Filantropi Islam dan kebijakan negara pasca-orde baru: studi tentang undang-undang zakat dan undang-undang wakaf

WIDYAWATI

FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA
PASCA-ORDE BARU:
Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
SEKOLAH PASCA SARJANA

Filantropi Islam dan Kebijakan Negara pasca-Orde Baru:
Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf
Oleh: Widyawati
Cetakan I, Maret 2011
Diterbitkan oleh:
Penerbit Arsad Press
Jl. Permai V No. 134 Komp. Cipadung Permai
Cibiru Bandung
Hak cipta dilindungi undang-undang
All Rights Reserved
Lay Out: Yodi W. Rosyadi
Desain Cover: Tatang Ruhiyat


‫بس ه الرحمن الرحي‬
‫به نست ين ع أم ر الدنيا الدين‬
‫الصاة السا ع نبيه محمد ع آله أصحابه أجم ين‬
‫من تب بإحسان إل ي الدين‬

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, yang atas rahmatnya dan karunia-Nya penerbitan buku ini
dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi
Muh}ammad Saw., keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman,
Amin.
Buku yang ada di tangan pembaca ini semula adalah disertasi yang saya
ajukan ke Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah
diujikan pada 10 Januari 2011. Karena itu, dengan terbitnya buku ini, saya ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada seluruh pihak yang telah membantu saya dengan cara mereka masingmasing. Tanpa bantuan mereka, saya merasa sulit—kalau bukan mustahil—dapat
merampungkan penerbitan buku ini.
Pertama dan utama, terimakasih dan penghargaan saya tertuju kepada Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA dan Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Di tengah-tengah
kesibukan masing-masing—secara berturut-turut sebagai Direktur Sekolah

Pascasarjana dan Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta—mereka masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan
arahan dan bimbingan. Keduanya telah berperan penting dalam penulisan buku
ini. Terimakasih dan perhagaan sebanding juga disampaikan kepada Prof. Dr.
Huzaimah T. Yanggo, MA, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA dan Prof. Dr.
Uswatun Hasanah, MA atas masukan dan saran-saran yang sangat berharga bagi
perbaikan buku ini.
Terimakasih dan penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada para
dosen di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah
memperkaya dan memperluas wawasan saya selama studi di lembaga ini. Juga
kepada Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA
yang telah memberikan masukan dan saran-saran yang sangat berharga atas draft
awal buku ini hingga penerbitannya.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang dalam juga saya sampaikan
kepada Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, MS dan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. Hendi Suhendi, M.Si. Keduanya
telah memberikan izin kepada saya untuk studi dan terus mendorong agar saya
segera menyelesaikannya. Dorongan serupa juga saya peroleh dari Prof. Dr. A.
Djazuli dan Prof. Dr. Juhaya S. Praja, yang dengan tulus merekomendasikan saya
untuk melanjutkan studi S-3 di SPs UIN Jakarta.

Dr. Ismatu Rofi dan keluarga, Din Wahid, MA dan keluarga serta Dr. Asep
Saepudin Jahar telah banyak membantu saya di awal-awal studi. Mereka sudah
sepatutnya memeroleh ucapan banyak terimakasih. Hal serupa juga saya
sampaikan kepada kawan dan kolega di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan
Gunung Djati Bandung. Di antara mereka, saya ingin menyebut Drs. M.
Ahsanuddin Jauhari, M. Hum. dan keluarga, Aan Radiana, M. Ag., Drs. Ah.

i

Fatonih, M.Ag., Dr. Fauzan Ali Rasyid, dan Asro, M. Hum. serta lain-lainnya
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Selanjutnya, hutang budi dan terimakasih sedalam-dalamnya saya sampaikan
kepada keluarga besar saya, kedua orang tua saya, Alm. Basuni (w. 2010) dan
Kulsum, dan mertua saya, Alm. H. Abdul Muin (w. 2007) dan Alm. Panitri (w.
1994). Merekalah yang telah mendorong saya terus belajar dan berkorban untuk
itu, namun hanya satu di antara mereka yang saat ini dapat menyaksikan saya
telah menyelesaikan studi ini. Juga kepada kakak-kakak dan adik-adik saya, yang
telah banyak membantu selama studi saya, baik sebelum maupun saat di PPs UIN
Jakarta.
Terakhir, penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya saya

sampaikan kepada suami saya tercinta, Munir A. Muin, MA dan anak-anak saya
yang membanggakan, Salwa Nurvidya, M. Khursyid Hikam dan Refat Jahabidza,
atas pengertian dan pengorbanan mereka selama ini. Banyak kebahagiaan yang
hilang dari mereka di saat saya harus meneruskan studi dan menyelesaikannya.
Kepada merekalah buku ini saya dedikasikan.

ii

Arab
‫ا‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬

‫ص‬
‫ض‬
Vokal Pendek
------- (fath}ah)
------- (kasrah)
----- (d}ammah)
Vokal Panjang
‫ى‬/‫ا‬

PEDOMAN TRANSLITERASI
Latin
Arab
‫ط‬
a
‫ظ‬
b
‫ع‬
t
th
‫ف‬

j
h}
‫ك‬
kh
‫ل‬
d
dh
‫ن‬
r
z
‫ه‬
s
‫ء‬
sh
s}
d}
a
i
u
a>

i>
u>

seperti
seperti
seperti

‫هداية‬
‫شريف‬
‫مس م ن‬

hida>yah
shari>f
muslimu>n

aw
ay

seperti
seperti


‫أ قاف‬
‫بين‬

awqa>f
bayna

Diftong

‫أ‬
‫أى‬

Latin
t}
z}

gh
f
q
k

l
m
n
w
h

y

‫( ة‬ta>’ marbu>t}ah) dibaca ‚ah,‛ jika tidak diidafatkan, seperti ‫( زكاة‬zaka>h), dan
dibaca ‚at,‛ jika diidafatkan, seperti ‫( زكاة ال طر‬zaka>t al-fit}r).
‫( ال‬la>m al-ta‘ri>f)
ditulis dengan ‚al-‛, baik ketika bertemu huruf-huruf
qamariyyah maupun shamsiyyah, seperti ‫( الجام ة‬al-ja>mi‘ah) dan ‫( الدراسة‬aldira>sah).

iii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………………
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….


i
iii
v

BAB

I
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

PENDAHULUAN …………………………………………
Latar Belakang Masalah…………………………………….
Rumusan Masalah…………………………………………...
Tujuan Penelitian…………………………………………....

