Tinjauan Hukum Islam Terhadap Program Titip Doa di Baitullah

TINJAUANHUKUM ISLAM TERHADAP
PROGRAM TITIP DOA DI BAITULLAH
SKRIPSI
DiajukanUntukMemenuhi Salah SatuSyaratMemperoleh
GelarSarjanaSyariah (S.Sy)

Oleh :

Dian KamalsariOhorela
NIM :1110043100044

Pembimbing

Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA
NIP.95008171989031001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

1436 H/2014M

LEMBAR PERYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa;
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah
satu persayaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua Sumber saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta: 9 Desember 2014 M
16 Shafar

Penulis


iii

1436 H

ABSTRAK
Dian Kamal Sari Ohorela, NIM: 1110043100044, Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Program Titip Doa Di Baitullah, program Studi perbandingan Mazhab dan
Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan mengenai hukum dari
program yang dilaksanakan oleh Komunitas Sedekah Harian yakni mencari donatur
dengan cara mendoakan orang lain di Mekkah namun dengan syarat adanya ujrah
(upah) dengan nominal tertentu yang harus dibayar oleh donatur dan dikirim ke no
rekening yang telah disediakan oleh komunitas.
Tujuan dari penelitian ini adalah agar mukallaf memahami mengenai hukum
dari komersialisasi (jual beli) ayat Al-Quran. Selain itu untuk mengetahui hukum
pengambilan ujrah (upah) dari pekerjaan yang berhubungan dengan ketaatan seperti
mengajarkan ayat-ayat Al-Quran, shalat, adzan dll. Juga untuk mengetahui tempattempat yang diijabahkan doanya langsung tanpa adanya penghalang di muka bumi
ini, walaupun pada hakikatnya dimana pun kita berdoa akan di dengar dan di ijabah
oleh Allah Swt.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan menggunakan jenis penelitian
analisis komperatif yakni metode analisis dengan perbandingan antara Al-Qur’an,
Hadis, pendapat para ulama’ dan cendekiawan muslim yang mengkaji tentang
permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini, serta penelitian kepustakaan (library
research) yaitu dengan mengambil referensi pustaka dan dokumen yang relevan
dengan masalah ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dalam penulisan skripsi ini ialah
bahwa tidak ada ikhtilāf di kalangan ulama mengenai keharaman menukarkan ayat
Al-Quran dengan dunia, namun dalam pengambilan ujrah (upah) terdapat ikhtilāf
mengenai hukumnya.
Pembimbing
:Dr. H. Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA
Daftar Pustaka
: Tahun 1960 s.d. Tahun 2014

iv

ِ‫بِسۡمِٱلَّهِٱلَّحۡمَٰنِٱلَّحِيم‬
KATA PENGANTAR


Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa
Allah Swt, yang telah memberikan nikmat dan petunjukNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.
Berkat rahmat dan hidayah dari Allah Swt, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah dengan judul TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP
PROGRAM TITIP DOA DI BAITULLAH. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis dan bagi yang membacanya.
Selama penulisan skripsi ini penulis banyak kesulitan dan hambatan untuk
mencapai data dan refrensi. Namun berkat kesungguhan hati dan ban tuan dari
berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1.

Bapak JM. Muslimin, MA, Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.


Dr. Khamami, MA sebagai Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum
dan Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc, MA Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab Hukum.

v

3.

Dr. H. Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA,selaku pembimbing skripsi yang
telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi
ini.

4.

Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah,
khususnya kepada Dr. H. Taufiki, M. Ag dan Fahmi Ahmadi, S. Ag yang selalu
memberikan suport dan dorongan di awal penulisan skripsi, semoga amal
kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah Swt.


5.

Seluruh staf dankaryawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik
dikala penulis mengumpulkan data dan materi skripsi.

6.

Kepada keluarga tercinta terutama kepada ayahandatercinta (M. Kamal Nur
Ohorella) yang tiada pernah berhenti untuk selaluberdoa serta memberi nasihat
dan motivasi kepada penulis sehinggaskripsi ini selesai.

7.

Sahabat dan rekan mahasiswa PMH (Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan
2010, yang selalu memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada
penulis. Terima kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam
suka dan duka. Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan pernah
terlupakan.


8.

Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak bisa
sebutkan satu persatu. Semoga Allah Swt membalas kebaikan yang telah
diberikan dengan balasan yang berlipat ganda.
vi

Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat khususnya
bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa
meridhoi setiap langkah kita. Aamin

Jakarta: 9 Desember 2014 M
16Shafar1436 H

Penulis

vii

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................iii
ABSTRAK ..............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR...........................................................................................v
DAFTAR ISI..........................................................................................................viii

BAB I

: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................1
B. Pembatasan dan PerumusanMasalah ........................................... 11
C. Tujuandan ManfaatPenelitian...................................................... 11
D. MetodePenelitian ......................................................................... 12
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 13

BAB II: JUAL

BELI


AYAT

AL-QURAN

DAN

UJRAH(UPAH)ATAS

PENGAMALANNYA SERTA GAMBARAN UMUM MENGENAI
BAITULLAH
A. Jual Beli Ayat Al-Quran ..............................................................16
1. Pengertian Jual Beli ..............................................................16
2. Dasar Hukum Jual Beli .......................................................19
3. Rukun dan Syarat Jual Beli ................................................20
4. Hukum Jual Beli Ayat Al-Quran .........................................26
B. Ujrah Atas Pengamalan Ayat Al-Quran .....................................29
1. Pengertian Ujrah ..................................................................29
2. Dasar Hukum Ujrah .............................................................31
3. Rukun dan Syarat Ujrah .......................................................31

4. Hukum ujrah Atas Pengamalan Ayat Al-Quran ..................33
viii

C. Gambaran Umum Mengenai Baitullah........................................38
1. Profil Baitullah .....................................................................38
2. Tempat-tempat Mustajab di Baitullah ..................................40

BAB III :

TINJAUN UMUM TENTANG KOMUNITAS SEDEKAH
HARIAN
A. Profil Komunitas Sedekah Harian ... ............................................ 45
1.

