Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Lampung

KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL
TRADISIONAL LAMPUNG

RIAN ADETIYA PRATIWI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Desain Taman
Rumah Tinggal Tradisional Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Rian Adetiya Pratiwi
A44100094

ABSTRAK
RIAN ADETIYA PRATIWI. Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional
Lampung. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN.
Taman rumah tinggal tradisional dapat menjadi identitas dari suatu budaya. Guna
memperoleh gambaran yang nyata perlu dilakukan kajian mengenai desain taman
rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung. Penelitian ini
mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk taman rumah, tata letak, dan
maknanya serta menyusunnya kedalam konsep desain taman rumah tinggal
tradisional berbasis budaya Lampung. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode deskriptif melalui penelusuran informasi sejarah-kebudayaan dan
diverifikasi melalui survei lapang. Observasi lapang dilakukan di beberapa
wilayah Provinsi Lampung sebagai referensi, yakni Permukiman Tradisional
Kampung Wana dan Sukadana Darat, Pekon Kenali, dan Negara Tulang Bawang.
Halaman pada rumah tinggal tradisional Lampung dibagi menjadi tiga bagian,
yang terdiri dari halaman depan atau tengahbah/terambah/beruan, halaman
samping atau kebik/kakebik, serta halaman belakang atau kudan/juyu/kebon.

Elemen-elemen pembentuk taman rumah tinggal tradisional adalah gakhang
hadap, walai, lokasi dapur terbuka, tempat kayu bakar, dapur luar, kandang ternak,
serta tanaman.
Kata kunci: taman tradisional, budaya Lampung, taman rumah, konsep taman, tata
ruang

ABSTRACT
RIAN ADETIYA PRATIWI. Study on Design of Lampungnese Traditional Home
Garden. Supervised by ANDI GUNAWAN
Traditional home garden is one of cultural identities. In order to obtain a real
picture the study of traditional Lampungnese home garden have to be conducted.
Objectives of this study are to identify elements, layout, and interpretation and
composed them into a traditional Lampungnese home garden design concept. This
study was conducted by using descriptive analysis through historical-cultural
information retrieval and verified through field surveys. Study location consists of
Lampung Province as a reference, namenly Wana Village and Sukadana Darat,
Kenali Village, and Negara Tulang Bawang. The yard of Lampungnese house is
divided into three parts, a front yard or tengahbah/terambah/beruan, side yard or
kebik/kakebik/gelikhan, and backyard or kudan/juyu. The dominant open space is
an expanse of land or grass. The prominent elements of traditional Lampungnese

garden were walai, outdoor kitchen, livestock barns, gakhang and gakhang hadap,
and plants.
Key words: traditional garden, Lampungnese culture, home garden, garden
concept, spatial planning

© Hak cipta milik IPB, tahun 2014
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL
TRADISIONAL LAMPUNG

RIAN ADETIYA PRATIWI
Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arstitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Skripsi yang berjudul “Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Lampung“
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan
Mayor Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima
kasih kepada:

1. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan seluruh keluarga yang telah
memberikan kasih sayang, doa, bimbingan, kepercayaan serta dukungan dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan.
2. Dr Ir Andi Gunawan, MAgr.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi
sehingga penulis dapat menyelesaikannya.
3. Ir Qodarian Pramukanto, MSi. dan Fitriyah Nurul H Utami, ST.MT selaku
penguji pada ujian sidang yang telah memberikan masukan-masukan guna
memperbaiki sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
Pada akhirnya, harapan penulis semoga studi ini dapat memberikan manfaat
bagi berbagai pihak yang terkait dan berguna sebagai referensi bagi penelitian di
masa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Bogor, Agustus 2014
Rian Adetiya Pratiwi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

Kerangka Pikir Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Taman


3

Budaya dan Kebudayaan Lampung

4

Jenis-Jenis Arsitektur Tradisional Lampung

6

Syarat-Syarat Mendirikan Rumah Tinggal

10

Ragam Hias Arsitektur Bangunan Tradisional

12

Syarat-Syarat Dapur yang Baik


13

Kegiatan dalam Dapur Tradisional

14

METODE

15

Lokasi dan Waktu Penelitian

15

Metode Penelitian

16

Kerangka Kerja


16

HASIL DAN PEMBAHASAN

19

Hasil Studi Literatur

19

Hasil Wawancara

24

Hasil Observasi Lapang

29

Elemen Penyusun Taman Rumah Tinggal


36

Konseptualisasi Taman Rumah Tinggal Tradisional Lampung

38

SIMPULAN DAN SARAN

42

Simpulan

42

Saran

42

DAFTAR PUSTAKA

43

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Lokasi, jumlah, dan pemilik rumah objek penelitian
Daftar narasumber
Rincian jenis, bentuk dan sumber data penelitian
Komponen tata ruang rumah tradisional Lampung berdasarkan hasil
studi literatur
5 Perbandingan komponen tata ruang rumah tinggal tradisional Lampung
berdasarkan hasil wawancara
6 Perbandingan komponen tata ruang rumah tinggal tradisional Lampung
7 Perbandingan elemen penyusun taman rumah tinggal

17
18
18
20
25
29
37

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Kerangka Pikir Penelitian
Rumah tinggal mewah dan sederhana beserta denah
Walai
Sketsa ragam hias bangunan
Gambaran rumah tinggal dengan lingkungan
Lokasi penelitian
Tahapan penelitian
Pembagian halaman rumah tinggal tradisional Lampung
Sirkulasi di sekitar rumah tinggal tradisional Lampung
Pola permukiman memanjang
Rumah tanpa gerbang di Kampung Wana
Batas antar rumah tidak terlihat
Sirkulasi di sekitar rumah tinggal tradisional Lampung
Hiasan di tepas
Rumah tradisional tipe gajah mekhem di Sukadana darat
Bah lamban sebagai tempat penyimpanan
Dapur dan gakhang
Halaman rumah tinggal tradisional Lampung
Tanaman pada halaman rumah tinggal
Antar rumah yang berjarak dekat
Pembagian ruang menurut Booth (1988)
Rencana konsep taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya
Lampung

3
8
10
12
15
15
16
26
27
30
30
31
31
32
32
33
34
35
35
36
39
41

DAFTAR LAMPIRAN
23
24
25
26
27

Arsitektur Rumah Tinggal Tradisional Lampung
Tata Ruang Rumah Tinggal Tradisional Lampung
Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Tradisional Lampung
Glosarium
Riwayat Hidup

