Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Jalan Di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

(1)

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS PARU RAWAT JALAN

DI RSUD SIDIKALANG KABUPATEN DAIRI

T E S I S

Oleh

TISNA GLORY NAZAR NAINGGOLAN 097032166 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF THERAPEUTIC COMMUNICATION ON THE TREATMENT COMPLIANCE OF OUTPATIENT

LUNG TUBERCULOSIS PATIENTS IN SIDIKALANG GENERAL HOSPITAL DAIRI DISTRICT

T H E S I S

By

TISNA GLORY NAZAR NAINGGOLAN 097032166 / IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM F A C U L T Y O F P U B L I C H E A L T H

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS PARU RAWAT JALAN

DI RSUD SIDIKALANG KABUPATEN DAIRI

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

TISNA GLORY NAZAR NAINGGOLAN 097032166/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS PARU RAWAT JALAN DI RSUD SIDIKALANG KABUPATEN DAIRI

Nama Mahasiswa : Tisna Glory Nazar Nainggolan Nomor Induk Mahasiswa : 097032166

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing:

(Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP (K))

Ketua Anggota

(Siti Zahara Nasution, S.Kp, M.Ns)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada tanggal: 17 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP (K) Anggota : 1. Siti Zahara Nasution, S.Kp, M.Ns

2. Drs. Amir Purba, M.S, Ph.D 3. drh. Rasmaliah, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS PARU RAWAT JALAN

DI RSUD SIDIKALANG KABUPATEN DAIRI

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

(Tisna Glory Nazar Nainggolan)


(7)

ABSTRAK

Tuberkulosis masih menjadi tantangan dalam masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan data RSUD Sidikalang tahun 2010 bahwa jumlah penderita tuberkulosis paru yang mendapat pengobatan di klinik DOTS sebanyak 71 orang, dengan tingkat kepatuhan berobat hanya sebesar 38,3%. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru masih rendah dibandingkan dengan target keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru yaitu 85%.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi. Penelitian ini menggunakan explanatory survey yang dilaksanakan pada bulan April-Desember 2011. Populasi penelitian adalah semua penderita tuberkulosis paru dan besar sampel adalah 53 orang, yang diambil secara simple random sampling. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner, kemudian dianalisis dengan uji regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi terhadap kepatuhan berobat. Variabel yang mempunyai kontribusi paling besar terhadap kepatuhan berobat adalah isi informasi.

Kepada perawat agar lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berkomunikasi agar dapat memberikan pelayanan informasi yang bermanfaat bagi pasien dalam mendukung kesembuhan dan memelihara kesehatan pasien, khususnya pasien dengan tuberkulosis paru. Manajemen RSUD Sidikalang hendaknya menerapkan strategi DOTS dalam penanggulangan penyakit TB paru, dan melaksanakan program promosi kesehatan masyarakat di rumah sakit.


(8)

ABSTRACT

Tuberculosis is still a challenge in public health problem in Indonesia. Based on the data from Sidikalang General Hospital (2010), that the number of patients with lung tuberculosis who received treatment at DOTS clinics were 71 patients, with the treatment compliance was only 38,3%. Based on the data, it could seen that the treatment compliance of lung tuberculosis patients were still low, compare to the lung tuberculosis success rate target, as 85%.

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of therapeutic communication (nurse’s attitude, information content, and communication techniques) on the treatment compliance of the outpatient lung tuberculosis patients in Sidikalang General Hospital Dairi District. The study was conducted on April until Desember 2011. The population was all patients with lung tuberculosis and the sample size were 53 people, taken with simple random sampling. The data were obtained through questionnaire, then analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of the research showed that there were significant influence of nurse’s attitude, information content, and communication techniques on the treatment compliance.The most contributed variable of the treatment compliance was the information content.

It is recommended that the nurses to improve knowlege and communication skills to provide useful information services for patients in support of healing and health maintenance of patients, especially in patients wih lung tuberculosis. Sidikalang General Hospital Management to apply DOTS strategy in tackling lung tuberculosis disease, and conduct public health promoton program in hospital.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “ Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi ”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc.(CTM)., Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP(K) selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan dan dukungan selama proses penulisan tesis ini.

5. Siti Zahara Nasution, S.Kp., M.Ns selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan, motivasi dan semangat selama proses penulisan tesis ini.

6. Drs. Amir Purba, M.S, Ph.D dan drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Penguji tesis yang telah banyak memberikan masukan dan arahan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. Suamiku tercinta dan tersayang Rinal H.M. Sitindaon, S.H serta buah hatiku Ameera Christabelle M.S, Ayahanda dan Ibunda tercinta Krisman Nainggolan dan Enny Sitanggang, serta adik-adikku tersayang (Andy, Hardy, Cardo), yang penuh pengertian, kesabaran, motivasi, semangat dan doa dalam memberikan dukungan moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

8. dr. Lomo Daniel P. Sianturi selaku Direktur RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi dan seluruh staf yang telah mendukung penulis dalam proses pendidikan ini.

9. Para Dosen dan Staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(11)

10. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2009, khususnya Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku atas dukungan dan kebersamaan yang diberikan selama ini.

11. Rekan-rekan sekerja di Bidang Keperawatan RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi atas pengertian, dukungan dan doanya selama proses pendidikan ini. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

Hanya Tuhan Yang Maha Esa yang dapat memberikan balasan atas kebaikan yang telah diperbuat. Penulis menyadari atas segala keterbatasan tesis ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya.

Medan, Januari 2012 Penulis

Tisna Glory Nazar Nainggolan


(12)

RIWAYAT HIDUP

Tisna Glory Nazar Nainggolan lahir di Pangururan Kabupaten Samosir pada tanggal 13 Juli 1981, merupakan anak pertama dari 4 bersaudara dari pasangan Ayahanda Krisman Nainggolan dan Ibunda Enny Sitanggang, saat ini bertempat tinggal di Jalan Pemuda No.26 A Sidikalang, Kabupaten Dairi.

Menamatkan pendidikan formal dimulai dari Pendidikan Sekolah Dasar Negeri No. 030280 Sidikalang tahun 1993, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Sidikalang tahun 1996, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sidikalang tahun 1999, Program Studi DIII Keperawatan Universitas Sumatera Utara tahun 2002, Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Gadjah Mada tahun 2004, Program Profesi Ners Universitas Gadjah Mada tahun 2005. Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjut S2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menikah dengan Rinal H.M. Sitindaon, S.H dan saat ini telah dikaruniai 1 orang putri yang bernama Ameera Christabelle M.S.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhitung mulai tanggal 01 April 2006 di RSUD Sidikalang, sebagai Kepala Ruang Kamar Bedah (OK) pada tahun 2006 sampai tahun 2008, sebagai Kepala Instalasi Rawat Inap pada tahun 2008 sampai saat ini.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI …... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Permasalahan ……… 10

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 10

1.4 Hipotesis ……….. 10

1.5 Manfaat Penelitian ……… 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Komunikasi ….……….. 12

2.1.1 Pengertian Komunikasi ………. 12

2.1.2 Komponen Komunikasi ……… 14

2.1.3 Bentuk Komunikasi ………... 15

2.1.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Komunikasi … 17 2.2 Komunikasi Terapeutik ………..………. 18

2.2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik ……. ……….. 18

2.2.2 Fungsi Komunikasi Terapeutik ……….. 19

2.2.3 Tujuan Komunikasi Terapeutik ………. 19

2.2.4 Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Perawat dalam Komunikasi Terapeutik ………..…... 21

2.2.5 Prinsip-Prinsip Komunikasi Terapeutik ………… 27

2.2.6 Tahapan Hubungan Terapeutik Perawat dan Klien .. 28

2.3 Kepatuhan ………. 30

2.3.1 Pengertian Kepatuhan ….………..……...……. 30

2.3.2 Proses Perubahan Sikap dan Perilaku ……... 31

2.3.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Berobat ... 34


(14)

