Komunikasi Dan Hubungannya Dengan Kepuasan Kerja Karyawan: Perspektif Gender.

KOMUNIKASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEPUASAN
KERJA KARYAWAN: PERSPEKTIF GENDER

PUTRI ASIH SULISTIYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi dan
Hubungannya dengan Kepuasan Kerja Karyawan: Perspektif Gender yang
dilakukan di PT Madubaru Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016
Putri Asih Sulistiyo
NIM I352130081

RINGKASAN
PUTRI ASIH SULISTIYO. Komunikasi dan Hubungannya dengan Kepuasan
Kerja Karyawan: Perspektif Gender. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S.
HUBEIS dan KRISHNARINI MATINDAS.
Peningkatan kontribusi dan partisipasi perempuan dalam dunia kerja
menjadi agenda pembangunan yang belum berkesudahan, termasuk di Indonesia.
Ketimpangan jumlah perempuan yang mampu memasuki pasar kerja dan
sedikitnya sektor kerja yang dapat dimasuki oleh perempuan menjadi salah satu
permasalahan keadilan gender dalam bidang ekonomi produktif. Lingkungan
kerja produktif dianggap memiliki citra maskulin yang tidak cocok bagi
perempuan. Maskulinitas dalam dunia kerja diciptakan oleh sosialisasi secara
turun temurun yang membentuk pengetahuan dan sikap gender.
Secara umum, penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi sejauhmana
komunikasi gender yang dimanifestasikan melalui bentuk-bentuk komunikasi
seperti stereotipi, diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan seksual
terjadi di dalam dunia kerja setelah adanya perubahan struktural di kesultanan

Daerah Istimewa Yogyakarta dan di lingkugan pabrikdiuji. Komunikasi gender
diuji hubungannya dengan kepuasan kerja karyawan. Secara khusus tujuan
penelitian adalah 1) mendeskripsikan bentuk komunikasi gender, karakteristik
individu, dan kepuasan kerja, 2) menguji hubungan komunikasi gender dengan
karakteristik individu karyawan, 3) menguji hubungan antara komunikasi gender
dengan kepuasan kerja karyawan, dan 4) menguji hubungan antara karakteristik
individu dengan kepuasan kerja karyawan.
Desain penelitian adalah survei explanatory. PT Madubaru Yogyakarta
sebagai salah satu perusahaan agroindustri terbesar dan tertua di Indonesia yang
dipilih secara purposive sebagai lokasi penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan
Juni-Agustus 2015 dengan jumlah sampel yang diuji sebanyak 70 orang, dipilih
melalui metode purposive sampling. Data inferensia diuji menggunakan analisis
chi-square dan korelasi rank Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT Madubaru merupakan seuah
perusahaan yang didominasi laki-laki dalam hal jumlah. Secara usia, karyawan
laki-laki lebih tua dari karyawan perempuan, memiliki tingkat pendidikan yang
lebih rendah dari perempuan dan masa kerja lebih lama dari karyawan perempuan.
Secara pendapatan sebagian besar karyawan laki-laki dan perempuan memperoleh
pendapatan sama sedikit lebih tinggi di atas UMR DI Yogyakarta, yaitu Rp
1.000.000 – Rp 2.000.000 perbulan, yang membedakan adalah terdapat responden

laki-laki yang memiliki pendapatan di atas RP 3.000.000, sedangkan pada
perempuan tidak ada.
Stereotipi gender merupakan silent barrier bagi keadilan gender di lokasi
penelitian. Stereotipi merupakan isu gender yang sangat terlihat di lingkungan
perusahaan, isu ini berdampak pula pada terjadinya glass ceiling, subordinasi
pekerjaan, spesialisasi pekerjaan perempuan, dan tingginya kekerasan seksual
pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Perempuan dengan pendidikan
tinggi, berusia muda, dan memiliki posisi pekerjaan sebagai pegawai administrasi

merupakan karyawan yang mendapat perilaku ketidakadilan gender paling tinggi
di dalam perusahaan.
Domain kepuasan kerja pada perempuan adalah kepuasan terhadap kondisi
kerja, hubungan interpersonal, dan pekerjaan itu sendiri. Pada laki-laki domain
kepuasan kerjanya adalah status dan kepuasan terhadap pengakuan, penghargaan
atau perhatian. Bagi karyawan perempuan, kenyamanan ruangan, kondisi
kekeluargaan dan pertemanan, jam kerja, dan dekatnya lokasi perusahaan dengan
rumah merupakan hal penting dalam bekerja. Kondisi tersebut dirasakan ideal
bagi karyawan perempuan untuk mereduksi adanya konflik dwiperan sebagai
pekerja dan ibu rumahtangga, serta memperkecil potensi adanya konflik dalam
keluarga. Sedangkan bagi laki-laki pengakuan terhadap kinerja dan

keberadaannya dalam perusahaan merupakan hal yang paling penting.
Secara statistik terdapat hubungan antara komunikasi gender dan kepuasan
kerja yang berkebalikan dengan hipotesis.
Dari enam indikator yang
berhubungan, empat diantaranya berhubungan positif, yaitu stereotipi pada
perempuan (obyek seksual, keibuan, dan kekanakan) dengan kondisi kerja,
stereotipi pada laki-laki (pejuang, sempurna, dan pencari nafkah utama) dengan
status, kekerasan seksual dengan kondisi kerja, dan marginalisasi dengan status.
Hubungan positif tersebut memiliki arti bahwa semakin tinggi perilaku
ketidakadilan gender yang diterima oleh seorang karyawan, semakin tinggi pula
kepuasan kerjanya. Dua indikator yang memiliki hubungan berkebalikan ini
adalah stereotipi dan kekerasan gender pada perempuan dengan kondisi kerja, dan
stereotipi serta marginalisasi laki-laki terhadap status. Hal ini dapat terjadi karena
seringnya motivasi yang diberikan oleh atasan untuk bekerja dengan ikhlas,
bekerja sebagai ibadah, serta terpenuhinya harapan karyawan terhadap
pekerjaannya. Kepuasan terhadap relationship bagi perempuan dan pride bagi
laki-laki adalah hal penting dalam menjaga dan meningkatkan kepuasan kerja di
perusahaan.
Kata kunci : isu-isu gender, kepuasan kerja, pembangunan, perempuan.


