Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat Berperspektif Gender Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Di Kabupaten Bogor

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PENGAWAS MINUM OBAT
BERPERSPEKTIF GENDER DENGAN KEPATUHAN
BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS
DI KABUPATEN BOGOR

WIDIAWATI WALANGADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Interpersonal
Pengawas Minum Obat Berperspektif Gender dengan Kepatuhan Berobat
Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
Widiawati Walangadi
NIM I352140041

RINGKASAN
WIDIAWATI WALANGADI. Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat
Berperspektif Gender dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis di
Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DWI SADONO dan DJOKO SUSANTO.
Ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Paru adalah terkait dengan
kurangnya pengetahuan penderita TB Paru terhadap strategi Directly Observed
Treatment, Short- Course (DOTS) yang sedang dijalani, di mana petugas
kesehatan atau Pengawas Minum Obat (PMO) yang menangani pengobatan TB
Paru kurang menerapkan komunikasi interpersonal dalam penyampaian informasi
yang rinci tentang pengobatan, serta kurang menginformasikan pentingnya
pengobatan TB Paru sampai tuntas. Kurang memberikan himbauan atau bujukan
untuk mengubah sikap maupun pandangan penderita TB Paru agar sadar dalam
menjalani pengobatan. Selain itu petugas kesehatan atau PMO kurang
memberikan instruksi yang tegas ataupun isyarat dini pada penderita TB Paru agar

penderita TB Paru mengikuti program pengobatan dan apabila tidak patuh untuk
berobat akan berakibat buruk terhadap penderita TB.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kemampuan komunikasi
interpersonal PMO berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita TB
dan menganalisis hubungan antara komunikasi interpersonal PMO berperspektif
gender dengan kepatuhan berobat penderita TB. Penelitian bersifat explanatory
research, dengan rancangan cross sectional. Analisis data dengan menggunakan
statistik deskriptif dan uji statistik inferensia korelasi Chi-Square. Pengumpulan
data dilakukan dengan kuesioner kepada 82 responden (PMO). Hasil penelitian
menunjukkan karakteristik umur PMO sebagian besar lebih dari 35 tahun (tua),
paling banyak perempuan, tingkat pendidikannya rendah (SD/SMP), tingkat
pengetahuannya sedang, kurang berpengalaman, emosinya baik, motivasinya
tinggi dan memiliki hubungan yang baik/dekat dengan penderita TB. Perspektif
gender (peran domestik, peran publik, peran sosial) semuanya tinggi. Kemampuan
komunikasi interpersonal (keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif,
kesetaraan) semuanya tinggi/baik. Secara keseluruhan tingkat kepatuhan di tiga
Puskesmas di Kabupaten bogor adalah patuh.
Karakteristik PMO (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman,
hubungan dengan penderita TB) tidak memiliki hubungan yang nyata dengan
kemampuan komunikasi interpersonal PMO (keterbukaan, empati, sikap

mendukung, sikap positif, kesetaraan). Karakteristik PMO (tingkat pengetahuan
dan emosi) memiliki hubungan yang nyata dengan kemampuan komunikasi
interpersonal PMO. Motivasi memiliki hubungan yang nyata dengan kemampuan
komunikasi interpersonal PMO (empati, sikap mendukung, sikap positif, sikap
mendukung, kesetaraan). Perspektif PMO tentang peran gender (peran domestik,
peran publik dan peran sosial) semuanya berhubungan nyata dengan kemampuan
komunikasi interpersonal PMO. Tingkat kemampuan komunikasi interpersonal
PMO memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat kepatuhan penderita TB
untuk minum obat.
Kata kunci: komunikasi interpersonal, PMO, perspektif gender, tuberkulosis,
tingkat kepatuhan

SUMMARY
WIDIAWATI WALANGADI. Interpersonal Communication Supervisors
TakingMedicine with a Gender Perspectif Compliance With Tuberculosis Patiens
In The District of Bogor. Supervised by DWI SADONO and DJOKO
SUSANTO.
Noncompliance treatment in patients with pulmonary tuberculosis is
associated with a lacking of knowledge with pulmonary tuberculosis on Directly
Observed Treatment, Short-Course (DOTS) strategy being undertaken, where a

health worker or Supervisors taking medicine (PMO), which handles the treatment
of pulmonary TB less implement interpersonal communication in the delivery of
detailed information about treatment, and less informed that the importance of
treatment of pulmonary TB through to completion. Lacking of an appeal or
provide inducements to change the attitudes and outlook of lung TB patient to be
aware of the treatment. Besides health care workers or less of PMO give
instructions or cues were firm early on with pulmonary tuberculosis with
pulmonary tuberculosis in order to follow the treatment program and, if not
adherent to treatment will be bad for people with TB.
The purpose of this study is to analyze the interpersonal communication
skills of PMO gender perspective with TB patient treatment compliance and
analyze the relationship between interpersonal communication PMO gender
perspective with TB patient treatment compliance. This research is explanatory
research with cross sectional. Analyses data by using descriptive statistics and
inferential statistical test of Chi-Square correlation. Collecting data by
questionnaires to 82 respondents (PMO). The results show that life characteristics
PMO mostly over 35 years (old), mostly women, the rate of low education
(elementary / junior high school), the level of knowledge is, less experienced,
emotions both high motivation and have a good relationship with TB , gender
perspective i.e domestic role, the role of public, social roles are all high.

