Kemurnian IgY yang didapat adalah sekitar 63%, untuk meningkatkan menjadi 90% dengan cara memproses ulang pellet presipitat dengan penambahan larutan B sebanyak 1/3 dari volume filtrat. Sebelum dilakukan pengulangan langkah selanjutnya, pellet presipitat yang terkumpul ditambah dengan PBS sebanyak volume awal kuning telur. Larutan dihomogenkan lalu di aliquot 1 ml dalam tabung mikro. Konsentrsi IgY yang telah dimurnikan dihitung menggunakan metode Bradford (1976), dan sebelum digunakan disimpan dalam freezer -200

Tahap 3 Optimasi ELISA

C.

Optimasi uji ELISA Sandwich dilakukan berdasarkan metode Estuningsih (2006), yang dimodifikasi. IgY sebagai antibodi cupture dicoatingkan ke mikroplate ELISA dalam beberapa konsentrasi 0,5, 1, 2, dan 4 µg/ml pengenceran dengan larutan Buffet Bicarbonate (Na2NO3). Setiap sumur mikroplate diisi 100 µl larutan IgY dan diinkubasi selama semalam pada suhu 40C. Setelah inkubasi semalam mikroplate dibilas dengan PBS Tween 0,05% sebanyak 200 µl, pada masing-masing sumur lalu bilas dengan PBS lalu keringkan. Selanjutnya blocking dilakukan dengan mengunakan susu 5% selama satu jam pada suhu 370C. Mikroplate dicuci seperti pada pencucian pertama, lalu sampel antigen ES F. gigantica sapi konsentrasi 5 µg/ml (1/200) sebanyak 100 µl diisi ke setiap sumur, inkubasi selama satu jam pada suhu 370C. Kemudian dilakukan pencucian seperti langkah awal, selanjutnya IgG sebagai antibodi deteksi konsentrasi 1 dan 2 µg/ml (1/1000; 1/500), dimasukkan sebanyak 100 µl inkubasi pada suhu 370C selama satu jam. Bilas kembali seperti pencucian awal lalu konjungate anti rabbit yang telah diencerkan dengan PBS (1: 10.000) diisikan ke setiap sumur sebanyak 100 µl, inkubasi selama sejam pada


(34)

19

suhu 370

Tahap 4 Uji Spesifisitas dan Sensitifitas

C. Pencucian dilakukan kembali seperti langkah sebelumnya, selanjutnya substrat dimasukkan pada setiap sumur dalam kondisi ruang tanpa cahaya, inkubasi selama 10-15 menit, kemudian nilai absorbansi dibaca dengan menggunakan ELISA

reader pada panjang gelombang 615 nm.

Penentuan spesifisitas dan sensitifitas uji ELISA Sandwich yang telah dioptimasi untuk mendeteksi koproantigen F. gigantica dilakukan dengan menggunakan 37 sampel feses yang diperoleh dari sapi yang dipotong di tiga Rumah Potong Hewan (RPH) yaitu RPH Bubulak, RPH Purwodadi dan RPH Palu. Hasil diagnosa infeksi cacing hati dengan uji ELISA untuk mendeteksi koproantigen dibandingkan dengan hasil pemeriksaan postmortem yang merupakan gold standard untuk menghitung spesifisitas dan sensitivitas uji dengan menggunakan tabel 2 x 2 berikut :

Gold standard

Positif Negatif

a

b

c

d

Rumus yang digunakan :

- Sensitifitas = a / (a + c) x 100% - Spesifisitas = b / (b + d) x 100%

- Akurasi = (a + d) / (a+b+c+d) x 100% (

Mattjik dan Sumertajaya 2006)

Tahap 5 Uji Coba ELISA dengan Sampel Feses dari Lapangan

Kemampuan ELISA Sandwich dalam mendeteksi infeksi Fasciola pada

ruminansia di lapangan diuji coba dengan menggunakan 44 sampel feses terdiri dari 37 sampel feses sapi dan enam sampel feses banteng. Sampel tersebut diperoleh dari sapi yang dipotong di RPH dan banteng dari Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Hasil ELISA dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik dengan

Negatif Positif Hasil uji


(35)

metode Mcmaster dan saringan bertingkat yang merupakan metode konvensional untuk mendiagnosa infeksi cacing saluran pencernaan serta cacing hati.

Uji Sandwich Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Supernatan sampel feses untuk uji ELISA dipersiapkan mengikuti metode Estuningsih (2006) yang dimodifikasi. Sampel feses ditimbang sebanyak dua gram dalam tabung reaksi, lalu dibuat suspensi dengan menambahkan 8 ml Phosphate

Buffer Saline Twee (PBST) 1% (1:4). Suspensi feses tersebut dihomogenkan

menggunakan vortex dalam kecepatan tinggi, selanjutnya disentrifugasi 5000 g selama 10 menit pada suhu 40C, supernatan dikoleksi dan disimpan pada suhu -200

Cawan ELISA (NUNC), dasar datar dilapisi dengan 50 µl/sumur IgY sebagai antibodi penangkap, yang telah diencerkan 1/250 dengan Buffer Bicarbonat (Na2NO3), lalu diinkubasi semalam pada suhu 4

C.

