Analisis pemanfaatan ruang wilayah pesisir dalam pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten Buru, Maluku

(1)

DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

DI KABUPATEN BURU, MALUKU

FAIZAL RUMAGIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Buru, Maluku. Dibimbing oleh SANTOSO RAHARDJO dan AGUSTINUS M. SAMOSIR.

Kabupaten Buru sebagai salah satu kabupaten yang baru dimekarkan di Propinsi Maluku akibat pelaksanaan undang-undang otonomi daerah, memiliki potensi yang besar dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan lautan yang dimilikinya.

Penelitian tentang Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Buru, Maluku, bertujuan untuk menganalisis kesesuain lahan untuk pemanfaatan wilayah pesisir bagi beberapa peruntukan, dan menganalisis pendapat stakeholder dalam penentuan prioritas kebijakan pemanfataan wilayah pesisir berdasarkan pada skenario kebijakan menurut alternatif pemanfaatannya di Kabupaten Buru.

Data primer diperoleh langsung dari sumbernya melalui hasil survei, observasi dan wawancara secara langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan dari dinas atau instansi terkait. Untuk menganalisis kesesuaian lahan bagi pemanfaatan wilayah pesisir digunanakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) dan untuk analisis pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir digunakan metode Proses Hierarki Analitik (PHA). Hasil analisis kesesuaian lahan menggunakan SIG menunjukkan bahwa wilayah pesisir Kabupaten Buru memiliki peluang untuk berbagai program pembangunan bagi pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir, seperti : kawasan pemukiman penduduk, kawasan pelabuhan umum, kawasan pelabuhan perikanan, kawasan budidaya air payau dengan tambak konvensional, kawasan budidaya keramba jaring apung, kawasan budidaya rumput laut, dan kawasan konservasi untuk mangrove dan terumbu karang. Hasil analisis pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir menggunakan PHA menunjukkan bahwa kriteria yang berpegaruh besar terhadap tujuan analisis pemecahan konflik adalah ketersediaan dan kesesuaian lahan, dan priorias pertama bagi alternatif pengembangan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah pengembangan kawasan perikanan.

Kata Kunci: Kabupaten Buru, wilayah pesisr, pemanfaan ruang, SIG, otonomi daerah, PHA, starategi kebijakan.


(3)

of Decentralization in Buru Regency, Moluccas. Supervised by SANTOSO RAHARDJO and AGUSTINUS M. SAMOSIR.

Buru regency as one of the newest region in Moluccas province, as the implementation on decentralization laws, have a big potential in development and management of their coastal zone.

The research about Analysis of Coastal Zone Utilization on the Implementation of Decentralization in Buru Regency, Moluccas, aim to analyzing land use for coastal zone utilization for various utilization, and to analyzing the opinion of stakeholder on determination of policy priority of coastal zone utilize based to the policy scenario according to alternative of coastal utilization in Buru Regency.

Primary data obtained directly from the source through survey result, observation and direct interview in the research area. Secondary data obtained from study of bibliography and from related institution. To analyze the land use for coastal zone utilization was determinate using the Geography Information System (GIS) and for land use resolving conflict determinate by Analytical Hierarchy Process (AHP). The land use analysis result using the GIS showed that coastal zone of Buru Regency have an opportunity for various developing program for coastal zone development and management, such as the settlement area, public port, fishery port, estuary pond aquaculture, lift net pond aquaculture, sea weed aquaculture, coastal tourism, also mangrove and coral reef conservation. The land use resolving conflict result shown that the most contribute criteria for the aim of the land use resolving was the availability and agreeable of the land, and the first priority for the alternative development of the coastal zone in Buru Regency are the fishery area.

Keyword: Buru Regency, Coastal zone, Land use, GIS, Decentralization, AHP, Policy strategic.


(4)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(5)

DI KABUPATEN BURU, MALUKU

FAIZAL RUMAGIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(6)

Nama : Faizal Rumagia

NRP : C251050161

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Manajenem Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


(7)

Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Buru, Maluku adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2008

Faizal Rumagia NRP C251050161


(8)

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Buru, Maluku.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas semua bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari awal penelitian hingga tersusunnya tesis ini.

2. Pemerintah Kabupaten Buru, DPRD Kabupaten Buru, Camat dan Kepala Desa pada lokasi penelitian, civitas akademika Universitas Iqra Buru, masyrakat dan semua pihak di Kabupaten Buru yang terkait dengan penyusunan tesis ini, yang telah dengan ikhlas membantu penulis selama melakukan penelitian. 3. Ayahanda H. Umar Rumagia (Rahimakumullah), Ibunda Hj. Syarifah

Rumagia, Kakak Fatmah S. Rumagia, S.Pi dan Adik Abd. Gafur Rumagia, S.Pi beserta istri serta kedua keponakan tersayang Khodijah dan Hudzaifah, atas segala doa, kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang telah di berikan dalam setiap langkah dan kehidupan penulis.

4. Mahasiswa SPs-IPB Program Studi SPL-IPB angkatan 12, khususnya Dinand, Haikal, Angga, Yusuf, Widhi, dan Evi, atas semua persahabatan, motivasi dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan. Keluarga kanda Drs. Abunaim, M.Sc, keluarga besar “BENZIN”, Yeni, Mba Eka, Nico, Adith, Ancu, Yona, Andin, Santi, Sylvi, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan di IPB.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2008

Faizal Rumagia


(9)

H. Umar Rumagia dan ibu Hj. Syarifah Rumagia, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara.

Menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak pada tahun 1984 di TK Al Fatah Ambon, dilanjutkan dengan pendidikan dasar ke SDN 6 Ambon yang diselesaikan pada tahun 1991, pendidikan menengah di SLTP Negeri 4 Ambon diselesaikan pada tahun 1993, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 1 Ambon pada tahun 1996. Tahun 2001 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Strata Satu pada Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Muslim Indonesia Makassar. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2003 penulis mengabdi sebagai Asisten Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Iqra Buru, dan dalam tahun 2003 penulis diangkat sebagai Dosen Tetap Yayasan Muslim Buru Universitas Iqra Buru dan ditugaskan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi strata dua pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan Strata Dua, penulis terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan IPB, khususnya pada Forum Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (Wacana Pesisir IPB) sebagai Sekretaris Umum Wacana Pesisir IPB periode 2006 – 2007.


(10)

PRAKATA ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

Alur Pendekatan Studi ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Pengertian Wilayah Pesisir ... 7

Pengertian PengelolaanWilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan ... 8

Penataan Ruang Wilayah Pesisir ... 9

Pengertian Otonomi Daerah/Desentralisasi ... 11

Kelembagaan dan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 13

Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir ... 15

Proses Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir ... 17

METODE PENELITIAN ... 21

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

Pengumpulan Data ... 21

Analisis Data ... 28

Analisis Kesesuaian Lahan ... 28

Analisis Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang ... 34

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 39

Gambaran Umum Kabupaten Buru ... 39

Fisiologi, Topografi dan Geomorfologi ... 40

Hidrologi dan Tanah ... 42

Iklim ... 44

Kondisi Fisik Perairan Kabupaten Buru ... 44

Kedalaman Perairan ... 44

Pasang Surut ... 45

Arus ... 45


(11)

Kondisi Kimia Perairan Kabupaten Buru ... 49

Klorofil-a ... 49

Oksigen Terlarut (DO) ... 50

pH Perairan ... 50

Nutrient ... 51

Fosfat dan Silikat ... 51

Logam Berat ... 52

Prasarana Wilayah ... 52

Prasarana Transportasi ... 52

Prasarana Air Bersih ... 54

Prasarana Pengairan dan Irigasi ... 54

Prasarana Listrik dan Komunikasi ... 54

Prasarana Perekonomian ... 55

Potensi Sumberdaya Perikanan ... 57

Perikanan Budidaya ... 57

Perikanan Tangkap ... 59

Potensi Ekosistem Pesisir dan Laut ... 62

Ekosistem Mangrove ... 62

Ekosistem Padang Lamun ... 62

Ekosistem Terumbu Karang ... 63

Domografi dan Sosial Budaya ... 64

Kelembagaan Penataan Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Wilayah Kabupaten Buru ... 65

