Hubungan Karakteristik Perempuan Dan Karakteristik Usaha Mikro Dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan Pengusaha Mikro

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN
KARAKTERISTIK USAHA MIKRO DENGAN TINGKAT
KEBERDAYAAN PEREMPUAN PENGUSAHA MIKRO
(Kasus di Desa Cikarawang-Dramaga, Kabupaten Bogor)

LISA AUDINA EKA PUTRI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan
Karakteristik Perempuan dan Karakteristik Usaha Mikro dengan Tingkat
Keberdayaan Perempuan Pengusaha Mikro (Kasus di Desa Cikarawang-Dramaga,
Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagaian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016

Lisa Audina Eka Putri
NIM I34110046

ABSTRAK
LISA AUDINA EKA PUTRI. Hubungan Karakteristik Perempuan dan
Karakteristik Usaha Mikro dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan Pengusaha
Mikro. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI.
Usaha mikro adalah salah satu cara untuk meningkatkan pemberdayaan
perempuan dalam pembangunan. Pada pelaksanaannya, karakteristik perempuan
dan karakteristik usaha mikro merupakan hal penting dalam meningkatkan
keberdayaan perempuan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi tingkat
keberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro, menganalisis
hubungan karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan perempuan

pengusaha mikro, menganalisis hubungan karakteristik usaha mikro dengan
tingkat keberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro. Metode
penelitian menerapkan pendekatan kuantitatif dengan metode survei yang
didukung data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
keberdayaan perempuan pengusaha mikro tinggi. Keberdayaan perempuan
pengusaha mikro ditentukan oleh karakteristik perempuan yakni umur, tingkat
pendidikan, dan jumlah tanggungan.
Kata kunci : karakteristik perempuan, karakteristik usaha mikro, pemberdayaan
perempuan

ABSTRACT
LISA AUDINA EKA PUTRI. The relationship between woman characteristics
and micro enterprise characteristics with level of empowerment of woman micro
entrepreneurs. Supervised by TITIK SUMARTI.
Micro enterprise is one way to increase the empowerment of women in
promoting development. In the implementation, women characteristics and micro
enterprise characteristics is important in improving the empowerment of women.
The aim of research are to to identify the level of empowerment of women
through micro-enterprise development, analyze the relationship between the
women characteristics with level of woman empowerment through microenterprise development, analyze the relationship between the micro-enterprises

characteristics with level of woman empowerment through micro-enterprise
development. The methodology used a quantitative research with survey method
and supported of qualitative data. The results showed that the level of
empowerment of women micro-entrepreneurs is high. Empowerment of women
micro-entrepreneurs determined by the characteristics of the women, that age,
education level, and number of dependents.
Keywords: micro enterprise characteristics, woman characteristics, woman
empowerment

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN
KARAKTERISTIK USAHA MIKRO DENGAN TINGKAT
KEBERDAYAAN PEREMPUAN PENGUSAHA MIKRO
(Kasus di Desa Cikarawang-Dramaga, Kabupaten Bogor)

LISA AUDINA EKA PUTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Judul Skripsi

Nama Mahasiswa
NIM

: Hubungan Karakteristik Perempuan dan Karakteristik
Usaha Mikro dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan
Pengusaha Mikro (Kasus di Desa CikarawangDramaga, Kabupaten Bogor)
: Lisa Audina Eka Putri
: I34110046

Disetujui oleh


Dr Ir Titik Sumarti MC, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah. MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Hubungan Karakteristik Perempuan dan Karakteristik Usaha
Mikro dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan Pengusaha Mikro (Kasus di
Desa Cikarawang-Dramaga, Kabupaten Bogor)” ini tepat pada waktunya.
Skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti MC, MS selaku dosen pembimbing yang telah
mencurahkan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi, kritik, dan
saran yang membangun hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Segenap jajaran Desa Cikarawang dan responden yang telah membantu
memberikan informasi dan data untuk penelitian ini.
3. Keluarga tercinta, Ayah dan Ibu serta adik-adik yang telah memberikan
doa, semangat, dan dukungan baik secara moral, material, dan spiritual.
4. Seluruh dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis
mengemban pendidikan di Institut Pertanian Bogor, juga seluruh staf
sekretariat dan karyawan.
5. Keluarga LPQ dan ISC Al-Hurriyyah, serta keluarga besar Asrama TPB
IPB; khususnya Senior Resident yang telah membersamai perjuangan
penulis selama di IPB, yang selalu siap membantu, memberikan
semangat, dan motivasi selama ini.
6. Keluarga besar SKPM 48 yang telah membersamai penulis di setiap
momentum selama 4 tahun di IPB.
7. Seluruh kerabat, sahabat, rekan, dan pihak yang telah membantu hingga
skripsi ini diterbitkan yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Lisa Audina Eka Putri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu
Teknik Pengambilan Responden dan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
PROFIL DESA CIKARAWANG
Sejarah Desa
Kondisi Geografis
Kondisi Sosial
Kondisi Ekonomi
Profil Kelompok Wanita Tani (KWT)
TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN PENGUSAHA
MIKRO
Kesejahteraan
Akses
Kesadaran Kritis
Partisipasi
Kontrol
Tingkat Keberdayaan Perempuan
KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN HUBUNGANNYA

DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN
Umur
Tingkat Pendidikan
Jumlah Tanggungan
Status Perkawinan
KARAKTERISTIK USAHA MIKRO DAN HUBUNGANNYA
DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN
Formalitas
Organisasi dan Manajemen
Pola atau Sifat Proses Produksi
Orientasi Pasar
Sumber Modal
PENUTUP

x
xi
xi
1
1
2

3
3
5
5
13
13
14
19
19
19
19
19
20
21
21
21
21
23
23
27

27
28
28
29
30
31
33
33
34
36
37
39
39
40
42
43
44
47

viii

Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

47
47
49
51

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Definisi operasional karakteristik perempuan
Definisi operasional karakteristik usaha mikro
Uji reliabilitas data
Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan
umur tahun 2011
Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan
tingkat pendidikan tahun 2011
Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan
jenis mata pencaharian tahun 2013
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan
perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses
perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran
kritis perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi
perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol, Desa
Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut umur, Desa
Cikarawang Tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan dan umur, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan,
Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan dan tingkat pendidikan, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan,
Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan dan jumlah tanggungan, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut status perkawinan
perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan dan status perkawinan, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut jenis formalitas usaha
mikro, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan dan formalitas, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut jenis organisasi dan
manajemen usaha mikro, Desa Cikarawang tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan dan organisasi dan manajemen, Desa Cikarawang
tahun 2015