Signifikansi dan Manfaat Penelitian………………………..
Tinjauan Pustaka………………………………………….....
Metodologi…………………………………………………..
Sistematika Penulisan…………………………………….....

1
1
7
7
8
8
14
16

BAB

II
A.
B.
C.
D.

ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI…………………...
Filantropi dalam Tradisi Islam……………………………...
Aspek-aspek Filantropi Islam…………………………….....
Filantropi dan Keadilan Sosial……………………………...
Negara dan Filantropi Islam………………………………..

18
18
22
55
38

BAB

III
A.
B.

KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT…………….
Pengaturan Zakat di Indonesia……………………………...
Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat
pasca-Orde Baru……………………………………………..
Konfigurasi Politik Legislasi Zakat…………………………
Implikasi terhadap Zakat setelah Pengesahan Undangudang………………………………………………………..

49
49

C.
D.
BAB

IV
A.
B.
C.
D.

BAB

V
A.
B.
C.

BAB

VI
A.
B.

63
72
92

KEBIJAKAN NEGARA TENTANG WAKAF…………....
Pengaturan Wakaf di Indonesia……………………………..
Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Wakaf
pasca-Orde Baru……………………………………………..
Konfigurasi Politik Legislasi Wakaf………………………..
Implikasi terhadap Wakaf setelah Pengesahan Undangundang…….............................................................................

103
103

PERKEMBANGAN FILANTROPI ISLAM……………….
Pertumbuhan Lembaga-lembaga Zakat, Wakaf dan
Filantropi………………………………………………….....
Pertumbuhan Kuantitatif Lembaga-lembaga Filantropi……
Respons Civil Society Islam terhadap Rencana Revisi UU
Zakat dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam………….

155

PENUTUP…………………………………………………..
Kesimpulan………………………………………………….
Saran-saran…………………………………………………..

186
186
187

v

115
132
150

155
168
174

ADDENDUM …………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
LAMPIRAN ………………………………………………………………
INDEKS …………………………………………………………………..
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………….

vi

189
192
208
211
216

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Filantropi, sebagai sebuah kedermawanan, merupakan ajaran etika yang
sangat fundamental dalam agama-agama.1 Kenyataan ini dapat dilihat baik dalam
doktrin maupun praktik keagamaan dalam berbagai tradisi di berbagai wilayah
dunia,2 yang tentu saja dengan nama yang berbeda-beda, namun mengandung
makna sama, yaitu kesetiakawanan terhadap sesama manusia. Karena itulah,
berbagai bentuk kedermawanan ini kadang-kadang disebut karitas (charity), yang
berarti kecintaan terhadap sesama manusia, 3 dan adakalanya disebut filantropi
yang, menurut makna populernya, berarti “tindakan sukarela untuk kebaikan
umum” (voluntary action for the public good ).4
Menurut Thomas H. Jeavons, setidak-tidaknya ada empat unsur penting
agama, yang mendorong penganutnya senang menjalankan filantropi. 5 Pertama,
agama memiliki doktrin yang mendorong umatnya untuk memberi kepada mereka
yang kurang mampu. Kedua, lembaga keagamaan berperan sebagai penerima
sekaligus sumber pemberian. Ketiga, agama memiliki pengaruh besar terhadap
pembentukan lembaga-lembaga filantropi. Keempat, agama dapat berperan
sebagai kekuatan dalam menciptakan ruang sosial bagi kegiatan dan lembaga
filantropi.

1

Meskipun demikian, ada juga filantropi yang tidak bersumber pada ajaran agama, tetapi
semata-mata karena rasa kemanusiaan. Filantropi jenis ini dapat ditemukan, misalnya, pada masa
Yunani dan Romawi pra-Kristen. Memang banyak praktik filantropi pada masa ini yang diwujudkan
dalam berbagai proyek, seperti bantuan kepada orang-orang miskin, pembangunan gedung,
pembangunan tempat perlindungan tentara dan lain sebagainya. Semua itu dibiayai oleh filantropi
orang-orang kaya, yang didorong bukan karena ajaran agama. Sebaliknya, tujuan utama filantropi
tersebut adalah semata-mata demi prestise orang yang menyumbangnya. Lihat Mark C. Cohen,
Poverty and Charity in the Jewish Community of Medieval Egypt (Princeton: Princeton University
Press, 2005), 4.
2
Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the
Non-Profit Sector (London-New York: Routledge, 2005), 196; Warren E. Ilchman, Stanley N. Katz,
dan Edward L. Queen II, “Pendahuluan,” dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren E.
Ilchman, et.al., terj. Tim CSRC (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta,
2006), ix.
3
Thomas D. Watts, “Charity,” dalam Encyclopedia of World Poverty, ed. M. Odekon (London:
Sage Publication, 2006), 1: 143.
4
Lihat Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and
Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6; juga Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary
Action for the Public Good, dalam http://www.paytonpapers.org (diakses 20 September 2009).
5
Thomas H. Jeavons, “Religion and Philanthropy,”
http://learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/ religion_ philanthropy.asp (diakses 5 Agustus
2010); bandingkan Andrew Ting-Yuan Ho, “Charitable Giving: What Makes A Person Generous?”
MA thesis (Washington DC.: Georgetown University, Faculty of the Graduate School of Arts and
Sciences, 2006).

