Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal

1

KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS
BUDAYA TEGAL

YUDHA KARTANA PUTRA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

2

LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Kajian Elemen Taman
Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal” adalah karya saya dengan arahan dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau mengutip dari karya yang
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir dalam skripsi ini.


Bogor, Februari 2011

Penulis

3

RINGKASAN
YUDHA KARTANA PUTRA. Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal
Berbasis Budaya Tegal. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN.
Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku
yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Budaya jawa termasuk salah satu
budaya yang unik di Indonesia. salah satu daerah yang memiliki budaya Jawa
yaitu Tegal. Letak Tegal yang dinilai strategis dekat dengan pantai dan
geografisnya, berpotensi untuk menerima pengaruh daerah lain di sekitarnya.
Selain mempengaruhi kehidupan sosial, juga berpengaruh pada penataan rumah
tinggal dan penempatan jenis tanaman di sekitarnya. Kebutuhan masyarakat
dalam pemilihan elemen-elemen penting taman pada rumah tinggal untuk
mendapatkan ciri khas, sehingga kekhasan tersebut dapat diketahui dan dapat
dijadikan dasar perencanaan taman Tegal.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji elemen-elemen penting
pembentuk taman rumah tinggal masyarakat Tegal yang berbasis budaya Jawa.
Manfaat penelitian ini yaitu memberikan arahan bagi perencana dalam
mengembangkan lanskap Tegal ditinjau dari sudut pandang budaya dan
membantu pemerintah dan masyarakat Tegal untuk memahami elemen-elemen
penting pembentuk taman pada rumah tinggal sebagai landasan mendesain taman
Tegal.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif.
Informasi yang dikumpulkan bersumber dari studi literatur, observasi langsung,
dan wawancara. Tahapan-tahapan penelitian ini, meliputi: (1) pengumpulan
informasi, (2) pendeskripsian informasi, (3) analisis informasi, dan (4) sintesis dan
konsep.
Pada ketiga wilayah memilki bentuk dan tata ruang rumah tinggal yang
sama yaitu persegi panjang dan simetris. Gaya arsitektur, tata ruang, dan elemen
pembentuk rumah tinggal masyarakat Tegal terdapat persamaan antara gaya
arsitektur Jawa dan gaya arsitektur kolonial. Hal ini terbukti dari kesamaan
karakter pola tata ruang rumah tinggal. Kekhasan ini terlihat dari lingkungan
pesisir hingga pegunungan.
Pola tata ruangnya terbagi atas 4 ruang utama yaitu halaman depan, teras,
rumah utama, dan halaman belakang. Berdasarkan fungsi, halaman depan dan

halaman belakang berfungsi sebagai ruang publik, teras atau pendopo sebagai
ruang semi privat, dan rumah sebagai ruang privat.
Keseluruhan pola tata ruangnya didesain mengikuti sirkulasi yang dibuat
lurus menuju ruang belakang. Orientasi tata ruangnya mengarah pada arah utara
atau selatan. Rumah tinggal tokoh masyarakat (golongan bangsawan) mengikuti
gaya arsitektur tradisional Jawa karena individu tersebut memahami prinsip tata
ruang Jawa.
Pagar tidak secara nyata ada pada seluruh rumah tinggal, hal ini didasari
oleh perkembangan karakter masyarakat setempat. Pada lingkungan masyarakat
Tegal di pedesaan baik di pesisir maupun pagunungan, fungsi pagar dapat tidak
ada sama sekali atau terdapat pagar hidup dari penanaman tanaman secara missal,

4

tetapi pada perkembang masyarakat perkotaan memiliki pagar berupa dinding
bata.
Berdasarkan prinsip tata ruang Jawa, rumah direpresentasikan sebagai
kosmos vertikal. Bagian depan rumah terdapat teras disertai dengan anak tangga
yang memiliki tinggi lebih dari permukaan tanah. Bagian teras lebih tinggi
daripada tanah yang menunjukan kesucian. Bagian atap berarsitektur limasan

dengan tambahan emperan. Dinding rumah dibuat tinggi untuk memberikan
kenyamanan yaitu menetralisir panas dari luar. Pada masyarakat pesisir dan
perkotaan, sebagian material dinding terbuat dari batu bata yang direkatkan
dengan kapur, sedangkan di daerah pegunungan menggunakan material kayu.
Terdapat mushola yang memiliki tinggi yang berbeda dengan lantai dasar,
sehingga mencerminkan kesucian dan letaknya dekat dengan ruang makan pada
tata ruang rumah di pesisir. Komponen dapur dan sumur di pesisir terpisah dari
bangunan rumah utama, sedangkan di perkotaan dan pegunungan menyatu dengan
rumah utama.
Teras berfungsi sebagai ruang interaksi dan penerimaan tamu. Selain teras,
pendopo memiliki fungsi yang sama, terdapat pada tempat tinggal bangsawan di
Tegal. Interaksi yang intim dilakukan di pendopo atau teras oleh antar anggota
keluarga atau dengan tamu. Berdasarkan prinsip tata ruang Jawa, pendopo atau
teras merupakan ruang transisi memiliki simbol sebagai ruang pertemuan antara
kosmos horizontal dan kosmos vertikal.
Rumah tinggal pesisir memiliki halaman belakang yang luas, sedangkana
rumah tinggal perkotaan dan pegunungan memiliki halaman belakang yang relatif
sempit. Halaman belakang pada masyarakat pesisir difungsikan untuk aktivitas
beternak dan berkebun.
Halaman memiliki simbol sebagai kosmos horizontal karena tempat

pertemuan antar manusia dan alam. Halaman depan berupa ruang terbuka baik
hanya beralaskan tanah maupun ditanami rumput. Halaman depan rumah tinggal
masyarakat peisisir cenderung luas. Tanaman yang khas bagi masyarakat Tegal
yaitu mangga dan puring karena hampir ditanam di seluruh halaman depan rumah
tinggalnya. Tanaman yang ditanam di halaman merepresentasikan tanaman yang
dapat menghasilkan manfaat tertentu, menciptakan keteduhan, dan terkadang
memiliki makna filosofi Jawa.
Konsep penanaman tanaman lainnya yang seharusnya di halaman depan,
diantaranya: (1) penanaman tanaman dilakukan di bagian tepi dekat dengan pagar
dan menghindari penanaman yang berlebihan pada bagian tengah halaman. Sebaiknya
hanya ditanam tanaman 1-2 tanaman pada bagian tengah halaman untuk
menghasilkan keteduhan, (2) tanaman yang disarankan untuk menghasilkan
keteduhan yaitu tanaman yang memiliki bentuk tajuk spread dan bulat, (3) tanaman
yang ditanam di halaman dominan berwarna hijau, sehingga pada tanaman yang
memiliki bagian yang memiliki warna dijadikan sebagai aksen, (4) penambahan jenis
tanaman di halaman disesuaikan dengan tujuan atau kebutuhan dan tingkat adaptasi
terhadap lingkungan sekitar, (5) tanaman aromatik berbunga dapat ditambahkan di
halaman depan untuk memberi aromatheraphy dan bunganya yang berwarna sebagai
aksen, (6) tanaman pembatas (pagar hidup) tidak harus ada, tergantung pada
lingkungan masyarakatnya, (7) tanaman pengarah digunakan untuk memberikan

simbolisasi penyambutan dan tidak diharuskan ada, dan (8) Tanaman di rumah
tinggal bangsawan menghindari dari sirkulasi menuju ke pendopo, penanaman
terdapat pada bagian tepi dan dekat pilar pendopo.