45
46
47
48
51

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya dan
berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh tanah air. Kondisi geografis
Indonesia dengan bentang alam yang terbentuk secara alami membentuk ragam
pola dan perilaku dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau suku.
Keberadaan setiap suku ini memiliki karakter budaya yang khas yang tergambar
dalam tradisi kedaerahan, aktivitas sosial, serta tata letak hunian yang digunakan
untuk mendukung kehidupan dalam bermasyarakat. Salah satu suku di Indonesia
yang memiliki budaya yang khas adalah Suku Lampung yang tersebar di Provinsi
Lampung dan sebagian Provinsi Sumatera Selatan.
Masyarakat suku Lampung masih memegang teguh ajaran dari leluhurnya
dengan masih mengikuti falsafah hidup ulun Lampung, yaitu Piil Pesenggiri. Piil
pesenggiri merupakan pedoman hidup masyarakat yang berupa perilaku pantang
menyerah dan perbuatan menjaga atau menegakkan nama baik serta martabat baik
secara perorangan maupun dalam kelompok kerabat (Kemenbudpar 2011).
Berdasarkan sejarah, kata Lampung berasal dari kata anjak lambung, yang
berarti berasal dari atas. Hal ini dimaksudkan bahwa Suku Lampung berasal dari
daerah yang tinggi atau dari daerah pegunungan. Daerah tinggi yang dimaksud
adalah daerah sekitar Sekala Bekhak yang terletak di sekitar kaki Gunung Pesagi
yang sekarang menjadi Kecamatan Belalau. Namun dalam perkembangannya,
masyarakat adat Lampung terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu masyarakat
adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun .
Dalam dua kelompok tersebut, masih terdapat pembagian kelompok
berdasarkan wilayah adat yang didiami oleh masing-masing kelompok.
Kebudayaan daerah yang terbentuk dalam wilayah atau daerah tertentu akan
diwariskan secara turun temurun ke generasi selanjutnya (Sulasman dan Gumilar
2013). Keragaman wilayah adat inilah yang memberikan ciri tersendiri bagi
hunian tradisional pada masing-masing wilayah.
Arsitektur vernakular dibangun untuk memenuhi kebutuhan spesifik
penghuninya dalam mengakomodasi nilai-nilai dan cara hidup berdasarkan
kebudayaan (Suharjanto 2011). Pada kehidupan masyarakat Lampung, rumah
tradisional dipandang sebagai salah satu bentuk adaptasi terhadap alam jika
ditinjau kondisi geografis dimana Provinsi Lampung merupakan salah satu
kawasan yang rawan bencana gempa bumi (Rostiyati 2013b).
Sedikitnya kajian mengenai desain taman rumah tinggal tradisional
mengakibatkan tidak adanya ciri khas dari taman Indonesia (Maningtyas 2011).
Kurangnya informasi mengenai taman rumah tinggal tradisional khususnya yang
berbasis budaya Lampung mengakibatkan rendahnya pemahaman dan apresiasi
masyarakat. Ketidaktahuan mengenai nilai budaya dalam arsitektur dan taman
rumah tradisional ini mengakibatkan rendahnya upaya masyarakat dalam
melestarikan tradisi warisan leluhur budayanya (Ibrahim dan Nandang 2011).
Oleh sebab itu kajian mengenai desain taman rumah tinggal tradisional Lampung
perlu dilakukan. Hal ini ditujukan untuk memperoleh gambaran yang nyata

2
mengenai taman rumah tinggal tradisional Lampung, agar tetap dapat dilestarikan
dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat Lampung.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji desain taman rumah tinggal
tradisional berbasis budaya Lampung melalui:
1) identifikasi elemen-elemen pembentuk taman, tata letak, filosofi dalam
pengaturan tata letak elemen lanskap pada taman rumah tinggal tradisional
Lampung, dan
2) penyusunan konsep desain taman rumah tinggal tradisional Lampung.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. memberi gambaran tentang desain taman pada rumah tinggal tradisional
Lampung bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya sehingga hasilnya
dapat dipergunakan untuk mengangkat dan memperkuat nilai-nilai budaya
Lampung, dan
2. memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap taman
rumah tinggal tradisional Lampung.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada area taman rumah tinggal tradisional Lampung.
Rumah yang dipilih sebagai objek penelitian adalah yang terletak di kampungkampung tua di beberapa kabupaten di Provinsi Lampung. Pemilihan rumah
didasari kepada potensi karakter kampung adat, sejarah Lampung, serta
masyarakat yang masih menjalankan aktivitas sesuai dengan kebudayaan
Lampung. Hasil akhir dari penelitian ini adalah laporan deskriptif serta usulan
konsep taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung. Kajian
difokuskan pada taman yang seharusnya ada berdasarkan budaya Lampung.

Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir dari penelitian ini dimulai dari melihat adanya keterkaitan
antara taman atau lingkungan rumah tinggal, arsitektur rumah tinggal, dan
pengaruh budaya masyarakat tradisional Lampung. Ketiga hal tersebut saling
mempengaruhi satu sama lainnya sehingga akan membentuk pola dan karakter
yang khas dari taman rumah tinggal. Pembentuk karakter yang khas pada taman
rumah tinggal tradisional Lampung antara lain adalah elemen-elemen pembentuk
taman, tata letak elemen, serta filosofi dari keberadaan dan tata letak tersebut.
Rumah tradisional Lampung dipandang sebagai suatu bentuk adaptasinya terhadap
alam dan lingkungan sekitar. Objek kajian antara lain adalah hubungan antara
rumah dengan taman dan lingkungan di sekitarnya, serta pengaruh dari budaya

