HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

(1)

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI

PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

oleh:

Jose Adelina Putri

ABSTRAK

Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia dan sangat umum di negara-negara berkembang. Bakteri yang menyebabkan kasus TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Menurut data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, jumlah kasus TB paru terbanyak di Bandar Lampung adalah berada di daerah Panjang. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) telah diketahui dapat mengatasi penyakit TB, namun angka drop out masih tinggi. Kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi penderita TB Paru sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah peran Pengawas Minum Obat (PMO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang.

Metode Penelitian: Desian penelitian ini adalah observatif analitik dengan pendekatan cross sectional. Data diambil pada bulan Februari-Agustus 2015. Sampel penelitian adalah PMO beserta penderita TB Paru dari Puskesmas Rawat Inap Panjang yang diambil dengan teknik total sampling dan dianalisis dengan menggunakan program pengolah data.

Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan yang signifikan (p=0,006) antara pendidikan PMO dengan keteraturan minum OAT dan terdapat hubungan yang signifikan (p=0,003) antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT.

Kesimpulan:Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dan pengetahuan PMO terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru. Kata kunci: Pendidikan, pengetahuan, PMO, kepatuhan, penderita TB Paru.


(2)

THE CORRELATION BETWEEN EDUCATION AND KNOWLEDGE OF SUPERVISOR CONSUMING ANTI TUBERCULOSIS DRUGS TO COMPLIANCE OF PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS IN

PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG 2015

By

Jose Adelina Putri

ABSTRACT

Background: Tuberculosis is an important public health problem worldwide and is very common in developing countries. The bacteria that causes Tuberculosis is Mycobacterium tuberculosis. According to data obtained from the Health Departement of Bandar Lampung, the number of cases of pulmonary TB in Bandar Lampung occur in Panjang district. Anti Tuberculosis has been known to treat TB, but the numbers of drop out is still high. Failure of treatment and less discipline for patients with Pulmonary TB are strongly influenced by several factors. One of them is the role of the Supervisor Consuming anti tuberculosis drugs. This research was aimed to know correlation between education and knowledge of the PMO in consuming anti tuberculosis drugs with the compliance of pulmonary TB pateints.

Method: This research was analytical observation study with cross sectional methods. Data were collected on Februari-Agustus 2015. Samples of this research were supervisor consuming drugs and Pulmonary TB Patients from Panjang Public Health Center with total sampling technique and analyzed by using a data processing program.

Result: The result showed that the education of supervisor consuming drugs had significant relation with TB Pateint’s compliance in consuming anti tuberculosis drugs (p=0,006) and the knowledge of supervisor consuming drugs had significant relation with TB Pateint’s compliance in consuming anti tuberkulosis drugs (p=0,003).

Conclusion: The research concluded that there was a correlation between education and knowledge of supervisor consuming drugs in consuming anti tuberculosis drugs with the compliance of pulmonary TB pateints.


(3)

RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

Oleh

JOSE ADELINA PUTRI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG


(4)

(5)

(6)

(7)

Persembahan untuk Papi, Mami dan

Keluarga Tercinta...

Kalian adalah penyemangat bagiku, aku sangat bersyukur memiliki

keluarga seperti kalian. Kalian yang terbaik.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cibubur, Jakarta pada tanggal 22 Juli 1994, sebagai anak satu-satunya dari Bapak dr . Jose Rizal dan Ibu dr. Nofli Yurni. Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Aisyah Pringsewu Lampung pada tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Muhammadiyah Pringsewu Lampung pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 1 Pringsewu Lampung pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 1 Pringsewu Lampung pada tahun 2012. Selama SD sampai SMA penulis sering mengikuti kejuaran olah vokal solo se-Kabupaten dan Provinsi. Tahun 2006 penulis mendapatkan juara 1 olah vokal solo tingkat Kabupaten, tahun 2007 mendapatkan juara 3 olah vokal solo dalam acara PORSENI tingkat Provinsi Lampung, tahun 2011 mendapat juara 1 kejuaran olah vokal solo tingkat SMA di Sekolah Dharma Bangsa dan juara 2 dalam kejuaraan olah vokal solo dalam acara PORSENI tingkat Provinsi Lampung.

Tahun 2012, penulis mengikuti jalur SNMPTN Undangan dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi paduan suara FK Unila.


(9)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi dengan judul “Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Pengawas Minum Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. dr. Muhartono, M. Kes,Sp. PA, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

3. Dr. Dyah Wulan S.R.W., SKM, M. Kes, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran yang cerdas, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini. Beliau adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

4. dr. Sustianti, M.Sc., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran yang cerdas, dan kritik dalam proses


(10)

penyelesaian skripsi ini. Beliau juga adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

5. dr. TA Larasati, M. Kes, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan. Beliau juga adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

6. dr. Fitria Saftarina, M. Kes, selaku Pembimbing Akademik saya, terima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama ini;

7. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

8. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

9. Papi dan Mami tercinta yang selalu menyebut nama saya dalam doanya, membimbing, menasehati, mendukung, dan memberikan yang terbaik untuk saya;

10. Kak Vira Weldimira dan kak Muren Weldimira, yang sudah kuanggap sebagai kakak kandungku, atas semangat, dukungan yang diberikan dan juga sudah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini;

11. Keluarga besar saya yang berada di Bandar Lampung, Jakarta dan Padang. Terima kasih atas dukungan, doa, nasihat, dan semangatnya selama ini;


(11)

Imelda Puspita, Sevfianti, Sefira Dwi, Debby Aprilia, Silvi Qiroatul, Anasthasia Francis, Aulia Sari, Rio Gasa, Septina Ashariani dan Arum Nurzeza yang sudah setia menemani, menyemangati, dukungan, dan bantuan, sehingga semuanya berjalan dengan lebih mudah;

13. Teman-teman angkatan 2012 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaan selama ini;

14. Teman-teman alumni SMAN 1 Pringsewu khusunya teman XII IPA 1 atas semangat dan doanya;

15. Sahabat saya, Devina, Dzakiyah, Kiki, dan Elza yang telah memberikan doa dan semangatnya sampai saat ini;

16. Teman masa kecil saya sampai sekarang, Siti Asiyah dan Annisa Alifa Ramadhani, atas bantuan, dukungan, dan semangatnya;

17. Ibu Rosowati, yang sudah membantu dalam mencari data penelitian saya di Puskesmas Panjang.

18. Semua yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terimakasih atas doa serta dukungannya.


(12)

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, Januari 2016 Penulis


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Pengelompokan OAT ... 15

2. Dosis Untuk Paduan OAT-KDT Kategori-1 ... 16

3. Dosis Untuk Paduan OAT-KDT Kategori-2 ... 17

4. Definisi operasional ... 39

5. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia. ... 45

6. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 46

7. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 46

8. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 47

9. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 48

10. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT ... 49

11. Hubungan Pendidikan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT ... 49


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuesioner Penelitian...68 2. Dokumentasi Penelitian...74 3. Analisis Statistik...75