2.4 Tuberkulosis Paru ………... 39

2.4.1 Pengertian dan Penyebab TB Paru ………. 39

2.4.2 Gejala Penyakit TB Paru …….……… 40

2.4.3 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Paru …... 41

2.4.4 Cara Penularan TB Paru ………..… 44

2.4.5 Pengobatan TB Paru …....……… 45

2.4.6 Strategi DOTS ....….……… 49

2.4.7 Pencegahan Penularan TB Paru ………....….. 50

2.4. Penyuluhan TB Paru ………...… 51

2.5 Landasan Teori ………..……... 53

2.6 Kerangka Konsep Penelitian ………..……….... 55

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 56

3.1 Jenis Penelitian ………..… 56

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………...…… 56

3.2.1 Lokasi Penelitian ……….………... 56

3.2.2 Waktu Penelitian ………..……. 56

3.3 Populasi dan Sampel ………. 57

3.3.1 Populasi ……….…….………... 57

3.3.2 Sampel ……….. 57

3.4 Metode Pengumpulan Data ………...……... 58

3.4.1 Data Primer ………...……… 58

3.4.2 Data Sekunder ………....…………... 58

3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas ……… 58

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ……….... 59

3.5.1 Variabel Penelitian ……… 59

3.5.2 Definisi Operasional …….……….… 60

3.6 Metode Pengukuran ……….………..… 61

3.6.1 Variabel Bebas ………..………. 61

3.6.2 Variabel Terikat …….……….... 63

3.7 Metode Analisis Data …….………... 63

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 65

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 65

4.2 Karakteristik Responden ... 77

4.3 Analisis Univariat ... 81

4.3.1 Variabel Independen ... 81

4.3.2 Variabel Dependen ... 88

4.4 Analisis Bivariat ... 91

4.4.1 Hubungan Sikap Perawat dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru ... 91


(15)

4.4.2 Hubungan Isi Informasi dengan Kepatuhan Berobat

Penderita TB Paru ... 92

4.4.3 Hubungan Teknik Komunikasi dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru ... 93

4.5 Analisis Multivariat ... 93

BAB 5. PEMBAHASAN ... 96

5.1 Karakteristik Responden ... 96

5.2 Tingkat Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru ... 103

5.3 Pengaruh Sikap Perawat terhadap Kepatuhan Berobat .... 106

5.4 Pengaruh Isi Informasi terhadap Kepatuhan Berobat ... 108

5.5 Pengaruh Teknik Komunikasi terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru ... 112

5.6 Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap Kepatuhan 116

Berobat Penderita TB Paru ... 5.7 Keterbatasan Penelitian ... 122

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 123

6.1 Kesimpulan ... 123

6.2 Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Kategori – 1 ………. 45

2.2 Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Kategori – 2 ………. 46

2.3 Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Kategori – 3 ………. 47

2.4 Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Sisipan (S) ……… 48

4.1 Jumlah Ketenagaan RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Berdasarkan Jenis Pendidikan Tahun 2011 ... 73

4.2 Gambaran Sepuluh Penyakit Terbesar Rawat Jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2010 ... 74

4.3 Gambaran Sepuluh Penyakit Terbesar Rawat Inap di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2010 ... 75

4.4 Gambaran Sepuluh Penyakit Penyebab Kematian Terbesar di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2010 ... 76

4.5 Gambaran Jumlah Kunjungan Pasien TB Paru di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi ... 76

4.6 Distribusi Karakteristik Responden di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 77

4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Perawat terhadap Penderita TB Paru di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 82

4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Sikap Perawat terhadap Penderita TB Paru di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 83

4.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Isi Informasi yang disampaikan kepada Penderita TB Paru di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 84


(17)

4.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Isi Informasi yang disampaikan kepada Penderita TB Paru di RSUD Sidikalang

Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 86 4.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Teknik

Komunikasi Perawat terhadap Penderita TB Paru di RSUD

Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 86 4.12 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Teknik

Komunikasi Perawat terhadap Penderita TB Paru di RSUD

Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 88 4.13 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Kepatuhan

Berobat Penderita TB Paru di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

Tahun 2011 ... 89 4.14 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Kepatuhan

Berobat Penderita TB Paru di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

Tahun 2011 ... 90 4.15 Hubungan Sikap Perawat dengan Kepatuhan Berobat Penderita

TB Paru di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 91 4.16 Hubungan Isi Informasi dengan Kepatuhan Berobat Penderita

TB Paru di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 92 4.17 Hubungan Teknik Komunikasi dengan Kepatuhan Berobat Penderita

TB Paru di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 93 4.18 Hasil Uji Regresi Logistik Pengaruh Komunikasi Terapeutik

terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Rawat Jalan


(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Kerangka Teori Proses Perubahan Perilaku yang Diadopsi

dari Teori Stimulus-Organisme-Respon (SOR) oleh Skinner ... 55 2.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 55


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 130

2. Kuesioner Penelitian ... 131

3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 137

4. Hasil Univariat Data Demografi ... 144

5. Hasil Univariat Variabel Independen dan Dependen ... 147

6. Hasil Bivariat dengan Uji Chi-Square ... 157

7. Hasil Analisis Multivariat dengan Uji Regresi Logistik ... 160

8. Master Data Penelitian ... 162


(20)

ABSTRAK

Tuberkulosis masih menjadi tantangan dalam masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan data RSUD Sidikalang tahun 2010 bahwa jumlah penderita tuberkulosis paru yang mendapat pengobatan di klinik DOTS sebanyak 71 orang, dengan tingkat kepatuhan berobat hanya sebesar 38,3%. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru masih rendah dibandingkan dengan target keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru yaitu 85%.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi. Penelitian ini menggunakan explanatory survey yang dilaksanakan pada bulan April-Desember 2011. Populasi penelitian adalah semua penderita tuberkulosis paru dan besar sampel adalah 53 orang, yang diambil secara simple random sampling. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner, kemudian dianalisis dengan uji regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi terhadap kepatuhan berobat. Variabel yang mempunyai kontribusi paling besar terhadap kepatuhan berobat adalah isi informasi.

Kepada perawat agar lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berkomunikasi agar dapat memberikan pelayanan informasi yang bermanfaat bagi pasien dalam mendukung kesembuhan dan memelihara kesehatan pasien, khususnya pasien dengan tuberkulosis paru. Manajemen RSUD Sidikalang hendaknya menerapkan strategi DOTS dalam penanggulangan penyakit TB paru, dan melaksanakan program promosi kesehatan masyarakat di rumah sakit.


(21)

ABSTRACT

Tuberculosis is still a challenge in public health problem in Indonesia. Based on the data from Sidikalang General Hospital (2010), that the number of patients with lung tuberculosis who received treatment at DOTS clinics were 71 patients, with the treatment compliance was only 38,3%. Based on the data, it could seen that the treatment compliance of lung tuberculosis patients were still low, compare to the lung tuberculosis success rate target, as 85%.

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of therapeutic communication (nurse’s attitude, information content, and communication techniques) on the treatment compliance of the outpatient lung tuberculosis patients in Sidikalang General Hospital Dairi District. The study was conducted on April until Desember 2011. The population was all patients with lung tuberculosis and the sample size were 53 people, taken with simple random sampling. The data were obtained through questionnaire, then analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of the research showed that there were significant influence of nurse’s attitude, information content, and communication techniques on the treatment compliance.The most contributed variable of the treatment compliance was the information content.