5

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang
mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB.

6

KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS
BUDAYA TEGAL


YUDHA KARTANA PUTRA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

7

Judul Skripsi : Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal
Nama
: Yudha Kartana Putra
NIM
: A44061379


Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr. Sc.
NIP. 19620801 198703 1 002

Mengetahui,
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA.
NIP. 19480912 197412 2 001

Tanggal Disetujui :

8

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 2 Januari 1989 dari Prof. Dr. H.
Tri Jaka Kartana, M.Si dan dra. Sri Wardhani, M.Pd. Penulis merupakan putra

kedua dari dua bersaudara, memiliki seorang kakak perempuan bernama
Primadhany Kartana Putri.
Riwayat pendidikan penulis diawali dari tingkat taman kanak-kanak (TK)
di TK Tunas Muda Islamiyah pada tahun 1996 hingga 1997. Pada tahun 1997
hingg 2002, penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah dasar di SD
Mangkukusuman I Kota Tegal. Pada tahun 2002 hingga 2004, penulis
melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah pertama di SMP 2 Tegal, kemudian
melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di SMA 2 Tegal pada tahun
2004. Penulis merupakan lulusan SMA Negeri 2 Tegal pada tahun 2006 dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI-IPB).
Penulis memiliki hobi menggambar dan menyanyi. Penulis pernah terpilih
sebagai anggota Paskibraka Kota Tegal pada tahun 2004 dan Paskibraka IPB
tahun 2006. Penulis telah banyak memperoleh penghargaan dalam bidang seni
menggambar dan melukis dari SMA sampai saat ini.
Setelah melalui tahap tingkat persiapan bersama (TPB) pada tingkat
pertama, penulis memilih program studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian,
IPB pada tahun kedua di IPB. Pada kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP) yang
diadakan di Kabupaten Tegal, Kecamatan Bumijawa, penulis menjabat sebagai
koordinator Kecamatan Bumijawa dan Ketua Penyelenggara Acara EXPOSE-IPB

di Tegal. Selama menempuh pendidikan S1 di Departemen Arsitektur Lanskap,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis menjadi asisten dosen mata
kuliah Desain Lanskap dan mata kuliah Dasar-Dasar Arsitektur Lanskap.

9

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas berkah dari Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi yang berjudul Kajian Desain Taman Tegal Berbasis Karakter dan Budaya
Masyarakat di Tegal merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis

mengucapkan

terima


kasih

kepada

semua

pihak

yang

telahmembantu dalam penyelesaian tugas akhir ini, yaitu kepada:
1. Dr. Ir. Adi Gunawan, MAgr. Sc. Selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, kritik, saran, dan
motivasi kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak, Ibu, dan Kakak yang telah memberikan segala bantuan baik moril
maupun materi, dorongan motivasi terus-menerus kapada saya untuk
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Ekotunas, Bapak Atmo Tan Sidik, Bapak Daryono, Bapak
Nurngudiono, Bapak Akur Sujarwo, Bapak Agus Wijanarko, Bapak
Pujianto, dan Bapak Wijanarto selaku pihak yang memberikan informasi
secara menyeluruh mengenai sejarah dan budaya Tegal, motivasi, kritik,
dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Bahtiar A. Pratama yang telah membantu penelusuran informasi selama di
Tegal, memberikan motivasi, kritik, dan saran yang berguna dalam
penulisan skripsi ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran pada penulisan skripsi ini. Penulis
juga mengharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat.
Terimakasih.

Bogor, Februari 2011

Penulis

10

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI……………………………………………………………....

i

DAFTAR TABEL…………………………………………………………

iii

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………

iv

PENDAHULUAN…………………………………………………………

1

Latar Belakang………………………………………………………

1

Tujuan…………………………………………………………….....

1

Manfaat……………………………………………………………...

2

TINJAUAN PUSTAKA…………………………….……………………..

3

Lanskap………………………………………..…………………….

3

Kebudayaan ………………………………….………………….….

5

Budaya dan Konsep Tata Ruang Jawa….……………………….…..

7

Budaya Jawa……………………………………………………..

7

Tata Ruang Tradisional Jawa……………………………………

10

Elemen Taman…………………………………………………..

15

Gapura……………………………………………………….

16

Halaman……………………………………………………...

16

Sirkulasi……………………………………………………..

16

Pendopo……………………………………………………...

17

Tanaman……………………………………………………..

17

Kebudayaan Pantai Utara Jawa…………………...............................

19

Sejarah Tegal…………………………………………………………

21

Tegal pada Era Mataram……………….………………………...

22

Tegal pada Era Kolonial…….………….………………………..

25

Kebudayaan Tegal………………………….……………………….

27

Tata Ruang Tegal……………………………………………………

30

METODOLOGI………………………………….………………………...

31

Lokasi dan Waktu………………………….……………………….

31

Metode dan Tahapan Penelitian………….…..……………………..

32

Kerangka Berpikir Penelitian……………………………………….

35

11

HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………

37

Hasil Observasi Lapang…………………………………………….

37

Hasil Wawancara……………………………………………………

45

Tata Ruang Rumah Tinggal dan Elemen Taman…………………...

46

Orientasi Arah Hadap……………………………………………

47

Pintu Gerbang dan Pagar …………………….…………………..

48

Teras dan Pendopo…………………………….………………....

48

Rumah (Omah)..………………………………..………………...

49

Sirkulasi……………………...…………………………………...

50

Sumur (Pakiwan)…………………………………………………

50

Mushola.………………………………………………………….

50

Halaman Belakang……………………………………………….

51

Tanaman………………………………………………………….

51

Konseptualisasi Taman Tegal……………………………………….

55

Konsep Tata Ruang………………………………………………

55

Konsep Elemen Taman Tegal…………………………………...

59

KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………

61

Kesimpulan………………………………………………………….

