HUBUNGAN ANTARA ORIENTASI GENDER DENGAN

HUBUNGAN ANTARA ORIENTASI GENDER DENGAN PERILAKU
ASERTIF MAHASISWA BIMBINGAN DAN KONSELING UNIVERSITAS
KRISTEN SATYA WACANA
Oleh: Priska Uliara Sitanggang
(Program Studi Bimbingan dan Konseling-FKIP-UKSW)
Pembimbing:
I

Prof. Drs. J. T. Lobby Loekmono, Ph.D

(Program Studi Bimbingan dan Konseling-FKIP-UKSW)
II

Drs. Sumardjono Padmomartono, M. Pd

(Program Studi Bimbingan dan Konseling-FKIP-UKSW)

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui
signifikasi hubungan antara orientasi gender dengan perilaku asertif mahasiswa Bimbingan dan
Konseling Universitas Kristen Satya Wacana. Subjek penelitian ini melibatkan Mahasiswa BK
FKIP UKSW sebanyak 160 mahasiswa terdiri dari 70 orang mahasiswa laki-laki dan 90 orang

mahasiswa perempuan. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan Bem Sex Role
Inventory dan Rathus Assertivenes Schedule. Untuk mengetahui korelasi antara feminine dengan
perilaku asertif mahasiswa, teknik analisis data yang digunakan yaitu teknik analisis Kendal’s
Tau_b. Sedangkan untuk mengetahui korelasi antara maskulin dengan perilaku asertif mahasiswa
menggunakan teknik analisis Product Moment Pearson. Hasil penelitian menunjukkan nilai sig.
(2-tailed) sebesar 0,551 (p>0,05) artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara feminine
dengan perilaku asertif mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana
dan nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,05 (>0,05) artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara
maskulin dengan perilaku asertif mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya
Wacana.
Kata Kunci : Orientasi Gender, Perilaku Asertif
PENDAHULUAN
Gender merupakan karakteristik kepribadian dimana sikap dan perilaku seseorang akan
dipengaruhi oleh orientasi gender yang dimilikinya (Bem, 1975). Banyak hal yang dapat
mempengaruhi gender seseorang, salah satu diantaranya adalah stereotype gender. stereotype
gender adalah kategori-kategori luas dari masyarakat yang mencerminkan kesan dan
kepercayaan kita tentang perempuan dan laki-laki. Stereotype gender inilah yang membedakan
ciri-ciri kepribadian laki-laki dan perempuan yang kemudian digolongkan ke dalam orientasi

gender. Orientasi gender merupakan kategori feminin dan maskulin. Individu dengan orientasi

gender feminine biasanya memiliki stereotype gender sebagai berikut: 1) lemah lembut, 2)
cenderung pasif, 3) periang, 4) cepat mengalah, dan 5) bersifat kewanitaan. Sedangkan gender
maskulin biasanya 1) ambisius, 2) memiliki perilaku asertif, 3) tegas, 4) dominan, dan 5)
bersifat kelaki-lakian (Bem, 1975).
Bem (1975) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan salah satu dari ciri kepribadian
yang berhubungan dengan orientasi gender. Perilaku asertif adalah kemampuan individu untuk
dapat mengemukakan pendapat, perasaan dan kebutuhan-kebutuhannya secara jujur, tanpa
menyakiti orang lain atau merugikan orang yang ada di sekitarnya (Rathus, 1977). Apabila
mengalami konflik dengan orang lain, individu akan terlihat lebih matang secara emosi karena
individu menanggapi kritik dengan lapang dada dan marah dengan kepala dingin. Sehingga dapat
mengungkapkan perasaan marah secara tepat, mampu mengungkapkan ketidaksetujuan tanpa
menyakiti perasaan orang lain, bersikap tegas, mampu beradaptasi dengan lingkungan baru yang
beragam, selalu memerlukan dan menginginkan kerjasama dengan orang lain dalam memenuhi
kebutuhannya(Hayes, 2002).
Bem (1975) menyatakan bahwa Individu maskulin memiliki hubungan yang signifikan
dengan perilaku asertif mahasiswa sedangkan individu feminine tidak. Pernyataan tersebut
dibuktikan juga oleh hasil panelitian Lohr, Nix dan Stauffer (1980) yang membuktikan ada
hubungan yang signifikan antara maskulin dengan perilaku asertif mahasiswa. Berbeda dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Tolor, Kelly dan Stebbins (1976) yang menemukan adanya
hubungan positif yang signifikan antara gender maskulin dan feminine dengan perilaku asertif