Latar Belakang Komunitas ……………………………… 45

2.

Visi dan Misi Komunitas........................................................ 49


B. Gambaran Umum Program Titip Doa di Baitullah ... .................. 50
1. Latar Belakang Program ............................................50
2. Visi dan Misi Program…………………………………… 52

BAB IV :

KAJIAN

TERHADAP

PROGRAM

TITIP

DOA

DI

BAITULLAH
A. Hukum Titip Doa Dengan Ujrah................................................... 62
B. Analisis Terhadap Program Titip Doa di Baitullah ....................... 67

BAB V:

PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 80
B. Saran-saran .................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 83
LAMPIRAN ............................................................................................................... 87

ix

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat disangkal bahwa era dewasa ini adalah era kegelisahan. Problem
hidup terlihat dan dirasakan di mana-mana, bukan saja karena kebutuhan meningkat,
tetapi juga karena ulah sementara pihak mengusik kedamaian dengan berbagai dalih
atau menawarkan aneka ide yang saling bertentangan dan membingungkan.
Ditambah dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, membantu manusia untuk mendapatkan dan memenuhi sesuatu keperluan
hidupnya, terutama keperluan yang bersifat material. Dalam hal moril, ilmu
pengetahuan dan teknologi belum, atau dapat dikatakan tidak akan mampu membantu
manusia, karena memang hal-hal yang bersifat moril dan batiniah berada di luar
jangkauan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kenyataannya, tidak ada manusia
yang terlepas dari harapan dan keinginan untuk mendapatkan bantuan dari orang lain
atau dari Yang Maha Kuasa.
Boleh jadi manusia tidak selamanya merasakan kebutuhan tersebut. Tetapi
pada saat-saat tertentu, orang akan membutuhkan bantuan, yang kadang-kadang tidak
jelas sumbernya.

1

2

Sebagai seorang muslim, meyakini bahwa sumber segala kekuatan dan
kekuasaan itu ada pada Allah Swt. Allah menyuruh manusia supaya bermohon
kepadanya, dan berjanji akan mengabulkan permohonan (doa) hambanya. 1
Dengan zikir dan doa, optimisme lahir, dan itulah yang dapat mengusik
kegelisahan, karena itu dewasa ini sekian banyak pakar, bahkan yang hidup di Eropa
dan Amerika sekalipun menganjurkan umat beragama untuk kembali mengingat
Tuhan.
Doa dalam pengertian pendekatan diri kepada Allah dengan sepenuh hati,
banyak juga dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Quran. Bahkan Al-Quran banyak
menyebutkan pula bahwa tadharu’ (berdoa dengan sepenuh hati) hanya akan
muncul bila disertai keikhlasan.
Doa merupakan kesempatan manusia mencurahkan hatinya kepada Tuhan,
menyatakan kerinduan, ketakutan dan kebutuhan manusia kepada Tuhan. Dengan
demikian, doa dipanjatkan hanya kepada Allah Swt, tidak kepada yang lain.
Walaupun, misalnya ada orang yang berdoa di kuburan, doanya tetap harus ditujukan
kepada Allah Swt, tidak boleh kepada orang yang ada dalam kubur.2

1

Zakiah Darajat, Doa Menunjang Semangat Hidup, ( Jakarta: CV Ruhama, 1996), Cet. 6,

2

Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik, ( Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), Cet. 1, hal. 93

hal. 15

3

Doa merupakan bagian dari zikir. Ia adalah permohonan. Setiap zikir kendati
dalam redaksinya tidak terdapat permohonan, tetapi kerendahan hati dan rasa butuh
kepada Allah Swt yang selalu menghiasi pezikir, menjadikan zikir mengandung doa. 3
Doa pada mulanya berarti permintaan yang ditujukan kepada siapa yang
dinilai oleh yang meminta mempunyai kedudukan dan kemampuan yang melebihi
kedudukan dan kemampuannya. Karena itu, doa bukan permintaan yang ditujukan
kepada siapa yang setingkat dengan yang memohon. Konteksnya berseberangan
dengan perintah. Sebab, walaupun perintah pada hakikatnya merupakan permintaan,
tetapi ditujukan kepada siapa yang kedudukannya lebih rendah dari pada yang
meminta.
Menurut istilah, doa ialah memohon kepada Allah Swt yang dirumuskan
dalam satu rangkaian kalimat yang diucapkan oleh hamba dengan penuh harap akan
mendapatkan kebaikan dari sisinya, dan dengan merendahkan diri kepadanya untuk
memperoleh apa yang diinginkannya. 4
Doa mengandung sejumlah manfaat. Di antaranya ialah untuk memohon
keselamatan di akhirat, yaitu masuk surga dan terhindar dari api neraka. Keselamatan
di akhirat harus diminta kepada Allah Swt, karena taat kepadanya yaitu menjalankan
perintahnya dan menjauhi larangannya tidak otomatis membuat orang itu masuk
surga.
3

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran tentang Zikir & Doa, (Jakarta: Lentera Hati,
2006), hal. 177
4

Mahrus Amin, dkk, Doa Ibadah Amaliah dan Peringatan Hari Besar Islam Nasional &
Berbagai Acara, (Jakarta: Firdaus, 1995), hal. 13