1

2
Seperti agama-agama lain, Islam juga memberikan perhatian yang sangat
besar pada masalah kedermawanan, dari tingkat yang sekadar sukarela hingga ke
tingkat yang bersifat wajib, dengan shadaqah sebagai konsep utamanya. Makna
utama di balik konsep ini adalah segala kebaikan yang diberikan seseorang kepada
yang lain secara sukarela adalah shadaqah. Berbeda dengan shadaqah, zakat
merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan khusus. Sementara itu, wakaf tidak memiliki tingkat kewajiban, tetapi
sangat dianjurkan bagi setiap Muslim. Tidak heran, jika bentuk kedermawanan
yang terakhir ini dianggap sebagai sebuah filantropi yang terlembaga dengan
baik.6
Dalam sejarah, ketiga bentuk filantropi dalam Islam itu telah memainkan
peran yang sangat penting, seperti dalam penyebaran agama dan ilmu, pendirian
lembaga-lembaga pendidikan, bahkan dalam bidang kesejahteraan. Misalnya,
salah satu sarana penting bagi penyebaran Islam adalah masjid, yang didirikan dan
dibangun atas dasar filantropi. Bahkan, konon, Nabi sendiri adalah orang pertama
yang mencontohkan melaksanakan filantropi dengan mendirikan masjid. Selain
masjid, banyak lembaga pendidikan penting, yang menjadi tempat para siswa
menimba ilmu didirikan atas dasar filantropi. Tidak hanya itu, bahkan
penyelenggaraannya pun dijalankan dengan dana filantropi, terutama yang
didukung oleh penguasa. Melalui lembaga-lembaga pendidikan inilah penyebaran
ilmu terjadi dan mengalami perkembangan, seperti di Bagdad, Kairo, Makkah dan
lain sebagainya.7 Bahkan, tidak sedikit perpustakaan yang ada di wilayah ini
didirikan dan dibiayai oleh dana filantropi, terutama wakaf. 8
Demikian pentingnya filantropi Islam ini sehingga ia tidak pernah bisa
dilepaskan dari urusan negara atau kekuasaan. Menurut Jon B. Alterman dan
Shireen Hunter, setidak-tidaknya ada empat sikap pemerintah di negara-negara
Muslim terhadap filantropi. Pertama, nasionalisasi lembaga filantropi sehingga ia
berada di bawah kontrol negara. Dengan demikian, manajemen filantropi harus
tunduk pada kepentingan negara. Kedua, negara menyesuaikan diri dengan
otoritas keagamaan. Dengan cara begitu, lembaga filantropi pada dasarnya ditarik
ke dalam lembaga negara, dan pada saat yang sama memeroleh justifikasi dari
agama. Ketiga, negara menentukan kekuatan yang dapat mengatur lembaga
filantropi, termasuk tujuan dan jumlah pengurusnya, sehingga negara memberikan
kebebasan aktivitas filantropi, sepanjang aktivitas tersebut tidak berkaitan dengan
politik. Keempat, negara membentuk lembaga filantropi yang non-pemerintah.
Lembaga semacam ini akan menjadi agen perubahan bagi masyarakat, seperti
6
Jennifer Bremer, “Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social
Justice,” paper disampaikan pada CSID (Center for the Study of Islam and Democracy) 5 th Annual
Conference “Defining and Establishing Justice in Muslim Societies,” Washington DC, 28-29 Mei
2004),
5;
Robert
D.
McChesney,
“Charity
and
Philanthropy
in
Islam,”
http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses 20-62009).
7
Siraj Sait dan Hilary Lim, Land, Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim
World (London-New York: Zed Books, 2006), 149; Azyumardi Azra, “Filantropi dalam Sejarah Islam
di Indonesia,” dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang
(Jakarta: Forum Zakat, 2006), 17; Azyumardi Azra, “Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,”
dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam , ed. Idris Thaha (Jakarta: Pusat
Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003), xxiv.
8
Lihat Yah}ya> Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz
Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, 1996).

Pendahuluan

3
penghapusan kemiskinan, pendidikan, kepedulian terhadap anak-anak dan lain
sebagainya.9
Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari hubungan agama dan negara, yang
terjadi di beberapa negara Muslim. Secara garis besar, hubungan antara keduanya
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama. Kategori pertama
berpandangan bahwa Islam dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan, sehingga
urusan agama identik dengan urusan negara itu sendiri. Kedua, Islam dan negara
merupakan dua entitas yang berbeda, dan karenanya persoalan agama harus
dikeluarkan dari tanggung jawab negara. Ketiga, meskipun Islam dan negara
berbeda, namun keduanya memiliki kaitan yang substansial. 10
Dalam konteks seperti itu, Yu>suf al-Qarad}a>wi> (‫ (ي سف ال رضا ى‬menilai bahwa
filantropi Islam, khususnya zakat, harus dikelola oleh negara. Institusi ini
berkewajiban untuk memungut dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang
berhak menerimanya. Selain didasarkan pada QS al-Tawbah (9): 103,11 alQarad}a>wi> juga berargumen bahwa fakir miskin dapat memeroleh jaminan yang
lebih kokoh dari negara ketimbang dari perorangan. Di samping itu,
pendistribusian oleh negara menghilangkan konsentrasi pada kelompok mustahik
di wilayah tertentu. Yang lebih penting lagi, Islam pada dasarnya adalah agama
dan negara (di>n wa-dawlah).12 Sejauh ini, terdapat enam negara yang mengelola
zakat melalui undang-undang, seperti Arab Saudi, Libya, Yaman, Malaysia,
Pakistan dan Sudan.13
Berbeda dengan al-Qarad}a>wi>, Robert D. McChesney berpendapat bahwa
Islam tidak memiliki pola pengelolaan filantropi—khususnya zakat—secara tegas,
tetapi bersifat ambigu.14 Karena itu, dalam pengelolaannya bisa berubah-ubah
sesuai dengan situasi masyarakat. Artinya, ia kadang-kadang dikelola oleh negara,
namun adakalanya negara melepaskan diri dari persoalan ini.
Seperti di wilayah lain, filantropi Islam juga berkembang di Indonesia
bersamaan dengan kedatangan agama ini. Praktik ini mudah diterima oleh
masyarakat Nusantara, mengingat bentuk-bentuk filantropi telah menjadi tradisi
kehidupan mereka, terutama filantropi yang berakar pada agama-agama.
Meskipun demikian, penghimpunan dan pendistribusian zakat tidak pernah
dikelola oleh penguasa pada masa kesultanan Islam. 15 Sebaliknya, masyarakat
bebas membayarkannya, baik secara langsung kepada mustahik, maupun kepada
lembaga-lembaga, seperti masjid, pesantren ataupun organisasi-organisasi
keagamaan.
Memasuki masa penjajahan, filantropi Islam juga tidak memeroleh perhatian
dari pemerintah kolonial, mengingat kebijakan mereka dalam bidang agama
9
Jon B. Alterman dan Shireen Hunter, The Idea of Philanthropy in Muslim Contexts (Washington, DC:
Center for Strategic and International Studies, 2004), 11-12.
10
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam (Jakarta: Ushul Press, 2005), 7-8.
11
Ayat ini berbunyi sebagai berikut:

. ‫ه سميع ع ي‬

‫إن صاتك سكن ل‬

‫ب ا صل ع ي‬

‫تزكي‬

‫صدقة تط ره‬

‫خذ من أم ال‬

Yu>suf al-Qarad}aw
> i>, Fiqh al-Zaka>h (Beiru>t: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 746-754; lihat juga Abu> alWafa>’ Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Min Qad}a>ya> al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 91-92.
13
A. Zysow, “Zakat,” dalam The Encyclopedia of Islam, ed. P.J. Bearman et.al. (Leiden: Brill, 2002), 11:
12

419.
Robert D. McChesney, Charity and Philanthropy in Islam: Institutionalizing the Call to Do Good
(Indianapolis: Indiana University Center on Philanthropy, 1993); lihat juga idem, “Charity and Philanthropy in
Islam,”dalam http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam .asp (diakses 20-062009).
14

15

Azyumardi Azra, “Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,”19.