61

Saran………………………………………………………………...

62

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...

63

LAMPIRAN………………………………………………………………..

71

12

DAFTAR TABEL

Halaman
1.

Perbandingan Elemen Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta
Hadiningrat, dan Cirebon…………………………………………………

11

2.

Kedudukan dan Fungsi Antar Ruang pada Tempat Tinggal Masyarakat 12
Tegal………………………………………………………………………

3.

Tanaman Disertai Fungsi dan Makna pada Tata Ruang Jawa……………

18

4.

Lokasi, Jumlah, dan Pemilik Rumah Objek Penelitian...........................

33

5.

Daftar Nama Narasumber..........................................................................

33

6.

Jenis, Bentuk, dan Sumber Data………………………………………….

34

7.

Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal…

38

8.

Penanaman Tanaman di Lingkungan Rumah Tinggal……………………

44

9.

Komponen Rumah Tinggal Masyarakat Tegal Menurut Narasumber…… 45

13

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.

Konsep Sadulur Papat Kalima Pancer pada Tata Ruang Keraton Jawa... 8

2.

Konsep Macapat Menggambarkan Arah Mata Angin Sebagai Dasar
Konsep Taman Jawa..................................................................................

9

3.

Tata Ruang Makro di Keraton Surakarta Hadiningrat …………………..

10

4.

Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Jawa…………………………..

13

5.

Gambaran Umum Tata Ruang dan Tata Letak Khas Tradisional
Masyarakat Jawa Golongan Bangsawan………………………………… 13

6.

Bagian Ruang Dalem Ageng.....................................................................

7.

Perayaan Toa Pe Kong di Tegal................................................................. 28

8.

Sumber Peninggalan Budaya di Tegal…...…………………….………...

29

9.

Peta Wilayah Kota Tegal dan Kabupaten Tegal Serta Batas
Administrasi Kecamatan………………………………………………...

31

10. Kerangka Berfikir Penelitian………………………………………..…...

35

11. Bentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………………………………

39

12. Tanaman Kedondong sebagai Pagar Hidup …………………………….

40

13. Anak tangga menuju Teras ……………………………………………..

41

14. Pembagian Fungsi Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal…………..

46

15. Bagian Teras Rumah Tinggal Masyarakat Tegal disertai Anak Tangga..

49

15

16. Penanaman Tanaman di Rumah Tinggal Pedesaan Pesisir……………… 52
17. Pagar Hidup Rumah Tinggal Masyarakat Pedesaan di Pesisir…………..

53

18. Penanaman Tanaman di Halaman Depan Rumah Tinggal di Perkotaan...

54

19. Penanaman pada Rumah Tinggal Golongan Bangsawan di Tegal………

55

20. Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat Tegal pada
Umumnya.. ……………………………………………………………… 58
58
21. Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat Bangsawan di
Tegal……………………………………………………………………...
22. Konsep Penanaman Tanaman Taman Rumah Tinggal Masyarakat pada 60
Umumnya………………………………………………..……………….
23. Konsep Penanaman Tanaman Taman Rumah Tinggal Bangsawan di
Tegal……………………………………………………………………

60

14

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1.

Gaya Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Tegal……………………..

72

2.

Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………………………….

73

3.

Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal…………………. 74

4.

Elemen Pembentuk Rumah……………………………………………… 75

5.

Jenis Penanaman Tanaman di Halaman Rumah Tinggal………………... 76

6.

Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Tokoh Masyarakat (Bangsawan) di
Tegal……………………………………………………………………..

77

7.

Tradisi Masyarakat Tegal………………………………………………..

78

8.

Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal
dengan tata Ruang Jawa dan Tata Ruang Bergaya Arsitektur Kolonial… 79

15

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku
yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Keberadaan tiap suku pada tiap daerah
memiliki karakter budaya yang khas dan digambarkan melalui tradisi kedaerahan,
aktivitas sosial masyarakatnya, serta memiliki kekhasan tata ruang arsitektur.
Budaya jawa termasuk salah satu budaya yang memiliki kekhasan tersendiri.
Budaya Jawa berkembang dan memberikan pengaruh di beberapa daerah
di pulau Jawa, salah satunya adalah Tegal yang terletak di propinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan pembagian daerah sub wilayah kebudayaan Jawa, Tegal termasuk ke
dalam sub wilayah kebudayaan pesisir yang masih terpengaruh oleh pusat
perkembangan budaya Jawa di keraton (Sedyawati 2003). Letak Tegal yang
dinilai strategis dekat dengan pantai, berpotensi untuk menerima pengaruh asing.
Berdasarkan potensi di atas maka pengaruh tersebut diperkirakan secara nyata
mempengaruhi karaker rumah tinggal masyarakat Tegal.
Kebudayaan Jawa di Tegal berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat baik dari segi sosial dan arsitekturnya yang mempengaruhi karakter
khas setempat. Masyarakat Tegal memiliki kekhasan dalam menginterpretasikan
budaya dan kehidupannya, di antaranya keunikan dalam pelaksanaan tradisi dan
penataan rumah tinggal.
Sesuai dengan kebiasaan dan tradisi yang berkembang di lingkungan
masyarakat Tegal yaitu mengutamakan interaksi, maka diperkirakan terdapat
fungsi ruang yang berfungsi untuk menampung kebutuhan tersebut. Oleh karena
itu, didasarkan atas kebiasaan dan tradisi setempat juga perlu dikaji mengenai
pemanfaatan ruang di lingkungan rumah tinggalnya yang dimanfaatkan sebagai
ruang interaksi.
Lingkungan hidup masyarakat Tegal membentang dari pantai hingga
pegunungan. Kondisi ini diperkirakan mempengaruhi penataan tata ruang rumah
tinggal, pemilihan tanaman yang disesuaikan dengan kondisi iklim setempat, dan
penempatan jenis tanaman. Selain itu, perbedaan tersebut juga mewakili
kebutuhan ruang.

2

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji elemen-elemen penting pembentuk
taman rumah tinggal masyarakat Tegal yang berbasis budaya Jawa.

Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap Tegal
ditinjau dari sudut pandang budaya.
2. membantu pemerintah dan masyarakat Tegal untuk memahami elemen-elemen
penting pembentuk taman pada rumah tinggal sebagai landasan mendesain
taman Tegal.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap
Lanskap merupakan suatu sistem yang terintegrasi sebagai ekosistem.
Ekosistem merupakan perpaduan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Sistem tersebut memiliki nilai pengalaman yang dijadikan sebagai historical value
terkait hubungan antara ruang dan waktu. Proses yang terjadi di dalam ekosistem
tersebut saling mempengaruhi. Hasil dari proses tersebut melalui kombinasi
interaksi yaitu memunculkan karakter khusus yang berbeda dengan tempat lain
(Lyle 2001).
Lanskap sebagai ekosistem memiliki faktor-faktor penting. Beberapa
faktor penting tersebut yaitu manusia, lahan, dan design physical planning.
Lanskap yang diharapkan dapat menampung ragam aktivitas manusia sesuai
dengan latar belakang dan pola perilaku. Pola perilaku tersebut dapat diperoleh
dari budaya setempat yang merujuk pada kebiasaan sehari-hari dan karakter
manusianya. Lanskap ini diarahkan agar berdampak pada peningkatan kualitas
manusia dan lingkungan sekitar (Eckbo et al. 1998).
Peningkatan kualitas tersebut disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan
lingkungan sekitarnya. Kebutuhan manusia tersebut diperoleh melalui kebutuhan
psikologis, emosional, dan dimensional. Kebutuhan manusia diarahkan untuk
memenuhi ruang gerak, proses menghayati, merasakan, berfikir, dan menciptakan
kawasannya (range) terhadap lingkungannya (Simonds dan Starke 2006).
Lanskap terdiri atas elemen-elemen yang berguna dalam membentuk
karakter. Salah satu elemen terpenting dalam menciptakan karakter yaitu tanaman.
Penggunaan material tanaman didasarkan atas: (1) fungsi tanaman, (2) peletakan
tanaman (nilai simbolisme), (3) tujuan pendesainan, (4) habitat, dan (5) prinsip
tata hijau. Material tanaman dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan
marfologi, fungsi ekologis, dan efek visual (Laurie 1975)
Proporsi, pola, dan aturan penempatan elemen-elemen lanskap tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan ruang dan elemen, pola pergerakan, serta fungsi
yang akan ditetapkan di dalamnya. Kekhasan bentuk dan pola ini menghasilkan
filosofi yang dapat memunculkan nilai dari lingkungan fisik, sosial, dan budaya

4

sekitar. Konsep penataan tersebut harus diarahkan mewakili kebutuhan manusia
dan lingkungan sekitar, sehingga menciptakan keharmonisan antara kebutuhan
manusia dan lingkungan. Hubungan ini diarahkan untuk membentuk struktur ide,
kekuatan (quality), dan perasaan terhadap keindahan yang membentuk karakter
melalui proses desain (Rogers 2001).
Manusia di dalam lanskap memiliki peran dalam menentukan kekhasan
desain lanskap yang diarahkan untuk keberlanjutan. Keberlanjutan (sustainable)
ini didapatkan melalui identifikasi karakter dan pola sosial dari sikap dan perilaku
manusia di dalamnya. Sikap dan perilaku manusia di dalam lanskap tertentu
tercermin dari pendekatan budaya setempat melalui penggambaran simbol-simbol
penting. Hubungan antara manusia dan lingkungan diharapkan dapat memberikan
ciri khusus yang membedakan dengan kelompok lain (identity atau special
character) (Benson & Roe 2000).
Lingkungan (alam) sebagai lanskap yang memberikan arti hidup dan
kosmos. Hubungan manusia dan lingkungan diartikan sebagai hubungan
kedekatan yang sesuai dengan karakter, kualitas, dan perilaku. Hubungan
kedekatan tersebut berimplikasi pada penentuan bentuk dan pola ruang. Oleh
karena itu, lanskap dapat diartikan sebagai hubungan yang harmonis, mewakili
karakter, dan mengekspresikan kehidupan (Thompson & Steiner 1997).
Penataan lanskap meliputi struktur dan ruang melalui landasan
pemikiran yang tercermin dari pengalaman (pengetahuan manusia) sebagai
simbol. Pengalaman dapat menimbulkan beragam ekspresi yang diperoleh melalui
pendalaman teori dan teknologi yang mendukungnya. Pola lanskap yang melalui
simbol tersebut disesuaikan dengan kondisi nyata dari faktor-faktor setempat.
Faktor tersebut mempengaruhi karakter (khas) kondisi lanskap tersebut, sehingga
dapat memberikan pandangan yang berbeda dalam mempresentasikannya
(Hendraningsih 1982).
Karakter lanskap memilki pola yang bernilai simbolik yang didukung oleh
faktor interaksi sosial didalam suatu komunitas dengan lingkungannya. Pola ini
dibangun oleh kebiasaan (tradisi) yang dikembangkan menjadi karakter yang
berbeda dengan komunitas lainnya. Proses ini didukung dengan pengetahuan
untuk menggambarkan interaksi. Proses ini mendefinisikan pencitraan suatu

5

identitas dari kebudayaan tertentu. Identitas lanskap yang ditunjukkan ini akan
secara nyata mempengaruhi persepsi masing-masing (Bentley & Watson 2007).
Persepsi dalam lanskap yang dipengaruhi oleh tatanan sosial (tradisi),
elemen lanskap, dan kondisi asli lingkungan yang saling mempengaruhi dan
berinteraksi, akan menunjukkan keharmonisan dan menghindari konflik. Hal ini
merupakan keberhasilan dalam membantu pencitraan sebuah karakter khusus dan
secara nyata dapat diketahui dan dipelajari dengan melihat pola-pola yang ada
dengan merujuk pada pendekatan kesejarahan. (Longstreth 2008)

Kebudayaan
Kebudayaan sebagai pedoman tingkah laku manusia untuk memahami
lingkungan berdasarkan pengalamannya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur
universal, yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, religi, dan kesenian. Kebudayaan terdiri atas tiga wujud yaitu ideal,
aktifitas, dan benda budaya (Koentjaraningrat 1984).
Kebudayaan dihasilkan melalui proses komunikasi dimana komunitas
yang bersangkutan mampu membangun citra melalui hubungan yang saling
melengkapi. Kebudayaan tumbuh beranekaragam, tetapi sangat membutuhkan
satu sama lainnya karena kebudayaan diperoleh melalui proses komunikasi baik
internal maupun eksternal. Proses komunikasi ini yaitu memberikan pesan dari
satu ke yang lainnya untuk mencapai kesepakatan yang terbaik. Kesepakatan
tersebut dapat berupa nilai, kepercayaan, dan norma yang penting (Samovar et al.
2008).
Kebudayaan dinilai nyata dan rasional dikelola secara berulang-ulang,
sehingga menunjukkan pola yang khas yaitu pola sosial, mental, dan keyakinan
menjadi faktor pendorong yang menciptakan ide dan nilai. Ide dan nilai pada
budaya mendefinisikan suatu simbol yang merujuk pada suatu gaya dari
kebudayaan tersebut dimana mempengaruhi bentuk arsitektural, adab dan adat,
serta kesenian khas (Rogers 2001).
Kebudayaan dapat dinilai sebagai pencerminan jiwa dari masyarakat
sehingga membentuk karakter yang khas dan mencerminkan identitas yang
berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat membangun