dan konsep diri mahasiswa. Lalu berbeda pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Campbell, Olson dan Kleim (1990) yang menemukan ada hubungan yang signifikan antara
feminine dengan Conversational Assertiveness. Sedangkan maskulin tidak ada hubungan yang
signifikan dengan perilaku asertif mahasiswa (P>0,05).
Penelitian Tolor, Kelly dan Stebbins (1976), Lohr, Nix dan Stauffer (1980) dan penelitian
Campbell, Olson dan Kleim (1990) memiliki beberapa kesamaan yaitu sama-sama membahas
sedikit tentang hubungan orientasi gender dengan perilaku asertif. Subjek yang terlibat dalam
penelitian Tolor, Kelly dan Stebbins (1976), Lohr, Nix dan Stauffer (1980) dan penelitian
Campbell, Olson dan Kleim (1990) sama yaitu mahasiswa dan instrumen yang digunakan untuk
menggolongkan mahasiswa sesuai orientasi gendernya pun sama yaitu menggunakan Bem Sex
role Inventory. Namun hasil penelitian yang ditemukan berbeda-beda. Penelitian Tolor, Kelly dan

Stebbins (1976) menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara maskulin dan
feminine dengan perilaku asertif mahasiswa. Namun penelitian Lohr, Nix dan Stauffer (1980)
menunjukkan bahwa hanya maskulin yang memiliki hubungan signifikan dengan perilaku asertif
mahasiswa. Berbeda pula dengan hasil penelitian Campbell, Olson dan Kleim (1990) yang
menunjukkan bahwa feminine memiliki hubungan signifikan dengan perilaku asertif sedangkan
maskulin tidak memiliki hubungan yang signifikan. Berdasarkan perbedaan hasil penelitian
tersebut, untuk mengetahui kebenarannya maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Oleh
sebab itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang adanya hubungan antara orientasi gender

dengan perilaku asertif mahasiswa.
Peneliti melakukan pra penelitian tanggal 25 Agustus 2016 kepada calon konselor yaitu
mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana (BK UKSW).
Mahasiswa yang menjadi subjek pra penelitian yaitu mahasiswa aktif BK UKSW angkatan 2016
sebanyak 40 orang. Berdasarkan hasil pra penelitian terdapat mahasiswa androgyn, feminine dan
maskulin. Untuk hasil pra penelitian yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Perilaku Asertif Mahasiswa BK Angkatan 2016
ORIENTASI GENDER
N PERILAKU
O
ASERTIF
A
F
M
1 Sangat Rendah
30%
26,6%
60%
2 Rendah
50%

20%
6,7%
3 Sedang
10%
40%
13,3%
4 Tinggi
10%
6,7%
13,3%%
5 Sangat Tinggi
0%
6,7%
6,7%
Jumlah
100% 100%
100%

Hasil pra penelitian pada tabel 1.1, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa
feminine memiliki perilaku asertif sedang (40%) sedangkan mahasiswa maskulin sebagian besar

memiliki perilaku asertif yang sangat rendah (60%). Hasil pra penelitian ini tidak sejalan dengan
Bem (1975) yang menyatakan bahwa Individu maskulin lebih asertif dibandingkan individu
feminine. Oleh sebab itu, peneliti tertarik memilih mahasiswa BK UKSW sebagai subjek
penelitian.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian
tentang “Hubungan Antara Orientasi Gender dengan Perilaku Asertif Mahasiswa Program Studi
Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1) Adakah hubungan yang signifikan antara feminine dengan perilaku asertif Mahasiswa
Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana ?
2) Adakah hubungan yang signifikan antara maskulin dengan perilaku asertif Mahasiswa
Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana ?
Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara feminin dengan perilaku asertif Mahasiswa
Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana.
2) Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara maskulin dengan perilaku asertif
Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana.
LANDASAN TEORI