Interpersonal communication skills i.e openness, empathy, being supportive,
positive attitude, equality are all high. The overall level of compliance in three
health centers in the district of Bogor is higly complied.
Characteristics of PMO (age, gender, level of education, experience,
relationships with TB) mostly do not have significant relationship to the PMO
interpersonal communication skills. Characteristics of PMO (level of knowledge
and emotions) is significant to interpersonal communication skills. The motivation
is significant to interpersonal communication skills (empathy, being supportive,
positive attitude, the attitude of support). Equality while the gender perspective is
significat to interpersonal communication skills of the PMO. PMO level of
interpersonal communication skills has significant relationship to the level of
compliance of TB patients.

keywords: interpersonal communication, PMO, perspective gender, tuberculosis,
compliance

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PENGAWAS MINUM OBAT
BERPERSPEKTIF GENDER DENGAN KEPATUHAN
BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS
DI KABUPATEN BOGOR

WIDIAWATI WALANGADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Krishnarini Matindas, MS

PRAKATA
Bismillahirrahmaanirrahim.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih
dan Penyayang yang Maha Mengetahui serta Maha Pemberi Petunjuk, atas segala
karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan
judul “Komunikasi interpersonal pengawas minum obat berperspektif gender
dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis di Kabupaten Bogor”. Shalawat
serta salam tercurahkan kepada Nabi besar kita Rasulullah Muhammad SAW
beserta sahabatnya. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyelesaian Program
Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Dwi Sadono, MSi dan Prof.(Ris)
Dr Djoko Susanto, SKM. selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan
banyak masukan, saran, dan kritik yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian
tesis ini. Ucapan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor,

Kepala Puskesmas Ciomas, Kepala Puskesmas Cibinong, Kepala Puskesmas
Cileungsi, dan Kepala Puskesmas Ciampea yang telah memberikan arahan selama
pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada
keluarga tercinta, Suami tersayang Affandi Budi Matahir, anak-anakku tercinta
Difa Rizki Matahir dan Dafi Almadani Matahir yang menjadi penyemangat dan
kesabarannya membantu penulis selama pendidikan di IPB.
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu untuk pembuatan tesis
ini. Semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah Subhanallahu
Wataallah..

Bogor, November 2016
Widiawati Walangadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
5
6
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Komunikasi
Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat (PMO)
Efektivitas Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat (PMO)
Kredibilitas Pengawas Minum Obat (PMO)
Perspektif Pengawas Minum Obat tentang Peran Gender
Hasil Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis


7
7
8
10
14
19
20
22
25

3 METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Responden Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Instrumen Penelitian
Validitas dan Reliabilitas
Definisi Operasional
Karakteristik PMO (X1)

Perspektif Gender (X2)
Tingkat Kemampuan Komunikasi Interpersonal PMO (Y1)
Tingkat Kepatuhan Penderita (Y2)
Pengolahan Data dan Analisis Data

25
25
26
26
27
27
27
30
30
31
32
34
34

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Tempat Penelitian
Karakteristik Responden
Perspektif PMO tentang Peran Gender
Kemampuan Komunikasi Interpersonal PMO
Tingkat Kepatuhan
Analisis Hubungan antara Karaktersitik PMO dengan Tingkat
Kemampuan Komunikasi Interpersonal PMO

35
35
38
42
44
46
47

Analisis Hubungan antara Perspektif PMO tentang Peran Gender
dengan Tingkat Kemampuan Komunikasi PMO
Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi
Interpersonal PMO (Keterbukaan) dengan Tingkat Kepatuhan Penderita
Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi
Interpersonal PMO (Empati) dengan Tingkat Kepatuhan Penderita
Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi
Interpersonal PMO (Sikap Mendukung) dengan Tingkat Kepatuhan
Penderita
Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi
Interpersonal PMO (Sikap Positif) dengan Tingkat Kepatuhan Penderita
Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi
Interpersonal PMO (Kesetaraan) dengan Tingkat Kepatuhan Penderita.

53
55
56

57
58
59

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

61
61
61

DAFTAR PUSTAKA

62

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

76

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Kerangka sampling
Peubah dan kisaran nilai koefisien korelasi validitas penelitian
Peubah dan nilai koefisien reliabilitas penelitian
Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia responden
Jumlah dan persentase responden (PMO) berdasarkan jenis kelamin
Jumlah dan persentase penderita TB berdasarkan jenis kelamin
Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan
Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pengetahuan
Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman
Jumlah dan persentase responden berdasarkan emosi
Jumlah dan persentase responden berdasarkan motivasi
Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan/ikatan
dengan penderita
Jumlah dan persentase responden yang berperspekrif gender
berdasarkan peran reproduktif (domestic)
Jumlah dan persentase responden yang berperspekrif gender
berdasarkan peran produktif (public)
Jumlah dan persentase responden yang berperspektif gender
berdasarkan peran sosial
Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden
berdasarkan keterbukaan komunikasi
Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden
berdasarkan empati komunikasi
Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden
berdasarkan sikap mendukung
Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden
berdasarkan sikap positif
Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden
berdasarkan kesetaraan
Jumlah dan persentase responden yang dilihat dari tingkat kepatuhan
Nilai koefisien korelasi antara karakteristik PMO dengan tingkat
kemampuan komunikasi interpersonal PMO
Nilai koefisien korelasi antara pespektif gender dengan tingkat
kemampuan komunikasi interpersonal PMO
Nilai koefisen korelasi antara komunikasi interpersonal keterbukaan
PMO dengan tingkat kepatuhan
Nilai koefisien korelasi antara komunikasi interpersonal empati PMO
dengan tingkat kepatuhan
Nilai koefisien korelasi antara komunikasi interpersonal sikap
mendukung PMO dengan tingkat kepatuhan
Nilai koefisien korelasi antara komunikasi interpersonal sikap positif
PMO dengan tingkat kepatuhan
Nilai koefisien korelasi antara komunikasi interpersonal kesetaraan
PMO dengan tingkat kepatuhan

27
29
30
38
39
39
40
40
41
41
42
42
43
43
44
44
45
45
46
46
47
47
53
56
57
58
59
60

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka berpikir komunikasi interpersonal pengawas minum obat
berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis

25

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Kuesioner penelitian
Peta lokasi tempat pelatihan
Foto kegiatan