Bab I

4
adalah netral.16 Bahkan, para pejabat pribumi dilarang untuk terlibat dalam
pengelolaan zakat, karena zakat semata-mata ditujukan untuk kepentingan agama.
Lebih buruk lagi, tidak sedikit dana zakat terbukti disalahgunakan untuk
kepentingan pribadi mereka.17 Akibatnya, dana zakat yang terkumpul sangat
rendah dan biasanya dibayarkan langsung kepada para guru ngaji setempat.
Dengan kata lain, pemerintah kolonial sengaja membiarkan persoalan zakat
menjadi persoalan orang Islam dan berupaya menjadikan zakat sekadar sebagai
tindakan sukarela. Bahkan Hurgronje juga keberatan jika zakat dimasukkan ke
dalam kas kabupaten, apalagi negara.18
Berbeda dengan zakat, sikap pemerintah kolonial terhadap wakaf tidaklah
netral, karena wakaf Muslim berupa tanah, sehingga harus diatur oleh pemerintah
melalui peraturan tentang agraria. Lebih jauh, kebijakan yang netral dalam
masalah agama ini juga dapat berubah menjadi represif, ketika dana filantropi ini
digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik, seperti pemberontakan atau
perlawanan terhadap pemerintah kolonial.19 Bahkan, pada akhirnya, untuk
kepentingan murni agama pun dibatasi, karena dianggap dapat memperkuat basis
sosial masyarakat. Di beberapa daerah, misalnya, pemerintah kolonial melarang
renovasi masjid dengan dana zakat dan wakaf, dengan alasan hal itu akan
memperkuat soliditas umat Islam.20
Memasuki Indonesia merdeka, persoalan filantropi tidak memeroleh
perhatian dari negara yang masih lemah. Dalam situasi seperti ini, upaya untuk
melakukan pengelolaan zakat dan wakaf oleh masyarakat sipil menguat. Ini
ditunjukkan dengan sejumlah seminar yang menghendaki agar zakat dikelola oleh
negara. Akan tetapi, berbagai upaya ini mengalami kegagalan karena
kekhawatiran pemerintah terlibat dalam urusan agama, atau dituduh menjalankan
Piagam Jakarta, yang saat itu telah berhasil dijinakkan. 21 Di samping itu,
dikotomi ideologis antara Islamis dan sekular masih sangat kuat, sehingga setiap
upaya untuk melibatkan negara dalam masalah agama dipandang sebagai sesuatu
yang dapat mengancam kesatuan. Sikap pemerintahan Soekarno—yang kemudian
disebut Orde Lama—terhadap persoalan filantropi ini tidak mengalami
perubahan, hingga ia diturunkan dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh
Soeharto.
Di awal pemerintahannya, kaum Muslim banyak berharap agar Soeharto mau
melibatkan negara dalam persoalan filantropi, terutama zakat. Hal ini dibuktikan
dengan seruan sejumlah ulama agar pemerintah ambil bagian dalam pengelolaan
zakat. Akan tetapi, Soeharto merespons hal itu dengan kesediaan dirinya sebagai
amil zakat nasional, tanpa harus melibatkan negara. Meskipun bersifat personal,
16

H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 2 dan 9-10.
Arskal Salim, “The Influential Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formation of Zakat
(Alms) Law in Modern Indonesia,” Pacific Rim Law and Policy Journal Association, 15:3 (2006), 690.
18
Tentang alasan-alasan penolakan Hurgronje mengenai hal ini, lihat Nasihat-nasihat C. Snouc
Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1880-1936, terj. Sukarsi
(Jakarta: INIS, 1992), 1352-1375.
17

19

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press,

1998).

20

H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162-164.
Arskal Salim, “Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,” dalam Shari‘a and
Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra (Singapore: ISEAs, 2003), 183184.
21

Pendahuluan

5
keterlibatan Soeharto ini sedikit banyak terkait dengan negara, mengingat tidak
sedikit instruksi yang ia keluarkan diarahkan kepada sejumlah kepala daerah.
Akan tetapi, sentralisasi pengelolaan zakat di bawah koordinasi Soeharto tidak
memeroleh kepercayaan masyarakat, yang dibuktikan dengan sedikitnya dana
yang terkumpul selama tiga tahun keterlibatannya. 22
Lebih jauh, kegagalan ini tidaklah semata-mata ketidakpercayaan
masyarakat, tetapi juga sikap setengah hati yang ditunjukkan Soeharto. Hal ini
terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila, di mana ia menginstruksikan pemotongan
langsung gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai sedekah yang harus dibayarkan
kepada yayasan ini. Akibatnya, pengelolaan zakat menjadi murni persoalan umat
Islam, sehingga masyarakat menyalurkan zakat mereka ke lembaga-lembaga yang
biasa menghimpun dan menyalurkan zakat, seperti masjid, pesantren, madrasah,
dan organisasi-organisasi keagamaan. Pemerintah sendiri, melalui Departemen
Agama, hanya memberikan instruksi agar zakat dihimpun dan disalurkan sesuai
dengan ketentuan ajaran Islam.23
Menjelang akhir pemerintahannya, Soeharto memang menunjukkan sikap
yang akomodatif terhadap Islam, dengan disahkannya sejumlah undang-undang
yang memenuhi kepentingan umat Islam, seperti UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama,24 Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan sejumlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam25 dan Bank Muamalat.26 Akan tetapi, persoalan filantropi Islam
tetap belum memeroleh perhatian yang semestinya hingga berakhirnya Orde Baru
yang dipimpinnya pada 1998.
Berbeda dengan zaman Orde Baru yang sentralistik, pada masa reformasi di
bawah kepresidenan Habibie, kebebasan politik memeroleh momentum. Ini
ditandai tidak hanya dengan menjamurnya partai politik baru, dengan ideologi dan
corak yang beragam. Namun, hal itu juga ditunjukkan dengan berdirinya sejumlah
organisasi keagamaan dari yang bersifat liberal hingga radikal. Di tengah-tengah
situasi kebebasan dan “relaksasi politik”27 inilah sejumlah lembaga filantropi
Islam banyak tampil ke muka. Tidak hanya sebatas itu, lembaga-lembaga
filantropi ini juga menjadi kekuatan civil society, yang dapat menekan pemerintah
22
Asep Saepudin Jahar, “The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in postIndependence Indonesia,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13: 3 (2006): 365.
23
Arskal Salim, Challenging the Secular State: Islamization of Law in Modern Indonesia
(Honolulu: University of Hawaii Press, 2008), 124-125.
24
Untuk pembahasan mengenai hal ini, lihat Mark Cammack, “Indonesia’s 1989 Religious
Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonenization of Islam?” dalam Shari‘a and Politics in
Modern Indonesia, 96-124; Nur Ahmad Fadhil Lubis, “Institutionalization and Unification of Islamic
Courts under the New Order,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 2: 1 (1995).
25
Diskusi lebih panjang tentang hal ini, lihat Imam Mawardi, Socio-Political Background of the
Enactment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tesis M.A. (Montreal: Institute of Islamic Studies,
McGill University, 1997); juga Joko Mirwan Muslimin, Islamic Law and Social Change: A

