Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Budaya Sunda

KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL
TRADISIONAL BUDAYA SUNDA

YOLANDA AGUSTINE

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Desain Taman
Rumah Tinggal Tradisional Budaya Sunda adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013
Yolanda Agustine
NIM A44090060

ABSTRAK
YOLANDA AGUSTINE. Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional
Budaya Sunda. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN.
Kebudayaan Sunda adalah salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Guna
memperoleh gambaran yang nyata mengenai arsitektur tradisional Sunda, perlu
dilakukan kajian mengenai desain taman rumah tinggal tradisional budaya Sunda.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk taman
rumah, tata letak, dan maknanya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode deskriptif melalui survei lapangan dan penelusuran informasi sejarahkebudayaan. Observasi lapang dilakukan di beberapa wilayah Jawa Barat sebagai
referensi, seperti Kampung Urug di Kabupaten Bogor, Kampung Sindang Barang
di Kabupaten Bogor, dan Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya. Tata ruang
rumah tinggal masyarakat Sunda berbentuk persegi panjang dan simetris. Secara
umum, tata ruang tradisional Sunda terbagi menjadi tiga bagian sesuai dengan
konsep Tritangtu yaitu bagian depan atau atas, bagian tengah, dan bagian
belakang atau bawah. Halaman pada rumah tinggal masyarakat Sunda di bagi
menjadi tiga bagian, yang terdiri dari halaman depan (buruan), halaman pinggir

(pipir), dan halaman belakang (kebon). Ruang terbuka yang lebih dominan berupa
hamparan tanah atau ditanami rumput. Elemen-elemen pembentuk taman rumah
tinggal tradisional Sunda adalah lumbung padi (leuit), tempat menumbuk padi
(saung lisung), kamar mandi (tampian), kolam (balong), lampu taman (obor),
kandang ayam, dan tanaman.
Kata kunci: arsitektur tradisional, budaya Sunda, taman rumah

ABSTRACT
YOLANDA AGUSTINE. Study on Design of Sundanese Traditional Home
Garden. Supervised by ANDI GUNAWAN.
Sundanese culture is one of the oldest culture in Indonesia. The study of
traditional Sundanese garden needs to be done in order to get a real image about
traditional Sundanese culture. The objectives of this research are to identify the
elements, layout, and interpretation of sundanese garden. This research was
obtained through descriptive analysis by field observation and tracing the
information of culture and history. The study area are Urug Village, Bogor
District; Sindang Barang Village, Bogor District; and Naga Village, Tasikmalaya
District. The result of this study showed the spatial order of traditional Sundanese
house divided into three parts in according the Tritangtu concept; those are the
front or upper part, the central part, and back or under part. Yard of Sundanese

house divided into three parts, those are the frontyard (buruan), sideyard (pipir),
and the backyard (kebon). The dominant open space is an expanse of land or a
grass. The forming elements of traditional sundanese garden are leuit, saung
lisung, traditional bathroom (tampian), pond (balong), garden light (obor), cage of
hen, and plants.
Key words: home garden, Sundanese culture, traditional architecture

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau peninjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL
TRADISIONAL BUDAYA SUNDA


YOLANDA AGUSTINE

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Budaya Sunda
Nama
: Yolanda Agustine
NIM
: A44090060

Disetujui oleh


Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia
yang telah diberikan, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan
baik. Skripsi yang berjudul “Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional
Budaya Sunda“ disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa
terima kasih kepada:

1. Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi
sehingga penulis dapat menyelesaikannya.
2. Dr Syartinilia Wijaya, SP, MSi sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan arahan dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa.
3. Prof Dr Ir Wahju Qamara
Mugnisjah, MAgr dan Dr Ir Bambang
Sulistyantara, MAgr selaku penguji pada ujian sidang yang telah memberikan
masukan-masukan guna memperbaiki sehingga skripsi ini lebih baik lagi.
4. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai, Mama dan Papa dan seluruh
keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa, bimbingan, kepercayaan
serta dukungan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
5. Bapak Mamat Sasmita selaku pemilik perpustakaan Rumah Baca Buku Sunda
yang meminjamkan buku-buku, memberi informasi, pengalaman serta
bimbingannya selama penulis melakukan penelitian.
6. Para budayawan Sunda (Pak Undang, Pak Asep) yang memberi informasi dan
pengalamannya.
7. Para Pengelola Kampung Adat Naga (Pak Tatang, Pak Ayo), Bapak Acmat
Mikami sebagai Ketua Adat Kampung Budaya Sindang Barang, dan Bapak
Ukat Raja Aya sebagai Ketua Adat Kampung Urugatas keramahan dan

bantuan selama penulis melakukan penelitian.
8. PT Asia Timur Konsultindo atas beasiswa dan kesempatan kuliah yang
diberikan.
Pada akhirnya, harapan penulis semoga studi ini dapat memberikan manfaat
bagi berbagai pihak yang terkait dan berguna sebagai referensi bagi penelitian di
masa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Bogor, September 2013
Yolanda Agustine

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pikir Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap
Taman
Kebudayaan
Budaya dan Konsep Tata Ruang Sunda
Arsitektur Tradisional Sunda (Bentuk Bangunan)
Kependudukan dan Mata Pencaharian
Sejarah Sunda
METODE
Lokasi dan Waktu
Metode dan Tahapan Penelitian
Kerangka Kerja
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Observasi Lapang
Hasil Wawancara
Konseptualisasi Taman Sunda
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
GLOSARIUM
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
2
2
2
2
3
3
4
5
6
9
20

23
25
25
25
25
28
28
38
45
52
52
53
53
55
59
61

DAFTAR TABEL
1
2

3
4
5
6
7
8

Daftar lahan bersifat negatif (mala ning lemah)
Daftar lahan bersifat positif
Lokasi, jumlah, dan pemilik rumah objek penelitian
Daftar nama narasumber
Jenis, bentuk, dan sumber data
Perbandingan komponen tata ruang rumah masyarakat Sunda
Penanaman tanaman di lingkungan rumah tinggal masyarakat Sunda
Komponen rumah tinggal Sunda menurut narasumber