3
masyarakat setempat. Dari semua informasi yang terkumpul, akan diformulasikan
menjadi konsep desain taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung.
Berikut adalah kerangka pikir penelitian (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Taman
Menurut Crowe (1981), taman adalah penghubung antara manusia dengan
dunia tempat mereka hidup dan tinggal. Semua manusia dengan beragam jenis
umur merasa memiliki kebutuhan untuk berdamai dengan lingkungan sekitarnya,
dan telah menciptakan taman untuk memuaskan keinginan dan aspirasinya. Salah
satu taman yang dapat mendukung fungsi rumah yang mengakomodasi kegiatan
penghuni rumah adalah taman rumah atau halaman. Menurut Depdikbud (1989)
halaman rumah merupakan tanah di sekitar rumah yang juga biasa disebut sebagai
pekarangan. Taman rumah merupakan bagian penting yang menjadi pelengkap
dalam kehidupan rumah tangga pemilik rumah. Dalam taman rumah atau halaman
terdapat hubungan timbal balik antara pemilik rumah dengan lingkungannya.
Suatu taman rumah dapat memberikan dua kesenangan kepada pemiliknya.
Pertama adalah kesenangan dalam memelihara tanaman sebagai sesuatu yang
memiliki nilai keindahan, dan yang kedua adalah kesenangan terhadap taman itu
sendiri secara keseluruhan sebagai bagian dari tempat tinggal dan juga memiliki
keindahan untuk dipandang (Crowe 1981). Taman rumah tinggal harus sesuai
dengan kebutuhan dan cara hidup pemilik rumah. Taman rumah tinggal harus
mampu mendukung, mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan dari pemilik
rumah (Erler dan Fell 1991). Taman rumah memiliki bentuk dan fungsi yang

4
spesifik yang sangat erat hubungannya dengan keinginan serta pemanfaatan oleh
pemiliknya. Nilai keindahan dari sebuah taman rumah ditentukan oleh pemiliknya
(Ingels 1997)
Untuk dapat menciptakan taman dengan tanaman yang baik, diperlukan
pemahaman terhadap tanaman dan juga harus memiliki sensitivitas terhadap
warna dan bentuk dari tanaman tersebut. Sementara untuk menciptakan taman
yang indah secara keseluruhan, diperlukan adanya pemahaman mengenai hukum
keselarasan dan komposisi antara elemen lunak dan elemen keras untuk
menciptakan keseimbangan dalam taman. Selain kedua hal tersebut, yang perlu
diperhatikan dalam merencanakan taman adalah faktor keindahan, privasi,
kenikmatan, kemanan, serta kenyamanan.
Taman rumah tinggal atau juga disebut sebagai pekarangan merupakan
sebidang lahan dengan batas tertentu, ada bangunan tempat tinggal di atasnya dan
umumnya ditanami dengan berbagai jenis tumbuhan. Pekarangan memiliki fungsi
ganda yang merupakan integrasi antara fungsi alami dengan fungsi untuk
memenuhi kebutuhan sosial-budaya-ekonomi manusia. Fungsi tersebut antara lain
adalah fungsi hidroorologi, pemeliharaan sumberdaya genetik tanaman, memberi
kenyamanan bagi rumah, produksi, dan estetika. Fungsi sosial dari pekarangan
terutama dapat diliat di perdesaan. Biasanya pekarangan merupakan simbol status.
(Soemarwoto 1987).
Budaya dan Kebudayaan Lampung
Secara etimologis, kata kebudayaan berasal dari bahasan Sanskerta,
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau
budi. Menurut Koentjaraningrat (1984), kebudayaan merupakan keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
bermasyarakat yang dijadikan miliknya sendiri dengan cara belajar. Menurut
Depdikbud (1989), kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan penciptaan manusia,
seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan
serta pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah lakunya; serta hasil
penciptaan akal budi dari lingkungan sekitarnya dan dipergunakan untuk
kesejahteraan hidupnya. Manusia dibekali dengan kemampuan beradaptasi secara
kultural, yang memungkinkan manusia memperoleh penghidupan dari
memanfaatkan lingkungannya. Kemampuan adaptasi secara kultural juga terdiri
dari ideologi. Budaya merupakan satu set ide yang dipelajari dari pengalaman,
terpola, dan diteruskan dari generasi ke generasi (Selby dalam Kottak 1975).
Kebudayaan memiliki tiga aspek atau wujud. Wujud kebudayaan antara
lain adalah kebudayaan sebagai tata keakuan manusia, kebudayaan sebagai
kelakuan manusia, dan kebudayaan sebagai hasil kelakuan manusia. Tata
kelakuan merupakan suatu jaringan dari cita-cita, norma-norma, aturan serta
pandangan yang dapat disebut adat istiadat (Koentjaraningrat, 1984). Kebudayaan
daerah adalah sistem nilai budaya yang berfungsi untuk menata perilaku dari suatu
masyarakat dan juga menghasilkan benda untuk kehidupan sehari-hari. Sistem
nilai budaya merupakan suatu rangkaian dan konsep abstrak yang hidup dari
pikiran masyarakat tentang segala sesuatu yang dianggap penting dan berharga
(Rostiyati, 2013a). Budaya nilai merupakan nilai paling tinggi dari adat istiadat

