Analisis Bionomika Dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia Di Kabupaten Tasikmalaya

ANALISIS BIONOMIKA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
WILAYAH PETERNAKAN RUMINANSIA
DI KABUPATEN TASIKMALAYA

WAHYU DARSONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bionomika
dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Wahyu Darsono
NIM H152120101

RINGKASAN
WAHYU DARSONO. Analisis Bionomika dalam Perencanaan Pembangunan
Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya. Dibimbing oleh
EKA INTAN KUMALA PUTRI dan NAHROWI.
Komoditas peternakan, khususnya ternak ruminansia secara umum berada
di perdesaan yang terkait dengan sumberdaya alam sesuai dengan bionomikanya,
yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu lahan, ternak dan pakan. Ruang
lingkup penelitian ini adalah pada aspek biofisik dan manajemen sumberdaya
lingkungan dalam pembangunan wilayah melalui pengembangan komoditas
ternak ruminansia. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek-aspek bionomika
dalam perencanaan pembangunan wilayah peternakan ruminansia terutama untuk
menetapkan wilayah prioritas pengembangannya. Metode analisis yang digunakan
adalah metode Location Quotion (LQ), analisis potensi sumberdaya pakan dan
kapasitas tampung serta karakteristik usaha dan tingkat pendapatan peternak.
Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya adalah 127.847,89

satuan ternak (ST) yang terdiri dari sapi potong 50.137 ST, sapi perah 2.106,00
ST, kerbau 13.568,85 ST, kambing 47.55,80 ST and domba 14.482,24 ST.
Karakteristik usaha masih bersifat semi intensif dengan kelembagaan usaha
berbentuk kelompok atau gabungan kelompok peternak. Rata-rata pendapatan
peternak dari usaha peternakan adalah sebesar Rp. 2.678.619,- per satuan ternak
per tahun dengan Return on Investment (ROI) paling baik pada komoditas kerbau
(152,92%) dan kambing (87,40%). Terdapat enam kecamatan yang merupakan
wilayah basis untuk sapi potong (Cipatujah LQ=1,62; Karangnunggal LQ=1,16;
Cikalong LQ=1,13; Pancatengah LQ=1,38; Cikatomas LQ=1,40), satu kecamatan
(Pagerageung LQ=10,23) sebagai wilayah basis sapi perah, empat kecamatan
(Cipatujah LQ=1,36; Karangnunggal LQ=1,22; Culamega LQ=1,05; dan
Cigalontang LQ=1,02) sebagai wilayah basis kerbau, tiga kecamatan (Leuwisari
LQ=1,20; Sariwangi LQ=2,23; dan Cigalontang LQ=1,22) sebagai wilayah basis
kambing, dan tidak ada wilayah basis ternak domba. Potensi pakan hijauan
sebanyak 801,202.62 ton bahan kering (BK) yang menyebar di seluruh kecamatan,
terutama di wilayah basis. Kapasitas tampung wilayah sebesar 341.174.08 ST
untuk ternak ruminansia dan dapat ditingkatkan sebanyak 213.326.19 ST atau
sekitar 160% dari populasi yang ada saat ini.
Wilayah prioritas pengembangan ternak ruminansia secara umum masih
mengarah pada wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya, terutama di wilayah

basis. Namun demikian, lokasi-lokasi non basis dapat dijadikan prioritas kedua
untuk pengembangannya sesuai dengan kapasitas tampung wilayahnya dan daya
dukung potensi produksi pakan hijauan. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya perlu
mendorong kebijakan pengembangan wilayah ternak ruminansia melalui
penetapan kawasan sentra peternakan dengan komoditas unggulannya sesuai
komoditas basis, peningkatan ketersediaan infrastruktur dasar berupa lahan
sebagai basis ekologi ternak, sumberdaya manusia, kelembagaan dan sarana
penunjang lainnya.
Kata kunci: bionomika ternak, ruminansia, wilayah pembangunan

SUMMARY
WAHYU DARSONO. Bionomics Analysis in Regional Planning Development
for Ruminants in Tasikmalaya District. Supervised by EKA INTAN KUMALA
PUTRI and NAHROWI
Livestock commodities, particularly ruminants in Indonesia are generally
located in rural areas related to natural resources in accordance with bionomics
aspect, consists of three main components i.e: land, livestock and feed.
Characteristics of the livestock faming are still traditional such as a sideline
business and low scale of operations or ownership of livestock. This condition can
affect the economic development of the area of the livestock subsector. The scope

of this study was the biophysical and management of environmental resources in
the development of the region through the development of ruminants based on
population distribution and potential carrying capacity of land and forage
resources. The objectives of research were to determine the priority of ruminant
development region in Tasikmalaya District. Methods of the research used
analysys area base using Location Quotion (LQ) method, feed resources potential
and carryng capacity analysis.
Ruminants population in Tasikmalaya District were 127,847.89 animal
unit (AU) consisted of beef cattle 50,137 AU, dairy cattle 2,106.00 AU, buffaloes
13,568.85 AU, goats 47,55.80 AU and sheep 14,482.24 AU. Characteristics of
livestock farming are semi-intensive and join in a group of farmer or unigroup of
farmer. The average of income in ruminants farming are Rp. 2,678,619,- per
animal unit per year, buffaloes (152,92%) and goat (87,40%) has good level in
return on investment (ROI). There were six subdistricts (Cipatujah LQ=1.62;
Karangnunggal LQ=1.16; Cikalong LQ=1.13; Pancatengah LQ=1.38; Cikatomas
LQ=1.40) as area base of beef cattle, one subdistrict (Pagerageung LQ=10.23) as
area base of dairy cattle, four subdistrict (Cipatujah LQ=1.36; Karangnunggal
LQ=1.22; Culamega LQ=1.05; Cigalontang LQ=1.02) as area base of buffaloes,
three subdistrict (Leuwisari LQ=1.20; Sariwangi LQ=2.23; Cigalontang LQ=1.22)
as area base of goats, and no area base for sheep. Potential production of feedstuff

was 801,202.62 dry matter (DM) tons/year spread in every subdistrict, especially
in the area base of ruminants. Tasikmalaya District had the carrying capacity
341,174.08 AU of ruminant and was still able to increase up to 213,326.19 AU or
160% of the real population.
The priority areas for the development of ruminants is generally still
located in the southern of Tasikmalaya, especially in the area base. However, the
locations of non area base can be used as a second priority to development in
accordance with carrying capacities and feedstuff support. Government of
Tasikmalaya needs to encourage policy of regional development through the
establishment of regional ruminant farm centers with superior commodity based
on commodity basis, the increase in the availability of basic infrastructure such as
base land of animal ecology, human resources, institutional and other institutional
supporting facilities.
Keywords:animal bionomics, regional development, ruminants