18
19
27
27
28
29
38
39

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir penelitian
2 Pola linear pada kampung tradisional
3 Pola terpusat pada kampung tradisional
4 Pola radial pada kampung tradisional
5 Bangunan dengan atap jolopong
6 Bangunan dengan atap jogo anjing
7 Bangunan dengan atap badak heuay
8 Bangunan dengan atap parahu kumureb
9 Bangunan dengan atap julang ngapak
10 Bangunan dengan atap buka palayu
11 Bangunan dengan atap buka pongpok
12 Denah rumah yang menghadap ke arah melebar (buka pongpok)
13 Denah rumah yang menghadap ke arah memanjang (buka palayu)
14 Pembagian wilayah kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh
15 Tahapan penelitian
16 Pagar bambu dan tanaman hanjuang sebagaibatas area pemukiman
17 Sirkulasi pada rumah tradisional Sunda
18 Terdapat tangga (golodog) di depan rumah
19 Bentuk rumah tradisional Sunda
20 Bangunan leuit masyarakat Sunda
21 Saung lisung
22 Kolam dan tampian pada halaman rumah tradisional Sunda
23 Tanaman pemberi aksen dan aroma
24 Tanaman penghasil buah pada lingkungan rumah tinggal
25 Pembagian halaman rumah tradisional Sunda
26 Posisi leuit pada halaman rumah tinggal
27 Posisi saung lisungpada halaman rumah tinggal
28 Penataan rumah berdasarkan hubungan kekerabatan
29 Konsep elemen (hardscape) pada taman rumah tinggalSunda
30 Konsep penanaman pada taman rumah tinggal masyarakat
31 Rekomendasi desain taman rumah tinggal tradisional Sunda

3
8
9
9
10
11
11
12
12
13
13
16
17
24
26
31
31
32
33
34
35
36
36
37
40
43
43
46
49
50
51

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Gaya Arsitektur Rumah Tinggal Tradisional Sunda
Tata Ruang RumahTinggal Masyarakat Sunda
Elemen Pembentuk Rumah Tinggal
Elemen Pembentuk Taman Rumah Tinggal

55
56
57
58

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku
yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Keberadaan setiap suku pada tiap
daerah memiliki karakter budaya yang khas dan digambarkan melalui tradisi
kedaerahan, aktivitas sosial masyarakat, serta kekhasan tata ruang arsitektur yang
disebut dengan arsitektur tradisional. Arsitektur tradisional adalah suatu unsur
kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan
dan perkembangan suatu suku bangsa. Oleh karena itu, arsitektur tradisional
merupakan salah satu identitas dari suatu pendukung kebudayaan (Harun et al.
2011).
Kebudayaan Sunda adalah salah satu kebudayaan tertua di Nusantara.
Dalam hal ini diungkapkan oleh Purnama (2007) bahwa dalam budaya Sunda
kehidupan manusia dibatasi oleh aturan dan norma yang mengikat serta menjadi
pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan
berjalan selaras baik secara vertikal maupun horizontal yang akan mempengaruhi
lingkungan sekitarnya sebagai pendukung.
Masyarakat budaya Sunda memiliki ciri khas yang membedakannya dari
kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar
Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual.
Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan
silih asuh yang artinya masyarakat Sunda harus saling mengasihi (mengutamakan
sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui
pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga
keselamatan). Dan hal ini tercemin bukan hanya diterapkan dalam sikap
masyarakat tetapi juga tercermin dalam penataan arsitektur dan pembagian ruang
yang diaplikasikan dengan sangat baik sehingga memiliki karakter dan ciri khas
tersendiri.
Ekadjati (2005) menyatakan bahwa Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan
yang pertama didirikan di Tatar Sunda. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanegara
muncul dua kerajaan baru yang menggantikan peranan kerajaan tersebut. Kedua
kerajaan itu adalah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Wilayah Kerajaan Sunda
di bagian Barat dengan Ibu Kota Pakuan, sedangkan wilayah Kerajaan Galuh di
bagian Timur tanah Sunda dengan Ibu Kota Kawali.
Kajian mengenai desain taman rumah tinggal tradisional budaya Sunda di
Kampung Adat Naga dekat Kabupaten Ciamis, Kampung Adat Urug dan
Kampung Budaya Sindang Barang di Kabupaten Bogor perlu dilakukan. Hal ini
ditunjukan untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai arsitektur
tradisional Sunda, agar tetap dapat dilestarikan dan dapat diaplikasikan oleh
masyarakat Jawa Barat. Karena sampai saat ini sangat sedikit penelitian yang
dilakukan mengenai taman rumah tinggal tradisional Sunda dan hampir dapat
dikatakan tidak ada.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji desain taman rumah tinggal
tradisional budaya Sunda. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk taman rumah tinggal tradisional
Sunda, tata letak, dan maknanya;
2. memformulasikan konsep desain taman rumah tinggal tradisional Sunda.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap taman
rumah tinggal tradisional Sunda ditinjau dari sudut pandang budaya;
2. membantu pemerintah dan masyarakat Jawa Barat untuk memahami elemenelemen penting pembentuk taman pada rumah tinggal tradisional sebagai
landasan mendesain taman Sunda.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian terbatas pada area taman rumah tinggal tradisional. Beberapa
kampung adat Sunda di wilayah Jawa Barat dipilih sesuai dengan potensi karakter
kampung adat, sejarah Sunda, serta masyarakat yang masih menjalankan aktivitas
sehari-hari sesuai dengan kebudayaan Sunda (kearifan lokal) sebagai tambahan
referensi penelitian. Hasil akhir dari penelitian ini adalah laporan deskriptif serta
usulan konsep taman rumah tinggal tradisional Sunda.
Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir dalam penelitian mengenaitaman rumah tinggal tradisional
Sunda ini dilihat mulai dari keterkaitan antara taman atau lingkungan rumah
tinggal, arsitektur rumah tinggal, dan pengaruh budaya masyarakat tradisional
Sunda. Ketiga hal ini akan saling mempengaruhi sehingga membentuk suatu pola
yang memiliki karakter yang khas. Pembentuk karakter taman rumah tinggal
Sunda meliputi elemen-elemen pembentuk taman, tata letak elemen, serta makna
yang terkandung didalamnya. Dalam segi arsitektur rumah tinggal Sunda dilihat
juga bagaimanapengaruh arsitektur rumah terhadap taman atau lingkungan sekitar
rumah baik dari bentuk maupun tata letaknya.Selain itu, dilihat juga bagaimana
pengaruh budaya masyarakat seperti local wisdom dan adat istiadat setempat.
Setelah semua informasi terkumpul, maka dapat diformulasikan sehingga
membentuk konsep desain taman rumah tinggal tradisional Sunda. Kerangka pikir
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

