Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi.

ABSTRACT

NATALINA PANJAITAN. Case Study of Fasciolosis in Purwodadi
Slaughterhouse, Grobogan District-Central Java: Diagnosis, Degree of Infection
and Liver Damage in Cattle. Under direction of YUSUF RIDWAN and
EKOWATI HANDHARYANI.
The research aims were to determine the degree of fasciolosis infection, the
sensitivity of filtration-sedimentation method, and correlation between number of
eggs in the feces with the number of flukes found in the liver and liver damage. A
total of 18 liver and fecal samples were collected from cattle slaughtered at the
abattoir of Purwodadi, Grobogan District-Central Java Province. Fecal
examination was conducted using filtration-sedimentation method whereas the
liver examination was observed to identify the F.gigantica infection, score of
hepatic pathology. Results of the study showed 6 cattle (33.33%) had both flukes
in the liver and fluke eggs in fecal samples. Filtration-sedimentation method had a
sensitivity as high as 100%. Correlation test showed no correlation between the
number of eggs in the feces with the number flukes found in the liver.
Pathological examinations showed varying degrees of liver damage between mild,
moderate, and severe. Number F.gigantica also has no correlation with the
degree of liver damage both gross pathology and histopathology of livers.
Keyword: cattle, F.gigantica, feces, liver


ABSTRAK
NATALINA PANJAITAN. Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi
Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola
gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi. Dibimbing oleh YUSUF
RIDWAN dan EKOWATI HANDHARYANI.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat infeksi fasciolosis,
sensitifitas metode filtrasi-sedimentasi, korelasi jumlah telur Fasciola sp. dalam
tinja dengan jumlah cacing Fasciola sp. yang ditemukan dalam hati, dan
kerusakan hati. Sebanyak 18 sampel organ hati dan sampel tinja dikumpulkan
dari sapi yang dipotong di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah.
Pemeriksaan tinja dilakukan dengan menggunakan metode filtrasi-sedimentasi
sedangkan pemeriksaan sampel hati dilakukan dengan identifikasi infeksi
F.gigantica, skor derajat kerusakan patologi anatomi dan histopatologi. Hasil
pemeriksaan tinja dan identifikasi cacing F.gigantica di dalam organ hati
diperoleh 6 sapi (33.33 %) terinfeksi F. gigantica. Metode filtrasi-sedimentasi
memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 100%. Uji korelasi menunjukkan tidak ada
korelasi antara jumlah telur dalam feses dengan jumlah cacing yang ditemukan
pada hati. Pemeriksaan patologi anatomi hati menunjukkan berbagai tingkat
kerusakan antara lain ringan, sedang, dan berat. Jumlah F.gigantica di dalam hati

juga tidak memiliki korelasi dengan derajat kerusakan patologi anatomi dan
histopatologi hati.
Kata kunci: sapi, F.gigantica, tinja, hati

STUDI KASUS FASCIOLOSIS DI RPH PURWODADI
KABUPATEN GROBOGAN- JAWA TENGAH: DIAGNOSIS,
DERAJAT INFEKSI Fasciola gigantica, DAN TINGKAT
KERUSAKAN HATI PADA SAPI

NATALINA PANJAITAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Studi Kasus Fasciolosis di
RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi

Fasciola gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi adalah karya sendiri
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Bogor, Januari 2012
Natalina Panjaitan
NIM B04070035

ABSTRAK
NATALINA PANJAITAN. Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi
Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola
gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi. Dibimbing oleh YUSUF
RIDWAN dan EKOWATI HANDHARYANI.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat infeksi fasciolosis,
sensitifitas metode filtrasi-sedimentasi, korelasi jumlah telur Fasciola sp. dalam
tinja dengan jumlah cacing Fasciola sp. yang ditemukan dalam hati, dan
kerusakan hati. Sebanyak 18 sampel organ hati dan sampel tinja dikumpulkan

dari sapi yang dipotong di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah.
Pemeriksaan tinja dilakukan dengan menggunakan metode filtrasi-sedimentasi
sedangkan pemeriksaan sampel hati dilakukan dengan identifikasi infeksi
F.gigantica, skor derajat kerusakan patologi anatomi dan histopatologi. Hasil
pemeriksaan tinja dan identifikasi cacing F.gigantica di dalam organ hati
diperoleh 6 sapi (33.33 %) terinfeksi F. gigantica. Metode filtrasi-sedimentasi
memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 100%. Uji korelasi menunjukkan tidak ada
korelasi antara jumlah telur dalam feses dengan jumlah cacing yang ditemukan
pada hati. Pemeriksaan patologi anatomi hati menunjukkan berbagai tingkat
kerusakan antara lain ringan, sedang, dan berat. Jumlah F.gigantica di dalam hati
juga tidak memiliki korelasi dengan derajat kerusakan patologi anatomi dan
histopatologi hati.
Kata kunci: sapi, F.gigantica, tinja, hati

ABSTRACT

NATALINA PANJAITAN. Case Study of Fasciolosis in Purwodadi
Slaughterhouse, Grobogan District-Central Java: Diagnosis, Degree of Infection
and Liver Damage in Cattle. Under direction of YUSUF RIDWAN and
EKOWATI HANDHARYANI.

The research aims were to determine the degree of fasciolosis infection, the
sensitivity of filtration-sedimentation method, and correlation between number of
eggs in the feces with the number of flukes found in the liver and liver damage. A
total of 18 liver and fecal samples were collected from cattle slaughtered at the
abattoir of Purwodadi, Grobogan District-Central Java Province. Fecal
examination was conducted using filtration-sedimentation method whereas the
liver examination was observed to identify the F.gigantica infection, score of
hepatic pathology. Results of the study showed 6 cattle (33.33%) had both flukes
in the liver and fluke eggs in fecal samples. Filtration-sedimentation method had a
sensitivity as high as 100%. Correlation test showed no correlation between the
number of eggs in the feces with the number flukes found in the liver.
Pathological examinations showed varying degrees of liver damage between mild,
moderate, and severe. Number F.gigantica also has no correlation with the
degree of liver damage both gross pathology and histopathology of livers.
Keyword: cattle, F.gigantica, feces, liver

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

STUDI KASUS FASCIOLOSIS DI RPH PURWODADI
KABUPATEN GROBOGAN- JAWA TENGAH: DIAGNOSIS,
DERAJAT INFEKSI Fasciola gigantica, DAN TINGKAT
KERUSAKAN HATI PADA SAPI

NATALINA PANJAITAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2012

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi Kabupaten
Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola
gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi.
: Natalina Panjaitan
: B04070035