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS BIONOMIKA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
WILAYAH PETERNAKAN RUMINANSIA
DI KABUPATEN TASIKMALAYA

WAHYU DARSONO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis :

Dr Ir Sri Mulatsih MScAgr

Judul Tesis : Analisis Bionomika dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah
Peternakan Ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya
Nama
: Wahyu Darsono
NIM
: H152120101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Eka Intan Kumala Putri MSi
Ketua


Prof Dr Ir Nahrowi MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Bambang Juanda MS

Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian:
31 Agustus 2016

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian tesis ini berhasil disusun. Topik penelitian
merupakan kajian pada aspek biofisik lingkungan dan manajemen sumberdaya
alam dalam perencanaan pembangunan wilayah dan perdesaan dengan ternak
ruminansia sebagai komoditas kajiannya. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Maret 2016 sampai dengan Juni 2016 ini berjudul Analisis Bionomika dalam
Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Eka Intan Kumala Putri MS
dan Bapak Prof Dr Ir Nahrowi MSc selaku pembimbing, serta Dr Ir Sri Mulatsih
MScAgr selaku dosen penguji, yang telah banyak memberi saran. Penghargaan
dan terima kasih juga disampaikan kepada Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Ahli
Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Asosiasi Sarjana Membangun Desa
(ASMD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten
Tasikmalaya dan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Tasikmalaya atas segala dukungan, fasilitasi dan kesempatan yang diberikan.
Terima kasih juga disampaikan kepada ema, bapa, anak-anak tersayang (khalda
dan syauqi) dan istri tercinta (Dewi Siska) atas kesabaran dan kasih sayangnya,
serta rekan-rekan PWD 2012 atas kebersamaan dan dukungannya.

Semoga penelitian dan karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016
Wahyu Darsono

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
4
4
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bionomika Peternakan
Pembangunan Wilayah
Potensi dan Daya Dukung Wilayah
Sumberdaya Pakan Lokal
Penelitian Terkait
Kerangka Pemikiran

5
5
7
8
9
10
12

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Analisis Data

14
14
14
15

4 GAMBARAN UMUM
Kondisi Umum Wilayah
Perekonomian Wilayah
Kebijakan Wilayah Pembangunan
Subsektor Peternakan

17
17
21
21
23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekologi dan Potensi Peternakan
Karakteristik Usaha dan Pendapatan Peternak
Wilayah Basis Ternak Ruminansia
Potensi Pakan Hijauan
Kapasitas Tampung Wilayah
Prioritas Wilayah Pengembangan

26
27
38
43
51
58
65

6 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan

68
69
70

DAFTAR PUSTAKA

70

LAMPIRAN

73

RIWAYAT HIDUP

93

DAFTAR TABEL
1. Tujuan analisis, jenis data dan sumber data .................................................... 14
2. Distribusi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha ........................... 19
3. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia ................................................ 19
4. Penggunaan lahan pertanian ............................................................................ 19
5. Kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB (%) ............................................. 21
6. Wilayah pembangunan utama dan arah pembangunan ................................... 23
7. Populasi Ternak di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010-2014 ...................... 24
8. Jumlah peternak di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014 ....................... 25
9. Produksi peternakan di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014 ................ 25
10. Pemasukan, pengeluaran dan pemotongan ternak ruminansia tahun 2014 ..... 26
11. Nilai konversi satuan ternak ruminansia ......................................................... 27
12. Pasar hewan di Kabupaten Tasikmalaya ......................................................... 37
13. Karakteristik peternak (responden) ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya ..................................................................................................... 39
14. Rata-rata biaya dan pendapatan peternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya (Rp/ST/tahun) ............................................................................. 41
15. Pengelompokan wilayah prioritas pengembangan berdasarkan nilai LQ
dan PPTR efektif ............................................................................................. 65

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran penelitian ........................................................................ 13
2. Luas wilayah dan kepadatan penduduk di setiap kecamatan .......................... 18
3. Peta administrasi Kabupaten Tasikmalaya dan luas wilayah setiap
kecamatan (ha)................................................................................................. 20
4. Populasi ternak ruminansia di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) .................. 27
5. Populasi ternak sapi potong di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ................. 28
6. Populasi ternak sapi perah di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ................... 29
7. Populasi ternak kerbau di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ......................... 29
8. Populasi ternak kambing di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ...................... 30
9. Populasi ternak domba di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ......................... 31
10. Peta penyebaran populasi ternak ruminansia tahun 2014 ................................ 32
11. Luas sawah, lahan kering, padang gembalaan dan hutan (ha)......................... 33
12. Rumah tangga petani dan jumlah penduduk tahun 2014 ................................. 34
13. Peta penyebaran rumah tangga petani di setiap kecamatan ............................. 35
14. Tingkat pendapatan peternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya
(Rp/ST/Tahun) ................................................................................................. 40
15. Wilayah basis komoditas ternak ruminansia (LQ>1) di Kabupaten
Tasikmalaya ..................................................................................................... 44
16. Nilai LQ sapi potong ....................................................................................... 44
17. Peta wilayah basis (LQ>1) ternak sapi potong ................................................ 45
18. Nilai LQ sapi perah.......................................................................................... 46
19. Nilai LQ kerbau ............................................................................................... 46
20. Peta wilayah basis (LQ>1) ternak sapi perah .................................................. 47
21. Peta wilayah basis (LQ>1) ternak kerbau........................................................ 48