3
Taman dan rumah tinggal tradisional Sunda

Taman

Elemen

Tata
letak

Arsitektur

Makna

Hubungan
arsitektur
dengan
taman

Budaya

Local
Wisdom

Adat
Istiadat

Konsep desain taman rumah tinggal
tradisional Sunda
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap
Lanskap adalah suatu sistem yang terintegrasi sebagai ekosistem. Ekosistem
merupakan perpaduan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial, dan sistem
tersebut memiliki nilai pengalaman yang dijadikan sebagai historical value
yangterkait dengan ruang dan waktu, dimana proses yang terjadi di dalam
ekosistem tersebut dapat saling mempengaruhi satu sama lain sehingga hasil dari
proses tersebut dikombinasikan dengan interaksi yang akan membentuk suatu
karakter khusus yang khas dan berbeda dengan tempat lainnya (Lyle 2001).
Manusia, lahan, dan design physical planning adalah faktor-faktor penting
untuk membentuk suatu lanskap yang berperan sebagai ekosistem. Lanskap ini
diharapkan dapat menampung segala aktivitas manusia sesuai dengan latar
belakang dan pola perilaku yang diperoleh dari budaya setempat. Hal ini merujuk
pada kebiasaan sehari-hari (tradisi) dan karakter masyarakat didalamnya untuk
meningkatnya kualitas manusia dan lingkungan sekitar (Eckbo et al. 1998).
Kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar dapat mempengaruhi kualitas
lingkungan, meliputi kebutuhan psikologis, emosional, dan dimensional, dimana
kebutuhan manusia diarahkan untuk memenuhi ruang gerak, proses menghayati,
merasakan, berfikir, dan menciptakan kawasannya terhadap lingkungannya
(Simonds dan Starke 2006).
Lanskap terdiri atas elemen-elemen yang dapat membentuk suatu karakter.
Salah satu elemen terpenting dalam menciptakan karakter suatu lanskap adalah
tanaman. Penggunaan material tanaman didasarkan atas: (1) fungsi tanaman, (2)
peletakan tanaman (nilai simbolisme), (3) tujuan pendesainan, (4) habitat, dan (5)
prinsip tata hijau. Material tanaman dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
berdasarkan morfologi, fungsi ekologis, dan efek visual (Laurie 1975).
Proporsi, pola, dan aturan penempatan elemen-elemen lanskap disesuaikan
dengan kebutuhan ruang dan elemen, pola pergerakan, serta fungsi yang akan

4
ditetapkan di dalamnya. Kekhasan bentuk dan pola ini menghasilkan filosofi yang
dapat memunculkan nilai dari lingkungan fisik, sosial, dan budaya sekitar. Konsep
penataan tersebut akan mewakili kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar,
sehingga menciptakan keharmonisan antara kebutuhan manusia dan lingkungan.
Hubungan ini akan membentuk struktur ide, kekuatan (quality), dan perasaan
terhadap keindahan yang membentuk karakter melalui proses desain (Rogers
2001).
Di dalam lanskap, manusia memiliki peranan penting dalam menentukan
kekhasan desain lanskap yang memiliki nilai keberlanjutan. Keberlanjutan
(sustainable) ini didapatkan melalui identifikasi karakter dan pola sosial dari sikap
dan perilaku manusia di dalamnya. Sikap dan perilaku manusia di dalam lanskap
tertentu tercermin dari pendekatan budaya setempat melalui penggambaran
simbol-simbol penting yang menjadi ciri dan karakter yang khas suatu daerah
tertentu (identity atau special character) (Benson dan Roe 2000). Lanskap dapat
diartikan sebagai hubungan yang harmonis, mewakili karakter, dan
mengekspresikan kehidupan (Thompson dan Steiner 1997).
Penataan lanskap meliputi struktur dan ruang melalui landasan pemikiran
yang tercermin dari pengalaman (pengetahuan manusia) sebagai simbol. Pola
lanskap melalui simbol tersebut disesuaikan dengan kondisi nyata dari faktorfaktor setempat. Dan faktor akan mempengaruhi karakter (khas) kondisi lanskap
sehinggadapat memberikan pandangan yang berbeda (Hendraningsih 1982).
Karakter lanskap memilki nilai simbolik apabila didukung oleh faktor
interaksi sosial dengan lingkungannya. karakter ini terbentuk oleh kebiasaan dan
tradisi yang dikembangkan menjadi karakter khusus yang memiliki kekhasan.
(Bentley dan Watson 2007). Persepsi dalam lanskap yang dipengaruhi oleh
tatanan sosial (tradisi), elemen lanskap, dan kondisi asli lingkungan yang saling
mempengaruhi dan berinteraksi, akan menunjukkan keharmonisan dan
menghindari konflik. Hal ini merupakan keberhasilan dalam membantu pencitraan
sebuah karakter khusus dan secara nyata dapat diketahui dan dipelajari dengan
melihat pola-pola yang ada dengan merujuk pada pendekatan kesejarahan
(Longstreth 2008).
Taman
Menurut Turner (2005), taman adalah sebidang lahan yang dipagari dan
digunakan untuk kesenangan manusia. Taman menghubungkan antara manusia
dengan dunia dimana mereka hidup. Semua manusia dari berbagai jenis umur
merasakan kebutuhan untuk berdamai dengan lingkungan sekitarnya dan telah
membuat taman untuk memuaskan cita-cita dan aspirasinya (Crowe1981). Salah
satu taman yang dapat mendukung fungsi rumah adalah taman rumah. Dalam
cakupan pertamanan, peran taman rumah tidak kecil. Taman rumah merupakan
komponen penting di lingkungan rumah tinggal sebagai pelengkap dan
penyempurna kehidupan rumah tangga. Taman dapat menjadi wahana bagi
keluarga sebagai tempat bercanda, berekreasi, bermain, atau sekedar duduk santai.
Taman rumah juga menjadi unsur penting dalam menciptakan lingkungan yang
sehat baik bagi penghuni maupun orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Rangkaian taman rumah yang satu dengan yang lainnya akan membentuk