SUMMARY
PUTRI ASIH SULISTIYO. Communication and Its Relation to Job Satisfaction:
Gender Perspective. Supervised by AIDA VITAYALA S. HUBEIS and
KRISHNARINI MATINDAS
Productive roles is considered to masculine image which is not suitable for
women. In the context of communication, masculinity is a result of socialization,
family and others model, or a person location shapes his or her views of
masculinity and feminity. The goverment through development strategy designing
various gender equity programs, to ending the men domination and increasing the
women participation in the workforce. This effort was reflected in the Gender
Mainstreaming Program, in the Millennium Development Goals (MDGs) 2015
and also in Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. Based on that point, its
necessary to analyze whether development programs are able to change the
perception of gender and gender equality for women.
The research purposes are 1) to describe a form of gender communication
(based on stereotype, discrimination, marginalization, subordination, and sexual
violence), individual characteristics, and job satisfaction, 2) to analyze the gender
communication related individual characteristics of employees, 3) examine the
relationship between communication gender with employee job satisfaction, and
4) examine the relationship between individual characteristics with employee

satisfaction.
The study was designed as a explanatory survey. PT Madubaru Yogyakarta
as one of the largest and oldest agroindustrial company in Indonesia was selected
purposively as a research location. The study was conducted in June-August 2015,
70 employee were selected through purpposive sampling method, consisting of 50
male and 20 female employee. Data inference is tested using chi-square analysis
and Spearman rank correlation. The quantitative data was obtained from the
questionnaires given to the employee and supported by the qualitative data
collected by in-depth interviews. Spearman rank and chi-square test were used in
this study.
The results showed that PT Madubaru is a male-dominated company in
terms of numbers. By age, male employees are older than female employees, has a
lower level of education than female and a longer service life than female
employees. In most of the employees income men and female earn the same
income is slightly higher above the UMR DI Yogyakarta, namely Rp 1,000,000 Rp 2,000,000 per month, the difference is there male respondents who have
incomes above RP 3,000,000, whereas in female does not exist.
Gender stereotype is a silent barrier for gender equity in the research sites.
Stereotype is very subtle gender issues within the enterprise, these issues impacted
on the glass ceiling, the subordination of the work, a specialty female's work and
the high level of sexual violence in female than in men. Female with higher

education, younger, and had a job position as an administrative employee is an
employee who got the highest gender inequality behavior within the company.
Female's job satisfaction domain are working conditions, interpersonal
relationships, and the work itself. The male job satisfaction domain is the
appreciation or attention. For female employees, comfort room, the condition of

kinship and friendship, working hours, and the proximity of the company to home
is important in the work. The perceived ideal conditions for female employees to
reduce their double roles conflicts as workers and housewives, as well as
minimize the potential for conflicts in the family. Whereas for men the
recognition of performance and presence in the enterprise is the most important
thing.
Statistically there were some contrary relationship between gender
communication and job satisfaction to the hypothesis. Of the six indicators
related, four of them were positively related, that was the stereotype toward
women with working conditions, stereotyped toward men with status, sexual
assault with working conditions, and the marginalization of the status. The
positive relationship means that higher gender inequalities acceptable behavior by
an employee. This can occur due to frequent motivation given by the employer to
work with sincerity, work as worship, as well as the fulfillment of the

expectations of employees to work. Satisfaction with the relationship for women
and pride for men is important in maintaining and improving job satisfaction in
the company.
Keywords: development, female, gender issues, job satisfaction.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOMUNIKASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEPUASAN
KERJA KARYAWAN: PERSPEKTIF GENDER

PUTRI ASIH SULISTIYO


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Titik Sumarti, MS

Judul Tesis : Komunikasi dan Hubungannya dengan Kepuasan Kerja Karyawan:
Perspektif Gender
Nama
: Putri Asih Sulistiyo
NIM
: I352130081


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Aida Vitayala S Hubeis
Ketua

Dr Krishnarini Matindas, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Djuara P. Lubis, MS


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Komunikasi dan
Hubungannya dengan Kepuasan Kerja: Perspektif Gender berhasil diselesaikan.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Aida Vitayala S. Hubeis dan
Dr Krishnarini Matindas, MS selaku dosen pembimbing atas arahan, saran, serta
dedikasinya dalam membimbing penulis.
Ungkapan terimakasih penulis ucapkan pula kepada Dr Titik Sumarti, MS
atas kesediannya sebagai penguji tesis. Kepada Bapak Mariman, responden,
informan, serta segenap karyawan PT Madubaru yang telah membantu selama
proses pengumpulan data juga penulis sampaikan rasa terimakasih.
Terakhir, rasa terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Kasih dan Bapak
Azam Sulistiyo, Ibu Haryani dan Bapak Sudirman, Febryan Harmansyah, Luthfi
Dwi Cahyo, Fitria Rahmani Dewi, Martania Nazariska, segenap keluarga yang
telah memberikan doa dan kasih sayang selama proses pendidikan, kepada
BPPDN dikti yang telah mensponsori kuliah, serta kepada rekan-rekan KMP 2013
serta teman sejawat lainnya yang telah memberikan dukungannya untuk
menyelesaikan karya tulis ini.
Semoga karya ilmu ini dapat bermanfaat.

Bogor, November 2016
Putri Asih Sulistiyo

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

vi

DAFTAR TABEL

v

DAFTAR GAMBAR

v

DAFTAR LAMPIRAN
v
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
Perumusan Masalah ....................................................................................... 3
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4
Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
Komunikasi Gender ....................................................................................... 4
Isu-Isu Gender ................................................................................................ 6
Stereotipi
6
Diskriminasi
9
Marginalisasi
11
Subordinasi
12
Kekerasan Seksual
13
Karakteristik Individu dalam Tinjauan Gender............................................ 15
Kepuasan Kerja ............................................................................................ 16
Teori Dua Faktor Herzberg
16
Kepuasan Kerja dalam Tinjauan Gender ..................................................... 19
Hasil Penelitian Kepuasan Kerja dalam Tinjauan Gender
20
Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 22
Hipotesis....................................................................................................... 23
Definisi Operasional..................................................................................... 23
3 METODE
31
Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 31
Pendekatan Penelitian .................................................................................. 31
Jenis dan Sumber Data ................................................................................. 31
Teknik Pengumpulan Data dan Informasi.................................................... 32
Teknik Pengambilan Sampel........................................................................ 32
Validitas Instrumen ..................................................................................... 33
Reliabilitas Instrumen .................................................................................. 33
Teknik Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 34
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
34
Deskripsi Lokasi Penelitian.......................................................................... 34
Sejarah PT Madubaru
36
Deskripsi Organisasi PT Madubaru
37
Konstruksi Gender Masyarakat Yogyakarta dalam Sejarah
38
Konstruksi Gender dalam Lingkup PT Madubaru
38
Identifikasi Komunikasi Gender, Karakteristik Individu, dan Kepuasan
Kerja Karyawan PT Madubaru Berdasarkan Jenis Kelamin........................ 40
Identifikasi Komunikasi Gender
40
Identifikasi Karakteristik Individu
46