Disetujui,

Dr. Drh. Yusuf Ridwan, MSi
Pembimbing I

Drh. Ekowati Handharyani, MSi, Ph.D

Pembimbing II

Diketahui,

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
berkat dan kuasa-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penelitian ini dilaksanakan sejak tahun 2010 sampai 2011 dengan judul skripsi
Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah:
Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada
Sapi. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna menyelesaikan
studi di Program Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
agar dapat mencapai gelar Sarjana Kedokteran Hewan.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam penyelesaian skripsi

ini. Ucapan terima kasih ini disampaikan kepada:
1. Keluarga tercinta (Bapak, Mama, Ricardo, Novalia, Rivaldo, Rinaldo,
Ryan) atas cinta kasih, kesabaran, perhatian, dukungan dan doanya kepada
penulis.
2. Bapak Dr. Drh. Yusuf Ridwan, MSi dan Ibu Drh. Ekowati Handharyani,
MSi, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan arahan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Dr. Drh. Dwi Jayanti Gunandini, MSi selaku dosen moderator dan
Bapak Drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D selaku dosen penilai seminar atas
saran dan masukan yang diberikan terhadap makalah dan skripsi penulis.
4. Bapak Dr. Drh. Razak Achmad Hamzah, MS selaku dosen penguji sidang,
yang telah memberikan saran yang membangun sehingga skripsi penulis
menjadi lebih baik.
5. Ibu Dr. Drh. Elok Budi Retnani, MSi selaku Pembimbing Akademik.
6. Teman-teman PFKH IPB dan PA atas doa dan kerjasamanya kepada
penulis selama ini.
7. Teman-teman Gianuzzi FKH 44 dan Novia`ers (Marisa, Regina, Tantri,
Tika, Hera, Nova, Patris, Nita Dian, Desma, Septi) yang telah memberikan
sejuta kenangan suka duka kepada penulis.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna
sehingga penulis terbuka terhadap saran dan kritik yang diberikan. Semoga skripsi
ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012
Natalina Panjaitan

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Nagatimbul Kab.Tobasa-SUMUT
pada tanggal 19 Desember 1989 dari pasangan Bapak Gr.
Jatnen Panjaitan dan Ibu Lastry Maria Pasaribu. Penulis
merupakan anak pertama dari lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah
dasar pada tahun 2001 di SD Negeri I Pematang Bandar dan
pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke
SMP Negeri I Siborongborong hingga lulus pada tahun 2004.
Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada tahun 2007 di SMA
Negeri I Siborongborong. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk
melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
(FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Semasa menjadi mahasiswa FKH IPB penulis pernah aktif dalam kegiatan
eksternal dan internal kampus, yaitu di UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen
(PMK) Komisi Pelayanan Anak, anggota Himpunan Minat dan Profesi
Ruminansia FKH IPB serta mengikuti berbagai kepanitiaan di dalam dan di luar
kampus.
Tugas akhir berupa skripsi dengan judul Studi Kasus Fasciolosis di RPH
Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi
Fasciola gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi, berhasil diselesaikan
penulis dengan bimbingan dari Bapak Dr. Drh. Yusuf Ridwan, MSi dan Ibu Drh.
Ekowati Handharyani, MSi, Ph.D.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………….……………………………………………….
DAFTAR GAMBAR …..…….………………………….….………………
DAFTAR LAMPIRAN .………….……………………………………….…

xi
xii
xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………..………….…….…….……….…
Tujuan Penelitian ……………..……………………………….............

1
2

TINJAUAN PUSTAKA
Fasciola gigantica………………….….………….….………………......
Hati …….……………………………..….….……………………..….

3
12

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat …………..….….…………….……………………
Bahan dan Alat Penelitian ………………………………………….….
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Tinja dan Hati …………………………..…
Pemeriksaan Patologi Anatomi Organ Hati ………………………
Koleksi dan Penghitungan Jumlah F.gigantica…………………..
Pemeriksaan Sampel Tinja ……………………………………….
Pembuatan Preparat Histopatologi ……………………………….
Pengamatan Histopatologi ………………………………………..

15
16
16
17
17
18

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Organ Hati dan Tinja …………………………..…
Sensitifitas Metode Modifikasi Filtrasi dan Sedimentasi…………
Pengamatan Patologi Anatomi Organ Hati….…………………..
Pengamatan Histopatologi ………………………………………..

20
23
23
26

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ……………………………………….…………………...
Saran …...…….………………….…………………………….……....

29
29

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
LAMPIRAN …………….……………………………….………….……….

30
33

15
15

xi

DAFTAR TABEL

Halaman
1
2
3
4
5
6

Skoring derajat kerusakan patologi anatomi organ hati…………………
Skoring derajat kerusakan histopatologi organ hati …..………..………
Jumlah cacing dalam hati dan jumlah telur cacing F. gigantica
dalam tinja …………………………………………………………..…..
Hasil pemeriksaan tinja dan cacing dalam hati sapi …………………….
Derajat kerusakan patologi anatomi hati yang terinfeksi F. gigantica….
Derajat kerusakan histopatologi hati yang terinfeksi F. gigantica ………

16
19
20
23
24
26

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1
2
3
4
5
6
7

Fasciola gigantica ……………………………………..….…………….
Morfologi Fasciola sp…………………………………………………...
Telur Fasciola sp…………………………………………………...........
Siklus hidup Fasciola sp…………………………………………………
Perubahan anatomi hati sapi yang mengalami fasciolosis ………………
Anatomi hati …………………………………………………………….
Sebaran jumlah telur F.gigantica dengan jumlah cacing
F.gigantica di dalam hati pada sapi yang terinfeksi …………………….
8 Hati sapi yang mengalami fasciolosis tampak bengkak, mengeras, warna
menjadi lebih pucat dan fibrosis. Terdapat terowongan jalur migrasi
cacing ……………………………………………………………………
9 Hati sapi yang mengalami fasciolosis terlihat adanya F.gigantica
di dalam buluh empedu …………………………………………………
10 Histopatologi hati sapi yang mengalami kerusakan derajat ringan (+1) …
11 Histopatologi hati sapi yang mengalami kerusakan derajat sedang (+2) …
12 Histopatologi hati sapi yang mengalami kerusakan derajat parah (+3) ….

