Model Laju Pengeringan Jamur Tiram (Pleurotus Ostreatus Var. Florida) Menggunakan Pengering Tipe Fluidized Bed Dryer

i

MODEL LAJU PENGERINGAN JAMUR TIRAM
(Pleurotus ostreatus var. florida) MENGGUNAKAN
PENGERING TIPE FLUIDIZED BED DRYER

SARAH DIANA YULIANTI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Model Laju

Pengeringan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) Menggunakan
Pengering Tipe Fluidized Bed Dryer adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Sarah Diana Yulianti
NIM F24110088

iv

v

ABSTRAK
SARAH DIANA YULIANTI. Model Laju Pengeringan Jamur Tiram (Pleurotus
ostreatus var. florida) Menggunakan Pengering Tipe Fluidized Bed Dryer.
Dibimbing oleh TJAHJA MUHANDRI dan ELIS NINA HERLIYANA.

Jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) merupakan edible fungi yang
memiliki nilai jual lebih rendah dibandingkan dengan jenis jamur lainnya. Proses
pengawetan berupa pengeringan dilakukan untuk meningkatkan nilai jual dari
jamur tiram dan mempermudah penanganannya baik sebagai bahan baku maupun
produk. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan model persamaan laju
pengeringan pada produk jamur tiram, mengetahui rasio rehidrasi produk jamur
tiram, serta untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap jamur tiram baik
dalam keadaan kering maupun yang telah direhidrasi. Pengeringan dilakukan
dengan alat fluidized bed dryer pada suhu 60±2°C dan kecepatan udara pengering
yang berada pada kisaran 0.620 m/s hingga 0.839 m/s. Jamur tiram diberikan
enam pretreatment sebelum dikeringkan. Model persamaan laju pengeringan yang
paling sesuai menggambarkan kondisi jamur tiram selama pengeringan adalah
model Lewis dibandingkan model Page. Sampel yang mendapatkan preferensi
konsumen paling baik yakni sampel yang tidak diberikan pretreatment.
Berdasarkan analisis rasio rehidrasi dan analisis warna, sampel yang diberikan
pretreatment berupa pencucian memiliki nilai yang paling tinggi.
Kata kunci: jamur tiram, laju pengeringan, pretreatment, rehidrasi

vi


ABSTRACT
SARAH DIANA YULIANTI. Oyster Mushroom (Pleurotus ostreatus var.
florida) Drying Kinetic Models Using Fluidized Bed Dryer. Supervised by
TJAHJA MUHANDRI and ELIS NINA HERLIYANA.
Oyster mushroom (Pleurotus ostreatus var. florida) is an edible fungi which its
commercial value is relatively lower than the other species of edible fungi. A
preservation process can be applied in order to increase its commercial value and
to ease the maintenance, as the material or as the product itself. This research was
conducted to compare two drying kinetic models of oyster mushroom, to discover
the rehydration ratio of oyster mushroom, and to discover the consumer
preferences of oyster mushroom in dried and rehydrated condition. Drying was
conducted with fluidized bed dryer at 60±2°C and at 0.620 m/s to 0.839 m/s air
drying rate. Six pretreatments were given to oyster mushroom before drying
process. Lewis model was more representative compare to Page model as a model
of drying kinetic equation. The most acceptable sample by consumers was the
sample without pretreatment. Sample with washing pretreatment has the highest
score based on rehydration ratio and color analysis results.
Keywords: drying kinetic, oyster mushroom, pretreatment, rehydration

vii


MODEL LAJU PENGERINGAN JAMUR TIRAM
(Pleurotus ostreatus var. florida) MENGGUNAKAN
PENGERING TIPE FLUIDIZED BED DRYER

SARAH DIANA YULIANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

viii


x

xi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah “Model Laju
Pengeringan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) Menggunakan
Pengering Tipe Fluidized Bed Dryer”.
Penulis berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
penyusunan skripsi, yaitu:
1. Dr. Tjahja Muhandri MT selaku dosen pembimbing I yang telah memberi
masukkan, dukungan, dan kepercayaan kepada penulis selama penulis
menjadi mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
2. Dr. Ir. Elis Nina Herliyana MSi selaku dosen pembimbing II yang telah
memberi masukkan dan dukungan moril dan dana selama penelitian,
3. Bapak Deni, Bapak Junaedi, Bapak Nurwanto beserta staf Seafast, Ibu Sri
dari Laboratorium Evaluasi Sensori, dan Pak Dani dari kumbung jamur

tiram yang telah membantu selama pengumpulan data,
4. Ayah dan ibu tercinta, Ridhwan dan Syifa dua adik sejiwa sepemikiran,
serta seluruh keluarga, atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya,
5. Muji Budiono dan Dewi Emillia Bahry yang selalu setia menjadi sandaran
di segala keadaan,
6. Kurnia, Brahma, Randy, Puspa, Aisyah, Indri dan Abdi Manaf yang tak
pernah segan membantu penulis selama penelitian,
7. Ollivia Rezki dan Muhammad Rizki, teman seperjuangan dan
sebimbingan,
8. Seluruh teman-teman ITP 48 Autoclave atas kebersamaannya selama 4
tahun ini,
9. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Penulis mengharapkan masukan untuk karya tulis ini yang masih jauh dari
kesempurnaan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Sarah Diana Yulianti

xii


xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE
Bahan
Alat
Prosedur Percobaan
Metode Analisis
Prosedur Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penurunan Kadar Air
Model Laju Pengeringan Jamur Tiram

Rasio Rehidrasi
Warna Jamur Tiram
Rating Hedonik Jamur Tiram Kering
Rating Hedonik Jamur Tiram Rehidrasi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vii
vii
1
1
2
2
2
2

2
3
3
6
8
9
9
11
15
16
18
20
24
24
24
25
28
60

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8

Variabel perlakuan sampel
Kadar air sampel sebelum dan sesudah pengeringan
Model laju pengeringan koefisien korelasi berdasarkan model Lewis dan
model Page pada semua perlakuan
Rasio rehidrasi jamur tiram kering
Nilai kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total
Color Difference (∆E) sampel jamur tiram kering
Nilai kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total
Color Difference (∆E) sampel jamur tiram yang telah direhidrasi
Hasil uji rating hedonik jamur tiram kering
Hasil uji rating hedonik jamur tiram yang telah direhidrasi


4
10
13
15
17
17
18
21

xiv

DAFTAR GAMBAR
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Alur Penelitian
Jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) segar
Proses rehidrasi jamur tiram kering
Proses pengeringan jamur tiram
Kurva penurunan kadar air basis basah pada enam kondisi
pretreatment
Pemetaan data semua perlakuan menggunakan model Lewis
Kurva pengeringan semua perlakuan menggunakan model Page
Kurva laju pengeringan jamur tiram model Lewis
Rasio rehidrasi sampel selama rehidrasi
Skor hedonik jamur tiram kering atribut warna
Skor hedonik jamur tiram kering atribut kecerahan
Skor hedonik jamur tiram kering atribut aroma
Skor hedonik jamur tiram kering atribut tekstur
Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut warna
Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut kecerahan
Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut aroma
Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut tekstur
Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut rasa