Orientasi Gender
Menurut Bem (1974) Orientasi Gender merupakan karakteristik kepribadian laki-laki dan
perempuan yang dklasifikansikan kedalam 4 peran, yaitu :
1. Maskulin
Maskulin yaitu individu yang memiliki sifat kelaki-lakian diatas rata-rata dan sifat
kewanitaannya kurang dari rata-rata. Ciri-ciri yang berkaitan dengan gender maskulin yang
lebih umum ditemukan pada laki-laki atau suatu gender maskulin yang dibentuk oleh
budayanya. Dengan demikian gender maskulin adalah sifat dipercaya dan dibentuk oleh
budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi laki-laki.
2. Feminin
Feminine yaitu individu yang memiliki sifat keperempuanan diatas rata-rata dan sifat
kelaki-lakiannya kurang dari rata-rata. Ciri-ciri yang berkaitan dengan gender feminine yang
lebih umum ditemukan pada perempuan atau suatu gender feminine yang dibentuk oleh
budayanya.
3. Androgin
Androgin yaitu individu yang memiliki sifat kelaki-lakian dan keperempuanan yang
seimbang. Individu akan berperilaku fleksibel yang memiliki mental yang sehat
dibandingkan feminin dan maskulin.
4. Undifferentiated
Undifferentiated merupakan individu yang tidak terbedakan/ tidak teridentifikasikan

karena memiliki sifat kelakilakian dan keperempuanan dibawah rata-rata.

Pengukuran Gender
Pengukuran gender dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur sebagai berikut :
1.

The Personal Attributes Questionnaire (PAQ)
PAQ umumnya digunakan untuk membantu menggolongkan gender seseorang dalam
maskulinitas atau feminitas (Spence, Helmreich & Stapp, 1973). Kuisioner ini berisi 24
pernyataan bertentangan yang dinilai dalam 5 skala poin. Skala ini adalah nilai feminine,
nilai maskulin dan sex specific. Total skor dari 3 skala (maskulin, feminine dan maskulinfeminin) ditentukan oleh penjumlahan dari setiap item(Smith, 1983).

2

The Cecco-shively Social Sexrole Inventory (CSI)
The Cecco-shively Social Sexrole Inventory adalah inventori yang memiliki empat
kategori, yaitu : 1) personality/ kepribadian, 2) appearance/ penampilan, 3) speech/ ucapan
dan 4) mannerisms/

tingkah laku. Ciri-ciri dari setiap kategori tersebut membantu


menggolongkan gender femininitas dan maskulinitas seseorang. Setiap karakteristik yang
ada dalam skala maskulin dan skala feminine disediakan 4 alternatif jawaban (1 sampai 4)
yang dapat dipilih responden untuk memilih satu jawaban yang sesuai dengan keadaan
sebenarnya(Smith, 1983).
3

PRF-Andro Scale
PRF-Andro Scale adalah usaha untuk mengukur maskulinitas, feminitas, dan
androgini, memanfaatkan 63 item dari Jackson Personality Research Form (PRF). Skala ini
memiliki 29 item subskala maskulinitas dan 27 item subskala feminitas. Skala ini
menurunkan skor maskulinitas dan feminitas setiap individu dan membandingkan skor
tersebut dengan nilai median maskulinitas dan feminitas dari skor total kelompok. Subyek
yang memiliki skor diatas median feminitas dan median maskulinitas dikategorikan sebagai
"androgin", subjek yang memiliki skor diatas median maskulinitas dan di bawah median
feminitas dikategorikan sebagai ”maskulin”, subjek yang memiliki skor diatas median
femininitas dan di bawah median maskulinitas dikategorikan “feminine”, dan subjek yang
memiliki skor di bawah median maskulinitas dan median feminitas dikategorikan sebagai
”undifferentiated” (Smith, 1983).