22. Nilai LQ kambing ........................................................................................... 49
23. Nilai LQ domba............................................................................................... 50
24. Peta wilayah basis (LQ>1) ternak kambing .................................................... 51
25. Potensi pakan hijauan (ton BK/tahun) ............................................................ 52
26. Peta potensi pakan hijauan .............................................................................. 53
27. Potensi pakan rumput (ton BK/tahun)............................................................. 54
28. Peta potensi pakan rumput di Kabupaten Tasikmalaya .................................. 55
29. Potensi pakan jerami (ton BK/tahun) .............................................................. 56
30. Peta potensi produksi pakan jerami di Kabupaten Tasikmalaya ..................... 57
31. Kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi pakan (ST) ............ 58
32. Peta kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi pakan (ST) .... 59
33. Kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi rumah tangga
petani (ST)....................................................................................................... 60
34. Peta kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi rumah
tangga petani ................................................................................................... 61
35. Peningkatan populasi ternak ruminansia (PPTR) berdasarkan potensi
pakan (ST) ....................................................................................................... 62
36. Peta penambahan populasi ternak ruminansia (PPTR-efektif)
berdasarkan potensi pakan (ST) ...................................................................... 64
37. Urutan prioritas wilayah pengembangan berdasarkan potensi
penambahan populasi ternak ruminansia (PPTR-Efektif)............................... 66

DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta wilayah pengembangan utama (WPU) di Kabupaten Tasikmalaya ........ 73
2. Luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk dan jumlah rumah
tangga petani di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014..................................... 74
3. Ketinggian, iklim/suhu dan curah hujan di Kabupaten Tasikmalaya ............. 75
4. Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014
(Satuan Ternak/ST) ......................................................................................... 77
5. Hasil penghitungan analisis pendapatan peternak sapi potong ....................... 78
6. Hasil penghitungan pendapatan peternak sapi perah ..................................... 79
7. Hasil penghitungan pendapatan peternak kerbau ............................................ 80
8. Hasil penghitungan pendapatan peternak kambing......................................... 81
9. Hasil penghitungan pendapatan peternak domba ............................................ 82
10. Nilai Location Quotion ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya
tahun 2014 ....................................................................................................... 83
11. Potensi pakan hijauan di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014 ....................... 84
12. Kapasitas tampung wilayah (KWT-Pakan) dan potensi penambahan
ternak ruminansia berdasarkan potensi pakan (PPTR-Pakan) ........................ 85
13. Kapasitas tampung wilayah (KWT-KK) dan potensi penambahan ternak
ruminansia berdasarkan rumah tangga petani (PPTR-KK) ............................. 86
14. Wilayah kecamatan dengan nilai penambahan populasi ternak (PPTREfektif) ............................................................................................................ 87
15. Kuesioner penelitian........................................................................................ 88

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemajuan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran bidang
peternakan. Subsektor peternakan memiliki peran yang strategis dalam
menyediakan sumber pangan, energi, dan sumber pendukung lainnya.
Pengembangan subsektor peternakan yang berkembangan di perdesaan diprediksi
akan berdampak pada kemajuan kehidupan perekonomian dan pembangunan
sumberdaya manusia Indonesia. Kebijakan otonomi daerah mendorong setiap
daerah untuk mengembangan peternakan dengan perhitungan kecukupan pangan
hewani berupa daging, telur dan susu. Pengembangan ternak tersebut diarahkan
pada wilayah-wilayah tertentu sebagai sentra pengembangan berbasis kawasan
yang mengacu pada Permentan 50/2012 tentang pedoman pengembangan kawasan
pertanian, Kepmentan 43/2015 tentang penetapan kawasan sapi potong, kerbau,
kambing, sapi perah, domba dan babi nasional dan peraturan pemerintah nomor 6
tahun 2013 tentang pemberdayaan peternak, maka pendekatan pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan ke depan diarahkan ditempuh melalui
pengembangan sentra peternakan rakyat berbasis kawasan (DPKH, 2015).
Prioritas pembangunan peternakan di wilayah Indonesia di masa yang akan
datang cenderung berada di luar Jawa, terutama di Indonesia bagian timur.
Kecenderungan ini berdasarkan pertimbangan utama ketersediaan lahan yang luas
dan kepadatan penduduk yang masih sedikit. Namun demikian, tidak menutup
peluang pengembangan ternak di pulau Jawa yang merupakan pasar terbesar
produk peternakan, terutama wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hasil sensus
pertanian tahun 2013 yang dirilis BPS (2014), jumlah ternak unggas yang
dipelihara oleh rumah tangga pertanian di Indonesia, ayam ras pedaging
merupakan ternak yang paling banyak diusahakan yaitu sebanyak 1.306.663.850
ekor, ayam lokal sebanyak 87.904.370 ekor dan ayam ras petelur sebanyak
81.148.992 ekor. Sementara itu untuk jenis ternak ruminansia yang paling banyak
diusahakan adalah kambing sebanyak 13.491.190 ekor dan sapi potong sebanyak
12.329.477 ekor. Populasi kambing dan sapi potong mayoritas berada di Provinsi
Jawa Timur, yaitu masing-masing sebanyak 4.151.397 ekor dan 3.545 493 ekor.
Ternak yang diusahakan/dipelihara oleh rumah tangga pertanian dibedakan
menjadi empat kelompok, yaitu; kelompok ternak besar terdiri dari sapi potong,
sapi perah, kerbau, dan kuda; kelompok ternak kecil terdiri dari kambing, domba,
dan babi; kelompok unggas terdiri dari ayam lokal (ayam kampung dan ayam
lokal lainnya), ayam ras petelur, ayam ras pedaging, itik, dan itik manila, serta
kelompok ternak lainnya terdiri dari angsa, kalkun, burung merpati, burung
puyuh, dan kelinci. Hasil sensus pertanian tahun 2013 juga menunjukan bahwa
rumah tangga usaha pertanian subsektor peternakan memiliki jumlah rumah
tangga usaha terbanyak kedua yaitu 12.969.210 rumah tangga, setelah subsektor
tanaman pangan. Mayoritas rumah tangga peternakan di Indonesia mengusahakan
satu jenis ternak. Jawa Timur merupakan provinsi yang paling banyak mempunyai
rumah tangga yang mengusahakan satu jenis ternak yaitu 2.180.569 rumah tangga,
diikuti Provinsi Jawa Tengah sebanyak 1.654.402 rumah tangga, dan Provinsi
Jawa Barat sebanyak 911.881 rumah tangga.