5
yang mengatur kehidupan masyarakat. Hidup manusia mengejar nilai, dan nilai
yang dikejar dipengaruhi oleh pandangan hidup atau cita-cita hidup (Hadikusuma
1989). Menurut Vansina (2014) masyarakat dalam suatu komunitas tertentu akan
memiliki ciri yang berbeda dari komunitas lain. Hal ini sesuai dengan kondisi
masyarakat Lampung yang mempunyai seperangkat nilai budaya yang terbentuk
dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya.
Sikap serta tingkah laku masyarakat Lampung tercermin dari falsafah piil
pesenggiri. Secara harfiah piil pesenggiri merupakan landasan dan pedoman tata
hidup atau perilaku manusia yang agung dan luhur yang memiliki nilai dan makna
serta harus dipelajari dan pantang untuk dilanggar (Irianto dan Margaretha 2011).
Falsafah piil pesenggiri mengandung empat unsur, yaitu sakai sambaian, nemui
nyimah, nengah nyappur, dan bejuluk beadek. Sakai sambaian berarti bersedia
untuk saling tolong menolong dengan sesama. Unsur kedua adalah nemui nyimah
yang berarti mau membuka diri terhadap orang lain (tamu) dengan sikap yang
ramah, bermurah hati, dan penuh sopan santun. Unsur ketiga adalah nengah
nyappur yakni memiliki sikap terbuka, berpengetahuan luas, dan memiliki
keinginan untuk berpartisipasi dalam semua hal yang baik. Serta unsur yang
terakhir yakni bejuluk beadek berarti menjaga nama baik (gelar) dan menghormati
orang lain atas jasa dan peranannya dalam masyarakat yang diatur secara adat dan
dilaksanakan turun-temurun.
Ada beberapa teori mengenai asal muasal dari masyarakat suku Lampung.
Menurut Broesma dalam Dekdikbud (1998) residen Lampung pertama pernah
membaca buku yang berjudul Sejarah Majapahit yang menceritakan bahwa kata
Lampung berarti op het water drijven yang artinya terapung di atas air. Buku
tersebut menceritakan bahwa Tuhan menurunkan empat orang ke bumi yang salah
satunya adalah Si Lampung atau ratu Balau. Teori asal mula suku Lampung
berasal dari legenda yang menyatakan bahwa masyarakat Lampung berasal dari
daerah Tapanuli. Ketika Danau Toba terbentuk, terjadi ledakan gunung besar yang
mengakibatkan masyarakat Tapanuli pergi menyelamatkan diri. Salah satu
keturunan dari Tapanuli tersebut tiba dan hidup di daerah Lampung bagian barat
(Depdikbud 1998).
Teori terakhir adalah teori Hadikusuma (1976), yang mengemukakan bahwa
asal-usul masyarakat Lampung erat hubungannya dengan kata to-lang-po-hwang
yang jika dieja atas kata to yang berarti dalam bahasa Toraja, dan lang-po-hwang
yang merupakan kepanjangan dari kata Lampung. Sehingga menurutnya kata tolang-po-hwang berarti orang Lampung. Selain itu, Hadikusuma (1976)
menyatakan bahwa masyarakat Lampung berasal dari pendatang dari Pagaruyung
ke daerah Sekala Bekhak yang sudah ada dari abad 14 M.
Pelapisan sosial dalam kehidupan kemasyarakatan didasarkan pada prinsip
perbedaan tingkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, serta perbedaan sifat
keaslian. Apabila ditinjau dari segi adat, masyarakat Lampung dibedakan menjadi
dua kelompok adat, yakni masyarakat yang beradat pepadun dan masyarakat yang
beradat saibatin. Masyarakat Lampung yang beradat pepadun terutama
merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pedalaman. Pada
masyarakat pepadun, kepenyimbangan yang tertinggi kedudukannya adalah
pepadun marga, kemudian pepadun tiyuh, dan pepadun suku. Sementara
masyarakat saibatin merupakan masyarakat peminggir yang kebanyakan berdiam
di daerah pesisir selatan. Pada masyarakat saibatin hanya dibedakan menjadi dua

6
golongan, yakni golongan buay asal dan golongan pendatang. Masyarakat adat
saibatin kental dengan nilai aristokrasinya, sementara masyarakat adat pepadun
memiliki nilai-nilai demokrasinya. Adanya dua golongan adat ini pula yang
menjadi semboyan dari Provinsi Lampung, yaitu “Lampung sai bumi ruwa jurai”
yang artinya adalah Lampung satu bumi dua keturunan.
Bila ditinjau dari segi bahasanya, masyarakat Lampung terbagi menjadi dua
golongan pula, yaitu masyarakat Lampung Belalau atau masyarakat yang
berdialek api atau A, dan masyarakat Lampung Abung atau masyarakat yang
berdialek nyow atau O (Depdikbud, 1998). Bahasa dialek A dipakai oleh
sebagian besar masyarakat Lampung saibatin dan sebagian kecil masyarakat
pepadun, sementara bahasa dialek O dipakai hanya oleh masyarakat pepadun.
Lampung juga memiliki aksara tersendiri yang dikenal dengan aksara Lampung
atau had Lampung. Had Lampung terdiri dari huruf induk yang berjumlah 20,
anak huruf, dan anak huruf ganda serta gugus konsonan, juga terdapat lambang,
angka, dan tanda baca (Depdikbud 1998).

Jenis-Jenis Arsitektur Tradisional Lampung
Arsitektur dalam bahasa Latin architektura berarti gaya bangunan dan seni
bangunan. Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk, fungsi, dan
ragam hiasnya serta cara pembuatannya diwariskan secara turun-temurun serta
dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan oleh masyarakat (Depdikbud
1978). Bagi masyarakat Lampung, jenis-jenis bangunan tersebut dibedakan
menurut sifat pemakaiannya. Menurut sifatnya, ada lima jenis bangunan yaitu
arsitektur tradisional tempat tinggal, arsitektur tradisional untuk upacara
keagamaan, arsitektur tradisional untuk kegiatan komunal, arsitektur tradisional
tempat penyimpanan, dan arsitektur tradisional untuk keamanan. Dalam konteks
bahasan taman rumah tinggal tradisional Lampung, yang akan dibahas hanyalah
arsitektur tradisional tempat tinggal dan arsitektur tradisional tempat
penyimpanan.
Jenis bangunan tempat tinggal yang digunakan secara permanen ada dua
macam, yaitu rumah tempat tinggal untuk orang biasa/rakyat dan rumah tempat
tinggal kepala adat/penyimbang. Rumah tempat tinggal untuk rakyat biasa
dinamakan nuwou/lamban/lambahan sementara tempat tinggal untuk penyimbang
adat dinamakan lamban/nuwou balak. Bangunan untuk beribadah biasanya
digunakan secara tetap sesuai dengan fungsinya yaitu masjid atau mesigit.
Sementara untuk jenis bangunan tempat bermusyawarah adat selalu merupakan
bangunan yang permanen (Depdikbud 1978). Bangunan tempat tinggal sementara
ada tiga yaitu kubu/kubuw/petaruan, kepalas/sapeu, dan anjung/sapu/sapeu.
Kubu/kubuw/petaruan adalah bangunan yang didirikan secara tergesa-gesa untuk
tempat berteduh di ladang. Kepalas atau sapeu adalah bangunan yang dibangun
dengan empat tiang dan sebagian dinding untuk tempat menjaga ladang.
Anjung/sapu/sapeu adalah bangunan yang serupa rumah namun dibangun di
ladang hanya untuk pemakaian sementara selama menjaga ladang (Depdikbud
1978).