4

Bem Sex Role Inventory (BSRI)

Bem Sex Role Inventory (Bem, 1974, 1977,1979, 1985) adalah sebuah instrument
pengukuran yang akan mengidentifikasi individu dalam kelompok sex typed (maskulin atau
feminin). Bem Sex Role Inventory dalam pendistribusiannya kepada responden tidak akan
terlihat jelas tetapi sebenarnya dalam butir-butir ciri kepribadian mengandung 20 ciri yang
merefleksikan definisi budaya tentang maskulinitas, 20 ciri yang merefleksikan definisi
budaya tentang femininitas, dan 20 ciri yang merefleksikan sifat pribadi yang netral artinya
ciri tersebut dimiliki oleh keduanya sehingga total butir keseluruhan adalah 60 butir ciri
kepribadian.
Dari 4 instrument yang mengukur gender, peneliti menggunakan Bem Sex Role
Inventory (BSRI) karena item karakteristik kepribadian dalam BSRI lebih banyak
dibandingkan The Personal Attributes Questionnaire (PAQ) dan PRF-Andro Scale sehingga
semakin lengkap karakteristik yang mendukung pengkategorian individu ke dalam orientasi
gender.
Perilaku Asertif
Menurut Rathus dan Nevid (1983) perilaku asertif adalah perilaku yang menampilkan keberanian
untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan, dan pikiran-pikiran apa adanya,

mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal
dari figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Menurut Rathus dan Nevid (1983), terdapat enam hal yang mempengaruhi perkembangan
perilaku asertif, yaitu:
1.

Jenis kelamin.
Jenis kelamin mempengaruhi perkembangan perilaku asertif. Wanita pada umumnya
lebih sulit bersikap asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan
dengan laki-laki. Rakos (1991: 13), jenis kelamin lebih dipengaruhi oleh stereotype
masyarakat dimana anak perempuan memiliki sifat yang femininim, pasif, manis dan pasrah.
Sedangkan laki-laki lebih bersifat maskulin, aktif, dominan dan rasional. Oleh karena itu,
laki-laki dianggap lebih asertif dari pada perempuan. Albert & Emmons (2002: 16) laki-laki
yang asertif dipandang tinggi dalam kehidupannya. Keluarga dan teman-temanpun mendekat

dan memiliki rasa hormat lebih besar kepada laki-laki yang cukup nyaman dengan dirinya
dan tidak perlu merendahkan orang lain untuk menaikkan dirinya.
2.

Self esteem.
Individu yang berhasil untuk berperilaku asertif adalah individu yang harus memiliki
keyakinan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki kekuatiran sosial yang
rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan orang lain
dan diri sendiri.

3.

Kebudayaan.
Kebudayaan juga mempengaruhi perilaku yang muncul. Kebudayaan dibuat sebagai
pedoman batas-batas perilaku setiap individu. Biasanya kebudayaan berhubungan dengan
norma-norma, di mana setiap kebudaayaan mempunyai aturan atau norma yang berbeda dan
perbedaan ini mempengaruhi perbedaan pribadi individu. Senada dengan Townend, Alberti
& Emmons (2002:17), mengatakan bahwa perubahan-perubahan pribadi menuntun
kesadaran yang lebih dari latar belakang budaya yang berbeda.

4.

Tingkat pendidikan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas wawasan berpikir sehingga
memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dengan lebih terbuka.

5.

Tipe kepribadian. Seseorang akan bertingkah laku berbeda dengan individu kepribadian lain.

6.

Situasi tertentu di lingkungan sekitarnya.
Rathus & Nevid (1983), dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi
dalam artian luas. Lingkungan sekitar yang mempengaruhi perilaku asertif seperti sekolah
dan tempat kerja.

7.

Kemampuan komunikasi.
Rakos (1991: 18), komunikasi akan membuat kita dapat memahami apa yang dimaksud
orang lain melalui kata-kata, dengan begitu kita dapat mengekspresikan perilaku asertif
dengan bebas dan langsung.