3
5
6
7
9
13
22

25
25
27
28
28

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1
2
3

Korelasi antara jumlah telur F.gigantica dengan jumlah F.gigantica ….
Korelasi antara jumlah F.gigantica dengan derajat kerusakan patologi
anatomi …………………………….........................................................
Korelasi antara jumlah F.gigantica dengan derajat kerusakan
Histopatologi ……………………………………………………………

34
34
35

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi merupakan salah satu ternak sumber protein hewani bagi masyarakat
Indonesia. Tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia saat ini masih
rendah yaitu sekitar 7 kg per kapita per tahun (Ditjennak 2011). Data statistika
peternakan menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat akan daging (BPS 2011). Oleh karena itu pemerintah melakukan
impor sapi potong dan daging beku rata-rata 30 % dari kebutuhan daging nasional.
Impor yang dilakukan secara terus menerus dapat mengurangi devisa negara.
Untuk itu pemerintah Indonesia mencanangkan swasembada daging sapi pada
tahun 2014 (Ditjennak 2011).
Pencapaian swasembada daging tahun 2014 dilakukan melalui usaha
peningkatan jumlah produksi ternak sapi serta status kesehatan ternak yang
optimal. Salah satu usaha untuk menjamin kesehatan hewan dilakukan melalui
surveilans dan pengendalian berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi
reproduktif dan produktivitas sapi (Ditjennak 2011). Salah satu penyakit yang
dapat mempengaruhi reproduksi dan produktivitas sapi adalah infeksi cacing hati
(fasciolosis).
Fasciolosis merupakan penyakit endemik ternak di daerah tropis termasuk
Indonesia (Ronohardjo et al 1986). Penyakit ini disebabkan oleh cacing trematoda
yaitu F.hepatica dan F.gigantica. Fasciolosis yang terjadi di berbagai daerah
Indonesia disebabkan oleh infeksi F.gigantica dengan prevalensi sekitar 25 % - 90
% (Spithill et al 1998). Fasciolosis menyebabkan penurunan berat badan,
penurunan produksi susu, penurunan daya tahan terhadap infeksi bakteri maupun
virus, peningkatan biaya produksi berupa biaya pakan, tenaga kerja, pengobatan,
pengafkiran organ hati yang rusak serta kematian (Soulsby 1986). Indonesia
mengalami kerugian sekitar 439-525 juta dolar Australia pada tahun 2004 akibat
fasciolosis (Copeman et al 2008).
Pengendalian fasciolosis dapat dilakukan melalui program pencegahan dan
pengobatan pada ternak. Keberhasilan program pengendalian tergantung pada
diagnosa yang dilakukan. Teknik diagnosa yang umum digunakan adalah
pemeriksaan tinja dengan metode sedimentasi. Namun metode ini memiliki

2

tingkat sensitivitas yang rendah dan dapat menunjukan hasil negatif palsu. Dalam
penelitiannya Anderson et al (1999) melaporkan dari 72 ekor sapi yang
mengandung cacing Fasciola sp. di dalam hati menunjukkan hasil negatif palsu
pada pemeriksaan tinja sebesar 34.72 %. Oleh karena itu diperlukan metode
pemeriksaan tinja yang lebih sensitif.
Saat ini telah dikembangkan metode baru dalam pemeriksaan tinja yaitu
metode filtrasi-sedimentasi. Metode ini dikembangkan oleh Danish Bilharziasis
Laboratory (DBL) dengan mengkombinasikan antara penyaringan bertingkat,
sedimen, dan sentrifugasi (Anh et al 2008). Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui sensitivitas dan keakuratan metode filtrasi-sedimentasi yang telah
dimodifikasi untuk pemeriksaan telur Fasciola sp. dengan membandingkan hasil
pemeriksaan tinja dan jumlah cacing Fasciola sp. di dalam organ hati.

Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk :
1. Mengetahui derajat infeksi dan kerusakan organ hati akibat fasciolosis di
RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah.
2. Mengetahui tingkat sensitifitas metode modifikasi filtrasi-sedimentasi dan
korelasi antara jumlah telur F.gigantica di dalam tinja dengan jumlah
F.gigantica yang ditemukan di dalam organ hati.
3. Mengetahui korelasi antara jumlah F.gigantica dengan derajat kerusakan
organ hati yang terjadi.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Fasciola gigantica
Klasifikasi dan Morfologi Fasciola gigantica
Fasciola gigantica dikenal dengan cacing hati merupakan parasit dari
kelas trematoda yang hidup di dalam buluh empedu sapi, domba, kambing dan
mamalia lainnya. Klasifikasi F.gigantica menurut Soulsby (1986) adalah
kingdom

: Animalia

filum

: Platyhelminthes

kelas

: Trematoda

sub kelas

: Digenea

ordo

: Echinostomida

famili

: Fasciolidae

genus

: Fasciola

spesies

: Fasciola gigantica

Gambar 1 Fasciola gigantica
Sumber: Anonim 2011

Secara makroskopis F.gigantica tampak berwarna abu-abu coklat dan
memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan F. hepatica. Bentuk
tubuh menyerupai daun, pipih dorsoventral, tidak memiliki bentuk bahu yang
jelas, tidak bersegmen, dan tidak memiliki rongga badan. Panjang tubuh cacing
dewasa mencapai 7.5 cm dan lebar 1.5 cm. Hampir seluruh permukaan tubuh
ditutupi dengan duri-duri kecil atau tegumen (Taylor 2007).

4

Fasciola sp. memiliki alat penghisap oral (sucker oral) dan alat penghisap
ventral (sucker ventral). Alat penghisap oral terletak di ujung anterior dan
mengelilingi mulut, sedangkan alat penghisap ventral terletak di sepertiga anterior
permukaan ventral tubuh atau sejajar dengan bahu. Sistem pencernaan Fasciola
sp. terdiri dari mulut, faring, esofagus dan percabangan sekum yang membentang
sampai ujung posterior tubuh. Makanan diperoleh dari sekresi empedu dan
menghisap darah induk semang. Metabolisme cacing dewasa berjalan secara
anaerob. Sisa metabolisme diekskresikan melalui saluran ekskresi berupa
gelembung ekskresi, tabung koleksi, sel-sel api (sel ekskresi) dan lubang ekskresi.
Fasciola sp. dilengkapi dengan sistem syaraf yang sederhana. Sistem
syaraf cacing dewasa terdiri atas sistem syaraf pusat, otak, serabut syaraf, dan
sistem syaraf perifer. Otak cacing dewasa dilengkapi dengan ganglia yang terletak
di samping faring. Syaraf yang keluar dari ganglia menginervasi sekitar penghisap
oral (sucker oral) dan faring, sedangkan sistem syaraf perifer mengelilingi
esofagus kemudian berjalan bilateral pada setiap sisi tubuh menginervasi dinding
tubuh, jaringan adhesi, faring dan sistem reproduksi (Fairweather et al 1998).
F.gigantica merupakan cacing hermaprodit dan memiliki sistem
reproduksi yang sangat kompleks. Sistem reproduksi jantan terdiri atas dua testis,
disertai dengan saluran vas eferens yang berjalan ke anterior kemudian bergabung
membentuk saluran vas deferens. Saluran vas deferens melebar dan membentuk
vesikula seminalis. Di depan vesikula seminalis, vas deferens dikelilingi oleh sel
ekskresi yang membentuk kelenjar prostat. Vas deferens ini kemudian diteruskan
oleh sebuah sirus berongga yang dapat keluar dari lubang kelamin yang berada di
anterior tubuh. Sistem reproduksi betina terdiri atas satu ovarium, oviduk, ootipe,
dan uterus. Sel telur yang terbentuk di ovarium diteruskan ke oviduk, kemudian
menuju ootipe yang dikelilingi oleh kelenjar Mehlis sebagai kelenjar penghasil
kulit telur. Bahan kuning telur dihasilkan oleh kelenjar vitelaria yang tersebar di
sekitar lateral batil penghisap ventral (sucker ventral) hingga ke bagian posterior
tubuh. Telur yang dihasilkan akan diteruskan melalui uterus yang berkelok-kelok
kemudian keluar dari lubang kelamin. Pembuahan cacing ini umumnya terjadi
secara silang. Sperma dari satu cacing keluar melewati sirus dan masuk ke uterus
cacing lainnya yang telah berisi sel telur (Levine 1990).