Comparative Study of Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in Nation-States
Egypt and Indonesia (1950-1995), Disertasi PhD (Hamburg: Universitat Hamburg, 2005).
26
Untuk pembahasan secara rinci tentang hal ini, lihat Zainulbahar Noor, Bank Muamalat:
Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan (Jakarta: Bening, 2006); juga Bahtiar Effendy, Islam in
Contemporary Indonesian Politics (Jakarta: Ushul Press, 2006), 114-124.
27
Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung:
Mizan, 2000), 172.

Bab I

6
untuk memenuhi aspirasi tertentu mereka. Dengan kata lain, perubahan politik
ternyata berdampak besar bagi pertumbuhan lembaga-lembaga filantropi di
Indonesia.28
Menurut Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, filantropi di
Indonesia dari pra-kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru berkembang melalui tiga
arus utama. Pertama, filantropi tradisional, yang bersumber pada agama dengan
semangat dakwah. Praktik filantropi tradisional ini tercermin dalam berbagai
layanan sosial, terutama pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Muhammadiyah, dalam hal ini, merupakan contoh yang sangat baik, karena telah
berhasil mendirikan ribuan sekolah, rumah sakit dan ratusan rumah yatim. 29
Kedua, organisasi masyarakat sipil yang mulai bermunculan pada 1970-an.
Organisasi-organisasi ini muncul bersamaan dengan proyek modernisasi, yang
menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat Indonesia, seperti
kemiskinan, peminggiran rakyat, lingkungan, polusi, pelanggaran hak asasi
manusia dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini tidak secara langsung bergerak
dalam bidang filantropi dalam pengertian tradisionalnya, juga tidak banyak
mendapat dukungan dari masyarakat akar rumput. Akan tetapi, mereka telah
banyak menggagas perubahan penting dalam konteks modernisasi ini, seperti
advokasi, pemberdayaan rakyat, yang terjadi pada masa itu. Ketiga, organisasi
filantropi perusahaan dan organisasi sumber daya masyarakat sipil. Arus ketiga ini
muncul bersamaan dengan krisis ekonomi pada 1997 dan runtuhnya rezim
otoriter. Keduanya telah mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai
persoalan. Karena itu, masa ini dapat dipandang sebagai masa subur berdirinya
organisasi-organisasi filantropi, sehingga pada 2003 sudah berdiri setidaknya 27
organisasi.30
Salah satu bentuk gerakan sosial yang memiliki pengaruh penting terhadap
bidang filantropi adalah Forum Zakat (FOZ), yang didirikan oleh sejumlah
organisasi pada 1997. Asosiasi ini berhasil menggalang jaringan organisasi
filantropi, mendiskusikan persoalan-persoalan zakat dengan pemerintah,
menyebarkan informasi, mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menjadi
konsultan dalam berbagai persoalan zakat. Hanya dalam waktu dua tahun, asosiasi
ini sudah beranggotakan 150 buah lembaga. 31 Di antara kontribusi penting forum
ini adalah penyiapan draft undang-undang zakat, yang kemudian disahkan sebagai
UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. 32
Suasana kebebasan ini terus berlangsung pada masa kepresidenan
Abdurrahman Wahid, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati. Pada
masa dua presiden ini, lembaga-lembaga civil society, termasuk lembaga
filantropi, terus menguat dan mampu memberikan tekanan terhadap pemerintah.
Salah satunya adalah aspirasi umat Islam agar wakaf yang telah lama menjadi
28
Andi Agung Prihatna, “Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia,” dalam Revitalisasi
Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia , ed. Chaider S. Bamualim dan

Irfan Abu Bakar (Jakarta: PBB UIN Syarif Hidayatullah, 2005), 14.
29
Tentang data lengkap mengenai amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan,
kesehatan, panti asuhan dan lain-lain hingga 2010, lihat http://www.muhammadiyah.or.id/jaringanmuhammadiyah.html (diakses 12 Januri 2011).
30
Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial
(Jakarta: Piramedia, 2006), 1-3.
31
Forum Zakat, Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Jakarta: FOZ, 2001), xi.
32
Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127-128.