0

C. Setelah diinkubasi cawan dicuci tiga kali dengan larutan PBST 1% dan satu kali dengan PBS. Plate yang telah dicuci kemudian diblocking dengan skim 5% 100 µl/lubang, lalu diinkubasi selama 1 jam pada suhu 370C. Selanjutnya cawan ELISA dicuci kembali dengan PBST 1% tiga kali dan PBS satu kali. Supernatan feses dimasukkan sebanyak 50 µl/lubang pengenceran 1:4, selama 1 jam suhu 370C. Setiap sampel dilakukan duplikasi, setiap cawan ELISA dibuat kontrol positif negatif. Setelah diinkubasi dan dicuci tiga kali dengan PBST 1% dan PBS satu kali, selanjutnya IgG (1/500) sebagai antibodi pendeteksi dimasukkan 50 µl/sumur, selama 1 jam pada suhu 37ºC. Kemudian

dilakukan pencucian seperti langkah sebelumnya dan secondary antibody

dimasukkan 50 µl/sumur yaitu IgG anti rabbit yang telah dikonjungasi dengan enzim peroksidase (IgG HRP anti rabbit), lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam. Plate dicuci kembali dengan PBST 1% sebanyak tiga kali dan PBS satu kali, terakhir substrat 50 µl/sumur dimasukkkan dalam kondisi tanpa cahaya. Tunggu terjadi perubahan warna sekitar 10-15 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50

µl/lubang stop solution H2SO4 dan reaksi akan berwarna kekuningan. Optical

Density (OD) dibaca pada panjang gelombang 615 nm dengan menggunakan ELISA

reader. Nilai absorbansi sampel adalah nilai yang didapat dari pembacaan nilai


(36)

21

cut-off dihitung dari nilai rata-rata semua sampel negatif F. gigantica ditambah dengan dua kali standar deviasi.

Metode Filtrasi (Saringan bertingkat)

Metode filtrasi yang dilakukan yaitu dengan menggunakan saringan bertingkat dari kerapatan 400, 100 dan 45 µm. Sampel feses ditimbang sebanyak empat gram, kemudian tambahkan aguades kocok hingga homogen. Larutan feses tersebut kemudian disaring dengan menggunakan saringan yang telah disusun berdasarkan kerapatan saringan yaitu 400, 100, dan 45 µm. Pellet yang tertinggal pada saringan pertama dan kedua dibuang, selanjutnya pada saringan ketiga dikumpulkan dengan menyemprotkan aquades. Pellet tersebut ditampung dalam cawan petri kemudian ditambahkan satu tetes metilen blue. Kemudian pemeriksaan dilakukan dibawah mikroskop stereo dengan pembesaran 10 x 40 mikron.

Metode McMaster

Metode McMaster adalah cara menghitung telur cacing dengan mengggunakan kamar hitung McMaster, metode ini diperkenalkan oleh Gordon dan Whitlock (1939). Tinja ditimbang sebanyak dua gram, kemudian dilumatkan dan dicampur larutan gula garam kira-kira 30 ml, lalu disaring ke dalam gelas piala berskala. Air gula garam ditambahkan kembali hingga mencapai volume total suspensi 60 ml. Larutan dikocok hingga homogen, lalu diambil dengan menggunakan pipet dan diisikan ke dalam kamar-kamar McMaster hingga penuh tanpa gelembung udara. Biarkan 2-3 menit hingga telur mengapung.

Telur cacing dihitung dengan menggunakan mikroskop, pada daerah yang bergaris adalah telur yang diperoleh dalam 0,15 ml larutan. Bila banyak, jumlah rata-rata telur dalam tiap daerah bergaris dikalikan dengan 100, sehingga akan diperoleh banyaknya telur dalam tiap gram tinja. Pemeriksaan menggunakan mikroskop compound dengan pembesaran 10 x 40 mikron.


(37)

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi, Produksi dan Karakterisasi Antigen ES F. gigantica

Sampel hati sapi terinfeksi cacing F. gigantica dikoleksi dari sapi yang dipotong di rumah potong hewan Palu dan Purwodadi. Cacing yang dikoleksi dari hati tersebut mampu menghasilkan ES dengan konsentrasi protein antara 0,430-0,699 mg/ml. Konsentrasi protein antigen ES F. gigantica yang diperoleh hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Satrija et al. (2009) yaitu 0,501 mg/ml. Antigen ES F.gigantica sapi yang dihasilkan dalam penelitian ini, digunakan sebagai antigen yang akan mendeteksi keberadaan antibodi poliklonal (IgG dan IgY). Antigen ES F. gigantica tersebut juga digunakan sebagai kontrol positif pada optimasi uji ELISA Sanwich.

Konsentrasi protein ES F. gigantica asal sapi yang dihasilkan memiliki konsentrasi cukup sebagai antigen. Persyaratan sebuah antigen yang baik agar

dapat menginduksi antibodi berkisar antara 50-1000 µg/ml. Berdasarkan

persyaratan konsentrasi tersebut maka antigen ES F. gigantica asal sapi yang dihasilkan termasuk dalam antigen yang baik digunakan untuk menginduksi antibodi. Antigen dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti atau lipopolisakarida, maupun lipoprotein (Guyton et al. 2007). Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard 2004). Limitasi fisikokimiawi berupa ukuran molekul yaitu besar, kaku, struktur kimia kompleks, sedangkan derajat keasingan adalah derajat suseptibilitas antigen di dalam tubuh (Kuby 2007).