Identifikasi Kepuasan Kerja
49
Hubungan Antara Komunikasi Gender dengan Karakteristik Individu ...... 52
Hubungan Antara Komunikasi Gender dengan Kepuasan Kerja ................ 55
Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Kepuasan Kerja ............. 59
5 SIMPULAN DAN SARAN
61
Simpulan ...................................................................................................... 61
Saran ............................................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA
63
RIWAYAT HIDUP
89

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Definisi operasional untuk peubah komunikasi gender
Definisi operasional untuk peubah karakteristik individu
Definisi operasional untuk peubah kepuasan kerja
Sebaran frekuensi dan persentase responden berdasarkan komunikasi
gender menurut jenis kelamin
Hubungan komunikasi gender dengan jenis kelamin
persentase penerimaan komunikasi kekerasan sekual pada karyawan
laki-laki dan perempuan PT Madubaru
Karakteristik Individu Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Hubungan antara kepuasan kerja dengan jenis kelamin
Hubungan antara komunikasi gender dengan karakteristik individu
Hubungan antara komunikasi gender dengan kepuasan kerja internal
Hubungan antara komunikasi gender dengan kepuasan kerja eksternal
Hubungan antara karakteristik individu dengan kepuasan kerja
internal
Hubungan antara karakteristik individu dengan kepuasan kerja
eksternal
Persentase kepuasan kerja responden menurut jenis kelamin

24
27
28
40
41
45
47
51
53
56
58
60
61
68

DAFTAR GAMBAR
1.

Kerangka pikir komunikasi dan hubungannya dengan kepuasan kerja
karyawan: perspektif gender

23

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Tabel persentase kepuasan kerja menurut jenis kelamin
Peta lokasi pabrik gula tahun 1941
Output data

68
69
70

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Partisipasi dan eksistensi perempuan dalam dunia kerja menjadi agenda
pembangunan ekonomi di Indonesia. Semakin tingginya perhatian pemerintah
terhadap masalah gender di tempat kerja tercermin dari Impres No. 9 tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) yang menuntut komitmen bersama pemerintah
dan pemangku kepentingan lainnya untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan
gender disegala bidang termasuk dalam bidang ekonomi. Hal ini juga terlihat dari
upaya pembangunan gender dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan
juga dalam Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia.
Kontribusi perempuan diharapkan berperan dalam upaya mendorong
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (Venny 2010). Sayangnya,
upaya peningkatan peran dan kontribusi perempuan dalam dunia kerja
mendapatkan tantangan secara institusional dan kultural. Lingkungan kerja
merupakan tempat yang memiliki atmosfer paling potensial bagi terjadinya
ketidakadilan gender pada perempuan (Bilkis et al. 2010). Lingkungan kerja
memiliki karakter maskulin sesuai dengan melekatnya peran produktif pada lakilaki (Wood 2001). Kerja produktif khususnya pada pabrik dan perusahaan
memiliki level kompetisi yang tinggi, tekanan kerja yang berat dan pengawasan
yang ketat dirasakan berat bagi perempuan karena selama ini perempuan tidak
mendapatkan sosialisasi budaya kerja, khususnya dari keluarga (Pujisari 2010).
Kajian Bilkis et al. (2010) di India menunjukkan bahwa sekitar 70 persen
karyawan perempuan melaporkan tidak menerima upah yang sama dengan lakilaki untuk pekerjaan yang sama dan setidaknya 75 persen perempuan
mengeluhkan diskriminasi yang dialaminya di dunia kerja, serta hampir seluruh
perempuan (90 persen) berpendapat bahwa pemerintah menerima bias gender
yang dialami oleh perempuan. Kajian di Indonesia menunjukan angka yang
relatif sama. Laporan International Labor Organization (ILO) (2015) untuk
Indonesia memperlihatkan bahwa pekerja perempuan dan buruh harian umumnya
kurang sejahtera bila dibandingkan dengan pekerja lain. Kondisi kerja perempuan
masih di belakang kondisi kerja laki-laki, meskipun semakin memperlihatkan
penurunan. Berdasarkan statistik ILO pada Tahun 2010 diketahui bahwa terdapat
22,1 persen kesenjangan antara upah laki-laki dan perempuan yang melakukan
pekerjaan tetap, turun 3,3 persen sejak 2001. Selain itu, terdapat 50,6 persen
kesenjangan antara upah laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan
harian (turun 1,5 persen sejak 2001), dan dalam politik terdapat 20,1 persen
anggota dewan pejabat senior dan manajer perusahaan dari kalangan perempuan
(naik 4,3 persen sejak 2007).
Laporan Bappenas (2012) menunjukkan bahwa kenaikan Indeks Keadilan
dan Kesetaraan Gender (IKKG) untuk Indonesia hanya sebesar 0,3 persen dari
tahun 2007 sampai tahun 2010. Hal ini merupakan kerugian karena perbaikan
pencapaian di bidang pendidikan dan ekonomi selama tiga tahun pembangunan
hanya berhasil menutup kesenjangan gender sebesar 0,3 persen, atau rata-rata 0,1
persen setiap tahunnya (Bappenas 2012). Indeks Keadilan dan Kesetaraan
Gender/IKKG yang merupakan tolak ukur bagi kualitas hidup dan peran