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 67

Dampak Kegiatan Pembukaan Dataran Atas Terhadap Pesisir Kabupaten Buru ... 67

Analisis Kesesuaian Lahan ... 68

Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pemukiman Penduduk ... 68

Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum ... 73

Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai ... 77

Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Air Payau dengan Tambak Konvensional ... 81

Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung ... 84

Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 85

Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai ... 87

Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi ... 92

Peta Komposit Kesesuaian Lahan ... 96

Analisis Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir ... 99

Tujuan ... 99


(12)

Prioritas Kedua : Kawasan Konservasi ... 114

Prioritas Ketiga : Kawasan Pelabuhan ... 115

Prioritas Keempat : Kawasan Pemukiman Penududuk ... 117

Prioritas Kelima : Kawasan Pariwisata Pantai ... 118

Skenario Kebijakan ... 120

Pembahasan Komprehensif ... 122

KESIMPULAN DAN SARAN ... 127

Kesimpulan ... 127

Saran ... 129


(13)

1. Komponen Data dan Cara Pengumpulannya ... 24

2. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pemukiman Penduduk ... 30

3. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum ... 30

4. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai ... 31

5. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Tambak ... 31

6. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung ... 31

7. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 32

8. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai ... 32

9. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi ... 32

10. Skala Banding Secara Berpasangan ... 35

11. Dimensi Spasial Wilayah Ekologis Kabupaten Buru ... 40

12. PDRB Kabupaten Buru Tahun 2001 – 2003 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 1999 ... 56

13. Distribusi Infrastruktur Ekonomi Perikanan pada Kabupaten Buru ... 56

14. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) Perikanan Budidaya menurut Uraian Kegiatan Budidaya di Kabupaten Buru sejak Tahun 2002 – 2006 ... 58

15. Jumlah Jenis Perahu Penangkap Ikan di Kabupaten Buru dari Tahun 2002 – 2006 ... 61

16. Kondisi Alat Tangkap Ikan di Kabupaten Buru dari Tahun 2002 – 2006 ... 61

17. Skala Prioritas Kriteria terhadap Tujuan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru... 101


(14)

19. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Kelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan

Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 105

20. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Pengembangan Wilayah ke Masa yang Akan Datang dalam Penentuan Prioritas

Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 107

21. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Kontinyuitas

Pembangunan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang

Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 108

22. Skala Prioritas Altrenatif Kegiatan Berdasarkan Kriteria dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten


(15)

1. Alur Pendekatan Studi ... 5

2. Peta Lokasi Penelitian ... 22

3. Alur Sistematika Proses Penelitian ... 27

4. Diagram Hierarki Analisis Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 38

5. Peta Wilayah Administratif Kabupaten Buru ... 40

6. Peta Wilayah Ekologis Kabupaten Buru ... 42

7. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Kabupaten Buru ... 43

8. Kondisi Sedimentasi di Perairan Teluk Kaiely Kabupaten Buru... 49

9. Peta Jaringan Transportasi Kabupaten Buru dan Propinsi Maluku.... 53

10. Peta Zona Penangkapan Ikan Kabupaten Buru ... 60

11. Potensi Hutan Mangrove pada Wilayah Ekologis Teluk Kaiely Kabupaten Buru... 63

12. Potensi Terumbu Karang pada Wilayah Ekologis Teluk Kaiely Kabupaten Buru ... 64

13. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pemukiman Penduduk di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 71

14. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pelabuhan Umum di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 75

15. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 80

16. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Air Payau dengan Tambak Konvensional di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 83

17. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 86

18. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabuaten Buru ... 88


(16)

20. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Konservasi Mangrove dan

Terumbu Karang di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 94

21. Peta Komposit Kesesuaian Lahan di Wilayah Pesisir

Kabupaten Buru ... 97

22. Diagram Batang Skala Prioritas Kriteria terhadap Tujuan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten

Buru ... 101

23. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di

Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 105

24. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Kelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan terhadap Alternatif

Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 106

25. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Pengembangan Wilayah ke Masa yang Akan Datang terhadap Alternatif

Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru... 108

26. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Kontinyuitas Pembangunan terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di

Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 109

27. Diagram Batang Skala Prioritas Alternatif Kegiatan

Berdasarkan Kriteria dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan

Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 110

28. Grafik Analisis Sensitivitas Pendapat Gabungan Responden ... 120

29. Model Dinamika Analisis Sensivitas Pendapat Gabungan


(17)

1. Data Kondisi Biofisik Perairan Pesisir Kabupaten Buru

Pada 28 Stasiun Pengamatan ... 136

2. Penilaian Responden untuk Analisis Pemecahan Konflik

Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 138

3. Bobot dan Prioritas Alternatif Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir

Kabupaten Buru ... 142

4. Model Skenario Kebijakan Bila Terjadi Perubahan pada Setiap

Kriteria Pemanaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ... 143

5. Kuisioner Data Government Stakeholder ... 147 6. Kuisioner Data Non-Government Stakeholder ... 152


(18)

Latar Belakang

Pengembangan dan peningkatan sumberdaya alam Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, kini semakin ditingkatkan sebagai salah satu konsekuwensi dari keterpurukan ekonomi bangsa akibat krisis yang telah berlangsung sejak tahun 1997. Salah satu sektor yang menjadi harapan percepatan perbaikan ekonomi tersebut adalah sektor perikanan dan kelautan, yang diharapakan dapat menjadi andalan dalam pengembangan sumberdaya alam di Indonesia.

Sejalan dengan digulirkannya sistem desentralisasi pembangunan melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang disempurnakan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan sendirinya telah mengakibatkan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan dan kelautan dari pusat ke daerah, dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah bersama jajarannya yang terkait beserta masyarakat setempat.

Secara umum dapat dilihat bahwa potensi wilayah pesisir dan lautan di dareah-daerah menjadi potensi yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dimasa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62 % dari luas wilayah nasional, belum lagi ditambah dengan wilayah ZEE seluas 2,7 juta km per segi, serta ditunjang oleh kekayaan dan keanekaragaman hayati dan jasa-jasa lingkungan yang dapat diberikannya, sehingga menempatkan sumberdaya pesisir dan lautan memiliki nilai ekonomis dan ekologi yang tinggi.

Sebagaimana yang tersirat dalam pembangunan yang berkelanjutan, bahwa pembangunan suatu kawasan akan bersifat berkesinambungan (sustainable) apabila laju pembangunan beserta segenap dampak yang ditimbulkan secara keseluruhan tidak melebihi daya dukung atau kemampuan lingkungan kawasan tersebut. Karena itu ketersediaan ruang (space) yang sesuai (suitable) untuk kegiatan ekonomi seperti kegiatan perikanan, pariwisata, industri maritim, dan kegiatan ekonomi lainnya di wilayah pesisir dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan (Dahuri, 2003)


(19)

Propinsi Maluku dikenal sebagai propinsi seribu pulau, yang memiliki garis pantai cukup panjang, memegang tanggung jawab yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimilikinya, mengingat luas wilayahnya hampir 70% merupakan wilayah laut. Hal tersebut juga dirasakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat di Kabupaten Buru yang merupakan salah satu kabupaten yang baru dibentuk, dalam mempercepat pembangunan di daerahnya dalam pemenuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini.

Dengan diberlakukannnya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, maka sejak tanggal 12 Oktober 1999 Kabupaten Buru secara resmi terbentuk. Sejalan dengan pemekaran wilayah tersebut maka sebagai kabupaten yang baru, Kabupaten Buru diperhadapkan dengan berbagai kebutuhan yang mendasar yang perlu dibentuk dan dibangun secara terencana yang dilaksanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang dibuat oleh pemerintah, baik Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten sendiri dalam mengoptimalkan pencapaian pembangunan di Kabupaten Buru.

Merujuk pada Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Buru Tahun 2002 – 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Buru telah menetapkan beberapa kebijakan dan strategi yang akan dikembangkan, antara lain penataan ruang wilayah, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan sarana dan prasarana pendukung pembangunan wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta peningkatan peranan kelembagaan.

Kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang telah ditetapkan dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam diserahkan kepada pemerintah daerah, pada kenyataannya banyak menimbulkan konflik dalam pelaksaannya. Konflik tersebut umumnya merupakan konflik antara kepentingan konservasi dan pembangunan ekonomi di kawasan pesisir dan laut, terutama pada wilayah yang memiliki potensi dan intensitas pembangunan yang tinggi. Kondisi seperti ini juga dirasakan terjadi di wilayah pesisir dan lautan Kabupaten Buru, sehingga menjadi salah satu perhatian yang serius bagi pemerintah daerah Kabupaten Buru dalam


(20)

menjabarkan dan melaksanakan berbagai kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki oleh kabupaten ini, terutama kebijakan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan lautnya.