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori...34 2. Kerangka Konsep...35 3. Alur Penelitian...41


(16)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR...xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan umum ... 4

1.3.2 Tujuan khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tuberkulosis (TB) Paru ... 6

2.1.1 Etiologi TB Paru... 6

2.1.2 Cara Penularan ... 7

2.1.3 Patogenesis Penyakit ... 7

2.1.4. Klasifikasi TB Paru ... 8


(17)

2.1.6 Pengobatan TB Paru ... 14

2.2 PMO (Pengawas Minum Obat) ... 17

2.3 Kepatuhan Pasien TB ... 19

2.4 Pendidikan ... 26

2.5 Pengetahuan ... 29

2.6 Perubahan Perilaku Menurut Lawrence green ... 31

2.7 Kerangka Teori ... 32

2.8 Kerangka Konsep ... 35

2.9 Hipotesis ... 35

BAB III. METODELOGI PENELITIAN ... 36

3.1 Rancangan Penelitian ... 36

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 36

3.2.1 Waktu Penelitian ... 36

3.2.2 Tempat Penelitian... 36

3.3 Subjek Penelitian ... 36

3.3.1 Populasi ... 36

3.3.2 Sampel ... 37

3.3.3 Kriteria Inklusi ... 37

3.3.4 Kriteria Eksklusi ... 37

3.4 Variabel Penelitian ... 38

3.5 Definisi Operasional... 38

3.6 Alat Ukur ... 39


(18)

xii

3.8 Alur Penelitian ... 41

3.9 Pengolahan Data... 41

3.10 Analisis Data ... 42

3.10.1 Analisis Univariat ... 42

3.10.2 Analisis Bivariat... 42

3.11 Etika Penelitian ... 43

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHSAN ... 44

4.1 Hasil Penelitian ... 44

4.1.1 Analisis Univariat ... 45

A. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia... 45

B. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 45

C. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 46

D. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 46

E. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 47

F. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT ... 48

4.1.2 Analisis Bivariat... 49

A. Hubungan Pendidikan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT.. 49

B. Hubungan Pengetahuan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT ... ... 50

4.2 Pembahasan ... 52

1. Analisis Univariat ... 52

A. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia... 52


(19)

C. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 53

D. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 53

E. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 54

F. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT ... 54

2. Analisis Bivariat... 55

A. Hubungan Pendidikan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT Pada Penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015 ... 55

B. Hubungan Pengetahuan PMO Terhadap Kepatuhan Minum Pada Penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015 .. ... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet atau percikan dahak yang menyebar ke udara dari orang yang telah terinfeksioleh bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di Indonesia diperkirakan sebesar 289 per 100.000 penduduk, angka insidensi TB sebesar 189 per 100.000 penduduk dan angka kematian akibat TB sebesar 27 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Dilihat dari notifikasi kasus yang ditemukan pada tahun 2013 menunjukan bahwa Indonesia berada di posisi ke-4 setelah India, Cina, dan Afrika Utara yaitu sebanyak 196.310 kasus (WHO, 2014).

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan International United Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) mengembangkkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS). Salah satu komponen dari strategi DOTS adalah pengobatan TB paru dengan obat anti tuberkulosis (OAT)yang diawasi langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO) (Depkes, 2013). Obat anti tuberkulosis (OAT) telah diketahui dapat


(21)

mengatasi penyakit TB. Pengobatan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan kuman TB menjadi resisten terhadap OAT dan dapat menjadi TB Multi Drug Resistence(MDR). Kasus TB-MDR telah ditemukan di Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin dan Asia berdasarkan WHO/IUATLD Global Project on Drug Resistance Surveillance dengan prevalensi lebih dari 4% di antara kasus TB baru (Burhan, 2010).

Disampaikan oleh Nawas dalam Burhan (2010), data awal survei resistensi obat OAT lini pertama di Indonesia yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan angka TB-MDR yang rendah pada kasus baru (1-2%), tetapi angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya (15%). Limited and Unrepresentative Hospital Data (2006) menunjukkan kenyataan bahwa sepertiga kasus TB-MDR resisten terhadap ofloksasin dan ditemukan satu kasus TB-XDR(Extremely Drug Resistance) diantara 24 kasus TB-MDR.

Untuk menjamin kepatuhan penderita TB paru untuk minum obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas minum obat. Pengawas minum obat (PMO) sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal. Syarat untuk menjadi seorang PMO adalah seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus segani dam dihormati oleh pasien. Peran PMO dalam proses pengobatan TB adalah mengawasi pasien TB dalam meminum OAT sampai selesai pengobatan, memotivasi pasien untuk berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.(Depkes,2013).


(22)

3

Penelitian yang dilakukan Kusnawati (2005) di Semarang, didapatkan hasil yang bermakna mengenai hubungan antara pengetahuan dan sikap PMO keluarga mengenai keberhasilan pengobatan TB paru. Sedangkan dari penelitian yang dilakukan Suhartono (2010) di Kalimantan Timur,menyatakan bahwa tingkat pendidikan PMO dengan kepatuhan pasien TB berobat mempunyai hubungan positif yang secara statistikbermakna dengan kepatuhan berobat.

Menurut data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, jumlah kasus TB paru terbanyak di Bandar Lampung tahun 2014- juni 2015 adalah berada di daerah Panjang. Pada bulan januari–juni 2015, jumlah kasus baru TB BTA positif di Panjang saat ini adalah 40 penderita. Sedangkan data yang didapat dari Puskesmas Rawat Inap Panjang, sampai bulan agustus tahun 2015 terdapat 48 penderita TB paru dan pada bulan januari 2015 terdapat 3 pasien yang drop out dan didapatkan kurang lebih 15 pasien yang tidak mengalami konversi sputum dari bulan april-juni 2015.

Berdasarkan data dan fenomena tersebut, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam tentang hubunganpendidikan dan pengetahuan PMO terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.


(23)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu :

Apakah terdapat hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO terhadap kepatuhanminum OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat InapPanjang tahun 2015?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubunganpendidikan dan pengetahuan PMO terhadap kepatuhanminum OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus pada penelitian ini adalah:

1. Mengetahui distribusi frekuensi pendidikan PMO, pengetahuan PMO, dan kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.

2. Mengetahui hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT pada penderitaTB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.


(24)

5

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi petugas kesehatan

Sebagai bahan informasi bagi petugas kesehatan TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang, untuk meningkatkan kepatuhan pasien TB Paru dalam minum OAT dan membuat promosi kesehatan yang lebih menarik agar penderita atau masyarakat yang mempunyai risiko TB dapat mudah memahami tentang materi yang disampaikan.