4

Doa juga bermanfaat untuk meminta kelancaran urusan duniawi, seperti
memperoleh pekerjaan, rezeki, kedudukan, bisnis, studi, jodoh, keturunan, dan
sebagainya. Manusia dianjurkan untuk selalu berdoa memohon kemudahan urusanurusan duniawi itu.
Selain itu, doa juga bermanfaat untuk memperoleh ketenangan pikiran,
perasaan, hati atau jiwa. Makin banyak seseorang berdoa, maka makin tenang pula
pikiran dan hatinya. Ketenangan hati itu dapat dilihat pada terbentuknya sikap-sikap
sufistik pada diri orang yang banyak berdoa, seperti sabar, ikhlas, ridhā,qana’ah,
syukur, jujur, optimis, istiqāmah, dan tawakkal. Kemudian dari ketenangan jiwa itu
orang akan hidup sehat dan bahagia, sehingga dapat dikatakan bahwa doa bermanfaat
untuk mewujudkan hidup sehat dan bahagia.
Sejatinya, berdoa merupakan salah satu kebutuhan psikologis setiap
manusia. Sebagaimana sudah menjadi hukum alam, kehidupan manusia disertai
berbagai kebutuhan. Maka Islam menjadikan berdoa sebagai mekanisme memohon,
hanya kepada Allah Swt. Memohon untuk keluar dari belitan kebutuhan hidup, baik
di dunia maupun di akhirat.5
Bagi

seorang

muslim,

doa

merupakan

senjata

pamungkas

untuk

menyelesaikan berbagai problematika kehidupan. Dalam mencari solusi atas sebuah
persoalan, seorang muslim biasa menggunakan dua saluran, yaitu saluran vertikal dan
horizontal. Saluran vertikal berasal dari bumi (manusia) ke langit (Allah Swt) yang
Muhammad Ismail Ishak, Ensiklopedia Do’a dan Dzikir sesuai Al Quran, Hadist & Para
Ulama, (Jakarta: Alifbata, 2007), hal. 1
5

5

dilakukan melalui doa atau istijābah. Dari langit, Allah kemudian menurunkan
pengabulan-Nya ke bumi sebagai jawaban yang biasa disebut ijābah. Sedangkan
saluran horizontal dilakukan melalui upaya penyelesaian masalah dengan
mengerahkan seluruh kreativitas dan usaha maksimal untuk membuka persoalan yang
dihadapi. Terkabul tidaknya sebuah doa bukan hanya ditentukan oleh cara
pengucapannya, malainkan juga waktu, tempat dan muatan doa itu sendiri.6
Menurut pakar kesehatan jiwa, doa mengandung unsur psikoterapeutik yang
mendalam. Terapi psikoreligius ini tidak kalah pentingnya dengan psikoterapi
psikiatrik, karena mengandung kekuatan spiritual yang membangkitkan rasa percaya
diri dan harapan sembuh.7
Doa merupakan intinya ibadah, karena dengan berdoa berarti telah
menghadapkan segala urusan kepada Allah, dan doa merupakan pernyataan tentang
kelemahan manusia di hadapan kekuasaan Allah Swt, serta merupakan cara untuk
mengingat Allah Swt.8
Saat berdoa, ada beberapa adab yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu9
selalu menjaga makanan yang halal, jika memungkinkan menghadap ke arah kiblat,
memperhatikan waktu dan keadaan yang memiliki keutamaan, mengangkat kedua
tangan hingga sejajar dengan pundak, hendaknya dimulai dengan memuji Allah dan
6

Wawan Shafwan Shalehuddin, Ada Apa Dengan Doa Kita, (Bandung: Tafakur, 2005), hal.

7

Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik, hal. 105

8

M. Mutawalli Sya’rawi, Doa Yang Dikabulkan, (Jakarta: Pustaka Al kautsar, 1991), hal. 24

v

Al-Sayyid Sābiq, Fikih Sunnah, penerjemah: Khairul Amru Harahap dan Masrukhin,
(Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2008), hal. 476
9

6

membaca shalawat kepada Rasulullah,berdoa dengan hati yang khusuk, rendah hati,
menampakkan kemiskinannya dengan suara lirih, berdoa yang tidak mengandung
unsur dosa atau untuk memutuskan hubungan, dan jika ingin berdoa untuk orang lain,
hendaknya dimulai dengan doa untuk diri sendiri.
Agar doa mudah terkabul, dalam diri setiap manusia harus ada iman yang
teguh, sekuat tenaga ia berusaha menjaga agar kepercayaannya kepada Allah tidak
goyah. Keimanannya itu harus terwujud dalam sikapnya yangbaik terhadap sesama
dan menjalankan perintah Allah dengan hati yang ikhlas. 10
Allah menghendaki manusia berdoa kepadanya untuk setiap kebutuhannya,
baik kecil maupun besar. Karenanya, pertemuan manusia dengan Tuhannya menjadi
lebih intensif ketimbang pertemuannya dengan orang-orang dekat disekitarnya. 11
Tuhanlah sumber keberadaan dan pemilik semua yang berhubungan dengan
alam ini.Salah satu tuntutan Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan doa adalah
berdoa untuk orang lain, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Banyak
ayat-ayat Al-Quran yang menunjuk pada hal tersebut. Yang terpenting didoakan
adalah kedua orang tua. Disamping berdoa untuk kedua ibu bapak, kaum muslimin
juga merupakan orang-orang lain yang perlu didoakan. Berdoa buat orang lain
merupakan anjuran agama.
Mendoakan orang lain atau meminta didoakan oleh orang lain dicakup oleh
kandungan pesan Allah untuk saling membantu dalam kebaikan. Mendoakan orang
10

M. Arifin Ilham, Doa Ajaran Sahabat Rasulullaah, ( Jakarta: Hikmah, 2005), hal 7-8.

11

Hosein Fadhlullah, Menyelami Samudra Doa, ( Jakarta: Al-Huda, 2005),Cet. 1, hal. 17

7

lain, lebih-lebih tidak di depannya, mengundang malaikat untuk mengaminkan sambil
berdoa kiranya yang mendoakan orang lain itu memperoleh hal serupa dengan
doanya.
Salah satu tanda eratnya persaudaraan dengan sesama muslim adalah
mendoakan muslim lainnya yang tidak berada di hadapannya, atau tanpa
sepengetahuannya. Saat seorang muslim mendoakan muslim lainnya yang berada
jauh dari tempatnya, tanpa sepengetahuannya, dengan doa-doa yang baik, niscaya doa
tersebut akan dikabulkan Allah dan doa tersebut juga akan mencakup orang yang
membacanya sendiri. Sebagaimanasabda Rasulullah
ْ ‫” ح ث ا إسْحا بْ إبْرا ي أخْ ر ا عيسى بْ ي س ح ث ا ع ْ الْ ك بْ أبى س يْ ا ع ْ أبى الّبيْر ع‬
ْ ‫كا ْ حْ ال رْ اء قال ق ْ الّا فأ يْ أبا ال رْ اء فى ّْل ف ْ أج‬
‫س‬