7
Arsitektur Tradisional Tempat Tinggal
Tempat tinggal atau rumah biasa disebut lamban,nuwou, atau lambahan
oleh masyarakat Lampung. Pada umumnya bangunan rumah tradisional Lampung
berbentuk segi empat dan persegi panjang yang oleh masyarakat Lampung disebut
sebagai pesagi atau mahanyuk’an untuk yang berbentuk persegi panjang. Bagian
rumah yang pendek atau lebar biasanya menghadap ke jalan raya. Sedangkan
bagian panjangnya membujur ke belakang (ijung kudan/juyu/buri) (Depdikbud
1978). Rumah tradisional Lampung umumnya dibangun dari kayu-kayu yang
dihubungkan dengan tali rotan. Rumah tradisional dibangun dengan kayu yang
saling diikat merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang rawan gempa.
Tangga masuk dan keluar umumnya dapat dinaik-turunkan. Atap rumah dibuat
dengan memanfaatkan bahan alami seperti ijuk atau rumbia. Bentuk atap biasanya
disebut limas giccing. Perbedaan bentuk dari rumah tinggal sederhana dan mewah
dapat dilihat pada Gambar 2.
Pembagian ruang di dalam rumah tradisional Lampung dipengaruhi oleh
faktor hubungan kekerabatan atau nilai-nilai tradisi yang berlaku antar anggota
keluarga atau kerabat. Di dalam rumah terdapat ruang-ruang tertentu yang hanya
boleh dimasuki oleh penghuni tertentu saja. Namun setiap rumah umumnya
memiliki tempat yang dapat dimanfaatkan secara bersama untuk para tamu,
kerabat, serta anggota keluarga. Ruang yang dapat dimanfaatkan bersama ini
biasanya terletak di bagian depan atau tengah rumah. Pada suatu rumah tradisional
biasanya hanya terdapat dua kamar tidur utama.
Pada rumah tradisional Lampung pepadun ruang-ruang yang dapat
dijumpai di dalam rumah antara lain adalah ruang tepas, agung, kebik temen,
kebik tengah, kebik changkebik temen, kebik changek, gakhang, dapur dan
ganyang besi. Penamaan ruang dapat berbeda di daerah yang berbeda, namun
secara garis besar kegunaan dan fungsi ruang relatif sama.
a) Tepas
Tepas merupakan ruang serambi atau beranda terbuka pada bagian depan
rumah yang berhubungan langsung dengan ijan/jan (tangga) naik ke rumah
tradisional Lampung. Ruang ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau
tempat anggota keluarga bersantai melepas lelah. Serambi ini juga memiliki
fungsi sebagai tempat pemuda untuk melakukan mufakat (merwatin). Lantai pada
ruang ini biasanya pada rumah mewah menggunakan lantai papan kayu,
sedangkan pada rumah yang sederhana biasanya menggunakan bilah bambu.
Tepas dibuat seolah-olah mengundang tamu untuk mampir. Keberadaan tepas
merupakan cerminan dari sikap nemui nyimah yang dianut oleh masyarakat
Lampung yaitu terbuka terhadap tamu dan suka memberi.
b) Ruang Agung
Ruang agung berada di tengah rumah dan berfungsi sebagai ruang untuk
kegiatan merwatin. Lantai ruang ini lebih tinggi dari tepas, artinya ruang ini
hierarkinya lebih tinggi. Keberadaan ruang ini merupakan cerminan dari sikap
sakai sambaian. Setelah melewati pengidangan ragah, ada ruang yang sama
besarnya, yakni ruang pengidangan sebai. Ruang ini berfungsi sebagai ruang
dimana wanita berbincang-bincang. Ruang ini juga bisa dipakai untuk tempat
tidur anak-anak yang telah lepas menyusui atau untuk tamu wanita serta dapat
dipakai sebagai ruang tempat menjamu kerabat dekat.

8

Gambar 2 Rumah tinggal mewah dan sederhana beserta denah
(Sumber : Depdikbud 1996)
c) Kebik Pates, Kebik Temen, Kebik Tengah, dan Kebik Changek
Pada rumah masyarakat Lampung Melinting, tepat di sebelah ruang agung
terdapat kamar tidur (pates). Ruang lapang lom dengan pates dipisahkan oleh
dinding atau penyekat. Ruang tidur ini biasa digunakan sebagai tempat tidur istri
atau ibu rumah tangga beserta anak balita. Pates bersebelahan dengan lambe
pates. Ruang ini berfungsi untuk penghuni yang sakit atau sudah manula atau
untuk tempat memandikan jenazah. Sementara pada masyarakat adat di desa
Blambangan Pagar Lampung Utara selain ruang untuk ibu, ruang atau kamar
lainnya dibagi untuk anak lelaki tertua, wanita, serta untuk anak laki-laki kedua.
d) Gakhang
Gakhang merupakan tempat untuk mencuci peralatan rumah tangga.
Biasanya gakhang berada di bagian belakang rumah, bersebelahan dengan dapur.

9
e) Dapur
Posisi dapur di dalam rumah adalah tepat setelah melewati lapang lom.
Lantai dapur dan gakhang biasanya lebih rendah dibanding lantai pada ruang
sebelumnya. Pada tipe rumah mewah dan tipe rumah sederhana, antara lapang
lom dan dapur serta gakhang dihubungkan oleh semacam koridor penghubung
yang disebut geragal/jembat/jerambah. Bagian geragal diberi atap yang sama
tingginya dengan atap dapur. Selain sebagai tempat memasak dan tempat tungku,
ruang dapur juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan, baik peralatan
memasak maupun peralatan makan, dan pertanian.
f) Ganyang Besi
Ruang ini biasa dipergunakan oleh anggota keluarga yang belum
berkeluarga sebagai tempat untuk beristirahat. Ruang ini biasanya dibatasi dengan
lidung suluh merah ati.
Ruang yang berhubungan langsung terhadap ruang luar rumah adalah tepas.
Selain karena terletak di bagian depan rumah, tepas juga merupakan tempat
pemilik rumah menerima tamu dan bersosialisasi. Pandangan dari atas tepas ke
depan rumah tidak terhalang apapun sehingga pemilik rumah bisa melihat jauh ke
depan rumah. Selain tepas, ruang lain yang memiliki hubungan terhadap ruang
luar adalah dapur dan gakhang. Rumah tradisional biasanya memiliki pintu keluar
lain di bagian belakang rumah yakni di dapur. Serupa dengan tepas, dapur juga
merupakan tempat bersosialisasi pemilik rumah. Selain itu, karena hierarki ruang
dapur yang lebih rendah, dapur dapat dilalui siapa saja baik keluar ataupun masuk
ke rumah. Dapur biasanya langsung terhubung dengan halaman samping atau
halaman belakang (Depdikbud 1996).
Arsitektur Tradisional Tempat Penyimpanan
Arsitektur tradisional Lampung yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan dinamakan walai atau balai (Gambar 3). Walai atau balai
merupakan lumbung padi yang berbentuk segi empat, bertiang panggung, dan
berfungsi untuk menyimpan padi hasil panen. Walai atau balai biasanya dibangun
berkumpul pada tanah ulayat desa yang letaknya jauh di luar kampung berdekatan
dengan areal persawahan. Hal ini dimaksudkan agar kotoran dari proses
pengolahan padi tidak mengotori permukiman (Kemenbudpar 2011).
Walai atau balai hanya terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan (lepau)
dan bagian dalam (lom walai). Walai memiliki dua jenis tiang yaitu thiang
kelindang dan thiang panggung (Kemenbudpar 2011). Tangga pada walai tidak
dipasang permanen, namun bisa dilepas dan digantung di lepau atau diletakkan
dibawah walai. Untuk naik ke walai dapat digunakan dua cara, bagi walai yang
tiangnya rendah dapat langsung dinaiki tanpa menggunakan jan, sementara untuk
walai yang bertiang tinggi dinaiki dengan menggunakan jan. Jan yang digunakan
untuk naik ke walai terbuat dari kayu yang ditakik pada salah satu sisinya sebagai
tempat panjatan (Kemenbudpar 2011).
Teras pada walai disebut lepau, yaitu ruang kecil yang berada di bagian
luar. Lepau pada walai ada yang berdinding setengah ada juga yang tidak
berdinding. Bagian lepau terlihat seperti menggantung keluar karena tidak ada
tiang yang menyangga secara langsung. Lepau biasa digunakan untuk tempat
mengilik atau mengipik padi, yaitu kegiatan menginjak-injak padi melepaskan