It is recommended that the nurses to improve knowlege and communication skills to provide useful information services for patients in support of healing and health maintenance of patients, especially in patients wih lung tuberculosis. Sidikalang General Hospital Management to apply DOTS strategy in tackling lung tuberculosis disease, and conduct public health promoton program in hospital.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) adal Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) menyatakan TB sebagai suatu problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency) karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit TB paru tidak terkendali, ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, serta sebagai penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh penyakit infeksi (Depkes RI, 2002).

Pada tahun 2006, terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB secara global. Diperkirakan 1,7 juta orang (25/100.000) meninggal karena TB. Menurut data WHO tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat ke-3 penyumbang kasus TB terbesar di dunia setelah India dan China. TB di Indonesia bahkan telah menjadi penyebab kematian ketiga, setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan lainnya. Jumlah kasus baru sekitar 539.000 setiap tahunnya dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun (Depkes RI, 2007).

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,


(23)

maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2009).

Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes RI, 2007).

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan terjadi penderita tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Sulianti, 2007).

Berdasarkan laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2010, proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB pada tahun 2000-2010 triwulan 1 terendah pada tahun 2002 sebesar 50% dan tertinggi pada tahun 2004 sebesar 65%. Pada tahun 2010 angka ini menunjukkan sebesar 61% (masih dibawah target yang


(24)

diharapkan yaitu 65%). Hal ini menunjukkan masih perlu memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia telah diakui keberhasilannya dalam pengendalian TB, hal ini dibuktikan dalam laporan Global Report Update tahun 2009 bahwa Indonesia berhasil menurunkan posisinya dari posisi 3 menjadi posisi ke 5 sebagai negara dengan jumlah pasien TB terbanyak di dunia. Selain itu dari data Global Report juga bisa dilihat keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kematian akibat TB dari 348/hari (Global Report GR, 2002), 300/hari (GR, 2007), 250/hari (GR, 2009), dan 169/hari (GR, 2010). Selain itu target cakupan penemuan kasus TB atau case detection rate sebesar 70% sudah tercapai karena Indonesia telah mencapai 77,3%, demikian pula target keberhasilan pengobatan atau success rate yang ditetapkan 85%, kita sudah mencapai 89,6%. Target Millenium Development Goals atau MDGs untuk pengendalian TB adalah prevalensi TB menurun menjadi 222 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB menurun sampai 46 per 100.000 di tahun 2015. Berdasarkan Global Report tahun 2010, prevalensi TB di Indonesia adalah 285 per 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian TB telah turun menjadi 27 per 100.000 penduduk. Artinya, target MDGs untuk angka prevalensi TB diharapkan akan tercapai pada 2015, sedangkan target angka kematian TB sudah tercapai (Kemenkes RI, 2011).


(25)

Namun demikian tentunya permasalahan dalam pengendalian TB masih sangat besar, dan Indonesia masih berkontribusi sebesar 5,8% dari kasus TB yang ada di dunia. Dengan masih adanya sekitar 430.000 pasien baru per tahun dan angka insiden 189/100.000 penduduk serta angka kematian akibat TB sebesar 61.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk, TB masih menjadi tantangan dalam masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kemenkes RI, 2011).

TB paru merupakan communicable disease, dimana kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan dokter dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada masyarakat luas. Diagnosa yang tepat, pemilihan obat serta pemberian obat yang benar dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya (Asti, 2006).

Riskesdas tahun 2010 melaporkan bahwa cakupan OAT nasional adalah sebesar 83,2%. Dari 94,6% penderita yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan mengambil OAT, terdapat 21,9 % penderita yang tidak patuh, 59,0% mendapat obat selesai > 6 bulan, 19,3% tidak lengkap < 5 bulan, dan 2,6% tidak berobat.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi tahun 2010, Kabupaten Dairi memiliki angka suspect TB paru sebanyak 1.409 kasus dengan jumlah penderita TB paru sebanyak 162 orang, dan angka kesembuhan 60,8%. Pada tahun 2009 ditemui 158 penderita TB paru dari 1.335 suspect, dengan angka kesembuhan 58,6%. Pada tahun 2008 ditemui 133 penderita TB paru dari 1.185 suspect, dengan angka kesembuhan 56%.


(26)

Data pada Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi tahun 2010 juga menunjukkan bahwa terdapat 19,75% dari penderita TB paru yang diobati di seluruh Puskesmas di Kabupaten Dairi tidak melanjutkan pengobatan sampai selesai (tidak patuh berobat).

Sementara itu berdasarkan data Bidang Pelayanan Medik RSUD Sidikalang tahun 2010, TB paru merupakan jenis penyakit yang berada pada peringkat pertama dari 10 jenis penyakit terbesar yang ditemukan di poliklinik RSUD Sidikalang. Jumlah kunjungan penderita TB paru di klinik penyakit dalam RSUD Sidikalang pada tahun 2010 adalah sebanyak 4.723 orang (19,75%), dengan jumlah penderita TB paru sebanyak 98 orang. Sementara jumlah penderita TB paru rawat jalan yang mendapat pengobatan di klinik DOTS RSUD Sidikalang tahun 2010 adalah sebanyak 71 orang. Selain itu, jumlah kunjungan pasien TB paru yang rawat inap sepanjang tahun 2010 sebanyak 1.404 orang (11,60%). Berdasarkan data ternyata penyakit TB paru merupakan penyebab nomor satu (1) kematian pasien rawat inap di RSUD Sidikalang setelah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yaitu sebesar 15,75%.

Tingkat kepatuhan berobat penderita TB paru rawat jalan di RSUD Sidikalang pada tahun 2007 sebesar 34,4% yang tidak patuh berobat, 35,8% pada tahun 2008, 35,6% pada tahun 2009, dan 38,3% pada tahun 2010.

Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Kebanyakan penderita tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat dan kebanyakan penderita merasa enak pada akhir fase intensif dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan (Simamora, 2004).


(27)

Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti melalui pengamatan dan wawancara terhadap 25 orang penderita TB paru yang berobat ke poli penyakit dalam RSUD Sidikalang, bahwa sebagian besar (>50%) penderita TB paru belum mengetahui faktor penyebab penyakitnya, upaya pencegahan dan prinsip pengobatan TB paru. Berdasarkan keterangan dari penderita TB paru, sebanyak 11 orang (44%) mengatakan tidak rutin berobat oleh karena malas untuk melakukan kontrol ke rumah sakit. Hal ini disebabkan karena jarak antara tempat tinggal dengan rumah sakit yang cukup jauh sehingga memerlukan biaya yang cukup besar untuk biaya transportasi. Selain alasan tersebut, penderita TB paru juga mengatakan bosan mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama, kurang merasakan efek kesembuhan, sehingga merasa pesimis dan ragu akan kesembuhan penyakitnya.

Hasil survei awal diperoleh juga data bahwa sebanyak 17 orang (68%) tidak pernah mendapat penjelasan dari petugas kesehatan tentang kondisi penyakitnya. Beberapa penderita pernah menanyakan kondisi kesehatannya kepada petugas kesehatan, tetapi jawaban dari petugas kesehatan dianggap kurang memuaskan, dan cenderung kurang menanggapi keluhan penderita.


(28)

Hasil penelitian Erawatyningsih (2009) bahwa keteraturan/kepatuhan berobat penderita TB paru ditentukan oleh perhatian tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan, penjelasan kepada penderita, kalau perlu mengunjungi ke rumah serta tersedianya obat paket TB paru. Petugas kesehatan perlu meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman dan memberikan motivasi bagi penderita agar penderita dan keluarga dapat memahami tentang penyakit TB paru, cara pencegahan dan akibat dari tidak teraturnya menjalankan pengobatan, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita untuk datang berobat. Petugas harus memberikan penjelasan secara rinci, berlaku simpatik dan ramah, serta empati.

Menurut Bart dalam Niven (2002), berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan petugas kesehatan, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan.