1.4.2 Bagi peneliti

Bagi peneliti, sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti. 1.4.2 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian dapat memberikan gambaran dan pengetahuan tentang pentingnya pengaruh PMO dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1 Etiologi TB Paru

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar dinding kuman terdiri dari asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA). Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi menjadi disenangi oleh kuman karena banyak mengandung lipid (Amin & Bahar, 2009).


(26)

7

2.1.2 Cara Penularan

Lingkungan yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan dengan organ lain. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung Basil Tahan Asam (Amin & Bahar, 2009).

2.1.3 Patogenesis Penyakit

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel ini dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi oleh neutrofil, kemudian baru makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini akan terbawa masuk ke organ


(27)

lainnya. Kuman yang bersarang di dalam paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang ini bisa terdapat di seluruh bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi lomfodenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menajalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun, diabetes, AIDS, malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, gagal ginjal (Amin & Bahar, 2009).

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Dalam konsensus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2006, TB paru dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) Tuberkulosis Paru BTA (+)

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran


(28)

9

tuberkulosis aktif.Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b) Tuberkulosis Paru BTA (-)

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif.Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa.

2. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :

a) Kasus baru

Dikatakan kasus baru bila penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b) Kasus kambuh (relaps)

Dikatakan kasus kambuh bila penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.


(29)

Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan infeksi sekunder, infeksi jamur atau TB paru kambuh.

c) Kasus pindahan (Transfer In)

Dikatakan kasus pindahan bila penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah

d) Kasus lalai obat

Dikatakan kasus lalai berobat bila penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

2.1.5 Diagnosis TB paru

Dalam konsensus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2006, untuk mendiagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik atau jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.


(30)

11

Gejala respiratorik: batuk lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada.Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. Gejala sistemik: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior ,serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.


(31)

Pemeriksaan penunjang TB paru adalah sebagai berikut: a) Pemeriksaan Bakteriologik.

Pemeriksaan ini untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

b) Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah,kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular,bayangan bercak milier, efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif, yaitu sebagai berikut:

 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas  Kalsifikasi atau fibrotik


(32)

13

 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura c) Pemeriksaan cairan pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa darah.

d) Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

e) Uji tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah.Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin


(33)

sebagai alat bantudiagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula (PDPI, 2006).

2.1.6 Pengobatan TB paru

Dalam Depkes (2013), pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT).

a. Obat Antituberkulosis (OAT)

OAT harus diberikan dalam bentuk kominasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang cukup dan dosis yang tetap sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:

1. Tahap awal (intensif)

Pada tahap ini penderita mendapatkan obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, kemungkinan besar pasien dengan BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.


(34)

15

2. Tahap lanjutan

Pada tahap ini penderita mendapat jenis obatlebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Tabel1.Pengelompokan OAT

Golongan dan Jenis Obat

Golongan-1 Obat Lini pertama

- Isoniazid (H) - Ethambutol (E)

- Pirazinamid (Z) - Rifampicin (R) - Sreptomycin (S)

Golongan-2 / Obat suntik/Suntikan lini kedua

- Kanamycin (Km) -Amikacin (Am) -Capreomycin

(Cm) Golongan-3 / Golongan

Floroquinolone

- Ofloxacin (Ofx) - Levofloxacin (Lfx)

Moxifloxacin (Mfx)

Golongan-4 / Obat Bakteriostatik lini kedua

-Ethionamide (Eto) -Prothionamide (Pto) - Cycloserine (Cs)

- Para amino salisilat (PAS)

- Terizidone (Trd) Golongan-5 / Obat

yang belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasikan oleh WHO - Clofazimine - Linezolid - Amoxilin- Clavulanate(Amx-Clv) -Thioacetazone (Thz) -Clarthromycin (Clr) - Imipenem (Ipm)


(35)

b. Paduan minum OAT

Dalam buku Perhimpunan Dokter, pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Paduan ini dianjurkan untuk TB paru kasus baru dengan BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif, dan pasien TB ekstra paru.

Tabel2.Dosis untuk paduan OAT-KDT kategori 1

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE

(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16

minggu

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2 KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya, seperti pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus obat (default).


(36)

17

Tabel3.Dosis untuk paduan OAT-KDT kategori 2

Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150)

+ E(400) Selama 56

hari

Selama 28 hari

Selama 20 minggu 30-37 kg 2 tab

4KDT+500 mg Streptomisin

Inj.

2 tab 4KDT 2 tab 2 KDT + 2 tab Etambutol

38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin

Inj.

3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol

55-70 kg 4 tab 4KDT + 100 mg Streptomisin

Inj.

4 tab 4KDT 4tab 2KDT + 4 tab Etambutol

≥71 kg 5 tab + 100 mg Streptomisin

Inj.

5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

2.2 PMO (Pengawas Minum Obat)

Dalam Depkes 2013, salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung.Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Adapun persyaratan untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut:

A. Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. c.Bersedia membantu pasien dengan sukarela.


(37)

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain.Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

Tugas seorang PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampaiselesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingkatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktuyang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya adalah sebagai berikut:

a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan. b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan carapencegahannya.


(38)

19

e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera memintapertolongan ke UPK.

2.3 Kepatuhan Penderita TB

Menurut WHO dalam konferensi bulan juni tahun 2001 menyebutkan bahwa patuh atau kepatuhan merupakan kecenderungan penderita melakukan instruksi medikasi yang dianjurkan (Gough, 2011). Kepatuhan minum obat sendiri kembali kepada kesesuaian penderita dengan rekomendasi pemberi pelayanan yang berhubungan dengan waktu, dosis, dan frekuensi pengobatan untuk jangka waktu pengobatan yang dianjurkan (Petorson, 2012).La Greca dan Stone (1985) dalam Bart Smet (1997) menyatakan bahwa perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis, saran untuk gaya hidup umum dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, dan pengobatan dengan efek samping.Menurut Depkes tahun 2000 dalam Wihartini (2009), penderita TB paru yang patuh berobat adalah yang menyesuaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama 6 bulan.

Tidak patuh, tidak hanya diartikan sebagai tidak minum obat, namun bisa memuntahkan obat atau mengkonsumsi obat dengan dosis yang salah

sehingga menimbulkan Multi Drug Resistance (MDR). Perbedaan secara

signifikan antara patuh dan tidak patuh belum ada, sehingga banyak peneliti yang mendefinisikan patuh sebagai berhasil tidaknya suatu pengobatan dengan melihat hasil, serta melihat proses dari pengobatan itu sendiri.