2

perempuan dalam pembangunan, yang meliputi aspek: kesehatan, pemberdayaan,
angkatan kerja, serta aspek perlindungan perempuan terhadap tindakan kekerasan
Yogyakarta sebagai sebuah daerah memiliki sejarah patrialkal dan
ketidakberdayaan perempuan. Pada masa feodalisme sebelum kemerdekaan buruh
perempuan Indonesia sangat identik dengan pekerjaan domestik dan hubungan
patron-klien (Blackburn 2004). Industri yang berkembang dimasa itu adalah
industri batik di Jawa. Berdasarkan tinjauan Blackburn (2000) buruh batik
perempuan mengalami eksploitasi kerja, berada dalam lapisan bawah dalam
statifikasi industri, pekerja perempuan dibayar dengan sangat murah khususnya
pekerja lepas yang melakukan pekerjaan pelilinan batik di rumahnya, pekerja
perempuan juga bekerja terlalu lama, kelaparan, kelelahan, serta mengalami
kekerasan seksual.
Eskalasi keadilan gender dan redefinisi perempuan di Yogyakarta terjadi
saat berdirinya salah satu organisasi keislaman di daerah ini (Dewi 2012).
Kontruksi gender lama di dalam masyarakat Yogyakarta juga mulai tergoyahkan
dengan diangkatnya seorang perempuan dalam struktur kepemimpinan kesultanan
Yogyakarta. Hal ini menjadi salah satu awal dari pembelokan adat Jawa lama
yang secara tegas mensubordinasi perempuan.
Perubahan struktural yang dilakukan oleh kesultanan Yogyakarta menjadi
sebuah isu gender
yang dikomunikasikan dalam percakapan masyarakat
Yogyakarta.
Berdasarkan standpoint theory, maskulinitas dan feminitas
merupakan refleksi dari komunikasi baik verbal maupun non verbal, dan gender
merupakan sebuah konsep yang maknanya dapat berubah sesuai dengan
kesepakatan secara kolektif berdasarkan nilai dan perspektif masyarakat atau
budaya daerah tersebut (Wood 2001). Sehingga, isu-isu gender seperti komunikasi
stereotipi, marginalisasi, subordinasi, diskriminasi dan kekerasan seksual dapat
luruh maupun berubah seiring perubahan makna gender.
Berdasarkan perubahan sosial yang terjadi, menarik untuk dilakukan kajian
tentang kesetaraan perempuan dan kedudukan perempuan di lingkungan kerja
dalam sudut pandang komunikasi. Dalam konteks ekonomi produktif, kajian
komunikasi isu-isu gender dikaitkan dengan salah satu indikator yang mampu
mengukur kesejahteraan subjektif di tempat kerja yaitu kepuasan kerja. Kepuasan
kerja merupakan ukuran penilaian seseorang terhadap kondisi kerja dan
hubungannya dengan pemenuhan harapan, kebutuhan serta keinginan seseorang
(Celik 2011). Pelecehan seksual atau kekerasan seksual berpengaruh pada
kepuasan kerja (Hatch-Mailette dan Scalora 2002) begitupun dengan pola
kepemimpinan yang subordinatif terhadap jenis kelamin berpengaruh pada
kepuasan kerja (Collins et al. 2014). Namun, beberapa penelitian menunjukkan
simpulan paradoks. Perempuan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dari
laki-laki meskipun memperoleh upah yang lebih kecil, promosi karir rendah dan
mendapatkan kekerasan seksual serta bullying (Bender et al. 2005; Kifle dan
Desta 2012; Aydin et al. 2012). Walaupun penelitian lain menunjukkan
rendahnya kepuasan kerja perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Sabharwal
dan Corley 2009; Negi 2009), dan penelitian lainnya menghasilkan simpulan
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kepuasan kerja yang sama (Gumbang et
al. 2010).

3

Perumusan Masalah
Gender merupakan sebuah konsep yang merujuk pada hubungan laki-laki
dan perempuan. Gender dikonstruksi oleh budaya melalui sosialisasi baik oleh
keluarga, kelompok, masyarakat, adat maupun media. Pada deklarasi Beijing
Tahun 1995 disebutkan bahwa deklarasi dilakukan untuk menekankan pembagian
kewajiban yang adil dan hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan
akan berdampak pada kesejahteraan bersama. Landasan aksinya pun menekankan
pada prinsip berbagi kekuasaan dan tanggungjawab antara laki-laki dan
perempuan baik di rumah, tempat kerja, maupun dalam komunitas nasional dan
internasional (Marinova 2003). Perempuan dan kemiskinan, perempuan dan
ekonomi, serta mekanisme kemajuan perempuan menjadi tiga dari dua belas
bidang kritis prioritas untuk segera ditindaklanjuti (Hubeis AV 2010).
Lingkungan kerja menjadi salah satu ruang interaksi yang terindikasi
memiliki ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Meskipun laki-laki
dalam dunia kerja mengalami permasalahan beban kerja, stereotipi, dan tekanan
kerja, namun perempuan yang disosialisasikan dalam budaya reproduktif
mendapatkan lebih banyak perlakuan ketidakadilan gender dibandingkan dengan
laki-laki. Dalam upaya menjalani peran produktif di tempat kerja perempuan lebih
banyak mengalami ketidakadilan seperti stereotipi, inferioritas perempuan,
kekerasan dan pelecehan, dan pemberian upah yang lebih rendah (Marinova
2003). Mengacu pada kajian, masih terdapat bentuk ketidakadilan gender berupa
stereotipi (Wood 2001), diskriminasi (Gil-Gonzales et al. 2013, Turturean et al.
2013, Popa dan Bucur 2014), marginalisasi (Simantaw et al. 2001), subordinasi
(Maume 2011), dan kekerasan seksual (Guay et al. 2014) di lingkungan kerja dan
sektor publik.
Interaksi gender di tempat kerja sangat dipengaruhi oleh pembedaan jenis
kelamin sebagai hasil komunikasi serta bentukan budaya dan sosial ekonomi
lingkungan. Pembedaan ini dikomunikasikan dalam bentuk stereotipi, subordinasi,
diskriminasi, marginalisasi, dan pelecehan verbal maupun non verbal (Wood
2001).
Peningkatan peran perempuan dalam pembangunan telah dilakukan untuk
meningkatkan keberdayaan perempuan. Sektor ekonomi produktif kini semakin
terbuka bagi perempuan. Kontribusi perempuan dalam kerja produktif semakin
meningkat. Dalam beberapa tahun belakangan masyarakat melihat terjadi
perubahan pada peran dan kedudukan perempuan. Kesetaraan gender menjadi
agenda bersama dan masyarakat mulai merasakan tidak ada lagi pembedaan
jenjang karir, kesamaan kesempatan, akses, antara laki-laki dan perempuan.
Berkaitan dengan hal ini perlu dilakukan kajian kekinian mengenai
sejauhmana tingkat kesetaraan gender, dilihat melalui sudut pandang komunikasi
terkait isu-isu gender dan kaitannya dengan kepuasan kerja sebagai salah satu
indikator kesejahteran subjektif seorang karyawan baik pada perempuan maupun
pada laki-laki.
Upaya melakukan kajian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah deskripsi komunikasi gender, karakteristik individu dan
kepuasan kerja karyawan di PT Madubaru?