5
kesatuan rumah tinggal. Apabila ditata dengan asri, rangkaian taman dapat
menampilkan keindahan lingkungan perumahan (Sulistyantara 2006).
Beberapa faktor dan fungsi yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan
taman, yaitu keindahan, privasi, kenikmatan, keamanan dan kenyamanan,
fleksibel, rekreasi, sumber makanan (sayur dan buah), hiburan, dan mudah dalam
perawatan. Fungsi taman sebagai sumber makanan dapat diaplikasikan dengan
menanam jenis tanaman sayur dan buah. Di negara maju, kesadaran akan manfaat
tanaman sayur dan buah segar untuk kesehatan mendorong mereka untuk
menjadikan tanaman buah dan sayur sebagai elemen terpenting dari lanskap
halaman rumah. Berdasarkan bagian yang dapat dikonsumsi, tanaman sayur dapat
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sayur buah, sayur daun, dan sayur umbi. Tanaman
sayur buah contohnya adalah tomat, terung, cabai merah, cabai rawit, paprika,
labu siam, kacang panjang, dan pare, sedangkan contoh tanaman sayur daun
seperti kemanggi, katuk, bayam, kangkung, sawi hijau, selada, bawang daun, dan
seledri. Tanaman sayur umbi dapat berupa wortel dan lobak (Supriati et al. 2008).
Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata budaya yang bermakna pikiran, akal budi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kebudayaan memiliki beberapa
arti berikut:
1. hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat;
2. keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan
untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman
tingkah lakunya;
3. hasil akal budi dari alam sekelilingnya dan dipergunakan bagi kesejahteraan
hidupnya.
Kebudayaan berperan sebagai pedoman tingkah laku manusia untuk
memahami lingkungannya berdasarkan pengalaman. Kebudayaan memiliki unsurunsur universal, yaitu bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, religi, dan kesenian. Kebudayaan terdiri dari tiga wujud, yaitu ideal,
aktivitas, dan benda budaya (Koentjaraningrat 1984).
Kebudayaan dihasilkan melalui proses komunikasi suatu komunitas yang
bersangkutan mampu membangun citra melalui hubungan yang saling
melengkapi. Proses komunikasi ini yaitu memberikan pesan dari satu ke yang
lainnya untuk mencapai kesepakatan yang terbaik. Kesepakatan tersebut dapat
berupa nilai, kepercayaan, dan norma yang penting (Samovar et al. 2008).
Kebudayaan memiliki nilai nyata dan rasio yang dikelola secara berulangulang sehingga menunjukkan pola yang khas yaitu pola sosial, mental, dan
keyakinan yang menjadi faktor pendorong untuk menciptakan ide dan nilai. Ide
dan nilai pada budaya ini mendefinisikan seuatu simbol yang menggambarkan
suatu gaya dari kebudayaan tertentu yang mempengaruhi bentuk arsitektural,
adab, adat, dan kesenian yang khas (Rogers 2001). Suasana harmonis dihasilkan
melalui beragam interaksi yang terhimpun membentuk suatu kesatuan (Frick
1997). Kebudayaan dapat dinilai sebagai pencerminan jiwa masyarakat sehingga
membentuk karakter yang khas dan mencerminkan identitas yang berbeda dengan
kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat membangun kebiasaan-kebiasaan

6
tertentu yang diwujudkan melalui penerapan nilai, norma, peraturan, ketentuan,
atau perundana-undangan sebagai pedoman hidup, memiliki kesatuan identitas
dan jati diri yang kuat sehingga menganggap berbeda dengan kelompok lainnya
(Hariyono 2007).
Kebudayaan membentuk pola kehidupan dari masyarakat melalui kegiatan,
bangunan arsitektural, dan kehidupan sosial yang menjadi ciri khas atau identitas
tertentu (Geertz 1992). Salah satu bentuk kebudayaan yang mengutamakan
pemaknaan kehidupan adalah kebudayaan Jawa sehingga Koentjaraningrat (1986)
menyatakan bahwa kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai pokok kehidupan
manusia, antara lain, (1) masalah hakikat hidup manusia, (2) masalah hakikat
karya manusia, (3) kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakikat
hubungan manusia dengan alam, dan (5) hubungan manusia dengan sesama dan
Tuhannya.
Budaya dan Konsep Tata Ruang Sunda
Budaya Sunda
Budaya Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat
Sunda. Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi
sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah periang, ramahtamah (someah), murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orangtua
(Harun et al. 2011).
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas yang membedakannya dari
kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar
Sunda dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual.
Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah, dan
silih asuh, yang artinya masyarakat Sunda harus saling mengasihi (mengutamakan
sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui
pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga
keselamatan). Selain itu, masyarakat Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain
seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua,
dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan
magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat untuk menjaga
keseimbangan sosial masyarakat Sunda dan gotong-royong (Harun et al. 2011).
Sumardjo (2009) menjabarkan bahwa dalam upacara-upacara adat
masyarakat selalu melantunkan pantun yang dipimpin oleh seorang juru pantun.
Pantun adalah hasil dari kebudayaan Sunda pada zaman mistis-spiritualnya.
Kebudayaan ini dapat dikatakan kebudayaan religius, yang berbeda dengan
kebudayaan modern yang sekuler. Dalam kebudayaan regilius justru manusia
harus berpartisipasi dengan dunia dan alam semesta. Manusia tidak dapat
menguasai atau mengekploitasi dunia, dan itu dianggap tabu atau “dosa”.
Pada acara ritual adat, lantunan pantun selalu mengiringi jalannya upacara.
Pantun adalah simbol budaya, yakni alam pikiran masyarakat Sunda. Pantun
bukan hanya simbol, tetapi simbol yang sakral dan mengandung nilai-nilai yang
seharusnya bagi masyarakat Sunda. Pantun merupakan artefak (pikiran) arkeologi
budaya Sunda dimasa lampau. Pantun adalah simbol religi Sunda lama yang
merumuskan konsep-konsep tentang tatanan eksisting. Simbol adalah salah satu
peralatan manusia untuk menjangkau pengetahuan dan pengalaman di luar batas-