10
bulir padi dari tangkainya. Kegiatan ini bisa dilakukan baik oleh lelaki maupun
oleh perempuan. Kegiatan mengilik ini sekarang hanya digunakan untuk daerah
yang menanam padi sejeghuk. Selain itu, lepau juga digunakan untuk meletakkan
padi yang baru dipanen dan masih disengol atau diikat pada daun padi.

Gambar 3 Walai
Ruang utama yang merupakan bagian dalam dari walai disebut sebagai
lom walai. Ruang ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Lom walai juga
disebut sebagai hamejong yang berarti duduk. Apabila dalam satu keluarga adik
dari anak laki-laki pertama belum memiliki walai sendiri, hasil panennya bisa
dititipkan pada walai kakak tertuanya.
Lantai dan dinding walai terbuat dari bambu dan ijuk. Bilah bambu tua
dibelah dan kemudian dipukul-pukul hingga mejadi lentur. Bilah yang telah lentur
ini kemudian dilapisi dengan ijuk dan ditutup lagi dengan lapisan bilah lentur lain.
Lapisan-lapisan ini disusun sehingga membentuk dinding dan lantai walai.
Lapisan yang tebal ini aman dari serangan hama tikus. Atap walai dahulu biasa
menggunakan ijuk, namun sekarang karena keterbatasan bahan sudah banyak
yang beralih menggunakan seng. Umumnya walai hanya dimanfaatkan untuk
menyimpan padi, namun terkadang juga bisa dijadikan tempat untuk menyimpan
kopi atau lada. Biasanya jika dipakai untuk menyimpan kopi atau lada, walai tidak
dibangun berkumpul tetapi diletakkan dibelakang rumah atau di tengah kebun
yang selalu ditunggu oleh pemiliknya (Kemenbudpar 2011).

Syarat-Syarat Mendirikan Rumah Tinggal
Mendirikan rumah tinggal atau betegi nuwou dalam budaya Lampung
memerlukan syarat-syarat tertentu. Persiapan pertama yang harus dilakukan
adalah mengumpulkan penyimbang-penyimbang adat atau warei menyanak untuk
bermusyawarah menentukan hari baik. Dahulu, orang yang akan melaksanakan

11
betegi nuwou harus menyediakan kerbau, kambing, atau ayam. Penyediaan hewan
potong ini disesuaikan dengan kemampuan pemilik hajat (Depdikbud 1992).
Sebelum hari pembangunan rumah, malam harinya pemilik hajat harus
melaksanakan upacara nyebut. Upacara ini dilakukan untuk memohon pada yang
ghaib di tanah tempat rumah akan dibangun. Ghaib maksudnya adalah para
penghuni bumi dan tanah tempat rumah akan didirikan. Inti dari upacara ini
adalah penghuni rumah berdoa dan memohon agar saat rumah telah dibangun
tidak ada makhluk jahat yang mengganggu. Pelengkap yang diperlukan dalam
upacara ini adalah bubur merah, bubur putih, rokok, sirih, dan kemenyan yang
dibakar. Bersamaan dengan proses ini, orang-orang tua yang dipercaya memiliki
kekuatan melakukan upacara nyebut dengan mengikrarkan mantra-mantra
tertentu.
Setelah upacara nyebut dilaksanakan, peserta upacara tidak boleh tidur
sampai tiba hari upacara betegi nuwou dilaksanakan. Hal ini dipercaya oleh
masyarakat perlu dilakukan untuk mengawasi supaya tanah yang akan
dipergunakan untuk pembangunan tidak diganggu oleh makhluk jahat. Dini hari
keesokan harinya, diistilahkan saat masyarakat belum melihat ada lalat yang
terbang, ari tengah atau tiang tengah dari rumah harus sudah didirikan
(Depdikbud 1992). Sesajian yang telah disiapkan sebelumnya akan ditanam
bersamaan dengan pemasangan tiang pertama rumah. Sesajian itu antara lain
berupa baning atau kura-kura air tawar, anak burung puyuh, lipan, ayam hitam, air
dari tujuh sungai, serta tujuh buat batu (Dinas Pendidikan Provinsi Lampung
2002).
Sesajian ditanam bersamaan dengan tiang rumah memiliki maksud
tertentu. Baning atau kura-kura air tawar melambangkan harapan agar atap rumah
dapat berdiri kokoh atau sekuat punggung baning. Anak burung puyuh
menggambarkan harapan agar penghuni rumah dapat hidup mandiri seperti anak
puyuh yang baru menetas dari telur. Lipan atau kelabang melambangkan harapan
agar penghuni rumah selalu sehat. Ayam sering mengorek tanah sehingga
meninggalkan bekas, sehingga sesaji ayam dimaksudkan agar rumah
meninggalkan kesan yang membekas bagi mereka yang melihatnya. Air dari tujuh
sungai merupakan harapan agar suasana rumah selalu sejuk dan nyaman.
Sementara batu tujuh buah melambangkan harapan agar kehidupan rumah tangga
dapat menjadi sekuat batu (Dinas Pendidikan Provinsi Lampung 2002).
Ketika rangka rumah sudah terbentuk, sesaji atau uba rampe berupa kelapa
bulat, kendi berisi air, tebu hitam, beras kuning, uang logam, pisang emas, kue
tapai, lepat, dan bendera digantung atau dililit di atas kuda-kuda atap rumah.
Adzan dikumandangkan bersamaan dengan kendi yang dipecahkan, sementara
pisang dan uang dihamburkan bersamaan. Hal ini dilakukan dengan harapan agar
seisi rumah dijauhkan dari musibah, dimudahkan rezekinya dan mendapatkan
kenyamanan dalam rumah barunya. Sesaji merupakan pesan tentang hakekat
pembuatan rumah yang disampaikan dengan cara yang mudah dipahami oleh
masyarakat pada awal tradisi pembuatan rumah tinggal tradisional Lampung
(Depdikbud 1992).