Salah satu strategi untuk meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara dokter maupun perawat dengan pasien. Kualitas interaksi antara petugas kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi petugas kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh tenaga kesehatan. Dengan komunikasi, seorang tenaga


(29)

kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi (Niven, 2002).

Menurut Murwani (2009) komunikasi menjadi penting karena: 1) dapat merupakan sarana terbina hubungan yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan, 2) dapat melihat perubahan perilaku yang terjadi pada individu atau pasien, 3) dapat sebagai kunci keberhasilan tindakan kesehatan yang telah dilakukan, 4) dapat sebagai tolak ukur kepuasan pasien, dan 5) dapat sebagai tolak ukur komplain (keluhan) tindakan dan rehabilitasi.

Pasien cenderung menunjukkan kepuasan lebih besar pada tenaga kesehatan yang memberikan mereka kesempatan berbicara, memberikan waktu untuk mendengarkan, memberikan penjelasan tentang penyakit dan pengobatan yang harus dilakukan, serta menunjukkan kepedulian, dibandingkan tenaga kesehatan yang berlaku sebaliknya. Semakin besar kepuasan yang dirasakan oleh pasien cenderung dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang berlangsung rutin dengan tenaga kesehatan tersebut. Kepuasan pasien juga ditunjukkan pada kepatuhannya terhadap anjuran dan saran dari tenaga kesehatan (Alven, 2008).

Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak berhubungan dengan pasien karena itu mereka mempunyai beban dan tanggung jawab yang berat. Terutama di rumah sakit, tenaga perawat merupakan tenaga yang paling banyak kontak dan berinteraksi dengan pasien, sehingga pasien cenderung menilai dan


(30)

mengamati apa yang mereka lakukan. Aspek yang sering dinilai pasien adalah perilaku perawat. Perilaku yang diharapkan adalah perilaku asertif yaitu kegiatan perawat atas sesuatu yang berkaitan dengannya dalam memberikan pelayanan, diwujudkan dalam bentuk gerak dan ucapan secara asertif (Morrison, 2009). Dalam dunia keperawatan, komunikasi perawat yang diarahkan pada pencapaian tujuan untuk menyembuhkan pasien dikenal dengan komunikasi terapeutik (Purwanto, 1994).

Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa komunikasi terapeutik perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2002) bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan berobat penderita Diabetes Melitus. Kemudian penelitian yang dilakukan Kristina (2004) tentang pengaruh komunikasi terhadap perilaku kepatuhan berobat penderita pulpitis di poli gigi Puskesmas Pucang Sewu Kota Surabaya dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat pada penderita pulpitis.

Bertitik tolak dari masalah tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi.


(31)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: “bagaimana pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2011”.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2011.

1.4. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2011.

1.5. Manfaat Penelitian 1. Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang promosi kesehatan yang berkaitan dengan komunikasi terapeutik dan pengaruhnya terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru.


(32)

2. Perawat

Sebagai bahan pembelajaran dan sumber informasi yang dapat membantu perawat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang berhubungan dengan penanganan penyakit TB paru melalui penerapan komunikasi terapeutik terhadap penderita TB paru.

3. Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi RSUD Sidikalang bahwa pentingnya komunikasi terapeutik yang berdampak pada kepatuhan penderita TB paru dalam menjalankan program pengobatan, sehingga dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan dari ketidakpatuhan berobat yaitu angka kesembuhan rendah, angka kematian tinggi, angka kekambuhan tinggi, terjadinya penularan dan terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).


(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi

2.1.1. Pengertian Komunikasi

Robbin dan Jones (1982) yang dikutip Suryani (2006), mendefinisikan bahwa komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama manusia melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain serta mengubah sikap dan tingkah laku tersebut.

Disamping itu seperti yang dikutip oleh Suryani (2006), Duldt-Battey (2004) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses penyesuaian dan adaptasi yang dinamis antara dua orang atau lebih dalam sebuah interaksi tatap muka yang pada saat tersebut terjadi pertukaran ide, makna, perasaan dan perhatian.

Definisi yang lain, mengemukakan bahwa komunikasi merupakan suatu pertukaran pikiran, perasaan, pendapat, dan pemberian nasehat yang terjadi antara dua orang atau lebih yang bekerjasama. Nursalam (2007) menyatakan komunikasi juga merupakan suatu seni untuk dapat menyusun dan menghantarkan suatu pesan dengan cara yang mudah sehingga orang lain dapat mengerti dan menerima maksud dan tujuan pemberi pesan. Sedangkan Edward Depari dikutip oleh Widjaja (2000), mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan


(34)

pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan.

Sementara Mangunjaya (2001) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses interaksi dari satu individu dengan individu lainnya. Melalui proses tersebut individu yang satu dapat memengaruhi individu lainnya, serta dapat diperoleh suatu pemahaman bersama. Sebagai suatu proses interaksi, maka komunikasi sebaiknya dilakukan dua arah, serta timbal balik.

Jadi kalau disimpulkan, komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan pertukaran ide, perasaan dan pikiran antara dua orang atau lebih sehingga terjadi perubahan sikap dan tingkah laku bagi semua yang saling berkomunikasi.

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi individu dalam melakukan interaksi. Kadangkala individu merasakan komunikasi menjadi tidak efektif karena kesalahan dalam menafsirkan pesan yang diterimanya. Hal ini disebabkan karena setiap manusia mempunyai keterbatasan dalam menelaah komunikasi yang disampaikan. Kesalahan dalam menafsirkan pesan bisa disebabkan karena persepsi yang berbeda-beda (Graef, 1996).

Hal ini juga sering terjadi pada institusi pelayanan kesehatan, misalnya pasien sering komplain karena tenaga kesehatan tidak mengerti maksud pesan yang disampaikan pasien, sehingga pasien tersebut menjadi marah dan tidak datang lagi mengunjungi pelayanan kesehatan tersebut. Jika kesalahan penerimaan pesan terus menerus berlanjut dapat berakibat pada ketidakpuasan baik dari pasien maupun tenaga kesehatan (Graef, 1996).


(35)

2.1.2. Komponen Komunikasi

Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut Lasweel yang dikutip oleh Dalami (2009) ada beberapa komponen yang terlibat dalam proses komunikasi yaitu:

1. Komunikator: individu yang bertugas mengirimkan pesan. Dalam prosesnya pengiriman berita menggunakan gagasan yang diwujudkan dalam lambang yang berbentuk kata-kata yang kemudian disampaikan dengan menggunakan media yang berbentuk ucapan, gerak tangan, atau telepon.

2. Komunikan: pihak lain yang diajak berkomunikasi yang merupakan sasaran dalam kegiatan komunikasi atau orang yang menerima berita/lambang.

3. Pesan: informasi yang diterima, bisa berupa kata, ide atau perasaan. Pesan akan efektif bila jelas dan terorganisasi yang diekspresikan oleh si pengirim pesan.

4. Media/saluran komunikasi: saluran penyampaian pesan. Media komunikasi dapat dikategorikan dalam dua bagian yaitu: 1) media umum, ialah media yang dapat digunakan oleh segala bentuk komunikasi, contohnya adalah radio, OHP, dan sebagainya; 2) media massa, ialah media yang digunakan untuk komunikasi massal, misalnya pers, radio, film, dan televisi.

5. Umpan balik: penerima pesan memberikan informasi/pesan kembali kepada pengirim pesan dalam bentuk komunikasi yang efektif. Umpan balik merupakan proses yang kontinu karena memberikan respons pesan dan mengirimkan pesan berupa stimulus yang baru kepada pengirim pesan.