Dalam rangka mendukung dan mengimplementasikan rencana strategis pembangunan daerah dan pola dasar pembangunan daerah Kabupaten Buru, maka penelitian Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Buru, Maluku ini dirasa perlu dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah pesisir, dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Buru dalam pengembangan wilayah pesisir dengan prinsip keterpaduan dan keberlanjutan.

Rumusan Masalah

Pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir Kabupaten Buru sebagai bagian dalam pelaksanaan pembangunan daerah, telah memberikan pengaruh yang besar terhadap pemanfaatan ruang wilayah pesisir di daerah ini. Peningkatan pembangunan dan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kabupaten Buru, telah mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan lingkungan pesisir, baik dari aspek sumberdaya alam maupun pada pola pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor pembangunan. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan dan terjadinya konflik pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kabupaten Buru.

Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan pemanfaatan ruang wialayah pesisir Kabupaten Buru antara lain sebagai berikut : 1. Terjadinya degradasi wilayah pesisir sebagai akibat dari pemanfaatan ruangan

yang kurang sesuai antara para pengguna potensi sumberdaya pesisir dan lautan (stakeholder) yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada fungsi pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam, sehingga mempengaruhi pola pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Kabupaten Buru.

2. Belum tersedianya analisis kesesuaian lahan yang memadai bagi pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, sehingga mengakibatkan pola pemanfaatan ruang yang bersifat sektoral, yang berpengaruh terhadap kelestarian sumberdaya alam di wilayah pesisir Kabupaten Buru.


(21)

3. Adanya konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir antar stakeholder yang memerlukan penyelesaian melalui penentuan prioritas pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, sehingga menghasilkan pola pembangunan wilayah pesisr yang berkelanjutan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis penyebab degradasi lingkungan melalui penentuan kesesuaian lahan untuk pemanfaatan wilayah pesisir bagi pemukiman penduduk, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, budidaya tambak, budidaya keramba jaring apung, budidaya rumput laut, pariwisata pantai, serta konservasi mangrove dan terumbu karang di Kabupaten Buru.

2. Menganalisis dan menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dengan penentuan prioritas kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir melalui penilaian terhadap pendapat stakeholder (pemerintah,masyarakat dan swasta) yang berperan dalam pemanfaatan wilayah pesisir di Kabupaten Buru

Manfaat yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah dapat menjadi masukan dan acuan bagi pengambil keputusan dalam menyusun kebijakan dan program pembangunan serta sebagai pertimbangan dan arahan dalam pengembangan dan perencanaan bagi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan yang berkelanjutan (sustained development) di Kabupaten Buru dalam konteks otonomi daerah.

Alur Pendekatan Studi

Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah untuk sektor kelautan, maka dalam upaya mencapai pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan, diperlukan adanya suatu bentuk pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

Penataan ruang wilayah pesisir dan laut Kabupaten Buru didasarkan pada kondisi potensi supply, potensi permintaan dan pemanfaatan saat ini. Potensi supply adalah kondisi sumberdaya alam kawasan baik secara fisik, kimia maupun


(22)

biologi dan mempunyai interaksi sama lain yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Potensi permintaan meliputi kondisi sosial ekonomi masyarakat serta stakeholder lainnya yang dalam perkembangannya membutuhkan pasokan sumberdaya alam yang memadai serta pengaturan pemanfaatan agar dapat terjamin kelestariannya. Unsur pemanfaatan saat ini antara lain pemukiman penduduk, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, budidaya perikanan, pariwisata pantai, dan konservasi, merupakan faktor penentu yang perlu diketahui untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah penyempurnaan pengelolaan kawasan pesisir Kabupaten Buru.

Selanjutnya dengan menggunakan kriteria kesesuaian lahan, dilakukan analisis terhadap ketiga komponen penentu tersebut yaikni potensi supply, potensi permintaan dan pemanfaatan saat ini, untuk menetapkan kawasan yang sesuai dengan kondisi sumberdaya alam dan kebutuhan manusia dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan. Alur pendekatan studi yang digunakan seperti terlihat pada Gambar 1.


(23)

Penataan ruang pesisir dan laut dapat dilakukan melalui empat tahapan, yaitu : (i) penataan ruang pesisir secara menyeluruh bagi berbagai peruntukan, yakni bagi kawasan preservasi, konservasi dan pemanfaatan secara intensif, (ii) penataan ruang pessir yang diperuntukan bagi kawasan pemanfaatan secara intensif untuk berbagai kegiatan pembangunan yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan dan tumpang tidih berbagai kegiatan pembangunan, (iii) penataan ruang pesisir dengan lahan atas untuk menghidari adanya dampak yang dapat menurunkan (degradasi) ekosistem dan aktivitas pembangunan diwlayah pessir dan laut, dan (iv) penempatan setiap kegiatan pembangunan sesuai dengan kebutuhan biofisik dari kegiatan tersebut. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa analisis kesesuaian lahan merupakan salah satu cara yang dapat memberikan kontribusi positif bagi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Buru. Perencanaan pengeloalaan didasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan yang mengintegrasikan biogeofisik kawasan pesisir dan lautan Kabupaten Buru.


(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir adalah suatu daerah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas yaitu : batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore), atau merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan, dimana batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang dengan air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, gelombang, muka laut, suhu dan salinitas (Dahuri el al., 2004; Bengen, 2001; Djais et al., 2003; Kay and Alder, 1999; The World Bank, 1993).

Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan daerah yang unik, karena pada daerah ini hanya bisa dijumpai pasang surut, hutan mangrove, terumbu karang, hempasan gelombang, perairan pantai, dan pulau-pulau penghalang pantai. Akibat dari keberagaman dan perubahan yang sering terjadi di wilayah pesisir, kebanyakan negara menyatakan bahwa daerah pesisir merupakan daerah yang memerlukan perhatian khusus. Lebih jauh disebutkan pula bahwa, sebagai daerah transisi antara daratan dan lautan, wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki beberapa habitat yang produktif dan berharga dari biosfer, seperti estuari, laguna, lahan basah pesisir, dan ekosistem terumbu karang. Daerah ini juga merupakan daerah yang memiliki dinamika sumberdaya alam yang besar dimana proses transfer energi alami banyak terjadi dan kelimpahan yang besar dari organisme alami juga dapat ditemukan di wilayah ini (Clark, 1996; Fabbri, 1998; Dutton and Hotta, 1995).

Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dilihat dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yanag secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari Kabupaten atau Kota


(25)

yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk Provinsi atau 1/3 dari 12 mil untuk Kabupaten/Kota. Sedangkan dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab (Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, 2001).

Pengertian Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan Konsep pengelolaan wilayah secara berkelanjutan merujuk pada perencanaan wilayah yang membutuhkan keterpaduan antara perencanaan ekonomi, perencanaan fisik dan dan perencanaan lingkungan. Konsep pengelolaan wilayah ini akan menjelaskan bagaimana konsep keterpaduan wilayah dalam aktifitas pembangunan yang dilaksanakan. Konsep pengelolaan berkelanjutan wilayah ini dibentuk dari empat konsep dasar yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yakni : (1) Wilayah merupakan suatu kesatuan sistem yang terdiri dari berbagai kepentingan yang kompleks terhadap pemanfaatan wilayah, (2) Sebuah wilayah dapat dikarakteristikkan berdasarkan pada struktur dan fungsinya, (3) Struktur dan fungsi wilayah memiliki pengaruh bagi keuntungan ekonomi dan pembiayanya, dan (4) Bentuk keberhasilan dari suatu wilayah, dapat dinilai dari kegunaanya dalam memenuhi kebutuhan manusia, melalui pengukuran rasio keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh wilayah tersebut dan biaya ekonomi yang digunakan dalam pengelolaan wilayah tersebut (Laak, 1992; Dahuri et al. 2004; Darmawan, 2000).