12
Ragam Hias Arsitektur Bangunan Tradisional
Bangunan rumah tinggal tradisional merupakan bentuk kebanggaan dari
pemiliknya sehingga kerap kali diperindah dengan ukiran-ukiran dan ragam hias
tertentu. Beragam motif hias dapat dijumpai di bagian luar rumah tradisional
Lampung. Ragam hias yang umum dipakai antara lain motif flora, fauna, alam,
dan ukiran-ukiran kaligrafi. Umumnya ragam hias yang terletak di bagian luar
rumah tidak diberi warna khusus namun menyesuaikan dengan warna dinding
rumah, yakni warna kayu alami. Ragam hias tidak dipolakan, melainkan langsung
diukir pada bagian rumah yang ingin diberi ragam hias tertentu. Ragam hias yang
sering dipakai antara lain motif malai pinang, kembang melur, daun buluh, dan
kembang kacang. Ragam hias motif bunga biasanya diletakkan pada bagian atas
pintu, jendela, dan diatas jendela (Gambar 4 (1)) (Depdikbud 1987).

Gambar 4 Sketsa ragam hias bangunan
Sumber: Depdikbud 1987
Ragam hias fauna yang umum digunakan antara lain berupa gambar
burung dan ulai laga atau ular berkelahi (Gambar 4 (2) dan 4 (3)). Jenis burung
yang sering digambarkan adalah burung merak (kuau) pada rumah tinggal dan
burung garuda pada bangunan komunal. Sementara jenis ular yang sering
digambarkan adalah ulai sinduk (ular sendok) dan ular piton. Selain hiasan ukiran,
tanduk kerbau, tanduk kambing, tanduk menjangan (uncal), dan tanduk sapi juga
seringkali dipasang di depan rumah sebagai hiasan (Gambar 4 (6)).
Pemakaian ragam hias burung merak melambangkan keindahan dan
kejujuran, ukiran bulu burung merak dipercaya dapat menangkal masuknya
makhluk halus ke rumah. Ular melambangkan sifat manusia, yaitu akan membela
dirinya jika sedang dalam masalah dan tidak akan mengganggu jika tidak diusik.
Sementara itu tanduk hewan yang diawetkan melambangkan kebanggaan dari
pemilik rumah. Berbeda dengan ukiran yang biasanya dipasang di atas pintu atau
jendela, tanduk hewan biasanya dipasang di tiang rumah.
Selain flora dan fauna, ragam hias pada bangunan juga terkadang meniru
bentuk alam seperti bentuk matahari, bulan, dan bukit. Bentuk matahari terkadang

13
dibuat sekaligus berupa lubang angin atau lubang penghawaan bagi rumah
(Gambar 4 (2)). Pada lamban pesagi di Kenali dijumpai pula ragam hias
berbentuk ujung perahu (paguk) yang dipasang pada ujung-ujung rumah (Gambar
4 (5)). Rumah dengan hiasan paguk ini menandakan bahwa rumah adalah milik
penyimbang.
Masuknya agama Islam yang mempengaruhi pola ragam hias pada
arsitektur tradisional Lampung terlihat dari pemakaian kaligrafi sebagai ragam
hias bangunan. Ukiran kaligrafi biasanya dipasang di atas pintu masuk rumah.
Ukiran yang sering dipakai adalah lafaz basmallah serta ukiran nama Allah SWT
dan Nabi Muhammad SAW. Tujuan dari dihiasnya rumah dengan ukiran kaligrafi
adalah agar penghuni ingat pada agamanya serta agar dilindungi dari musibah
(Depdikbud 1987).

Syarat-Syarat Dapur yang Baik
Pembangunan rumah dilakukan bersamaan dengan pembangunan dapur
(Depdikbud 1992). Beberapa prinsip dalam pembangunan dapur antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Dapur harus berada di sisi kiri bagian belakang rumah. Pandangan ini
didasari kepercayaan masyarakat bahwa sisi kanan rumah hierarkinya lebih
tinggi dibandingkan sisi kiri rumah. Posisi dapur di belakang karena ruangan
depan rumah diperuntukkan untuk kaum lelaki sementara bagian belakang
diperuntukkan bagi perempuan. Peletakkan dapur di bagian belakang rumah
dirasa sudah tepat karena jarak dapur dan tempat perempuan berkumpul
dekat dan tidak perlu melalui banyak ruangan untuk mencapainya.
b. Air untuk memasak tidak boleh dibawa ke dapur melalui ruangan lain dalam
rumah, sehingga ada ungkapan “way mak ngasi kukhuk lamban”. Artinya
harus diusahakan bahwa dapur memiliki pintu sendiri untuk langsung
terhubung dengan pekarangan di luar rumah.
c. Asap dapur dari tungku harus diupayakan tidak memasuki ruangan dalam
rumah. Atas dasar inilah pada dapur masyarakat Lampung selalu ditemui
jendela, sedangkan dinding diatas tungku selalu dibuatkan kisi-kisi atau
ventilasi.
d. Tungku dapur tidak diperkenankan berada dalam posisi lurus dengan pintu
depan rumah atau dikenal dengan istilah “nyani tukku mak ngasi lukhus
khangok depan / ngeguai tekkou mak ngasi lukhus jamo belangan.” Hal ini
didasari oleh kesadaran jika posisi tungku lurus dengan pintu utama rumah,
maka saat pemilik rumah sedang membelakangi pintu akan langsung terlihat
oleh tamu.
e. Letak tungku harus menghadap sisi samping kiri rumah, sehingga pemilik
rumah ketika memasak tidak akan membelakangi lapang agung. Hal ini
didasari pandangan masyarakat bahwa posisi membelakangi ruangan tempat
berkumpul keluarga merupakan hal yang tidak sopan. Terlebih ketika sedang
ada orangtua di ruangan tersebut. Oleh sebab itu tungku selalu menghadap ke
samping kiri rumah.