(36)

Jenis umpan balik berdasarkan sikap komunikan terdiri dari:

a. Zero umpan balik. Tidak ada kejelasan umpan balik dari komunikan, komunikan bersifat pasif atau dingin, yang disebabkan pesan kurang jelas, lambang bahasa tidak dipahami, waktu/tempat tidak tepat sehingga komunikasi yang terjadi tidak bermakna.

b. Umpan balik positif. Umpan balik dapat dimengerti oleh komunikan. c. Umpan balik netral. Tanggapan yang diperoleh dari komunikan tidak

mempunyai relevansi dengan pesan yang disampaikan.

d. Umpan balik negatif. Tidak mendukung komunikator. Komunikasi mungkin saja tidak memiliki tujuan dan bersifat kritik.

2.1.3. Bentuk Komunikasi

Bentuk komunikasi menurut Effendi (2002) yang dikutip Suryani (2006) dibagi empat yakni komunikasi personal, komunikasi kelompok, komunikasi massa dan komunikasi medio.

1) Komunikasi personal

Komunikasi personal ada yang bersifat intrapersonal dan interpersonal. Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang dilakukan pada diri sendiri, yakni berupa sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Sebagai contoh ketika orang tersebut sedang merenung, melamun tentang dirinya, introspeksi diri, dan lain-lain. Komunikasi intrapersonal dapat berguna untuk meningkatkan kesadaran diri pada suatu penilaian yang objektif.


(37)

Proses komunikasi interpersonal adalah suatu proses dua arah, lingkaran interaktif dimana pihak-pihak yang berkomunikasi saling bertukar pesan. Kedua pihak menjadi pengirim maupun penerima pesan. Dalam proses ini si penerima menafsirkan pesan pengirim sebelumnya dan memberi tanggapan dengan pesan yang baru. Dengan kata lain komunikasi interpersonal adalah tatap muka penyampaian informasi dan saling pengertian antara dua orang atau lebih. Pesan-pesan yang disampaikan dapat secara verbal maupun non verbal.

2) Komunikasi kelompok

Komunikasi kelompok bisa berupa komunikasi kelompok kecil, bisa juga kelompok besar. Contoh kelompok kecil adalah komunikasi dosen dan mahasiswa dalam ruang kuliah, ceramah, diskusi kelompok, simposium, dan sebagainya. Komunikasi kelompok besar, misalnya dalam suatu kampanye kesehatan dengan pendengar yang banyak seperti halnya di tanah lapang atau gedung besar.

3) Komunikasi massa

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan media, seperti koran, radio, televisi, dan lain-lain.

4) Komunikasi medio

Komunikasi medio (medio communication) adalah suatu komunikasi yang menggunakan peralatan seperti telepon, internet, selebaran, brosur, spanduk dan sebagainya.


(38)

2.1.4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Komunikasi

Dalam melakukan proses komunikasi terdapat faktor yang memengaruhi isi pesan dan sikap penyampaian pesan. Menurut Potter & Perry (1993) dalam Murwani (2009), faktor yang memengaruhi komunikasi yaitu:

1) Perkembangan

Dalam berkomunikasi isi dan sikap menyampaikan pesan harus disesuaikan dengan yang diajak bicara seperti anak-anak, remaja, dewasa atau usia lanjut. 2) Persepsi

Persepsi adalah pandangan personal terhadap suatu kejadian. Persepsi dibentuk oleh harapan dan pengalaman. Kadangkala persepsi merupakan suatu hambatan kita dalam berkomunikasi, karena yang kita persepsikan belum tentu sama dengan yang dipersepsikan oleh orang lain.

3) Nilai

Nilai adalah standar yang memengaruhi perilaku sehingga sangat penting bagi pemberi pelayanan kesehatan untuk menyadari nilai seseorang.

4) Latar belakang budaya

Gaya berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya inilah yang akan membatasi cara bertindak dan berkomunikasi.

5) Emosi

Emosi adalah perasaan subjektif tentang suatu peristiwa. Dalam berkomunikasi kita harus tahu emosi dari orang yang akan kita ajak


(39)

berkomunikasi, karena emosi ini dapat menyebabkan salah tafsir atau pesan tidak sampai.

6) Pengetahuan

Komunikasi akan sulit dilakukan jika orang yang kita ajak berkomunikasi memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Untuk itu kita harus bisa menempatkan diri sesuai dengan tingkat pengetahuan yang kita ajak bicara. 7) Peran

Gaya komunikasi harus disesuaikan dengan peran yang sedang kita lakukan. Misalnya ketika kita berperan membantu pasien akan berbeda ketika kita berperan atau berkomunikasi dengan tenaga kesehatan yang lain.

8) Lingkungan

Komunikasi akan lebih efektif jika dilakukan dalam lingkungan yang menunjang, kalau tempatnya bising, ruangan sempit, tidak leluasa untuk berkomunikasi dapat mengakibatkan ketegangan dan tidak nyaman.

2.2. Komunikasi Terapeutik

2.2.1. Pengertian Komunikasi Terapeutik

Komunikasi merupakan alat bagi perawat untuk mempengaruhi tingkah laku klien dan untuk mendapatkan keberhasilan dalam intervensi keperawatan (Stuart & Sundeen, 1995). Sedangkan terapeutik adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan (Murwani, 2009).

Komunikasi terapeutik adalah proses penyampaian pesan, makna dan pemahaman tenaga kesehatan untuk memfasilitasi proses penyembuhan pasien.


(40)

Mustikasari, 2006 dalam Murwani (2009), menyatakan bahwa komunikasi menjadi penting karena dapat menjadi sarana membina yang baik antara pasien dengan tenaga kesehatan, dapat melihat perubahan perilaku pasien, sebagai kunci keberhasilan tindakan, sebagai tolak ukur kepuasan pasien dan keluhan tindakan serta rehabilitasi.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan untuk penyembuhan pasien (Murwani, 2009).

2.2.2. Fungsi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi tidak hanya sekedar alat untuk berbicara dengan pasien, petugas kesehatan dan pasien adalah suatu hubungan terapeutik dimana hubungan yang mempunyai tujuan yaitu kesembuhan pasien. Maka dari itu komunikasi terapeutik mempunyai fungsi yaitu:

1. Mendorong kerja sama antara petugas kesehatan dengan pasien. 2. Menganjurkan kerja sama antara petugas kesehatan dengan pasien. 3. Mengatasi persoalan.

4. Mencegah adanya tindakan negatif terhadap pertahanan diri pasien. 2.2.3. Tujuan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik bertujuan untuk menciptakan hubungan yang baik antara perawat dengan klien guna mendorong klien agar mampu meredakan segala ketegangan emosinya dan memahami dirinya serta mendukung tindakan konstruktif terhadap kesehatannya dalam rangka mencapai kesembuhannya (Dalami, 2009).


(41)

Didalam upaya perawatan dan penyembuhan, hubungan erat antara perawat dan klien diperlukan agar tindakan yang dilakukan terhadap klien didasarkan atas kesepakatan bersama. Oleh karena itu, hubungan batin antara perawat dan klien perlu dikembangkan dengan baik. Pada hakekatnya komunikasi terapeutik mengutamakan hubungan batin.

Upaya yang dilakukan oleh perawat sebaiknya tidak hanya diakhiri oleh penyembuhan saja, akan tetapi diikuti rasa kepercayaan diantara kedua belah pihak atas tindakan pelayanan yang dilakukan. Oleh karena itu emosi perlu terkendali dan pemahaman atas masalah yang dihadapi dan upaya pemecahannya perlu dijaga.