Clark (1996) menyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu kegiatan perencanaan untuk mengelola sumberdaya pesisir melalui partisipasi atau keterlibatan oleh sektor-sektor ekonomi, lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga non-pemerintah yang memiliki keterkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir tersebut. Lebih jauh dinyatakan juga bahwa, tujuan utama dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu (Intergrated Coastal Zone Management / ICZM) adalah untuk mengkoordinasikan dan mengoptimalkan sektor ekonomi wilayah pesisir untuk jangka panjang dalam rangka memperoleh keuntungan sosial-ekonomi jangka panjang, termasuk didalamnya penyelesaian terhadap permasalahan dan proses ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir.


(26)

Dimensi keterpaduan dalam Pengelolaan Peisir Terpadu / Integrated Coastal Management (ICM) meliputi lima aspek, yaitu (1) keterpaduan sektor, (2) keterpaduan wilayah/ekologis, (3) keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintahan, (4) keterpaduan antar berbagai disiplin ilmu, dan (5) keterpaduan antar negara (Cincin-Sain, 1993; Turner et al., 1999).

Secara mendasar, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah sebuah proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, pengarahan terhadap investasi, orientasi penggunaan teknologi pembangunan, dan perubahan institusional yang berlangsung secara harmonis. Keberlanjutan, sebagaimana yang didefinisikan, merupakan tujuan baru dalam pengelolaan wilayah. Karena adanya keterkaitan yang erat antara pembangunan sosial dan ekonomi dengan keberadaan sumberdaya, terkadang tujuan dari keberlanjutan pembangunan wilayah tersebut disusun sebagai, pembangunan lingkungan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan (Lier, 1992).

Dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, swasta dan masyarakat, perencanaan vertikal dan horisontal, ekosistem darat dan laut, sains dan manajemen, merupakan proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang mengacu pada pengelolaan yang berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut. Oleh karenanya pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru harus terintegrasi dan harus melibatkan semua sektor serta stakeholders yang ada, sehingga dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat Kabupaten Buru pada umumnya

Penataan Ruang Wilayah Pesisir

Menurut Budiharsono (2001), ruang merupakan hal yang penting dalam pembangunan wilayah. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu : (1) jarak; (2) lokasi; (3) bentuk; dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah. Disini kekhususan


(27)

tata ruang sebagai instrumen publik adalah perskripsi spasial secara langsung dan tidak langsung.

Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas menyebar dengan luas yang beda dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula. Secara lebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai upaya : (1) Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): (Prinsip efisiensi dan produktifitas); (2) Alat dan wujud distribusi sumberdaya: azas pemerataan, keberimbangan dan keadilan; dan (3) Keberlanjutan (sustainabillity) (Rustiadi et al. 2005; Nugroho dan Dahuri, 2004; Tarigan, 2005).

Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota disusun oleh pemerintah daerah setempat. Rencana ini merupakan kebijakan pemerintah yang menetapkan lokasi dan pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya, pola jaringan prasarana, dan wilayah-wilayah yang diprioritaskan pengembangannya. Bagi Kabupaten/Kota yang wilayahnya terdiri dari wilayah daratan, wilayah pesisir, dan wilayah laut, maka untuk melaksanakan pembangunan daerahnya harus mampu melihat ketiga wilayah tersebut sebagai satu kesatuan (Hardjowigeno et al. 2001).

Tata ruang wilayah pesisir dikelompokan melalui pengaturan penggunaan lahan wilayah di dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik, non-fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan. Wilayah pesisir paling dikenal sebagai daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan dimana merupakan kawasan dipermukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia (Dahuri et al., 1997, 2004; Sugandhy, 1993).

Fungsi penataan ruang dalam kebijakan pengembangan daerah adalah : (1) sebagai matra ruang dari kebijakan pembangunan daerah yang dituangkan dalam Rencana Strategis Pembangunan Daerah, (2) merupakan pedoman untuk menetapkan lokasi bagi kegiatan pembangunan dalam pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang, dan (3) sebagai alat untuk mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan pemanfaatan ruang bagi kegiatan


(28)

yang memerlukan ruang, sehingga dapat menyelaraskan setiap program antar sektor yang terlibat (Djais et al, 2003).

Pengertian Otonomi Daerah/Desentralisasi

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa, "Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan".

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Pemerintah Republik Indonesia, 2004).

Salam (2003) menyatakan bahwa, secara filosofi, penyelenggaraan otonomi daerah merupakan bentuk pengakuan pemerintah pusat terhadap kemandirian masyarakat dan pemerintah kabupaten dan kota. Karena itu sasaran akhir penyelenggaraan otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah serta mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Sementara itu juga dikemukakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban dan tanggung jawab) sejumlah urusan pemerintah dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam masalah-masalah pengelolaan pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan kinerja pembangunan.

Secara teoritis, terdapat tiga sendi otonomi daerah, yaitu pembagian kekuasaan (sharing of power), distribusi pendapatan (distribution of income), dan pemberdayaan (empowering). Ketiga sendi otonomi daerah tersebut relatif telah terakomodasi, baik dalam UU Pemerintahan Daerah maupun UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Muchsan, 2000 diacu dalam Saad, 2003).


(29)

Menurut Rondinelli (1993), desentralisasi dan otonomi daerah adalah upaya-upaya pengentasan kemiskinan, pemerataan kesejahteraan masyarakat melalui peran serta proaktif kelompok masyarakat miskin yang dapat terlaksanakan secara efektif. Lebih jauh juga dikemukakan bahwa, kebijakan desentralisasi dapat memberikan keuntungan, yaitu (i) memberikan sumbangan untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang luas, (ii) meningkatkan efektifitas administrasi, (iii) mempromosikan efisiensi ekonomi dan manejerial, (iv) meningkatkan respon pemerintah menghadapi beragam kebutuhan dari pemerintahan; (v) memajukan ketahanan dan penentuan diri sendiri diantara organisasi dan kelompok-kelompok di daerah yang merupakan representasi kepentingan politik yang absah, dan (vi) memajukan cara yang memadai untuk mendesain dan mengimplementasikan program dan proyek pembangunan daerah.

Dahuri (1999) menyatakan bahwa, berlakunya otonomi daerah merupakan peluang mengoptimalkan pengelolaan wilayah pesisir bagi pemerintah daerah, dan memberikan wewenang dalam hal : (1) adanya yuridiksi untuk mendapatkan tambahan dari sumberdaya alam hayati dan non hayati dan dapat menggali potensi-potensi lainnya yang ada di wilayah pesisir, (2) dalam menata dan melakukan pembangunan wilayah, pemerintah daerah dapat melakukannya sesuai dengan kemampuan wilayah pesisir serta pembangunan sarana dan prasarana.

Dimasa otonomi daerah, optimalisasi pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dapat berhasil karena : (i) Pengelolaan sumberdaya wilayah di dekatkan pada pelaku dan stakeholder terdekat (masyarakat dan daerah), (ii) Penghargaan dan

akomodasi terhadap kearifan lokal dan hukum-hukum adat setempat, (iii) Transparansi dalam alokasi dan penetapan kebijaklan ruang dan sumberdaya,

(iv) Pelibatan partisipasi aktif masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan, (v) Meningkatnya rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya yang ada di wilayah pesisir (Idris, 2001).

Pendekatan desentralisasi pengelolaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terdapadu (Integrated Coastal Zone Management/ICZM) adalah dengan memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan pada wilayah pesisir di daerahnya, melalui pengaturan dan pemilihan rencana dan kegiatan pengelolaan yang lebih khusus untuk


(30)

kegiatan konservasi, ekonomi, dan kebutuhan-kebutuhan sosial masyarakat yang berperan dalam pengelolaan wilayah pesisirnya (Clark, 1996).

Kelembagaan dan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Sesuai dengan amanat GBHN 1999 – 2004, arah kebijakan pembangunan daerah adalah untuk : (a) Mengembangkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) Melakukan kajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi propinsi, kabupaten/kota dan desa; dan (c) Mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi perizinan dan investasi serta pengelolaan sumberdaya.

Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lebih jauh dalam Undang-undang ini juga disebutkan bahwa, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteran masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat kabupaten/kota dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasi oleh dinas yang membidangi kelautan dan perikanan.

Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan bahwa zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik


(31)

pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak oleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan serta memperoleh izin.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelengaraan penataan ruang meliputi: (a) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota; (b) pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; (c) pelaksanaan penataan kawasan straregis kabupaten/kota; dan (d) kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, dinyatakan bahwa, untuk melaksanakan penyusunan Pengelolaan Pesisir Terpadu, maka diperlukan kelembagaan tersendiri yang berperan membantu instansi perencana yang ada, seperti Bappeda provinsi atau kabupaten/kota. Kelembagaan ini bersifat lintas sektor dan tidak permanen (adhoc) yang dibentuk selama proses penyusunan doumen Perencanaan PPT. Pelaksanaan dan


(32)

pengendalian Program PPT-nya akan dikoordinasikan Bappeda bersama Dinas Perikanan dan Kelautan serta instansi teknis atau unit pelaksana teknis di daerah.

Ruang lingkup perencanaan tata ruang wilayah pesisir terkait erat dengan batasan wilayah pesisir. Ditinjau dari garis pantai, maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori batas yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak terhadap garis pantai (crosshore). Lingkup perencanaan wilayah dapat dilihat dari pendekatan karakter administratif dan pendekatan berdasarkan ekobiogeografis (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002; Ditjen Bangda Depdagri, 1998).

Sebagai akhir proses perencanaan, rencana tata ruang yang telah disetujui bersama oleh pemerintah, DPRD dan masyarakat harus diundangkan dan dimuat dalam lembaran negara. Rencana Tata Ruang bukanlah akhir dari proses tetapi awal dari proses pengaturan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Untuk itu Rencana Tata Ruang Nasional lebih banyak berupa kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, budidaya dan kawasan tertentu, sedangkan Rencana Tata Ruang Kabupaten berupa pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten.

Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambil keputusan. Sistem komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia (personal) yang dirancang untuk efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa, dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI, 1990; Purwanto, 2001).

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan data spasial (Prahasta, 2005; Purwadhi, 1998; Burrough, 1986).

Dahuri et al. 2004 menyatakan bahwa, informasi yang dibutuhkan untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan


(33)

secara berkelanjutan adalah informasi yang digunakan untuk : (1) Menyusun tata ruang kelautan, (2) Penentuan tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih, (3) Penentuan tingkat kerusakan lingkungan (dalam bentuk pencemaran, erosi/abrasi, perubahan bentang alam, dan lain-lain) yang dapat ditolerir oleh sistem lingkungan setempat.

Burrough (1986), menyatakan bahwa, Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial. Dalam SIG data grafis di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu model data raster dan model data vektor. Model data vektor menyajikan data grafis (titik, garis, poligon) dalam struktur format vektor. Struktur data vektor adalah suatu cara untuk membandingkan informasi garis dan areal ke dalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan satu sama lainnya.

Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai kemampuan analisis keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis). Dengan kemampuan tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun karena pada dasarnya semua perencanaan akan terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian setiap perubahan, baik sumberdaya, kondisi maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencanaan akan terpadu dan terkontrol secara baik (Rais et al. 2004).

Gunawan (1998) menjelaskan bahwa, SIG umumnya dipahami memiliki kontribusi besar dalam pengelolaan wilayah pesisir, yakni (1) membantu memfasilitasi berbagai pihak sektoral, swasta dan Pemda yang merencanakan sesuatu, dapat dipetakan dan diintegrasikan untuk mengetahui pilihan-pilihan manajemen dan alternatif perencanaan yang paling optimal., (2) merupakan alat yang digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya pesisir yang berwawasan lingkungan.

Dengan menggunakan SIG, kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spatial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir. Kemampuan SIG dalam analisis keruangan dan pemantauan dapat digunakan untuk mempercepat dan mempermudah penataan


(34)

ruang (pemetaan potensi) wilayah pesisir yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya.

Kelebihan SIG jika dibandingkan dengan sistem pengelolaan data dasar yang lain adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial maupun non spasial secara bersama-sama dalam bentuk vektor, raster ataupun data tabular (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Proses Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir

Proses pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, dapat dilakukan dengan menentukan prioritas pengembangan wilayah melalui penentuan kriteria-kriteria pemanfaatan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Proses pemecahan konflik ini dapat diselesaikan dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik (AHP).

Proses Hirarki Analitik (Analitical Hierarchy Process /AHP) adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel. Metode ini berdasarkan pada pengalaman dan penilaian dari pelaku/pengambil keputusan. Metode yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dua puluh tahun yang lalu, terutama sekali membantu pengambil keputusan untuk menentukan kebijaksanaan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan.

Proses Hirarki Analitik (PHA) adalah suatu proses “rasionalitas sistematik”. Dengannya kita dimungkinkan untuk mempertimbangkan suatu persoalan sebagai satu keseluruhan dan mengkaji interaksi serempak dari berbagai komponennya di dalam suatu hirarki (Saaty, 1991). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa, PHA menangani persoalan kompleks sesuai dengan interaksi-interaksi pada persoalan itu sendiri. PHA dapat digunakan untuk merangsang timbulnya gagasan untuk melaksanakan tindakan kreatif, dan untuk mengevaluasi keefektifan tindakan tersebut. Selain itu, untuk membantu para pemimpin menetapkan informasi apa yang patut dikumpulkan guna mengevaluasi pengaruh faktor-faktor relefan dalam situasi kompleks.


(35)

Marimin (2005) menyatakan bahwa, Analitical Hierarchy Process (AHP) memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang telibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki, atau hirarki harus distruktur ulang.

Analisis kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang yang terjadi, dengan cara memilih/menentukan prioritas kegiatan/penggunaan lahan yang optimal, menggunakan pendekatan proses hirarki analitik (AHP) dengan bantuan perangkat lunak “Expert Choice” (Saaty, 1991; Tomboelu et al. 2000). Untuk dapat memberikan solusi yang diinginkan, ada 4 (empat) aspek yang dipertimbangkan, yaitu : aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan teknologi. Dari keempat aspek tersebut terdapat beberapa faktor yang sangat mempengaruhi keputusan pada pemilihan atau penetapan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang yang akan dikembangkan, selanjutnya disusun struktur hirarki fungsionalnya.

Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hirarki Analitik (PHA) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hirarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hirarki. Bahkan model tersebut bisa juga memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan, dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya, adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA.


(36)

Saaty (1991) mengemukakan bahwa tahapan dalam analisis data sebagai berikut : (1) identifikasi sistem, (2) penyusunan struktur hirarki, (3) membuat

matriks perbandingan/komparasi berpasangan (pairwise comparison), (4) menghitung matriks pendapat individu, (5) menghitung pendapat gabungan,

(6) pengolahan horisontal, (7) pengolahan vertikal, dan (8) revisi pendapat.

Selanjutnya Saaty (1991), menyatakan juga bahwa beberapa keuntungan menggunakan PHA sebagai alat analisis adalah sebagai berikut :

1. PHA memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur.

2. PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. PHA dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. PHA mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. PHA memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan priorits.

6. PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7. PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

8. PHA mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

9. PHA tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda.

10.PHA memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.


(37)

Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu: (i) menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii) pembedaan prioritas dan sintesis atau penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria logis.


(38)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengambil tempat di wilayah pesisir dari 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Buru Propinsi Maluku, yakni : Kecamatan Namlea, Kecamatan Waeapo dan Kecamatan Batabual. Pemilihan ketiga lokasi ini dikarenakan ketiga lokasi tersebut berada pada satu kesatuan wilayah ekologis, yakni wilayah ekologis Teluk Kaiely. Selain itu, ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan wilayah pesisir yang sangat besar. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih sepuluh bulan, mulai dari bulan Juli 2006 sampai dengan April 2007. Untuk jelasnya lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran serta wawancara langsung di lapangan, serta studi kepustakaan bagi data-data penunjang penelitian. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya melalui hasil survei, observasi dan wawancara secara langsung di lapangan. Data Primer, merupakan data ekologi yang meliputi komponen-komponen fisika, kimia dan biologi, yang terdiri dari :

1) Data komponen fisik antara lain : komponen fisik kawasan pesisir yang menyangkut data tentang, kedalaman perairan, kecerahan perairan, temperatur, salinitas, kecepatan arus, gelombang dan pasang surut.