‫ص ى اه ع ي‬- ‫ قال ْ فا ْ ال ل ا ب يْر فإ ال ى‬.ْ ‫ع‬

‫كل ك ا عا أخي ب يْر قال‬

‫ك‬

‫ابْ ع ْ ال بْ ص ْ ا‬

‫صْ ا‬

ْ ‫ج ْ أ ال رْ اء فقال ْ أ ري الْحّ الْعا فق‬

‫ عْ الْ رْء الْ سْ أخي بظ ْر الْغيْب سْ جاب ع ْ رأْس‬: ‫كا يق ل‬
12

) ‫لك ب ثْل“(ر ا س‬

‫الْ ك الْ كل ب آ ي‬

Artinya: “Dari Ummu Darda’ dan Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa seorang muslim untuk
saudaranya (muslim lainnya) yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan
oleh Allah. Di atas kepala orang muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang
malaikat yang ditugasi menjaganya. Setiap kali orang muslim itu
mendoakan kebaikan bagi saudaranya, niscaya malaikat yang menjaganya
berkata, “Amin (semoga Allah mengabulkan) dan bagimu hal yang serupa.” (HR.
Muslim)

Hadits ini merupakan sebuah modal berharga untuk banyak mendoakan
kebaikan bagi saudara-saudara muslim lainnya. Selain mendapatkan pahala
mendoakan mereka, juga akan mendapatkan kebaikan dari doa yangdipanjatkan
Abu al-Hasan muslim ibn al-Hajāj ibn Muslim al-Qasyirī, al-Jāmi’u al-Shahīh al-Musma
shahīh Muslim,(Beirut: Dar al-Jīlu, t.t), Juz. 8, hal 86.
12

8

tersebut. Mendoakan kebaikan untuk sesama muslim sama halnya dengan mendoakan
kebaikan untuk diri sendiri, sebagaimana dijelaskan di akhir hadits di atas. Malaikat
mengamini doa kita dan Rasulullah Shallallāhu ‘alahi wa sallam menjamin bahwa
Allah Ta’ala akan mengabulkannya. 13
Dengan demikian, doa bukan hanya tenggelamnya seseorang ke dalam zat
illahi. Namun, doa adalah penyingkap tabir semua kehidupan yang baik, dari sisi
pemikiran maupun tindakan. Doa adalah gerakan yang menggugat kelemahan
manusia agar meraih spiritualitas yang tinggi dan penuh pengakuan dosa kepada
Allah, untuk mengubahnya menjadi kekuatan kepribadian manusia yang bersumber
dari kekuatan Allah Swt.14
Namun bagaimana hukumnya mendoakan orang lain dengan mengharapkan
imbalan tertentu. Apakah hal tersebut dapat dihukumi haram, makruh atau mubah?.
Dikarenakan adanya berbagai referensi yang menyatakan tentang hukumnya. Fuqaha
yang menyatakan bahwasannya boleh mendoakan orang lain dengan mengharapkan
imbalan dapat dikategorikan sebagai upah dalam mengajarkan Al-Quran, hal ini di
perbolehkan dengan merujuk pada hadits nabi

‫كل ع ْ أب سعي رض‬
‫ ف س ْر سافر ا‬:
‫سي‬

‫ْ˛ف‬

ْ‫ح ث ا أب ال عْ ا ح ث ا أب ع ا ع ْ أب بّْر ع ْ أب ال‬
‫س‬

ْ‫ص ى ال ع ي‬

‫ْ ˛ فأب ْا أ ْ يضي‬

‫ْ أصْحا ال‬

‫س ضاف‬
ْ ‫˛ فا‬

13

‫ْ أحْياء الْعر‬

‫ر‬

‫ال ع ْ قال ا ْط‬
‫ح ى ّل ا ع ى ح‬

Http://www.google.com/read/2012/06/15/20956/keutamaan mendoakan-kebaikan-untuksesama-muslim-tanpa-sepengetahuannya.html#sthash.qtlupkBs.dpuf, diakses pada 10 februari 2014
pukul 19:35.
14

Hosein Fadhlullah, Menyelami Samudra Doa, hal. 19

9

‫لاء الر ْط‬

ْ ‫ ل ْ أ ْي‬: ْ ‫لك الْح ˛ فسع ْا ل ب ل ش ْء ˛ لا ي ْ ع ش ْء ˛ فقال بعْض‬

‫ يا أي ا الر ْط إ سي ا‬: ‫ع ْ بعْض ْ ش ْء ˛ فأ ْ ْ فقال ا‬
ْ ‫ ع‬: ْ ‫ْ ش ْء ? فقال بعْض‬

ْ ْ

‫ّل ا ˛ لع أ ْ ي‬

‫ل ˛ سع ْي ا ل ب ل ش ْء لا ي ْ ع ˛ ف لْ ع ْ أح‬

‫س ض ْ اك ْ ف ْ ضي ا ˛ ف ا أ ا برا ل ْ ح ى جْع ا‬
ْ ‫لأرْق ˛ ل ْ ال لق ْ ا‬
‫ي ْ ل ع يْ ˛ يقْرأ )الْح ْ ل ر‬
‫ فأ ْف ْ ْ جعْ ْ ال‬: ‫ قال‬.
‫صى‬

‫ال‬

‫ فا ْط‬.