Seorang perawat dapat menciptakan hubungan komunikasi yang baik dengan pasien bila memiliki kredibilitas, seperti pengetahuan/penguasaan, semangat kerja, kesopanan atau kebaikan perawat, ketulusan, ketrampilan dan cepat tanggap. Selain itu perawat sebaiknya melibatkan pasien dalam proses pengobatan yang dapat meningkatkan kepuasan pasien yang berobat ke tempat pelayanan kesehatan. Perawat yang memiliki pengetahuan luas akan lebih mudah dalam berkomunikasi dengan pasien. Sifat tulus dan semangat perawat dalam menghayati pasien juga dapat meringankan beban dan menimbulkan semangat hidup pasien. Komunikasi dapat menciptakan kepuasan diri pasien, karena melalui proses komunikasi perawat dapat mengetahui keluhan dan keinginan pasien (Murwani, 2009).


(42)

2.2.4. Hal-hal yang Harus diperhatikan Perawat dalam Komunikasi Terapeutik.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat dalam melakukan komunikasi terapeutik, antara lain sikap perawat dalam komunikasi, pesan (isi informasi) dan teknik komunikasi (Murwani, 2009).

1) Sikap perawat dalam komunikasi

Sikap menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik yaitu:

a. Berhadapan, arti posisi ini adalah “saya siap untuk Anda”.

b. Mempertahankan kontak mata, kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.

c. Membungkuk kearah klien, posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengarkan sesuatu.

d. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan berkomunikasi.

e. Tetap relaks, tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respons pada klien.

f. Berjabat tangan, menunjukkan perhatian dan memberikan kenyamanan pada pasien serta penghargaan atas keberadaannya.


(43)

2) Pesan (isi informasi)

Didalam komunikasi terapeutik pesan yang disampaikan dapat berupa: nasehat, bimbingan, dorongan, informasi perawatan, petunjuk dan sebagainya. Pesan dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau nonverbal (bahasa tubuh) yang mengikuti bentuk tulisan. Komunikasi tatap muka lebih efektif didalam komunikasi terapeutik bila dibandingkan dengan menggunakan media.

Pesan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Jelas dan ringkas

Komunikasi berlangsung efektif, sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan, makin kecil kemungkinan terjadi kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan bicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah dipahami. Ulangi bagian yang penting dari pesan yang disampaikan.

b. Perbendaharaan kata

Penggunaan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi tidak akan berhasil jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan oleh perawat, klien menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan istilah pesan yang dimengerti oleh klien.


(44)

c. Arti denotatif dan konotatif

Dalam berkomunikasi dengan klien dan keluarganya, perawat harus mampu memilih kata-kata yang tidak banyak disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien. Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata.

d. Intonasi

Suara perawat mampu mempengaruhi arti pesan. Nada suara pembicaraan mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan yang dikirimkan karena emosi seseorang dapat secara langsung mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari emosinya ketika sedang berinteraksi dengan klien karena maksud untuk menyampaikan rasa tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalang oleh intonasi nada suara perawat.

e. Kecepatan berbicara

Keberhasilan komunikasi dipengaruhi oleh kecepatan bicara dan tempo bicara yang tepat. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal


(45)

tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan ketidakmengertian. Perawat juga bisa menanyakan kepada klien apakah ia berbicara terlalu lambat atau cepat dan perlu untuk diulang.

3) Teknik komunikasi terapeutik

Komunikasi terapeutik dapat berjalan apabila seorang perawat mampu melakukan komunikasi dengan baik dan benar. Beberapa teknik yang dapat dilakukan oleh perawat supaya komunikasi berjalan dengan lancar, yaitu: a. Mendengarkan

Perawat berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan klien. Sikap yang harus dilakukan: pandang klien saat bicara, tidak menyilangkan kaki/tangan, hindari gerakan yang tidak perlu, anggukkan kepala, condongkan tubuh.

b. Menunjukkan penerimaan

Bersedia untuk mendengarkan orang lain. Sikap yang ditunjukkan: mendengarkan tanpa memutus pembicaraan, memberikan umpan balik, menghindari perdebatan, ekspresi keraguan.


(46)

c. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan

Menanyakan sesuatu kepada klien yang berhubungan dengan topik yang dibicarakan antara perawat dan klien. Tujuan adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik. Gunakan kata-kata yang sesuai dengan konteks budaya klien.

d. Mengulang ucapan klien dengan kata-kata sendiri

Memberikan umpan balik untuk mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dapat dilanjutkkan.

e. Klarifikasi

Perawat berusaha menjelaskan dalam kata-kata atau ide yang tidak jelas dikatakan klien.

f. Memfokuskan

Tujuan adalah membatasi bahan pembicaraan agar percakapan lebih spesifik dan dimengerti. Usahakan tidak memutus pembicaraan ketika klien menyampaikan masalah penting.

g. Menyatakan hasil observasi

Perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien. Membuat klien berkomunikasi lebih jelas.

h. Menawarkan informasi

Tujuan adalah memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan. Perawat memberikan tambahan informasi. Perawat tidak dibenarkan memberikan nasehat kepada klien saat memberikan informasi.


(47)

i. Diam

Memberi kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi pikirannya. Hal ini memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu. Klien dapat berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisasi pikiran dan memproses informasi. Bermanfaat saat klien harus mengambil keputusan.

j. Meringkas

Pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. Tujuannya adalah membantu mengingat topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pembicaraan berikutnya.

k. Memberikan penghargaan

Penghargaan jangan sampai menjadi beban untuk klien sehingga ingin dipuji. Contoh: ”Terima kasih sudah mau bekerjasama dengan perawat”.

l. Memberi kesempatan klien untuk memulai pembicaraan

Memberi kesempatan klien untuk memilih topik pembicaraan. Perawat dapat menstimuli untuk membuka pembicaraan.

m. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan

Memberi kesempatan klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan. Perawat lebih berusaha menafsirkan daripada mengarahkan pembicaraan.


(48)

2.2.5. Prinsip-Prinsip Komunikasi Terapeutik

Menurut Carl Rogers dalam Murwani (2009), terdapat beberapa prinsip yang harus diketahui oleh perawat dalam komunikasi terapeutik, yaitu:

1. Perawat harus mengenal dirinya sendiri.

Perawat harus mampu mengenal dirinya sendiri sebelum perawat tersebut mengenal kliennya.ini harus diciptakan sendiri oleh perawat sehingga klien akan percaya ketika perawat memberikan tindakan keperawatan.

2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, percaya, dan menghargai.

Perawat dan klien harus saling menghargai, perawat tidak boleh menganggap klien rendah, bodoh dan sebagainya. Bagaimanapun klien harus dihargai dan dimanusiakan sebagai klien yang terhormat.

3. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien.

Perawat harus bisa memahami bahwa klien mempunyai adat, nilai budaya yang berbeda-beda, sehingga perawat bisa memberikan tindakan keperawatan sesuai dengan adat dan nilai luhur yang dianut oleh pasien.

4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.

Klien yang dirawat di rumah sakit tidak hanya sakit secara fisik tetapi juga mental dan emosional. Perawat harus bisa memahami pemenuhan kebutuhan tersebut selagi kebutuhan fisiologis klien belum atau tidak terpenuhi.


(49)

5. Perawat harus menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi pasien. Klien yang dirawat di rumah sakit merasakan suasana asing, terlebih lagi bagi klien yang baru pertama kali merasakan dirawat di rumah sakit. Perawat diharapkan mampu menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi klien. 6. Kejujuran dan terbuka.

Siapapun individu menginginkan kejujuran, terlebih bagi klien yang dirawat di rumah sakit. Perawat sebelum melakukan tindakan keperawatan diharapkan selalu jujur untuk menyampaikan semua apa yang diberikan kepada klien. 7. Mampu sebagai role model

Perawat sebagai individu yang merawat klien diharapkan mampu sebagai contoh baik bagi klien individu, keluarga dan masyarakat.

8. Altruisme

Altruisme diartikan sebagai tanpa mengharapkan imbalan atau jasa dan pamrih. Perawat diharapkan dalam memberikan suatu tindakan apapun tidak mengharapkan apapun dari klien.