(39)

Hal-hal yang dapat meningkatkan faktor ketidakpatuhan bisa karena sebab yang disengaja dan yang tidak disengaja. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja terlihat pada penderita yang gagal mengingat atau dalam beberapa kasus yang membutuhkan pengaturan fisik untuk meminum obat yang sudah diresepkan. Ketidakpatuhan yang disengaja berhubungan dengan keyakinan tentang pengobatan antara manfaat dan efek samping yang dihasilkan (Chambers, 2010)

Menurut Cuneo dan Snider dalam Wihartini (2009), pengobatan yang memerlukan jangka waktu yang panjang seperti TB paru akan memberikan pengaruh-pengaruh kepada penderita seperti:

a. Merupakan suatu tekanan psikologis bagi penderita tanpa keluhan atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan harus menjalani pengobatan sekian lama.

b. Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani pengobatan 1-2 bulan atau lebih, keluhan akan segera berkurang atau hilang sama sekali sehingga pasien akan merasa sembuh dan malas untuk meneruskan pengobatan kembali.

c. Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga menurunkan motivasi yang akan semakin menurun dengan lamanya waktu pengobatan. d. Pengobatan yang lama merupakan beban yang dilihat dari segi biaya yang

harus dikeluarkan.

e. Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan rasa tidak enak terhadap penderita.


(40)

21

f. Sukar untuk menyadarkan pasien untuk terus menerus minum obat selama jangka waktu yang ditentukan.

Permatasari dalam Sahat (2010) mengemukakan selain faktor medis, faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap, dan perilaku yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

a. Faktor Sarana: Tersedianya obat yang cukup dan kontinu, dedikasi petugas kesehatan yang baik, dan pemberian regiment OAT yang adekuat. b. Faktor Penderita: Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru, cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, cara menajaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi, cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merorok, cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan sapu tangan, jendela cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari, sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar, kesadaran dan keinginan penderita untuk sembuh.

c. Faktor keluarga dan Masyarakat Lingkungan: Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan cara selalu mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan cara selalu mengingatkan penderita agar minun obat, pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat.


(41)

Kepatuhan dipengaruhi oleh 5 dimensi sebagaiman yang dijelaskan dalam buku panduan WHO tahun 2003 mengenai pengobatan jangka lama. Meskipun oleh sebagian orang mengatakan bahwa kepatuhan tentang bagaimana individu yang bersangkutan mengatur dirinya agar selalu patuh, namun tidak bisa dihilangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan individu tersebut. Berikut dijelaskan faktor yang dianggap sebagai 5 dimensi dimaksud ialah sebagai berikut:

a. Faktor Sosial dan Ekonomi (Social and Economic Factors)

Meskipun status ekonomi sosial tidak konsisten menjadi prediktor tunggal kepatuhan, namun di negara-negara berkembang status ekonomi sosial yang rendah membuat penderita untuk menentukan hal yang lebih prioritas daripada untuk pengobatan. Beberapa faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi kepatuhan ialah status ekonomi sosial, kemiskinan, pendidikan yang rendah, pengangguran, kurangnya dukungan sosial, kondisi kehidupan yang tidak stabil, jarak ke tempat pengobatan, transportasi dan pengobatan yang mahal, situasi lingkungan yang berubah, budaya dan kepercayaan terhadap sakit dan pengobatan, serta dukungan keluarga.

Dukungan keluarga menurut Friedman dalam Saragih (2010), dibagi dalam 4 bentuk, yaitu;

1. Dukungan Penilaian

Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk memahami kejadian depresi dengan baik dan strategi koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Individu mempunyai


(42)

23

seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengharapan positif kepada individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan seseorang dengan orang lain, misalnya orang yang kurang mampu.

2. Dukungan Instrumental

Dukungan ini melipui dukungan jasmaniah meliputi pelayanan, bantuan finansial, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental Support Material Support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah termasuk didalamnya bantuan langsung seperti seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu pekerjaan sehari-hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit.

3. Dukungan Informasi

Jenis dukungan ini meliputi komunikasi dan tanggung jawab bersama termasuk didalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan nasehat pengarahan, saran atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu dalam melawan

stressor. 4. Dukungan Emosional

Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara emosional, sedih dan kehilangan harga diri. Jika depresi mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai.


(43)

Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat mengalami stress, bantu dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat. b. Faktor Penderita

Persepsi terhadap kebutuhan pengobatan seseorang dipengaruhi oleh gejala penyakit, harapan dan pengalaman. Mereka meyakini bahwa dari pengobatan akan memberikan sejumlah efek samping yang dirasa mengganggu, selain itu kekhawatiran tentang efek jangka panjang dan ketergantungan juga mereka pikirkan.

Pengetahuan dan kepercayaan penderita tentang penyakit mereka, motivasi untuk mengatur pengobatan, dan harapan terhadap kesembuhan penderita dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Sedangkan faktor penderita yang mempengaruhi kepatuhan itu sendiri ialah:lupa, stres psikososial, kecemasan akan keadaan yang lebih parah, motivasi yang rendah, kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan untuk me-manage gejala penyakit dan pengobatan, kesalahpahaman dan ketidakterimaan terhadap penyakit, ketidakpercayaan terhadap diagnosis, kesalahpahaman terhadap instruksi pengobatan, tidak ada harapan dan perasaan negatif, frustasi dengan petugas kesehatan, cemas terhadap kompliktisitas regimen pengobatan, dan merasa terstigma oleh penyakit.


(44)

25

Motivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan dipengaruhi oleh nilai dan tempat dimana mereka berobat (baik biaya maupun kepercayaan terhadap pelayanan). Sehingga, untuk meningkatkan tingkat kepatuhan penderita, maka petugas kesehatan perlu meningkatkan kemampuan manajerial, kepercayaan diri, serta sikap yang meyakinkan kepada penderita.

c. Faktor Terapi (Therapy-Related Factors)

Ada banyak faktor terapi yang mempengaruhi kepatuhan, diantaranya komplektisitas regimen obat, durasi pengobatan, kegagalan pengobatan sebelumnya, perubahan dalam pengobatan, kesiapan terhadap adanya efek samping, serta ketersediannya dukungan tenaga kesehatan terhadap penderita.

d. Faktor Kondisi (Conditions-Related Factors)

Faktor kondisi merepresentasikan keadaan sakit yang dihadapi oleh penderita. Beberapa yang dapat mempengaruhi kepatuhan ialah keparahan gejala, tingkat kecacatan, progres penyakit, adanya pengobatan yang efektif. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut tergantung bagaimana persepsi penderita, namun hal yang paling penting ialah penderita tetap mengikuti pengobatan dan menjadikan yang prioritas.

e. Faktor Tim/Sistem Kesehatan (Team Factors/Health Care System) Penelitian yang menghubungkan antara sistem kesehatan dan kepatuhan penderita sendiri masih sedikit. Meski demikian hubungan yang baik antara tenaga kesehatan dan penderita dapat meningkatkan


(45)

kepatuhan penderita dalam pengobatan. Beberapa faktor yang dapat memberi pengaruh negatif antara lain kurangnya pengembangan sistem kesehatan yang dibiayai oleh asuransi, kurangnya sistem distribusi obat, kurangnya pengetahuan dan pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang me-manage penyakit kronik, jam kerja yang berlebihan, imbalan biaya yang tidak sepadan terhadap tenaga kesehatan, konsultasi yang sebentar, ketidakmampuan membangun dukungan komunitas dan manajemen diri penderita, kurangnya pengetahuan tentang kepatuhan dan intervensi yang efektif untuk meningkatkannya.