5

Gambar 2 Morfologi Fasciola sp.. (A) sistim reproduksi dan (B) sistem pencernaan
(Andrews 1998).
Keterangan: 1. penghisap oral (sucker oral); 2. faring; 3. esofagus; 4.
penghisap ventral (sucker ventral); 5. sekum; 6. lubang genital; 7. kantung
sirus; 8. vas deferens; 9. ovarium; 10. uterus; 11. ootipe; 12. duktus vitelaria;
13. testis; 14. kelenjar vitelaria

Siklus Hidup Fasciola gigantica
F.gigantica memiliki siklus hidup secara tidak langsung yaitu memerlukan
siput sebagai inang antara. Inang antara F.gigantica adalah siput Lymnaea
rubiginosa (Asia Tenggara), Lymnaea auricularia (Amerika, Asia, Pasifik) dan
Lymnaea natalensis (Afrika) sedangkan inang antara F.hepatica adalah siput
Lymnaea truncatula (Eropa), Lymnaea tomentosa (Australia) dan Lymnaea
humilis (Amerika Utara). Perbedaan inang antara ini menyebabkan kasus
fasciolosis yang terjadi di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh F.gigantica
(Levine 1990).
F.gigantica dewasa hidup di dalam buluh empedu inang definitif. Cacing
dewasa mulai produksi telur sekitar 8 hingga 10 minggu setelah infeksi
(Hutchinson et al 2007). Telur cacing dikeluarkan bersama tinja kemudian
berkembang di lingkungan. Telur F.gigantica berbentuk oval dan memiliki
ukuran yang lebih besar dibandingkan telur F. hepatica. Ukuran telur mencapai
170-190 x 90-100 µm. Pada salah satu ujung telur terdapat operkulum yang
berfungsi sebagai jalan keluar mirasidium pada saat menetas (Taylor 2007).

6

Gambar 3 Telur Fasciola sp.
Sumber: Andrews (1998).

Telur F.gigantica menetas dalam waktu 14-17 hari pada suhu lingkungan
0

28 C. Telur menetas mengeluarkan mirasidium. Mirasidium memiliki bentuk
mirip segitiga sama sisi, bagian ujung posterior lancip, memiliki sebuah papila di
pertengahan ujung anterior, epitel bersilia, dan sepasang bintik mata. Mirasidium
bergerak aktif dalam air dan melakukan penetrasi masuk ke dalam siput. Di dalam
tubuh

siput,

mirasidium

melepaskan

epitelnya

kemudian

masuk

ke

hepatopankreas dan berubah menjadi sporokista. Di dalam sporokista terdapat 1-6
bola-bola benih yang akan berkembang menjadi redia. Redia memiliki mulut,
faring yang berotot, dan sepasang tonjolan tumpul ke lateral di pertengahan
posterior tubuh. Di dalam redia terdapat bola-bola benih yang selanjutnya menetas
mengeluarkan larva berupa serkaria.
Serkaria memiliki bentuk tubuh agak bulat dengan lekukan pada ujung
posterior. Larva ini dilengkapi dengan sebuah alat penghisap anterior di sekeliling
mulut, faring berotot, sepasang sekum sederhana, sebuah alat penghisap ventral
atau asetabulum, ekor serta terdapat sejumlah kelenjar kistogenosa berwarna gelap
dan bergranula terletak di bagian lateral tubuh. Serkaria keluar dari dalam siput
(Lymnaea sp) sekitar 3-7 minggu setelah infeksi dan dipengaruhi oleh suhu
lingkungan. Serkaria aktif berenang dalam air dan menempel pada benda-benda di
sekitar permukaan air. Serkaria kemudian melepaskan ekornya dan memproduksi
bahan pembungkus kista membentuk metaserkaria (Levine 1990).
Metaserkaria dapat bertahan hidup lebih dari 6 bulan pada suhu optimal
200 C. Hewan terinfeksi melalui termakannya metaserkaria yang terdapat pada
rumput atau batang padi. Metaserkaria yang termakan akan mengalami ekskistasi
di dalam duodenum dan berubah menjadi cacing muda. Cacing muda bermigrasi
dan menembus dinding usus masuk ke rongga peritoneum dalam waktu 24 jam.

7

Sebagian cacing muda sudah menembus kapsula dan bermigrasi dalam parenkim
hati sekitar 4-8 hari setelah infeksi. Cacing tinggal di dalam parenkim hati selama
7 minggu kemudian bermigrasi masuk ke dalam buluh empedu untuk berkembang
menjadi cacing dewasa. Cacing F.gigantica dewasa mulai memproduksi telur
sekitar 8-10 minggu setelah infeksi (Levine 1990).

Gambar 4 Siklus hidup Fasciola sp.
Sumber: Bennett 1999

Patogenesis dan Gejala Klinis Fasciolosis
Fasciolosis dapat terjadi secara akut, subakut dan kronis. Fasciolosis akut
ditandai dengan adanya infeksi metaserkaria dengan jumlah yang besar dalam
jangka pendek. Menurut Mitchell (2007), kasus akut pada umumnya terjadi di
akhir musim gugur dan di awal musim dingin sedangkan di daerah tropis biasanya
terjadi pada awal musim hujan dan awal musim kemarau. Fasciolosis akut tidak
tampak gejala klinis yang jelas, ternak mati mendadak karena perdarahan akibat
rusaknya jaringan parenkim hati (Soulsby 1986).