‫اب ق‬

‫ لا ْع ا ح ى ْأ‬:‫رقى‬

‫ا ع ى رس ل ال ص ى ال‬
‫ قال أب ع ْ ال‬.
15

‫س‬
) ‫رير‬

ّْ ‫ي‬

‫ْ الْغ‬

‫ْ ع ى قطيع‬

‫ْ عقال ˛ فا ْط‬

‫ال إ‬

‫ل ا جعْ ا ˛ فصالح‬

‫الْعال ي ( ف أ ا ّط‬

‫ اقْس ا˛ فقال ال‬:ْ ‫ْ ع يْ ˛ فقال بعْض‬

‫ فق‬. ‫كا ˛ ف ْظر ا يأْ ر ا‬

‫ اقْس ا‬. ْ ْ ‫ق ْ أص‬:) ‫؟( ث قال‬

‫ال ي‬

‫س ف ْكر ل ال‬

‫صالح‬
ْ‫ال ع ي‬

‫ ا ي ْريك أ ا رقْي‬:) ‫س ˛ ف كر ا ل ˛ فقال‬

ْ‫ع ْ س ْ ا ( فضحك رس ل ال ص ى ال ع ي‬
‫كل ب ا(ر ا اب‬

ْ‫ع ي‬

‫اضْرب ا ل‬

ْ‫قال ش ْع ح ث ا أب بّْر س عْ أبا ال‬

Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu’man telah menceritakan kepada kami

Abu ‘Awanah dari Abu Bisyri dan Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id radiallahu
‘anhu berkata: Ada rombongan orang dari sahabat Nabi SAW yang bepergian
dalam suatu perjalanan hingga ketika mereka sampai di salah satu perkampungan
Arab, mereka meminta kepada penduduk setempat agar bersedia menerima mereka
sebagai tamu penduduk tersebut, namun penduduk menolak. Kemudian kepala suku
kampung tersebut terkena sengatan binatang, lalu diusahakan segala sesuatu untuk
menyembuhkannya namun belum berhasil. Lalu diantara mereka ada yang brekata,
coba kalian temui rombongan itu, semoga ada diantara mereka yang memiliki
sesuatu. Lalu mereka mendatangi rombongan dan berkata: Wahai rombongan,
sesungguhnya kepala suku kami telah digigit binatang dan kami telah
mengusahakan pengobatannya namun belum berhasi. Apakah diantara kalian yang
dapat menyembuhkannya?, maka berkata seseorang dari rombongan: Ya, demi
Allah aku akan mengobati namun demi Allah kemarin kami meminta untuk menjadi
tamu kalian namun kalian tidak berkenan maka aku tidak akan memjadi orang
yang mengobati kecuali bila kalian memberi upah. Akhirnya mereka sepakat
dengan imbalan puluhan ekor kambing. Maka dia berangkat dan membaca (
Alhamdulillah rabbil ‘alamin), seakan penyakit lepas dari ikatan tali padahal dia
pergi tidak membawa obat apapun. Dia berkata: maka mereka membayar upah
yang telah mereka sepakati kepadanya. Seorang dari mereka berkata: Bagilah
kambing-kambing itu! Maka orang yang mengobati berkata: Jangan kalain
15

Musa Syahin Lasyin, Taysir Shahih Bukhari, Juz II, (Al-Qahirah, Maktabah al-Syuru alDauliyah, 2003), hal. 50-51

10

bagikan hingga kita temui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu kita ceritakan
kejadian tersebut kepada Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan kita tunggu apa
yang akan Beliau perintahkan kepada kita. Akhirnya rombongan menghadap
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu mereka menceritakan peristiwa
tersebut. Beliau berkata: Kamu tahu dari mana kalau Al Fatihah itu bisa sebagai
ruqyah (obat)? Kemudian Beliau melanjutkan: kalian telah melakukan perbuatan
yang benar, maka bagilah upah kambing-kambing tersebut dan masukkanlah aku
dalam sebagai orang yang menerima upah tersebut. Maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tertawa. Abu 'Abdullah Al Bukhariy berkata, dan berkata, Syu'bah
telah menceritakan kepada kami Abu Bisyir aku mendengar Abu Al Mutawakkil
seperti hadits ini. (HR. Bukhori no. 2276)

Sedangkan fuqaha yang memakruhkan pengambilan upah atas pengajaran
Al-Quran beralasan, bahwa upah tersebut seperti upah untuk mengajarkan shalat.
Mereka mengatakan bahwa upah tersebut bukan pekerjaan mengajar Al-Quran tetapi
jampi, baik mantera tersebut memakai Al-Quran atau yang lain.16
Fuqaha yang mengharamkan pengambilan upah atas pengamalan ibadah
menggunakan Q.S al Baqarah: 41 sebagai dasar hukum mereka.

‫ث ا‬

‫ّ ر ا ب يا‬
ْ ‫ا‬

‫ا أ ل كافر ب‬

‫ص قا ل ا ع ْ ا‬

ْ‫ءا ا ب ا أ ّْل‬
‫ق يا إيا فا ق‬

Artinya:“Berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (al-Quran) yang
membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat). Janganlah kalian menjadi orang
yang pertama kafir kepadanya dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan
harga yang rendah. Hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa.” (QS al-

Baqarah: 41).
Hal itu juga diperkuat lagi dengan pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang melarang pengambilan upah atas hal-hal yang berhubungan dengan ibadah
seperti doa, shalat, adzan dll. Menurut Ketua MUI Pusat Cholil Ridwan, titip doa
dengan membayar sejumlah biaya itu sama dengan komersialisasi ibadah. "Jadi kalau
Ibnu Rusyd, Bidāyatu al-Mujtahid, penerjemah: Imam Ghazali Said dan Achma Zaidun,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2007) hal. 74-75.
16

11

ibadah pakai tarif, pakai jasa, biro jasa, itu namanya komersialisasi ibadah. Itu tidak
betul. Itu namanya penyimpangan dalam ibadah."17
Dari uraian diatas, maka penulis memilih judul Skripsi TINJAUAN
HUKUM ISLAM TERHADAP PROGRAM TITIP DOA DI BAITULLAH.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan mengenai jual beli dan ujrah (upah) sangatlah luas. Agar
pembahasan skripsi ini tidak melebar dari yang diinginkan, maka penulis membatasi
fokus pembahasan masalah hanya sebatas bagaimana hukumnya menerima upah dari
mengamalkan ayat Al-Quran dan bagaimana hukumnya mengkomersilkan ayat AlQuran.
Dari pembatasan masalah diatas, agar identik dengan perumusan masalah
ini, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum menerima upah (ujrah) atas pengamalan ayat Al-Quran ditinjau
menurut hukum Islam?
2. Bagaimana hukumnya mengkomersilkan ayat Al-Quran dalam prespektif hukum
Islam?
3. Apakah program titip doa di Baitullah dapat dikategorikan sebagai ujrah dari
mengamalkan ayat Al-Quran atau jual beli ayat Al-Quran?
4. Bagaimana Tanggapan MUI dan Ulama di Indonesia terhadap Program Titip Doa
di Baitullah?
17

http://www.google.com/mui-titip-doa-bayar-rp-102-014-itu-222900940.html, diakses pada
10 februari 2014 pukul 20:25.