67
74
75

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) 20052025, mencanangkan kondisi pembangunan kesehatan diharapkan mampu
mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh membaiknya
berbagai indikator pembangunan Sumber Daya Manusia, seperti meningkatnya
derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, meningkatnya kesetaraan gender
(Kemenkes RI 2013).
Upaya kesehatan masyarakat mengalami peningkatan capaian antara lain
pada program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular walaupun
penyakit infeksi menular masih tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
menonjol terutama TB, Malaria, HIV/AIDS, DBD dan Diare. Tuberkulosis (TB)
adalah penyakit lama yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Banyak
menyerang kelompok usia produktif, kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat
pendidikan rendah (Rokmah 2013).
Permasalahan pengendalian TB masih sangat besar. Di Indonesia masih
berkontribusi sebesar 5.8 persen dari kasus TB yang ada di dunia. Sekitar 430.000
pasien baru per tahun dan angka insiden 189/100.000 penduduk serta angka
kematian akibat TB sebesar 61.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk. Selain
itu, TB terjadi pada lebih dari 75 persen usia produktif (15-54 tahun), sehingga
kerugian ekonomi yang disebabkan oleh TB cukup besar (Widjaja et al. 2011).
Di tingkat global, Stop TB Partnership sebagai bentuk kemitraan global,
mendukung negara-negara untuk meningkatkan upaya pemberantasan TB,
mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan akibat TB serta
penyebaran TB di seluruh dunia. Target yang ditetapkan Stop TB Partnership
sebagai tonggak pencapaian utama adalah: pada tahun 2015, beban global
penyakit TB (prevalensi dan mortalitas) akan relatif berkurang sebesar 50 persen
dibandingkan tahun 1990, dan setidaknya 70 persen orang yang terinfeksi TB
dapat dideteksi dengan strategi DOTS dan 85persen di antaranya dinyatakan
sembuh. Pada tahun 2050 TB bukan lagi merupakan masalah kesehatan
masyarakat global. Tujuan tersebut akan dicapai dengan strategi DOTS dengan
standar pelayanan mengacu pada International Standard for TB Care (ISTC)
(Kemenkes RI Dirjen P2PL 2011).
Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia menduduki
peringkat pertama penyumbang jumlah penderita Tuberkulosis. Pada tahun 2012,
jumlah kasus TB di Jawa Barat mencapai 62.218 kasus dengan rata-rata sebanyak
2.393 kasus dan Kabupaten Bogor memiliki jumlah kasus TB paling banyak
dengan jumlah 8.226 kasus (Pratama dan Wulandari 2015).
Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan di Puskesmas Ciomas yang
pada saat itu bertemu dengan salah satu penderita TB yang sedang menjalani
pengobatan dan ternyata tidak patuh dalam pengobatan, di mana seharusnya
pengambilan obat TB dilaksanakan sekali dalam seminggu ke Puskesmas Ciomas
tetapi tidak dilakukan. Padahal tujuan waktu pengambilan sesuai jadwal dalam
rentang waktu setiap minggu, selain bertujuan untuk tetap rutin mengambil obat
sekaligus dengan kontrol ulang kesehatan penderita. Hal ini menunjukkan

2
komunikasi antara petugas kesehatan atau pengawas minum obat (PMO) dan
penderita masih belum optimal. Akibatnya proses penyembuhan menjadi lambat
dan harus mengulang kembali.
Sejak tahun 1995, dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
di Indonesia, obat yang digunakan merupakan paduan obat anti tuberculosis
(OAT) dengan jangka waktu enam bulan dan menerapkan strategi Directly
Observed Treatment Short-course (DOTS) yang dilaksanakan di Puskesmas
secara bertahap. Strategi DOTS meliputi 5 komponen yaitu dukungan politik,
mikroskopis, Pengawasan Minum Obat (PMO), pencatatan dan pelaporan serta
paduan obat anti TB. Strategi DOTS menekankan kepada adanya Pengawas
Minum Obat (PMO) untuk setiap penderita TB dengan harapan dapat menjamin
keteraturan minum obat setiap penderita selama masa pengobatan (Rohmana et al.
2014).
Studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Tanggul, dengan PMO
penderita TB berasal dari suami sebanyak 12 orang, istri 22 orang, anak 9 orang,
dan orang tua sebanyak 4 orang, yang memiliki tugas penting dalam pemantauan
pengobatan penderita secara ketat. Namun dalam kenyataannya peran PMO tidak
sesuai dengan tugasnya, di mana sesuai hasil wawancara menyatakan bahwa dari
5 orang penderita TB mengatakan bahwa penderita meminum obat sendiri, PMO
jarang untuk mengingatkan dan mengawasi penderita saat minum obat ( Erlinda et
al. 2013).
Tuberkulosis membutuhkan pengobatan jangka panjang untuk mencapai
kesembuhan. Tipe pengobatan jangka panjang menyebabkan penderita tidak patuh
dalam menjalani pengobatan. Perilaku yang tidak patuh dalam pengobatan TB
membuat bakteri TB menjadi resisten pada tubuh. Penderita tidak patuh dalam
pengobatan adalah salah satu penyebab tingginya angka kejadian penyakit TB.
Dukungan dari keluarga sebagai PMO merupakan salah satu faktor yang dapat
mendukung ketaatan dalam program pengobatan. Dengan adanya partisipasi
keluarga sebagai PMO dalam pengawasan minum obat akan meningkatkan
kepatuhan minum obat penderita TB (Rahmawati et al. 2012).
Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa strategi DOTS dengan
pendekatan PMO membuahkan hasil yang cukup efektif dalam upaya pengobatan
TB. Gitawati dan Sukasediati (2002) melakukan penelitian studi kasus hasil
pengobatan TB di 10 Puskesmas di DKI Jakarta, menunjukkan bahwa pengobatan
dengan menggunakan pendekatan DOTS menunjukkan hasil yang relatif lebih
baik dan mendekati indikator yang diharapkan. Pengobatan yang diawasi
langsung menjadi relatif lebih sukses dalam pengelolaan populasi penderita yang
sulit.
Pengawas Minum Obat (PMO) sangat berperan aktif dalam mendukung dan
berpartisipasi langsung dalam mengawasi pengobatan. Seperti menyiapkan dan
mengingatkan saat penderita akan minum obat, memotivasi penderita saat merasa
bosan untuk mengkonsumsi obat setiap hari, mengingatkan saat jadwal
pengambilan obat dan periksa sputum serta memberitahu penderita hal yang harus
dan tidak boleh dilakukan seperti menggunakan masker saat di rumah maupun
keluar rumah dan harus menutup mulut saat batuk (Erlinda et al. 2013).
Peran komunikator dalam hal ini PMO adalah untuk memengaruhi yang
dalam bahasa psikologi disebut persuasi. Persuasi berkaitan dengan kredibilitas
komunikator yang diperoleh jika memiliki Ethos, Pathos dan Logos (Liliweri