7
batas budaya. Orientasi simbol adalah pengetahuan, pikiran, dan pengalaman yang
transenden, yang mengatasi batas-batas imanen manusia (Sumardjo 2009).
Pada umumnya masyarakat Sunda sangat menghormati lingkungan alam
tempat mereka tinggal. Mereka mempunyai kearifan agar bisa hidup harmonis
dalam kehidupan sosialnya dan dengan alam lingkungannya. Beberapa filosofi
yang dikenal oleh masyarakat Sunda untuk menjaga kelestarian lingkungan
hidupnya, yang mereka pandang sebagai warisan suci di atas bumi. Ngaraksa
Sasaka Pusaka Buana yang mengandung makna bahwa lahan yang subur harus
tetap terjaga subur, sumber air tidak tercemar, udara terjaga bersih, semua
makhluk hidup mendapat ruang hidup masing-masing sesuai dengan waktu dan
tempatnya, agar buana bumi dapat diwariskan kepada anak cucu sebagai bumi
yang mampu memberikan kehidupan yang berkecukupan untuk semua makhluk
hidup didalamnya, sebagaimana para leluhur telah menikmatinya. Filosofi hidup
inilah yang juga dicerminkan oleh tatanan pemukiman mereka (Harun et al.
2011).
Tata Ruang Tradisional Sunda
Harun et al. (2011) menjabarkan bahwa dikalangan masyarakat Sunda
dikenal azas kesatuan tiga atau disebut sebagai konsep Tritangtu. Azas ini
mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat Sunda, baik yang bersifat fisik
maupun sosial, termasuk hubungan kekuasaan. Terdapat pembagian kosmologi
Sunda yang terdiri atas tiga bagian dunia, yaitu dunia atas (buana ngungcung),
dunia bawah (buana larang), dan dunia tengah (buana panca tengah). Konsep
tritangtu pada dasarnya adalah perkawinan pasangan oposisi untuk segala hal.
Pasangan oposisi dasar tersebut adalah pembagian laki-laki dan perempuan untuk
segala hal. Perkawinan keduanya menghasilkan lahirnya eksistensi ketiga yaitu
anak. Kategori anak merupakan dunia yang mengandung unsur laki-laki dan
perempuan. Inilah dunia tengah yang berfungsi sebagai medium dari dua oposisi
(Sumardjo 2011). Pola tiga dipakai baik secara vertikal maupun horizontal
(Sumardjo 2009).
Pembagian pola Tritangtu juga diterapkan dalam konsep rumah adat Sunda
yang diwujudkan dalam bentuk atapnya, yakni rarangki tukang (atap belakang
yang lebih panjang), rarangki pondok (atap tengah yang yang lebih pendek), dan
rarangki panjang (atap depan yang terpanjang). Dibawah atap-atap tersebut
terdapat pembagian ruang-ruang. Dibawah rarangki tukang terdapat ruang
perempuan (parak) yang identik dengan dunia atas yang identik dengan
perempuan. Rumah adat Sunda juga dibagi dalam kategori depan dan belakang
yang berarti lelaki dan perempuan. Disamping itu, ada pembagian kiri dan kanan,
kiri berarti laki-laki dan kanan berarti perempuan. Dalam masyarakat Sunda lama,
perempuan menduduki derajat tertinggi. Bagian rumah paling depan dan paling
kiri adalah bagian laki-laki. Sedangkan bagian umah paling belakang dan paling
kanan bersifat perempuan, tempat basah (Sumardjo 2011).
Dalam perkembangan sejarah, perkampungan Sunda dibagi menjadi tiga
pemukiman yang bertugas mengurus adat Sunda, mengurus agama islam, dan
mengurus pemerintahan modern republik. Masing-masing bertanggung jawab atas
tugasnya untuk kesatuan tiga kampung. Setiap perkampungan dipercaya memiliki
tempat tinggal para hyang (hutan, bukit, gunung). Ketiga hal tersebut disatukan
dalam satu hubungan jalan atau aliran sungai. Kampung dihubungkan dengan

8
kuburan atau pohon besar yang mengarah kehutan atau gunung. Ketika
masyarakat Sunda memeluk agama Islam, pola ini masih dipertahankan. Di
belakang mesjid terdapat kuburan, dan keduanya menghadap kiblat yang
diantaranya terdapat gunung atau hutan (Sumardjo 2011).
Menurut Harun et al. (2011), masyarakat Sunda mengenal perencanaan
dalam arti luas yang diisyaratkan melalui ungkapan “Nyoreang Alam Katukang,
Nyawang Lampang nu Bakal Disorang”, yang artinya “melihat kembali semua
usaha dan perbuatan yang dilakukan di tahun sebelumnya, dan melihat peluang
dan merencanakan sesuatu yang harus dilakukan pada masa yang akan datang”.
Ungkapan ini digunakan pada acara Seren Taunyang merupakan acara tertinggi
yang menyempurnakan semua acara ritual adat.
Pada penataan pemukiman adat Sunda masyarakat mengenal istilah yang
menjadi kearifan lokal sebagai dasar penataan ruang suatu perkampungan adat,
yaitu: Gunung kaian, lamping gawir awian, legok balongan, datar sawahan,
lebak imahan. Yang secara harfiah berarti “gunung ditanami pohon kayu, lereng
bukit terjal ditanami bambu, yang cekung jadikan kolam, yang datar jadikan
sawah, dan bagian lembah diperuntukkan bagi bangunan rumah” (Harun et al.
2011).
Menurut Anwar dan Nugraha (2013) setiap perkampungan yang ada di
tanah Sunda memiliki pola pemukiman yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, fungsi, dan keadaan kondisi alam yang ada. Pola perkampung
tradisional dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut.
1. Pola linear
Pada pola kampung ini kelompok pemukiman yang setiap rumahnya
berdiri sejajar lurus, bentuk bersifat fleksibel, sesuai dengan kondisi alam
seperti topografi dan sistem masyarakat yang berlaku, posisi rumah memanjang
(linear) mengikuti kondisi yang ada seperti sungai, jalan raya, tepi pantai, dan
lain-lain (Gambar 2).

Pola mengikuti sungai

Pola mengikuti jalan

Sumber: Padma et al. (2001)

Gambar 2 Pola linear pada kampung tradisional
2. Pola terpusat
Pada pola kampung ini kelompok pemukiman mengelilingi area
terpusat yang luas dan dominan, seperti alun-alun, balai desa, lapangan
terbuka, yang berfungsi sebagai are publik untuk menyatukan warga (Gambar
3).

9

Sumber: Padma et al. (2001)

Gambar 3 Pola terpusat pada kampung tradisional
3. Pola radial
Pola radial memadukan kelompok pemukiman linear dengan terpusat.
Kelompok pemukiman ini menempatkan rumah seperti jari-jari sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, fungsi, dan kondisi alam sekitar, biasanya rumah
diletakkan memanjang dengan memiliki titik yang dijadikan pusat arah
(Gambar 4).

Sumber: Padma et al. (2001)

Gambar 4 Pola radial pada kampung tradisional
Arsitektur Tradisional Sunda (Bentuk Bangunan)
Bentuk bangunan tradisional Sunda memang amat sederhana. Penduduk
tatar Sunda zaman dulu tergolong masyarakat ladang. Sifat paling menonjol dalam