3
4
6
7
10
12
14
14
15
19
19
20
20
21
22
22
23
23

DAFTAR LAMPIRAN
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

Hasil Uji Kecepatan Udara Pengering Fluidized Bed Dryer
Hasil ANOVA Kadar Air Awal Jamur Tiram Basis Basah
Hasil ANOVA Kadar Air Awal Jamur Tiram Basis Kering
Hasil ANOVA Kadar Air Akhir Jamur Tiram Basis Basah
Hasil ANOVA Kadar Air Akhir Jamur Tiram Basis Kering
Hasil ANOVA Nilai Kecerahan Jamur Tiram Kering
Hasil ANOVA Nilai Derajat Putih Jamur Tiram Kering
Hasil ANOVA Nilai Total Color Difference (∆E) Jamur Tiram Kering
Hasil ANOVA Nilai Kecerahan Jamur Tiram Hasil Rehidrasi
Hasil ANOVA Nilai Derajat Putih Jamur Tiram Hasil Rehidrasi
Hasil ANOVA Nilai Total Color Difference (∆E) Jamur Tiram Hasil
Rehidrasi
Borang Penilaian Sensori Jamur Tiram Kering
Borang Penilaian Sensori Jamur Tiram Rehidrasi
Hasil Uji Organoleptik Sampel Jamur Tiram Kering
Hasil Uji Organoleptik Sampel Jamur Tiram yang Telah Direhidrasi
Dokumentasi Penelitian

28
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
46
51

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) merupakan salah satu jenis
edible fungi yang cukup digemari karena rasanya yang lezat dan teksturnya yang
kenyal. Menurut penelitian yang telah dilakukan Patil et al. (2010), jamur tiram
mengandung 19 jenis asam amino, selain sistein, dan cukup kaya kandungan asam
amino glutamat, aspartat, dan lisin. Kandungan vitamin C dan asam folat juga
ditemukan dalam jamur tiram. Kalsium dan besi merupakan jenis mineral yang
terkandung cukup tinggi dalam jamur tiram. Kadar antioksidan ergothionin juga
ditemukan dalam jumlah yang cukup tinggi, yakni 1.73 mg/g pada jamur tiram,
lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur lainnya Bhattacharya et al. (2014).
Alam et al. (2008) menambahkan, kandungan protein dalam jamur tiram sekitar
20-25% (bk), serat 37-48% (bk), lemak 4-5% (bk), karbohidrat 37-48% (bk),
mineral 8-13% (bk), dan kadar air sebanyak 86-87.5% (bb).
Kadar air dan nutrisi yang cukup tinggi membuat jamur tiram memiliki
potensi mengalami kerusakan secara biologis maupun fisik. Struktur tubuhnya
saat berbuah yang rapuh dan umur simpan yang pendek karena penyimpangan
fisik yang cepat terjadi setelah pemanenan, seperti berair, lunak, pencoklatan,
berbau tak sedap, menjadi kendala utama pemasaran jamur tiram (Chang dan
Miles 2004). Teknologi pengawetan diperlukan untuk dapat menanggulangi
masalah kerusakan jamur tiram.
Penelitian terkait pengawetan jamur yang telah dilakukan diantaranya
adalah pengeringan jamur tiram menggunakan microwave (Bhattacharya et al.
2014), kinetika pengeringan dan karakteristik rehidrasi jamur kancing
menggunakan microwave oven (Giri dan Prasad 2007), pengaruh pengeringan
beku terhadap tekstur jamur kancing (Guine dan Barroca 2011), kinetika
pengeringan dan karakteristik rehidrasi jamur kancing menggunakan pengering
kabinet (Doymaz 2014; Arora et al. 2011), dan pengeringan menggunakan
beberapa alat pengering yaitu microwave, microwave vacuum, udara panas, dan
pengering vacuum (Tian et al. 2016).
Pengeringan dipilih sebagai metode yang digunakan untuk mengawetkan
jamur tiram karena prosesnya yang relatif mudah diaplikasikan pada berbagai
skala industri jamur tiram. Pengeringan dapat dilakukan secara konvensional
dengan bantuan sinar matahari dan dapat pula dilakukan menggunakan alat
pengering. Metode pengeringan menggunakan alat fluidized bed dryer dilakukan
pada penelitian ini. Pemilihan alat didasarkan pada hasil penelitian Walde et al.
(2006) yang menyatakan bahwa fluidized bed dryer memiliki kelebihan dalam
menurunkan waktu pengeringan dan menghasilkan kualitas produk lebih baik
dibandingkan alat pengering lain, seperti vacuum dryer dan cabinet moisture
dryer.
Pretreatment dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan efektivitas
pengeringan, meningkatkan kualitas display, dan meningkatkan preferensi
konsumen. Pretreatment terhadap jamur yang dilakukan diantaranya adalah
perendaman dalam larutan asam sitrat (0.5%) pada suhu 20°C selama 3 menit
(Doymaz 2014), blanching tanpa perendaman dalam natrium metabisulit dan

2

blanching dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit (Walde et al.
2006), dan ultrasonifikasi (Jambrak et al. 2007).
Model persamaan laju pengeringan dibutuhkan untuk memprediksi jumlah
air yang hilang dan laju kenaikan suhu selama proses pengeringan (Bonazzi et al.
2009). Model persamaan laju pengeringan yang digunakan adalah model Lewis
dan model Page. Model Lewis dan model Page digunakan karena cukup
sederhana untuk diterapkan. Kualitas kenampakan dan preferensi konsumen dapat
diketahui melalui uji analisis warna, uji hedonik sampel jamur tiram kering, dan
uji hedonik sampel jamur tiram yang telah direhidrasi.

Perumusan Masalah
Masalah yang diteliti adalah laju pengeringan jamur tiram yang terlebih
dahulu diberikan kondisi pretreatment yang berbeda. Jamur tiram yang telah
kering kemudian dianalisis rasio rehidrasi dan mutu sensorinya.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan persamaan model laju
pengeringan untuk produk jamur tiram,mengetahui rasio rehidrasi jamur tiram
pada berbagai kondisi pretreatment, serta mengidentifikasi kondisi pretreatment
terbaik untuk mendapatkan jamur tiram yang paling disukai konsumen, baik
dalam kondisi kering maupun yang telah direhidrasi.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu memberi informasi tentang laju
pengeringan jamur tiram dan rasio rehidrasi jamur tiram kering pada beberapa
kondisi pretreatment, serta memberikan referensi pemilihan metode pretreatment
yang menghasilkan mutu sensori terbaik.

METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jamur tiram (Pleurotus
ostreatus var. florida) dengan umur panen 3 hari (dari Laboratorium Patologi
Hutan Departemen Silvikultur, IPB, Bogor), akuades, dan natrium metabisulfit
(Na2S2O5).

3

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca digital,
fluidized bed dryer, oven pengering, saringan kawat, blancher, kain saring,
pengaduk, gelas ukur, termometer, loyang alumunium, pisau stainless steel,
wadah alumunium, wadah plastik, gelas kimia, gelas ukur, hot plate,
Chromameter CR-310 (Minolta Camera, Co).
Prosedur Percobaan
Secara umum, penelitian yang dilakukan dapat dibagi menjadi tiga tahap
utama, yaitu tahap pretreatment, pengeringan, dan rehidrasi. Pengukuran kadar air
dilakukan setelah sampel diberikan pretreatment. Analisis warna dan uji sensori
dilakukan setelah pengeringan dan setelah rehidrasi sampel. Alur penelitian dapat
dilihat pada Gambar 1.