3
2011). Kredibilitas komunikator (PMO) dalam komunikasi interpersonal dapat
dilihat dari beberapa aspek yaitu: kompetensi meliputi keahlian, pengalaman,
percaya diri dan penguasaan informasi. Karakter meliputi objektifitas, minat,
kepercayaan. Status sosial dan ekonomi meliputi kekuasaan, pendidikan,
ekonomi. Kharismatik meliputi keaktifan, tegas, semangat (Maysyarah 2013).
Kredibilitas komunikator (PMO) dalam penelitian ini adalah kepercayaan
komunikan terhadap komunikator (PMO) dilihat dari beberapa aspek yaitu dapat
menguasai emosi, dan memahami komunikan (penderita), gaya berbicara yang
menyenangkan, menggunakan bahasa yang dapat dimengerti serta memiliki
kedekatan antara PMO dan Penderita. Komunikasi dari PMO sangat efektif dan
memegang peranan penting dalam menyampaikan informasi penting tentang
penyakit tuberkulosis. Pemberian informasi ini dilakukan melalui komunikasi
interpersonal antara PMO dengan penderita.
Panjaitan (2013) menyatakan tujuan pengobatan pada penderita tuberkulosis
bukanlah sekedar memberikan obat saja, akan tetapi pengawasan serta
memberikan pengetahuan tentang penyakit tersebut. Untuk itu hendaknya petugas
kesehatan atau PMO memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya
agar mereka mengetahui resiko-resikonya dan meningkatkan kepatuhan untuk
berobat secara tuntas. Kepatuhan penderita berpengaruh terhadap keberhasilan
suatu pengobatan. Terapi obat yang aman dan efektif akan terjadi apabila
penderita diberi informasi yang cukup tentang obat-obat dan penggunaannya.
Niven (2012) menyatakan selain masalah individu penderita ketidaktaatan
minum obat, karena adanya efek samping, bosan minum obat, merasa sembuh
sebelum waktunya juga disebabkan kurangnya dukungan keluarga, kerabat dan
dianggap aib di masyarakat (stigma social). Penelitian Kotouki (2012) tentang
gambaran perilaku penderita dan kepatuhan minum obat di wilayah Puskesmas
Ciomas menunjukkan 29.6 persen responden penderita TB tidak tahu
penatalaksanaan minum obat, 25.4 persen tidak patuh minum obat dan 78 persen
tingkat pendidikan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa strategi DOTS pada
Puskesmas tersebut masih belum optimal.
Tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam penggunaan obat dan
pengobatan, diharapkan dapat mencapai penggunaan obat yang tepat dan benar
serta melaksanakan anjuran petugas terhadap tindakan pengobatan yang dijalani
oleh penderita. Penderita TB Paru sangat membutuhkan informasi yang lengkap
tentang obatnya, karena informasi tersebut menentukan keberhasilan terapi yang
dilakukannya sendiri di rumah. Ketidaksepahaman (non corcondance) dan
ketidakpatuhan (non compliance) penderita dalam menjalankan terapi merupakan
salah satu penyebab kegagalan terapi. Hal ini sering disebabkan kurangnya
pengetahuan dan pemahaman penderita tentang obat dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan penggunaan obat untuk terapi (Patriani dan Ayuningtyas
2013).
Ketidakpatuhan penderita dalam penggunaan obat dapat memperlama masa
sakit atau meningkatkan keparahan penyakit. Salah satu faktor yang menyebabkan
ketidak patuhan berobat penderita TB paru adalah kemampuan komunikasi
interpersonal petugas kesehatan atau PMO yang kurang dengan penderita.
Kepatuhan mengacu pada proses di mana penderita mampu mengasumsikan dan
melaksanakan beberapa tugas yang merupakan bagian dari sebuah regimen
terapeutik. Upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kepatuhan dalam