6

kebiasaan-kebiasaan tertentu yang diwujudkan melalui penerapan nilai, norma,
peraturan, ketentuan, atau perundang-undangan sebagai pedoman hidup, memiliki
kesatuan identitas dan jati diri yang kuat sehingga menganggap berbeda dengan
kelompok lainnya (Hariyono 2007).
Kebudayaan juga sebagai pencerminan keseluruhan ilmu pengetahuan,
sikap, dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan dan diwariskan kepada
keturunannya (Linton 1940). Berdasarkan hubungan kedekatan dengan alam,
Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa manusia sebagai pelaku budaya
menggunakan pengalamannya untuk menginterpretasikan alam yang dijadikan
sebagai simbol atau pedoman dalam memaknai kehidupan.
Kebudayaan membentuk pola kehidupan dari masyarakat melalui
kegiatan, bangunan arsitektural, dan kehidupan sosial yang menjadi ciri khas atau
identitas tertentu (Geertz 1992). Salah satu bentuk kebudayaan yang
mengutamakan pemaknaan kehidupan yaitu kebudayaan Jawa, sehingga
Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai
pokok kehidupan manusia, antara lain: (1) masalah hakekat hidup manusia, (2)
masalah hakekat karya manusia, (3) kedudukan manusia dalam ruang dan waktu,
(4) hakekat hubungan manusia dengan alam, dan (5) hubungan manusia dengan
sesama dan Tuhannya.

Budaya dan Konsep Tata Ruang Jawa
Budaya Jawa
Budaya

Jawa

memiliki

falsafah

Jawa

yang

dilaksanakan

oleh

masyarakatnya sebagai penuntun untuk memperoleh ketentraman jiwa dan
batiniah. Falsafah Jawa dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Jawa.
Falsafah Jawa menuntun seseorang pada keseimbangan antara kehidupan duniawi
dan kerohanian. Hasil dari falsafah Jawa tersebut menghasilkan kehidupan yang
harmonis, selamat, dan tentram. Terdapat ungkapan Jawa yaitu “sepi ing pamrih,
rame ing gawe, memayu hayuning bawana” artinya bahwa keseimbangan antara
hak dan kewajiban sebagai manusia yang sebenarnya mampu menghiasi dunia
dengan perbuatan-perbuatan yang memelihara kerukunan dan ketentraman
(Mulyana 2006).

7

Budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan budaya Keraton
Yogyakarta

Hadiningrat

dan

Surakarta

Hadiningrat

sebagai

pusat

perkembangannya. Lanskap Keraton dianggap sebagai konsep Taman Tradisional
Jawa. Keraton memiliki tata ruang dan penggunaan elemen-elemen tanaman yang
mengandung makna simbolik. Makna tersebut mengarahkan pada penggambaran
kehidupan manusia menuju kesempurnaan (Kasampurnaning Ngaurip) antara
kehidupan duniawi dan rohani (Herusatoto 1983). Konsep kosmologi Jawa yang
mempengaruhi lanskap khas Jawa mengajarkan tentang tata perilaku dalam
kehidupan, yaitu hubungan dengan manusia, alam, dan Tuhannya. Falsafah Jawa
di dalamnya mengarah pada konsep keselarasan dan ketentraman jiwa.
(Bratawijaya 1997).
Keselarasan mengenai konsep kosmologi Jawa yang mengarahkan
manusia pada kasampurnaning ngaurip, mengarahkan pada konsep kseimbangan
kosmos. Keseimbangan kosmos didasarkan atas kosmologi Jawa terdiri atas
kosmos vertikal dan kosmos horizontal. Kosmos vertikal dipercaya dibagi
menjadi tiga bagian, antara lain: (1) dunia atas, (2) dunia tengah, dan (3) dunia
bawah, disebut Tri Buwana. Kosmos vertikal mengarahkan manusia untuk dekat
dengan Sang Khalik (Manunggaling Kawula Gusti) menuju kesempurnaan.
Kosmos horizontal menggambarkan kehidupan duniawi yaitu kekerabatan dan
kerukunan antara sesama manusia. Hubungan keduanya dapat menghasilkan
keberaturan dan keseimbangan yang hakiki. Kedua kosmos ini mempengaruhi
ragam aktivitas dan kebutuhan ruang untuk memunculkan kehidupan yang
harmonis dan sebagai penanda kekhasan tradisional Jawa. Kondisi ini dapat
berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya, tetapi tidak mempengaruhi
nilainya (Setiawan 2000).
Keseimbangan kosmos memiliki kesamaan dengan konsep sadulur papat
kalima pancer, dimana menyelaraskan keseimbangan hidup antara manusia dan
lingkungan. Konsep sadulur papat kalima pancer membentuk konsep yang
mengutamakan empat arah mata angin. Pedoman ini bertujuan membentuk
lambang pada setiap arah mata angin. Konsep ini dipengaruhi oleh keberadaan
manusia sebagai penggeraknya yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar.
Pada gambar 1 disebutkan bahwa pemahaman yang tersirat di dalam konsep

8

sadulur papat kalima pancer yaitu kehidupan memerlukan arah tuntutan. Arah
Utara (Lor) sampai ke arah selatan (Kidul) mengisyaratkan jalan kehidupan
sampai menuju kesucian menghadap Sang Khalik (Manunggaling Kawula Gusti).
Arah barat-timur (wetan-kulon) mengisyaratkan asal segala sesuatu (Yosodipuro
1994).

Gambar 1 Konsep Sadulur Papat Kalima Pancer pada Tata Ruang Keraton Jawa
(Sumber: Setiawan 2000).
Definisi lain konsep sadulur papat kalima pancer yaitu konsep macapat.
Konsep macapat mendefinisikan fungsi ruang atas arah mata angin yang
menunjuk pada hubungan kosmos dapat dilihat pada gambar 2. Pendefinisian ini
bertujuan untuk memberikan perlambangan pada hubungan sosial dilambangkan
secara horizontal dan hubungan adikodrati dengan Tuhan Pencipta Semesta Alam
yang dilambangkan dengan hubungan vertikal. Konsep ruang ini berkaitan dengan
fungsi kedekatan atau hubungan dalam kehidupan baik duniawi maupun rohani,
bukan mendefinisikan tentang suatu batasan teritorial. Hal ini ditujukan untuk
menghadirkan suasana harmonis secara sosial, hubungan dengan alam, dan
Tuhannya. Suasana harmonis dihasilkan melalui beragam interaksi yang
terhimpun membentuk suatu kesatuan (Frick 1997).