16
17
20
22
22
23
27
28
29
30
31
31
33
34
35
35
36
36
37
38
39
40
40
41

viii

25 Jumlah dan persentase responden menurut pola atau sifat proses
produksi, Desa Cikarawang tahun 2015
26 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan dan pola atau sifat proses produksi, Desa Cikarawang
tahun 2015
27 Jumlah dan persentase responden menurut jenis orientasi pasar,
Desa Cikarawang tahun 2015
28 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan dan orientasi pasar, Desa Cikarawang tahun 2015
29 Jumlah dan persentase sumber modal responden menurut jenis
sumber modal, Desa Cikarawang tahun 2015
30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan
perempuan dan sumber modal, Desa Cikarawang tahun 2015

42
42

43
44
44
45

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka berpikir
2 Lokasi penelitian

13
53

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
1

Denah lokasi penelitian
Kerangka sampling
Hasil uji statistik Rank Spearman dan Chi Square
Catatan lapang
Dokumentasi penelitian
Riwayat hidup
Denah lokasi penelitian

53
54
56
59
61
62
53

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan sumberdaya manusia pada pembangunan dirasakan semakin
penting. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, pembangunan nasional
merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, dan masyarakat Indonesia yang
dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan nasional, dengan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan
tantangan perkembangan global.
Perempuan merupakan makhluk sosial dimana sebagian besar menganggap
pekerjaan mereka hanyalah sebatas mengurus rumahtangga, berperan sebagai istri
dan ibu. Selain itu, perempuan merupakan makhluk sosial yang rentan akan
kemiskinan.1 Selama tujuh tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan tahunan
perempuan yang memasuki pasar kerja jauh lebih tinggi dibanding laki-laki,
sebagian dikarenakan adanya perluasan kesempatan kerja di sektor jasa dan
adanya kemajuan pendidikan perempuan.2 Namun, partisipasi perempuan di
sektor formal masih rendah. Sebaliknya, mereka yang terlibat dalam ekonomi
informal justru lebih banyak jumlahnya. Akan tetapi, keterlibatan mereka pada
sektor informal jarang diakui. Oleh karenanya perempuan didorong untuk
berpartisipasi aktif di sektor publik, sekaligus tetap harus menjalankan fungsinya
sebagai istri dan ibu (Nursyahbani 1999 diacu Handayani dan Artini 2009).
Menurut Ratnawati (2011), perempuan miskin perdesaan umumnya bersifat
sangat tertutup, sehingga pemberdayaan untuk mereka membutuhkan kesabaran
dan pendekatan secara personal atau kelompok yang dilakukan secara intens serta
melalui suasana informal. Keterlibatan perempuan miskin perdesaan dalam
pemberdayaan ekonomi keluarga, dengan pendapatan yang dihasilkan perempuan
dari kegiatan ekonomi produktif, baik di sektor pertanian maupun non pertanian di
perdesaan, menunjukkan bahwa perempuan mempunyai posisi sentral dalam
ekonomi keluarga. Oleh karena itu, perempuan miskin perdesaan perlu diberikan
upaya-upaya pemberdayaan perempuan melalui; (a) upaya peningkatan kualitas
sumberdaya manusia khususnya pelatihan bagi para ibu rumahtangga dalam
rangka peningkatan keterampilan kerja para perempuan miskin, (b) perempuan
miskin perdesaan terbukti mampu memberi kontribusi yang cukup memadai
terhadap pendapatan keluarganya, untuk itu diharapkan agar pemerintah daerah
lebih memperhatikan kelompok perempuan tersebut berupa pemberian bantuan
permodalan dengan bunga rendah agar dapat berwirausaha di luar sektor pertanian
khusus pada masa jedah yaitu antara musim hujan dan musim kemarau (sesudah
panen) sesuai keterampilan yang mereka miliki, dan (c) menggalakkan sektorsektor produktif serta membantu dalam pemasaran produk dengan memberikan
pelatihan manajemen pemasaran serta peran pemerintah dalam jaring pemasaran.
Menurut Handayani dan Artini (2009), partisipasi wanita saat ini bukan
sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai
1
Menurut data BPS 2009, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 32,53 juta jiwa
(14,15%) sedangkan 70 persen dari mereka adalah perempuan
2
http://kemenpppa.go.id Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2014.
Pertumbuhan Tahunan Perempuan yang Memasuki Pasar Kerja.