4
menjalani pengobatan adalah dengan menciptakan komunikasi yang terbuka
dengan penderita dan memberikan perhatian dalam komunikasi tersebut.
Petugas kesehatan atau Pengawas Minum Obat (PMO) sangat diperlukan
dalam memonitor perkembangan kepatuhan penderita TB Paru dan juga harus
terfokus pada perkembangan motivasi penderita dan berupaya mengintegrasikan
penyakit ke dalam konsep diri penderita untuk meningkatkan kepatuhan jangka
panjang, serta membantu penderita melakukan perubahan gaya hidup yang sesuai
dengan anjuran kesehatan (Panjaitan 2013).
Penerapan komunikasi interpersonal dalam pelayanan kesehatan mempunyai
peran yang sangat besar terhadap kemajuan kesehatan penderita. Komunikasi
interpersonal dapat meningkatkan hubungan interpersonal dengan penderita
sehingga akan tercipta suasana yang kondusif di mana penderita dapat
mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya. Kondisi saling percaya yang
telah dibangun antara petugas kesehatan atau PMO dan penderita tersebut akan
mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Panjaitan
2013).
Komunikasi interpersonal yang baik dapat meningkatkan kepatuhan
(Panjaitan 2013). Komunikasi oleh petugas kesehatan atau PMO akan
memengaruhi pengetahuan penderita TB paru. Kurangnya pengetahuan pada
penderita TB paru sangat berpengaruh terhadap kepatuhan berobat. Beberapa
temuan fakta memberikan implikasi program, yaitu manakala pengetahuan dari
penderita TB paru kurang maka kepatuhan berobat juga menurun.
Sejak dikeluarkannya Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarus-Utamaan
Gender (PUG) dalam bidang pembangunan, maka semua sektor pembangunan
wajib memasukkan nuansa gender ke dalam setiap kebijakan dan pelaksanaan
programnya, termasuk program kesehatan. Namun demikian konsep gender masih
merupakan konsep yang relatif baru, di mana baik pemegang program di pusat
maupun di daerah masih kurang memahami secara tepat, apa dan bagaimana
keadilan dan kesetaraan gender dapat diterapkan dalam setiap program kesehatan
(Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2002).
Penelitian-penelitian mengenai hubungan komunikasi interpersonal
dikaitkan dengan tingkat kepatuhan berobat telah banyak dilakukan namun dalam
penerapannya belum dilakukan secara optimal. Hal ini diduga karena kemampuan
interpersonal dalam berkomunikasi masih kurang. Penelitian tentang keterampilan
interpersonal dalam memacu kepatuhan terhadap pengobatan yang dilakukan oleh
DiNicola dan DiMatteo (1982) dalam Niven (2012) menemukan bahwa faktorfaktor interpersonal yang memengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan
menunjukkan pentingnya sensitifitas petugas kesehatan terhadap komunikasi
verbal dan nonverbal penderita, dan empati terhadap perasaan penderita, akan
menghasilkan suatu kepatuhan sehingga menghasilkan suatu kepuasan. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian tentang komunikasi interpersonal sebagai
salah satu faktor yang penting untuk mendukung dan memacu penderita untuk
patuh dalam pengobatan penyakit tuberculosis (TB) dan mencapai kesembuhan.

5
Perumusan Masalah
Ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Paru adalah terkait dengan
kurangnya pengetahuan penderita TB Paru terhadap strategi DOTS yang sedang
dijalani, di mana petugas kesehatan atau Pengawas Minum Obat (PMO) yang
menangani pengobatan TB Paru kurang menerapkan komunikasi interpersonal
dalam penyampaian informasi yang rinci tentang pengobatan serta kurang
menginformasikan bahwa pentingnya pengobatan TB Paru sampai tuntas.
Kurangnya komunikasi interpersonal dalam penyebarluasan informasi dari
petugas kesehatan atau PMO yang menangani pengobatan TB Paru, kurangnya
memberikan himbauan atau bujukan untuk mengubah sikap maupun pandangan
penderita TB Paru agar sadar dalam pengobatan. Selain itu petugas kesehatan atau
PMO kurang memberikan instruksi yang tegas ataupun isyarat dini pada penderita
TB Paru agar penderita TB Paru mengikuti program pengobatan dan apabila tidak
patuh untuk berobat akan berakibat buruk terhadap penderita (Panjaitan 2013).
Menurut Rohmana et al. (2014) pada prinsipnya strategi DOTS menekankan
kepada adanya pengawas minum obat (PMO) untuk setiap penderita TB paru
dengan harapan dapat menjamin keteraturan minum obat setiap penderita TB paru
selama masa pengobatan. Pengobatan yang lama membuat penderita TB bosan
untuk mengkonsumsi obat sehingga dapat mengakibatkan penderita TB tidak
sembuh dan juga resisten terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Untuk
mengantisipasi hal ini perlu adanya pengawasan pada penderita TB saat
melakukan pengobatan. Pengawasan pengobatan penderita TB ini dilakukan oleh
seorang PMO.
Pengawasan PMO dalam menjamin kepatuhan berobat penderita TB
merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh adanya faktor internal dan eksternal .
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2007) faktor internal adalah karakteristik
orang yang bersangkutan seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, emosi,
motivasi. Faktor eksternal yaitu tingkat pengetahuan, lama menjadi PMO,
hubungan interpersonal.
Gender dapat dikatakan sebagai hasil interpretasi sosial-kultural terhadap
perbedaan kelamin biasanya dapat dilakukan melalui aktivitas, dapat dilihat dan
digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi lakilaki dan perempuan sehingga gender sebagai konsepsi mengacu kepada pengertian
bahwa dilahirkannya sebagai laki-laki dan perempuan keberadaannya berbeda
dalam waktu, tempat dan budaya, masyarakat serta peradaban. Oleh karena itu,
konsepnya dinamis dan menyesuaikan dengan dinamika peradaban suatu
masyarakat. Masalah gender berkaitan erat dengan keyakinan bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan berpikir dan bertindak sesuai
dengan ketentuan sosial-budaya masyarakat, bukan karena perbedaan biologis
(Sudarma 2009).
Hasil survey pra penelitian yang dilakukan didapatkan data bahwa petugas
PMO kebanyakan perempuan. Berkaitan dengan stereotipi nilai gender yang
mengatakan perempuan adalah sosok makhluk yang lemah lembut dan emosional
sehingga perlu dilindungi akibatnya perempuan sejak kecil sudah disosialisasikan
untuk melakukan peran partikularistik (domestik) yaitu mengurus rumahtangga,
mengasuh anak dan melayani suami. Laki-laki disosialisasikan untuk berperan
universal (publik) yang melindungi dan menafkahi keluarga. Pencitraan tersebut