Antigen ES yang dihasilkan dari setiap isolasi cacing F. gigantica memiliki konsentrasi berbeda-beda, hal ini terjadi karena adanya perbedaan jumlah cacing yang diinkubasi. Jumlah antigen ES yang dieksresikan berbanding lurus dengan jumlah cacing yang diisolasi, diketahui protein esensial menempati jumlah terbanyak dalam ekskretori dan sekretori Fasciola sp (Ridi et al. 2007). Sehingga semakin banyak cacing yang disolasi, akan menghasilkan banyak protein ES. Rataan konsentrasi antigen ES tiap ekor cacing F. gigantica asal sapi disajikan pada Gambar 5. Rata-rata konsentrasi antigen ES yang dihasilkan perekor cacing sekitar


(39)

0,18 mg/ml. Hasil analisis statistik menunjukkan faktor jumlah cacing yang diisolasi berpengaruh terhadap rata-rata konsentrasi ES yang dihasilkan dengan p-value < alpha 0,05 (0,04), dan model yang digunakan sudah cukup baik karena dapat menjelaskan 98% (R-sq) keragaman model.

Gambar 5 Jumlah konsentrasi antigen ES yang dihasilkan F. gigantica per ekor Berdasarkan elektroforesis menggunakan SDS-PAGE tampak bahwa protein ES F. gigantica asal sapi memiliki lima pola pita protein dengan berat molekul 104,99, 90,05, 56,43, 47, dan 30,27 kDa (Gambar 6 A). Hasil pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Meshgi et al. (2008). Mesghi et al menemukan enam pita protein dengan berat molekul yaitu berkisar 42, 33, 24, 20, 16, dan 15 kDa dari ES F. gigantica (Gambar 6 C). Profil protein ES yang dihasilkan dari spesies cacing yang sama, dan inangnya pun spesiesnya sama, tetapi berasal dari geografis berbeda dapat menghasilkan protein yang berbeda (Gupta et al. 2003). Perbedaan profil protein ES cacing dipengaruhi oleh berbagai hal seperti teknik isolasi, analisa dan spesies parasit, spesies inang serta geografi asal inang. Menurut Allam et al. (2002) perbedaan teknik pemisahan protein menghasilkan karakter protein yang berbeda dari cacing Fasciola spp. Perbedaan pola protein dapat pula disebabkan oleh perbedaan spesies cacing dari inang yang sama, dan dari spesies cacing yang sama inang berbeda serta karena adanya perbedaan geografis (Ashour et al. 1999; Karimi 2008; Meshgi et al. 2008).

Pada penelitian Mesghi ditemukan jumlah pita protein lebih banyak dari penelitian ini. Hal ini diduga karena adanya perbedaan penggunaan pewarnaan hasil elektroforesis, pada penelitian ini menggunakan Comassie brilliant blue sedangkan

0,12 0,17 0,26 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3

7 20 52

E S m g / e k o r


(40)

25 pada penelitian Mesghi et al (2008) menggunakan pewarna perak nitrat (silver). Kemampuan deteksi dari pewarna yang digunakan, konsentrasi pewarnaan serta pH berpengaruh terhadap keragaman pola protein, baik jumlah, intensitas, warna, ketebalan, maupun berat molekul dari setiap fraksi yang terpisah (Retnani 2010). Sedikitnya fraksi yang terpisah dapat pula disebabkan oleh degradasi protein selama homogenisasi atau sewaktu ekstraksi (De Vera et al. 2009).

Gambar 6 Profil protein antigen ES F. gigantica asal sapi (A) pada penelitian ini, ES F.gigantica asal kerbau (B)(Satrija et al. 2009), ES F. gigantica asal sapi (C) pewarnaan Silver (Mesghi et al. 2008)

Pola pita protein dari spesies sama namun inangnya berbeda ditemukan pada penelitian Satrija et al. (2009). Protein ES F. gigantica asal kerbau menurut Satrija et al. memiliki sembilan pita protein dengan berat molekul berkisar antara 14-80 kDa (Gambar 6 B). Antigen ES F. gigantica asal kerbau memiliki dua pita protein yang sama dengan pita protein antigen ES F. gigantica asal sapi dari penelitian ini, yaitu pada berat molekul 56 kDa dan 47 kDa. Pola pita protein yang memiliki berat molekul sama dari tipe antigen sama, spesies cacing sama walaupun inang berbeda kemungkinan disebabkan oleh kondisi variasi geografis yang sama (Indonesia). Cekaman yang diperoleh diduga sama sehingga parasit dewasa menghasilkan ES yang memiliki suatu enzim sama untuk bertahan. Pada berbagai stadium hidupnya

Marker ESFgSAg ESFgKAg


(41)

Fasciola spp menghasilkan adanya jenis antigen ES yang berbeda-beda yang dikenal dengan gut-associated antigen, berasal dari usus parasit yang di lepas ke sirkulasi inang melalui regurgitasi regular isi pencernaan usus (Shehab et al. 1999). Keragaman pola pita protein, berat molekul serta jenis protein yang ditemukan dalam penelitian ini dari antigen ES F. gigantica akan menjanjikan nilai diagnostik pada hewan dan manusia.

Perbedaan pola pita protein juga tergantung dari tipe protein yang dipisahkan, antara lain antigen ES, antigen, somatik atau antigen permukaan. Antigen somatik F. gigantica asal kerbau, sapi dan domba memiliki karakter protein dengan berat molekul yang sama yaitu 34 dan 28 kDa (Yokananth et al. 2005), namun berbeda dengan berat molekul dari antigen ES F. gigantica asal sapi pada penelitian ini. Perbedaan fraksi protein dari sudut pandang taksonomik tergantung pada tipe protein yang dipisahkan (Boynukara et al. 2004). Soulsby (1982) menyatakan bahwa antigen F. gigantica asal sapi memiliki 20 pola pita polipeptida pada kisaran berat molekul 156-14 kDa.