2.4 Pendidikan

Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi nurani). Pendididkan juga berarti lembaga yang bertanggungjawab menetapkan cita–cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem dan organisasipendidikan.Lembaga–lembaga ini meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat (Ikhsan, 2005).Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari generasi satu ke genari yang lain. Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik (Tirtarahardja et al., 2005). Menurut sifatnya pendidikan dibedakan menjadi :


(46)

27

a. Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, organisasi.

b. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat.pendidikan ini berlangsung di sekolah.

c. Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang kekat.

Tingkat pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan, yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tingkat kerumitan bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan pengajaran. Tingkat pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Ikhsan, 2005).

a. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam masyarakat, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan pendidikan yang memberikan bekal dasar bagi perkembangan kehidupan, baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat. Karena itu, bagi setiap warga negara harus disediakan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar.Pendidikan ini dapat berupa pendidikan sekolah ataupun pendidikan


(47)

luar sekolah, yang dapat merupakan pendidikan biasa ataupun pendidikan luar biasa.Tingkat pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar.

b. Pendidikan Menengah

Pend mn mjidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial budaya, dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.Pendidikan menengah umum diselenggarakan selain untuk mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan tinggi, juga untuk memasuki lapangan kerja.Pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan untuk memasuki lapangan kerja atau mengikuti pendidikan keprofesian pada tingkat yang lebih tinggi.Pendidikan menengah dapat merupakan pendidikan biasa atau pendidikan luar biasa.Tingkat pendidikan menengah adalah SMP, SMA dan SMK.

c. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki tingkat kemampuan tinggi yang bersifat akademik dan atau profesional sehingga dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam rangka pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan manusia.


(48)

29

Manusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari tiga lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan Tinggi terdiri dari Strata 1, Strata 1, Strata 3.

2.5 Pengetahuan

Menurut Soekidjo Notoatmodjo dalam buku Promosi Kesehatan edisi revisi 2010, pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besar, terdapat 6 (enam) tingkat pengetahuan yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak hanya dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.


(49)

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan sesorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.


(50)

31

2.6 Perubahan Perilaku Menurut Lawrence Green

Menurut Precede Procede model yang dikemukakan oleh Lawrence Green dalam Widyaningsih (2004) dinyatakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan perubahan perilaku yaitu Predisposing factor, reinforcing factor, dan enabling factor.

Teori Green diaplikasi terhadap perilaku PMO dalam pengawasan penderita tuberkulosis paru sebagai berikut:

a. Faktor yang mempermudah (predisposing factor), yaitu faktor pencetus yang mempermudah terjadinya perilaku, terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, dan karakteristik demografi yang terdapat dalam diri individu atau kelompok.

b. Faktor yang memungkinkan (enabling facto), yaitu faktor yang memungkinkan terjadinya perubahan perilaku individu, kelompok yang dikarenakan antara lain tersedianya fasilitas-fasilitas, sarana-sarana kesehatan.

c. Faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau kelompok referensi dari perilaku masyarakat, seperti suami, orangtua, tokoh masyarakat.

Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Widyaningsih (2004) terdapat hal yang berhubungan dengan perilaku PMO dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan pengawasan penderita tuberkulosis paru dalam menelan minum obat, yaitu:


(51)

1. Keyakinan PMO terhadap pelaksanaan kegiatan pengawasan penderita tuberkulosis secara teratur dapat mencegah terjadinya putus berobat, resistensi dan lain-lain. Dimana pelaksanaan kegiataan PMO tersebut dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku PMO terdiri dari karakteristik, pengetahuan, sikap, dan motivasi.

2. Keuntungan-keuntungan norma yaitu ketersediaan fasilitas anjuran/informasi, pelatihan tentang PMO.

3. Norma-norma subyektif yaitu petugas kesehatan (dokter, paramedis), orangtua, kader kesehatan.

2.7 Kerangka Teori

Menurut Kemenkes RI tahun 2013, untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat anti tuberkulosis, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO).Seorang PMO harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai TB paru. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum obat sesuai konferensi WHO tahun 2003 yaitu faktor sosial ekonomi dan sosial diantaranya adalah status ekonomi sosial, kemiskinan, pendidikan yang rendah, pengangguran, kurangnya dukungan sosial, jarak ke tempat pengobatan, transportasi yang mahal, budaya dan kepercayaan terhadap sakit dan pengobatan, dan disfungsi keluarga. Faktor penderita diantaranya adalah pengetahuan penderita tentang penyakitnya sendiri, efek samping yang mengganggu, motivasi yang rendah, lupa minum obat, kesalahpahaman terhadap instruksi pengobatan, dan frustasi dengan petugas kesehatan. Faktor terapi diantaranya adalah komplektisitas regimen,


(52)

33

durasi pengobatan, kegagalan pengobatan sebelumnya, perubahan dalam pengobatan, kesiapan terhadap efek samping, ketersediaan dukungan tenaga kesehatan terhadap penderita. Faktor kondisi diantaranya keparahan gejala, lingkungan yang berubah-ubah, tingkat kecacatan, progres penyakit, adanya pengobatan yang efektif. Faktor tim kesehesatan diantaranya adalah kurangnya distribusi obat, kurangnya pelatihan kepada tenaga kesehatan mengenai penyakit kronis, jam kerja yang berlebihan, imbalan biaya yang tidak sepadan terhadap tenaga kesehatan, dan konsultasi yang sebentar. Pembahasan sebelumnya dapat dilihat dalam bentuk kerangka teori yang dapat dilihat pada gambar 1.


(53)

Keterangan:

: Faktor yang di teliti

Kepatuhan penderita Karakteristik PMO:

- Umur - Pendidikan - Pengetahuan - Jenis Kelamin - Pekerjaan

Faktor Kondisi: - Keparahan gejala - Tingkat Kecacatan - Progres Penyakit - Adanya pengobatan

yang efektif Faktor Terapi:

- Durasi pengobatan - Kegagalan

pengobatan sebelumnya - Komplektisitas

regimen obat Faktor sosial dan ekonomi:

- Kemiskinan - Dukungan Keluarga:

Dukungan Penilaian Dukungan Instrumental Dukungan Informasi Dukungan emosional - Jarak rumah ke tempat

pengobatan

- Budaya dan kepercayaan

Faktor Penderita: - Pengetahuan tentang

penyakit

- Efek samping yang mengganggu - Motivasi yang rendah - Kesalahpahaman terhadap

instruksi pengobtanan

Faktor Tim Kesehatan: - Kurangnya sistem

distribusi obat

- Kurangnya pengetahuan dan pelatihan terhadap penyakit kronis

- Konsultasi yang sebentar

Gambar 1.Kerangka Teori (WHO, 2003; Kemenkes RI 2013;Friedman, 2010) dengan modifikasi.