8

Fasciolosis subakut terjadi pada akhir musim gugur sampai musim semi
(Mitchell 2007). Pada kasus ini ditemukan cacing dewasa sebanyak 500-1500
ekor di dalam buluh empedu dan telur cacing di dalam tinja kurang dari 100
(Matthews 1999). Kejadian subakut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa
ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular (bottle jaw), serta
perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati (Soulsby 1986).
Fasciolosis kronis terjadi akibat dari migrasi dan keberadaan cacing
dewasa di dalam buluh empedu sehingga menyebabkan kerusakan parenkim hati.
Kejadian ini muncul pada musim dingin dan musim semi (Mitchell 2007) dengan
jumlah cacing yang ditemukan sekitar 250 ekor dan telur cacing di dalam tinja
mencapai 100 (Matthews 1999). Fasciolosis kronis ditandai dengan penurunan
nafsu makan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw,
cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup
dalam buluh empedu (Soulsby 1986).
Pada daerah tropis seperti Indonesia kejadian fasciolosis banyak terjadi di
awal musim hujan dan di awal musim kemarau. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan optimal telur menjadi mirasidium terjadi pada awal musim hujan
dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir
musim hujan. Kemudian pelepasan serkaria terjadi pada awal musim kering saat
curah hujan masih cukup tinggi dan menurun seiring dengan penurunan curah
hujan.
Tingkat kerusakan atau perubahan patologi anatomi pada hewan
dipengaruhi oleh jumlah metaserkaria yang termakan oleh ternak, fase
perkembangan cacing di dalam hati, dan spesies inang definitif. Perubahan
patologi di dalam tubuh inang definitif terjadi akibat adanya migrasi cacing di
dalam tubuh. Migrasi diawali dengan penetrasi intestinal (pre hepatik) kemudian
sampai ke hati dan akhirnya masuk ke saluran empedu. Migrasi cacing pada organ
hati menyebabkan hemoragi, kerusakan parenkim dan buluh empedu. Buluh
empedu mengalami peradangan, penebalan dan penyumbatan sehingga terjadi
sirosis periportal, peritonitis serta kolesistitis. Secara mikroskopis terjadi
perubahan pada struktur jaringan hati. Perubahan tersebut digolongkan menjadi
dua kelompok yaitu kelompok perubahan akut dan kronis. Pada stadium akut

9

tampak adanya perdarahan, degenerasi sel hati, peradangan, proliferasi buluh
empedu, infiltrasi sel radang, serta adanya globula leukosit pada mukosa buluh
empedu.

Pada

stadium

kronis

tampak

fokus-fokus

radang

granuloma,

mineralisasi, dan fibrosis (Winarsih et al 1996).

Gambar 5 Perubahan anatomi hati sapi yang mengalami fasciolosis.
Tanda panah menunjukkan terowongan jalur migrasi
F.gigantica.
Sumber: Copeman et al 2008

Diagnosa Fasciolosis
Diagnosa fasciolosis didasarkan pada gejala klinis,

pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan post-mortem organ hati untuk melihat adanya
F.gigantica di dalam buluh empedu. Pemeriksaan laboratorium yang umum
dilakukan adalah pemeriksaan tinja untuk mendeteksi telur F.gigantica,
pemeriksaan enzim hati, pemeriksaan hematologi, uji serologi, dan coproantigen
atau pemeriksaan antigen dalam tinja (Mitchell 2003).
Metode pemeriksaan tinja yang umum dilakukan untuk mendeteksi telur
Fasciola sp adalah metode sedimentasi (Taylor 2007). Metode ini bersifat
konvensional dan hanya dapat digunakan untuk infeksi kronis. Telur ditemukan
dalam tinja ketika cacing sudah mencapai dewasa dan mulai produksi telur antara
8 sampai 10 minggu setelah infeksi. Metode pemeriksaan tinja memiliki
kekurangan karena telur Fasciola sp. diekskresikan dalam waktu yang tidak
beraturan dan jumlah telur yang terlalu sedikit dalam tinja akan mempengaruhi
hasil diagnosa (Kusumamihardja 1992).

10

Pemeriksaan enzim hati dilakukan untuk mengukur level enzim aspartate
aminotransfarase (AST), glutamate dehydrogenase (GLDH), dan L-gamma
glutamyl transferase (GGT) pada sampel darah. Metode ini dapat mendeteksi
adanya infeksi akut pada 2-3 minggu setelah infeksi. Jika level enzim AST lebih
dari 60 iu/l, level enzim GLD lebih dari 13 iu/l (sapi) dan 10 iu/l (domba), serta
level enzim GGT lebih dari 31 iu/l (domba) maka mengindikasikan adanya cacing
dewasa di dalam buluh empedu. Pemeriksaan hematologi berupa deferensial
leukosit dilakukan untuk menghitung jumlah sel radang eosinofil. Pemeriksaan ini
merupakan indikator awal kemungkinan adanya infeksi cacing Fasciola sp.
(Mitchell 2003).
Pendekatan alternatif untuk diagnosis fasciolosis adalah dengan uji
serologi dan coproantigen. Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya
antibodi dalam serum menggunakan ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya
infeksi awal pada minggu ke 2 sampai minggu ke 4 setelah infeksi dengan
sensitifitas 91 % dan spesifisitas 88 % (Estuningsih et al 2004). Sedangkan
coproantigen dilakukan untuk mendeteksi antigen dalam tinja menggunakan
Sandwich-ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 5
sampai minggu ke 9 setelah infeksi dengan sensitifitas 95 % dan spesifisitas 91 %
(Estuningsih et al 2004

Epidemiologi dan Pengendalian Fasciolosis
Fasciolosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh infeksi
Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Cacing F.hepatica tersebar luas di
daerah beriklim sedang dan dingin sedangkan F.gigantica tersebar di daerah
beriklim tropis seperti Indonesia. Kejadian fasciolosis di Indonesia erat
hubungannya dengan kegiatan di persawahan. Sumber utama infeksi adalah akibat
memakan batang padi atau tumbuhan lainnya yang mengandung metaserkaria.
Infeksi juga dapat terjadi akibat penggunaan tinja ternak ruminansia sebagai
pupuk serta pemanfaatan tenaga ternak untuk membajak sawah. Pengendalian
fasciolosis yang efektif pada ternak dilakukan dengan cara mengurangi jumlah
siput inang antara, pemberian anthelmintika secara periodik, dan manajemen
pemeliharaan ternak.