Jamur Tiram
Segar

Uji Kadar
Air

Pretreatment

Hasil
pretreatment

Uji Kadar
Air

Pengeringan menggunakan
pengering tipe fluidized bed dryer

Analisis Warna
dan Uji Sensori

Jamur tiram
kering

Rehidrasi

Analisis Warna
dan Uji Sensori

Jamur tiram
hasil rehidrasi

Gambar 1 Alur Penelitian

4

Pretreatment Jamur Tiram
Proses perlakuan pendahuluan atau pretreatment yang dilakukan sebelum
pengeringan diadaptasi dari metode pretreatment yang dilakukan oleh Walde et
al. (2006). Sebanyak 18 tudung jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida)
umur panen 3 hari dengan bobot satuan 4.0-6.0 gram dibersihkan dari kotoran
fisik dan dibagi menjadi enam bagian untuk diberikan perlakuan yang berbeda.
Jamur tiram yang digunakan pada penelitian dipanen secara hati-hati dan
dibiarkan utuh selama pretreatment dan pengeringan.

Gambar 2 Jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) segar
Sampel pertama tidak diberikan perlakukan apapun sebelum pengeringan,
sampel kedua dicuci dengan cara merendam jamur tiram dalam airdengan
perbandingan air sebanyak 1 liter untuk 12-18 gram jamur tiram selama 1 menit
sebelum pengeringan, sampel ketiga diberi perlakuan blansir dalam air bersuhu
90°C selama 2 menit, sampel keempat diberi perlakuan blansir dalam air bersuhu
90°C selama 2 menit yang dilanjutkan dengan perendaman dalam natrium
metabisulfit (Na2S2O5) 2 000 ppm selama 15 menit, sampel kelima diberi
perlakuan blansir dalam larutan natrium metabisulfit 2 000 ppm selama 6 menit,
sedangkan sampel terakhir diberikan perlakuan perendaman dalam natrium
metabisulfit 2 000 ppm selama 15 menit dan dilanjutkan dengan blansir dalam air
bersuhu 90°C selama 2 menit. Variabel perlakuan sampel dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Variabel perlakuan sampel
Kondisi Pretreatment
Tanpa pretreatment
Pencucian tanpa blansir
Blansir dalam air 90°C selama 2 menit
Blansir dalam air 90°C selama 2 menit dilanjutkan dengan
perendaman Na2S2O5 2 000 ppm selama 15 menit
Blansir dengan larutan Na2S2O5 2 000 ppm selama 6 menit
Perendaman Na2S2O5 2 000 ppm selama 15 menit dilanjutkan
dengan blansir dalam air 90°C selama 2 menit

Kode
JS
JC
JB
JMa
JMb
JMc

5

Blansir pada penelitian ini menggunakan air yang dipanaskan terlebih
dahulu hingga mencapai suhu sekitar 90°C sebelum bahan dimasukkan. Waktu 2
menit dihitung sejak suhu air kembali mencapai suhu 90°C setelah bahan
dimasukkan. Setelah diblansir, jamur tiram segera direndam dalam air bersuhu
27±2°C, lalu ditiriskan dengan kain dan disusun diatas saringan kawat untuk
dikeringkan.
Pengeringan dan Pengukuran Kecepatan Udara Pengering
Metode pengeringan yang dilakukan diadaptasi dari metode yang dilakukan
oleh Kotwaliwale et al. (2007). Pengeringan dilakukan menggunakan alat
pengering tipe fluidized bed dryer yang dikembangkan oleh Seafast Center – IPB.
Alat memiliki dimensi panjang 120 cm, lebar 92 cm, dan tinggi 150 cm, serta
memiliki kapasitas sekitar 1.5-2.0 kg jamur tiram sebelum dikeringkan. Fluidized
bed dyer yang digunakan memiliki satu lapis tray dengan luasan 110 cm x 65 cm.
Alat pengering ini bekerja menggunakan panas dari kompor gas. Udara panas
ditarik oleh kipas angin kemudian dihembuskan ke nampan berlubang (tray)
tempat produk dikeringkan.
Penentuan laju pengeringan dilakukan dengan menghitung perubahan kadar
air jamur setiap 5 menit sekali pada 30 menit pertama, 10 menit sekali pada 90
menit selanjutnya, dan 30 menit sekali hingga mencapai moisture equilibrium,
yakni ketika bobot jamur tiram tidak lagi mengalami perubahan yang signifikan,
atau ketika laju kehilangan kadar air dari produk seimbang dengan laju
penambahan kadar air dari lingkungan sekitarnya.
Ketika kadar air bahan mencapai kondisi kesetimbangan dengan lingkungan
sekitarnya disebut kadar air kesetimbangan (Hall 1980). Kadar air jamur tiram
sangat rendah ketika mencapai kondisi moisture equilibrium, sehingga bisa
dipatahkan. Pendekatan kadar air jamur tiram untuk bisa dipatahkan menurut
Kotwaliwale et al. (2007) yakni sekitar 8-15%. Pengeringan dengan fluidized bed
dryer dilakukan pada suhu 60±2°C. Rasio Kelembaban (RH) udara pengering dan
volumetric flow rate udara panas tidak diukur pada penelitian ini.
Pengukuran kecepatan udara pengering dilakukan dengan menggunakan
anemometer. Anemometer diletakkan diatas alas alat fluidized bed dryer selama 1
menit. Perubahan skala pada anemometer selama 1 menit diukur, kemudian
konversikan menjadi kecepatan hembusan udara dalam satuan m/detik. Jamur
tiram yang dikeringkan yakni sebanyak 3 tudung untuk setiap perlakuan atau total
18 tudung untuk 6 perlakuan. Diagram alir prosedur pengeringan dapat dilihat
pada Gambar 3.

Rasio Rehidrasi
Metode pengamatan rasio rehidrasi diadaptasi dari metode yang dilakukan
oleh Giri dan Prasad (2007). Proses pengamatan rasio rehidrasi jamur tiram
dilakukan dengan mengukur perubahan bobot jamur tiram kering yang direndam
dalam air bersuhu 100°C setiap 2 menit hingga mencapai bobot maksimum.
Diagram alir prosedur rehidrasi dapat dilihat pada Gambar 4.