(54)

2.8 Kerangka konsep

Peneliti akan mengkaji hubungan variabel bebas yaitu pendidikan dan pengetahuan PMO dengan variabel terikat yaitu kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru. Kerangka konsep penelitian dapat dilihat padagambar 2.

Variabel Independent Variabel dependent

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.9 HIPOTESIS

1. H0: Tidak ada hubungan antara pendidikan PMO dengan kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru.

Ha:Ada hubungan antara tingkat pendidikan PMO dengan kepatuha minum OAT pada penderita TB paru.

2. H0: Tidak ada hubungan antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru.

Ha: Ada hubungan antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru.

Pendidikan PMO

Pengetahuan PMO

Kepatuhan Minum OAT Pada Penderita TB Paru


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu mengambil variabel independent dan variabeldependent pada satu waktu (Notoatmodjo, 2012).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015. 3.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Rawat Inap Panjang, Bandar Lampung.

3.3Subjek Penelitian 3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua PMOdan penderita TB paru BTA positif yang masih mendapatkan pengobatan OAT yang berada di Puskesmas Rawat Inap Panjangperiode januari-agustus 2015 yaitu sebanyak 48 orang.


(56)

37

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Menurut Arikunto (2006) jika populasi kurang dari 100 maka lebih baik diambil seluruhnya. Populasi dalam penelitian ini kurang dari 100 yaitu sebesar 48 orang, sehingga menggunakan total populasi yang berarti semua PMO dan penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.

3.3.3 Kriteria Inklusi

Adapun kriteri inklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Penderita TB paru yang sedang mengalami pengobatan.

2. Subjek merupakan pasien rawat jalan di Puskesmas Rawat Inap Panjang.

3. Berumur lebih dari 15 tahun (sesuai dengan program nasional TB). 4. PMO tinggal bersama dengan penderita TB paru.

3.3.4 Kriteria Eksklusi

Adapun kriteria ekskuli dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. PMO dan penderita TB yang menolak untuk diminta menjadi

responden.

2. PMO dan penderita TB yang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap.


(57)

3.4 Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Notoatmodjo, 2012). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari varibel independentyaitupendidikan dan pengetahuanPMOsedangkanvariabel dependent yaitu kepatuhanminum OAT pada penderita TB paru.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah batasan pada variabel-variabel yang diamati atau diteliti untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat ukur (Notoatmodjo, 2012).


(58)

39

Tabel 4.Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Independent:

Pendidikan PMO

Pendidikan terakhir yang telah diselesaikan sampai dengan saat penelitian dilakukan, yang ditandai dengan ijazah kelulusan.

Kuesioner Rendah, bila pendidikan tidak lulus SD, SD dan SMP. Tinggi, bila pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi. (Rasely, 2011). Ordinal Pengetahuan PMO Pengetahuan PMO tentang TB paru.

Kuesioner Kurang baik jika skore jawaban responden <56%.

Baik, bila skor

benar ≥56%. (Arikunto, 2006). Ordinal Dependent: Kepatuhan minum OAT Tingkat perhatian pasien dalam melaksanakan instruksi pengobatan berdasarkan Morisky Medication Adherence

Scale (MMAS).

Kuesioner dan Dokumentasi kartu berobat

Total nilai 3-8 kepatuhan rendah Total nilai 1-2 kepatuhan sedang Total nilai 0 kepatuhan tinggi (Moriskyet al, 1986)

Nominal

3.6 Alat Ukur

Alat pengumpulan data mengenai pendidikan PMO adalah lembar identitas yang tersedia dalam formulir kuesioner. Untuk pengetahuan PMO tentang penyakit TB paru adalah lembar kuesioner yang telah divalidasi oleh Nunuk Widyaningsih tahun 2004, kuesioner tersebut berisi 18 pertanyaan dengan


(59)

angka reliabilitas 0,5940 sehingga kuesioner tersebut reliabel. Dikatakan pertanyaan tersebut positif adalah jika jawaban ya diberi nilai satu dan jawaban tidak diberi nilai nol. Sedangkan untuk pertanyaan negatif adalah jawaban tidak yang diberi nilai satu dan jawaban ya diberi nilai nol. Sedangkan alat pengukur kepatuhan minum OAT pada penderita TB adalah kuesioner dan kartu berobat. Kuesioner kepatuhan adalah kuesioner baku Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) yang terdiri dari 8 pertanyaan yang sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa indonesia. Penentuan jawaban kuesioner menggunakan skala Guttman, yaitu jawaban responden hanya terbatas pada dua jawaban, ya atau tidak. Variabel kepatuhan mengadopsi dari interpretasi kuesioner asli oleh Morisky, dimana kategori penilaian dibagi menjadi 3 cut of point, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

3.7Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pendidikan dan pengetahuan PMO adalah pengisian kuesioner (data primer), sedangkan teknik pengumpulan data kepatuhan minum OAT adalah data primer dan data sekunder, yaitu dengan kuesioner dan observasi kartu berobat kedalam checklist kemudianlangsung dikumpulkan pada hari itu juga.


(60)

41

3.8Alur Penelitian

Meminta izin untuk melakukan penelitian di Puskesmas Rawat Inap

Panjang

Mengunjungi rumah pasien TB setempat untuk mendapatkan data primer dengan menggunakan kuesioner,

kartu berobat pasien.

Menyiapkan kuesioner yang sesuai dengan tujuan penelitian

Pengisian lembar persetujuan oleh responden

Membagikan kuesioner kepada responden yang sudah ditentukan

Melakukan pengolahan data

Hasil dan kesimpulan

Gambar 3. Alur Penelitian

3.9 Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam bentuk tabel-tabel, kemudian data diolah menggunakan program pengolahan datadenganα = 0,05. Proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri beberapa langkah :


(61)

a. Editing, kegiatan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner.

b. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang sesuai untuk keperluan analisis.

c. Data entry, memasukkan data ke dalam program komputer.

d. Tabulasi, pengecekan ulang data dari setiap sumber data atau responden untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan kemudian dilakukan koreksi (Notoatmodjo, 2010).

3.10 Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis. Analisis data dilakukan menggunakan distribusi frekuensi presebatse univariat dan bivariat.

a) Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik tiap variabel penelitian.Analisis univariat untuk mengetahui gambaran masing-masing variabel.

b)Analisa Bivariat

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi Chi Square alternatif uji Fisherdengan jenis tabel 2x2 yang berfungsi untuk menguji hubungan antara pendidikan dan pengetahuan PMO terhadap kepatuhan minum obat antiberkulosis pada penderita TB paru di


(62)

43

Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015, dengan menggunakan program pengolahan data.