Pada penelitian Arora et al. (2010) dilaporkan profil polypeptide antigen somatik Paramphistomum epiclitum (PSAg) asal kerbau dengan analisis elektroforesis didapatkan 14 pola pita protein. Profil protein antigen somatik yang diperoleh mempunyai berat molekul 95,5, 81,8, 70,8, 54,6, 51,6, 43,4, 39,8, 37,6, 35,5, 33,1, 23,7, 21,8, 16,8, dan 14,1 kDa. Berdasarkan berat molekul antigen ES

F. gigantica asal sapi, dengan berat molekul P. epiclitum asal kerbau ini, tidak memiliki persamaan, sehingga kecil kemungkinan akan tejadi reaksi silang. Antigen ES F. gigantica asal kerbau (Satrija et al. 2009) memiliki berat molekul sama dengan antigen P. epiclitum asal kerbau ini yaitu pada satu pita protein 14 kDa. Berat molekul pada antigen ES F. gigantica asal sapi (Mesghi et al. 2008) dengan berat molekul P. epiclitum asal kerbau (Arora et al. 2010) mempunyai persamaan pada dua pita protein yaitu pada berat molekul 33 dan 16 kDa. Persamaan berat molekul dari dua pita protein hasil penelitian Mesghi et al. dan Arora et al. kemungkinan didukung oleh variasi geografis yang sama (benua Afrika), walaupun berasal dari tipe protein berbeda, spesies berbeda, dan inang berbeda. Secara teoritis banyaknya perbedaan berat molekul yang didapatkan, akan kecil kemungkinan terjadi reaksi silang antara koproantigen dari berbagai jenis cacing yang berbeda genus (Satrija et al. 2009).


(42)

27

Produksi Poliklonal Antibodi

Antibodi poliklonal diperoleh setelah minggu ke empat immunisasi dengan antigen ES F. gigantica kerbau. Antibodi yang terbentuk dari serum darah kelinci (IgG anti ESFgK) dideteksi keberadaannya menggunakan uji AGPT. Keberadaa antibodi dalam serum ditandai dengan terbentuknya garis prepisitasi antara antigen ES F. gigantica sapi dengan serum darah kelinci seperti pada Gambar 7.

Gambar 7 Hasil AGPT Serum Kelinci IgG anti ESFgK

Immunoglobulin G anti ESFg kerbau yang direaksikan dengan antigen ESFg

sapi membentuk garis presipitasi yang dapat diamati secara visual. Garis presipitasi yang terbentuk merupakan bukti bahwa antibodi yang terdapat dalam serum darah kelinci adalah antibodi poliklonal. Antibodi poliklonal merupakan antibodi hasil hiperimunisasi atau imunisasi yang dilakukan secara sengaja terhadap hewan dengan suatu imunogen yang spesifik (Zola 1987; Smith 1995). Antibodi poliklonal merupakan kumpulan berbagai klon antibodi yang memiliki spesifisitas, afinitas, dan isotope yang berbeda. Reaksi antara antibodi poliklonal anti ESFg kerbau dengan sejumlah epitop (antigen determinan) yang berbeda antigen ESFg sapi merupakan reaksi multiple yang dapat menyebabkan reaksi silang. Berdasarkan hasil elektroforesis antigen ESFg kerbau dan ESFg sapi yang memiliki dua pola pita protein dengan berat molekul sama sebesar 47 dan 56 kDa. Kesamaan pola pita protein memungkinkan kedua pola pita protein ini, memiliki epitop yang sama, sehingga antigen asal sapi dapat dikenali oleh antibodi anti ES F. gigantica kerbau. Garis presipitasi yang belum tampak pada pengujian serum kelinci pada minggu pertama hingga minggu ketiga, disebabkan oleh konsentrasi antibodi dalam serum darah kelinci belum dapat dideteksi melalui AGPT. Pembentukan antibodi dapat bervariasi dan tergantung pada imunogenitas, bentuk, stabilitas stimulant,

Serum kelinci (IgG anti ESFgK)

Antigen ES

F. gigantica asal Sapi Garis presipitasi


(43)

spesies hewan, rute injeksi, serta sensitivitas uji yang digunakan untuk mendeteksi antibodi (Herscowitz 1978). Konsentrasi antibodi terendah mampu dideteksi menggunakan uji AGPT adalah 30 µg/ml (Tizzard 2004), sedangkan menurut Kuby (2007) antibodi minimal dalam serum yang dapat dideteksi oleh uji AGPT sebesar 20 µg/ml.

Poliklonal antibodi asal kuning telur (immunoglobulin Y/IgY) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian Satrija et al. (2009). Hasil uji AGPT terhadap kuning telur menunjukkan adanya garis presipitasi antara ES F.gigantica

asal sapi dengan IgY anti ES F.gigantica kerbau (Gambar 8). Garis presipitasi yang terbentuk pada uji tersebut karena jumlah antibodi dalam serum telah mencapai proporsi optimal yaitu equivalence zone. Equivalence zone merupakan kondisi ketika antigen dan antibodi berada dalam proporsi yang optimal sehingga membentuk agregasi dan sedimentasi yang dapat diamati berupa garis presipitasi/homolog (Barriga 1981).