6

Jamur Tiram
Kering

Perendaman dalam air
mendidih
Penimbangan
setiap 2 menit hingga bobot stabil

Jamur Tiram yang
telah direhidrasi

Analisis Warna

Uji Rating Hedonik

Gambar 3 Proses rehidrasi jamur tiram kering

Metode Analisis
Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)
Sampel bahan dari metode terpilih diukur kadar airnya. Cawan alumunium
dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15
menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel (B), sekitar 1 gram,
dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isi
dikeringkan di dalam oven bersuhu 105°C, didinginkan dalam desikator, dan
ditimbang (C). Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan.
Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus:

i

i

k

7

Jamur tiram hasil
pretreatment
(JS, JC, JB, JMa, JMb, JMc)

Pengeringan dengan
Fluidized Bed Dryer 60°C
Penimbangan
setiap 5 menit pada 30 menit pertama

Penimbangan
setiap 10 menit pada 90 menit selanjutnya

Penimbangan
setiap 30 menit hingga mencapai
moisture equilibrium

Analisis Warna

Jamur Tiram
Kering

Rehidrasi

Uji Rating Hedonik

Gambar 4 Proses pengeringan jamur tiram
Analisis Warna
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter CR310 (Minolta Camera, Co). Sampel yang dianalisis adalah bahan baku jamur tiram
segar, jamur tiram kering dan jamur tiram yang telah direhidrasi. Alat dikalibrasi
dengan standar warna putih. Jamur tiram segar digunakan sebagai standar.
Pengukuran dilakukan menggunakan skala CIELAB pada sudut observer 10°.
Sampel diletakkan pada wadah yang ada, setelah menekan tombol start diperoleh
nilai L*, a* dan b*. Nilai L*, a*, dan b* merupakan ciri notasi warna Hunter yang
dihitung secara otomatis oleh perangkat lunak pada computer yang terintegrasi
dengan alat (Andarwulan et al. 2011). Nilai total color difference (∆E), dan

8

derajat putih (whiteness index [WI]) diukur pada penelitian ini. Secara matematis,
nilai ∆E dan WI dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini.




√(∆



)

Nil i ∆ , ∆ , n ∆ me up k n selisih nt
nil i
terhadap nilai L*, a*, dan b* standar (jamur tiram segar).
√[(

)

,

,

n

s mpel

]

Uji Rating Hedonik (Meilgaard et al. 2006)
Pemilihan metode terbaik rehidrasi jamur tiram dilakukan dengan
melakukan uji rating hedonik jamur tiram kering dan jamur tiram yang telah
direhidrasi dengan air bersuhu 100°C. Uji ini digunakan untuk mengetahui
kesukaan panelis terhadap produk jamur tiram kering dan yang telah direhidrasi.
Panelis yang dilibatkan sebanyak 70 orang, dengan menggunakan skala 7 titik
(skala 1 sangat tidak suka - skala 7 sangat suka). Data rating hedonik produk
diolah menggunakan program SPSS dengan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan.
Pretreatment terbaik dipilih baik dari jamur tiram kering dan jamur tiram yang
telah direhidrasi dengan nilai rating hedonik yang paling tinggi.

Prosedur Analisis Data
Perbandingan model laju pengeringan metode Lewis dan metode Page
Persamaan laju pengeringan memiliki banyak model, diantaranya yakni
model Lewis dan model Page. Persamaan model Lewis dan model Page dapat
dibuat menggunakan data kadar air kesetimbangan (Me), kadar air awal (Mi), dan
kadar air pada waktu t (Mt). Persamaan model Lewis didapatkan dengan cara
memplotkan variabel waktu pada sumbu x dan variabel ln moisture ratio (ln MR)
pada sumbu y. Nilai konstanta laju pengeringan dari persamaan ini diambil dari
nilai slope yang dihasilkan. Persamaan model Page didapatkan dengan cara
memplotkan variabel ln (t) pada sumbu x dan variabel ln(-ln MR) pada sumbu y.
Nilai konstanta pengeringan dari persamaan ini diambil dari eksponensial
intecept, sedangkan nilai koefisien n diambil dari nilai slope-nya.
Laju pengeringan dapat dihitung berdasarkan penurunan kadar air terhadap
waktu. Perhitungan yang lebih tepat dapat dilakukan dengan membuat pendekatan
persamaan model laju pengeringan. Persamaan laju pengeringan yang
diaplikasikan pada penelitian ini mengikuti model Lewis dan Page (Erbay dan
Icier 2010). Model Lewis mengasumsikan bahwa perubahan kadar air bahan pada
periode laju menurun (falling rate) adalah berbanding lurus terhadap perbedaan
antara kadar air dan kadar air kesetimbangan (moisture equilibrium).
t

e

i

e

e p kt

9

Model Page merupakan modifikasi dari model Lewis dengan tujuan untuk
mendapatkan model yang lebih tepat dengan menambahkan koefisien n. Nilai MR
(moisture content ratio) menggambarkan model laju pengeringan. Nilai k
merupakan konstanta pengeringan.
t

e

i

e

e p ktn

Penentuan rasio rehidrasi
Rasio rehidrasi sampel diukur dengan mengadaptasi penelitian yang
dilakukan oleh Giri dan Prasad (2007). Sampel yang telah dikeringkan diukur
bobot awalnya, kemudian direndam dalam air bersuhu 100°C dengan
perbandingan air sebanyak 500 ml/g sampel kering. Sampel yang direndam
ditimbang setiap 2 menit sekali hingga bobotnya stabil. Persamaan rasio rehidrasi
(RR) diperlihatkan dalam persamaan dibawah, dengan W2 sebagai bobot sampel
jamur tiram kering setelah direhidrasi dan W1 sebagai bobot awal sampel jamur
tiram kering.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penurunan Kadar Air
Penurunan kadar air dilakukan menggunakan fluidized bed dryer pada suhu
60°C dan kecepatan udara pengering yang berada pada kisaran 0.620 m/s sampai
0.839 m/s. Pengaruh kondisi pretreatment yang berbeda terhadap penurunan
kadar air ditunjukkan dalam bentuk kurva penurunan kadar air (Gambar 5). Secara
umum, penurunan kadar air berlangsung dengan cepat pada 100 menit pertama,
ditunjukkan dengan kurva yang curam, kemudian melambat dan kadar air
cenderung konstan mulai pada menit ke- 200. Menurut Standar Codex untuk
jamur kering (1981), kadar air maksimum pada jamur tiram kering yang
dikeringkan dengan fluidized bed dryer adalah sebesar 12 % (bb).
Gambar 5 menunjukkan bahwa penurunan kadar air paling cepat terjadi
pada sampel yang tidak diberikan perlakuan (JS), kemudian secara berturut-turut
diikuti oleh sampel JC, JB, JMc, JMb, dan JMa. Sampel JS dan JC dapat
mencapai dibawah kadar air minimal 12 % (bb) pada menit ke-150, sedangkan
waktu yang dibutuhkan sampel lainnya untuk mencapai kadar air minimal 12 %
(bb) sekitar 180 menit. Sementara untuk mencapai kadar air setimbang (moisture
equilibrium) diperlukan waktu selama 240 menit untuk sampel JS, 270 menit
untuk sampel JC, dan 300 menit untuk sampel JB, JMa, JMb, JMc. Waktu
pengeringan ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan menggunakan
pengering tipe kabinet, yang membutuhkan waktu 8 - 12 jam (Arora et al. 2011).

10

Perbedaan waktu dan laju penurunan kadar air sampel yang berbeda
disebabkan oleh perbedaan kadar air awal sampel, dan perubahan sifat fisik
sampel saat diberikan pretreatment. Pretreatment pencucian menyebabkan
peningkatan kadar air awal sampel paling tinggi dibandingkan dengan kadar air
awal sampel yang tidak diberikan pretreatment. Kadar air awal dan kadar air akhir
sampel jamur tiram (%bb) dapat dilihat pada Tabel 2.