2) Data komponen kimia antara lain : pH, nitrat, nitrit, fosfat dan klorofil-a. 3) Data komponen biologi antara lain : data ekosistem wilayah pesisir seperti

ekosistem mangrove (luas dan tingkat pemanfaatannya, dan sebagainya), terumbu karang, padang lamun (luasannya), dan vegetasi pantai lainnya. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data primer ini antara lain : hand GPS, grabs, meteran, stop watch, palem pasut, secchi disk, thermometer, refractometer, pH meter (lakmus). Sementara lokasi stasiun pengamatan dapat dilihat dalam Gambar 2 dan Lampiran 1.


(39)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 2


(40)

Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan data dari dinas atau instansi terkait seperti Bappeda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perhubungan, BPS dan dinas-dinas terkait lainnya di Kabupaten Buru. Data Sekunder yang terdiri dari :

(1) Data geologi, fisiologi, hidrologi, iklim, tata air, kemampuan lahan (kelerengan dan kedalaman efektif tanah, tekstur tanah, drainase, erosi tanah, sedimentasi)

(2) Data Sosial Ekonomi dan Budaya, yang meliputi : data luas desa/kecamatan yang menjadi lokasi penelitian, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, mata pencaharian, dan juga kelembagaan yang terdapat di daerah penelitian seperti koperasi, dan tempat pendaratan ikan (TPI).

(3) Data Kelembagaan dan Perundang-undangan serta peraturan daerah yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir di lokasi penelitian.

(4) Data pemanfaatan ruang seperti peruntukan untuk kegiatan perikanan (budidaya tambak, budidaya rumput laut, keramba jaring apung, dan sebagainya), pariwisata, pemukiman, dan konservasi.

(5) Data Penunjang, yang meliputi : literatur-literatur penunjang dan peta-peta yang terkait dengan penelitian, seperti :

Peta rupa bumi Kabupaten Buru.

Peta wilayah admistrasi Kabupaten Buru. Peta wilayah perairan Kabupaten Buru. Peta topografi dan batimetri Kabupaten Buru. Peta pola pemanfaatan lahan Kabupaten Buru. Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Kabupaten Buru

Pengambilan responden dilakukan secara purposive dengan pertimbangan responden adalah aktor/pengguna lahan yang dianggap memiliki keahlian atau yang memiliki kemampuan dan mengerti permasalahan terkait, serta yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik secara langsung maupun tidak langsung.


(41)

Metode pengambilan responden dalam rangka menggali informasi/pendapat stakeholders adalah metode expert judgement (Pendapat Pakar). Pakar ditentukan secara purposive sampling. Pakar responden berjumlah 16 orang, yang merupakan key persons (tokoh kunci) yang mewakili kelompok-kelompok stakeholders yang diperoleh pada saat identifikasi stakeholders. Kelompok stakeholders ini meliputi setiap unsur yang terkait dengan pengelolaan kawasan pesisir Kabupaten Buru, yaitu dari unsur birokrasi yang diwakili oleh Bupati Kabupaten Buru, Ketua DPRD Kabupaten Buru, Kepala Bappeda Kabupaten Buru, Kepala-kepala Dinas Teknis terkait (Kadis. Perikanan, Kadis. Kehutanan, Kadis. Perhubungan, Kadis. Pendidikan), Camat dari ketiga kecamatan pada lokasi penelitian dan unsur Kepala Desa yang diwakili oleh Kepala Desa Masarete, akademisi yang diwakili oleh Universitas Iqra Buru, kelompok nelayan yang diwakili oleh ketua koperasi nelayan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada pengelolaan pesisir dan masyarakat umum, unsur pengusaha yang diwakili oleh pengusaha perikanan, dan unsur masyarakat umum yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Buru.

Jenis data, satuan pengukuran, metode pengumpulan dan metode analisis serta bahan/alat yang digunakan dalam penelitian ini, disajikan dalam Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Komponen Data dan Cara Pengumpulannya. Komponen Data Satuan Metode Pengumpulan Metode

Analisi

Sumber Data

1 2 3 4 5

A. Data Fisik - Kimia 1. Iklim Makro dan

Mikro a. Suhu b. Kelembaban c. Curah Hujan d. Hari Hujan 2. Topografi dan

Fisiologi a. Ketinggian

Tempat b. Kelerengan c. Panjang Lereng d. Bentuk Wilayah O C % mm hari m/dpl % m -

Pengumpulan data sekunder dan Analisis Deskripif Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder dan Analisis Deskriptif

Interpretasi Peta Topografi Interpretasi Peta Topografi Interpretasi Peta Topografi Interpretasi Peta Topografi

Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian

Peta / Laporan Peta / Laporan Peta / Laporan Peta / Laporan

BMG Namlea BMG Namlea BMG Namlea BMG Namlea BMG Namlea Proses Citra Satelit Proses Citra Satelit Proses Citra Satelit Proses Citra Satelit


(42)

Tabel 1. (Lanjutan)

1 2 3 4 5

3. Pola Penggunaan Lahan

a. Penggunaan Lahan

4. Geologi a. Formasi

Geologi 5. Kondisi Fisik

Perairan

a. Substrat Dasar Perairan b. Kedalaman

Perairan

6. Hidro-Oseanografi a. Pola Arus b. Kecepatan arus c. Gelombang d. Kecerahan Air e. Suhu

f. Salinitas g. pH

B. Data Perikanan 1. Perikanan

Budidaya a. Luas Area

Budidaya b. Produksi 2. Perikanan

Tangkap a. Unit

Penangkapan b. Daerah dan

Musim c. Produksi C. Data Sosekbud 1. Sosial Ekonomi

a. Mata Pencaharian b. Pendapatan Masyarakat c. Fasilitas Perekonomian - Ha, % - m m/det m m m O C O /oo - Ha Ton/Thn Unit Km2,Bln

Ton/Thn KK/Bln Rp Unit Pengamatan Lapangan, pengumpulan data sekunder dan interpretasi peta serta studi pustaka Interpretasi Peta dan Studi Pustaka

Pengamatan langsung di lapangan

Pengukuran langsung di lapangan dan data sekunder

Data sekunder dan pengukuran lapangan Data sekunder dan pengukuran di lapangan. Data sekunder, pengamatan lapangan dan estimasi. Pengukuran di lapangan. Pengukuran di lapangan. Pangukuran di lapangan. Pengukuran di lapangan.

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder/Wawancara Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Peta / Laporan

Peta / Laporan

Daftar Isian Peta/Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian Laporan Laporan Laporan Laporan/ Kuisioner Laporan Statistik Laporan Laporan Proses Citra Satelit/Bapped a Kab.Buru Proses Citra Satelit/BPN Kab.Buru Observasi Dishidros TNI AL/Observasi Dishidros TNI AL/Observasi Dishidros TNI AL/Observasi Observasi Observasi Observasi Observasi Observasi Diskan Kab.Buru Diskan Kab.Buru Diskan Kab.Buru Diskan Kab.Buru/ Responden Diskan Kab.Buru BPS Kab.Buru Dispenda Kab.Buru Disperindag Kab.Buru


(43)

Tabel 1. (Lanjutan)

1 2 3 4 5

2. Sosial Budaya a. Demografi

Penduduk b. Komposisi

Penduduk c. Tingkat

Penididikan d. Adat Istiadat

Jiwa/KK Sex ratio

(%) - Masyara

kat

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Wawancara

Statistik Statistik Statistik Kuisioner

BPS Kab. Buru BPS Kab. Buru Dinas PKPO Kab. Buru Dinas PKPO Kab. Buru Responden

Perencanaan pengeloalaan didasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan yang mengintegrasikan biogeofisik kawasan pesisir dan lautan Kabupaten Buru. Alur sistematika proses penelitian yang dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.


(44)

Gambar 3. Alur Sistematika Proses Penelitian 2


(45)

Analisis Data

Analisis Kesesuaian Lahan

Dalam dimensi ekologis, penempatan setiap kegiatan pembangunan haruslah bersesuaian dengan ciri biologi-fisika-kimianya, sehingga terbentuk suatu kesatuan yang harmonis dalam arti saling mendukung satu sama lainnya.

Analisis kesesuaian lahan di wilayah pesisir Kabupaten Buru meliputi kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk, budidaya tambak, budidaya rumput laut, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, periwisata pantai, dan kawasan konservasi.

Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang dilakukan, yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan yang akan dilakukan, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap kegiatan yang akan dilakukan.

1. Penyusunan Peta Kawasan

Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan kedalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai salah satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta kawasan pesisir Kabupaten Buru dilakukan dengan mengoverlaykan berbagai peta yang didapat dari berbagai sumber.

Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui, seperti :

Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan pembangunan atau konservasi, atau kawasan mana saja yang dijadikan sebagai kawasan lindung.

Kegiatan penggunaan kawasan apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak diperbolehkan.


(46)

Konflik yang terjadi, antara lain kesesuaian kawasan dengan peruntukannya dan penggunaan lahan dengan peruntukannya.

Hasil penyusunan peta kawasan yang telah disesuaikan dengan peruntukannya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang.

2. Penyusunan Matriks Kesesuaian

Kesesuaian lahan kawasan pesisir untuk berbagai pemanfaatan seperti kawasan pemukiman penduduk, budidaya tambak, budidaya keramba jaring apung, budidaya rumput laut, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, pariwisata pantai, dan kawasan konservasi, didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Matriks kesesuaian lahan dibuat berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari pakar yang ahli dalam bidangnya. Matriks ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matriks tersebut akan dapat diketahui parameter data dan cara analisisnya sampai dengan hasil akhir dari analisis tersebut.

Dalam penelitian ini, kesesuaian lahan dibagi dalam empat kelas : 1. Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly Suitable), yaitu : lahan tidak

mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan (input) dari pengusahaan tersebut.

2. Kelas S2 : Sesuai (Suitable), yaitu : lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut.

3. Kelas S3 : Sesuai Bersyarat (Conditional Suitable), yaitu : lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, akan tetapi masih memungkinkan diatasi/diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi


(47)

teknologi yang masih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya rasional.

4. Kelas N : Tidak Sesuai Permanen (Permanently Not Suitable), yaitu : lahan yang mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari.

Matriks kesesuaian lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 berikut :

Tabel 2. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pemukiman Penduduk. Kategori dan Skor

No Parameter Bobot

S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Kemiringan

Lahan (%) 3 3 – 8 4 8 – 15 3 0 – 2 2 > 16 1

2 Ketersediaan air

tawar (ltr/dtk)

6 > 20 4 15 – 20 3 10 – 15 2 < 10 1

3 Landuse 4 A 4 B 3 C 2 D 1

4 Jarak dari

pantai (m) 3 > 200 4 100 – 200 3 50 – 100 2 < 50 1

5 Drainase 4 Tidak

tergenang

4 Tidak

tergenang

3 Tergenang

periodik

2 Tergenang

permanen 1

6 Jarak dari jalan

yang berhubungan dengan sarana dan prasarana penting (m)

5 0 – 200 4 200 – 500 3 500 – 1.000 2 > 1.000 1

Sumber : Sjafi’i, 2000; Sugiarti, 2000 (modifikasi)

Keterangan : A = Pengembangan industri, pengembangan perkotaan, sawah. B = Kebun campuran, sawah, semak belukar, alang-alang.

C = Cadangan pengembangan, hutan produksi, rawa air asin, rawa air tawar. D = Hutan lindung, hutan suaka alam.

Tabel 3. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum. Kategori dan Skor

No Parameter Bobot

S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Kemiringan

Lahan (%) 3 0 – 2 4 2 – 8 3 8 – 15 2 > 16 1

2 Kedalaman

perairan (m) 4 > 15 4 12 – 15 3 10 – 12 2 < 10 1

3 Dasar perairan 2 Lempung

berpasir

4 Pasir

berlumpur

3 Pasir

berkarang

2 Karang 1

4 Tinggi

gelombang (cm)

3 0 – 20 4 21 – 40 3 41 – 50 2 > 50 1

5 Kec. arus

(cm/dtk) 3 0 – 20 4 21 – 30 3 31 – 40 2 > 40 1

6 Fasilitas

transportasi 3 3 4 2 3 1 2 Tidak ada 1

7 Amplitudo

pasut (m) 3 0 – 0,5 4 0,6 – 1,5 3 1,6 – 2 2 > 2 1

8 Keterlindungan 4 Sangat

terlindung

4 Terlindung 3 Terlindung

cenderung terbuka

2 Terbuka 1


(48)

Tabel 4. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai

Kategori dan Skor

No Parameter Bobot

S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Produktivitas

Perikanan (ton/thn)

3 > 800 4 600 – 800 3 400 – 600 2 < 400 1

2 Kecepatan arus

(cm/dtk) 2 0 – 20 4 21 – 30 3 31 – 40 2 > 40 1

3 Tinggi

Gelombang (cm)

2 0 – 20 4 21 – 40 3 41 – 50 2 > 50 1

4 Amplitudo

Pasut (m) 2 0 – 0,5 4 0,6 – 1,5 3 1,6 – 2 2 > 2 1

5

Tipe Pasut 2 Tunggal Harian 4 Campuran Tunggal 3 Campuran Ganda 2 Campuran Ganda 1

6 Jarak dari

Fishing Ground (mil)

2 < 5 4 6 – 12 3 12 – 15 2 > 15 1

7 Jarak ke

pemukiman nelayan (km)

2 < 5 4 5 – 10 3 11 – 15 2 > 15 1

8 Keterlindungan 3 Sangat

Terlindung

4 Terlindung 3 Terlindung

cenderung terbuka

2 Terbuka 1

9 Tekstur tanah 1 Lempung

Berpasir

4 Pasir

Berlumpur

3 Pasir

Berkarang

2 Karang 1

10 Kemiringan

lahan (%)

2 0 – 2 4 2 – 8 3 8 – 15 2 > 16 1

11 Kedalaman

perairan (m)

2 > 9 4 6 – 9 3 3 – 6 2 < 3 1

12 Fasilitas

transportasi

2 3 4 2 3 1 2 Tidak ada 1

Sumber : Masrul, 2002 (modifikasi)

Tabel 5. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Tambak Kategori dan Skor

No Parameter Bobot

S1 Skor S2 Skor N Skor

1 Kemiringan Lahan (%) 4 0 – 2 3 2 – 8 2 > 8 1

2 Jenis tanah 4 Alluvial 3 Alluvial 2 Podsolik 1

3 Fisiografi Wilayah 3 Dataran

pasang surut

3 Delta pasang

surut

2 Perbukitan 1

4 Salinitas (O/

OO) 4 15 – 25 3 25 – 35 2 > 35 1

5 Amplitudo pasut (m) 3 0,8 – 1,0 3 1,0 – 1,5 2 > 1,5 1

6 Jarak dari sungai (m) 4 < 500 3 500 – 2.000 2 > 2.000 1

7 Landuse 3 A 3 B 2 C 1

8 Jarak dari pantai (m) 4 < 2.000 3 2.000 – 4.000 2 > 4.000 1

9 Jarak dari jalan (m) 4 < 1.000 3 1.000 – 2.000 2 > 2.000 1

Sumber : Modifikasi dari Puslitbang Perikanan, 1992 dalam Poernomo, 1992. Keterangan : A = Rawa air asin.

B = Cadangan pengembangan sawah, semak belukar, alang-alang.

C = Hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, kebun campuran, rawa air tawar, pengembangan industri, pengembangan perkotaan.

Tabel 6. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung.

Kategori dan Skor

No Parameter Bobot

S1 Skor S2 Skor N Skor

1 Kecepatan arus (m/det) 4 10 – 13 3 3,8 – 10 2 < 3,8 1

2 Tinggi Pasut 4 > 1,0 3 0,5 – 1,0 2 < 0,5 1

3 Kedalaman air dari dasar

jaring (m)

4 > 10 3 4 – 10 2 < 4 1

4 pH perairan 3 8 3 6 – 9 2 < 6 & > 9 1

5 Oksigen terlarut 4 > 6 3 3 – 5 2 < 3 1

6 Salinitas (ppm) 4 > 30 3 20 – 30 2 < 20 1

7 Suhu Perairan (OC) 4 30 – 32 3 28 – 30 2 < 28 1

8 Nitrat (mg/l) 3 < 0,1 3 0,1 – 0,9 2 > 0,9 1

9 Phospat (mg/l) 3 < 0,1 3 0,1 – 0,9 2 > 0,9 1


(49)

Tabel 7. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut Kategori dan Skor

No Parameter Bobot

S1 Skor S2 Skor S3 Skor

1 Kecepatan

arus (cm/dtk)

4 20 – 30 4 30 – 40 3 < 20 & >40 2

2 Tinggi

gelombang (cm)