9. Bertanggung jawab

Setiap tindakan yang dilakukan oleh perawat harus bisa dipertanggungjawabkan baik lisan maupun tulisan (dokumentasi).

2.2.6. Tahapan Hubungan Terapeutik Perawat dan Klien

Hubungan terapeutik antara perawat dan klien adalah hubungan kerjasama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik (Stuart & Sundeen, 1995).


(50)

Proses hubungan perawat dan klien dapat dibagi dalam 4 fase yaitu fase pra interaksi; fase orientasi; fase kerja; dan fase terminasi (Stuart & Sundeen, 1995). 1. Fase pra interaksi

Pra interaksi mulai sebelum kontak pertama dengan klien. Perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini yakni sebelum perawat melakukan pemeriksaan, maka harus ada tahap: a) tahap mengumpulkan data; b) melihat ekspresi, perasaan dan fantasi klien/pasien; dan c) melakukan perencanaan. 2. Fase orientasi

Memulai atau membuka hubungan dengan klien merupakan hal yang sangat penting dan amat menentukan kelangsungan dan keberhasilan pembicaraan selanjutnya. Tugas perawat pada fase ini adalah: a) memberikan salam dan tersenyum pada klien/pasien; b) melakukan validasi; c) menanyakan nama pasien; d) menanyakan nama panggilan kesukaan klien/pasien; e) memiliki tanggung jawab perawat terhadap klien/pasien; f) memiliki peran perawat dengan klien/pasien; g) memilih kegiatan yang akan dilakukan; h) memilih tujuan; i) merencanakan waktu yang dibutuhkan; dan j) menjaga kerahasiaan. 3. Fase kerja

Apabila klien dengan perawat sudah mulai saling berinteraksi, maka perhatian yang sangat mendalam amat dibutuhkan untuk kelangsungan pelaksanaan wawancara tersebut. Dalam hal ini ciptakanlah hubungan yang baik dengan


(51)

dasar empati. Dalam fase kerja ada beberapa kegiatan, yaitu: a) memberikan kesempatan pada klien untuk bertanya; b) menanyakan keluhan utama; c) memulai kegiatan dengan baik; dan d) memulai kegiatan sesuai rencana. 4. Fase terminasi

Terminasi merupakan fase yang sangat sulit dan penting dari hubungan terapeutik. Rasa percaya dan hubungan intim yang terapeutik sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Dalam fase ini terdapat 3 kegiatan yaitu: a) menyimpulkan hasil wawancara; b) melakukan reinforcement; dan c) mengakhiri wawancara dengan baik

2.3. Kepatuhan

2.3.1. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali et al, 1999 dalam Yuanasari 2009). Menurut Sarafino (Bart, 1994) mendefinisikan kepatuhan sebagai


(52)

tingkat perilaku penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.

Dalam hal pengobatan TB paru, Depkes RI (2002) mengemukakan bahwa penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat dan bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari - 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan.

2.3.2. Proses Perubahan Sikap dan Perilaku

Menurut Skinner (1938) dalam teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R) bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kualitas rangsangan yang berkomunikasi dengan organisme. Proses yang terjadi pada organisme berupa perhatian, pengertian dan penerimaan (Notoatmodjo, 2005).

Berdasarkan teori S-O-R, perilaku manusia dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) perilaku tertutup (covert behavior), terjadi bila respon terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan; 2) perilaku terbuka (overt behavior), terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa


(53)

tindakan, atau praktik yang dapat diamati orang dari luar. Contoh: seorang penderita TB paru minum obat anti TB secara teratur (Notoatmodjo, 2005).

Sementara menurut Kelman (1955) bahwa perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance). Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan (Sarwono, 2007).

Menurut Kelman, pengawasan itu tidaklah perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, mungkin sekali perilakunya akan berubah, menjadi perilaku yang diingininya sendiri.

Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).


(54)

Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam compliance, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut.

Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya. Internalisasi ini dapat dicapai jika petugas kesehatan merupakan tokoh yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu/masyarakat sasaran memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang internalisasi ini tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu/masyarakat sasaran untuk mengubah sistem nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku yang baru.


(55)

2.3.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Berobat

Menurut Sarafino (Bart, 1994) ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus.

Dalam hal kepatuhan Carpenito (Niven, 2002) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya: 1. Pemahaman tentang instruksi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional


(56)

kesalahan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus di ingat oleh pasien. 2. Faktor umur

Gunarsa (2005) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur-umur tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah. 3. Kesakitan dan pengobatan

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas.

4. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh dari program pengobatan.


(57)

5. Dukungan Keluarga

Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima.

6. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita TB sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.

7. Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. 8. Dukungan profesi kesehatan

Dukungan profesi kesehatan merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama berguna pada saat penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat yang baru itu merupakan hal yang penting.


(58)

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut adalah:

1. Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

2. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara akut dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus diturunkan dulu tingkat ansietasnya dengan cara menyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan.

3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol.

4. Perubahan model terapi

Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien dapat terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini


(59)

komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.

5. Interaksi petugas kesehatan dengan pasien

Adalah suatu hal penting untuk memberi umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk melakukan konsultasi dan selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan.

Sementara menurut Asti (2006) bahwa banyak faktor berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi tuberkulosis, antara lain:

1. Faktor struktural dan ekonomi

Tidak adanya dukungan sosial dan kehidupan yang tidak mapan menciptakan lingkungan yang tidak mendukung program tercapainya kepatuhan pasien. 2. Faktor pasien

Umur, jenis kelamin dan suku/ras berhubungan dengan kepatuhan pasien dibeberapa tempat. Pengetahuan mengenai penyakit tuberkulosis dan keyakinan terhadap efikasi obatnya akan mempengaruhi keputusan pasien untuk menyelesaikan terapinya atau tidak.

3. Kompleksitas regimen

Banyaknya obat yang harus diminum dan toksisitas serta efek samping obat dapat merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian terapi pasien.


(60)

4. Dukungan dari petugas pelayanan kesehatan

Empati dari petugas pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang signifikan pada pasien. Untuk itu, petugas harus memberikan waktu yang cukup untuk memberikan pelayanan kepada setiap pasien.

5. Cara pemberian pelayanan kesehatan

Sistim yang terpadu dari pelayanan kesehatan harus dapat memberikan sistem pelayanan yang mendukung kemauan pasien untuk mematuhi terapinya. Dalam sistem tersebut, harus tersedia petugas kesehatan yang berkompeten melibatkan berbagai multidisiplin, dengan waktu pelayanan yang fleksibel.

2.4. Tuberkulosis Paru

2.4.1. Pengertian dan Penyebab TB Paru

Tuberkulosis yang dulu disingkat menjadi TBC karena berasal dari kata tuberculosis saat ini lebih lazim disingkat dengan TB saja. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lainnya. Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain (Sulianti, 2007).

Mycobacterium tuberculosis bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mikroorganisme ini senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).


(61)

2.4.2. Gejala Penyakit TB Paru

Gejala penyakit TB paru (Depkes RI, 2007), antara lain: 1. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. 2. Dahak

Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi purulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi perlunakan.

3. Batuk darah

Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak.

4. Nyeri dada

Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula atau di tempat-tempat lain).

5. Mengi

Mengi terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granula, ulserasi dan lain-lain (pada tuberkulosis lanjut).


(62)

6. Dispneu

Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed/thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.

2.4.3. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Paru

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena a. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis a. Tuberkulosis paru BTA positif

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.


(63)

2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru dan BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. 2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. 3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

a. TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.