Kadar Air (gram air/ gram bahan)

100
90
80
70

JS

60

JC

50

JB

40

JMa

30

JMb

20

JMc

10
0
0

100

200
300
Waktu (menit)

400

Gambar 5 Kurva penurunan kadar air basis basah pada enam kondisi pretreatment
Blansir merupakan proses pemanasan bahan pangan, terutama dari
kelompok sayuran, dalam air atau uap bersuhu kurang dari 100°C. Blansir
umumnya menggunakan suhu 80-100°C (Rahman dan Perera 2007). Proses
blansir dilakukan untuk menginaktivasi enzim (Greensmith 1998), menghilangkan
gas yang dapat meningkatkan tekanan selama pengalengan, membersihkan bahan,
menyusutkan ukuran bahan sehingga lebih mudah untuk dikemas, dan untuk
mencegah penurunan kualitas warna dan rasa (Paine dan Paine 1992).

Tabel 2 Kadar air sampel sebelum dan sesudah pengeringan
Perlakuan
JS
JC
JB
JMa
JMb
JMc

Kadar Air Awal
(%bb)
90.32±0.42c
93.40±1.00a
91.24±0.29bc
91.98±0.06b
91.70±0.36b
91.46±0.49bc

(%bk)
938.98±42.47b
1435.28±230.44a
1044.02±39.23b
1155.64±7.44b
1110.90±57.18b
1076.95±67.93b

Kadar Air Kesetimbangan
(Moisture Equilibrium)
(%bb)
(%bk)
a
8.44±0.27
87.77±2.84b
a
7.30±0.73
112.24±11.25a
a
8.05±1.03
92.13±12.79b
a
8.06±0.02
101.30±0.27ab
a
8.42±0.54
102.10±6.66ab
7.61±0.34 a
89.80±3.96b

Blansir yang dilakukan pada sampel jamur tiram terutama bertujuan untuk
menginaktivasi enzim yang ada dalam jamur tiram, baik berupa enzim yang dapat

11

menyebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis maupun enzim yang bukan
penyebab reaksi pencoklatan enzimatis. Blansir dapat dilakukan dengan media air
maupun dengan uap pada suhu yang sama. Blansir dengan air memiliki kelebihan
dalam kemudahan pengaplikasiannya, kecepatannya dalam penyeragaman suhu,
penggunaan energi yang efisien, dan biaya yang relatif lebih rendah dibandingkan
blansir menggunakan uap (Fellows 2000).
Natrium metabisulfit merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang
multifungsi. Natrium metabisulfit dapat digunakan sebagai pengawet pangan,
pencegah terjadinya pencoklatan enzimatik dan non enzimatik, dan dapat pula
sebagai bleaching agent atau agen pemutih (Belloso dan Fortuny 2010). Natrium
metabisulfit digunakan dalam penelitian ini sebagai pencegah terjadinya reaksi
pencoklatan enzimatik pada jamur tiram. Menurut Food and Drugs Association
(FDA), batas maksimum penggunaan senyawa yang merupakan turunan dari
bahan sulfida ini adalah sebanyak 3 000 ppm.
Penelitian yang dilakukan oleh Arora et al. (2011) menunjukkan bahwa
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit sebanyak 2 500 ppm selama 15
menit menghasilkan nilai optical density (OD) yang paling rendah. Nilai OD
mengekspresikan nilai indeks pencoklatan. Pada produk jamur kering, semakin
rendah nilai OD yang dihasilkan, mutu jamur dianggap semakin baik.
Pretreatment blansir yang diberikan pada sampel JB, JMa, JMb, dan JMc
menghasilkan data penurunan kadar air yang lebih lambat dibandingkan sampel
yang hanya diberikan pretreatment pencucian dan sampel yang tidak diberikan
pretreatment. Penelitian yang dilakukan Hassan dan Madany (2014) juga
menghasilkan data penurunan kadar air yang lebih lambat pada sampel jamur
tiram yang diberikan pretreatment blansir dibandingkan dengan jamur tiram yang
tidak diblansir.
Penurunan kadar air yang lebih lambat pada empat sampel yang diberikan
pretreatment blansir tersebut dapat dijelaskan dengan mekanisme penyusutan
volume jamur tiram. Pelipatan lamella dan pengeluaran udara diantara lamella
pada jaringan jamur terjadi selama blansir, sehingga terjadi penyusutan
volumetrik. Jaringan pada jamur kemudian disalut oleh air yang menggantikan
udara yang keluar, dan densitas jamur tiram meningkat (Vullioud et al. 2011).

Model Laju Pengeringan Jamur Tiram
Laju pengeringan memiliki banyak model, seperti model Page, Henderson
dan Pabis, Lewis, Logaritmik, Verma dan Midili (Ghaderi et al.2012). Model
persamaan laju pengeringan jamur tiram dibuat menggunakan model yang paling
sederhana, yakni model Lewis dan model Page. Kedua model dievaluasi untuk
kemudian ditentukan model persamaan laju pengeringan yang terbaik, yakni yang
paling dapat merepresentasikan kondisi jamur tiram selama pengeringan.
Pemilihan model persamaan laju pengeringan berdasarkan koefisien determinasi
(R2) yang menunjukkan tingkat validasi secara statistik. Model persamaan laju
pengeringan yang dipilih adalah yang memiliki nilai R2 paling tinggi (Ghaderi et
al. 2012).

12

0

ln MR

-1

0

50

100

150

200

250

300

-2

JS

-3

JC

-4

JB

-5

JMa

-6

JMb

-7

JMc

-8

Waktu (menit)

Gambar 6 Pemetaan data semua perlakuan menggunakan model Lewis
Pemetaan data semua perlakuan menggunakan model Lewis pada Gambar 6
didapatkan dengan memplotkan ln MR pada sumbu y dan waktu pada sumbu x.
Nilai ln MR didapatkan dengan menambahkan logaritma natural pada kedua sisi
persamaan Lewis, sehingga persamaan (1) dapat menjadi persamaan (2). Model
Lewis dalam bentuk persamaan (1) untuk semua perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 3.
t-

e

i-

e

ln

e p(-kt)
-kt

(1)
(2)

Pemetaan data semua perlakuan menggunakan model Page pada Gambar 7
didapatkan dengan memplotkan ln (-ln MR) pada sumbu y dan logaritma natural
waktu pada sumbu x. Persamaan ln (-ln MR) didapatkan dengan menambahkan
dua logaritma natural pada kedua sisi persamaan Page, sehingga persamaan (3)
dapat menjadi persamaan (5). Model Page dalam bentuk persamaan (3) untuk
semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.

t-

e

i- e

ln
ln - ln

-ktn

e p(-ktn )

ln k

n ln t

(3)
(4)
(5)

Hasil pemetaan data laju pengeringan jamur tiram seluruh perlakuan pada
Gambar 6 untuk model Lewis dan Gambar 7 untuk Model Page memperlihatkan
bahwa kurva yang dihasilkan dari model Lewis lebih terdiferensiasi dibandingkan
dengan kurva yang dihasilkan dari model Page. Perbedaan kedua model tersebut
disebabkan perbedaan nilai R2 yang dihasilkan.