10
masyarakat ladang adalah kebiasaan pindah tempat mengikuti letak
peladangannya. Pengaruh langsung dari keadaan ini tentu saja dalam hal
bangunan yang harus sederhana dan tidak permanen. Penggunaan genteng untuk
atap rumah dan pemanfaatan paku dianggap hal yang tabu oleh masyarakat.
Semua dianggap benda-benda asing yang tidak cocok dan ditolak pemanfaatannya
(Danasasmita 1975).
Depdikbud (1982) menyatakan bahwa bentuk bangunan masyarakat Sunda
lebih banyak mengacu pada kesadaran lingkungan, bentuk atap bangunan selalu
disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Untuk daerah pegunungan yang banyak
hujan dan tiupan angin keras, orang akan memilih bentuk atap yang kokoh,
tertutup, hingga tidak mudah lepas diterpa angin. Bangunan rumah tinggal bagi
penduduk Tatar Sunda dianggap memadai apabila dapat memberi keteduhan dari
curah hujan dan matahari, dan melindungi dari bahaya binatang buas. Untuk itu
bangunan rumah berbentuk rumah panggung bertengger di atas pilar kayu dengan
dinding sederhana guna melindungi dari terpaan angin. Untuk menjaga
kehangatan di dalam rumah, cukup dengan menyalakan api (Sunda: hawu).
Kesederhanaan bentuk dan gaya arsitektur tradisional Sunda, banyak
mengacu pada "bentuk atap dan pintu" yang berbeda pada masing-masing
bangunan. Bentuk-bentuk bangunan tradisional Sunda yaitu: Suhunan Jolopong
(suhunan panjang), Jogo Anjing, Badak Heuay, Parahu Kumereb (Limasan),
Julang Ngapak, Buka Palayu, Buka Pongpok (Depdikbud 1982).
a. Suhunan jolopong (suhunan lurus)
Depdikbud (1982) menyatakan bahwa bentuk jolopong adalah bentuk
rumah (bangunan) yang memiliki suhunan yang sama panjangnya di kedua bidang
atap yang sejajar dengan itu (Gambar 5). Bentuk jolopong memiliki dua bidang
atap. Kedua bidang ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah,
bahkan jalur suhunan itu sendiri merupakan sisi bersama dari kedua bidang atap
yang sebelah menyebelah. Bentuk atap jolopong merupakan bentuk atap yang
sederhana dan dari bentuk ini berkembang bentuk-bentuk atap yang lain. Bentuk
atap jolopong banyak digunakan pada atap saung di sawah di Tatar Sunda. Saung
umumnya dibangun di sawah dan dipergunakan sebagai tempat petani menunggu
tanamannya dan beristirahat sejenak melepas lelah, sambil menghirup udara segar.

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

Gambar 5 Bangunan dengan atap jolopong

11
b. Jogo anjing (sikap anjing sedang duduk)
Depdikbud (1982) menyatakan bahwa bentuk atap jogo anjing atau tagog
anjing adalah bentuk atap yang memiliki dua bidang atap yang berbatasan pada
garis batang suhunan (Gambar 6). Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding
dengan bidang atap lainnya, serta merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap
lainnya yang sempit, memiliki sepasang sisi yang sama panjang dengan batang
suhunan bahkan batang suhunan itu merupakan puncaknya. Pasangan sisi (tepi)
lainnya lebih pendek bila dibandingkan dengan panjang suhunan. Pada umumnya
sisi bawah tidak disangga oleh tiang. Bidang atap yang sempit ini hanya sekedar
tudung agar cahaya matahari atau air hujan tidak langsung menyemburi ruangan
dalam bagian depan. Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagog anjing
lebih panjang dibandingkan dengan tiang-tiang belakang, batang suhunan terletak
di atas puncak tiang depan. Ruangan sebenarnya berada di bawah atap belakang.
Atap depan hanya berfungsi sebagai emper saja.

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

Gambar 6 Bangunan dengan atap jogo anjing
c. Badak heuay
Bangunan dengan atap bentuk badak heuay sangat mirip dengan bentuk atap
tagog anjing (Gambar 7). Perbedaanya hanya pada bidang atap belakang. Bidang
atap ini langsung lurus ke atas melewati batang suhunan sedikit. Bidang atap yang
melewati suhunan ini dinamakan rambu (Depdikbud 1982).

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

Gambar 7 Bangunan dengan atap badak heuay

12
d. Parahu kumereb
Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap
sama luasnya, berbentuk trapesium sama kaki. Letak kedua bidang atap ini
sebelah menyebelah dan dibatasi oleh garis suhunan yang merupakan sisi bersama
(Gambar 8). Jadi kedua bidang atap ini menurun masing-masing dari garis
suhunan itu. Batang suhunan yang merupakan sisi bersama lebih pendek dari sisi
alasnya. Sepasang bidang atap lainnya berbentuk segitiga sama kaki dengan kedua
titik ujung suhunan merupakan titik puncak segitiga itu. Kaki-kakinya merupakan
sisi bersama dengan kedua bidang atap trapesium (Depdikbud 1982).

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

Gambar 8 Bangunan dengan atap parahu kumureb
e. Julang ngapak
Bentuk atap julang ngapak adalah bentuk atap yang melebar di kedua
bidang sisi bidang atapnya. Jika dilihat dari arah muka rumahnya bentuk atap
demikian menyerupai sayap burung julang (nama sejenis burung) yang sedang
merentang (Gambar 9). Bila diperhatikan dengan seksama, bentuk atap julang
ngapak, memiliki empat buah bidang atap. Dua bidang pertama merupakan
bidang-bidang yang menurun dari arah garis suhunan, dua bidang lainnya
merupakan kelanjutan (atap tambahan) dari bidang-bidang itu dengan membentuk
sudut tumpul pada garis pertemuan antara kedua bidang atap itu. Bidang atap
tambahan dari masing-masing sisi bidang atap itu nampak lebih landai dari
bidang-bidang atap utama. Kedua bidang atap yang landai ini disebut leang-leang
(Depdikbud 1982).

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

Gambar 9 Bangunan dengan atap julang ngapak

13
f. Buka palayu
Nama bangunan buka palayu untuk menunjukkan letak pintu muka dari
rumah tersebut menghadap ke arah salah satu sisi dari bidang atapnya. Dengan
demikian, jika dilihat dari arah muka rumah, tampak dengan jelas ke seluruh garis
suhunan yang melintang dari kiri ke kanan (Gambar 10). Bangunan-bangunan
lama yang kini masih banyak ditemukan, terutama di sepanjang jalan raya yang
menghubungkan kota Cirebon─Bandung di daerah kecamatan tersebut. Pada
umumnya, rumah-rumah dengan gaya buka palayu didirikan atas dasar keinginan
pemiliknya, untuk menghadapkan keseluruhan bentuk bangunan dan atapnya ke
arah jalan yang ada di depan rumahnya. Potongan buka palayu pada umumnya
mempergunakan bentuk atap suhunan panjang atau suhunan pondok yang juga
disebut rumah jure. Disebut demikian karena mempergunakan jure-jure yaitu
batang kayu yang menghubungkan salah satu atau kedua ujung garis suhunan
dengan sudut-sudut rumah (Depdikbud 1982).

Sumber: Depdikbud (1982)

Gambar 10 Bangunan dengan atap buka palayu
g. Buka pongpok (menghadap ke bagian pendeknya)
Depdikbud (1982) menyatakan bahwa sama halnya dengan buka palayu,
rumah dengan gaya buka pongpok didirikan atas dasar keinginan pemiliknya
untuk menghadapkan pintu muka ke arah jalan. Rumah buka pongpok adalah
rumah yang memiliki pintu masuk pada arah yang sejajar dengan salah satu ujung
dari batang suhunan. Jika dilihat dari arah muka rumah, keseluruhan batang
suhunan tersebut tidak nampak sama sekali. Yang nampak terlihat ialah bidang
atap segi tiga dari rumah tersebut (Gambar 11).