12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka
tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui hukum menerima upah atas pengamalan ayat Al-Quran ditinjau
menurut hukum Islam.
b. Untuk mengetahui hukum mengkomersilkan ayat Al-Qur’an dalam prespektif
hukum Islam.
c. Untuk mengetahui apakah Program Titip Doa di Baitullah termasuk dalam ujrah
(upah) dari mengamalkan ayat Al-Quran atau mengkomersilkan ayat Al-Quran.
d. Untuk mengetahui tanggapan MUI dan Ulama di Indonesia mengenai program
titip doa di Baitullah.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Akademis
Manfaat penulisan skripsi ini secara akademis adalah untuk menambah
pengetahuan dan penjelasan bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para kaum
muda khususnya tentang pentingnya saling membantu antar manusia yang dalam
hal ini saling mendoakan dalam kebaikan.

13

b. Secara Praktis
Manfaat penulisan skripsi ini secara praktis adalah memberikan
penjelasan kepada masyarakat bahwa ketika saling mendoakan harus disertai
dengan rasa ikhlas tanpa imbalan apa pun.
D. Metode Penelitian
Metodologi yang digunakan oleh penulis untuk sampai pada rumusan yang
tepat dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Titik tekan penelitian skripsi ini adalah bagaimana hukumnya
mendoakan orang lain dengan menentukan tarif sesuai permintaan doa, dan juga
pandangan ulama mengenai program titip doa di Baitullah. Oleh karena itu,
penelitian skripsi ini termasuk jenis penelitian studi kasus.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer, yakni Al Qur’an dan hadis dan pendapat ulama di
Indonesia.
b. Data Sekunder, yakni buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi
ini.

14

3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian skripsi ini menggunakan studi
pustaka yaitu dengan berbagai literatur yang terkait dengan permasalahan dan
studi wawancara yaitu wawancara ke MUI dan Ulama-ulama di Indonesia.
4. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun Teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan oleh
CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2012.
E. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab,
dimana masing-masing bab mempunyai sub bahasan, hal ini dimaksudkan untuk
memberikan penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu dalam penulisan
skripsi ini sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasan yang utuh. Lebih
jelasnya, gambaran sistematika pembahasan penulisan skripsi ini sebagai berikut:
BAB I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, studi pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II membahas mengenai dasar hukum merimana upah dari
mengamalkan ayat Al-Quran dan hukum mengkomersilkan ayat Al-Quran, serta
gambaran umum mengenani Baitullah.

15

BAB III membahas mengenai lembaga Sedekah Harian yang melaksanakan
program Titip Doa di Baitullah.
BAB IV membahas mengenai hukum titip doa dengan upah, serta
analisis kasus.
BAB V membahas penutup yang berisi tentang kesimpulan yang
menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa
yang akan datang.

BAB II
JUAL BELI AYAT AL-QURAN DAN UJRAH (UPAH)ATAS
PENGAMALANNYA SERTA GAMBARAN UMUM MENGENAI
BAITULLAH

A. Jual Beli Ayat Al-Quran
1. Pengertian Jual Beli.
Muamalah yang paling umum dilakukan oleh masyarakat adalah
perdagangan atau transaksi jual beli yang dilakukan pada aset riil maupun
finansial.1Jual beli menurut bahasa, yaitu persetujuan saling mengikat antara penjual,
yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar
harga barang yang dijual.2 Artinya menukar kepemilikan barang dengan barang atau
saling tukar menukar.3Kata al-bai‟(jual) dan al-syira‟(beli) dipergunakan dalam
pengertian yang sama.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan
ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama.

1

Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2009), cet. 1, hal. 79
2

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
Edisi keempat, hal.146
3

Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Rosda Karya,
2004), Cet. 3, hal. 117

16

17

Al-Sayid Sabiq, dalam Fikih Sunnah mendefinisikan jual beli yaitu
pertukaran harta dengan harta yang dilandasi saling rela, atau pemindahan
kepemilikan dengan penukaran dalam bentuk yang diizikan. 4
Ulama hanafiyyah mendefinisikannya dengan
5

‫ْص‬

ْ‫ا ل ب ا ل ع ى ج‬

“ Saling tukar menukar dengan harta melalui cara tertentu”

‫ا ل‬

Ulama Hanafiah membedakan jual beli dalam arti khusus dan umum. Dalam
arti khusus, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta. Maksudnya ialah melalui
ij b Q bul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dengan harga dari
penjual dan pembeli.6 Sedangkan dalam arti umum, jual beli adalah pertukaran harta
dengan harta.
Menurut Nawawi, jual beli adalah

‫ال ب ال ْ يْ ا‬

7

“Menukar harta dengan harta untuk menjadikan hak milik.”

‫قاب‬

Hasbi Ash-Shiddiqie dalam bukunya yang berjudul Pengantar Fiqih
Muamalah, mendefinisikan jual beli dengan

4

Al-Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah: Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009), cet. 1, hal. 159
5

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), Cet. 5, hal. 68

6

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet. 2, hal. 111

Abī Abdillāh ibnu Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Qudāmah, Mughni al-Muhtaj, (Beirut:
Dar al-Kitab al-‘Araby, 1980), hal. 2
7

18

8

‫ع ى ال ا‬

‫ا ل ال ْ يا‬

ْ‫ع ى أساس ا ل الْ ال بالْ ال لي ي‬

‫عقْ يق‬

“Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah
penukaran hak milik secara tetap.”