13

Tabel 3 Model laju pengeringan koefisien korelasi berdasarkan model Lewis dan model Page pada semua perlakuan
Perlakuan
JS
JC
JB
Jma
JMb
JMc

Waktu Me (menit)
240
270
300
300
300
300

Model Lewis
Persamaan Laju Pengeringan
MR = exp (-0.0293 t – 0.0096)
MR = exp (-0.0237 t + 0.0276)
MR = exp (-0.0241 t + 0.1498)
MR = exp (-0.0172 t – 0.0174)
MR = exp (-0.0207 t + 0.1138)
MR = exp (-0.0194 t + 0.0869)

2

R
0.9836
0.9895
0.9875
0.9949
0.9863
0.9877

Model Page
Persamaan Laju Pengeringan
R2
MR = exp (-0.0610 t 0.8278)
0.9778
MR = exp (-36.9808 t 1.2195)
0.9807
MR = exp (-0.0522 t 0.8016)
0.9584
MR = exp (-17.7077 t 0.7375)
0.9613
MR = exp (-0.0533 t 0.7673)
0.9466
0.7641
MR = exp (-0.0517 t
)
0.9544

13

14

ln (-ln MR)

3
2

JS

1

JC
JB

0
-1

0

1

2

3

4

5

6

JMa
JMb

-2

JMc

-3

ln t

Gambar 7 Kurva pengeringan semua perlakuan menggunakan model Page

Laju pengeringan [(g air/
g solid)/menit]

Tabel 3 menunjukkan data yang lebih rinci, persamaan-persamaan pada
model Lewis memiliki nilai R2 yang lebih tinggi dan lebih seragam dibandingkan
nilai R2 pada persamaan-persamaan model Page yang lebih rendah dan lebih
bervariasi nilainya. Nilai R2 pada persamaan-persamaan model Lewis memiliki
nilai 0.99 jika dibulatkan dalam dua desimal, sedangkan nilai R2 pada model Page
lebih kecil dari 0.99.
Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa model Lewis dapat
menggambarkan perilaku pengeringan jamur tiram lebih baik dibandingkan model
Page. Tingkat validasi yang lebih baik pada model Lewis dibandingkan model
Page juga ditunjukkan pada penelitian Ghaderi et al. (2012) tentang proses
pengeringan jamur kancing dan digunakan pula pada penelitian Kulshreshtha et
al. (2009) tentang kualitas jamur setelah proses pengeringan.
Kurva pengeringan jamur tiram menggunakan model Lewis sebagai model
yang merepresentasikan keadaan selama pengeringan dapat dilihat pada Gambar 8.
Bentuk kurva menunjukkan pola yang menurun curam (falling rate) pada semua
perlakuan sejak awal proses pengeringan. Periode laju pengeringan konstan
(constant rate period) tidak ditemukan pada kurva. Menurut Rizvi (2005),
beberapa bahan pangan memang tidak menunjukkan periode laju konstan, dan
pada bahan pangan kelompok ini pergerakan air selama pengeringan terjadi
melalui proses difusi.
1.2
1

JS

0.8

JC

0.6

JB

0.4

JMa

0.2

JMb

0

JMc
0

500
1000
Kadar Air (g air/ g solid)

1500

Gambar 8 Kurva laju pengeringan jamur tiram model Lewis

15

Rasio Rehidrasi
Rehidrasi merupakan proses melembabkan bahan yang kering (Joardder et
al. 2015). Rehidrasi merupakan proses penyerapan air kembali setelah bahan
melalui proses penghilangan air. Air yang telah hilang tidak bisa dikembalikan
seperti semula seperti keadaan awal, karena rehidrasi bukan proses reversibel
terhadap pengeringan. Laju rehidrasi dapat digunakan sebagai indikator kualitas
makanan. Makanan yang dikeringkan dengan baik akan melakukan proses
rehidrasi dengan lebih cepat dan lebih sempurna (Fellows 2000).
Tabel 4 Rasio rehidrasi jamur tiram kering
Sampel
JS
JC
JB
JMa
JMb
JMc

Rasio rehidrasi
5.97±0.13b
6.55±0.32a
3.15±0.11c
3.13±0.32c
3.22±0.35c
2.83±0.08c

Keterangan : angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
e e ny t p
t fα 5

Rasio Rahidrasi
(gram produk rehidrasi/ gram
produk kering)

Kulshreshtha et al. (2009), Kaur et al.(2014), dan Akoy et al. (2014) dalam
penelitiannya menjelaskan rasio rehidrasi dalam bentuk matematis sebagai
perbandingan bobot sampel jamur tiram kering setelah direhidrasi terhadap bobot
awal sampel jamur tiram kering.
Nilai rasio rehidrasi yang semakin besar mengindikasikan produk yang lebih
baik. Rasio rehidrasi tertinggi dimiliki oleh sampel JC yang dapat mencapai 6.56,
kemudian diikuti oleh sampel JS yang dapat mencapai 5.98, sedangkan sampel
JMb, JMa, JB, dan JMb hanya mencapai kisaran 2.82, 3.10, dan 3.24, dapat dilihat
pada Tabel 4 dan Gambar 9.

7
6
5

JS

4

JC

3

JB

2

JMa
JMb

1

JMc
0
0

5

10
Waktu (menit)

15

Gambar 9 Rasio rehidrasi sampel selama rehidrasi

16

Efek yang cukup signifikan ditemukan antara sampel jamur tiram yang
diberi pretreatment blansir dengan sampel jamur tiram yang tidak diberikan
pretreatment blansir. Efek tersebut dapat terjadi karena proses blansir dapat
mengubah sifat fisik suatu bahan (Marabi dan Saguy 2009).
Perbedaan kapasitas rehidrasi dan rasio rehidrasi antara sampel JS dan JC
dengan sampel JB, JMa, JMb, dan JMc disebabkan oleh perbedaan pretreatment
yang dilakukan. Sampel JB, JMa, JMb, dan JMc mendapatkan perlakuan blansir
saat pretreatment, sedangkan sampel JS dan JC tidak mendapatkan perlakuan
blansir. Selama proses blansir, udara dalam jaringan jamur tiram dikeluarkan dan
terjadi pelipatan jaringan lamella pada jamur, sehingga antar jaringan jamur tiram
akan lebih rapat (Vullioud et al. 2011). Setelah bahan, yang telah diblansir,
kemudian dikeringkan akan dihasilkan produk yang lebih rigid dibandingkan
produk hasil pengeringan yang sebelumnya tidak diblansir.
Selama proses rehidrasi, bahan kering yang direndam dalam air atau media
cair lainnya akan mengalami perubahan fisikokimia, seperti kadar air, porositas,
volume, suhu, gelatinisasi dan tekstur. Rehidrasi meliputi beberapa proses yang
terjadi secara paralel, termasuk penyerapan air ke dalam bahan kering, migrasi
media cair melalui saluran berongga dan penyebaran melalui matriks solid,
pembengkakan pada titik tertentu di matriks solid, dan pelarutan zat padat telarut
oleh cairan ekternal (Marabi dan Saguy 2009).