8. RAS mempengaruhi perilaku asertif, di mana menurut Garrison dan Jenkins (Rakos, 1991)
ras kulit putih lebih asertif dibandingkan dengan ras kulit hitam.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
menunjukkan perilaku asertif dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kebudayaan,
gender, tipe kepribadian, kemampuan komunikasi, lingkungan sekitar, dan ras.

Aspek-aspek Perilaku Asertif
Menurut Rathus dan Nevid (1983) ada 10 aspek perilaku asertif, yaitu :
1) Bicara Asertif.
2) Mampu mengungkapkan perasaan.
3) Memberikan salam kepada orang lain.
4) Mampu menampilkan cara yang efektif dan jujur dalam menyatakan rasa tidak setuju.
5) Mampu menanyakan alasan bila diminta untuk melakukan sesuatu.
6) Membicarakan diri sendiri mengenai pengalaman-pengalaman dengan cara yang menarik.
7) Menghargai pujian orang lain dengan cara yang sesuai.
8) Menolak untuk menerima begitu saja yaitu mengakhiri percakapan yang bertele-tele dengan
orang yang memaksakan pendapatnya.
9) Mampu menatap lawan bicara.
10) Respon melawan takut.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian korelasional adalah penelitian yang
menggunakan metode pertautan atau berusaha menghubung-hubungkan antara satu unsur atau
elemen dengan satu unsur atau elemen lain untuk menciptakan bentuk dan wujud baru yang
berbeda dengan sebelumnya (Sugiyono, 2014).
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini sebanyak 160 mahasiswa aktif Program Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Kristen Satya Wacana yang terdiri dari: 80 orang perempuan dan 80
orang laki-laki.
Instrument Penelitian
Penelitian ini menggunakan Bem Sex Role Inventory yang disusun oleh Sandra L. Bem
(1974)

untuk menggolongkan orientasi gender mahasiswa kedalam feminin dan maskulin.

Instrumen ini menggunakan bahasa inggris yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia. Oleh sebab itu perlu diadakan uji coba untuk mengukur validitas instrumen dengan
bantuan SPSS Version 21.0 for windows. Berdasarkan hasil uji validitas, instrumen ini memiliki
nilai Corrected Item-Total Corelation antara 0,312-0,828. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
setiap item memiliki nilai r ≥ 0,3 yang menunjukkan bahwa instumen valid. Berdasarkan hasil uji
reliabilitas, dapat diketahui bahwa nilai Cronbach’s Alpha Bem Sex Role Inventory sebesar α 0,
977 sehingga dapat dikatakan bahwa Bem Sex Role Inventory memiliki reliabilitas yang sangat
baik.
Sedangkan The Rathus Assertiveness Schedule yang disusun oleh Rathus A. Spencer (1987)
digunakan untuk mengukur perilaku asertif mahasiswa. Instrumen ini menggunakan bahasa
inggris yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu perlu diadakan uji
coba untuk mengukur validitas instrumen dengan bantuan SPSS Version 21.0 for windows.
Berdasarkan hasil uji validitas, instrumen ini memiliki nilai Corrected Item-Total Corelation
antara 0,303-0,499. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap item memiliki nilai r ≥ 0,3 yang
menunjukkan bahwa instumen valid. Selain itu berdasarkan uji Reliabilitas, The Rathus
Assertiveness Schedule memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,864 yang artinya reliabilitas
instrument ini termasuk dalam kategori baik.
Uji Normalitas
Tabel 3.9.a.1 Uji Normalitas Data RAS dan BSRI Mahasiswa Feminin dan Maskulin
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
ORIENTASI GENDER
FEMININ
BSRI
N
Normal Parametersa,b

RAS
80

Mean

MASKULIN

102,7625

RAS
80 80

38,1625 48,86

BSRI
80
105,70

Std. Deviation

Most Extreme
Differences

13,19594

23,49276 24,033

9,730

Absolute

,164

,148 ,109

,071

Positive

,135

,148 ,109

,059

Negative

-,164

-,075 -,087

-,071

1,471

1,327

,973

,631

,026

,059

,301

,821

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)