9

Gambar 2 Konsep Macapat Menggambarkan Arah Mata Angin Sebagai
Dasar Konsep Taman Jawa (Sumber: Hariyono 2007)
Kepercayaan mengenai mata angin secara kosmis pada konsep sadulur
papat kalima pancer diterapkan melalui perlambangan. Perlambangan tersebut
mengartikan arah utara, selatan, barat, dan timur. Arah mata angin utara
dilambangkan oleh Dewa Wisnu, memiliki simbol matahari dengan warna kuning.
Arah mata angin selatan dilambangkan oleh Dewa Anantaboga (Ratu Kidul),
memiliki simbol hitam yang berarti kesabaran dan kasihan. Arah mata angin barat
dlambangkan oleh dewa Yamadipati dengan simbol api berwarna merah, memiliki
makna kebinasaan dan kematian. Arah mata angin timur dilambangkan oleh dewa
Mahadewa dengan simbol air berwarna biru yang bermakna keseragaman dan rasa
kebersamaan (Hariyono 2007).
Pencitraan konsep sadulur papat kalima pancer diarahkan pada suatu
imago mundi (pencitraan dunia). Filosofi tersebut menarahkan pada falsafah
”Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti” yang memiliki
persamaan dengan ajaran Islam yaitu Hablun Minallah dan Hablun Minannas.
Falsafah ini mengarahkan pada hubungan antara kehidupan duniawi dan
pendekatan diri dengan Sang Khalik (aspek rohani) harus seimbang (Setiawan
2000).
Adapun makna lain dari konsep sadulur papat kalima pancer dari struktur
kosmos dalam budaya Jawa kuno dipengaruhi oleh Hindu dan Budha dimana
terdapat Jambudvipa. Jambudvipa merupakan inti struktur yang dikelilingi oleh
tujuh lapis samudra dan tujuh lapis daratan. Gunung Meru dianggap sebagai pusat
kosmos, sehingga sebagai pusat dari perwujudan mata angin kosmis yang
diaplikasikan sebagai konsep keruangan pada keraton (Setiawan 2000).

10

Penggambaran konsep sadulur papat kalima pancer pada lanskap keraton
Surakarta Hadiningrat secara makro dapat dilihat pada gambar 3. Konsep ini
dipercaya sebagai perwujudan kekuatan dewa-dewa penjaga. Kekuatan ini
merupakan pencitraan dari kekuatan alam yang diciptakan oleh Sang Khalik. Tata
ruang di lingkungan keraton merupakan landasan untuk pendesainan Tata ruang
dan tata letak khas tradisonal Jawa pada umumnya (Setiawan 2000).

Gambar 3 Tata Ruang Makro di Keraton Surakarta Hadiningrat
(Sumber: Setiawan 2000).
Tata Ruang Tradisional Jawa
Tata ruang di lingkungan keraton dijadikan dasar perencanaan tata ruang
dan pemilihan elemen-elemen penting di dalam taman Jawa (Setiawan 2000).
Pada lingkungan sub kebudayaan Jawa pesisir, penetapan tata ruang dan
pemilihan elemen-elemen taman selain dipengaruhi lingkungan Keraton
Yogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat, juga dipengaruhi oleh
lingkungan keraton Cirebon (Sedyawati 2003). Pada dasarnya, keseluruhan
bentuk

arsitekturnya

pada

keraton

Yogyakarta

Hadiningrat,

Surakarta

Hadiningrat, dan Cirebon dipengaruhi gaya arsitektur colonial. Hal ini didasarkan
atas pengaruh campur tangan pemerintahan Belanda pada jaman penjajahan
kolonial di Indonesia (Santoso 1981). Perbandingan elemen lanskap pada tiap-tiap
keraton dapat dilihat pada Tabel 1.

11

Tabel 1. Perbandingan Elemen Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat, dan Cirebon
No.
1

Komponen
Orientasi Keraton dan as.
Imajiner

Keraton Yogyakarta
Utara-Selatan

Keraton Surakarta
Utara-Selatan

Keraton Cirebon
Utara-Selatan

2

Peletakan Bangunan

mengikuti pola orientasi utara-selatan

mengikuti pola orientasi utaraselatan

mengikuti pola orientasi utara-selatan

3

Alun alun

Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat
berkumpul dan pasar.

Ada, alun-alun sebagai tempat
rakyat berkumpul dan pasar.

Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat
berkumpul dan pasar.

4

Elemen Lanskap di sekitar
keraton

• Terdapat pendopo sebagai tempat
penerimaan tamu, tempat bertemunya raja
dengan abdi dalem

• Terdapat pendopo dan dinding
pertahanan dengan tinggi sekitar
tiga sampai lima meter dan tebal
sekitar satu meter.
• Terdapat tanaman beringin di
alun-alun

• Halaman depan keraton ini
dikelilingi tembok bata merah dan
terdapat pendopo didalamnya.

• Sebelum memasuki dalam
terdapat anak tangga yang
mengarahkan pada kesucian dan
niat baik

• Sebelum memasuki dalam terdapat
anak tangga yang mengarahkan pada
kesucian dan niat baik

Arsitektur bergaya tradisional Jawa
dan berwarna putih
dikombinasikan dengan arsitektur
bergaya kolonial

Bangunan utama yang berwarna putih
bergaya arsitektur Jawa, kolonial dan
Tiongkok (ditandai dengan piringpiring porselen asli Tiongkok yang
menjadi penghias dinding)

5

Arsitektur Bangunan

• Terdapat tanaman beringin dan dari Tugu
menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton)
menunjukkan tujuan akhir manusia yaitu
menghadap penciptanya.
• Tujuh gerbang dari Gladhag sampai
Donopratopo melambangkan tujuh
langkah/gerbang menuju surga (seven step to
heaven)
• Sebelum memasuki dalam terdapat anak
tangga yang mengarahkan pada kesucian dan
niat baik
Bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di
beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan
dari budaya asing seperti Portugis, Belanda,
bahkan Cina.

(Sumber: Setiawan (2000) dan Dewi (2009))

• Terdapat tanaman beringin di alunalun

12

Bagi masyarakat Jawa, rumah (omah) merupakan kebutuhan hidup utama,
selain pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Tata ruang rumah tinggal
merupakan penjabaran miniatur kosmos dimana diarahkan untuk menciptakan
keselarasan hidup berkeluarga dan menghindari perpecahan (Wardani 2007).
Rumah tinggal masyarakat Jawa terdiri atas rumah dan halaman, sehingga antara
keduanya harus sinergi. Rumah dianggap sebagai pohon yang teduh, dimana
orang tanpa rumah diibaratkan pohon tanpa bunga (Widayati 1999).
Pada tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa (Tabel 2), semakin
mendekati rumah (omah) semakin bernilai privat. Bagian halaman diperuntukan
sebagai ruang publik. Pada bagian sekitar teras dan pendopo diperuntukan sebagai
ruang semi publik. Penempatan elemen tanaman terdapat pada bagian halaman
dan sekitar halaman (Hamzuri 1986).