Warna Jamur Tiram
Warna merupakan aspek penting dalam menentukan kualitas suatu produk
karena merupakan atribut pertama yang dilihat oleh konsumen. Analisis warna
yang dilakukan dengan alat Chromameter menghasilkan data yang
direpresentasikan dalam sistem notasi Hunter. Sistem notasi warna Hunter
dicirikan dengan 3 parameter warna, yaitu kecerahan (lightness) yang ditampilkan
dengan notasi L*, warna kromatik (hue) dengan notasi a*, dan intensitas warna
dengan notasi b* (Andarwulan et al. 2011). Ketiga parameter tersebut dapat
menghasilkan data tingkat kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]),
dan Total Color Difference (∆E) pada sampel jamur tiram kering dan jamur tiram
telah direhidrasi. Hasil analisis tingkat kecerahan (L*) dan hasil penghitungan
derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total Color Difference (∆E) dapat
dilihat pada Tabel 5 untuk sampel jamur tiram kering dan pada Tabel 6 untuk
sampel jamur tiram hasil rehidrasi.
Notasi L* menyatakan parameter kecerahan dengan nilai L* nilai 0 berarti
hitam dan 100 berarti putih (Andarwulan et al. 2011). Analisis warna pada
penelitian ini menggunakan jamur tiram segar sebagai standar dengan nilai L*
sebesar 88.53±0.43. Sampel JC memiliki nilai kecerahan dan derajat keputihan
yang paling tinggi, baik dalam keadaan kering maupun dalam keadaan telah
i ehi si. Nil i ∆
i J pun me up k n y ng p ling kecil, y ng e ti
pe e n w n
eng n st n
jug kecil k en sem kin es nil i ∆ ,
semakin besar pula perbedaan warna dengan standar (Andarwulan et al. 2011).

17

Tabel 5 Nilai kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total
Color Difference (∆E) sampel jamur tiram kering
Sampel
JS
JC
JB
JMa
JMb
JMc

L*
75.74±0.02b
85.30±0.01a
53.51±0.02e
56.30±0.02d
56.24±0.02d
57.98±0.06c

Jamur Tiram Kering
WI
65.35±0.04b
70.23±0.17a
51.29±0.09f
51.80±0.02e
54.15±0.02d
54.60±0.10c

∆E
19.41±0.26b
16.08±0.14a
35.36±0.34f
33.82±0.39e
32.50±0.41d
31.40±0.47c

Keterangan: angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
ny t p
t fα 5

Sampel yang mengalami pretreatment blansir secara umum memiliki nilai
kece h n n e j t putih y ng en h, tet pi cen e ung memiliki nil i ∆ y ng
stabil bahkan cenderung berkurang, kecuali sampel JMc. Sementara itu, sampel
JC dan JS yang memiliki tingkat kecerahan dan derajat putih yang lebih tinggi
dalam keadaan kering mengalami penurunan pada kedua parameter tersebut
setelah direhidrasi.

Tabel 6 Nilai kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total
Color Difference (∆E) sampel jamur tiram yang telah direhidrasi
Sampel
JS
JC
JB
JMa
JMb
JMc

L*
58.42±0.02c
62.90±0.01a
56.07±0.01e
61.12±0.01b
57.69±0.03d
54.40±0.01f

Jamur Tiram Rehidrasi
WI
53.97±0.05c
58.52±0.03a
51.38±0.04d
57.08±0.01b
54.21±0.49c
51.23±0.03d

∆E
31.73±0.35c
27.06±0.37a
34.38±0.41d
28.66±0.40b
31.82±0.14c
34.99±0.38d

Keterangan: angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
ny t p
t fα 5

Proses blansir dan penambahan natrium metabisulfit dapat mempertahankan
kualitas jamur tiram dari keadaan kering hingga setelah direhidrasi, ditunjukkan
oleh nilai ∆E yang lebih stabil dibandingkan nilai ∆E sampel JC dan JS. Namun,
sampel JB, JMa, JMb, dan JMc belum dapat menghasilkan nilali kecerahan dan
derajat putih yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel JC dan JS yang tidak
diberikan pretreatment blansir.
Tidak terlihatnya efek pretreatment blansir dan penambahan natrium
metabisulfit pada sampel yang dikeringkan dapat disebabkan karena tidak
dilakukannya perusakan atau pelukaan terhadap jamur tiram sebelum dikeringkan,
sehingga enzim pencoklatan belum sempat aktif pada sampel JC dan JS. Reaksi
pencoklatan enzimatik sendiri terjadi ketika enzim penyebab pencoklatan, seperti

18

polifenol oksidase dan komponen fenolik lainnya, bereaksi ketika jaringan terbuka
karena kerusakan (Quevedo et al. 2011).
Selain itu, jamur yang digunakan adalah jamur segar yang dipanen pada hari
yang sama dengan hari penelitian, sehingga belum sempat terjadi reaksi
pencoklatan yang biasanya dimulai sehari setelah pemanenan (Walde et al. 2005).
Penyimpanan jamur dalam refrigerator selama penyiapan alat juga menghambat
proses pencoklatan. Mengacu pada pada penelitian Quevedo et al. (2016), reaksi
pencoklatan enzimatis pada jamur secara kritis terjadi pada suhu 96.6°C
berdasarkan metode Mean, sedangkan dengan metode Kinetik Fraktal terjadi pada
suhu 40.3°C.

Rating Hedonik Jamur Tiram Kering
Metode pengeringan menentukan karakter produk yang akan mempengaruhi
persepsi sensori dan penerimaan konsumen. Perbedaan proses pretreatment yang
dilakukan dan perubahan sifat bahan selama pengeringan juga akan
mempengaruhi penerimaan konsumen (Marabi dan Saguy 2009). Uji rating
hedonik digunakan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap sampel jamur
tiram kering dari enam perlakuan pretreatment berbeda.
Hasil uji pada Tabel 7 menunjukkan bahwa sampel JC dan JS memiliki
tingkat preferensi paling tinggi dan berbeda nyata terhadap sampel yang lain
ditinjau dari skor tertinggi yang juga dicapai pada semua penilaian atribut, yakni
atribut warna, aroma, dan tekstur. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa
pretreatment blansir dapat menurunkan preferensi konsumen karena kualitas
warna, aroma, dan teksturnya dinggap tidak sebaik kualitas pada jamur tiram
kering tanpa pretreatment blansir oleh konsumen. Tingkat preferensi konsumen
secara berturut-turut dari yang paling dapat diterima hingga yang paling kurang
diterima, yaitu JC dan JS, JMa, JMb, JB, dan JMc.
Tabel 7 Hasil uji rating hedonik jamur tiram kering
Sampel
JS
JC
JB
JMa
JMb
JMc

Warna
5.46±0.86a
5.50±1.07a
3.51±1.34b
3.77±1.26b
3.41±1.32b
3.56±1.39b

Penilaian Panelis
Kecerahan
Aroma
5.54±0.81a
4.63±1.40a
5.51±1.07a
4.90±1.36a
c
3.33±1.29
3.71±1.29cd
b
3.77±1.21
4.24±1.20b
3.24±1.26c
3.94±1.32 bc
c
3.37±1.34
3.44±1.36d

Tekstur
4.97±1.33a
4.99±1.46a
3.46±1.43c
4.19±1.55b
3.56±1.55c
3.17±1.41c

Keterangan :angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
ny t p
t fα 5

Atribut warna merupakan atribut yang paling mempengaruhi pemilihan
sampel JC dan JS sebagai sampel yang paling dapat diterima karena mendapatkan
skala yang terbesar, yakni 5.46 dan 5.50 dari skala 7.00 yang berarti konsumen
agak menyukai warna sampel. Sampel JMc, JB, dan JMb merupakan sampel yang
paling kurang dapat diterima ditinjau dari skor sampel pada semua penilaian

19

Skor Hedonik Atribut Warna

atribut, yakni atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa yang selalu masuk pada
subset terendah.