2

arti bagi pembangunan dalam masyarakat di Indonesia. Secara umum, alasan
perempuan yang bekerja adalah membantu suami untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi. Bagi perempuan yang sudah tidak memiliki suami, mereka memang
dituntut bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dan bertahan hidup.
Namun, ada pula perempuan yang bekerja hanya sebagai sambilan untuk mengisi
waktu luang. Keadaan ekonomi yang semakin tidak menentu, harga kebutuhan
pokok meningkat, kepadatan penduduk semakin bertambah, lapangan pekerjaan
yang belum berkembang sesuai jumlah kepadatan penduduk mengakibatkan
terganggunya perekonomian keluarga. Kondisi ini mendorong perempuan yang
sebelumnya hanya mengurus rumahtangga, kemudian ikut terlibat dalam sektor
publik.
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi tulang punggung
sektor informal di Indonesia dan mayoritas pekerja perempuan terkonsentrasi di
bidang ini. UMKM menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia,
mempekerjakan antara 80 persen (Laporan MDG RI diacu KEMENPPA 2014)
sampai 96 persen (World Bank 2010 diacu KEMENPPA 2014) pekerja yang ada
dalam angkatan kerja bagi lebih dari 99 persen dari semua unit bisnis. UMKM
memberikan kontribusi hampir 58 persen dari PDB (Laporan MDG Pemerintah
dalam KEMENPPA 2014), tapi hanya menerima sekitar setengah dari kredit bank.
Distribusi kelompok usaha berdasar ukurannya menunjukkan usaha mikro
jumlahnya terbesar (83%), usaha kecil 16 persen, menengah 7 persen dan besar
0,2 persen. Perempuan menjalankan 39 persen dari seluruh usaha mikro dan kecil
dan 18 persen dari usaha menengah dan besar (Sensus Ekonomi 2006 diacu
KEMENPPA 2014).
Pengembangan usaha berskala kecil (UMKM) kemudian menjadi salah satu
alternatif penyelesaian masalah surpus tenaga kerja, utamanya ditujukan untuk
menjadi wadah bagi upaya pembinaan wirausaha di kalangan masyarakat
(Tjiptoherijanto 1999 diacu Handayani dan Artini 2009). Contohnya penjual
makanan, pedagang sayuran, dan sebagainya. Pengembangan usaha berskala kecil
dapat meningkatkan keberdayaan perempuan melalui keterlibatan dan akses
mereka terhadap pelatihan-pelatihan, keterampilan, pengambilan keputusan, dan
perluasan pasar. Oleh sebab itu, penting mengkaji bagaimana pemberdayaan
perempuan pedesaan melalui pengembangan usaha mikro?

Masalah Penelitian
Pembangunan usaha berskala kecil dianggap dapat meningkatkan
keberdayaan perempuan. Berbagai kegiatan usaha berskala kecil dapat dilakukan
seperti usaha makanan, sayuran, dan sebagainya. Hal ini menarik untuk diketahui
dan dianalisis mengenai tingkat keberdayaan perempuan melalui pengembangan
usaha mikro.
Pemberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro tentunya memiliki
hubungan-hubungan yang dapat mempengaruhinya, terutama karakteristik
perempuan. Sebab, setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini
penting untuk dilihat bagaimana hubungan karakteristik perempuan dengan
tingkat keberdayaan perempuan. Selain itu, usaha mikro yang dijalankan tentunya

3

memiliki sifat dan perbedaan. Oleh sebab itu, patut diketahui bagaimana
hubungan karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan perempuan.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro.
2. Menganalisis hubungan karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan
perempuan pengusaha mikro.
3. Menganalisis hubungan karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan
perempuan pengusaha mikro.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk
memperoleh pengetahuan tentang faktor dan hasil program pemberdayaan
perempuan melalui pengembangan usaha mikro. Peneliti selanjutnya diharapkan
dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan dari penelitian ini. Selain itu, penelitian
ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam bidang Pengembangan
Masyarakat.
2. Bagi Tim Pengembangan Sumber Daya Manusia (Community Developer)
Penelitian ini dapat menjadi bahan serta pembelajaran dalam menyusun
perencanaan program sumber daya manusia yang lebih baik.
3. Bagi masyarakat
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai pentingnya peran
perempuan melalui pengembangan usaha mikro dalam meningkatkan
keberdayaan.

4

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Pemberdayaan
Secara konseptual, pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata power
yang berarti kekuatan atau kekuasaan. Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan
ini selalu bersentuhan dengan konsep kekuasaan. Ife (1995) mengartikan
pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
menghadapi kehidupan masa depannya dengan memberikan sumberdaya,
peluang, pengetahuan, dan keterampilan.
Berdasarkan sudut pandang ilmu penyuluhan, Slamet (2003) menyatakan
bahwa istilah pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan lain dari tujuan
penyuluhan, yang berarti mampu = berdaya = tahu, mengerti, paham, termotivasi,
berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu
bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani
menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu
bertindak sesuai situasi.
Konteks pengembangan masyarakat, Sumodiningrat (1999) menyatakan
bahwa upaya memberdayakan masyarakat memerlukan persiapan penguatan
kelembagaan masyarakat. Dengan kelembagaan masyarakat yang kuat diharapkan
menjadi wadah bagi pengembangan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan
kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang
berkelanjutan. Sejalan dengan konteks pengembangan masyarakat tersebut,
Ndraha (1987) memberi ciri-ciri pemberdayaan: (1) meningkatkan kemampuan,
(2) mendorong tumbuhnya kebersamaan, (3) kebebasan memilih dan
memutuskan, (4) membangkitkan kemandirian, dan (5) mengurangi
ketergantungan serta menciptakan hubungan yang saling menguntungkan.
Suhartono (1997) diacu Mardikanto dan Soebiato (2013) menyatakan
bahwa pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui 5 (lima) P strategi
pemberdayaan yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan, dan
Pemeliharaan.
1. Pemungkinan, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat miskin berkembang secara optimal.
2. Penguatan, memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
masyarakat miskin dalam memecahkan masalah dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
3. Perlindungan, melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok
lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya
persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan
lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap
kelompok lemah.
4. Penyokongan, memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat
miskin mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya.

6

5. Pemeliharaan, memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi
keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam
masyarakat.