4

2. Bagaimanakah hubungan antara komunikasi gender dengan karakteristik
individu karyawan?
3. Bagaimanakah hubungan antara komunikasi gender dengan kepuasan kerja
karyawan?
4. Bagaimanakah hubungan antara karakteristik individu dengan kepuasan kerja
karyawan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini
secara umum bertujuan memperoleh gambaran komunikasi gender dan kaitannya
dengan karakteristik indiviudu serta kepuasan kerja dalam sebuah perusahaan.
Berikut penjabaran tujuan dari penelitian ini :
1. Mendeskripsikan bentuk komunikasi gender, karakteristik individu, dan
kepuasan kerja.
2. Menguji hubungan komunikasi gender dengan karakteristik individu karyawan.
3. Menguji
hubungan antara komunikasi gender dengan kepuasan kerja
karyawan.
4. Menguji hubungan antara karakteristik individu dengan kepuasan kerja
karyawan.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran kondisi kekinian tentang isu-isu gender di tempat kerja
dalam sudut pandang komunikasi.
2. Menjadi masukan kepada pengelola usaha dan pemerintah dalam membuat
kebijakan yang mampu menurunkan kesenjangan gender dalam bidang
industri.
3. Memperkaya hasil kajian tentang kepuasan kerja dalam kaitannya dengan
gender yang simpulan kajian sebelumnya sangat beragam.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Gender
Gender diartikan sebagai suatu konsep yang merujuk pada sistem peranan
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan ditentukan oleh pembedaan
biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosial-budaya, politik dan ekonomis (Hubeis
AV 2010). Gender dalam konteks komunikasi menggambarkan hubungan sosial
dan personal antara laki-laki dan perempuan dan demikian pula dengan konsep
feminin dan maskulin (Hubeis AV 2010). Sedangkan perspektif gender adalah
konsep yang digunakan untuk membedakan hal yang bersifat normatif dan
biologis dan hal yang merupakan produk sosio-budaya dalam bentuk kesepakatan
dan fleksibilitas sosial yang ditransformasikan.

5

Berdasarkan standpoint theory, dikatakan bahwa cara seseorang dibesarkan
dalam suatu budaya akan memengaruhi aktivitas orang tersebut dalam memahami
dan membentuk dunia sosialnya. Memahami pengalaman seseorang bukan
dimulai dengan kondisi sosial, ekspektasi peran, atau definisi gender, tapi cara
khusus dimana individu membentuk kondisi tersebut dan pengalaman mereka di
dalamnya (Littlejohn dan Foss 2009). Dalam dunia ini terdapat banyak hirarki,
baik gender, etnis, maupun kelas yang memengaruhi kehidupan manusia.
Kelompok yang berada pada posisi atas hierarki sosial menentukan sistem
komunikasi budayanya. Kelompok dengan kekuasaan yang kecil, seperti
perempuan, orang miskin dan orang dengan kulit berwarna harus mengikuti
sistem komunikasi yang kelompok dominan terapkan. Cara pandang ini
memengaruhi komunikasi serta perilaku perempuan dalam berinteraksi dan
menjalani kehidupan (Wood 2001). Tujuan standpoint feminism adalah
membangun ilmu pengetahuan berdasarkan sudut pandang dan pengalaman
perempuan, yang mampu memberikan pandangan yang utuh dan baru terhadap
pengertian makna gender dan relasi gender dalam berbagai interaksi sosial.
Standpoint feminism mencoba mengoreksi dan mengurangi dominasi laki-laki
yang ada di dunia ini baik secara kognitif seperti penilaian sosial, pelekatan,
penggabungan informasi maupun pengarahan kognitif, maupun secara sosial dan
kultural seperti aturan, norma, pemahaman, serta definisi mengenai diri sendiri.
Bahasa secara verbal membentuk konsep perempuan, laki-laki, dan
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Bahasa verbal membentuk persepsi
manusia dalam memaknai suatu hal. Simbol-simbol nonverbal tidak memaknai
dirinya sendiri, namun dimaknai secara verbal oleh individu atau kelompok.
Makna verbal tersebut yang akan menjadi representasi sebuah simbol. Wood
(2001) menerangkan bahwa bahasa memaknai laki-laki dan perempuan secara
berbeda. Perempuan dimaknai melalui penampilannya dan hubungannya dengan
orang lain. Saat perempuan memiliki capaian dalam dunia profesional, maka yang
diangkat media bukan hanya profil usahanya dan kerja kerasnya, melainkan
penampilanya. Sedangkan laki-laki dimaknai melalui aktivitasnya, capaian yang
dilakukannya atau posisinya. Perbedaan cara pemaknaan laki-laki dan perempuan
merelfeksikan pandangan umum masyarakat.
Selain itu, perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam gaya
bahasa. Tannen pada tahun 1990 menuliskan bahwa gaya bahasa Genderlect Style
antara laki-laki dan perempuan, yang dikategorikan pada dua jenis pembicaraan
yakni rapport talk dan report talk. Rapport talk adalah gaya khas bicara
perempuan, yang dimaksudkan untuk membangun hubungan dengan orang lain.
Sedangkan report talk menggambarkan gaya laki-laki yang khas yakni bersifat
monologik, personal, yang dimanifestasikan dalam perilaku meminta perhatian,
menyampaikan informasi, dan memenangkan agumen. Hal ini sejalan dengan
simpulan penelitian Matindas (2011) tentang aktivitas komunikasi petani organik
bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama aktif dalam mencari informasi dan
diskusi, perbedaannya petani laki-laki lebih banyak mendapat informasi dari
saluran personal yang digunakan untuk pengetahuan sendiri, dibandingkan,
dipraktekan, untuk bahan diskusi atau disebarkan, sedangkan pada petani
perempuan informasi digunakan untuk dibandingkan, bahan diskusi dan
disebarkan untuk keperluan keluarga.