2
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki keunggulan
komparatif dalam pengembangan peternakan. Keunggulan tersebut ditunjukan
dengan populasi ternak unggas pada tahun 2012 sebagai berikut: ternak ayam ras
pedaging 610.436.303 ekor; ayam buras 27.224.219 ekor; ayam ras petelur
12.271.938 ekor; dan Itik 8.773.043 ekor. Populasi ternak ruminanasia yang
terdiri dari domba sebanyak 8.249.844 ekor; kambing 2.303.256 ekor; sapi potong
429.637 ekor; dan sapi perah 136.054 ekor (Disnak Provinsi Jawa Barat, 2012).
Namun demikian, keunggulan tersebut sampai saat ini belum sepenuhnya mampu
memberikan kesejahteraan bagi para peternak serta terhadap masyarakat secara
wajar dan merata. Salah satu komoditas potensial yang belum dikembangkan
secara optimal adalah komoditas ternak ruminansia, padahal komoditas ini
menyumbang kontribusi penyediaan hewani yang cukup baik dan diusahakan oleh
masyarakat di pedesaan. Penyediaan kebutuhan masyarakat terhadap komoditas
telur, daging dan susu sampai saat ini baik jumlah maupun keterjangkauan masih
kurang dan memerlukan pasokan dari luar wilayah bahkan dari luar negeri, karena
produksi dan distribusi produk masih terkendala berbagai faktor. Dilain pihak
melihat laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat relatif tinggi dibandingkan
dengan daerah lain yaitu tercatat laju pertumbuhan penduduk selama sepuluh
tahun terakhir yaitu pada tahun 2000-2010 adalah sebesar 1,90%, demikian pula
pengaruh dari income per kapita Jawa Barat serta tingkat pendidikan, akan
mendorong permintaan konsumsi produk peternakan terus meningkat. Pada tahun
2012 tingkat konsumsi protein yang berasal dari ternak di Jawa Barat baru
mencapai konsumsi rata-rata 6,71 gram protein/kapita/hari (Disnak Provinsi Jawa
Barat, 2012). Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi
protein hewani harus didukung dengan ketersediaan produk ternak yang dapat
dihasilkan dari sentra-sentra pengembangan peternakan.
Salah satu lokasi sentra produksi peternakan ruminansia di Jawa Barat
adalah Kabupaten Tasikmalaya. Kabupaten Tasikmalaya merupakan wilayah di
bagian selatan Jawa Barat yang diarahkan sebagai wilayah pengembangan ternak
ruminansia. Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya hampir 20%
dari total populasi ternak ruminansia di Jawa Barat. Berdasarkan data BPS
Kabupaten Tasikmalaya (2015), populasi ternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya pada tahun 2014 adalah 61.667 ekor ruminansia besar yang terdiri
dari 47.427 ekor sapi potong, 1.986 ekor sapi perah, 11.892 ekor kerbau dan 362
ekor kuda. Sedangkan populasi ternak ruminansia kecil di Kabupaten Tasikmalaya
adalah 392.657 ekor yang terdiri dari 76.592 ekor kambing dan 316.065 ekor
domba. Potensi peternakan di Kabupaten Tasikmalaya juga di dukung oleh letak
geografis Kabupaten Tasikmalaya yang strategis terhadap pasar yaitu dekat
dengan pusat ibu kota Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Namun demikian,
kemampuan produksi dan populasi ternak di Kabupaten Tasikmalaya belum
mampu memenuhi permintaan pasar secara optimal karena rendahnya
produktivitas. Kelemahan tersebut diantaranya disebabkan belum optimalnya
pemanfaatan kesesuaian bionomika ternak dengan kegiatan produksi peternakan.
Menurut Fatah et al (2012), rendahnya produktivitas ternak ruminansia di suatu
wilayah disebabkan berbagai keterbatasan antara lain: (a) ketersediaan pakan
terutama pada musim kemarau; (b) manajemen budidaya ternak yang masih
tradisional; (c) kelembagaan peternak yang belum berfungsi secara optimal; dan
(d) ancaman akibat pergeseran fungsi lahan garapan sumber pakan.