Pemberdayaan Perempuan
Menurut Pujiwati (1983) diacu Handayani dan Artini (2009), peranan
wanita pada dasarnya menganalisis dua peranan wanita. Pertama, peran wanita
dalam status atau posisi sebagai ibu rumahtangga yang melakukan pekerjaan yang
secara tidak langsung menghasilkan pendapatan, tetapi memungkinkan anggota
rumahtangga yang lain melakukan pekerjaan mencari nafkah. Kedua, peranan
wanita pada posisi sebagai pencari nafkah (tambahan atau pokok) dalam hal ini
wanita melakukan pekerjaan produktif yang langsung menghasilkan pendapatan.
Teknik Analisis Longwe atau biasa disebut dengan Kriteria Pemberdayaan
Perempuan (Women’s Empowerment Criteria atau Women’s Development
Criteria) adalah suatu teknik analisis yang dikembangkan sebagai suatu metode
pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria analisis yang meliputi:
kesejahteraan, akses, kesadaran, partisipasi, dan kontrol. Lima dimensi
pemberdayaan ini adalah kategori analitis yang bersifat dinamis, satu sama lain
berhubungan secara sinergis, saling menguatkan dan melengkapi, serta
mempunyai hubungan hirarkhis. Di samping itu kelima dimensi tersebut juga
merupakan tingkatan yang bergerak memutar seperti spiral, makin tinggi tingkat
kesetaraan otomatis makin tinggi tingkat keberdayaan.
1. Welfare (Kesejahteraan)
Tingkat ini adalah tingkat pemerataan/persamaan perempuan dibanding
laki-laki dalam hal seperti: status gizi, tingkat kematian, kecukupan pangan,
pendapatan, tingkat pendidikan, dll. Hal ini membuat kita lebih melihat situasi
perempuan dari angka-angka statistik daripada sebagai pelaku pembangunan yang
mampu memperbaiki nasibnya sendiri, seakan-akan mereka adalah penerima pasif
dari manfaat kesejahteraan. Istilah kesenjangan gender berarti kesenjangan tingkat
kesejahteraan antara laki-laki dan perempuan yang diukur melalui perbedaan
tingkat kesejahteraan perempuan dan laki-laki sebagai kelompok untuk masingmasing kebutuhan dasarnya. Pada tingkat pemerataan/persamaan kesejahteraan,
perempuan tidak begitu dilihat sebagai pelaku aktif pembangunan dan penghasil
dari kebutuhan materilnya. Tingkat ini adalah tingkat nihil dari perempuan (zero
level of women’s empowerment), padahal upaya perempuan untuk memperbaiki
kesejahteraannya memerlukan keterlibatan perempuan dalam proses pemampuan
dan pada tingkat pemerataan/persa-maan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, jika
tingkat kesejahteraan yang rendah dari perempuan disebabkan oleh diskriminasi
gender yang sistematik maka mengatasi diskriminasi itu mengharuskan adanya
proses pemampuan (empowerment) menuju tingkat pemerataan yang lebih tinggi.
2. Access (Akses)
Akses diartikan sebagai kemampuan perempuan untuk dapat memperoleh
hak/akses terhadap sumberdaya produktif seperti tanah, kredit, pelatiham, fasilitas
pemasaran, tenaga kerja, dan semua pelayanan publik yang setara dengan

7

perempuan. Akses terhadap teknologi dan informasi juga merupakan aspek
penting lainnya. Melalui teknologi dan informasi, perempuan dapat meningkatkan
produktivitas ekonomi dan sosial mereka dan mempengaruhi lingkungan tempat
ia tinggal. Tanpa akses, pemahaman, serta kemampuan untuk menggunakan
teknologi informasi, perempuan miskin jauh lebih termarjinalisasi dari
komunitasnya, negaranya, dan bahkan dunia. Kesenjangan gender pada tingkat
pemerataan/persamaan kesejahteraan muncul dari ketimpangan dalam akses
terhadap sumbersumber, termasuk kerjanya sendiri (seringkali perempuan
memikul kerja yang begitu berat sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk
mengurus dan meningkatkan kemampuan dirinya). Upaya perempuan untuk
mengatasi keterbatasan akses ini banyak memperoleh hambatan karena adanya
diskriminasi gender. Oleh karena itu perlu proses penyadaran.
3. Consientization (Kesadaran kritis)
Tingkat ini menyangkut kesadaran dari pelaku pembangunan akan adanya
ketimpangan struktural dan diskriminasi gender. Penyadaran ini sulit dilaksanakan
karena kadang-kadang perempuan sendiri yang menghambat. Mereka tidak
menyadari adanya ketimpangan struktural dan diskriminasi gender, karena sudah
dianggap “normal” dan “kodrati” sehingga tidak perlu dirubah. Untuk itu perlu
pemahaman mengenai perbedaan antara peranan kodrati (sex) dan peranan
gender, dan bahwa peranan gender itu bersifat kultural, oleh karenanya dapat
berubah. Pemberdayaan di tingkat ini berarti menumbuhkan sikap kritis dan
penolakan terhadap cara pandang di atas: bahwa subordinasi terhadap perempuan
bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil diskriminasi dari tatanan sosial yang
berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari tujuan perubahan
merupakan inti dari kesadaran gender dan merupakan elemen ideologis dalam
proses pemberdayaan yang menjadi landasan konseptual bagi perubahan kearah
kesetaraan.
4. Participation (Partisipasi)
Tingkat ini kita berbicara mengenai pemerataan/ persamaan partisipasi
perempuan dalam pengambilan keputusan pada semua tahapan proyek:
perumusan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring/ evaluasi. Kesenjangan
perempuan dalam partisipasi aktif ini mudah diidentifikasi, misalnya dalam
bidang legislatif, eksekutif, organisasi politik. Partisipasi secara umum dapat
dilihat dari adanya peran serta setara antara laki-laki dan perempuan dalam
pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat, maupun
negara. Tingkat program yaitu dilibatkannya perempuan dan laki-laki secara
setara dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengelolaan, implementasi, dan
monitoring evaluasi. Meningkatnya peranserta perempuan merupakanhasil dari
pemberdayaan sekaligus sumbangan penting bagi pemberdayaan yang lebih luas.
5. Equality of Control (Kesetaraan dalam kekuasaan atau kontrol)
Meningkatnya partisipasi perempuan pada tingkat pengambilan keputusan
akan menyebabkan meningkatnya pemampuan untuk mempunyai kontrol
(penguasaan) yang lebih banyak terhadap faktor-faktor produksi, dan untuk
menjamin persamaan akses terhadap pembagian sumber dan manfaat. Kesetaraan
dalam kekuasaan berarti adanya kekuasaan yang seimbang antara laki-laki dan

8

perempuan, satu tidak mendominasi atau berada dalam posisi dominan atas
lainnya. Artinya perempuan mempunyai kekuasaan sebagaimana juga laki-laki,
untuk mengubah kondisisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya.