6
dimantapkan dan diilembagakan dalam tatanan nilai masyarakat sebagai acuan
bertindak (Hubeis 2010).
Dalam kaitannya dengan kemampuan berkomunikasi PMO antara laki-laki
dan perempuan, PMO belum memperlakukan sama pada pasien laki-laki dan
perempuan. Kesetaraan dan keadilan gender belum sepenuhnya dapat diwujudkan
karena masih kuatnya pengaruh nilai sosial budaya patriaki, yang menempatkan
laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara.
Berdasarkan hasil penelitian Mochammad (2011) menunjukkan bahwa
sebagian besar PMO pada penderita TB paru Puskesmas Genuk dan Bangetayu
Semarang yang menjadi responden penelitian berjenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 21 orang (56.8%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 16 orang
(43.2%). Laki-laki dan perempuan sebagai manusia di samping mempunyai
persamaan juga mempunyai perbedaan, baik ditinjau dari segi biologik,
psikologik maupun sosiologik.
Mochammad (2011) mengemukakan bahwa perbedaan cara berpikir,
bereaksi, berperilaku, bercakap-cakap, berpenalaran, dan dalam menghadapi
situasi antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan.
Watak lembut, halus dan kelebihan perasaan lebih dominan terdapat pada wanita,
sedangkan kekerasan, pendirian teguh, kecerdikan, merupakan watak laki-laki .
Ada juga karakteristik lain antara laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki
memiliki sifat yang lebih rasional, lebih obyektif, suka kompetitif dan sangat suka
menggunakan logika serta orientasi dunia, sedangkan perempuan tidak agresif,
tidak aktif, perbuatan perempuan banyak dikemukakan oleh perasaan yang tidak
berasal dari akal.
Berdasarkan pertimbangan tersebut rumusan masalah penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Sejauh mana kemampuan komunikasi interpersonal PMO berperspektif
gender dengan kepatuhan berobat penderita TB?
2.
Adakah hubungan antara komunikasi interpesonal PMO berperspektif
gender dengan kepatuhan berobat penderita TB?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1.
Menganalisis kemampuan komunikasi interpersonal PMO berperspektif
gender dengan kepatuhan berobat penderita TB.
2.
Menganalisis
hubungan antara
komunikasi interpersonal PMO
berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita TB.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan petugas
kesehatan maupun masyarakat tentang komunikasi interpersonal yang efektif
sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat untuk

7
mencapai derajat kesehatan yang mandiri dan berkeadilan. Oleh karena itu hasil
penelitian ini diharapkan dapat:
1.
Memberikan masukan kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan
dalam menyusun kebijakan tentang peningkatan kompetensi petugas PMO
dan pola komunikasi efektif yang berperspektif gender.
2.
Memberikan sumbangan gagasan bagi perkembangan ilmu komunikasi
pembangunan khususnya komunikasi pembangunan kesehatan.
3.
Sebagai pertimbangan bagi peneliti lain dalam mengembangkan penelitian
tentang komunikasi interpersonal yang berperspektif gender dalam
pembangunan kesehatan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Komunikasi
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan
sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu tidak dapat dihindari
bahwa manusia harus selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Hubungan
manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan kelompok, atau
hubungan kelompok dengan kelompok inilah yang disebut sebagai interaksi
sosial. Komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi
seseorang dalam hidup bermasyarakat (Notoatmodjo 2005). Lasswell dalam Jufri
(2013) menyebutkan bahwa tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab mengapa
manusia perlu berkomunikasi adalah: (1) hasrat manusia untuk mengontrol
lingkungannya; (2) upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungannya; (3) upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi.
Ketiga fungsi tersebut menjadi patokan dasar bagi setiap individu dalam
berhubungan dengan sesama anggota masyarakat.
Berlo dan Brynes (1965) dalam Jufry (2013) menyebutkan bahwa
komunikasi sebagai instrumen dan interaksi sosial berguna untuk mengetahui dan
memprediksi sikap orang lain, juga untuk mengetahui keberadaan diri sendiri
dalam menciptakan keseimbangan dengan masyarakat. Komunikasi jelas tidak
dapat dipisahkan dengan kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat. Komunikasi diperlukan untuk mengatur tata krama
pergaulan antar manusia, sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi
pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat.
Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam
bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), tujuannya untuk
memengaruhi perilaku orang lain. Proses komunikasi yang menggunakan stimulus
atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya disebut
komunikasi verbal. Proses komunikasi menggunakan simbol-simbol disebut
komunikasi non-verbal (Setiawati 2008) dalam Panjaitan (2013). Komunikasi
adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara si pengirim dengan si
penerima pesan untuk mengubah tingkah laku. Perubahan tingkah laku
maksudnya yaitu perubahan yang terjadi di dalam diri individu mungkin dalam
aspek kognitif, afektif, ataupun psikomotor (Jufry 2013).

8
Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang
lain, antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain
diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source)
adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara
lain dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus
disampaikan. Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan
memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk
ungkapan ataupun pasif dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi
stimulus yang dikeluarkan oleh komunikator (sumber) kepada komunikan.
Unsur komunikasi yang terakhir yaitu Saluran (media) adalah alat atau
sarana yang digunakan oleh komunikator dalam menyampaikan pesan atau
informasi kepada komunikan (Notoatmodjo 2007). Proses komunikasi merupakan
rangkaian dari aktivitas menyampaikan pesan sehingga diperoleh feedback dari
penerima pesan. Dari proses komunikasi, timbul pola, model, bentuk dan juga
bagian-bagian kecil yang berkaitan erat dengan proses komunikasi (Komariah et
al. 2013).

Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat (PMO)
Menurut Potter dan Perry (1993) dalam Jufry (2013), komunikasi merupakan
proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk
berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Dalam sistem komunikasi
interpersonal kita akan melihat faktor-faktor personal dan situasional yang
memengaruhi persepsi kita tentang orang lain yang disebut persepsi interpersonal.
Melihat pengaruh konsep diri pada perilaku manusia yaitu bagaimana anda
memandang diri anda dan bagaimana orang lain memandang anda, akan
mempengaruhi pola-pola interaksi anda dengan orang lain. Konsep diri erat
kaitannya dengan proses hubungan interpersonal yang penting bagi perkembangan
kepribadian. Ada dua komponen konsep diri yaitu komponen kognitif disebut
citra diri (self image) dan komponen afektif (self esteem), keduanya, menurut
Rakhmat (2012) berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal.
(a) Konsep diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri antara lain:
orang lain, kelompok rujukan. Konsep diri yang berpengaruh pada
komunikasi interpersonal yaitu: (1) Kecenderungan untuk bertingkah laku
sesuai dengan konsep diri. Sukses komunikasi interpersonal banyak
bergantung pada kualitas konsep diri anda positif atau negatif; (2) Membuka
diri, dengan membuka diri konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan;
(3) Percaya diri; (4) Selektivitas.
(b) Atraksi Interpersonal. Faktor-faktor personal yang memengaruhi atraksi
interpersonal yaitu: (1) Kesamaan karakteristik personal, orang-orang yang
memiliki kesamaan dalam nilai-nilai, sikap, keyakinan, tingkat sosial
ekonomi, agama, ideologis, cenderung saling menyukai; (2) Tekanan
emosional; (3) Harga diri yang rendah; (4) Isolasi sosial.
(c) Faktor-faktor situasional yang memengaruhi atraksi interpersonal yaitu:
(1) Daya tarik fisik; (2) Ganjaran; (3) Familiarity, (4) Kedekatan, (5)
Kemampuan. Pengaruh atraksi interpersonal pada komunikasi interpersonal
yakni: (1) Penafsiran pesan dan penilaian; (2) Efektifitas komunikasi.