6

Isu-Isu Gender
Nilai-nilai gender yang melekat pada individu akan memengaruhi perilaku
organisasi karena pada dasarnya menurut Thoha (2001) perilaku organisasi
mendasar pada ilmu perilaku sendiri yang dikembangkan oleh tingkah laku
manusia dalam suatu organisasi. Sedangkan komunikasi, merupakan hal yang
amat penting dalam perilaku organisasi, komunikasi yang efektif merupakan
syarat terbinanya kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan organisasi sekaligus
menjadi persoalan dalam organisasi (Thoha 2001).
Kesepakatan makna gender secara komunal dan turun temurun
berdasarkan budaya di lokasi penelitian membuat komunikasi gender dalam
seluruh pola interaksi masyarakat, termasuk dalam institusi kerja tidak lepas
kaitannya dengan bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Simantaw et al. (2001)
menyatakan bahwa pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran,
termasuk peran di dunia kerja mengakibatkan ketidakadilan gender. Terdapat lima
bentuk ketidakadilan gender sebagai hasil dari bentukan sosialisasi keluarga,
kelompok maupun media
yang sering terjadi dalam interaksi dan
dikomunikasikan khususnya pada perempuan. Pertama, pelabelan negatif
(stereotype) yaitu pembentukan citra buruk perempuan yang menempatkan
perempuan pada posisi tidak berdaya dalam masyarakat; kedua, diskriminasi,
pembedaan terhadap salah satu jenis kelamin, ketiga, marginalisasi sebagai akibat
langsung dari subordinasi perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri
perempuan, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol yang sama terhadap lakilaki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Lebih jauhnya, hal ini akan
berimplikasi pada termarginalisasinya kebutuhan dan kepentingan perempuan,
keempat, subordinasi yang merupakan pembedaan perlakuan terhadap salah satu
identitas sosial, dalam hal ini adalah perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu
emosional mengakibatkan mereka kurang diikutsertakan dalam proses
pengambilan keputusan. Kelima, kekerasan yaitu suatu serangan terhadap fisik
maupun psikologis seseorang dalam hal ini dilakukan terhadap perempuan.
Bentuk ketidakadilan gender saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Stereotipi
dapat menciptakan suasana diskriminatif yang berdampak pada marginalisasi dan
subordinasi pada salah satu jenis kelamin. Stereotipi tentang perempuan juga
membentuk pola hubungan agresor dan korban dalam kekerasan seksual (Wood
2001)
Stereotipi
Gender merupakan suatu hal yang abstrak, bahasa yang menjelaskan makna
gender itu sendiri. Pemaknaan gender ini memunculkan stereotipi yang melekat
pada laki-laki dan perempuan (Wood 2001). Praktik komunikasi gender
merefleksikan sekaligus memaksakan ekspektasi peran perempuan untuk memiliki
sifat-sifat tertentu. Stereotipi diartikan sebagai generalisasi tentang suatu
kelompok berdasarkan beberapa pengetahuan dan aspek yang ditunjukkan oleh
beberapa atau kebanyakan anggota kelompok tersebut. Wood (2001)
mengilustrasikan bahwa jika beberapa perempuan tidak tertarik pada olahraga
maka kita akan berpikir bahwa seluruh perempuan tidak menyukai olahraga,
bahkan tidak kompeten dalam berolahraga. Komunikasi verbal mengelompokan
perempuan dan laki-laki, maskulin dan feminin dalam beberapa kategori

7

stereotipi, perempuan diklasifikasi sebagai seorang yang emosional sedangkan
laki-laki adalah orang yang rasional, laki-laki didefinisikan sebagai seseorang
yang kuat sedangkan stereotipi perempuan adalah orang yang memiliki fisik
lemah. Pernyataan perempuan seringkali dianggap emosional, padahal didasarkan
pada fakta dan alasan yang jelas.
Komunikasi gender dalam institusi kerja tidak lepas kaitannya dengan
stereotipi perempuan dan laki-laki pada umumnya. Bentuk-bentuk stereotipi
disampaikan melalui komunikasi profesional yang disampaikan melalui pelatihan
dasar, seperti penerimaan, penempatan, promosi jabatan, dan pola interaksi
lainnya. Menurut Wood (2001) terdapat empat stereotipi perempuan pekerja yang
membuat perempuan dinilai tidak kompeten yaitu stereotipi objek seksual,
stereotipi anak (kekanakan) atau perempuan hanya bisa mendukung karyawan
lainnya (khususnya laki-laki) yang berposisi sebagai pemimpin baik berupa
dukungan moral maupun menyiapkan kebutuhan pimpinan, stereotipi keibuan dan
stereotipi perkasa (iron maiden) bagi perempuan yang terlalu agresif.
Pertama stereotipi objek seks, stereotipi ini mendefinisikan perempuan
sesuai bentuk seksualitasnya yang memunculkan harapan bahwa penampilan dan
tindakan perempuan harus sesuai dengan budaya feminin. Perempuan sebagai
objek seksual diidealkan oleh media sebagai seseorang yang muda, langsing,
cantik, pasif, bergantung, dan terkadang tidak kompeten serta dungu (Wood
2001). Gambaran ideal perempuan bentukan media ini tidak sejalan dengan
realitas dan kebanyakan perempuan.
Perempuan dinilai berdasarkan
penampilannya bukan kompetensi yang dimilikinya. Dalam dunia kerja
perempuan harus tampil cantik dengan make up sedangkan laki-laki tidak boleh
menampakan dirinya menggunakan make up di lingkungan kerja karena hal ini
akan memengaruhi banyak hal. Perempuan harus pandai menata rambutnya,
mendandani wajahnya, untuk melakukan layanan dalam pekerjaanya, kemampuan
pelayanan yang dilakukan oleh perempuan tidak lebih utama dibandingkan
dengan penilaian penampilanya. Dampak dari pencitraan ini adalah, banyak
perempuan merasa penampilannya sangat jelek karena berbeda dengan standar
yang ada di majalah atau media lainnya.
Kedua, stereotipi bahwa perempuan adalah ibu (keibuan). Stereotipi ini
memunculkan harapan bahwa karyawan perempuan akan mendengar, mendukung,
dan menolong lainnya (Wood 2001). Ketika dukungan dan simpati diperlukan
oleh karyawan yang berada di level bawah maka atasan yang dicari adalah atasan
perempuan karena perempuan dianggap memiliki karakteristik sebagai ibu.
Stereotipi ibu juga memunculkan harapan bahwa perempuan akan melayani,
administratif, dan mampu menyusun aktivitas sosial. Komunikasi bagi
kebanyakan perempuan dijadikan jalan utama untuk membangun dan memelihara
komunikasi dengan orang lain. Perempuan seringkali mengekspresikan perhatian,
memahami kondisi, dan simpati pada perasaan atau situasi yang sedang dihadapi
orang lain (Wood 2001).
Melabeli keseluruhan sikap perempuan dengan stereotipi keibuan
merupakan bentuk diskriminasi yang halus. Implikasi hal ini adalah segregasi
pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan yang dilakukan oleh perempuan.
Diskusi profesional pekerjaan jarang melibatkan perempuan. Perempuan
diikutsertakan dalam diskusi yang membutuhkan simpati dan konsultasi untuk
mendapatkan dukungan. Output dari segregasi pekerjaan secara umum perempuan