Berdasarkan tabel 3.9.a.1, uji normalitas RAS dan BSRI pada mahasiswa feminin, diketahui nilai
sig. (2-tailed) RAS sebesar 0,059 (>0,05) maka sebaran data dinyatakan memiliki distribusi
normal dan nilai sig. (2-tailed) BSRI sebesar 0,026 (0,05) maka sebaran data memiliki distribusi normal dan
nilai sig. (2-tailed) BSRI sebesar 0,821 (>0,05) maka sebaran data memiliki distribusi normal.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji korelasi antara feminine dengan perilaku
asertif mahasiswa BK UKSW dengan data tidak berdistribusi normal menggunakan teknik
analisis Kendall’s Tau_b (2-tailed). Sedangkan Teknik analisis data yang digunakan untuk
menguji korelasi antara maskulin dengan perilaku asertif mahasiswa BK UKSW menggunakan
teknik analisis Product Moment Pearson (2-tailed). Penelitian ini menggunakan bantuan SPSS
Version 21.0 for Windows.
HASIL PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini merupakan mahasiswa aktif Program Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Kristen Satya Wacana. Subjek sebanyak 160 mahasiswa yang terdiri dari
80 mahasiswa feminine dan 80 maskulin. Mahasiswa yang terlibat berusia 17-25 tahun.
Sebagian besar mahasiswa feminine yang terlibat adalah mahasiswa yang berusia 19 tahun dan
maskulin adalah mahasiswa yang berusia 20 tahun.
Tabel. 4.2.1.1 Deskriptif Perilaku Asertif Mahasiswa

PERILAKU
ASERTIF
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Jumlah

F
5
8
17
28
22
80

ORIENTASI GENDER
%
M
%
6,25%
7
8,75%
10%
21
26,25%
21,25% 24
30%
35%
12
15%
27,5%
16
20%
100%
80
100%

Hasil penelitian memberikan gambaran tentang perilaku asertif mahasiswa. Hal ini terlihat
dari hasil analisis pada tabel 4.2.1.1 yang menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa
feminin memiliki perilaku asertif yang rendah (35%) dan mahasiswa maskulin memiliki perilaku
asertif yang sedang(30%). Namun terlepas dari orientasi gender mahasiswa BK UKSW, sebesar
25,62% mahasiswa memiliki perilaku asertif sedang.
Tabel 4.2.2.1 Kategorisasi Gender Mahasiswa
ORIENTASI
GENDER
NO
JML
%
F
M
1
Perempuan
65
25
90
56,25
2
Laki-laki
15
55
70
44,75
Jumlah
80
80
160
100
Persentase
50%
50%
Berdasarkan data tersebut menunjukkan sebagian besar mahasiswa feminin BK UKSW
JENIS
KELAMIN

didominasi oleh mahasiswa perempuan dan mahasiswa maskulin didominasi oleh mahasiswa
laki-laki. Dapat disimpulkan juga bahwa sebagian besar mahasiswa BK UKSW lebih banyak
yang berjenis kelamin perempuan.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Bem (1975) yang menunjukkan bahwa
pada umumnya sebagian besar laki-laki lebih bersifat maskulin dan perempuan bersifat feminin.
Namun Bem juga menyatakan bahwa individu laki-laki dapat memiliki sifat feminine dan
sebaliknya individu perempuan juga dapat memiliki sifat maskulin. Hal tersebut dapat terjadi
oleh faktor-faktor yang mempengaruhi individu tersebut.

Uji Korelasi
Uji korelasi antara feminine dengan perilaku asertif mahasiswa menggunakan teknik
analisis Kendall’s Tau_b (2-tailed) dengan bantuan SPSS Version 21.0 for Windows. Hasil
analisis adalah sebagai berikut :
Tabel. 4.3.1 Uji Korelasi Antara Feminin dengan Perilaku Asertif

Correlations
BSRI
Correlation

RAS

1.000

.047

.