Konsep Karakteristik Perempuan
Sumber daya yang terpenting dalam organisasi adalah sumber daya
manumur, orang-orang yang memberikan tenaga, bakat, kreativitas, dan usaha
mereka kepada organisasi agar suatu organisasi dapat tetap eksistensinya. Setiap
manumur memiliki karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Menurut Robbins (2003), karakteristik individu mencakup umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan masa kerja dalam organisasi.
Siagian (2008) menyatakan bahwa “...karakteristik biografikal (individu) dapat
dilihat dari umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan masa
kerja...”
a. Umur
Siagian (2008) menyatakan bahwa umur adalah hal penting karena
mempunyai kaitan yang erat dengan berbagai segi kehidupan organisasional.
Misalnya kaitan umur dengan tingkat kedewasaan teknis yaitu keterampilan tugas.
Umur mempunyai kaitan erat dengan berbagai segi organisasi, kaitan umur
dengan tingkat kedewasaan psikologis menunjukkan kematangan dalam arti
individu menjadi semakin bijaksana dalam mengambil keputusan bagi
kepentingan organisasi. Robbins (2003) berpendapat bahwa kinerja menurun
dengan pertambahan umur. Karyawan tua dianggap kurang menguasai teknologi
baru, tetapi kemungkinan keluar dari pekerjaan adalah kecil. Hal ini disebabkan
makin tuanya para pekerja maka sedikit kesempatan untuk mencari alternatif
pekerjaan lain. Hubungan kinerja dengan umur sangat erat kaitannya, alasannya
adalah adanya keyakinan yang meluas bahwa kinerja merosot dengan
meningkatnya umur. Pada karyawan yang berumur tua juga dianggap kurang
luwes dan menolak teknologi baru. Namun di lain pihak ada sejumlah kualitas
positif yang ada pada karyawan yang lebih tua, meliputi pengalaman,
pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu.
Hubungan kinerja dan umur sangat erat kaitannya. Ini dikarenakan adanya
keyakinan yang meluas bahwa semakin meningkatnya umur, semakin merosot
pula kinerja seseorang. Pada tenaga kerja yang berumur tua dianggap kurang
luwes dalam bekerja dan menolak adanya teknologi baru. Namun di lain pihak,
tenaga kerja yang lebih tua dianggap lebih memiliki pengalaman dan etika kerja
yang kuat serta memiliki komitmen terhadap mutu. Tenaga kerja yang lebih muda
cenderung memiliki fisik yang kuat sehingga diharapkan dapat lebih bekerja
keras. Namun di sisi lain, tenaga kerja yang lebih muda cenderung kurang
disiplin, kurang bertanggung jawab dan sering berpindah-pindah pekerjaan
dibandingkan tenaga kerja yang lebih tua.
b. Jenis Kelamin
Menurut Robbins (2003), implikasi jenis kelamin para pekerja merupakan
hal yang perlu mendapat perhatian secara wajar, dengan demikian perlakuan

9

terhadap merekapun dapat disesuaikan sedemikian rupa sehingga mereka menjadi
anggota organisasi yang bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Studi-studi
psikologi telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi
wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada
wanita dalam memiliki pengharapan untuk sukses. Tetapi sejauh ini tidak ada
perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam kemampuan memecahkan
masalah, ketrampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, dan kemampuan
belajar. Bukti konsistes juga menyatakan bahwa wanita mempunyai tingkat
kemangkiran yang lebih tinggi daripada pria.
c. Masa Kerja
Menurut Robbins (2003), masa kerja dan kepuasan saling berkaitan
positif. Memang, ketika umur dan masa kerja diperlakkan secara terpisah,
tampaknya masa kerja akan menjadi indikator perkiraan yang lebih konsisten dan
mantap atas kepuasan kerja daripada umur kronologis. Masa kerja yang lama akan
cenderung membuat seorang karyawan lebih merasa betah dalam suatu organisasi,
hal ini disebabkan diantaranya karena telah beradaptasi dengan lingkungannya
yang cukup lama sehingga seorang karyawan akan merasa nyaman dengan
pekerjaannya.
d. Tingkat Pendidikan
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan mental, seperti kemampuan dalam menganalisis
dan meramalkan suatu kondisi atau keadaan baik ekonomi, politik, maupun
kondisi pasar. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa untuk mengetahui
seberapa besar tingkat kemampuan intelektual seseorang dapat dilakukan dalam
berbagai pengukuran yang dirancang, tergantung pada penggunaan hasil
pengukuran tersebut. Seseorang yang memiliki tingkat kemampuan intelektual
yang dimaksud merupakan modal dasar bagi seseorang untuk bertindak sekaligus
berperilaku di dalam menghadapi suatu tugas pekerjaannya. Kemampuan
intelektual seseorang pada umumnya dapat memiliki paling tidak ada tujuh
indikator, yaitu; kecerdasan numerik, pemahaman verbal (comprehensive),
kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan
ingatan (Robbins 2003).
e. Status Perkawinan
Perkawinan memaksakan peningkatan tanggung jawab yang membuat
suatu pekerjaan yang tetap menjadi lebih berharga dan penting. Seseorang yang
telah menikah merasa lebih mantap dengan pekerjaannya yang sekarang, hal ini
dikarenakan bahwa mereka melihat sebagai jaminan untuk masa depannya.
Karyawan yang menikah akan lebih sedikit absensinya, tingkat perputaran tenaga
kerja yang rendah, dan lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada rekan
kerjanya yang masih bujangan atau lajang. Besar kemungkinannya bahwa
karyawan yang tekun dan puas terhadap pekerjaannya terdapat pada karayawan
yang telah menikah. Selain itu, karyawan yang telah menikah memiliki
tanggungan yang lebih besar dibandingkan karyawan yang belum menikah.
Sehingga dapat dikatakan status pernikahan dapat memberikan kontribusi
terhadap produktivitas kerja karyawan (Robbins 2003).