8

mendapatkan pekerjaan yang lebih rendah upahnya dan lebih rendah gengsinya
dibanding laki-laki. Stereotipi sebagai ibu juga membuat perempuan diragukan
profesionalismenya, khususnya perempuan yang telah memilki anak (Wood
2001).
Ketiga sebagai anak (kekanakan), stereotipi ini mencerminkan penilaian
sosial terhadap perempuan sebagai pribadi yang kurang dewasa, kurang kompeten
dan kurang mampu membuat keputusan dibandingkan laki-laki. Stereotipi ini
juga membuat perempuan mendapatkan kedudukan sebagai seorang yang harus
dilindungi serta harus mendapatkan izin dari orang tua atau suami dalam
mengambil keputusan (Wood 2001).
Perkasa (iron maiden), stereotipi ini membuat perempuan yang memiliki
fisik yang kuat, ambisius, agresif, dan kompetitif tidak dianggap sebagai
perempuan biasa, namun perempuan yang tidak feminin, seperti laki-laki (Wood
2001). Perempuan dengan sifat-sifat tersebut dianggap luar biasa karena berbeda
dari perempuan lainnya, walapun pada dasarnya perempuan memang hebat.
Melalui stereotipi ini perempuan perkasa terlihat tidak lazim untuk menjadi
perempuan.
Laki-laki dalam dunia kerja juga seringkali diperlakukan sesuai dengan
stereotipi yang melekat pada dirinya. Media memotret laki-laki secara umum
sebagai sosok yang aktif, petualang, sangat kuat, agresif secara seksual dan tidak
terlibat dalam hubungan antar manusia yang lebih luas (Wood 2001). Stereotipi
laki-laki sesuai dengan karakter maskulin yang dibentuk oleh budaya, stereotipi
laki-laki dalam dunia kerja menurut Wood (2000) adalah laki-laki lengkap dan
memiliki segalanya (sturdy oak), pejuang (fighter) dan sebagai pencari nafkah
utama (breadwinners) (Wood 2001).
Laki-laki itu sempurna (sturdi oak) adalah stereotipi yang berarti bahwa
laki-laki dianggap memiliki segalanya, mandiri dan kuat, sehingga tidak wajar
baginya menunjukkan kelemahan atau bergantung pada orang lain (Wood 2000).
Menangis di depan publik merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh
laki-laki. Stereotipi ini berdampak pada kinerja profesional laki-laki. Laki-laki
akan terlihat aneh juga memiliki keraguan atau ketakutan dan pada saat yang
sama laki-laki akan mendapatkan label tidak bijaksana karena keraguan tersebut.
Laki-laki juga terlarang meminta bantuan, meminta nasihat pada lainnya.
Pejuang (fighter) menggambarkan laki-laki merupakan seorang pejuang
yang gagah di medan perang, dalam dunia bisnis berarti laki-laki mampu
berkompetisi (Wood 2001). Laki-laki dalam pekerjaan dilabeli sebagai pejuang
yang mengeluarkan segala kekuatannya untuk mendapatkan kemenangan. Lakilaki yang merawat keluarganya dan menghabiskan waktu bersama keluarga
dibandingkan untuk pekerjaannya dianggap ganjil. Stereotipi ini juga berimplikasi
pada penilaian bahwa laki-laki dekat dengan maskulinitas, dominan, kekuatan dan
kekerasan.
Pencari nafkah utama (breadwinner), menurut Wood (2001) tidak ada
stereotipi yang kental dalam budaya masyarakat selain stereotipi bahwa laki-laki
adalah pencari nafkah utama. Laki-laki yang mampu memperoleh pendapatan
lebih banyak lebih bernilai dari laki-laki yang pendapatannya sedikit dan tidak
mampu menafkahi keluarga. Stereotipi ini membuat beban pemenuhan ekonomi
rumahtangga dipikul oleh laki-laki sepenuhnya dan laki-laki jarang bisa
mengambil keputusan untuk mengurangi waktu kerjanya. Laki-laki yang tidak

9

bekerja akan menerima pelecehan secara sosial karena dianggap tidak mampu
menjaga keluarganya.
Selain stereotipi masing-masing jenis kelamin, Wood (2001) memaparkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dicitrakan oleh media. Pertama,
perempuan bergantung sedangkan laki-laki mandiri. Film menggambarkan
perempuan bergantung pada laki-laki, dominasi tradisional laki-laki terhadap
perempuan dan pola hubungan subordinasi antara laki-laki dan perempuan.
Kedua, perempuan tidak cakap (ketidakmampuan perempuan) dan laki-laki
berkuasa, media menggambarkan laki-laki memiliki kuasa untuk menyelamatkan
dan membantu ketidakmampuan perempuan. Laki-laki lebih kompeten
dibandingkan dengan perempuan. Ketiga, perempuan perhatian/ memelihara/ teliti
(primary caregivers), sedangkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama.
Keempat, perempuan adalah objek seksual, sedangkan laki-laki adalah seorang
yang agresif.
Beberapa penelitian memperlihatkan pengaruh stereotipi terhadap interaksi
antara laki-laki dan perempuan. Gaia (2013) dalam penelitiannya tentang interaksi
hubungan karib antara jenis kelamin menunjukkan simpulan bahwa laki-laki
mendapatkan evaluasi yang negatif saat memiliki hubungan yang sangat karib.
Laki-laki dipersepsikan gay dan mendapat penolakan dari kelompok saat
menunjukkan ekspresi keakraban. Pruysers dan Blais (2014) menyimpulkan
bahwa stereotipi memengaruhi pengetahuan politik dan kepercayaan diri
perempuan untuk memahami politik lebih dari laki-laki, dan meningkatkan
kepercayaan diri laki-laki dalam berpolitik yang merasa lebih pintar dalam politik
dibandingkan perempuan. Manea (2013) menyatakan bahwa anak usia dini sangat
dipengaruhi oleh evalusi gender, negara dan kota dari mana dia berasal. Indikator
stereotipi yang digunakan dalam penelitian ini adalah objek seks, keibuan,
kekanakan, perkasa, pejuang, sempurna atau lengkap, dan pencari nafkah utama.
Diskriminasi
Prinsip non diskriminasi merupakan hak dasar yang harus dimiliki oleh
setiap pekerja di Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Pasal 28I ayat 2
UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Prinsip non diskriminasi ini juga diatur
dalam Konvensi ILO No. 100 tentang Pengupahan yang Sama bagi Laki-laki dan
Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya dan Konvensi ILO No. 111
tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan. Konvensi ini menyatakan
bahwa pekerja/buruh berhak untuk mendapatkan perlakukan yang sama tanpa ada
perbedaan, pengecualian dan pilihan lain yang didasarkan pada ras, warna kulit,
jenis kelamin, agama, keyakinan politik dan kebangsaan yang mengakibatkan
berkurangnya kesetaraan kesempatan dalam pekerjaan, jabatan ataupun upah
(Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan ILO 2011).
Persoalan maskulinitas serta lemahnya posisi perempuan dalam
lingkungan kerja sesungguhya telah mendapatkan perlindungan hukum yang
tertuang dalam pasal-pasal CEDAW yang diratifikasi oleh Indonesia dengan
dibuatnya Undang-Undang No.7 Tahun 1984 (Hartono 2000). Pasal 1-5 CEDAW
yang berkaitan dengan tanggung jawab negara pada penghapusan diskriminasi
juga berhasil mendorong negara Indonesia mengesahkan UU No. 13 Tahun 2013