.551

80

80

.047

1.000

.551

.

80

80

BSR Coefficient
I

Sig. (2-tailed)

Kendall'

N

s tau_b

Correlation
RAS

Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

Dari tabel uji korelasi 4.3.1, diketahui nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,551 (p>0,05) sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara feminine dengan perilaku
asertif mahasiswa BK UKSW.
Tabel. 4.3.8 Uji Korelasi Antara Maskulin dengan Perilaku Asertif
Correlations
BSRI
Pearson Correlation
BSRI

1

Sig. (2-tailed)
N

RAS

RAS
.050
80

80

*

1

Pearson Correlation

.220

Sig. (2-tailed)

.050

N

.220*

80

80

Berdasarkan tabel uji korelasi antara maskulin dengan perilaku asertif diatas, diketahui
nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,05 (p > 0,05) yang dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara maskulin dengan perilaku asertif mahasiswa BK UKSW.
Uji Hipotesis
Hipotesis awal yang pertama dibuat peneliti adalah tidak ada hubungan yang signifikan
antara feminine dengan perilaku asertif mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling
Universitas Kristen Satya Wacana. Namun hasil analisis memperoleh nilai sig. (2-tailed) sebesar
0,551 (p>0,05). Dengan demikian (Ho1) diterima artinya tidak ada hubungan yang signifikan
antara feminin dengan perilaku asertif mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling
Universitas Kristen Satya Wacana.
Hipotesis kedua yang dibuat peneliti adalah ada hubungan yang signifikan antara maskulin
dengan perilaku asertif mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen
Satya Wacana. Namun hasil analisis memperoleh nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,050 (p ≤ 0,05).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis awal peneliti (Hi2) ditolak artinya tidak
ada hubungan yang signifikan antara maskulin dengan perilaku asertif mahasiswa Program Studi
Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana.
PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara orientasi gender dengan perilaku
asertif pada mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya
Wacana, yang menggunakan instrumen Bem Sex-role Inventory dan Rathus Assertiveness
Schedule diberikan kepada 160 mahasiswa yang terdiri dari 80 feminin dan 80 maskulin. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki gender feminine (48.05%)

dan memiliki perilaku asertif rendah (35%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Bem
(1975) yang membuktikan bahwa mahasiswa feminine sebagian besar memiliki perilaku asertif
rendah dan mahasiswa maskulin sebagian besar memiliki perilaku asertif sedang (30%).
Penelitian ini menghasilkan nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,932 (p>0,05) dan nilai rxy= 0,013
untuk hubungan antara feminin dengan perilaku asertif mahasiswa, kemudian ditemukan juga
nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,050 (p>0,05) dan nilai rxy= 0,220 untuk hubungan antara maskulin
dengan perilaku asertif mahasiswa. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara feminine
dan maskulin dengan perilaku asertif mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling
Universitas Kristen Satya Wacana.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lohr, Nix, dan
Stauffer (1980) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara maskulin dengan
perilaku asertif namun feminin tidak memiliki hubungan yang signifikan. Namun hasil penelitian
ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tolor, Kelly, dan Stebbins (1976)
yang menyatakan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara feminin dan maskulin
dengan perilaku asertif pada 73 mahasiswa perempuan dan 61 mahasiswa laki-laki.
Hal yang sama terungkap dalam penelitian ini bahwa penelitian ini juga tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Campbell, Olson dan Kleim (1990) yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara maskulin dengan perilaku asertif namun ada
hubungan yang signifikan antara gender feminine dengan Conversational Assertiveness.
Sesuai dengan hasil penelitian Bem (1975), hal ini dapat terjadi karena Orientasi gender
memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku asertif mahasiswa. perempuan lebih feminin
dibandingkan laki-laki dan laki-laki lebih maskulin dibandingkan perempuan. Selain itu

ditemukan juga dalam penelitian ini bahwa semakin bertambahnya masa belajar mahasiswa
maka semakin meningkat perilaku asertif mahasiswa karena perilaku asertif tidak terlepas dari
interaksi sosial mahasiswa dengan lingkungan sekitar dan kebudayaan yang dianut oleh
mahasiswa yang juga turut berperan mempengaruhi perilaku asertif mahasiswa tersebut.
Tabel 4.5.1 Uji Korelasi Feminin dengan Sub variabel Perilaku Asertif
UJI KORELASI
1
,022
,783