3
Wilayah Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari 39 kecamatan dan 351 desa,
dengan karakteristik wilayah terdiri dari 34 daerah perkotaan dan 317 daerah
perdesaan, 11 desa diantaranya merupakan wilayah pesisir. Kabupaten
Tasikmalaya memiliki luas 270.882 hektar dengan luas lahan pertanian 242.416
hektar (sawah 51.188 hektar dan bukan sawah 191.228 hektar) dan lahan non
pertanian 28.466 hektar (BPS Kab. Tasikmalaya, 2015). Penggunaan lahan di
Kabupaten Tasikmalaya yang didominasi oleh kegiatan pertanian merupakan
potensi untuk menghasilkan hijauan pakan ternak dari tanaman rumput maupun
dari limbah pertanian. Menurut Wiyatna et al (2012), penyediaan hijauan pakan
sebagian besar berasal dari pemanfaatan lahan garapan seperti sawah, ladang dan
hutan. Penyediaan hijauan pakan ternak sangat dipengaruhi oleh musim, dimana
pada musim penghujan hijauan pakan sangat berlimpah sedangkan pada musim
kemarau sebaliknya. Faktor lain yang mempengaruhi menurunnya ketersediaan
pakan adalah pergeseran lahan-lahan pertanian penghasil limbah pertanian yang
mengalami penurunan luas akibat persaingan dengan penggunaan lahan untuk
keperluan non pertanian (Nahrowi, 2015). Oleh karena itu, menurut Preston dan
Leng (1987) diperlukan suatu pola yang jelas antara ketersediaan rumput,
leguminosa, jerami padi serta limbah pertanian lainnya untuk menjamin
ketersediaan pakan secara berkesinambungan yang sesuai dengan kondisi
wilayah-wilayah pengembangan peternakan ruminansia terkait dengan potensi,
kapasitas tampung dan ekologinya.
Perumusan Masalah
Subsektor peternakan merupakan salah satu kegiatan yang potensial dan
prospektif bagi peningkatan ekonomi perdesaan. Komoditas peternakan,
khususnya ternak ruminansia secara umum berada di perdesaan yang terkait
dengan sumberdaya alam sesuai dengan bionomikanya. Kesesuaian bionomika
tersebut merupakan kunci keberhasilan pengembangan komoditas ternak
ruminansia yang terdiri dari tiga komponen utama yang saling terkait, yaitu lahan,
ternak dan pakan. Menurut Abdullah (2014), sistem pemeliharaan ternak
ruminansia skala menengah ke bawah masih mengalami kendala signifikan dalam
penyediaan bibit dan bahan pakan, hal ini menjadi penyebab belum maksimalnya
produksi ternak lokal. Sementara itu, Tawaf dan Daud (2010) berpendapat bahwa
kecukupan pakan pada usaha ternak ruminansia masih menjadi kendala yang
sangat dipengaruhi oleh pergerakan musim dimana pada musim tertentu tingkat
ketersediaan pakan akan menurun tajam dan sebaliknya. Ketersediaan pakan juga
dipengaruhi oleh pola penggunaan/pemilikan lahan serta menyebarnya lokasilokasi sumberdaya pakan yang berjauhan dengan kawasan-kawasan usaha
peternakan sehingga diperlukan suatu model pengelolaan sumberdaya pakan
sesuai dengan supply-demand dan potensinya secara terintegrasi.
Komoditas ternak strategis di Kabupaten Tasikmalaya meliputi sapi
potong, domba, sapi perah, kambing, ayam ras pedaging dan itik. Pada tahun
2014 perkembangan populasi ternak tersebut berkisar antara 1,72-46,22% jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jenis ternak yang prospektif untuk
dikembangkan saat ini adalah sapi potong, kambing dan domba. Peluang pasar
untuk komoditas ternak ruminansia sangat terbuka lebar, permintaan sapi potong
tidak kurang dari 14.000 ekor, sedangkan dari potensi lokal baru terpenuhi sekitar

4
15%, sisanya sebesar 85% harus mendatangkan dari luar kabupaten dan bahkan
dari luar Provinsi Jawa Barat antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur dan
impor (Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015).
Pada tahun 2013, lahan pengangongan dengan status milik desa tercatat
8.434 hektar, dengan perkiraan produksi rumput 164.733 ton bahan kering/tahun
dengan estimasi kapasitas tampung mencapai 176.482 ekor, tersebar di
Kecamatan Salopa, Cikatomas, Pancatengah, Cibalong, Karangnunggal,
Bantarkalong dan Cikalong, cenderung mengalami penurunan fungsi dan daya
dukungnya. Demikian juga dengan kondisi sosial ekonomi yang ditunjukan
dengan jumlah kelompok peternak sebanyak 100 kelompok dengan anggota tiap
kelompok berkisar 20-30 orang pada skala usaha dua sampai tiga ekor ternak
ruminansia (khususnya sapi) juga cenderung stagnan (Disnakanla Kab.
Tasikmalaya, 2014). Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya
lokasi-lokasi produksi peternakan akibat degradasi lahan dan alih fungsi lahan.
Karakteristik usaha ternak yang masih tradisional sebagai usaha sambilan serta
rendahnya skala usaha dan kepemilikan ternak juga dapat berpengaruh terhadap
perkembangan ekonomi wilayah dari subsektor peternakan. Oleh karena itu,
pengembangan peternakan, khususnya ternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya perlu kembali di arahkan pada wilayah-wilayah pengembangan yang
tepat sesuai dengan bionomika dan potensi daya dukung wilayahnya. Berdasarkan
uraian-uraian tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana potensi pengembangan ternak ruminansia berdasarkan tingkat
penyebaran populasi, wilayah basis dan karakteristik ekologi serta
karakteristik usaha dan pendapatan peternaknya ?
2. Bagaimana potensi dan daya dukung wilayah berdasarkan ketersediaan
sumberdaya pakan lokal serta kapasitas tampungnya ?
3. Bagaimana prioritas perencanaan pembangunan wilayah untuk lokasi
pengembangan usaha ternak ruminansia berdasarkan kesesuaian
bionomikanya ?
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi sumberdaya peternakan berdasarkan penyebaran populasi
ternak ruminansia untuk memperoleh lokasi wilayah basis, karakteristik usaha
serta tingkat pendapatan peternak di Kabupaten Tasikmalaya.
2. Menganalisis potensi ekologi dan daya dukung wilayah berdasarkan
ketersediaan sumberdaya pakan lokal untuk mengetahui kapasitas tampung
wilayah terhadap pengembangan ternak ruminansia.
3. Menetapkan lokasi prioritas pengembangan usaha ternak ruminansia dalam
perencanaan pembangunan wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan
pengembangan wilayah berbasis peternakan khususnya komoditas ternak
ruminansia terkait dengan bionomika dan potensi daya dukung wilayah di
Kabupaten Tasikmalaya, serta dapat dijadikan sumber acuan penelitian lebih
lanjut.