Tabel 2. Kedudukan dan Fungsi Antar Ruang pada Tempat Tinggal Masyarakat
Tegal
No.
Kedudukan Ruang
1
Ruang Publik

Fungsi Ruang
Sebagai penyedia ruang terbuka hijau melalui
penanaman tanaman di sekitar halaman

2

Ruang Semi-Privat

Membangun kepercayaan, kekerabatan (menjalin
kerukunan), dan memperkuat silaturahmi.

3

Ruang Privat

Sebagai ruang pertemuan saudara dan keluarga.

(Sumber : Setiawan (2000))

Bentuk rumah masyarakat Jawa sangat sederhana, sebagai ungkapan
kesederhanaan hidup masyarakaat jawa. Keutamaan rumah tinggal yaitu
menciptakan kerukunan anggota keluarga di dalamnya (Suseno 1988). Biasanya
bentuk denah yang diterapkan adalah berbentuk persegi yaitu bujur sangkar dan
persegi panjang. Hal tersebut sesuai dengan estetika hidup orang jawa yang
mempunyai ketegasan prinsip dalam menjalankan tanggung jawab terhadap
hidupnya (Hamzuri 1986). Tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa dibedakan
menjadi 2 yaitu yang diperuntukan untuk masyarakat biasa dan bangsawan
(Widayati 1999) (Gambar 4).

13

Tata ruang Rumah Tinggal Rakyat Biasa

Tata Ruang Rumah Tinggal Bangsawan

Gambar 4 Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Jawa.

Adapun perbedaan antara tata ruang Jawa antara golongan rakyat biasa
dan bangsawan. Tata ruang dan tata letak tradisional khas Jawa pada golongan
rakyat biasa tidak memiliki orientasi khusus, terdiri atas omah dan halaman.
Orientasi arah pada rumah tinggal masyarakat Jawa sebagian besar mengarah ke
arah selatan atau utara. Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa tata ruang dan tata
letak tradisional khas Jawa pada golongan bangsawan dibatasi oleh dinding dan
gapura serta memiliki pendopo sebagai elemen pembentuk dari segi
arsitekturalnya (Widayati 1999).

Gambar 5 Gambaran Umum Tata Ruang dan Tata Letak Khas Tradisional
Masyarakat Jawa Golongan Bangsawan (Sumber: Widayati 1999).

14

Setiap tata ruang tradisional Jawa memiliki filosofi dan pandangan
mengenai elemen-elemen pembentuknya. Tata ruang rumah tinggal masyarakat
Jawa golongan bangsawan terdiri atas: (1) rumah (omah), (2) pendopo, dan (3)
gapura. Arah hadap rumah pada golongan masyarakat tidak boleh menghadap ke
arah timur. Hal ini disebabkan arah hadap timur dianggap milik keraton (arah
timur ditempati oleh Batara Sang Hyang Maha Dewa sebagai simbol asal
kehidupan di dunia ini). Sementara itu, tata ruang masyarakat Jawa menggunakan
arah hadap utara atau selatan. Arah utara dipercaya ditempati oleh Dewa Sang
Hyang Batara Wisnu yang memiliki lambang pemeliharaan (Hamzuri 1986).
Rumah tinggal oleh masyarakat Jawa didasarkan atas norma-norma Jawa
yang diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hakekatnya, masyarakat Jawa
mempunyai pola kerja yang ditujukan untuk mencapai tiga sasaran pokok, yaitu:
kepuasan diri, pengakuan dari masyarakat sekitarnya dan kasih sayang dari
lingkungannya. Apabila pola kerja tersebut dikaitkan dengan penentuan tipe
bangunan, bentuk bangunan dan lokasi tempat bangunan tersebut berada, maka
akan diperoleh hubungan sebagai berikut: tipe bangunan rumah sangat tergantung
pada aspek sosial, dalam hal ini erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk
memperoleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya, bentuk bangunan tergantung
pada aspek geografis dan aspek sosial yang erat hubungannya dengan upaya
pemilik untuk memperoleh kasih sayang dengan lingkungan sekitarnya, dan
penentuan lokasi sangat tergantung pada aspek geografis, dalam arti dirinya
sendiri adalah bagian dari alam (Indartoyo 2008).
Konsep arsitektur rumah tinggal di daerah pesisir merupakan perpaduan
arsitektur tradisional Jawa dan kolonial. Struktur penutup atap dari bangunan
menjadi penciri yang khas konsep Jawa. Terdapat tiga tipe spesifik yaitu
kampungan, limasan, dan joglo. (Nas & Vletter 2009).
Rumah menurut masyarakat Jawa juga disebut dalem ageng (Gambar 6).
Dalem ageng adalah bagian paling penting karena merupakan tempat tinggal
keluarga. Dalem ageng memiliki beberapa ruang yang disebut dengan sentong.
Sentong ini terdiri dari:
1) Sentong kiwo, merupakan tempat tidur anggota keluarga dan di daerah
pedesaan digunakan untuk menyimpan hasil bumi.

15

2) Sentong tengah, merupakan tempat yang sakral karena digunakan sebagai
tempat pemujaan kepada Dewi Sri. Ruang ini disebut juga pedaringan.
3) Sentong tengen, sama seperti sentong kiwo yaitu merupakan tempat tidur
anggota keluarga.

Gambar 6 Bagian Ruang Dalem Ageng (Sumber: Kusyanto 2007).

Hamzuri (1986) menjelaskan bahwa alur sirkulasi pada rumah Jawa dari
ruang depan menerus ke ruang belakang, bahkan juga dari kanan ke kiri atau
sebaliknya. Alur sirkulasi dari ruang depan ke ruang belakang, apabila melihat
pada Gambar 6 maka sirkulasi tersebut berturut-turut meliputi: pendopo,
pringgitan, dalem, dan senthong (senthong kanan, senthong tengah dan senthong
kiri). Alur sirkulasi dari kanan ke kiri meliputi: ruang pendopo alur sirkulasi ke
kanan dan ke kiri menuju ke halaman luar, ruang pringgitan dan ruang dalem alur
sirkulasi ke kanan dan ke kiri menuju gandhok kanan dan gandhok kiri dengan
melalui longkangan. Dan alur sirkulasi selanjutnya adalah menuju pawon (dapur),
gadri dan pekiwan melalui pintu yang berada di gandhok kanan dan gandhok kiri.