10

a. Jumlah Tanggungan
Siagian (2008) menyatakan bahwa, “Jumlah tanggungan adalah seluruh
jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan seseorang”. Berkaitan dengan
tingkat absensi, jumlah tanggungan yang lebih besar akan mempunyai
kecenderungan absen yang kecil, sedangkan dalam kaitannya dengan ‘turn over’
maka semakin banyak jumlah tanggungan seseorang, kecenderungan untuk
pindah pekerjaan semakin kecil.

Konsep Karakteristik Usaha Mikro
Menurut Tambunan (2009), dari perspektif dunia, diakui bahwa usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memainkan suatu peran yang sangat vital
di dalam pembangunan dan pertumbuhan, tidak hanya di negara-negara yang
sedang berkembang (NSB), tetapi juga di negara-negara maju (NM). Di NM,
UMKM sangat penting tidak hanya karena kelompok usaha tersebut menyerap
paling banyak tenaga kerja dibandingkan usaha besar (UB), seperti halnya di
NSB, tetapi juga di banyak negara kontribusinya terhadap pembentukan atau
pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi
dari UB. Menurut Piper (1997) diacu Tambunan (2009), misalnya dikatakan
bahwa sebanyak 12 juta orang atau sekitar 63,2 persen dari jumlah tenaga kerja di
Amerika Serikat (AS) bekerja di 350.000 perusahaan yang memperkerjakan
kurang dari 500 orang, yang di negara tersebut masuk di dalam kategori UMKM.
Di NSB di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, UMKM juga berperan sangat
penting, khususnya dari perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi
kelompok miskin, distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan. Dan
pembangunan ekonomi pedesaan (Tambunan 2006, 2007a,b, 2008a,b diacu
Tambunan 2009)
Karakteristik-karakteristik UMKM menurut Tambunan (2009) adalah:
1.
Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah UB) terutama
dari kategori usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK). Dan hal ini juga
didasarkan pada karakter usaha mikro dan usaha kecil yang tersebar
diseluruh pelosok pedesaan termasuk di wilayah yang relatif terisolasi.
2.
Karena sangat padat karya, berarti mempunyai suatu potensi pertumbuhan
kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat
dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari kebijakan-kebijakan
nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan
pendapatan, terutama bagi masyarakat miskin.
3.
Kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok UMKM pada umumnya dari
berbasis pertanian. Oleh karena itu upaya-upaya pemerintah mendukung
UMKM sekaligus juga merupakan cara tak langsung, tetapi efektif untuk
mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi disektor pertanian.
4.
UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih “cocok” terhadap
proporsi-proporsi dari faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang ada di
negara sangat berkembang, yakni sumber daya alam (SDA) dan tenaga
kerja berpendidikan rendah yang berlimpah.

11

5.

Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa bertahan
pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar pada tahun
1997/1998.
6.
Walaupun pada umumnya masyarakat pedesaan miskin, banyak bukti yang
menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa menabung dan
mereka mau mengambil risiko dengan melakukan investasi. Dalam hal
ini,UMKM bisa menjadi suatu titik permulaan bagi mobilisasi
tabungan/investasi di perdesaan dan disisi lain bisa meningkatkan
kemampuan berwirausaha dari orang-orang desa.
7.
Kelompok usaha ini dapat memainkan suatu peran penting lainnya, yaitu
sebagai suatu alat untuk mengalokasikan tabungan-tabungan perdesaan,
yang kalau tidak akan digunakan untuk maksud-maksud yang tidak
produktif.
8.
Walaupun banyak barang yang diproduksi oleh UMKM juga untuk
masyarakat kelas menegah dan atas, tetapi terbukti secara umum bahwa
pasar utama bagi UMKM adalah untuk barang-barang konsumsi sederhana
denganharga relatif murah seperti pakaian jadi, mebel dari kayu, alas kaki
dan lainnya yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dari masyarakat miskin
atau berpendapatan rendah.
9.
Sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM yang mampu
meningkatkan produktivitasnya lewat investasi dan perubahan teknologi.
10. Seperti sering dikatakan dalam literatur, satu keunggulan dari UMKM
adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relatif terhadap pesaingnya
(usaha besar).
Menurut Tambunan (2009), karakteristik utama dari usaha mikro adalah:
a. Formalitas: beroperasi di sektor informal, usaha tidak terdaftar,
tidak/jarang bayar pajak.
b. Organisasi dan manajemen: dijalankan dengan pemilik, tidak menerapkan
pembagian tenaga kerja internal (internal division of labor (ILD)),
manajemen dan struktur organisasi formal (management & formal
organizational structure (MOF)), sistem pembukuan formal (formal
bookkeeping system (ACS)).
c. Sifat dan kesempatan kerja: kebanyakan menggunakan anggota-anggota
kerja tidak dibayar.
d. Pola atau sifat dari proses produksi: derajat mekanisme sangat
rendah/umumnya manual; tingkat teknologi sangat rendah.
e. Orientasi pasar: umumnya menjual ke pasar lokal untuk kelompok berlaba
rendah.
f. Profil ekonomi dan sosial dari pemilik usaha: pendidikan rendah & dari
rumah tangga (RT) miskin, motivasi utama; survival.
g. Sumber-sumber dari bahan baku dan modal: kebanyakan pakai bahan baku
local dan uang sendiri.
h. Hubungan-hubungan eksternal: kebanyakan tidak menpunyai akses ke
programprogram pemerintah dan tidak punya hubungan-hubungan bisnis
dengan usaha besar (UB).
i. Wanita pengusaha: rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha
cukup tinggi.