5
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah pada aspek biofisik dan manajemen
sumberdaya lingkungan dalam pembangunan wilayah melalui pengembangan
ternak ruminansia berdasarkan penyebaran populasi pada wilayah basis dan non
basis, karakteristik usaha dan tingkat pendapatan peternak, dan potensi ekologi
serta daya dukung wilayahnya (lahan dan sumberdaya pakan lokal) sebagai suatu
sistem bionomika ternak ruminansia. Kesesuaian aspek-aspek dalam bionomika
tersebut dikaji untuk menetapkan lokasi-lokasi prioritas pengembangan usaha
ternak ruminansia dalam perencanaan pembangunan wilayah.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bionomika Peternakan
Menurut Soeharsono (2008), bionomika adalah ilmu yang membahas
interaksi manusia dengan hewan dalam suatu ekosistem sehingga berkembang
kondisi adaptif tekno-sosio-ekonomi yang mendukung pemanfaatan ternak dan
pengembangan potensinya untuk kesejahteraan manusia. Lokasi geografis
merupakan salah satu faktor yang menentukan berkembangnya jenis peternakan
dengan basis ekologis manusia dan ternak yang tidak dapat dipisahkan. Manusia
berusaha memanfaatkan ternak melalui teknologi pemeliharaan tertentu dan
berorientasi ekonomi. Untuk dapat meningkatkan produksi ternak, upaya
memperkecil hambatan lingkungan dilakukan dengan mempertimbangan faktor
klimatologi dan nutrisi yang sesuai dengan genetika ternak.
Peternakan merupakan suatu ekosistem yang bersifat artificial dalam skala
kecil dibandingkan dengan yang alami. Terdapat empat karakteristik utama
ekosistem yang digunakan dalam penyusunan kriteria lingkungan ekologis dalam
pengembangan ternak ruminansia, yaitu: temperatur (suhu rata-rata dan
kelembaban); ketersediaan air (curah hujan, bulan kering, dan sumber air) dan
kualitas air; terrain (elevasi dan lereng); dan persentase kandungan batuan.
Pemanfaatan lahan sebagai ekosistem peternakan didasarkan pada posisi bahwa;
(a) lahan adalah sumber pakan untuk ternak; (b) semua jenis lahan cocok sebagai
sumber pakan; (c) pemanfaatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai usaha
penyerasian antara peruntukan lahan dengan sistem pertanian; dan (d) hubungan
antara lahan dan ternak bersifat dinamis (Suratman et al, 1998).
Ketersediaan lahan sebagai sumber pakan ternak semakin berkurang akibat
digunakan lahan terbuka untuk perumahan dan kecendrungan dari petani untuk
menanam lahan dengan tanaman pertanian yang dapat bermanfaat langsung untuk
kebutuhan manusia. Maka pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan alternatif
adalah salah satu solusi untuk menanggulagi kekurangan pakan ternak ruminansia.
Dengan diversifikasi pemanfaatan produk samping (by-product) yang sering
dianggap sebagai limbah (waste) dari limbah pertanian dan perkebunan menjadi
pakan dapat mendorong perkembangan agribisnis ternak ruminansia secara
integratif dalam suatu sistem produksi terpadu dengan pola pertanian dan
perkebunan melalui daur ulang biomas yang ramah lingkungan atau dikenal “zero
waste production system” (Wahyono et al, 2003).

6
Ruminansia adalah kelompok hewan mamalia yang bisa memah (memakan)
dua kali sehingga kelompok hewan tersebut dikenal juga sebagai hewan
memamah biak. Prospek usaha ternak ruminansia (sapi, kambing, domba) di
Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan Sulawesi sangat menjanjikan baik dilihat
dari segi teknis, ekonomis dan sosial. Secara teknis, usaha ternak ruminansia
sudah cukup berkembang dan mudah menyesuaikan dengan lingkungan. Secara
ekonomis memiliki pangsa pasar cukup besar baik untuk pemenuhan kebutuhan
dalam negeri maupun untuk ekspor. Secara sosial, ternak sapi, kambing dan
domba sudah memasyarakat di kalangan peternak dan dagingnya digemari
masyarakat (Soetanto, 2000).
Yusdja (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya ada enam bentuk struktur
penguasaan dan pengusahaan ternak ruminansia yang dapat dipahami yaitu:
(a) kelompok peternakan rakyat wilayah tanaman pangan, pada kelompok ini
pemeliharaan ternak sapi bersifat tradisional dan pemilikan sapi erat kaitannya
dengan usaha pertanian, bentuk ini umumnya ditemukan di pulau Jawa; (b)
kelompok peternakan rakyat yang tidak terkait dengan tanaman pangan, dengan
pola pemeliharaan sapi bersifat tradisional dan pemilikan erat kaitannya dengan
ketersediaan padang penggembalaan atau hijauan, bentuk pemeliharaan ternak
seperti ini sudah umum di Sumatera dan Indonesia Bagian Timur; (c) kelompok
peternakan rakyat dengan sistem bagi hasil, dimana pola pemeliharaan ternak
mempunyai tujuan yang tergantung pada kesepakatan; (d) kelompok usaha
peternakan rakyat dan skala kecil dengan pemeliharaan bersifat intensif; (e)
kelompok usaha peternakan skala menengah dengan pemeliharaan sapi sangat
intensif, penggunaan teknologi rendah, contoh kelompok ini adalah kelompok
usaha ternak sapi potong mandiri dan kelompok usaha ternak sapi potong
bermitra; serta (f) kelompok usaha peternakan swasta skala besar (feedlotters).
Usaha ternak ruminansia saat ini cenderung dilakukan dengan pola
pemeliharaan intensif dengan menggunakan teknologi tinggi. Namun demikian,
menurut Yusdja dan Ilham (2003) dimasa yang akan datang struktur pemilikan
atau pengusahaan ternak akan mengalami perubahan, karena hal-hal berikut: (a)
adanya perubahan struktur penggunaan lahan, dari persawahan menjadi lahan
untuk keperluan sektor non pertanian sehingga jika keberadaan ternak ruminansia
dikaitkan dengan perkembangan pertanian, berarti dengan menyusutnya lahan
pertanian akan diikuti oleh menyusutnya jumlah ternak; (b) introduksi traktor akan
menggantikan peran ternak sapi, akan menyebabkan hilangnya budaya pertanian
dengan menggunakan ternak sapi. Introduksi traktor pertanian bagaimanapun juga
akan mempengaruhi populasi ternak. Selama ini kebijakan introduksi traktor tidak
disertai dengan kebijakan yang dapat mengarahkan tujuan pemeliharaan ternak
menjadi sumber penghasil daging; (c) suplai daging dari usaha rakyat menghadapi
stagnasi sedangkan permintaan daging sapi terus melonjak maka akan muncul
perusahaan-perusahaan skala besar untuk mengisi kekosongan produksi sapi yang
tidak lagi bisa diandalkan dari usaha rakyat; dan (d) pergeseran tenaga pertanian
dari pedesaan ke kota menyebabkan penurunan jumlah petani dan sekaligus
menyebabkan menyusut pula jumlah pengelola ternak, sehingga jumlah ternak
diramalkan menyusut. Sekalipun petani yang masih tertinggal telah diberi
penyuluhan tentang mengalihkan fungsi sapi dari fungsi kerja menjadi sumber
pendapatan, tetapi pemerintah tidak menyadari bahwa tindakan itu berarti
mengubah budaya padat karya menjadi padat modal.