3.11Etika Penelitian

Penelitian ini telah diajukan kepada Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk mendapatkan surat keterangan lolos kaji etik sehingga penelitian dapat dilakukan.


(63)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO terhadap keteraturan minum OAT pada penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015 maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebanyak 75% PMO yang memiliki pendidikan rendah dan 25% PMO yang memiliki pendidikan yang tinggi.Sedangkan pengetahuan PMO didapatkan sebanyak 58,3% yang memiliki pengetahuan yang kurang baik, 27,1% PMO yang memiliki pengetahuan yang cukup dan 14,6% PMO yang memiliki pengetahuan yang baik. Kepatuhan penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015 lebih banyak yang memiliki kepatuhan yang kurang baik, yaitu sebanyak 58,3%, kepatuhan yang sedang adalah sebanyak 27,1% dan kepatuhan yang tinggi adalah sebanyak 14,6%.

2. Terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan (p=0,006)dan pengetahuan PMO (p=0,003) terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.


(64)

61

5.2 Saran

1. Bagi responden, yaitu PMO, diharapkan lebih meningkatkan lagi kinerjanya dalam mengawasi langsung penderita TB Paru dalam meminum obat, agar kepatuhan penderita TB Paru lebih baik sehinggan penderita dapat sembuh sesuai dengan masa pengobatan yang dijalani.

2. Bagi Instansi

a.Puskesmas Rawat Inap Panjang, diharapkan petugas kesehatan memberikan penjelasan yang lebih jelas lagi dan menarik untuk PMO tentang penyakit TB Paru, agar PMO lebih memiliki pengetahuan untuk meningkatkan kepatuhan penderita TB Paru dalam minum obat dikarenakan peminuman obat jangka panjang yang harus dijalani oleh penderita.

b. Perguruan tinggi, khususnya Fakultas Kedokteranm diharapkan dapat bekerjasama dengan pihak terkait untuk melakukan penyuluhan kepada PMO tentang penyakit TB Paru, agar PMO dapat lebih mengenal tentang penyakit tersebut, sehingga dapat miningkatkan perannya dalam mengawasi langsung penderita TB Paru dalam meminum obat.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Mengkaji faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk menunjang keberhasilan program penanggulangan TB.


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Amin Z., Bahar A.2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.Edisi V.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm. 2230-2233.

ArikuntoS.2010.Prosedur Penelitian (Ed. Revisi 2010).Jakarta:Rineka Cipta.hlm. 173-174.

Burhan E.2010.Majalah Kedokteran Indonesia.Tuberculosis Multi Drug Resistance (TB-MDR).Volum.60.Nomor 12.hlm.535-536.

Chambers J.A.,Ronan E.C.,Hamilton B.,Whittake J., Johnston M., Sudlow, C.,et al.2010.Adheren to medication in stroke survivors: a Qualitive comparison of low and high adherence.

Debby, R., Suyanto, Restuastuti, A.2014.Peran Pengawas Menelan Minum Obat (PMO) Tuberkulosis dalam Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kelurahan Sidomulyo Barat Pekanbaru.Riau:Faklutas Kedokteran Riau.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2013. Pedoman Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2009.Pedoman Nasional Penganggulangan Tuberkulosis.Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Edisi 2.Cetakan tahun 2011.

Erawatyningsih E., Purwanta. subekti H. 2009. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Berita Kedokteran Maysrakat, Vol. 25, No. 3, September 2009.

Fauzi A.2008.Gambaran Harapan Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap Pengawas Minum Obat di Daerah Pedesaan Kabupaten Sleman Yogyakarta.(Skripsi).www.stikes_smart@ymail.com.


(66)

63

Gough, A., Kauffman, G.2011.Pulmonary Tuberculosis:clinical feature and patient management. Nursing standart.July 27:vol 25, no 47.hlm. 48-56. Hapsari R.2010.Hubungan Kinerja PMO dengan Keteraturan Berobat Pasien TB

Paru strategi DOTS di RSUD DR,Moewardi Surakarta.(Skripsi).Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 2012.Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014.hlm.12

KusnawatiU.2005.Peran PMO Keluarga Dalam Keberhasilan Pengobatan TBC DI BP4 Semarang.Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Dipenogoro.

Maulidia DF.2014.Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Tuberkulosis Di Wilayah Ciputat Tahun 2014.Skripsi.Jakarta:Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehetan Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta.

Notoatmodjo S.2012.Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta.hlm.37,111,115.

Notoatmodjo S.2010.Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan(Ed. Revoisi).Jakarta: Rineka Cipta.140-142.

PDPI.2006.Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Available URL: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb-html

Rasely MC.2011.Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Pengawas Minum Obat (PMO) Terhadap Keteraturan Minum Obat Antituberkulosis (OAT) Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tulang Bawang Barat.Skripsi.Lampung:Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Rohmana O., Suhartini, Suhendra A. 2014. Faktor-Faktor Pada PMO Yang

Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Kota Cirebon. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, Vol. 10, No. 1 Maret 2014.

Saragih R. 2010. Peranan Dukungan Keluarga dan Koping Pasien Dengan Penyakit Kanker Terhadap Pengobatan Kemoterapi di RB 1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2010. Universitas Darma Agung: Medan.

Suhartono.2010.Hubungan Antara Tingkat Pendidikan PMO, Jarak Rumah, Dan Penetahuan Pasien TB Paru Dengan Kepatuhan Berobat (di Puskesmas Kembang Janggut Kabupaten Kuati Kartanegara).UNS.


(67)

Tirtarahardja U.2005.Pengantar Pendidikan (Ed.Revisi 2005).Jakarta:Rineka Cipta.hlm.130-132

Sabri R, Erlinda V.2005. Penggunaan Modul Pada Pelatihan Dan Penyuluhan Pengawas Minum Obat (PMO) Untuk Mencegah Droop Out Pengobatan TBC Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir Padang.Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Smet B. 1997.Psikologi Kesehatan.Jakarta:PT Grasindo.hlm. 253-257

Widyaningsih N.Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Pengawasan Menelan Obat (PMO) Dalam Pengawasan Penderita Tuberkulosis Paru Di Kota Semarang.(Tesis).Universitas Dipenogoro Semarang.