12

Contoh usaha mikro:
a. Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan
pembudidaya;
b. Industri makanan dan minuman, industri meubel, pengolahan kayu dan
rotan, industri pandai besi pembuat alat-alat;
c. Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dll;
d. Peternakan ayam, itik dan perikanan;
e. Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit.
Menurut Santosa dan Setyanto (2007) diacu Astuti (2012), Social
Entreprenuers makin berperan dalam pembangunan ekonomi karena ternyata
mampu memberikan daya cipta nilai-nilai sosial maupun ekonomi, yakni: (1)
Menciptakan kesempatan kerja, (2) Manfaat ekonomi yang dirasakan dari Social
Enterpreneurship di berbagai negara adalah penciptaan kesempatan kerja baru
yang meningkat secara signifikan, (3) Melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap
produksi barang ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat, (4) Menjadi modal
sosial, modal sosial merupakan bentuk yang paling penting dari berbagai modal
yang dapat diciptakan oleh social Enterpreneur karena walaupun dalam kemitraan
ekonomi yang paling utama adalah nilai-nilai : saling pengertian (shared value),
trust (kepercayaan) dan budaya kerjasama (a culture of cooperation), kesemuanya
ini adalah modal sosial, (5) Peningkatan Kesetaraan (equity promotion), dan (6)
Pemerataan kesejahteraan masyarakat. Melalui social Enterpreneurship tujuan
tersebut akan dapat diwujudkan, karena para pelaku bisnis yang semula hanya
memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal, selanjutnya akan tergerak
pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan agar dapat dilakukan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan
dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Inti dari
kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan
peluang pasar (Suryana 2003 diacu Ratnawati 2011). Wirausahawan
(entrepreneur) adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk
membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil resiko
artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau
cemas sekalipun dalam kondisi yang tidak pasti (Kasmis 2007 diacu Ratnawati
2011).
Menurut Dasaluti, et al. (2010), jenis usaha yang dilakukan masyarakat
dapat digolongkan menjadi tiga tipe usaha mikro, yaitu: (1) usaha mandiri, yaitu
usaha skala mikro yang dimiliki dan dikelola secara pribadi oleh perorangan, (2)
usaha secara berkelompok, yaitu usaha mikro yang dimiliki dan dikelola secara
bersama-sama dalam suatu kelompok, terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan
anggota kelompok, (3) usaha dengan bermitra (kemitraan), yaitu yang
pengembangannya bekerja sama dengan pemilik usaha yang lain.
Kerangka Pemikiran
Ife (1995) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam menghadapi kehidupan masa depannya dengan

13

memberikan sumberdaya, peluang, pengetahuan, dan keterampilan. Longwe
(1988) menyatakan bahwa terdapat lima tingkatan pemerataan dalam kerangka
kemampuan wanita, yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan
kontrol.
Proses menentukan tingkat keberdayaan perempuan, diduga terdapat
hubungan antara karakteristik perempuan dan karakteristik usaha mikro dengan
tingkat keberdayaan perempuan. Menurut Robbins (2003), karakteristik individu
mencakup umur, tingkat pendidikan, dan status perkawinan. Siagian (2008),
menyatakan bahwa karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur,
status perkawinan, dan jumlah tanggungan.
Menurut Tambunan (2009), UMKM tidak saja berbeda dengan UB, tetapi
di dalam kelompok UMKM itu sendiri terdapat perbedaan karakteristik antara
UMI dengan UK dan UM dalam sejumlah aspek yang dapat mudah dilihat seharihari di NSB, termasuk Indonesia. Aspek-aspek itu termasuk formalitas usaha,
sistem organisasi dan manajemen yang diterapkan di dalam usaha, pola atau sifat
proses produksi, orientasi pasar, dan sumber-sumber dari bahan-bahan baku dan
modal.
Karakteristik Perempuan
Tingkat Keberdayaan
Perempuan Pengusaha
Mikro (Y)

X1. Tingkat umur
X2. Tingkat pendidikan
X3. Jenis status perkawinan
X4. Tingkat jumlah tanggungan
Karakteristik Usaha Mikro
X5. Jenis formalitas
X6. Jenis organisasi dan manajemen
X7. Jenis pola atau sifat proses produksi
X8. Jenis orientasi pasar
X9. Jenis sumber modal

1. Tingkat kesejahteraan
2. Tingkat akses
3. Tingkat kesadaran
kritis
4. Tingkat partisipasi
5. Tingkat kontrol

Keterangan:
: berhubungan

Gambar 1. Kerangka berpikir

Hipotesis
Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara umur dengan tingkat keberdayaan perempuan.
2. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat keberdayaan
perempuan.

14

3. Terdapat hubungan antara status perkawinan dengan tingkat keberdayaan
perempuan.
4. Terdapat hubungan antara jumlah tanggungan dengan tingkat keberdayaan
perempuan.
5. Terdapat hubungan antara formalitas dengan tingkat keberdayaan
perempuan.
6. Terdapat hubungan antara organisasi dengan manajemen dengan tingkat
keberdayaan perempuan.
7. Terdapat hubungan antara pola atau sifat proses produksi dengan tingkat
keberdayaan perempuan.
8. Terdapat hubungan antara orientasi pasar dengan tingkat keberdayaan
perempuan.

Definisi Operasional

Tingkat Keberdayaan Perempuan
Tingkat keberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro
adalah unsur yang harus diperhatikan dalam proses pemberdayaan perempuan.
Proses penentuan tingkat keberdayaan perempuan dilakukan dengan
menjumlahkan skor pertanyaan terkait kesejahteraan, akses, kesadaran kritis,
partisipasi, dan kontrol. Jumlah pertanyaan terdiri dari 41 pertanyaan yang diukur
dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut:
Ya
= skor 2
Tidak
= skor 1
Kriteria untuk tingkat keberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha
mikro sebagai berikut:
a. Tingkat keberdayaan tinggi : skor 69-82
b. Tingkat keberdayaan sedang : skor 55-68
c. Tingkat keberdayaan rendah : skor 41-54
Definisi terkait peran tersebut diantaranya:
1. Kesejahteraan
Menurut BPS (2005), indikator kesejahteraan di antaranya: pendapatan,
konsumsi/pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat
tinggal, akses pelayanan kesehatan, akses pendidikan, akses fasilitas
transportasi. Jumlah pertanyaan terdiri dari 6 pertanyaan yang diukur dengan
skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut:
Ya
= skor 2
Tidak
= skor 1
Kriteria untuk tingkat kesejahteraan perempuan melalui pengembangan usaha
mikro sebagai berikut:
a. Tingkat kesejahteraan tinggi : skor 11-12
b. Tingkat kesejahteraan sedang : skor 9-10
c. Tingkat kesejahteraan rendah : skor 6-8