(1)

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, peneliti mengemukakan beberapa saran antara lain:

1. Perawat agar lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berkomunikasi sehingga dapat memberikan pelayanan informasi yang bermanfaat bagi pasien dalam mendukung kesembuhan dan meningkatkan kesehatan pasien khususnya pasien TB paru. Sikap perawat hendaknya tulus melayani pasien. Isi informasi hendaknya disesuaikan dengan kemampuan pasien dalam memahami pesan. Teknik komunikasi perawat hendaknya lebih bervariasi dan menggunakan media informasi yang menarik perhatian pasien. 2. Manajemen RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi hendaknya menerapkan

strategi DOTS dalam penanggulangan penyakit TB paru, dan menjalankan program penyuluhan kesehatan masyarakat di rumah sakit. Kegiatan penyuluhan kesehatan harus terus dilakukan secara berkesinambungan dan intensif dan harus lebih difokuskan pada penderita TB paru yang belum atau sementara berobat agar dapat dilakukan tindak lanjut pengobatannya.

3. Pada penelitian lebih lanjut diharapkan agar penelitian seperti ini dapat diteliti lagi dengan tempat penelitian yang lebih luas dan jumlah sampel yang lebih banyak serta menggunakan jenis penelitian yang berbeda.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Tjandra Y, 2002, Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Yayasan IDI, Jakarta

Alven, 2008, Komunikasi Interpersonal Di Posyandu, Edisi 5, Majalah Informasi & Referensi Promosi Kesehatan, Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Asti, T., 2006, Kepatuhan Pasien; Faktor Penting Dalam Keberhasilan Terapi, Vol. 7, No.5, INFOPOM, Badan POM RI, Jakarta.

Arikunto, S. 2002, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi 5, Rineka Cipta, Jakarta.

Azwar, S. 2001, Metodologi Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bidang Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang, 2010, Laporan Bidang Pelayanan Medik Tahun 2010, RSUD Sidikalang, Pemerintah Kabupaten Dairi, Sidikalang.

Dalami, dkk, 2009, Komunikasi Keperawatan, Cetakan Pertama, Trans Info Media, Jakarta.

Depkes R.I., 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan Kedelapan, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Jakarta.

___________., 2007, Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya, Edisi 2, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Jakarta.

Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi, 2010, Profil Kesehatan Kabupaten Dairi Tahun 2010, Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi, Pemerintah Kabupaten Dairi, Sidikalang.

Diwan VK, 1999, Sex, Gender and Tuberculosis, Lancet, Washington DC.

Erawatyningsih, dkk, 2009, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Provinsi NTB, Volume 25 No. 3, Berita Kedokteran Masyarakat.


(3)

Graef, J.A., dkk, 1996, Komunikasi Untuk Kesehatan dan Perubahan Perilaku, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hardjana, A.M., 2003, Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal, Cetakan I, Kanisius, Yogyakarta.

Hendrawati, P.A., 2008, Hubungan Antara Partisipasi Pengawas Menelan Obat (PMO) Keluarga Dengan Sikap Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyuanyar Surakarta, Skripsi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Hudoyo, A., 2008, Tuberkulosis Mudah Diobati, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Hutapea (2006), Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis, RSUD dr. Saiful Anwar, Malang.

Indrawati, 2003, Tentang Komunikasi Terapeutik, diakses tanggal 10 Oktober 2011, www/wikepedia.orng.com.

KEMENKES RI, 2009, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

______________, 2011,Pedoman Pelaksanaan Hari TB Sedunia 2011, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Labanto, 2009, Pengetahuan dan Keterlibatan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tugasnya Pada Terapi TB Paru Dengan Strategi DOTS Di Kecamatan Umbul Harjo Yogyakarta, Skripsi, FKIK-UGM, Yogyakarta Liliweri, A., 2002, Komunikasi Antar Pribadi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________,2008, Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Lutfya, A., 2009, Komunikasi dalam Pelayanan Kesehatan, diakses pada tanggal 10

Oktober 2011, http://luthfya.blogspot.com/komunikasi-dalam-pelayanan kesehatan.html


(4)

Manurung I, 2001, Hubungan Komunikasi Perawat-Pasien dengan Tingkat Kepuasan Klien Terhadap Pelayanan Keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Karya Bhakti, Bogor, FIK-UI (Tesis, tidak diterbitkan)

Maramis, W.F., 2006, Ilmu Perilaku dalam Pelayanan Kesehatan, Airlangga University Press, Surabaya.

Masniari, 2007, Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesembuhan Penderita TB Paru, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RSUP Persahabatan, Jakarta.

Meidiana, D., 2008, Keperawatan Dasar Konsep ”Caring”, Komunikasi, Etik dan Spiritual Dalam Pelayanan Keperawatan, Hasani, Jakarta.

Morrison, P., Burnard, P., 2009, Caring and Communication; Hubungan Interpersonal dalam Keperawatan, Alih Bahasa: Widyawati, Meiliya, Cetakan I, EGC, Jakarta.

Mulkan D., 2007, Pola Ideal Hubungan Dokter Dengan Pasien (Pentingnya Seorang Dokter Memahami Komunikasi), Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung.

Mundakir, 2006, Komunikasi Keperawatan Aplikasi Dalam Pelayanan, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Murwani, Istichomah, 2009, Komunikasi Terapeutik Panduan Bagi Perawat, Fitramaya, Yogyakarta.

Nurjannah, I., 2001, Hubungan Terapeutik Perawat dan Klien, Cetakan Pertama, CV. Media Pressindo, Yogyakarta.

Niven Nail, 2002, Psikologi Kesehatan; Pengantar Untuk Perawat & Profesional Kesehatan Lain, EGC, Jakarta.

Notoatmodjo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta

______________, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta. Permatasari, A., 2005, Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS, Bagian


(5)

Purba,M.J., 2003. Komunikasi Dalam Keperawatan , diakses tanggal 10 Oktober 2011,

Purwanta, 2005, Ciri-Ciri Pengawas Minum Obat yang Diharapkan Oleh Penderita TB Paru di Daerah Urban dan Rural di Yogyakarta, JMPK, Yogyakarta. Riduwan, M., 2002, Metode dan Teknik Penyusunan Tesis, Alphabet, Bandung. Rusmani, 2006, Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru di RSUD Dr. Doris

Sylvanus Kota Palangkaraya Propinsi Kalimantan Tengah, Tesis, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.

Sarwono, 2007, Sosiologi Kesehatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Simamora, Jojor, 2004, Faktor Yang Memengaruhi Ketidakteraturan Berobat

Penderita TB Paru Di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004, Tesis, Pasca Sarjana USU. Medan.

Soedarsono. 2005. Resistensi Obat Tuberkulosis: Problema dan Penatalaksanaannya Simposium TB, tropical Disease Center (TDC) Unair. Surabaya.

Somantri, Irman, 2008, Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan, Salemba Medika, Jakarta. Sukana, dkk., 1999, Pengaruh Penyuluhan Terhadap Pengetahuan Penderita TB Paru

Di Kabupaten Tangerang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, Tangerang.

Sulianti, 2007, Tuberkulosis, diakses tanggal 04 April 2011, www//http: infeksi.com. Suryani, 2006, Komunikasi Terapeutik Teori & Praktik, EGC, Jakarta.

Suswati, 2007, Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Jember, Fakultas Kedokteran Universitas Jember, Jawa Timur.

Syafrizal, Supandi PZ, 2002, Tuberkulosis Paru dan Gender, Respir Indo, Jakarta. Taufan, 2008, Pengobatan Tuberkulosis Paru Masih Menjadi Masalah, diakses


(6)

WHO, 1997, Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes, Second Edition.

Widjaja, 2000, Ilmu Komunikasi, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Yuanasari, 2009, Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis dan Kepatuhan Pada Pasien Dewasa Dengan Diagnosa Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Mantingan Ngawi Periode Februari – April 2009, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.