7
Pembangunan Wilayah
Budiharsono (2001) memberikan definisi wilayah sebagai unit geografi
yang dibatasi kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal.
Wilayah dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu : (a) wilayah homogen adalah
wilayah dipandang dari aspek atau kinerja yang mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri
yang relatif sama dan dibatasi berdasarkan keseragaman internal; (b) wilayah
nodal adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara
pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat
dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa ataupun komunikasi
dan transportasi. (c) wilayah administrasi adalah wilayah yang batas-batasnya
ditentukan pemerintah atau politik seperti propinsi, kabupaten, kecamatan, desa
atau kelurahan dan RT atau RW.
Menurut Sukirno (1985), teori perekonomian regional dibagi menjadi dua
sektor yaitu kegiatan basis dan kegiatan non basis. Kegiatan basis adalah kegiatankegiatan yang mengekspor barang dan jasa ke tempat-tempat di luar batas
perekonomian yang bersangkutan. Kegiatan non basis adalah kegiatan yang
menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat
tinggal di dalam batas-batas perkonomian masyarakat yang bersangkutan. Inti dari
model ekonomi basis adalah bahwa arah dan petumbuhan suatu wilayah
ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut yang berupa barang dan jasa serta tenaga
kerja.
Pembangunan wilayah yang berbasis pada peternakan sebagai komoditas
unggulan harus didasarkan pada penetapan jenis ternak sebagai komoditas basis,
pengembangan kelembagaan peternak, peningkatan usaha dan industri peternakan,
optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam
lokal yang didukung oleh pengembangan teknologi tepat guna dan ramah
lingkungan (Pambudy dan Sudardjat, 2000). Pembangunan subsektor peternakan
pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan populasi maupun produksi ternak
dan hasil ikutannya, yang pada gilirannya diharapkan dapat mendongkrak
pendapatan petani ternak, mendorong diversifikasi pangan dan perbaikan mutu
gizi masyarakat serta mengembangkan pasar ekspor terutama untuk mencapai
kedaulatan pangan. Pengembangan usaha ternak ruminansia dilakukan melalui
model kawasan sentra peternakan. Menurut Sunaryo dan Joshi (2003), kawasan
peternakan adalah kawasan yang secara khusus diperuntukan untuk kegiatan
peternakan atau terpadu sebagai komponen usahatani (berbasis tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen
ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung atau suaka alam)
Menurut Imam (2003), strategi pengembangan peternakan melalui kawasan
sentra peternakan terpadu sebagai sebuah klaster diarahkan pada suatu kawasan
khusus maupun terintegrasi dengan komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu
wilayah. Pengembangan kawasan peternakan ini sangat penting perannya dalam
efisiensi dan efektivitas pelayanan teknis dan ekonomis. Pelayanan teknis seperti
inseminasi buatan, kesehatan hewan, pakan, bibit dan pelayanan ekonomis seperti
pasar, rumah potong hewan, perkreditan dan permodalan, yang dana, sarana dan
tenaga menjadi lebih terfokus untuk satu kawasan. Klaster memungkinkan
pemasaran hasil ternak lebih ekonomis dalam pelayanan pasar karena dengan
klaster memungkinkan terjadinya pemasaran hasil bersama. Pengembangan

8
kawasan ini juga diarahkan kepada peningkatan investasi yang menarik bagi
semua pihak karena sudah tersedia ternak dan pelayanan yang bersifat teknis dan
ekonomis. Pusat pertumbuhan komoditas tersebut dapat menjadi sentra produksi
utama suatu komoditas peternakan yang mengarah kepada keunggulan komparatif
suatu wilayah (one village one product).
Ahmad (2004) menambahkan bahwa minimal dalam satu kawasan
peternakan satu rumah tangga peternak memiliki dua sampai tiga ekor sapi
potong, sehingga akan terdapat sekitar 300 ekor dalam satu klaster yang tergabung
dalam satu Gapoktan. Kelayakan secara ekonomi dalam satu kawasan/klaster
harus memenuhi batas minimal usaha yaitu dua ekor kerbau; 30 ekor ayam buras;
enam ekor domba/kambing; dan 15 ekor itik. Jumlah ternak ini sudah dianggap
memenuhi syarat minimal untuk disebut sebagai skala ekonomi sehingga
memerlukan layanan teknis yaitu layanan perbibitan, budidaya, pakan, layanan
kesehatan hewan dan layanan kesehatan masyarakat veteriner. Selain itu, dalam
satu klaster harus terdapat layanan bersifat ekonomi dan kelembagaan yaitu
layanan infrastruktur terpadu yang mencakup pengolahan dan pemasaran, layanan
permodalan, layanan transportasi yaitu untuk pengangkutan ternak dan jalan usaha
tani serta layanan pendampingan (kelembagaan).
Potensi dan Daya Dukung Wilayah
Menurut Suratman et al (1998), lahan merupakan sumberdaya alam yang
berkaitan erat dengan usaha peternakan, khususnya untuk ternak ruminansia
sebagai pemakan hijauan (herbivora). Berdasarkan kebutuhan lahan, usaha
peternakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: usaha peternakan yang berbasis
lahan (land base agriculture) dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan (non
land base agriculture). Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan yaitu
ternak dengan komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan
(rumput dan leguminosa), lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan
hidup dan pendukung pakan.
Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak antara lain: lahan
sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat, dengan
tingkat kepadatan tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman,
ketersediaan air, serta jenis ternak yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun,
dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak-tanaman
yang merupakan suatu proses saling menunjang dan saling menguntungkan,
melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai
pupuk organik. Sementara lahan sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan
jerami padi dan hasil sampingan tanaman yang dapat diolah sebagai makanan sapi.
Sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis
tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan
ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan
produktivitas ternak (Imam, 2003).
Menurut Soemarwoto (1983), daya dukung adalah suatu ukuran jumlah
individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu. Tiga
pengertian daya dukung, yaitu: (a) pengertian daya dukung yang berhubungan
dengan kurva logistik, dimana daya dukung adalah asimtot atas dari kurva
tersebut, batasan daya dukung adalah batasan teratas dari pertumbuhan populasi