15

2. Akses
Kemampuan perempuan untuk dapat memperoleh hak/akses terhadap
sumberdaya produktif (tanah, kredit, pelatiham, fasilitas pemasaran, tenaga
kerja, teknologi dan informasi, dan semua pelayanan publik yang setara dengan
perempuan). Jumlah pertanyaan terdiri dari 6 pertanyaan yang diukur dengan
skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut:
Ya
= skor 2
Tidak
= skor 1
Kriteria untuk tingkat akses perempuan melalui pengembangan usaha mikro
sebagai berikut:
a. Tingkat akses tinggi : skor 11-12
b. Tingkat akses sedang : skor 9-10
c. Tingkat akses rendah : skor 6-8
3. Kesadaran Kritis
Pemahaman atas perbedaan peran jenis kelamin dan peran gender dan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Jumlah pertanyaan terdiri dari 6
pertanyaan yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan
penilaian berikut:
Ya
= skor 2
Tidak
= skor 1
Kriteria untuk tingkat kesadaran kritis perempuan melalui pengembangan
usaha mikro sebagai berikut:
a. Tingkat kesadaran kritis tinggi : skor 11-12
b. Tingkat kesadaran kritis sedang : skor 9-10
c. Tingkat kesadaran kritis rendah : skor 6-8
4. Partisipasi
Dalam Mardikanto dan Soebiato (2013), partisipasi merupakan suatu bentuk
keterlibatan dan keikutsertaan secara aktif dan sukarela, baik karena alasanalasan dari dalam (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik) dalam keseluruhan
proses kegiatan yang bersangkutan, yang mencakup pengambilan keputusan
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian (pemantauan, evaluasi,
pengawasan), serta pemanfaatan hasil-hasil kegiatan yang dicapai. Jumlah
pertanyaan terdiri dari 19 pertanyaan yang diukur dengan skala ordinal, sebagai
keterangan dengan penilaian berikut:
Ya
= skor 2
Tidak
= skor 1
Kriteria untuk tingkat partisipasi perempuan melalui pengembangan usaha
mikro sebagai berikut:
a. Tingkat partisipasi tinggi : skor 32-38
b. Tingkat partisipasi sedang : skor 25-31
c. Tingkat partisipasi rendah : skor 19-24
5. Kontrol
Kesetaraan dalam kekuasaan atas faktor produksi, dan distribusi keuntungan
sehingga baik perempuan maupun laki-laki berada dalam posisi yang dominan.

16

Jumlah pertanyaan terdiri dari 4 pertanyaan yang diukur dengan skala ordinal,
sebagai keterangan dengan penilaian berikut:
Ya
= skor 2
Tidak
= skor 1
Kriteria untuk tingkat kontrol perempuan melalui pengembangan usaha mikro
sebagai berikut:
a. Tingkat kontrol tinggi : skor 7-8
b. Tingkat kontrol sedang : skor 5-6
Tingkat kontrol rendah : skor 4
Karakteristik Perempuan
Proses menentukan tingkat keberdayaan perempuan, diduga terdapat
hubungan antara karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan perempuan.
Menurut Robbins (2003), karakteristik individu mencakup umur, tingkat
pendidikan, dan status perkawinan. Siagian (2008), menyatakan bahwa
karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, status perkawinan, dan
jumlah tanggungan. Berikut ini adalah definisi operasional konsep karakteristik
perempuan yang terdiri atas variabel umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan, dan status perkawinan:
Tabel 1

Definisi operasional konsep karakteristik perempuan

No

Variabel

1

Tingkat umur

2

Tingkat
pendidikan

3

Status
perkawinan

Definisi Operasional

Indikator

Satuan waktu (hari, 1. Muda (51
tahun)
Tahapan pendidikan 1. Tidak
yang
ditetapkan
sekolah dan
berdasarkan tingkat
belum
perkembangan
tamat SD
peserta didik yang 2. Tamat SMP
dan tamat
ditamatkan
dan
SMA
kemampuan
yang
3. Tamat
dikembangkan.
SMA dan
sarjana
muda
Seseorang
yang 1. Cerai mati
berstatus
kawin 2. Cerai hidup
apabila
mereka 3. Kawin
terikat
dalam 4. Belum
perkawinan
saat
kawin
pencacahan, baik

Jenis
Data
Ordinal

Sumber
Rujukan
BPS, 2009

Ordinal

BPS, 2009

Nominal

BPS, 2013

17

No

4

Variabel

Jumlah
tanggungan

Definisi Operasional

Indikator

yang
tinggal
bersama
maupun
terpisah,
yang
menikah secara sah
maupun yang hidup
bersama yang oleh
masyarakat
sekelilingnya
dianggap sah sebagai
suami istri
Seluruh
jumlah 1. Rendah (6 orang)

Jenis
Data

Ordinal

Sumber
Rujukan

Siagian
(2008)

Karakteristik Usaha Mikro
Proses menentukan tingkat keberdayaan perempuan, diduga terdapat
hubungan antara karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan
perempuan. Menurut Tambunan (2009) karakteristik usaha mikro adalah
formalitas, organisasi dan manajemen, pola atau sifat proses produksi, orientasi
pasar, dan sumber modal. Berikut ini adalah definisi operasional konsep
karakteristik usaha mikro yang terdiri atas variabel formalitas, organisasi dan
manajemen, pola atau sifat proses produksi, orientasi pasar, dan sumber modal
Tabel 2

Definisi operasional karakteristik usaha mikro
Definisi
No
Variabel
Indikator
Operasional
1 Formalitas
Pemberian
izin 1. Usaha tidak
kegiatan
usaha
terdaftar
tertentu dan status 2. Usaha
badan hukum bagi
terdaftar
saha sesuai dengan
ketentuan
perundangundangan
yang
berlaku.
2 Organisasi
Upaya
1. Tidak
dan
pengendalian
menerapkan
manajemen