Gambar 8 Hasil AGPT Kuning Telur IgY

Antibodi poliklonal yang dihasilkan yaitu IgG dan IgY merupakan antibodi poliklonal yang akan digunakan sebagai antibodi pendeteksi dan antibodi penangkap dalam tahap optimasi ELISA Sandwich. Konsentrasi protein IgG yang diperoleh pada penelitian ini adalah 1,091 mg/ml dan IgY 1,178 mg/ml. uji ELISA mampu mendeteksi antibodi dengan konsentrasi berkisar antara 2-10 µg/ml (Kemeny 1991). Pada penelitian ini antibodi diencerkan sehingga konsentrasi yang digunakan berkisar antara 0,5-4 µg/ml.

Optimasi ELISA

Antigen ES

F. gigantica asal sapi Kuning telur IgY


(44)

29 Optimasi ELISA Sandwich dilakukan dengan menggunakan dua kombinasi model ELISA. Kombinasi model ELISA pertama yaitu menggunakan IgG sebagai antibodi penangkap dan IgY sebagai antibodi pendeteksi, sedangkan model ELISA kedua menggunakan IgY sebagai antibodi penangkap dan IgG sebagai antibodi pendeteksi. IgG yang digunakan pada model kombinasi pertama sebagai antibodi penangkap memiliki konsentrasi 0,5, 1, 2, dan 4 µg/ml, dan IgY sebagai antibodi pendeteksi dengan konsentrasi 2 µg/ml dan 1 µg/ml. Antigen yang digunakan dalam uji ini adalah ES F.gigantica asal sapi dengan konsentrasi 5 µg/ml. Konsentrasi antigen yang dapat terdeteksi dengan baik dalam uji ELISA 0,5-5 µg/ml (Kemeny 1991).

Hasil pengujian model ELISA pertama menunjukkan bahwa pada konsentrasi IgG 4 µg/ml dan IgY dengan konsentrasi 1 µg/ml dan 2 µg/ml, didapatkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 1,85 dan 3,31 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif (Gambar 9). Variasi konsentrasi IgG sebagai antibodi penangkap menghasilkan nilai absorbansi yang berbeda. Konsentrasi IgG 2 µg/ml menghasilkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 1,68 dan 1,94 kali lipat dari nilai absorbansi negatif. Konsentrasi IgG 1 µg/ml dan 0,5 µg/ml masing-masing menghasilkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 2,42 dan 2,16 kali lipat dari nilai absorbansi negatif dan 2,76 dan 2,50 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif.

Keterangan : Warna Biru = Nilai sampel positif; -Warna Merah= Nilai sampel negatif. Gambar 9 Hasil Konformasi Model ELISA IgG Capture 0,5069 0,3074 0,4519 0,3537 0,4623 0,3534 0,5014 0,3868 0,153 0,166 0,233 0,211 0,214 0,146 0,201 0,14 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

4:'2 4:'1 2:'2 2:'1 1:'2 1:'1 0.5 : '2 0.5 : '1

O D E L I S A


(45)

Pengujian model ELISA kedua, menggunakan IgY sebagai antibodi penangkap dengan konsentrasi 4, 2, 1 dan 0,5 µg/ml dan IgG sebagai antibodi pendeteksi konsentrasi 1 dan 2 µg/ml, menghasilkan kelipatan nilai absorbansi yang jauh lebih tinggi dari model ELISA pertama.

Hasil pengujian model ELISA kombinasi kedua menunjukkan pada konsentrasi IgY 4 µg/ml dan IgG dengan konsentrasi 1 µg/ml dan 2 µg/ml, didapatkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 4,39 dan 8,03 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif (Gambar 10). Variasi konsentrasi IgY sebagai antibodi penangkap menghasilkan kelipatan nilai absorbansi yang berbeda. Konsentrasi IgY 2 µg/ml menghasilkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 3,15 dan 6,33 kali lipat dari nilai absorbansi negatif. Konsentrasi IgY 1 µg/ml dan 0,5 µg/ml masing-masing menghasilkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 3,88 dan 4,06 kali lipat dari nilai absorbansi negatif dan 3,25 dan 3,68 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif.

Keterangan : Warna Biru = Nilai sampel positif; -Warna Merah= Nilai sampel negatif. Gambar 10 Hasil Konformasi Model ELISA IgY Capture

Berdasarkan kedua model pengujian tersebut dipilih model pengujian kedua sebagai metode uji sampel feses untuk mendapatkan sensitifitas dan sensitifitas uji yang dikembangkan. Model yang dipilih adalah kombinasi IgY sebagai antibodi penangkap dengan konsentrasi 4 µg/ml dan IgG sebagai antibodi pendeteksi dengan konsentrasi 2 µg/ml, yang menghasilkan nilai absorbansi sampel positif sebesar 8,03 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif. Hasil penelitian ini

0,3396 0,2938 0,331 0,2869 0,3687 0,3274 0,36244 0,2991 0,0423 0,067 0,0523

0,091 0,095 0,0807 0,09 0,0883

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4

4:'2 4:'1 2:'2 2:'1 1:'2 1:'1 0.5 : '2 0.5 : '1

O D E L I S A


(46)

31 mendapatkan kelipatan nilai absorbansi lebih tinggi dibandingkan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Estuningsih et al. (2009). Pengujian ES

F. gigantica menggunakan antibodi monoklonal sebagai antibodi penangkap

menghasilkan nilai absorbansi sampel positif sebesar tujuh kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif. Perbedaan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi serta jenis antibodi yang digunakan.