Pendahuluan

7
praktik masyarakat Muslim diatur dalam sebuah undang-undang, sebab sejauh ini
wakaf hanya di atur dalam berbagai peraturan yang terpisah-pisah, seperti dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan
Instruksi Presiden Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Aspirasi ini
akhirnya dipenuhi dengan diajukannya RUU tentang Wakaf yang kemudian
disahkan menjadi UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Sebenarnya, aspirasi semacam itu adalah sesuatu yang wajar. Sebab, seperti
dikemukakan William R. Liddle, dalam suasana kebebasan seperti itu, ekspresi
Islam yang lebih formalistik akan mengemuka, mengingat kaum Muslim memiliki
sumber daya politik yang lebih besar, baik dalam bentuk organisasi, media
maupun akses terhadap politisi.33 Dengan kata lain, semakin demokratis negara, ia
diduga semakin akomodatif terhadap kepentingan umat Islam, seperti ditunjukkan
dengan dikeluarkannya dua undang-undang yang berkaitan dengan filantropi
Islam pada pasca-Orde Baru.
Meskipun demikian, akomodasi aspirasi umat Islam oleh negara dalam
bentuk undang-undang ini sama sekali tidak bebas dari kepentingan politis. Sebab,
seperti dikemukakan oleh Mahfud MD, sebuah undang-undang adalah produk
politik negara.34 Dengan kata lain, undang-undang tentang zakat dan wakaf yang
lahir pasca-Orde Baru ini memiliki faktor-faktor politis yang mendorong
kelahirannya. Di samping itu, kehadiran undang-udang ini juga menunjukkan
hubungan antara negara dan umat Islam pasca-Orde Baru, yang diduga sangat
berbeda dengan masa sebelumnya.
B.

Rumusan Masalah
Dari uraian di atas terlihat bahwa masalah utama yang diangkat dalam
penelitian ini adalah filantropi Islam dan kaitannya dengan negara, dengan
perhatian khusus pada undang-undang tentang zakat dan undang-undang tentang
wakaf. Masalah tersebut kemudian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
1. Seberapa jauh negara pasca-Orde Baru terlibat dalam bidang zakat dan
wakaf?
2. Bagaimana dampak undang-undang tentang pengelolaan zakat dan
undang-undang tentang wakaf terhadap perkembangan filantropi Islam?

C.

Tujuan Penelitian
Sejalan dengan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis keterkaitan negara dengan agama, khususnya dalam bidang
filantropi Islam, sebagaimana diwujudkan dalam undang-undang tentang zakat
dan undang-undang tentang wakaf. Analisis ini meliputi faktor-faktor politis dan
sosial yang mendorong kelahiran kedua undang-undang ini. Lebih jauh, penelitian
ini juga menganalisis dan mengidentifikasi perkembangan lembaga filantropi
Islam sebagai dampak dari kehadiran kedua undang-undang ini.

33
William R. Liddle, “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and
Action in New Order Indonesia,” dalam Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian
Islamic Thought, ed. Mark R. Woodward (Arizona: Arizona State University Press, 1996), 323.
34
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2001), 13.

Bab I

8
D.

Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Signifikansi penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
filantropi Islam di Indonesia, terutama zakat dan wakaf, telah menjadi tarik
menarik kepentingan antara negara dan masyarakat atau civil society. Dalam
sejarahnya, negara kadang-kadang melepaskan diri dari penghimpunan dan
pengelolaan filantropi Islam, tetapi adakalanya ingin melibatkan diri ke dalamnya.
Ini sekaligus mencerminkan hubungan antara negara dan masalah keislaman atau
agama. Dengan kata lain, hubungan filantropi Islam dengan negara terbukti
hingga kini belum teratasi secara tuntas dan karenanya penelitian tentangnya
sangat signifikan dilakukan. Kedua, secara teoretis, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan fiqh al-siya>sah al-dustu>riyyah
dan fiqh al-siya>sah al-ma>liyah (politik ekonomi) yang selama ini diajarkan di
perguruan tinggi Islam, namun hanya melalui pendekatan fikih. Dengan penelitian
ini diharapkan pengajaran disiplin tersebut dapat diperluas melalui pendekatan
filantropis. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
studi awal bagi peneliti sendiri, khususnya, dan para peneliti lain, umumnya,
untuk studi lebih lanjut. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya dan memperjelas hubungan Islam dan negara di Indonesia.
E.

Tinjauan Pustaka
Filantropi sebenarnya merupakan sebuah istilah yang relatif baru di
Indonesia jika dibandingkan dengan istilah-istilah zakat, wakaf atau shadaqah dan
infak, yang sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Karena itu, kajian filantropi
Islam belum banyak mendapat perhatian dari para sarjana. Baru pada 1990-an
kajian filantropi Islam mulai bermunculan bersamaan dengan datangnya era
reformasi di Indonesia.
Beberapa kajian yang telah dilakukan mengenai filantropi Islam adalah
Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam ,35 yang merupakan
sebuah kumpulan tulisan. Tulisan-tulisan di dalamnya membicarakan secara
umum filantropi Islam dari berbagai sisi, dari sisi tradisi agama-agama, dimensi
keadilan sosial, civil society dan profil serta manajemen lembaga-lembaga
filantropi Islam di Indonesia. Sebagian tulisan lain memfokuskan pada dimensi
historis filantropi Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Azyumardi Azra
dalam “Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia” 36 dan Amelia Fauzia dalam
“Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya.” 37
Penelitian lain yang memfokuskan perhatian pada filantropi Islam adalah

Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf
di Indonesia.38 Seperti ditunjukkan dalam judulnya, penelitian ini berusaha
memotret lembaga-lembaga filantropi Islam, terutama zakat dan wakaf, berikut
cara-cara pengelolaan, peran dan perkembangannya. Lembaga-lembaga pengelola
35

Idris Thaha (ed.), Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam (Jakarta:
Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003).
36
Azyumardi Azra, “Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,” dalam Zakat dan Peran
Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 15-30.
37
Amelia Fauzia, “Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya,”
decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di-indonesia-peran-html (diakses 19 Juni 2009).
38
Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (eds.), Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia:
Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya, UIN Jakarta,
2005).

Pendahuluan

9
zakat yang dikaji dalam penelitian ini meliputi BAZIS DKI dan Jawa Barat,
LAZIS Dompet Dhuafa Republika, BMT Ben Taqwa Grobogan, Gerakan Zakat
Muhammadiyah di Kendal, Pos Keadilan Peduli Ummat dan LAZIS Markaz
Islami Makassar. Adapun lembaga-lembaga wakaf yang diteliti meliputi Badan
Wakaf Pondok Modern Gontor, Badan Wakaf UII Yogyakarta dan Lembaga
Wakaf Pesantren Tebuireng.
Kajian lain tentang filantropi Islam ditemukan dalam Filantropi Islam dan

Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam
di Indonesia.39 Buku ini mengulas beberapa aspek filantropi Islam di Indonesia,
yang meliputi peluang dana filantropi untuk mewujudkan keadilan sosial, tradisi
filantropi menurut dua sumber utama Islam, potret lembaga filantropi serta tata
kelola filantropi pada masa modern. Adapun kesimpulan yang dicapai adalah
bahwa meskipun dana filantropi di Indonesia sangat besar, tetapi yang dapat
dihimpun masih sangat kecil. Ini disebabkan, antara lain, oleh tradisi masyarakat
yang lebih setia memberikan derma secara langsung kepada mustahik daripada
kepada lembaga-lembaga filantropi. Situasi ini diperburuk oleh kelemahan
lembaga-lembaga filantropi itu sendiri, seperti dalam masalah mobilisasi,
pengelolaan, dan penyaluran dana filantropi.
Dalam Filantropi dalam Masyarakat Islam,40 Ahmad Gaus juga mengkaji
filantropi Islam dengan perhatian khusus pada definisi konseptual filantropi,
hubungannya dengan agama-agama dan praktiknya dalam Islam. Buku ini secara
umum berisi dasar-dasar penting filantropi Islam secara umum dan praktiknya di
Indonesia, dengan tujuan dapat menggugah masyarakat peduli terhadap filantropi
Islam. Berbeda dengan Gaus, Amelia Fauzia melakukan kajian terhadap sejarah
filantropi Islam di Indonesia dan hubungannya dengan negara, dalam disertasinya
yang berjudul Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in
Indonesia.41 Dalam disertasi ini, Amelia Fauzia mengkaji perkembangan filantropi
Islam di Indonesia dari masa Islamisasi, penjajahan, pasca-kemerdekaan hingga
masa reformasi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa filantropi Islam telah
menjadi wilayah perebutan dominasi antara negara dan civil society, meskipun
dengan tingkatan yang fluktuatif.
Kajian tentang filantropi juga dilakukan oleh Zaim Saidi, Muhammad Fuad
dan Hamid Abidin dalam Kedermawanan untuk Keadilan Sosial,42 dengan
perhatian khusus pada potensi filantropi di Indonesia dan pola pemberiannya.
Kesimpulan yang dicapai oleh penelitian ini adalah bahwa semangat orang
Indonesia, terutama Muslim, untuk berderma sangat besar karena didorong oleh
faktor agama. Akan tetapi, mereka lebih cenderung menyalurkannya secara
langsung kepada yang berhak menerimanya daripada kepada lembaga filantropi.

39

Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim (eds.), Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi
tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif
Hidayatullah, 2006).
40
Ahmad Gaus, Filantropi dalam Masyarakat Islam (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,
2008).
41
Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia , Disertasi
PhD (Melbourne: The Asia Institute, The University of Melbourne, 2008).
42
Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial
(Jakarta: Piramedia, 2006).

Bab I

10
Bahwa zakat merupakan bentuk filantropi yang potensial di Indonesia, hal
itu ditunjukkan oleh survei yang dilakukan oleh PIRAC tentang zakat. 43 Menurut
survei ini, 94% masyarakat yang disurvei merasa sebagai muzakki dengan besaran
Rp. 124.000,- per tahun. Akan tetapi, potensi yang demikian besar itu belum
terkelola dengan baik, yang bisa dilihat dari tingginya keengganan masyarakat
untuk menyalurkan zakat mereka kepada lembaga-lembaga resmi, seperti BAZ
atau LAZ. Kebanyakan mereka menyerahkan kepada amil tidak resmi yang ada di
sekeliling mereka atau langsung kepada yang berhak menerimanya. Ini
menunjukkan bahwa pengelolaan zakat berlangsung tanpa suatu tata kelola yang
memungkinkan zakat dapat menjadi potensi yang sangat besar bagi peningkatan
kesejahteraan.
Potensi yang demikian besar itu mendorong sebagian orang menilai bahwa
zakat dapat menjadi solusi alternatif bagi penyelesaian kemiskinan, sebagaimana
tercermin dalam buku Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif ,44
yang ditulis oleh AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie. Para penulis
optimistis bahwa zakat jika dikelola oleh negara dengan baik dapat memberikan
kontribusi bagi APBN. Untuk itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang
memadai dan political will pemerintah. Pandangan serupa juga dikemukakan M.
Djamal Doa dalam Manfaat Zakat Dikelola Negara.45 Ia mengemukakan sejumlah
argumen yang mendukung usulannya agar zakat dikelola oleh negara. Argumenargumen itu meliputi: distribusi yang lebih teratur, pemerintah lebih mengetahui
sasaran dan pemanfaatan zakat, zakat dapat membantu keuangan negara,
menghilangkan rasa inferioritas mustahik terhadap muzakki, dan dapat
membangun perekonomian rakyat.
Filantropi Islam dan kesejahteraan sosial juga menjadi perhatian buku yang
berjudul Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial .46 Buku
ini merupakan kumpulan tulisan dalam bentuk ringkasan dari tesis para
penulisnya, dan tidak seluruhnya membicarakan tentang filantropi Islam. Di
antara beberapa tulisan yang terkait dengan filantropi adalah “Pemberdayaan
Kaum Miskin melalui Investasi Sosial: Eksperimentasi Lembaga Pengelola Zakat”
oleh Sirajuddin Abbas, “Strategi Fundraising: Kasus Baznas” oleh Ismet Firdaus
dan “Manajemen Keluarga Miskin: Kasus Masyarakat Mandiri, Dompet Dhuafa
Republika” oleh Lisma Dyawati Fuaida.
Adapun kajian tentang aspek-aspek filantropi Islam, khususnya zakat dan
wakaf, telah dilakukan oleh sejumlah sarjana. Dalam bidang zakat, misalnya,
Sarjono meneliti peran negara dalam pengurusan zakat, yang berlangsung selama
Orde Baru. Ia berkesimpulan bahwa negara sudah semestinya terlibat dalam
pengelolaan zakat, tidak saja karena menjadi amanat UUD 1945, tetapi juga
karena zakat bisa memberikan kontribusi penting terhadap kemiskinan dalam
masyarakat.47 Berbeda dengan itu, Rofiqurrahman, dalam Filantropi Islam dan
43
Kurniawati (ed.), Kedermawanan Kaum Muslim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat
Indonesia, Hasil Survei di 10 Kota (Jakarta: Pustaka Adina, 2004).
44
AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi
Alternatif (Jakarta: Belantika, 2004).
45
M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara (Jakarta: Nuansa Madani, 2002).
46
Arief Subhan dan Yusro Kilun (eds.), Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Dakwah Press, 2007).
47
Sarjono, Kewenangan Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengurusan Zakat di Indonesia,

Tesis Master (FH, UI: 1993).