7.00
6.00

5.46a

5.50a

5.00
3.51b

4.00

3.77b

3.41b

3.56b

JMb

JMc

3.00
2.00
1.00
0.00

JS

JC

JB
JMa
Sampel

Skor Hedonik Atribut Kecerahan

Gambar 10 Skor hedonik jamur tiram kering atribut warna

7.00
6.00

5.54a

5.51a

5.00
4.00

3.33c

3.77b
3.24c

3.37c

JMb

JMc

3.00
2.00
1.00
0.00

JS

JC

JB

JMa

Sampel
Gambar 11 Skor hedonik jamur tiram kering atribut kecerahan

Skor hedonik jamur tiram kering atribut warna (Gambar 10) dan kecerahan
(Gambar 11) dapat dikaitkan dengan hasil analisis warna pada parameter
kecerahan dan derajat putih. Konsumen paling menyukai sampel JC dan JS yang
memiliki nilai kecerahan dan derajat putih paling tinggi. Sebaliknya, konsumen

20

Skor Hedonik Atribut Aroma

paling tidak menyukai sampel JB yang ternyata juga memiliki nilai kecerahan
yang rendah dan nilai derajat putih paling rendah (Tabel 5).

7.00

6.00
5.00

4.63a

4.90a
3.71cd

4.00

4.24b

3.94bc

3.44d

3.00
2.00

1.00
0.00

JS

JC

JB
JMa
Sampel

JMb

JMc

Skor Hedonik Atribut Tekstur

Gambar 12 Skor hedonik jamur tiram kering atribut aroma

7.00
6.00
5.00

4.97a

4.99a
4.19b
3.56c

3.46c

4.00

3.17c

3.00
2.00
1.00
0.00

JS

JC

JB

JMa

JMb

JMc

Sampel
Gambar 13 Skor hedonik jamur tiram kering atribut tekstur

Rating Hedonik Jamur Tiram Rehidrasi
Proses rehidrasi suatu pangan kering merupakan suatu unit operasi pokok
dalam industri pangan. Proses ini juga dilakukan oleh skala konsumen, yakni
ketika aspek kecepatan dan kemudahan proses sangat menjadi perhatian khusus.

21

Kualitas produk rehidrasi dipengaruhi oleh kondisi pengeringan dan proses
rehidrasi yang dilakukan, yang tentu saja sangat mempengaruhi penerimaan
konsumen (Marabi dan Saguy 2009).

Tabel 8 Hasil uji rating hedonik jamur tiram yang telah direhidrasi
Sampel
Warna
5.07±1.31a
4.64±1.36b
3.13±1.34d
4.53±1.52b
4.04±1.38c
3.86±1.44c

JS
JC
JB
JMa
JMb
JMc

Penilaian Panelis
Kecerahan
Aroma
4.84±1.34a
4.27±1.18a
4.49±1.41a
4.16±1.40ab
c
2.96±1.18
3.80±1.29bc
4.59±1.41a
4.16±1.30ab
b
3.93±1.31
4.16±1.12ab
b
3.671.50
3.64±1.34c

Tekstur
4.94±1.49a
4.57±1.61ab
3.77±1.59d
4.51±1.52ab
4.40±1.50bc
3.96±1.45cd

Rasa
4.99±1.48a
4.01±1.43ab
3.47±1.28b
4.19±1.22ab
4.01±1.30ab
3.75±1.29b

Keterangan :angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyat p
t fα 5

Skor Hedonik Atribut Warna

Hasil uji hedonik sampel setelah direhidrasi (Tabel 8) menunjukkan bahwa
sampel JS memiliki tingkat preferensi paling tinggi. Sampel JMa dan sampel JC
juga memiliki tingkat preferensi paling tinggi pada parameter kecerahan, tetapi
tidak berbeda nyata terhadap sampel JMb pada parameter aroma dan rasa, dan
hanya berbeda nyata terhadap sampel JMc dan JB pada parameter warna,
kecerahan, aroma, dan tekstur.
Sampel JS merupakan sampel yang paling disukai ditinjau dari skor
tertinggi yang juga dicapai pada semua penilaian atribut, yakni atribut warna,
kecerahan, aroma, tekstur, dan rasa. Atribut warna merupakan atribut yang paling
mempengaruhi pemilihan sampel JS sebagai sampel yang paling dapat diterima
karena mendapatkan skala yang terbesar, yakni 5.07 dari 7.00 yang berarti
konsumen agak menyukai warna sampel.

7.00
6.00

5.07a

5.00

4.64b

4.00

4.53b

4.04c

3.86c

3.13d

3.00
2.00
1.00
0.00

JS

JC

JB

JMa

JMb

JMc

Sampel
Gambar 14 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut warna

22

Skor Hedonik Atribut Kecerahan

Sampel JB merupakan sampel yang paling kurang dapat diterima ditinjau
dari skor sampel pada semua penilaian atribut, yakni atribut warna, kecerahan,
aroma, tekstur, dan rasa yang selalu masuk pada subset terendah. Atribut
kecerahan merupakan atribut yang paling mempengaruhi pemilihan sampel JB
sebagai sampel yang paling kurang diterima karena mendapatkan skala yang
kecil, yakni 2.96 dari 7.00 yang berarti konsumen agak tidak menyukai kecerahan
sampel.

7.00
6.00
5.00

4.84a

4.59a

4.49a

3.93b

4.00

3.67b

2.96c

3.00
2.00
1.00
0.00
JS

JC

JB

JMa

JMb

JMc

Sampel

Skor Hedonik Atribut Aroma

Gambar 15 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut kecerahan

7.00
6.00

5.00

4.27a

4.16ab

4.00

3.80bc

4.16ab

4.16ab

JMa

JMb

3.64c

3.00
2.00
1.00

0.00
JS

JC

JB

JMc

Sampel

Gambar 16 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut aroma

23

Skor Hedonik Atribut Tekstur

Serupa halnya seperti pada skor hedonik jamur tiram kering, skor hedonik
jamur tiram yang telah direhidrasi pada atribut warna (Gambar 14) dan kecerahan
(Gambar 15) juga dapat dikaitkan dengan hasil analisis warna pada parameter
kecerahan dan derajat putih. Konsumen paling menyukai sampel JC, JS, dan JMa
yang memiliki nilai kecerahan dan derajat putih paling tinggi. Sebaliknya,
konsumen paling tidak menyukai sampel JB yang ternyata juga memiliki nilai
kecerahan yang rendah dan nilai derajat putih paling rendah (Tabel 6).

7.00
6.00
5.00

4.94a

4.57ab

4.51ab

4.40bc

JMa

JMb

3.77d

4.00

3.96cd

3.00
2.00

1.00
0.00

JS

JC

JB

JMc

Sampel

Skor Hedonik Atribut Rasa

Gambar 17 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut tekstur

7.00
6.00

4.99a

5.00
4.01ab

4.00

4.19ab

4.01bc

JMa

JMb

3.47d

3.76cd

3.00
2.00
1.00
0.00

JS

JC

JB

JMc

Sampel

Gambar 18 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut rasa

24

Pengaruh natrium metabisulfit untuk mempertahankan warna dan
memperbaiki tekstur terlihat pada hasil uji rating hedonik (Tabel 8), yakni pada
sampel yang sama-sama diberikan pretreatment blansir, sampel yang diberikan
kombinasi perendaman dalam natrium metabisulfit dan blansir dengan natrium
metabisul