Kemampuan IgY sebagai antibodi penangkap lebih baik dibandingkan dengan IgG karena IgY memiliki ukuran yang lebih besar, kerapatan molekul lebih rendah, dan dapat mengenali lebih banyak epitop dibandingkan dengan IgG. Selain kemampuan tersebut diatas, Immunoglobulin Y juga mampu mengikat antibodi sekunder hingga 3-5 kali lipat lebih kuat dari IgG (Schmidt et al. 1993). Perbedaan interaksi molekuler ini menjadi keuntungan besar dalam mengaplikasikan antibodi IgY dalam berbagai metode penelitian, diagnostik, kedokteran, dan bioteknologi serta dapat menjadi antibodi alternatif unggulan untuk immunoglobulin konvensional (Hodek et al. 2003; Michael et al. 2010).

Sensitifitas dan Spesifisitas

Hasil pemeriksaan post mortem pada 37 ekor sapi yang digunakan dalam uji spesifisitas dan sensitifitas menunjukan bahwa delapan ekor terinfeksi cacing

F. gigantica sedangkan sisanya (29 ekor) tidak terinfeksi cacing hati. Jumlah cacing yang ditemukan pada sapi yang terinfeksi berkisar antara 7-52 ekor cacing dewasa (Gambar 11).

Gambar 11 Hasil Pemeriksaan Post Mortem di RPH 8 14 13 10 0 5 10 15

Infeksi Fg Infeksi Nematoda Non infeksi

J l h S a m p e l

Sampel


(47)

Hasil uji ELISA menunjukkan nilai absorbansi dari sampel negatif antara 0,137 hingga 0,489, sehingga diperolah nilai cut off sebesar 0,498. Berdasarkan nilai cut off didapatkan tujuh sampel feses positif terdeteksi adanya antigen ES pada feses, nilai absorbansi sampel positif berkisar antara 0,498-0,598 dan 30 sampel lainnya memiliki nilai absorbansi dibawah nilai cut off (Gambar 12).

Gambar 12 Sebaran Deteksi Koproantigen Dalam Feses

Hasil uji ELISA sandwich untuk deteksi koproantigen setelah dibandingkan dengan pemeriksaan adanya cacing F. gigantica pada hati yang merupakan gold standard diagnosa fasciolosis, memiliki sensitifitas sebesar 87,5% dan spesifisitas sebesar 100%, dengan akurasi uji 97,3%. Spesifisitas 100% menunjukkan sampel yang tidak ditemukan cacing F. gigantica tidak menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan ELISA Sandwich (Tabel 1).

Tabel 1 Standarisasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Post Mortem Pemeriksaan Post mortem

Hasil ELISA:

Positif Negatif Jumlah

Positif 7 0 7

Negatif 1 29 30

Total 8 29 37

Sensitifitas dan spesifisitas uji ELISA Sandwich untuk deteksi antigen ES

F. gigantica dalam feses sapi pada penelitian ini, berbeda dengan hasil yang

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

0 10 20 30 40 50

O D E L I S A Jumlah sampel OD Cut off = 0.498


(48)

33 dilaporkan oleh Estuningsih (2006) dalam mendiagnosa infeksi F. gigantica pada sapi dengan metode Uji capture-ELISA. Sensitifitas dan spesifisitas dari uji tersebut adalah 97,6; 92,8 dan 58,9% dari total sampel yang diperiksa menunjukkan positif

F. gigantica. Sensitifitas yang lebih tinggi kemungkinan disebabkan oleh positif palsu yang rendah hingga menyebabkan uji tersebut lebih sensitif.

Uji ELISA Sandwich yang digunakan ini, dapat mendeteksi konsentrasi antigen ES F.gigantica 5 µg/ml dalam feses. Estuningsih (2006) melaporkan dengan

uji capture ELISA dapat mendeteksi 50 ng/ml antigen ES F. gigantica dalam

supernatan feses. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena antibodi capture

yang digunakan berbeda. Pada penelitian ini antibodi poliklonal yang digunakan sebagai antibodi penangkap adalah antibodi poliklonal asal kuning telur ayam (IgY) sedangkan pada penelitian Estuningsih (2006) menggunakan antibodi poliklonal asal mamalia (IgG). Antibodi IgG dan IgY mempunyai perbedaan sifat fungsi efektor biologi yaitu pada region konstan dengan berat molekul berbeda. Dalam mendiagnosis fasciolosis diperlukan uji yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi, serta kecepatan waktu untuk mendiagnosis.

Uji Coba ELISA dengan Sampel Feses dari Lapangan

Hasil pemeriksaan mikroskopis secara kualitatif terhadap 44 sampel feses sapi dan banteng menunjukan kategori infeksi cacing parasit menjadi lima golongan infeksi (Gambar 13). Kelima golongan tersebut terdiri atas infeksi tunggal Fasciola

(6,7%), infeksi tunggal Parampistomum (13,64%), infeksi Nematoda (29,6%), infeksi campuran Nematoda dan Fasciola (27,3%), serta sapi yang tidak terinfeksi cacing

(22,73%). Identifikasi bentuk telur cacing Nematoda yang ditemukan

memperlihatkan adanya infeksi Strongylida dan Trichuris. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pemupukan pada sampel feses sapi sehingga tidak diketahui spesies dari

Strongylida yang menginfeksi sapi. Menurut Kusumamihardja (1992) cacing

Nematoda dari Ordo Strongylida yang sering berparasit pada sapi di Indonesia adalah genus Mecistorrus, Haemonchus dan Trichostrongylus.