Dalam hal ini mereka melakukan penekanan kepada kata “milik dan
pemilikan”, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki,
seperti sewa-menyewa (Ij rah).
Dalam menguraikan apa yang dimaksud dengan al-m l (harta), terdapat
perbedaan pengertian antara ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Akibat dari
perbedaan ini, muncul pula hukum-hukum yang berkaitan dengan jual beli itu sendiri.
Menurut jumhur ulama, yang dikatakan al-m l adalah materi dan manfaat. Oleh
sebab itu, manfaat dan suatu benda, menurut mereka dapat diperjualbelikan. Ulama
Hanafiyah mengartikan al-m l dengan suatu materi yang mempunyai nilai. Oleh
sebab itu, manfaat dan hak-hak, menurut mereka, tidak boleh dijadikan obyek jual
beli.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa inti jual beli ialah
suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara
sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’
dan disepakati.9

2. Dasar Hukum Jual Beli
8

Hasbi Ash-Shiddiqie, pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 97.

9

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010). Cet. 1, hal. 68-69

19

Transaksi jual beli yang berlangsung jujur dan adil amatlah ditentukan dalam
perdagangan atau bai‟ oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.10 adapun
ayat Al-Quran yang mengatur tentang jual beli ialah


 

Artinya:“Hai orang yang beriman, janganlah kalian makan harta yang ada diantara kalian
dengan cara yang batil kecuali dengan jalan jual beli, suka sama suka diantara
kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepada kalian.”(Q. S an-Nisa: 29)

..... 
Artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q. S alBaqarah: 275).
Adapun dasar hukum jual beli yang berasal dari hadits nabi diantaranya

‫ أ الْ سْب‬:‫ع ْ رفاع بْ رافع رض اه ع أ ال ص ى اه ع ي س س ل‬
11
(‫ر ا ا ْل ّار‬.) ‫ كل بيْع ْر ر‬, ‫ ع ل الرجل بي‬:‫أ ْيب؟قال‬
Artinya:“Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya:
Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang
dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzār)

10

Muhammad Sharif Chaudry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), cet.1, hal.

120
11

Muhammad bin Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, (Kairo: Syirkah Maktabah wa
Mathba’ah Mustafā al-Bābī al-Halabī, 1960), hal. 4

20

3. Rukun dan Syarat Jual Beli.
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual
beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menetapkan rukun jual beli, para
ulama berbeda pendapat.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya ijāb dan qabūlsaja.
Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua
belah pihak untuk berjual beli. Namun, karena unsur kerelaan berhubungan dengan
sering tidak kelihatan, maka diperlukan indikator yang menunjukkan kerelaan
tersebut dari kedua belah pihak. Indikator tersebut bisa dalam bentuk perkataan (ijāb
dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan, yaitu saling memberi (penyerahan barang,
dan penerimaan uang). Dalam fikih, hal ini terkenal dengan istilah “bai almu‟ thah.”12
Ijāb menurut ulama Hanafiyah, adalah menetapkan perbuatan khusus yang
menunjukkan kerelaan yang terucappertama kali dari perkataan salah satu pihak, baik
dari penjual maupun dari pembeli. Sedangkan qabūl adalah apa yang dikatakan kali
kedua dari salah satu pihak. Dengan demikian, ucapan yang dijadikan sandaran
hukum adalah siapa yang memulai pernyataan dan menyusulinya saja, baik itu dari
penjual maupun pembeli.13

12

M. Ali Hasan, Berbagai Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2004),
cet. 2, hal. 118
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Isl mī wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, ( Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. 1, hal. 29
13

21

Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun dari jual beli ada empat yaitu:14
a) „ qid (orang yang berakad), yakni penjual dan pembeli.
b) Ma‟qūd „alaih (barang yang diperjualbelikan).
c) Sighat (lafadz ij b dan qabūl).
d) Harga atau nilai tukar pengganti barang.
Menurut jumhur ulama, syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli, yakni:
1) Syarat ‘ qid. Yaitu:
a) Baligh dan berakal, agar tidak mudah tertipu. Orang gila atau bodoh tidak sah
jual belinya. Sebagaimana firman Allah
 .....

Artinya: “Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh.
(Q. S an-Nisa:5)

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh diserahkan kepada orang
bodoh. Illat larangan tersebut ialah karena orang bodoh tidak cakap dalam
mengendalikan harta, orang gila juga tidak cakap dalam dalam mengelola harta.
Sehingga orang bodoh, orang gila dan anak kecil tidak sah melakukan ijāb kabūl.
Tetapi anak-anak yang belum baligh dan mengerti jual beli dapat dibolehkan
mengadakan jual beli, misalnya jual beli koran, buku-buku dan makanan.15

14

Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), cet.1, hal. 68
15

1, hal. 343

Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar II, (Jakarta: Radar Jaya Offset: 1995), cet.

22

b) Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda
tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam,
sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang
beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan
kepada orangkafir untuk merendahkan mukmin. Seperti dalam firmannya
  
Artinya:“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina
orang mukmin.” (Q. S an-Nisa: 14).
c) Kehendak sendiri, tidak dipaksa. Sebagaimana firmanAllah




Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta yang ada
diantara kamu dengan jalan bathil., melainkan dengan jalan beli suka sama
suka.” (Q. S an-Nisa: 29).
d) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat
bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. Jual beli
seperti ini tidak sah. 16

2) Ma‟qūd „Alaih (harga atau nilai tukar barang pengganti), yang masing-masing
harus memenuhi syarat:17
a) Suci, barang yang najis atau yang haram tidak sah diperjualbelikan dan tidak
boleh dijadikan uang untuk keperluan transaksi lainnya.
16