Elemen Taman
Konsep tata ruang Jawa memiliki kekhasan yang memiliki unsur-unsur
nilai dan filosofi, terkadang mengarah kepada kekuatan ghaib. Salah satu
kepercayaan masyarakat Jawa yaitu angka 7 sebagai angka yang sempurna
melambangkan langit ke tujuh menuju kesempurnaan hidup dan mendekatkan diri
pada Yang Maha Kuasa (Anonim 2007). Hal ini memperkuat bahwa taman Jawa
lebih

bersifat

simbolik

yang

mengaitkan

kehidupan

manusia

dengan

16

lingkungannya yaitu melalui pemilihan tanaman yang berbentuk pohon (Setiawan
2000). Taman Jawa juga digambarkan sebagai penampung aktivitas manusia
secara psikologis, emosional, dan dimensional. Elemen tanaman sangat penting di
dalam desain Taman Tradisional Jawa. Hal ini dikarenakan tanaman memiliki
fungsi sebagai pembentuk kosmos (Herusatoto 1983).

Gapura
Elemen tata ruang luar rumah tinggal sebagai gerbang masuk yaitu
gapura. Gapura digambarkan sebagai pintu semesta raya, digambarkan
seseorang yang memasukinya berarti telah berada di dalam kosmos (Prijotomo
1988). Gapura merupakan bagian dari pagar yang mengelilingi taman, pada
lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Keraton Yogyakarta
Hadiningrat juga memiliki pagar berbentuk tembok tebal sebagai pengaman
keluarga keraton (Soeharso 1985).

Halaman
Berdasarkan Filosofi Jawa, halaman dipercaya terbentuk dari
pencerminan kepribadian manusia Jawa. Keseluruhannya mengarahkan pada
penciptaan keselarasan,

ketenangan, suasana

interaksi

yang nyaman,

pencerminan moral, etika, dan dinamika gerak sosial. Adapun peruntukan
kebutuhan ruang terbuka yang ditanami beberapa tanaman yang difungsikan
sebagai tanaman berbuah atau pemenuh kebutuhan (Setiawan 2000).
Di dalam konsep tata ruang Jawa, bagian halaman lebih luas dan
ditanami

tanaman-tanaman

yang menghasilkan

keteduhan

dan

dapat

dimanfaatkan. Halaman yang luas ini dilatarbelakangi oleh prinsip masyarakat
Jawa yang menyenangi keteduhan dan keindahan. Tanaman yang ditanam di
halaman dapat menetralisir udara panas sebelum masuk ke pendopo (Widayati
1999).

Sirkulasi
Dari gerbang menuju rumah ditunjukan melalui pola sirkulasi lurus.
Berdasarkan filosofi Jawa, sirkulasi setelah melewati gerbang berupa jalan

17

yang lurus mengarah pada pusat kosmos dengan open space di sekitarnya
(Prijotomo 1988).

Pendopo
Pendopo menjadi salah satu bangunan penting di kompleks keraton
yang berfungsi untuk bersemedi (meditasi), mengheningkan cipta, memohon
kesejahteraan bagi warga Keraton. Pendopo ini juga digunakan untuk bertemu
atau

bertatap

muka

dengan

keluarganya,

abdi

dalem,

bahkan

rakyatnya. Bangunan pendopo berbentuk arsitektur joglo pada atapnya yang
disangga 4 tiang sebagai saka guru pada bagian tengahnya (Anonim 2007).
Pada tata ruang rumah tinggal masyarakat bangsawan juga terdapat pendopo
sebagai tempat penerimaan tamu dan berinteraksi (sebagai ruang semi privat)
(Widayati 1999).
Pendopo dan teras difungsikan sebagai tempat penerima tamu oleh
pemilik rumah. Apabila di lingkungan keraton, pendopo difungsikan sebagai
tempat raja menerima pisowanan dari rakyat atau bawahannya. Pendopo pada
masyarakat pesisir Jawa sebagai tempat untuk bersilaturahmi. Hal ini
disebabkan sifat masyarakat pesisir yang dikenal egaliter atau tidak
memandang status sosial seseorang. Selain itu, sirkulasi yang terbentuk
merupakan konsep sumbu imajiner yang lurus. Sirkulasi ini merupakan
perwujudan proses kelahiran manusia hingga mengalami kematian. Sirkulasi
pada lingkungan keraton biasanya didesain bertahap-tahap mendasari tentang
perjalanan hidup manusia menuju kesempurnaan hidup (Sardjono 1996).

Tanaman
Taman Tradisional Jawa memiliki elemen tanaman dibentuk untuk
membentuk karakter dan berperan sebagai touch of life serta keindahan
lingkungan (Booth 1983). Tanaman di dalam tata ruang Jawa dipercaya
memiliki pesan dan makna simbolik yang menggambarkan kehidupan manusia
Jawa (Tabel 3). Geertz (1992) menyatakan bahwa smbol-simbol dari elemen
tanaman tersebut memiliki nilai sakral yang menunjuk pada tanda, ciri, dan
kualitas penghuni dan lingkungannya.

18

Tabel 3. Tanaman Disertai Fungsi dan Makna pada Tata Ruang Jawa
Nama Tanaman

Fungsi

Simbolik (Makna)

Beringin (Ficus benjamina) Peneduh

Pengayoman (mensejahterakan)

Kepel (Stelechocarpus
burahol)

Kesatuan

Kantil/Cempaka
champaca)

Peneduh

(Micelia Estetika

Kelapa hijau (Cocos
nucifera)

Penghasil buah

Kemuliaan dan pembawa rezeki

Suasana hati ayem dan tenteram

Jambu dersono (Eugenia Penghasil buah
javanica)

Kasih sayang antar sesama

Sawo kecik
kauki)

Kebaikan (becik)

(Manilkara Simbolik,
Peneduh

Belimbing (Averrhoa sp.)

Penghasil buah, Ketenteraman, murah
penaung
ketenangan jiwa

Gayam (Inocarpus edulis)

Penaung

rezeki,

Penyejuk jiwa

Mangga (Mangifera indica) Penghasil buah, Kesengsem (Jatuh hati)
penaung
Mawar (Hibiscus rosa
sinensis)

Estetika

Sabar dan pengandalian diri

Kenanga (Cananga
odorata)

Estetika,
pewangi

Menolong antar sesama
(temengo)

Bunga gading
Estetika
Tanjung (Mimusoph elengi) Pengarah

Ingat (eling)
Mengarahkan diri

Soka (Parrinarium
glaberrium)

Pengaman, penolak bala

Pengarah,
pembatas

(Sumber: Setiawan (2000))