Sumber: Depdikbud (1982)

Gambar 11 Bangunan dengan atap buka pongpok

14
Bagian-Bagian Rumah
Bagian-bagian pada rumah tempat tinggal jika dilihat dari fungsi masingmasing bagian tersebut jika menunjukkan adanya keragaman yang menyolok. Hal
ini telah diungkapkan oleh Depdikbud (1982) bahwa beberapa bagian sudah mulai
menghilang akibat dari perubahan penggunaan bahan bangunan, dari bahan-bahan
lama ke bahan-bahan yang baru. Bagian-bagian pada rumah tinggal, jika dilihat
dari fungsinya adalah sebagai berikut.
a. Golodog
Golodok adalah tangga rumah yang terdiri atas beberapa anak tangga,
terbuat dari kayu atau bambu, biasanya terdiri dari dua atau tingga anak tangga.
Fungsi sebagai penghubung lantai yang disebut palupuh dengan tanah.
Golodok berfungsi juga untuk membersihkan kakisebelum naik kedalam
rumah.
b. Kolong
Kolong adalah ruang yang terdapat dibawah lantai rumah (palupuh),
tingginya 0.5─0.8 meter atau 1 meter diatas permukaan tanah. Pada rumahrumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1.8 meter
karena digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti
kerbau, sapi atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak,
dan sebagainya.
c. Tatapakan
Tatapakan adalah penahan dasar dari tiang rumah yang terbuat dari batu.
Dibuat dari batu padas bagian paling keras, atau dapat pula dibentuk dari bata
yang disusun menyerupai balok dengan ukuran panjangsatu meter dan
tingginya 0.5 meter.
d. Tihang
Tihang(tiang) merupakan bagian rumah yang sangat penting karena
menyangga atap bangunan. Tiang dibuat dari kayu berbentuk segi empat
berukuran 15x15cm. Tiang juga berguna untuk menempelkan dinding-dinding.
Tiang-tiang untuk atap tambahan (emper) dibuat lebih kecil dari tiang-tiang
utama yang disebut sasaka.
e. Bilik
Dinding merupakan bagian rumah yang berfungsi sebagai pemisah antara
ruangan dalam rumah dengan alam sekitar dan membentuk kesatuan ruanganruangan dalam rumah. Bagian ini dibuat dari bahan bambu yang dianyam yang
disebut dengan bilik dan bagian kayu yang disebut gebyong. Dinding
menempel langsung pada bagian luar dari tihang rumah, panjangnya dari
lincarsampai kepemikul.
f. Palupuh
Nama lain dari palupuh adalah talupuh, dibuat dari kayu-kayu bilah yang
disusun diatas balok-balok kayu atau bambu yang disebut darurung. Fungsinya
sebagai lantai rumah yang memisahkan kolong dengan ruangan didalam
rumah. Lantai yang terbuat dari palupuh dapat menghangatkan udara dalam
ruangan pada malam hari.
g. Panto
Pintu dalam bahasa setempat disebut panto. Bagian ini berbentuk persegi
panjang, tinggi disesuaikan dengan ukuran manusia. Bagian ini dapat dibuat

15
dari kayu atau bambu yang dianyam. Rangka pintu disebut jejeneng panto yang
terbuat dari kayu.
h. Jendela jalosi
Jendela ini berfungsi untuk mengatur pertukaran udara dari dalam keluar
ruangan atau sebaliknya. Jendela ini terbuat dari papan kayu.
i. Amping
Ampig adalah didnding yang terbuat dari kayu yang merupakan bagian
atas dari dari dinding depan dan belakang, rumah berbentuk segi tiga
memenuhi bentuk atap rumah. Fungsi sebagai penutup bagian depan dan
belakang rangkaatap.
j. Lalangit
Lalangit ini disebut juga paparaan, terbuat dari bambu yang dianyam
atau dari papan kayu semacam palupuh. Bagian ini terpisah dari dinding yang
menempel pada dasar rangka atap (tatapakan adeg).
k. Suhunan
Bagian rumh ini terbuat dari sebatang kayu (balok) berbentuk segi empat
tanpa sambungan, membentang dari ujung ke ujung puncak rumah. Berfungsi
sebagai tempat dudukkan wuwung (bubungan rumah).
l. Pananggeuy
Pananggeuy adalah kayu bagian rumah yang menghubungkan tihang
dengan tihang, tempat dudukan darurung dan palupuh. Fungsinya untuk
menahan papan lincar dan tihang sasaka.
m. Lincar
Bagian rumah yang berfungsi sebagai penjepit dinding disekeliling
bagian bawah rumah. Lincar ini terbuat dari bambu bilah atau kayu pipih
setebal 1 cm.
n. Darurung
Darurung terbuat dari bambu bulat atau kayu, berfungsi sebagai tatahan
palupuh. Darurung para tempat menempelnya lalangit atau paparaan.
o. Paneer
Paneer adalah darurung yang dipakai sebagai sisi badan rumah yang
berfungsi untuk menahan tihang dan dinding yang terbuat dari balok kayu.
p. Saroja
Saroja atau garde terbuat dari papan-papan kayu yang disusun dalam
posisi tegak dengan jarak tertentu antar papan.
q. Baladar
Balok berbantuk segi empat yang dipasang diatas kuda-kuda, melintang
sejajar dengan suhunan yang berfungsi sebagai penahan usuk pada rangka atap.
r. Kuda-kuda
Balok kayu yang dipasang miring yang berfungsi sebagai penghubung
tihang adeg dengan pemikul dan menahan rangka atap.
s. Usuk
Usuk adalah tempat menempelnya ereng dan atap rumah yang terbuat
dari bambu bulat (utuh).
t. Ereng
Bagian utuk menahan genting yang terbuat dari bambu yang dibelah dan
dipasang sejajar dengan pemikul.