11

Populasi siput meningkat pada musim penghujan sehingga populasi harus
dikendalikan. Menurut Martindah et al (2005) pengendalian populasi siput dapat
dilakukan secara biologis, kimia dan mekanis. Pengendalian secara biologis yaitu
dengan memelihara itik/bebek sebagai predator dan itik yang terinfeksi cacing
Echinostoma sp. Cacing Echinostoma sp yang menginfeksi itik akan
memproduksi telur yang akan keluar bersama tinja itik. Telur Echinostoma sp
berkembang di lingkungan, menetas mengeluarkan larva mirasidium sebagai
kompetitor mirasidum Fasciola sp. untuk memasuki tubuh siput. Secara alami
terjadi juga persaingan antara mirasidium Fasciola sp. dengan mirasidium cacing
Haplometra cylindricea (cacing paru-paru pada katak) untuk memasuki tubuh
siput (Torgerson et al 1998).
Pengendalian secara kimia dilakukan dengan pemberian molusida pada
musim panas seiring dengan awal musim merumput bagi ternak. Molusida yang
dipakai diantaranya adalah sodium pentachlorophenenate/ NaPCP, triklosamide,
dan copper sulfat. Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan pengeringan
saluran irigasi dan habitat siput.
Pengendalian fasciolosis dapat dilakukan dengan pemberian anthelmintika
secara periodik untuk membunuh dan mengeluarkan cacing Fasciola sp. dari
dalam tubuh ternak. Pemberian anthelmintika sebaiknya dilakukan pada musim
kemarau karena sebagian besar siput sudah mati sehingga sisa telur cacing dalam
tinja tidak akan menemukan inang antara bila menetas (Martindah et al 2005).
Pengobatan ternak disesuaikan dengan bahan aktif anthelmintika yang digunakan.
Anthelmintika yang dapat membasmi semua stadium perkembangan cacing
Fasciola sp. diberikan sekali setahun yaitu sekitar 6-8 minggu dari panen padi
terakhir. Sedangkan anthelmintika yang hanya mampu membunuh cacing dewasa
sebaiknya diberikan dua kali setahun yaitu 6-8 minggu dari panen terakhir dan
beberapa minggu sebelum musim penghujan tiba. Beberapa anthelmintika yang
dapat digunakan adalah triclabendazole, closantel, nitroxynil, albendazole,
oxyclozanide, dan clorsulon. Triclabendazole merupakan anthelmintika yang
memiliki efektivitas paling tinggi karena dapat membunuh semua stadium
perkembangan Fasciola sp. dalam tubuh inang definitif (Mitchell 2003).

12

Kejadian fasciolosis dapat dikurangi dengan penerapan manajemen
pemeliharaan ternak yang baik. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah
manajeman pemberian pakan, pengembalaan ternak, serta manajemen penggunaan
tinja sebagai pupuk. Menurut Martindah et al (2005), sebaiknya ternak diberikan
pakan segar yang tidak terendam dalam air. Pengambilan jerami dari sawah
sebagai pakan ternak dilakukan dengan pemotongon sekitar 10 cm dari atas
permukaan air. Manajemen pengembalaan ternak sebaiknya dilakukan secara
rotasi untuk menghindari daerah yang tercemar oleh metaserkaria. Ternak
digembalakan di daerah yang tidak berair dan lembab. Menurut Mitchell (2003),
penggunaan tinja sebagai pupuk sebaiknya setelah dilakukan dekomposisi supaya
telur Fasciola sp. sudah mati.

Hati
Anatomi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang berada di dalam
rongga perut. Pada ruminansia, hati terletak di bawah diafragma pada bagian atas
cavum abdominis dan cenderung terletak di sisi sebelah kanan akibat adanya
dorongan dari perut besar (Fradson 1992). Hati difiksasi secara erat oleh beberapa
ligamentum yaitu ligamentum coronarium hepatis, ligamentum triangulare
dextrum dan sinistrum, ligamentum falciniformis hepatis dan ligamentum
hepatorenale yang menghubungkan hati dengan ginjal kanan dan caecum. Pada
hati terdapat ligamentum teres hepatis berupa jaringan ikat sisa vena umbilicalis
yang berjalan dari pusar ke hati (Ressang 1984).
Hati terdiri dari 4 lobus yang terbagi dalam sejumlah lobulus. Lobus hati
dibungkus oleh kapsula serosa dan kapsula fibrosa yang memisahkan lobulus satu
dengan yang lainnya. Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta
dan arteri hepatika. Vena porta membawa darah yang berasal dari saluran
pencernaan dan pankreas. Darah ini mengandung banyak nutrisi yang akan diolah
dan diserap oleh hati. Sedangkan arteri hepatika membawa darah yang
mengandung banyak oksigen untuk hati. Darah yang keluar dari hati dibawa
melalui vena hepatika menuju vena cava caudalis dan dibawa menuju jantung
(Mills 2007).

13

Gambar 6 Anatomi hati
1.Lobus dexter; 2. Lobus sinister; 3. Lobus caudatus; 4. Lobus
quadratus; 5. Vena porta hepatica; 6. Ductus cysticus; 7. Vesica fellea.
Sumber: Atlas of Anatomy Veterinary Horse, Ruminant and
Carnivorous.

Histologi Hati
Hati dikelilingi oleh mesotelium berupa kapsula jaringan ikat yang
diperluas menjadi glandula dan terbagi menjadi lobus dan lobulus. Lobulus
berbentuk silindris dengan panjang beberapa millimeter dan berdiameter 0.8
sampai 2 mm. Setiap lobulus terdiri dari berbagai komponen yaitu sel-sel hati
(hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang
arteri hepatika, sel Kupffer dan kanalikuli biliaris (Ganong 1995).
Sel hati (hepatosit) berbentuk polihedral dengan inti bulat yang terletak di
tengah. Sel- sel ini tersusun secara radial ke arah luar vena sentralis. Diantara
baris-baris sel hati yang berdekatan terdapat kanalikuli empedu yang dibentuk
oleh dua atau lebih membran plasma hepatosit yang berbatasan. Empedu
disekresikan ke dalam kanalikuli empedu dibawa ke daerah portal (segitiga
Kiernan) dan akhirnya meninggalkan hati melalui duktus hepatikus (Dellmann
dan Brown 1992).
Sinusoid hati merupakan suplai intralobular vaskular berupa ronggarongga di dalam lobus yang alirannya menuju ke vena sentralis. Sinusoid
membawa darah dari cabang vena porta dan cabang arteri hepatika. Darah ini
bergerak dari perifer lobul menuju ke vena sentralis. Darah arterial mensuplai
jaringan ikat hati (stroma) sedangkan darah dari vena portal akan mengalami aksi
dari sel-sel parenkim.