4 0 – 15 4 15 – 25 3 25 – 35 2

3 Material

dasar perairan

3 Pasir, karang

dan lamun

4 Pasir, karang

dan lamun

3 Pasir

berkarang

2

4

pH perairan 3 7,5 – 8 4 7 – 7,5 & 8 – 8,5 3 <7 & >8,5 2

5 Kedalaman

perairan (m) 3 1,0 – 2,5 4 2,5 – 2,7 3 2,7 – 10 2

6 Salinitas

perairan (ppm)

4 32 – 34 4 30 – 32 3 28 – 30 2

7 Suhu

Perairan

(OC) 4 24 – 29 4 29 – 30 3 30 – 31 2

Sumber : Wahyuningrum, 2001 dalam Paliawaludin, 2004 (modifikasi)

Tabel 8. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai Kategori dan Skor

No Parameter Bobot

S1 Skor S2 Skor N Skor

1 Kedalaman Perairan (m) 6 0 – 5 3 5 – 10 2 > 10 1

2 Material dasar perairan 3 Pasir 3 Karang

berpasir

2 Lumpur 1

3 Kecepatan arus (m/dtk) 5 10 – 13 3 3,8 – 10 2 > 3,8 1

4 Kecerahan perairan (%) 5 Tinggi

( > 75 )

3 Sedang

( > 50-75 )

2 Rendah

(< 25 ) 1

5 Jarak dari pantai (m) 4 < 100 3 100 – 200 2 > 200 1

6 Penutupan lahan pantai

(vegetasi pantai)

4 Kelapa,

lahan terbuka

3 Semak,

belukar rendah, savana

2 Hutan

bakau, pemukiman,

pelabuhan 1

7 Jarak dari sungai (m) 3 < 500 3 500 – 2.000 2 > 2.000 1

8 Jarak dari sumber

pencemar (m)

3 > 5.000 3 2.000 – 5.000 2 < 2.000 1

Sumber : Bakorsurtanal, 1996, dan Dahyar, 1999 dalam Paliawaludin,2004 (modifikasi)

Tabel 9. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi Kategori dan Skor

No Parameter Bobot

S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Jarak dari pantai

(m) 3 < 100 4 100 – 150 3 150 – 200 2 > 200 1

2 Vegetasi Pantai 3 Mangrove 4 Mangrove 3 Mangrove 2 Semak

belukar 1

3 Kemiringan (%) 2 0 – 15 4 15 – 25 3 25 – 40 2 > 40 1

4 Vegetasi Laut 3 Karang hidup 4 Karang hidup 3 Karang

hidup 2

Karang

mati 1

5 Salinitas (ppm) 3 30 – 32 4 32 – 34 3 30 – 31 2 < 30 & >34 1

6 Suhu Perairan

(OC) 3 29 – 30 4 30 – 33 3 28 – 29 2

< 27 &

> 33 1

7 Tekanan

Penduduk 4 Sangat serius 4 Serius 3

Kurang

serius 2

Tidak

serius 1

8 Aspirasi

masyarakat

4 Sangat

mendukung

4 Mendukung 3 Kurang

mendukung

2 Tidak

mendukung 1 Sumber : Soedharma et al. 1992 (modifikasi)


(1)

Lampiran 6.

KUISIONER DATA NON-GOVERNMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : ……… Tanggal : ……….

Profil Lembaga

Nama Lembaga : ………... Nama Pimpinan :

5. Ketua : ………

6. Wakil Ketua : ………

7. Sekretaris : ………

8. Bendahara : ………

Alamat : ... ... Telp./Faximile : ...

E-mail : ... Tanggal berdiri : ... No. Akta : ... (bila ada)

Struktur Organisasi :

Ada (terlampir) Tidak ada

Jenis Organisasi

Yayasan Ormas Orpol

Asosiasi CBO Koperasi

Lainnya : ... (sebutkan)

Tipe Kegiatan :

Penelitian Advokasi Info-com

Pendanaan Pendidikan & Latihan B. Kemanusiaan

Lainnya : ... ...

Bidang Kegiatan :

Perikanan Pertanian Sosial

Perburuhan Kebudayaan Lingkungan Hidup

Ibu & Anak Eko. Masyarakat Gizi & Makanan

Industri Tek. Tepat Guna Masyarakat Adat

Gender Industri Kecil Hak Asasi Manusia

Keterampilan

Lainnya : ... ...


(2)

Wilayah Kegiatan :

Desa/Kelurahan Kabupaten/Kota Propinsi

Nasional Internasional

Sumber Dana :

Modal Sendiri Iuran Anggota Pemerintah

Pinjaman Bank Donor Dalam Negeri Donor Luar Negeri

Pengembangan Usaha

Lainnya : ... ...

Mitra Kerja Instansi Pemerintah

No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan

LSM/ORNOP

No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan

Lembaga Internasional

No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan

Masyarakat


(3)

Peran Dalam Perencanaan Partisipatif

1. Apa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan?

... ... ...

2. Keterlibatan instansi/lembaga Anda dalam perencanaan bersama dalam masyarakat :

Sering Pernah Tidak Pernah

Penjelasan :

... ... ...

3. Jika Anda pernah terlibat, dimana tingkat keterlibatannya :

Desa/Kel. Kab./Kota Propinsi Nasional

Penjelasan :

... ... ...

4. Bentuk keterlibatan instansi Anda dalam perencanaan pembangunan : Konsultasi Persetujuan Pelaksanaan

Penjelasan :

... ... ...

5. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan lembaga Anda dalam pelaksanaan proyek/program pembangunan?

Memfasilitasi Melatih Mendampingi

Mengawasi Mengevaluasi

Lainnya : ... Penjelasan :

... ... ...

Perencanaan Yang Partisipatif

1. Pendapat mengenai sistem partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini.


(4)

... ... 2. Adakah hambatan pelaksanaan partisipasi pembangunan bersama masyarakat?

Ada Tidak Ada

Bila ada, apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat?

... ... ...

3. Pendapat tentang peran Pemerinah sebagai fasilitator pembangunan : Sudah Baik Cukup Baik Tidak Baik

Penjelasan :

... ... ...

4. Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan : ... ... ...

5. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk suatu forum dialog pembangunan?

Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu

Alasan :

... ... ...

6. Bila perlu, bentuk yang paling baik menurut Anda adalah :

Forum Dialog NGS & GS Forum NGS saja Tidak Tahu Penjelasan :

... ... ...

7. Bila perlu, siapa yang memfasilitasi pertemuan :

Pemda NGS Tidak Tahu

Penjelasan :

... ... ...


(5)

Pengelolaan Sumberdaya Alam

1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang selama ini dimanfaatkan oleh stakeholders (pelaku pembangunan) dalam pengembangan kerja lembaga dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam.

Ekosistem Mangrove Ekosistem Pantai Ekosistem Estuaria

Ekosistem Lamun Ekosistem Terumbu Karang

Sumberdaya pesisir lainnya : ... Penjelasan :

... ... ...

2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saaat ini mendukung kehidupan stakeholder atau masyarakat di sekitarnya?

Mendukung Kurang Mendukung Tidak Mendukung

Alasan :

... ... ...

3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut.

... ... ...

4. Apakah konservsi sumberdaya pesisir pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan di wilayah Anda selama ini?

Sering Pernah Tidak Pernah

Penjelasan :

... ... ...

5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam perencanaan pembangunan pesisir.

Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu

Alasan :

... ... ...


(6)

6. Pendapat tentang perlunya penataan ruang wilayah dalam perencanaan pembangunan pesisir.

Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu

Alasan :

... ... ...

7. Bila perlu, sektor apa yang dirasakan sangat penting untuk dilakukan penataan ruangnya dalam perencanaan pembangunan pesisir.

Pemukiman Perikanan Pariwisata Pelabuhan

Pertanian Perkebunan Konservasi Industri perikanan

Lainnya : ... Alasan :

... ...

8. Dalam penataan ruang wilayah pesisir yang diharapkan, alternatif pengembangan kawasan yang saat ini dirasa harus segera dikembangkan untuk pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah :

Kawasan Pemukiman Penduduk Kawasan Pelabuhan Umum

Kawasan Perikanan Kawasan Pariwisata Pantai

Kawasan Konservasi Sumberdaya Alam Penjelasan :

... ... ...

Terima Kasih