16
u. Pamikul
Balok kayu yang dipasang dibawah pangheret, disebut juga panglari
yang berfungsi sebagai penahan usuk dan rangka atap.
v. Pangheret
Balok kayu yang dipasang diatas pamikul.
w. Sisiku
Kayu yang berfungsi untuk menahan pangeret dan bagian-bagian lain.
Jenis Bangunan dilihat dari Denah Rumah dan Letak Pintu
Menurut Harun et al. (2011), jenis-jenis bangunan rumah juga dapat dilihat
dari bagaimana letak pintu masuk dalam kaitan dengan arah bidang muka
bangunan. Berdasarkan hal ini dapat dibedakan antara rumah atas buka pongpok
dan buka palayu. Bidang muka rumah adalah sisi atau bidang bangunan rumah
tempat pintu masuk utama diletakan. Pintu masuk utama ini dapat berada di
bidang terpendek dari bangunan rumah yang disebut buka pongpok, atau dapat
berada dibidang atau sisiterpanjang bangunan rumah yang disebut buka palayu.
a. Buka pongpok (pintu masuk dibagian pendek rumah)
Rumah buka pongpok adalah rumah yang memiliki pintu masuk pada arah
terpendek atau arah lebar bangunan. Dalam perkembangan selanjutnya, potongan
buka palayu dan buka pongpok sering dipadukan menjadi potongan campuran
yang disebut sirit teuweul. Bubungan atap memiliki dua arah yang berbeda dan
masing-masing membentuk sedut tegak lurus, dengan pintu muka mengarah
sejajar dengan salah satu batang suhunan atau bubungan atap (Gambar 12).

Gambar 12 Denah rumah yang menghadap ke arah melebar (buka pongpok)
b. Buka palayu (pintu masuk di bagian panjang bangunan)
Nama bangunan disebut buka palayu bila letak pintu muka dari rumah
menghadap ke arah salah satu sisi dari bidang atapnya, atau kearah memanjang.
Dengan demikian, jika dilihat dari arah muka rumah, tampak dengan jelas

17
keseluruh garis suhunan yang melintang dari kiri ke kanan. Potongan buka palayu
pada umumnya menggunakan bentuk atap suhunan panjang atau sehunan pendek
yang juga disebut rumah jure. Disebut demikian karena mempergunakan batang
kayu yang menghubungkan salah satu atau kedua ujung suhunan dengan sudutsudut rumah (Gambar 13).

Gambar 13 Denah rumah yang menghadap ke arah memanjang (buka palayu)
Pemilihan Lokasi Kampung dan Rumah
Pada naskah kuno Sanghyang Siksakandang karesian dijabarkan pemilihan
lahan untuk pemukiman masyarakat dengan mempertimbangkan letak,
kemiringan, bekas masa lalu, warna dan aroma lahan, dan bentuk alamiah lahan
tersebut. Paling sedikit terdapat 19 jenis lahan yang memiliki pengaruh buruk dan
dapat mendatangkan bahaya atau bencana bagi penghuninya (Tabel 1) dan 6 jenis
lahan yang bersifat baik, yang mendatangkan kesejahteraan bagi penghuninya.
Lahan bumi yang dipercaya sebagai “sampah bumi” atau mala ning lemah, yaitu:
lahan sodong, sarongge, cadas gantung, mungkat pategang, lebak, rancak,
kabakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan,
garenggengan, lemah sahar, dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan
celeng, kolomberan, jariyan, dan sema. Sedangkan lahan yang bersifat baik dapat
dipilih dari jenis berikut: galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah
nangkub, gajah palisungan, gajah katunan, dan bulan purnama (Danasasmita et
al. 1982).
Menurut Danasasmita et al. (1982), terdapat tiga jenis tanah yang termasuk
buruk dan tidak layak untuk tempat mendirikan rumah atau perkampungan lainya,
yaitu: Gelagah katunan, yaitu dataran rendah yang dikelilingi dataran yang lebih
tinggi; Cagak gunting, yaitu lahan segi tiga yang diapit oleh dua jalur jalan atau
dua alur sungai; dan Jalan ngolecer, yang lebih dikenal dengan “nyunduk sate”,

18
yakni lahan atau bangunan persis ditotok atau jadi tumpuan jalan raya. Untuk
jelasnya pengertian tentang lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Sebaliknya,
lahan yang bersifat baik dan sesuai untuk lokasi pemukiman penduduk, dapat
dilihat Tabel 2.
Tabel 1 Daftar lahan bersifat negatif (mala ning lemah)
No.
1

2
3
4

5
6
7
8

9

10
11
12
13
14

15
16
17
18
19

Nama
Sodong

Uraian
Ceruk pada tebing, biasanya terbentuk pada aliran
sungai yang berbelok sehingga sisi luarnya tergerus
dan menjadi lubuk (Sunda: leuwi) tempat
persembunyian ikan. Dapat diartikan sebagai ceruk
atau goa dangkal yang umumnya pada tebing.
Sarongge
Tempat angker yang dihuni roh jahat, tempat-tempat
dipercaya menjadi "pangkalan" setan, jurig, dan ririwa.
Cadas gantung Cadas bergantung, sehingga di bawahnya terbentuk
naungan (shelter) alami.
Mungkal
bungkah berkelompok tiga, mungkin sebidang lahan
pategang
yang dikelilingi oleh bongkahan karang atau gundukan
batuan di sekelilingnya.
Lebak
Lurah atau ngarai, yakni permukaan lantai jurang,
terlindung dari pandangan dan sinar matahari.
Rancak
Batu besar bercelah atau lahan-lahan yang dikurung
oleh batu-batu besar sehingga sulit dihampiri.
Kebakan badak Kubangan atau kolam yang dipergunakan untuk
berkubang oleh badak.
Catang
batang kayu roboh dengan bangkot sebelah bawah.
nunggang
Merupakan lahan yang ditengahnya dipisahkan oleh
satu selokan/ngarai, namun dihubungkan oleh suatu
jembatan alami berupa cadas atau karang.
Catang
batang kayu roboh dengan bangkot di atas. Yakni,
nonggeng
sebidang lahan yang lokasinya terletak pada lereng
yang curam.
Garunggungan tanah membukit kecil.
Garenggengan Tanah kering permukaannya, namun di bawahnya
berlumpur.
Lemah sahar
Tanah panas, sangar, tempat bekas terjadinya
pembunuhan, atau pertumpahan darah.
Dangdang
Dangdang berair, kobakan. Yakni, lahan yang legok di
wariyan
tengah dan kedap air sehingga menggenang.
Hunyur
Sarang semut atau sarang rayap, yang berupa bukit
kecil atau gundukan tanah, lebih kecil dari gunung
(Sunda: incuna gunung. Gunung, pasir, hunyur).
Lemah laki
Tanah tandus, atau tanah berbentuk dinding curam.
Pitunahan
tempat berkeliaran babi.
celeng
Kolomberan
Kecomberan, atau genangan air yang mandeg.
Jarian
Tempat pembuangan sampah.
Sema
Kuburan.

19
Tabel 2 Daftar lahan bersifat positif
No. Nama

Uraian

1

Galudra ngupuk

Lahan yang terletak diantara dua bukit atau
gunung. lahan yang mendatangkan kekayaan
duniawi.

2

Pancuran emas

Lahan yang miring ke selatan dan barat.
Mendirikan bangunan pada lokasi ini