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hal. 116

17

Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, hal. 81

23

b) Bermanfaat, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya,
mengambil tukarannya juga terlarang karena termasuk dalam arti menyianyiakan harta yang terlarang.
c) Keadaan barang itu dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual sesuatu yang
tidak dapat diserahterimakan, seperti ikan di laut, barang jaminan, karena
semua itu mengandung unsur tipuan.
d) Barang tersebut memang milik penjual atau yangmewakilinya.
e) Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli, baik zat, bentuk, kadar
(ukuran/nilai), maupun sifat-sifatnya sehingga diantara keduanya tidak terjadi
penipuan.
f) Tidak boleh ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal yang
lain.
g) Tidak dibatasi waktunya. Karena jual beli merupakan salah satu sebab
pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan syara’.
3) Syarat Sighat (Ijāb dan Kabūl).
Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijāb dan kabūl dilakukan, sebab ijāb dan
kabul menunjukan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijāb kabul dilakukan
dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh
ijāb kabul dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijāb dan kabūl.18 Adapun
syarat-syarat ijāb kabūl yaitu:

18

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hal. 70

24

a) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b) Jangan dihalangi dengan kata-kata lain antara ijāb dan kabūl.
c) Dilakukan dalam satu majelis. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa antara ijāb dan kabūl boleh diantarai oleh waktu, yang
diperkirakan bahwa pembeli sempat untuk berpikir. Namun ulama Syafiiyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa jarak antara ijāb dan kabūl tidak terlalu
lama, yang dapat menimbulkan dugaan bahwa objek pembicaraan telah
berubah.
Dalam hal ijāb kabūl ini, para ulama fikih berbeda pendapat, diantaranya yaitu
menurut ulama Syafi’iyah, ijāb kabūl ialah
19

‫الْ ال ي‬

‫ا ي ْعق ا ْل يْع إا بص‬

“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan sighat (ij b kabūl) yang diucapkan.”

Imam Malik berpendapat
20

‫سْا‬
ْ ‫إ ا ْل يْع ق ْ ق ْ لّ با لْا‬

“Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja.”

Pendapat lainnya ialah akad dengan perbuatan, atau disebut juga dengan aqad
bi al-mu‟ thah yaitu

ْ‫عْ ْ ل فا لأ خ‬

19

‫ّ ر ش ْي ا ث‬
ْ ‫الْاعْطأء ب ْ كا كأ ْ ي‬
21
ْ ‫ْ ك بالْق‬

ْ‫الْا خ‬
‫الْ عا ا‬
‫ا ْل ا ئع يعْطيْ الث‬

Sohari Sahran, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 2011),

cet.1, hal. 70
20

Sohari Sahran, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, hal.70

Sohari Sohran dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah untuk Mahasiswa, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), cet.1, hal. 68
21

25

”Aqad bi al-mu‟athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ij b
dan kabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya,
kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai
pembayaran.”

4) Harga atau nilai tukar pengganti barang.
Termasuk unsur penting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang dijual
(uang). Terkait dengan masalah ini, para ulama membedakan ats-tsaman dengan
as-si‟i. Menurut mereka, ats-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengahtengah masyarakat secara aktual, sedangkan al-s‟ir adalah modal barang yang
seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen. Dengan
demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harta antar pedagang dan harga antara
pedangan dengan konsumen. Oleh karena itu, para ulama fiqih mengemukakan
syarat-syarat ats-tsaman sebagai berikut:22
a) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b) Boleh diserahkan pada akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran
dengan cek atau kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian, maka
waktu pembayaran harus jelas.
c) Apabila jual beli dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (almuqa‟yyadah atau barter), maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang
yang diharamkan syara’.

22

Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, hal. 119

26

4. Jual beli ayat Al-Quran
Jual beli yang sah adalah jual beli yang sesuai dengan perintah syariatdan
memenuhi rukun serta syarat dalam jual beli. Dengan terpenuhnya rukun dan syarat
ini, kepemilikan atas barang yang dijual dan penukar serta pemanfaatan keduanya
menjadi halal. Jika jual beli bertentangan dengan syariat, maka jual beli dinyatakan
tidak sah dan batal.
Jual beli yang tidak sah adalah jual beli yang tidak sesuai dengan syarat
Islam. Meskipun jual beliini terlaksana, tetapi tidak menetapkan hukum syar’i dan
tidak menghasilkan kepemilikan meskipun pembeli telah menerima barang yang
dijual karena sesuatu yang haram tidak bisa menjadi jalan untuk memiliki.23
Mengenai jual beli ayat Al-Quran, dapat dikatakan merupakan jual beli yang
tidak sah. Dikarenakan tidak memenuhi rukun maupun syarat-syarat jual beli.
Keharaman jual beli ayat Al-Quran juga dijelaskan dalam Q. S at-Taubah: 9
 
Artinya:“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka
menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang
mereka kerjakan.” (Q. S at-Taubah: 9)

Surat at-Taubahayat 9 ini merupakan gambaran kaum musyrik, yang biasa
menukar ayat-ayat Allah swt dengan harga yang rendah. Mereka memutarbalikkan
ayat-ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan dunia, baik berupa
23

Al-Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, hal. 202

27

kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta dengan cara menghalangi manusia untuk
beriman sehingga loyalitasnya tetap untuk mereka.
Sekalipun obyek ayat ini adalah kaum Musyrik, adanya penyifatan,
“Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan,” menunjukkan bahwa
siapapun orang yang melakukan perbuatan tersebut berarti melakukan perbuatan
paling buruk, yang tentu saja diharamkan.
Keharaman pekerjaan ini juga di tegaskan dalam ayat-ayat Al-Quran
lainnya, diantaranya yaitu


Artinya: “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan
hanya kepada akulah kamu harus bertaqwa.”(Q. S al-Baqarah: 41)

Dalam kitab tafsir Al-Qurthubī, dijelaskan bahwa makna dari ayat diatas
ialah Allah melarang mereka menjadi orang yang pertama kafir dan juga melarang
mereka menukar ayat-ayat Allah dengan imbalan. Karena pada waktu itu, para
pend