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)

SUB VARIABEL PERILAKU ASERTIF
2
3
4
5
-,036
,037
-,028
,069
,665
,643
,726
,390

6
,137
,084

Pada tabel 4.5.1, Sub variabel perilaku asertif berturut-turut : 1) kemampuan meminta
pertolongan dan menolak permintaan orang lain, 2) kemampuan menggunakan cara efektif
menyatakan ketidaksetujuan kepada orang lain, 3) kemampuan menjalin interaksi sosial, 4)
kemampuan mengungkapkan perasaan dan pikiran kepada orang lain, 5) kemampuan menerima
pujian

dan mengungkapkan pujian kepada orang lain, dan 6) kemampuan menerima dan

memberikan keluhan kepada orang lain. Hasil uji korelasi pada tabel 4.5.1 menunjukkan nilai
Sig. (2-tailed) dari setiap variabel lebih dari 0,05 artinya feminine dengan setiap sub variabel
yang mengukur perilaku asertif mahasiswa tidak memiliki hubungan yang signifikan.
Tabel 4.5.1 Uji Korelasi Maskulin dengan Sub variabel Perilaku Asertif
UJI KORELASI
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)

1
,132
,242

SUB VARIABEL PERILAKU ASERTIF
2
3
4
5
,290**
,203
,085
,157
,009
,071
,455
,165

6
-,017
,881

Begitu juga dengan hasil uji korelasi pada tabel 4.5.2 menunjukkan nilai Sig. (2-tailed)
yang mengukur hubungan antara maskulin dengan setiap sub variabel perilaku asertif memiliki
nilai lebih dari 0,05 artinya maskulin dengan setiap sub variabel yang mengukur perilaku asertif
mahasiswa tidak memiliki hubungan yang signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian, terlepas dari orientasi gender yang dimiliki mahasiswa,
keputusan untuk memiliki perilaku asertif lebih tergantung pada keadaan situasional tidak hanya
berdasarkan orientasi gender mahasiswa. Jika mahasiswa ingin memiliki perilaku asertif dapat
melatihnya sendiri dengan latihan asertif maupun memperluas hubungan interpersonal dengan
orang banyak.
PENUTUP
Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara feminin
dengan perilaku asertif mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen
Satya Wacana. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
maskulin dengan perilaku asertif mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling
Universitas Kristen Satya Wacana.
Feminine dan maskulin tidak berhubungan dengan tinggi atau rendahnya perilaku asertif
seseorang. Keputusan untuk memiliki perilaku asertif lebih tergantung pada keadaan situasional
bukan berdasarkan orientasi gender seseorang. Jika individu ingin memiliki perilaku asertif dapat
melatihnya sendiri dengan latihan asertif maupun memperluas hubungan interpersonal dengan
orang banyak.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan peneliti yaitu :
1. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Campbell, Olson dan Kleim

(1990) dan hasil penelitian Tolor, Kelly dan Stebbins (1976). Namun hasil penelitian ini

sejalan dengan hasil penelitian Lohr, Nix, and Stauffer (1980). Sehingga penelitian ini
dapat memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya mengenai orientasi gender ada
hubungan yang signifikan dengan perilaku asertif. Oleh sebab itu peneliti menyarankan
agar dilakukan penelitian yang berhubungan dengan orientasi gender dan perilaku
asertif dengan menambah variable dan sample yang lebih besar.
2. Berdasarkan hasil penelitian, Mahasiswa feminine disarankan untuk meningkatkan

perilaku asertif yang mendukung pemberian layanan Bimbingan dan Konseling dengan
optimal.