Hasil pemeriksaan sampel feses dengan pendekatan kuantitatif menunjukan jumlah telur Strongylida berkisar antara 200-1700 dengan rataan 620 dalam setiap gram tinja (TTGT). Rataan TTGT tersebut mengindikasikan derajat infeksi cacing


(49)

pada sapi tersebut tergolong sedang (Hansen dan Pery 1998). Jumlah telur Trichuris

berkisar antara 100-200 dengan rataan 150 TTGT. Rataan telur Trichuris sebesar 150 TTGT mengindikasikan derajat infeksi rendah.

Gambar 13 Hasil Pemeriksaan Sampel Feses Sapi Secara Mikroskopis Hasil pemeriksaan sampel feses sapi dengan pendekatan kuantitaif pada golongan infeksi Fasciola, menunjukan jumlah telur Fasciola kurang dari 1 TTGT. Jumlah TTGT tersebut mengindikasikan derajat infeksi pada sapi tersebut rendah. Menurut Anderson et al. (1999) sapi yang terinfeksi Fasciola dengan jumlah cacing 1-10 ekor mengeluarkan telur dengan rataan hitung aritmetik TTGT sama dengan dua dalam feses, termasuk dalam kategori rendah.

Pengelompokkan sampel berdasarkan jenis infeksi dilakukan untuk untuk memudahkan penentuan cut off dan melihat terjadinya cross reaksi. Sampel feses dibedakan berdasarkan infeksi cacing dengan melakukan pemeriksaan secara mikroskopis atau konvensional sebelum digunakan dalam uji ELISA. Standarisasi berdasarkan pembanding hasil pemeriksaan mikroskopis dilakukan uji validitas dengan menggunakan tabel 2 x 2. Berdasarkan uji ELISA yang dibandingkan dengan hasil pemeriksaan mikroskopis didapatkan sensitifitas 60%, spesifisitas 90% dan akurasi uji 79,6%. Akurasi uji 79,6%, kemungkinan disebabkan karena adanya bias dari hasil pemeriksaan mikroskopis sebesar 40% (enam sampel false positif) (Tabel 2).

6,82%

27,3 %

29,6 % 22,73 %

13,64 %

Infeksi Fasciola gigantica Infeksi Fasciola & Nematoda Infeksi Nematoda Tidak terinfeksi cacing Infeksi Parmpistomum


(50)

35 Tabel 2 Standarisasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikroskopis

Pemeriksaan Mikroskopis

Hasil ELISA:

Positif Negatif Jumlah

Positif 9 3 12

Negatif 6 26 32

Total 15 29 44

Diagnosis fasciolosis dengan uji ELISA Sandwich pada penelitian ini memiliki keakuratan yang tinggi dan dapat mendeteksi adanya infeksi aktif F. gigantica pada ternak. Model uji ELISA Sandwich yang didapatkan dari hasil penelitian ini dengan keakuratan 97,3% berpotensi untuk dikembangkan sebagai model uji untuk mendeteksi koproantigen F. gigantica pada penderita human fasciolosis. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Espino dan Finlay (1993), mampu mendeteksi keberadaan koproantigen pada feses penderita infeksi F. hepatica menggunakan metode ELISA Sandwich. Espino dan Finlay menggunakan antobodi monoklonal sebagai antibodi penangkap dan antibodi poliklonal asal tikus untuk mendeteksi antigen ES. Penelitian ini menggunakan antibodi poliklonal IgY asal kuning telur sebagai antibodi penangkap dan IgG asal kelinci sebagai antibodi pendeteksi. Antibodi poliklonal berdasarkan sifatnya lebih sensitif mendeteksi berbagai jenis antigen permukaan parasit. Dengan demikian potensi kemampuan deteksi koproantigen lebih tinggi, sehingga pengembangan model ELISA yang ditemukan dalam penelitian ini, dapat diterapkan pada human fasciolosis.


(1)

Tabel 1 Teknik Pengisian Larutan BSA dan Aquabides Pada Tabung Reaksi

Tabung A Larutan BSA Aquabides

1 1000 µl

2 100 µl 900 µl

3 200 µl 800 µl

4 300 µl 700 µl

5 400 µl 600 µl

6 500 µl 500 µl

7 600 µl 400 µl

8 700 µl 300 µl

9 800 µl 200 µl

10 900 µl 100 µl

11 1000 µl

Larutan BSA yang telah diencerkan dengan aquabides pada tabung A, terdiri dari 11 tabung kemudian diencerkan kembali dengan penambahan larutan Bradford, seperti pada uraian berikut :

 Tabung reaksi baru disiapkan sebanyak 11 buah

 Tabung pertama ditempatkan sejajar sesuai dengan nomer yang telah diberikan.  Larutan BSA dari tabung A masing-masing sebanyak 100 µl, diisikan pada

tabung B sehingga setiap tabung B berisi 100 µl larutan BSA kemudian,

 Larutan Bradford dimasukkan (pengenceran kedua 1:9) 5 ml pada setiap tabung B.

 Larutan dihomogenkan dengan vortex, selanjutnya diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer, grafik konsentrasi standar yaitu berupa garis linier.

Pengisian larutan bradford pada 11 tabung B yang berisi larutan BSA dan aquabides dapat lebih jelas dilihat pada Tabel 2.