Wihartini. 2009.Hubungan Antara Peran Pengawas Minum Obat Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru Di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan.Skripsi.Semarang:Universitas Muhammadiyah. World Health Organization. 2003. Adherence To Long-Term Therapies

(Evidence For Action). Tuberculosis. Hlm. 123

World Health Organization.2014.Global Tuberculosis Report 2014.TB case notification and treatment outcomes. Hlm.39


(1)

3.11Etika Penelitian

Penelitian ini telah diajukan kepada Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk mendapatkan surat keterangan lolos kaji etik sehingga penelitian dapat dilakukan.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO terhadap keteraturan minum OAT pada penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015 maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebanyak 75% PMO yang memiliki pendidikan rendah dan 25% PMO yang memiliki pendidikan yang tinggi.Sedangkan pengetahuan PMO didapatkan sebanyak 58,3% yang memiliki pengetahuan yang kurang baik, 27,1% PMO yang memiliki pengetahuan yang cukup dan 14,6% PMO yang memiliki pengetahuan yang baik. Kepatuhan penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015 lebih banyak yang memiliki kepatuhan yang kurang baik, yaitu sebanyak 58,3%, kepatuhan yang sedang adalah sebanyak 27,1% dan kepatuhan yang tinggi adalah sebanyak 14,6%.

2. Terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan (p=0,006)dan pengetahuan PMO (p=0,003) terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.


(3)

obat, agar kepatuhan penderita TB Paru lebih baik sehinggan penderita dapat sembuh sesuai dengan masa pengobatan yang dijalani.

2. Bagi Instansi

a.Puskesmas Rawat Inap Panjang, diharapkan petugas kesehatan memberikan penjelasan yang lebih jelas lagi dan menarik untuk PMO tentang penyakit TB Paru, agar PMO lebih memiliki pengetahuan untuk meningkatkan kepatuhan penderita TB Paru dalam minum obat dikarenakan peminuman obat jangka panjang yang harus dijalani oleh penderita.

b. Perguruan tinggi, khususnya Fakultas Kedokteranm diharapkan dapat bekerjasama dengan pihak terkait untuk melakukan penyuluhan kepada PMO tentang penyakit TB Paru, agar PMO dapat lebih mengenal tentang penyakit tersebut, sehingga dapat miningkatkan perannya dalam mengawasi langsung penderita TB Paru dalam meminum obat.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Mengkaji faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk menunjang keberhasilan program penanggulangan TB.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Amin Z., Bahar A.2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.Edisi V.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm. 2230-2233.

ArikuntoS.2010.Prosedur Penelitian (Ed. Revisi 2010).Jakarta:Rineka Cipta.hlm. 173-174.

Burhan E.2010.Majalah Kedokteran Indonesia.Tuberculosis Multi Drug Resistance (TB-MDR).Volum.60.Nomor 12.hlm.535-536.

Chambers J.A.,Ronan E.C.,Hamilton B.,Whittake J., Johnston M., Sudlow, C.,et al.2010.Adheren to medication in stroke survivors: a Qualitive comparison of low and high adherence.

Debby, R., Suyanto, Restuastuti, A.2014.Peran Pengawas Menelan Minum Obat (PMO) Tuberkulosis dalam Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat Pada

Pasien Tuberkulosis Paru di Kelurahan Sidomulyo Barat

Pekanbaru.Riau:Faklutas Kedokteran Riau.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2013. Pedoman Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2009.Pedoman Nasional

Penganggulangan Tuberkulosis.Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.Edisi 2.Cetakan tahun 2011.

Erawatyningsih E., Purwanta. subekti H. 2009. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Berita Kedokteran Maysrakat, Vol. 25, No. 3, September 2009.

Fauzi A.2008.Gambaran Harapan Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap Pengawas Minum Obat di Daerah Pedesaan Kabupaten Sleman Yogyakarta.(Skripsi).www.stikes_smart@ymail.com.


(5)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 2012.Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014.hlm.12

KusnawatiU.2005.Peran PMO Keluarga Dalam Keberhasilan Pengobatan TBC

DI BP4 Semarang.Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas

Dipenogoro.

Maulidia DF.2014.Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Tuberkulosis Di Wilayah Ciputat Tahun 2014.Skripsi.Jakarta:Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehetan Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta.

Notoatmodjo S.2012.Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta.hlm.37,111,115.

Notoatmodjo S.2010.Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan(Ed. Revoisi).Jakarta: Rineka Cipta.140-142.

PDPI.2006.Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Available URL: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb-html

Rasely MC.2011.Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Pengawas Minum Obat (PMO) Terhadap Keteraturan Minum Obat Antituberkulosis (OAT) Pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tulang Bawang

Barat.Skripsi.Lampung:Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Rohmana O., Suhartini, Suhendra A. 2014. Faktor-Faktor Pada PMO Yang

Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Kota Cirebon. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, Vol. 10, No. 1 Maret 2014.

Saragih R. 2010. Peranan Dukungan Keluarga dan Koping Pasien Dengan Penyakit Kanker Terhadap Pengobatan Kemoterapi di RB 1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2010. Universitas Darma Agung: Medan.

Suhartono.2010.Hubungan Antara Tingkat Pendidikan PMO, Jarak Rumah, Dan Penetahuan Pasien TB Paru Dengan Kepatuhan Berobat (di Puskesmas Kembang Janggut Kabupaten Kuati Kartanegara).UNS.


(6)

Tirtarahardja U.2005.Pengantar Pendidikan (Ed.Revisi 2005).Jakarta:Rineka Cipta.hlm.130-132

Sabri R, Erlinda V.2005. Penggunaan Modul Pada Pelatihan Dan Penyuluhan Pengawas Minum Obat (PMO) Untuk Mencegah Droop Out Pengobatan TBC Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir Padang.Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Smet B. 1997.Psikologi Kesehatan.Jakarta:PT Grasindo.hlm. 253-257

Widyaningsih N.Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Pengawasan Menelan Obat (PMO) Dalam Pengawasan Penderita Tuberkulosis Paru Di Kota Semarang.(Tesis).Universitas Dipenogoro Semarang.

Wihartini. 2009.Hubungan Antara Peran Pengawas Minum Obat Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru Di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan.Skripsi.Semarang:Universitas Muhammadiyah. World Health Organization. 2003. Adherence To Long-Term Therapies

(Evidence For Action). Tuberculosis. Hlm. 123

World Health Organization.2014.Global Tuberculosis Report 2014.TB case notification and treatment outcomes. Hlm.39


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN KINERJA PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA KUSTA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGKANDANG KOTA MALANG

10 128 26

HUBUNGAN PERAN KELUARGA SEBAGAI PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MENELAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS MULYOREJO MALANG

0 32 24

Faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti Tuberkulosis pada pasien Tuberkulosis Paru di Puskemas Pamulang Tangerang Selatan Provinsi Banten periode Januari 2012 – Januari 2013

5 51 83

Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014

4 15 121

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KETERATURAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

3 16 52

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTITUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RS PARU SIDAWANGI, CIREBON, JAWA BARAT

11 58 88

Hubungan antara Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kayen Kabupaten Pati.

0 0 1

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TUBERKULOSIS DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DI PUSKESMAS

0 0 5

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PENDERITA TB PARU DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS LIDAH KULON SURABAYA

2 1 127

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IMOGIRI 1 NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERK

0 1 20