10

tentang ketenagakerjaan walaupun konteks diskriminasi perempuan tidak
disebutkan secara eksplisit. Pada pasal 5 UU No. 13 Tahun 2013 disebutkan
bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan
tanpa diskriminasi dan pasal 6 menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak
atas perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari majikan mereka.
Pasal 11 CEDAW juga membahas hak pekerja perempuan. Meskipun
sejumlah hak-hak perempuan itu telah dilindungi melalui UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagian besar perusahaan hampir tidak
memperhatikan masalah-masalah spesifik yang dialami pekerja perempuan.
Pekerja perempuan dalam sektor formal menghadapi sejumlah diskriminasi yang
ditimbulkan karena keperempuanannya seperti masalah cuti haid, masalah cuti
melahirkan, masalah kehamilan, masalah menyusui, tempat penitipan anak,
mengalami pelecehan seksual, serta penetapan standar upah dan tunjangan yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan (CWGI 2007).
Diskriminasi gender menurunkan kepuasan kerja, motivasi kerja dan
komitmen kerja karyawan, serta meningkatkan tingkat tekanan psikologis pada
karyawan (Channar et al. 2011). Diskriminasi didefinisikan sebagai proses dimana
satu atau lebih kelompok sosial memberikan perlakuan yang berbeda pada
seseorang atau kelompok lainnya dan seringkali merugikan (Gil-Gonzalez et al.
2013). Secara spesifik diskriminasi dalam pasar kerja berarti perlakuan yang
berbeda dalam pasar kerja yang sama terhadap seseorang terkait jenis kelamin
yang melekat padanya (Turturean et al. 2013). Hal yang paling memengaruhi
terjadinya diskriminasi secara sosial adalah ketidakseimbangan kuasa terkait
gender, kelas sosial atau kelompok etnis tertentu dengan kelompok lainnya (GilGonzalez et al. 2013). Diskriminasi berkaitan dengan dengan stereotipi yang
dilekatkan pada laki-laki dan perempuan.
Strereotipe gender menghasilkan diskriminasi jenis kelamin (Heilman dan
Eagly 2008). Perempuan lebih sering menerima perlakuan diskriminasi di
bandingkan laki-laki baik di rumah maupun di tempat kerja (Gil-Gonzalez et al.
2013; Popa dan Bucur 2014). Diskriminasi yang sering terjadi dalam konteks
kerja adalah diskriminasi penerimaan pegawai, spesialisasi posisi jabatan
(diskriminasi profesional) dan diskriminasi upah untuk kondisi kerja yang sama
antara laki-laki dan perempuan (Turturean 2013).
Perempuan hanya diperbolehkan melakukan pekerjaan administratif dan
dipandang sebelah mata dalam pekerjaan lapang dan pekerjaan lain yang
mengandalkan kekuatan fisik. Simamora (2010) menuliskan bahwa terdapat dua
konsekuensi perempuan bekerja dalam pekerjaan yang menuntut kemampuan
fisik, seperti teknik sipil, yaitu terkait sistem kerja yang berhubungan dengan
kebijakan-kebijakan perusahaan, misalnya kebijakan penempatan kerja, jenjang
karir, dan deskripsi pekerjaan serta terkait budaya kerja. Budaya kerja
menyangkut hubungan dengan atasan, rekan-rekan kerja dan bawahan. Hasil
analisis Simamora (2010) menunjukkan bahwa sistem kerja memiliki aturanaturan gender seperti pemisahan pekerjaaan yang mengakibatkan penghilangan
keahlian perempuan (deskilling) dan penugasan yang didasarkan pada jenis
kelamin dan peniadaan pekerjaan perempuan (exclusion). Deskilling ditandai
dengan jarangnya penugasan dilapang karena anggapan perempuan tidak cocok
bekerja dilapangan, sehingga hanya diberi tugas keuangan, dan pekerjaan dalam
ruangan, monoton, tidak ada kesempatan memimpin proyek. Exclusion ditandai

11

dengan kebijakan pimpinan saat memberi promosi jabatan pimpinan proyek yang
mendahulukan laki-laki.
Gardiner et al. (1996) mengungkapkan bahwa bagi pekerja perempuan
mendapatkan upah yang lebih rendah dari laki-laki adalah suatu hal yang biasa
bahkan diperusahaan yang pemiliknya adalah perempuan. Kebijakan kesetaraan
upah tidak memengaruhi perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan (Lanning
2014). Prasangka terhadap kinerja perempuan yang lebih rendah (Lanning 2014),
mudahnya memperoleh tenaga kerja untuk menggantikan pekerjaan yang
ditinggalkan oleh perempuan menjadi alasan perbedaan upah ini (Wood 2001).
Diskriminasi gender yang dirasakan perempuan mendatangkan depresi dan
tekanan psikologi serta ke