9
(d)

Hubungan interpersonal. Mengembangkan metode peningkatan hubungan
dalam psikoterapi dengan tiga prinsip makin baik hubungan interpersonal:
(1) makin terbuka penderita mengungkapkan perasaannya; (2) makin
cenderung penderita meneliti perasaannya secara mendalam beserta
psikolognya; (3) makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian
dan bertindak atas nasihat yang diberikan psikolognya. Psikologi
komunikasi menyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin
terbuka orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya
tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi
yang berlangsung. Faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan
interpersonal dalam komunikasi interpersonal: (1) Percaya (trust); sejauh
mana kita percaya kepada orang lain depengaruhi oleh faktor-faktor
personal dan situasional. Di samping faktor-faktor personal ada empat faktor
yang berhubungan dengan sikap percaya; (a) karakteristik dan maksud
orang lain; b) hubungan kekuasaan; (c) sifat dan kualitas komunikasi; (2)
Sikap suportif; sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi; (3)
Sikap terbuka; amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi
interpersonal yang efektif Rakhmat (2012).
Tujuan komunikasi interpersonal antara lain: (1) Menyampaikan informasi;
(2) Berbagi pengalaman; (3) Menumbuhkan simpati; (4) Melakukan kerjasama;
(5) Menceritakan kekecewaan atau kekesalan; (6) Menumbuhkan motivasi
(Purwanto 2006). Pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi
antara komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling
efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena
sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung,
komunikator mengetahui tanggapan komunikan saat itu juga. Pada saat
komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah
komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidak (Panjaitan 2013).
Komunikasi interpersonal yang efektif memungkinkan penyelesaian
masalah, berbagi ide, pengambilan keputusan, dan pertumbuhan personal.
Komunikasi interpersonal banyak menentukan keberhasilan dalam kegiatan
komunikasi. Dalam menyusun komunikasi seorang petugas kesehatan atau PMO
harus memahami fungsi komunikasi baik secara makro maupun mikro (Panjaitan
2013). Dalam komunikasi interpersonal tersebut biasanya terjadi secara dialogis
dan transaksional, yang memulai bisa dari penderitanya terlebih dahulu atau dari
petugasnya (PMO) dan sebaliknya. Karenanya diantara keduanya terjadi
pergantian posisi (komunikator dan komunikan, dan proses encoding dan
decoding).
Pertemuan awal petugas kesehatan atau PMO biasanya memberikan
informasi seputar penyakit TB, mulai dari menjelaskan apa itu penyakit TB, apa
obatnya dan cara meminumnya, serta tidak kalah pentingnya menjelaskan
bagaimana perilaku penderita yang seharusnya guna tidak menularkannya kepada
anggota keluarganya atau kepada orang lain di lingkungannya. Intinya pasien
harus diedukasi berkaitan dengan penyakitnya. Karena penyakit TB itu dalam
pengobatannya perlu kesabaran dan kedisiplinan, di mana obatnya itu tidak boleh
putus. Putus berarti mengulang dan akan memperpanjang lagi waktu pengobatan
(Komariah et al. 2013).

10
Di samping mengedukasi tentang penyakit TB, petugas kesehatan atau PMO
juga memantau penderita dalam minum obat-obat yang diberikan. Petugas
kesehatan atau PMO melakukan pengecekan silang antara data minum obat pasien
dengan waktu pengambilan obat penderita untuk mengetahui apakah penderita
konsisten atau tidak minum obatnya. Apabila penderita berhalangan hadir di hari
H pengobatan, bisa diambilkan atau berobat sebelum penjadwalan supaya obat
tidak sampai kehabisan (Komariah et al. 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2002) dalam Panjaitan (2013)
pada penderita di Poliklinik penyakit dalam RSU. Dr. Sardjito Yogyakarta
menyatakan bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah
pemberian komunikasi interpersonal petugas kesehatan terhadap kepatuhan dalam
pengobatan pada penderita. Penelitian Sembiring (2013), tentang pengaruh
komunikasi interpersonal petugas kesehatan dan karakteristik ibu terhadap
kelengkapan imunisasi dasar di Puskesmas Deli Serdang menemukan bahwa
dalam memberikan pelayanan tenaga kesehatan melakukannya secara profesional
dan sesuai standar pelayanan komunikasi interpersoanl. Interaksi atau komunikasi
interpersonal yang berkualitas antara klien dan provider merupakan salah satu
indikator yang sangat menentukan bagi keberhasilan program imunisasi.
Hanafi et al. (2012) menyatakan ada pengaruh komunikasi interpersonal
terhadap tingkat kepuasan penderita. Komunikasi yang direncanakan secara sadar
dan bertujuan serta kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan penderita, dan
merupakan komunikasi interpersonal yang mengarah tujuan untuk penyembuhan
penderita yang dilakukan oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya.