Pendahuluan

11

Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep Zakat ,48 menganalisis
fikih zakat modern dan kemungkinan praktiknya di zaman modern. Menurutnya,
pengembangan zakat tidak dapat di lakukan semata-mata dari aspek
manajemennya, tetapi juga harus dibarengi dengan pengembangan pemikiran fikih
yang dinamis sejalan dengan tuntutan perkembangan zakat itu sendiri.
Penelitian tentang zakat secara spesifik dilakukan oleh A.A. Miftah dalam
Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum.49 Masalah utama yang
dikaji dalam buku ini adalah bagaimana zakat dilihat dari perspektif hukum qad}a>’i>
dan diya>ni>, dan apakah UU No. 38 Tahun 1999 dapat dipandang sebagai kategori
hukum qad}a>’i> dan diya>ni tersebut. Menurut Miftah, zakat merupakan pranata
keagamaan yang berdimensi ibadah, dan karenanya bercorak diya>ni>. Akan tetapi,
dalam pelaksanaannya diperlukan hukum negara, qad}a>’i>. Karena itu, UU tentang
Pengelolaan Zakat dapat dipandang sebagai hukum qad}a>’i>, tetapi belum
sempurna. Maksudnya, dibandingkan dengan UU tentang Peradilan Agama,
misalnya, UU tentang Zakat ini dapat dipandang masih jauh dari rinci dan dapat
diterapkan sekaligus. Karena itu, menurutnya, masih diperlukan fikih baru dalam
bentuk undang-undang yang lebih terperinci.
Berbeda dengan studi Miftah, Muhammad Fakhri meneliti secara khusus
dampak lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 terhadap pengelolaan zakat di BAZ
Riau, dalam disertasinya yang berjudul Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38
Tahun 1999 tentang Zakat: Studi Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau .50
Adapun aspek-aspek yang dianalisis oleh Fakhri meliputi sumber-sumber, caracara pengumpulan, pengelolaan dan pendistribusiannya, di samping kelembagaan
zakat di provinsi ini. Semua aspek-aspek itu dianalisis berdasarkan ketentuan
yang terkandung dalam undang-undang tentang pengeloaan zakat, termasuk
Keputusan Menteri dan Dirjen Bimas Islam.
Sementara itu, Uswatun Hasanah51 meneliti pengelolaan zakat di Jakarta dan
potensinya bagi peningkatan kesejahteraan sosial. Menurut Uswatun, zakat yang
dikelola dengan baik, seperti dilakukan BAZIS DKI, menunjukkan dapat
memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang,
seperti bahan makanan bagi fakir miskin, pemberian beasiswa dan peningkatan
infrastruktur keagamaan.
Studi kasus terhadap penggalangan dana filantropi Islam juga dilakukan oleh
Ismet Firdaus. Dalam kajiannya yang berjudul Strategi-strategi Penggalangan
Dana Filantropi Islam,52 Firdaus menganalisis langkah-langkah yang dilakukan
oleh BAZNAS sepanjang 2002-2003 untuk menggalang dana zakat, infak dan
shadakah. Ia berkesimpulan bahwa penggalangan dana di BAZNAS tidak bisa

48
Rofiqurrahman, Filantropi Islam dan Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep
Zakat, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008).
49
A.A. Miftah, Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sulthan Thaha

Press, 2007). Buku ini semula adalah disertasi yang diajukan ke Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah 2005.
50
Muhammad Fakhri, Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi
Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008).
51
Uswatun Hasanah, Zakat dan Keadilan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Zakat di BAZ DKI
Jakarta, Tesis Magister (Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1989).
52
Ismet Firdaus, Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam, Tesis Magister (FISIP,
UI: 2004).

Bab I

12
dilepaskan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, seperti sumber
daya manusia, dukungan pemerintah dan media.
Kasuz BAZNAS juga menjadi fokus penelitian Deny Wahyu Tasniawan.53
Menurutnya, zakat yang dikelola secara profesional, akuntabel dan transpran,
seperti yang dilakukan lembaga ini, memiliki pengaruh positif terhadap tingkat
ketertiban wajib zakat dalam membayar zakatnya. Dengan kata lain,
profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas menjadi faktor berpengaruh
terhadap ketertiban wajib zakat di BAZNAS.
Berbeda dengan itu, Maulana Yusuf menganalisis BAZNAS dari aspek
dimensi kebijakan yang dilakukan lembaga ini. Menurut Yusuf, sepanjang 20012003, BAZNAS belum dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara optimal,
terutama fungsi koordinatif, konsultatif dan informatifnya. Ini disebabkan, antara
lain, karena kurang maksimalnya peran para pengurus, di samping karena sumber
daya manusia yang masih jauh dari memadai. 54
Kajian tentang wakaf juga sudah dilakukan oleh beberapa orang, di
antaranya, Deby Nuri Herasanti. Dalam studinya yang berjudul Eksistensi Wakaf

menuru Kompilasi Hukum Islam, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun
2004, ia berkesimpulan bahwa suatu peraturan pemerintah menjadi faktor penting
bagi pelaksanaan sebuah undang-undang. Ini dibuktikan dengan pelaksanaan
wakaf yang masih didasarkan pada PP No. 28 Tahun dan KHI, mengingat PP
tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 belum ditetapkan. 55 Sementara itu,
penelitian wakaf dalam kaitannya dengan UU No. 41 Tahun 2004 juga dilakukan
oleh Farid Hasan Sazali, dengan perhatian khusus pada wakaf temporal ( waqf
mu’aqqat). Menurutnya, berdasarkan konsep ini, wakaf tidak berarti terputusnya
hubungan kemilikan wakif terhadap benda yang diwakafkan, dan pandangan ini
banyak dipengaruhi pendapat fuqaha (Syiah) Imamiyyah. 56 Penelitian tentang
wakaf juga dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture UIN
Jakarta. Penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Wakaf, Tuhan dan

Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di
Indonesia.57 Penelitian ini memfokuskan diri pada sejarah perkembangan wakaf di
Indonesia, yang meliputi peraturan-peraturan tentang wakaf yang berlaku,
pengelolaan wakaf dan peluangnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan
keadilan sosial masyarakat. Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Uswatun
Hasanah dalam disertasinya yang berjudul Peranan Wakaf dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan .58 Yang

53
D