(2)

Tabel 2 Teknik Pengisian Larutan BSA dan Larutan Bradford Pada Tabung Reaksi

Tabung B Larutan BSA+Aquabides Larutan Bradford

1 100 µl 5 ml

2 100 µl 5 ml

3 100 µl 5 ml

4 100 µl 5 ml

5 100 µl 5 ml

6 100 µl 5 ml

7 100 µl 5 ml

8 100 µl 5 ml

9 100 µl 5 ml

10 100 µl 5 ml

11 100 µl 5 ml

Sebelum tabung B diukur nilai absorbansinya maka sampel disiapkan seperti berikut :

Masing-masing sampel disiapkan sebanyak 100 µl. Lalu larutan Bradford sebanyak 5 ml ditambahkan pada setiap tabung yang berisi sampel. Selanjutnya diukur dengan alat spektrofotometer setelah pengukuran absorbansi seperti halnya pada larutan standar (tabung B) dengan panjang gelombang λ=595,0 nm. Protein ES (sampel) selanjutnya di aliquot dalam mikrotubes volume 1 ml, kemudian disimpan pada suhu -20°C sampai saat digunakan.


(3)

Lampiran 2

Metode SDS-PAGE ( Laemmli 1970)

Sodium Deodecil Sulphate-Poly Acrilamide Gel Elektrophoresis (SDS-PAGE)

 SDS-PAGE ini menggunakan gel pemisah dengan konsentrasi 12%, gel pengumpul 4%, running buffer, sampel buffer, larutan pewarna Commasie Blue dan larutan pemucat (Distaining solution).

 Pembuatan agar akrilamid dilakukan dengan bantuan dua lempeng kaca yang berukuran 18 x 15,5 cm (Pharmacia-Biotech) yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%, pada kedua sisi tepi bagian dalam diberi spacer, kedua lempeng kaca dihimpit dan selanjutnya dijepit. Di bagian atas lempeng kaca disisipkan sisir pembuat jalur

 Gel pemisah (12% poliakrilamida) diisikan hingga 1 cm di bawah ujung sisir dengan bantuan mikropipet, gel pemisah dibiarkan sekitar 30 menit.

 Selanjutnya gel pengumpul (4% poliakrilamida) diisi hingga mencapai permukaan lempeng kaca.

 Sampel dilarutkan dengan larutan buffer dengan perbandingan sama, kemudian ditangas 60°C selama 5 menit sebelum dimasukkan kedalam sumur gel elektroforesis. Sampel sebanyak 10 µl dimasukkan kedalam masing-masing sumur.

 Perangkat elekroforesis dijalankan dengan arus 50 mA dengan voltase 100 V selama kurang lebih 3 jam. Elektroforesis berakhir bila pewarna sampel mencapai batas 0,5 cm dari bagian bawah gel.

 Setelah elekroferesis berakhir gel diangkat dari lempeng kaca. Gel direndam dalam pewarnaan Commasie Brilliant Blue (Sigma Chemical Co) selama 3 jam pada suhu ruang sambil diagitasi perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel pada larutan pemucat methanol dan asam asetat, hingga gel berwarna bening atau pita-pita protein yang telah terbentuk terlihat jelas. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein dihitung dari garis awal separating gel sampai ujung protein yang dibandingkan dengan jarak migrasi tracking dye.


(4)

Lampiran 3

Uji Agar Gel Precipitation Test (AGPT)

(Eisen 1973)

Medium agar diukur yaitu agarose 1%, PBS pH 7, 2 sebanyak 50% dari larutan yang akan dibuat dan aquadest 50% dari total larutan, Na citrate 0.001%. Campuran dipanaskan hingga agar terlarut,

Larutan agar didinginkan hingga suhunya turun menjadi 60°C lalu dituang keatas gelas obyek sebanyak 4 ml untuk setiap slide.

Setelah agar memadat dibuat lubang dengan menggunakan perforator agar.

Antigen dan antibodi yang diuji dimasukkan (15 µl) ke dalam masing-masing

lubang yang telah ditentukan sebelumnya.

Agar disimpan pada suhu kamar, selama 24 jam. Kemudian baca

Garis presipitasi akan terjadi bila dalam serum terdapat antibodi yang homolog dengan antigen yang diujikan.


(5)

Lampiran 4 Komposisi Reagen untuk (SDS-PAGE)

Komposisi gel pengumpul 4%

30% Akrilamid ……… 0,83 ml 1,4 M Tris HCL pH 6,8 ……… 0,45 ml

10% SDS ………. 0,05 ml

10% APS ………. 50 µl

TEMED ……….. 15 µl

H2O ………. 3,4 µl

Komposisi gel pemisah (12,5%)

30% Akrilamid ……… 6,25 ml 1,4 M Tris HCL pH 8,8 ………... 4,1 ml

10% SDS ……….. 0,15 ml

10% APS ……… 100 µl

TEMED ………... 25 µl

H2O ………. 4,4 ml

Komposisi Buffer elektroda (pH 8,4)

Tris HCL ……… 3,03 g

Glisin ………. 14,4 g

SDS ……… 1 g

H2O ………... 100 ml

Komposisi Buffer sampel (pH 6,9)

Tris HCL ……… 0,152 g

SDS ……… 1 g

β- mercaptoethanol ……… 0,66 g

Gliserol ……… 2 ml

Bromphenol blue ………. 4 mg


(6)

Komposisi larutan pewarna

Coomasie brilliant blue G-250 ………. 0,15 %

Methanol ………. 75 ml

Asam asetat ……….. 15 ml

H2O ……….. 60 ml

Komposisi larutan pencuci warna

Methanol ……… 50 %

Asam asetat ……… 10 %