Efektivitas Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat (PMO)
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi di mana makna yang
distimulasikan serupa atau sama dengan yang dimaksudkan komunikator, artinya
makna bersama. Komunikasi yang efektif itu memberikan keuntungan dalam
mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan. Siapapun dan apapun pekerjaan
seseorang tidak akan bisa dilakukan dengan baik kalau tidak melakukan nya
dengan komunikasi. Kriteria komunikasi yang efektif salah satunya apabila orang
berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Tetapi secara umum,
komunikasi dinilai efektif apabila rangsangan yang disampaikan dan yang
dimaksudkan oleh pengirim atau sumber berkaitan erat dengan rangsangan yang
ditangkap dan dipahami oleh penerima (Novianti dan Siti 2014).
Komunikasi interpersonal dianggap efektif jika orang lain memahami pesan
anda dengan benar dan memberikan respon sesuai dengan anda inginkan.
Komunikasi interpersonal yang efektif berfungsi membantu anda untuk: (1)
Membentuk dan menjaga hubungan baik antar individu; (2) Menyampaikan
pengetahuan atau informasi; (3) Mengubah sikap dan perilaku; (4) Pemecahan
masalah hubungan antar manusia; (5) Citra diri menjadi lebih baik; (6) Jalan
menuju sukses (Novianti dan Siti 2014).
Karakteristik komunikasi interpersonal yang efektif dapat dilihat dari tiga
sudut pandang yaitu: (1) sudut pandang humanistik yang menekankan pada
keterbukaan, empati, sikap mendukung dan kualitas-kualitas lain yang
menciptakan interaksi yang bermakna, jujur, dan memuaskan serta menciptakan

11
hubungan manusia yang superior misalnya kejujuran, keterbukaan, sikap positif
dan kemudian dapat menurunkan perilaku-perilaku spesifik yang menandai
komunikasi interpersonal yang efektif; (2) sudut pandang pragmatis atau
keperilakuan, yang menekankan pada manajemen dan kesegaran interaksi dan
secara umum, kualitas-kualitas yang menentukan pencapain tujuan yang spesifik;
(3) sudut pandang pergaulan sosial dan sudut pandang kesetaraan yaitu didasarkan
pada model ekonomi imbalan dan biaya (De Vito 2011).
Ketiga sudut pandang ini saling melengkapi dan membantu dalam
memahami efektivitas komunikasi interpersonal. Tujuannya adalah memberikan
pandangan mengenai komunikasi interpersonal yang efektif sehingga dapat
memilih sudut pandang mana yang paling membantu dalam situasi tertentu.
Sasarannya adalah melengkapi prinsip-prinsip komunikasi yang nantinya berguna
dalam berbagai situasi komunikasi. Efektifitas komunikasi interpersonal dari
sudut pandang humanistik dimulai dengan lima kualitas yang dapat
dipertimbangkan (De Vito 2011) yaitu:
(a) Empati (empathy) adalah sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui
apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut
pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di
pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih.
Berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya,
berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara
yang sama. Orang yang empati mampu memahami motivasi dan
pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan
keinginan mereka untuk masa mendatang. Kita dapat mengkomunikasikan
empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat
mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan; (1) keterlibatan aktif
dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2)
konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh
perhatian, dan kedekatan fisik; (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.
(b) Keterbukaan (openness) yaitu kualitas keterbukaan mengacu pada
sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator
interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya
berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera
membukakan semua riwayat hidupnya, memang ini mungkin menarik, tapi
biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan
untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya
disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut. Aspek keterbukaan
yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara
jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan
tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang
menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang
kita ucapkan. Kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk
daripada ketidak acuhan, bahkan ketidak sependapatan jauh lebih
menyenangkan. Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi
secara spontan terhadap orang lain. Aspek ketiga menyangkut
“kepemilikan” perasaan dan pikiran. Terbuka dalam pengertian ini adalah
mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang anda lontarkan adalah memang
milik anda dan anda bertanggung jawab atasnya. Cara terbaik untuk

12
menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang menggunakan
kata Saya (kata ganti orang pertama tunggal).
(c) Sikap mendukung (supportiveness) yakni hubungan interpersonal yang
efektif adalah hubungan di mana terdapat sikap mendukung
(supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat
berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan
sikap mendukung dengan bersikap: (1) deskriptif, bukan evaluatif; (2)
spontan, bukan strategik; (3) provisional, bukan sangat yakin.
(d) Sikap positif (positiveness) adalah kita mengkomunikasikan sikap positif
dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara yaitu pertama
menyatakan sikap positif dan kedua secara positif mendorong orang yang
menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua
aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal
terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri.
Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat
penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan
daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau
tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.
(e) Kesetaraan (equality) yaitu dalam setiap situasi, barangkali terjadi
ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih
tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada
dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari
ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif b

Dokumen yang terkait

Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Jalan Di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

12 177 150

HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) BARU DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KECAMATAN KOTA KABUPATEN JEMBER TAHUN 2010

0 6 20

Faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti Tuberkulosis pada pasien Tuberkulosis Paru di Puskemas Pamulang Tangerang Selatan Provinsi Banten periode Januari 2012 – Januari 2013

5 51 83

Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014

4 15 121

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Di Klinik PPTI/Jakarta Respiratory Center (JRC), Tahun 2009

5 82 124

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KETERATURAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

3 16 52

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

18 56 67

HUBUNGAN ANTARA PERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN KEPATUHAN KUNJUNGAN BEROBAT PADA Hubungan Antara Peran Pengawas Minum Obat (Pmo) Dengan Kepatuhan Kunjungan Berobat Pada Pasien Tuberculosis Paru (Bb Paru) Di Puskesmas Nogosari Boyolali.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA PERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN KEPATUHAN KUNJUNGAN BEROBAT PADA Hubungan Antara Peran Pengawas Minum Obat (Pmo) Dengan Kepatuhan Kunjungan Berobat Pada Pasien Tuberculosis Paru (Bb Paru) Di Puskesmas Nogosari Boyolali.

0 1 14

Hubungan antara Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kayen Kabupaten Pati.

0 0 1