14

Sinusoid diselaputi oleh sel-sel makrofag yang dikenal dengan nama sel
Kupffer. Sel-sel ini merupakan bagian terbesar dari sistem makrofag (retikulo
endotelial) yang memiliki fungsi fagositik terhadap benda asing serta
merontokkan jaringan, termasuk sel-sel merah yang aus atau rusak di dalam hati.
Cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatik, dan saluran
empedu yang kecil bergerak bersama di dalam jaringan ikat pada pertautan dari
beberapa lobul hati. Pengelompokan pembuluh-pembuluh tersebut disebut trinitas
portal atau triad. Pembuluh limfa terdapat di dalam pembungkus jaringan ikat,
jaringan ikat interlobular, jaringan ikat disekitar vena porta, dan jaringan ikat di
sekitar vena hepatik (Banks 1986).

15

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011
bertempat di Laboratorium Helmintologi bagian Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Laboratorium Histopatologi Bagian Patologi, Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian
Sebanyak 18 ekor sapi potong di RPH Purwodadi Kabupaten GroboganJawa Tengah pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2010 diambil sampel tinjanya.
Selanjutnya, setelah sapi disembelih diambil organ hatinya untuk dilakukan
pemeriksaan.
Bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan tinja adalah air dan methylen
blue. Alat yang digunakan adalah kantung plastik, kertas label, lemari es,
timbangan, gelas plastik, sendok, saringan teh dengan ukuran lubang 750-900 x
600-675 µm, saringan bertingkat berukuran 45 µm, 100 µm, dan 400 µm, pipet,
gelas Baerman, cawan petri, mikroskop cahaya, dan lembar pencatatan.
Bahan dan alat yang digunakan dalam pemeriksaan patologi anatomi organ
hati adalah NaCl fisiologis, pisau, gunting bedah, pinset anatomis, cawan petri,
kertas label, dan kantung plastik. Sementara bahan yang digunakan dalam
pembuatan preparat histopatologi hati adalah xylene, alkohol 70%, 96%, dan
absolut, lithium carbonate, parafin, Mayer Haematoxyline serta Eosin. Alat yang
digunakan adalah tissue cassette, automatic tissue processor, cetakan parafin,
inkubator, mikrotom, mikroskop cahaya, dan alat tulis.

Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Tinja dan Hati
Sampel tinja dikoleksi dari 18 rektum sapi potong. Sampel dimasukkan ke
dalam kantung plastik dan diberi label. Label berisi identitas kode setiap sapi
potong, jenis kelamin, dan tanggal pengambilan. Sampel tersebut kemudian

16

dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan terhadap adanya telur
cacing.
Sampel organ hati dikoleksi dari 18 ekor sapi yang sudah disembelih.
Masing-masing organ hati diambil kira-kira setebal 5 cm dari lobulus hati. Sampel
dimasukkan ke dalam kantung plastik yang berisi Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10 % dan diberi label. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk
dilakukan pemeriksaan histopatologi.

Pemeriksaan Patologi Anatomi Organ Hati
Organ hati sapi dipisahkan dari bagian jeroan lainnya, kemudian dilakukan
pemeriksaan patologi anatomi (PA). Pemeriksaan PA dilakukan dengan
melakukan inspeksi, palpasi dan insisi pada setiap organ hati yang dikoleksi.
Derajat kerusakan yang terjadi diberi skor berdasarkan Jubb et al (1993), dalam
Dumayanti (2003). Kriteria penilaian atau skoring disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Skoring derajat kerusakan patologi anatomi organ hati
Skor derajat kerusakan
0 (normal)
+1 (ringan)
+2 (sedang)
+3 (parah)

Perubahan patalogi anatomi organ hati
Organ hati utuh dengan susunan normal.
Pembendungan, pembengkakan, buluh empedu sedikit
melebar disertai fibrosis ringan.
Warna hati pucat, konsistensi keras, pelebaran buluh
empedu, disertai fibrosis yang merata.
Warna hati lebih pucat, konsistensi sangat keras, buluh
empedu menebal, fibrosis yang cukup parah disertai
pengapuran dan kalsifikasi.

Koleksi dan Penghitungan Jumlah F.gigantica
Setiap organ hati ditempatkan didalam ember kemudian saluran empedu
dibuka menggunakan gunting bedah. Semua cacing Fasciola sp. yang terdapat di
dalam saluran empedu dan kantung empedu dikumpulkan dan dimasukkan ke
dalam cawan petri yang telah berisi larutan NaCl fisiologis dan diberi label.
Lobulus hati dipotong kecil-kecil dengan ketebalan kira-kira 1 cm. Kemudian
dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis dan secara perlahan-lahan ditekan
hingga cacing keluar. Cacing yang ditemukan dikumpulkan menggunakan pinset
anatomis lalu dimasukkan ke dalam cawan petri. Selanjutnya dilakukan
penghitungan jumlah cacing dari masing-masing organ hati. Penghitungan

17

dilakukan dengan menghitung bagian anterior cacing. Hal ini dilakukan untuk
menghindari adanya penghitungan ganda bagian cacing yang terpotong.

Pemeriksaan Sampel Tinja
Pemeriksaan sampel tinja dilakukan dengan metode modifikasi filtrasisedimentasi. Tinja ditimbang sebanyak 4 gram kemudian dimasukkan ke dalam
gelas dan dihomogenkan menggunakan air sebanyak 50 ml, diaduk lalu disaring
dengan saringan teh. Penyaringan dilanjutkan dengan menggunakan saringan
bertingkat berukuran 400 µm, 100 µm, dan 45 µm. Filtrat yang tersaring pada
saringan ukuran 45 µm dimasukkan ke dalam gelas Baerman. Selanjutnya
ditambahkan air sampai penuh lalu didiamkan selama 10 sampai 15 menit.
Kemudian supernatan dibuang sedangkan sedimennya dibiarkan mengendap.
Perlakuan ini diulang sampai diperoleh supernatan yang jernih. Sedimen yang
terdapat pada dasar gelas Baerman dimasukkan ke dalam cawan petri bergaris dan
ditambah methylen blue. Kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan
perbesaran 10 kali dan 40 kali lalu dihitung jumlah telur cacing F.gigantica yang
ditemukan (Willingham et al 1998, dalam Chrisnawaty 2008).