9
dimana pertumbuhan populasi tidak dapat didukung lagi oleh sumberdaya dan
lingkungan yang ada; (b) pengertian daya dukung yang dikenal dalam ilmu
pengelolaan margasatwa, daya dukung adalah jumlah individu yang dapat
didukung oleh suatu habitat; (c) pengertian daya dukung yang dikenal dalam
pengelolaan padang penggembalaan, daya dukung adalah jumlah individu yang
dapat didukung oleh lingkungan dalam keadaan sehat tanpa mengganggu
kerusakan tanah. Daya dukung menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan
untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per
satuan luas lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung kehidupannya itu
tergantung pada biomas (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk hewan.
Sumberdaya Pakan Lokal
Menurut Nahrowi (2015), Indonesia sebenarnya memiliki sumber-sumber
bahan baku pakan lokal yang melimpah, namun belum dimanfaatkan secara
optimal. Kendala dalam pemanfaatan bahan baku lokal diantaranya adalah
ketersediaan yang menyebar dan tidak kontinyu, kualitas yang masih rendah
karena penanganan pasca panen yang kurang tepat, adanya pemalsuan dan
kontaminasi. Salah satu sumber daya pakan adalah hijauan merupakan semua
bahan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan. Kelompok hijauan
makanan ternak meliputi famili rumput (gramineae), leguminosa, dan hijauan dari
tumbuhan lain, seperti daun waru, nangka, dan lain-lain. Hijauan sebagai pakan
ternak dapat diberikan dalam keadaan segar dan dalam keadaan kering.
Peningkatan produksi dan produktivitas ternak ruminansia sangat
tergantung dari tiga faktor yaitu pakan, pemuliabiakan dan pemeliharaan. Pakan
bagi ternak ruminansia tergantung dari penyediaan hijauan dengan jumlah cukup,
berkualitas tinggi dan berkesinambungan sepanjang tahun. Rendahnya nilai gizi
dan fluktuasi produksi hijauan pakan sepanjang tahun merupakan masalah
penyediaan pakan di Indonesia sampai saat ini. Pakan merupakan salah satu faktor
dasar yang penting dalam usaha ternak karena mempunyai pengaruh yang besar
terhadap produktivitas ternak. Pakan dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur
yang sangat penting untuk menunjang kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan,
produksi dan atau reproduksi ternak. Pakan yang baik akan menjadikan ternak
sanggup menjalankan fungsi proses dalam tubuh secara normal. Dalam batas
normal, pakan bagi ternak berguna untuk menjaga keseimbangan jaringan tubuh,
dan menghasilkan energi sehingga mampu melakukan peran dalam proses
metabolisme (Sutrisno, 2009).
Abdullah (2014) menyatakan bahwa dalam pengembangan ternak
ruminansia di Indonesia, hijauan makanan ternak adalah faktor yang sangat
penting dengan komposisi yang terbesar yaitu 70-80% dari total biaya
pemeliharaan. Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada suatu wilayah
merupakan salah satu faktor yang sangat penting serta turut mempengaruhi
dinamika populasi dalam keberhasilan pengembangan ternak khususnya ternak
herbivora. Menurut Sudardjat (2000), dalam memperhitungkan potensi suatu
wilayah untuk mengembangkan ternak secara teknis, perlu dilihat populasi ternak
yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi hijauan makanan ternak
yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Menurut Budiman (2001),
secara umum permasalahan dalam pengembangan pakan adalah: (a) kebutuhan

10
bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih
mengandalkan impor; (b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara
optimal; (c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinyu dan kurang berkualitas; (d)
penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal; (e)
pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah; (f) penerapan teknologi
pakan masih rendah; (g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi data
yang kurang tepat, serta (h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan.
Pengembangan pakan seharusnya mengembangkan potensi sumberdaya
pakan lokal dengan teknologi yang sesuai. Ketersediaan dan harga jenis pakan
sangat tergantung pada musim. Jika musim kemarau atau musim hujan terlalu
panjang, maka para peternak akan kesulitan mencari bahan pakan untuk ternaknya
dan harga rumput sangat tinggi pada musim kemarau karena kelangkaannya,
sedangkan pada musim penghujan ketersediaanya sangat melimpah dan harganya
murah. Sementara untuk limbah pertanian dan industri pertanian, secara umum
keberadaannya masih melimpah dan pemanfaatan masih belum optimal, maka
perlu adanya sebuah teknologi untuk mengolah maupun mengawetkan sumber
pakan baik yang berasal dari limbah maupun hijauan. Teknologi pengolahan
pakan sebagai sebuah teknologi pendukung untuk usaha ternak, relatif sudah
dikembangkan untuk peternakan unggas, namun belum banyak untuk ruminansia
(Sutrisno, 2009; Sudardjat, 2000; Budiman, 2001).
Penelitian Terkait
Penelitian terkait dengan topik pengembangan peternakan berbasis wilayah
sudah banyak dilakukan. Topik-topik penelitian tersebut pada umumnya mengkaji
aspek potensi wilayah berdasarkan kesesuaian lahan dan kapasitas tampung
penambahan populasi ternak. Berikut beberapa topik penelitian terkait :
1. Penelitian dengan judul Regional Analysis of Climate, Primary Production,
and Livestock Density in Inner Mongolia bertujuan untuk menganalisis
wilayah pengembangan peternakan dengan analisis spasial terhadap iklim dan
produks