Pembuatan Preparat Histopatologi
Sampel organ hati difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10%. Setiap sampel dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm. Hasil
pemotongan dimasukkan ke dalam tissue cassette dan dilakukan dehidrasi. Proses
dehidrasi menggunakan mesin automatic tissue processor dengan merendam
sediaan tersebut secara berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol
absolut I, II, dan III; clearing dengan xylol I, II, dan III; serta infiltrasi oleh
parafin. Semua proses dehidrasi berjalan secara otomatis. Setelah didehidrasi,
sampel dimasukkan ke dalam alat embedding blok pencetak yang telah berisi
parafin cair dan cetakan dibiarkan hingga parafin mengeras.
Selanjutnya dilakukan pemotongan jaringan menggunakan mikrotom
dengan ketebalan 3 µm. Hasil pemotongan diletakkan di atas permukaan air
hangat (± 45 oC) untuk menghilangkan lipatan-lipatan pada potongan. Sediaan

18

diangkat dari permukaan air hangat menggunakan gelas objek dan dikeringkan
dalam inkubator 600 C selama 24 jam.
Proses deparafinisasi dilakukan dengan cara memasukkan sediaan ke
dalam larutan xylene I, II, dan III masing-masing selama 1 menit. Kemudian
sediaan didehidrasi dengan alkohol bertingkat dimulai dari alkohol absolut,
96%,dan 70% masing-masing selama 1 menit. Setelah itu, sediaan dicuci dengan
air mengalir dan dikeringkan.
Pewarnaan

sediaan

menggunakan

Hematoksilin-Eosin.

Pewarnaan

dilakukan dengan merendam sediaan ke dalam Mayer Hematoksilin selama 1
menit, kemudian sediaan dicuci dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium
carbonate sebanyak 3 kali celupan. Sediaan dibilas kembali dengan air mengalir
dan selanjutnya diwarnai dengan eosin selama 2 menit 30 detik. Kemudian
sediaan dicuci dengan air mengalir selama 30 detik lalu dilakukan dehidrasi dalam
alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70%, 80%, dan 96% masing-masing
sebanyak 10 kali celupan. Kemudian dicelupkan ke dalam xylene I, II, III, dan IV
masing-masing selama 1 menit. Setelah itu, sediaan dikeringkan dan ditetesi
dengan perekat permount dan segera ditutup menggunakan cover glass dan
dibiarkan sampai mengering (Aughey et al 2001).

Pengamatan Histopatologi
Pengamatan histopatologi organ hati dilakukan dengan menggunakan
mikroskop cahaya pada perbesaran 10 kali dan 40 kali lensa objektif. Fokus
pengamatan adalah pada daerah portal, vena sentralis, dan sel-sel hepatosit.
Parameter yang diamati yaitu perubahan morfologi pembuluh darah arteri, vena,
dan buluh empedu, ada tidaknya fibrosis dan sel-sel radang disekitar segitiga
portal. Selanjutnya ditentukan derajat kerusakan yang terjadi dengan metode
skoring. Menurut Winarsih et al (1996), penilaian atau skoring histopatologi
disajikan pada Tabel 2.

19

Tabel 2 Skoring derajat kerusakan histopatologi organ hati
Skor derajat kerusakan

Perubahan histopatologi organ hati

0 (normal)

Sel hati utuh, susunan normal dan buluh empedu
normal.
Degenerasi parenkim, perdarahan, infiltrasi sel radang
makrofag eosinofil, limfosit, adanya proliferasi buluh
empedu dan sedikit fibrosis.
Degenerasi parenkim, infiltrasi sel radang makrofag,
eosinofil, limfosit, adanya proliferasi buluh empedu dan
fibrosis.
Degenerasi parenkim, degenerasi lemak, infiltrasi sel
radang eosinofil, neutrofil, limfosit dan makrofag,
fibrosis yang cukup parah serta mineralisasi.

+1 (ringan)

+2 (sedang)

+3 (parah)

Analisis
Data yang diperoleh diolah menggunakan progam SPSS.15 dan dianalisa
secara deskriptif. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah telur F.gigantica
dengan jumlah cacing F.gigantica maka dilakukan pengujian dengan Pearson
coefficient. Sedangkan uji Spearman`s rho digunakan untuk mengetahui hubungan
antara jumlah cacing F.gigantica dengan derajat kerusakan patologi anatomi dan
histopatologi organ hati.

20

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Organ Hati dan Tinja
Hasil pemeriksaan organ hati dan tinja terhadap keberadaan cacing
F.gigantica dan telurnya dapat dilihat pada Tabel 3. Jumlah cacing F.gigantica
yang ditemukan dalam hati sapi sangat bervariasi dari 5 ekor sampai dengan 52
ekor cacing, sedangkan jumlah telur yang ditemukan dalam 4 gram tinja dari
setiap sampel adalah sangat sedikit yaitu berkisar antara 1 sampai 4 telur cacing.

Tabel 3 Jumlah cacing dalam hati dan jumlah telur cacing F. gigantica dalam
tinja
Jumlah cacing

Jumlah sapi
(ekor)
0
12
1-10
1
11-20
1
21-30
1
31-40
1
41-50
1
>50
1
*jumlah telur dalam 4 gram tinja

Jumlah telur cacing
F. gigantica*
0
2
1
2
4
3
2

Jumlah sapi yang terinfeksi F.gigantica baik berdasarkan pemeriksaan
organ hati dan tinja adalah 6 ekor (33,3 %). Menurut Sudardjat (1992) infeksi
fasciolosis pada sapi dipengaruhi oleh umur. Penelitian yang dilakukan Anderson
et al (1999), menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Fasciola pada sapi dengan
umur lebih dari 2 tahun lebih tinggi dibanding sapi berumur kurang dari 2 tahun.
Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa tingkat prevalensi infeksi
F.gigantica pada sapi Bali berumur lebih dari 12 bulan lebih tinggi dibanding
umur kurang dari 6 bulan dan antara 6 sampai 12 bulan (Sayuti 2007). Dalam
penelitian ini tidak difokuskan pengamatan pada umur sapi karena sapi yang
disembelih umumnya sudah dewasa dan berumur lebih dari 2 tahun.
Selain umur, tingkat infeksi fasciolosis juga dipengaruhi oleh manajemen
pemeliharaan ternak. Sapi yang disembelih di RPH Purwodadi berasal dari
Kabupaten Grobogan dan Blora. Disnakkan Kabupaten Grobogan (2011)
menyebutkan bahwa sebagian besar sapi potong di Kabupaten Grobogan berasal

21

dari peternakan rakyat yang dipelihara secara ekstensif, tradisional, dan
dimanfaatkan untuk keperluan pertanian sehingga kemungkinan terinfeksi
F.gigantica masih tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sadarman et al
(2007) yang menyatakan ba