14
Kegiatan dalam Dapur Tradisional
Bagi masyarakat Lampung membangun rumah berarti membangun dapur,
karena dapur keluarga khususnya merupakan bagian langsung dari organisasi
rumah tinggal. Pengetahuan tentang syarat mendirikan rumah ternyata sekaligus
merupakan syarat untuk mendirikan dapur. Hal ini dikarenakan ruang dapur
menyatu dengan organisasi ruang rumah tinggal secara keseluruhan. Kegiatan
dalam dapur tidak terlepas dari kegiatan sehari-hari serta kegiatan pada upacara
tertentu yang dilaksanakan oleh pemilik rumah (Depdikbud 1992).
Pola makan masyarakat Lampung banyak mempengaruhi dan mendasari
kegiatan di dapur. Selain itu, konsep masyarakat Lampung mengenai bertandang
gadis atau manjau juga mempengaruhi kegiatan di dapur. Anak gadis dalam suatu
rumah bertugas untuk memasak dan bekerja di dapur. Kegiatan di dapur rumah
akan terhenti sejak pukul 18.00 hingga pukul 20.00. Kegiatan di dapur akan
dimulai kembali selepas sholat isya sampai pukul 24.00 malam. Sambil
melakukan kewajibannya di dapur ini akan gadis akan didatangi oleh bujang yang
menyapa dari luar rumah (Depdikbud 1992). Oleh sebab itu dapur merupakan
tempat terjadinya interaksi antara pemilik rumah dengan orang lain.
Selain kegiatan memasak utama dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh
gadis di dapur rumah, ada pula kegiatan tertentu yang sewaktu-waktu biasa
dilakukan di dapur. Berdasarkan hal ini, maka ada jenis dapur lain selain dapur
utama di dalam rumah yang dimanfaatkan dalam kegiatan masyarakat Lampung.
Kegiatan ini umumnya berkaitan dengan industri rumah tangga baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri ataupun untuk menambah penghasilan keluarga.
Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah membuat minyak kelapa (nanok),
membuat kecap, membuat kopra, membuat garam, membuat gula merah,
mengasapkan ikan (napa iwa), membuat kerupuk ikan, membuat wadah anyaman,
membuat gerabah, dan membuat arang serta kapur. Dapur untuk kegiatan seperti
ini biasanya dibangun di belakang rumah utama. Meskipun tidak selalu dipakai,
namun bangunan untuk dapur ini sudah dibangun semi permanen.
Pada kegiatan menyangkut upacara tertentu, dapur permanen dalam rumah
terkadang tidak lagi mampu mendukung. Seperti pada upacara-upacara
kebudayaan seperti pernikahan, kelahiran anak, sebambangan, betegi
nuwou,bucukogh, busunat dan sebagainya, keberadaan dapur di luar rumah sangat
diperlukan. Ketika kegiatan memasak tidak lagi dapat dilakukan di dalam rumah,
maka keberadaan dapur sementara di luar rumah sangat diperlukan. Upaya yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan mendirikan dapur di luar
rumah, dekat dengan dapur permanen yang biasa disebut dengan
kubu/tatarup/sudung. Gambaran lingkungan rumah dengan dapur yang berada di
luar rumah dapat dilihat pada gambar 5.

15

Gambar 5 Gambaran rumah tinggal dengan lingkungan
Sumber: Depdikbud 1987

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi di wilayah Provinsi Lampung
sebagai referensi, seperti Permukiman Tradisional Desa Wana dan Sukadana
Darat di Kabupaten Lampung Timur, Pekon Kenali di Kabupaten Lampung
Barat, dan Negara Tulang Bawang di Kabupaten Lampung Utara (Gambar 6).
Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, yaitu dimulai dari minggu keempat
bulan Januari 2014 hingga minggu keempat bulan Maret 2014.

Gambar 6 Lokasi Penelitian
(Sumber: http://1.bp.blogspot.com/)

16
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif melalui
penelusuran informasi sejarah-kebudayaan dan observasi lapang. Informasi
diperoleh melalui penelusuran sejarah dan budaya dengan pendekatan komparatif
untuk membandingkan fenomena pada periode lampau dengan yang ada saat ini
(Sulasman 2014). Informasi mengenai sejarah dan budaya diperoleh melalui
sumber tertulis serta wawancara. Perbandingan dilakukan dengan
mengidentifikasi elemen dan tata letak yang seharusnya ada sesuai informasi
budaya dan memverifikasinya dengan kondisi saat ini di lapangan.

Kerangka Kerja
Kerangka kerja sebagai rincian dari tahapan penelitian dilatarbelakangi oleh
terbatasnya informasi mengenai taman rumah tinggal tradisional Lampung dapat
dilihat pada Gambar 7. Penelitian dilakukan dengan langkah awal yang meliputi
kegiatan studi pendahuluan dimana dilakukan pencarian data sekunder terlebih
dahulu untuk mendapatkan bayangan data seperti apa yang ingin didapat dari
penelusuran secara langsung di lapang. Langkah selanjutnya dalam penelitian ini
antara lain adalah proses studi literatur, wawancara kepada narasumber ahli, serta
observasi lapang.

Gambar 7 Tahapan Penelitian
Dari langkah penelitian melalui studi literatur akan diperoleh informasi
terkait secara teori mengenai elemen taman dan karakter arsitektur rumah tinggal
tradisional berbasis budaya Lampung berdasarkan penelusuran dokumen dan
literatur. Melalui tahapan wawancara dapat diperoleh suatu pengetahuan dan

17
pendapat dari narasumber mengenai informasi terkait. Baik dari studi literatur dan
wawancara dilakukan penelusuran sejarah dan budaya yang terkait dengan taman
rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung. Dari keseluruhan data
tersebut kemudian dilakukan proses verifikasi dengan kondisi aktual di lapang
melalui observasi secara langsung untuk mendapatkan elemen-elemen, tata letak,
pola/batas taman rumah tinggal yang sesuai dengan latar belakang budaya dan
tradisi masyarakat Lampung. Hasil akhir dari penelitian berupa hasil sintesis yang
berbentuk rekomendasi konsep desain taman rumah tinggal tradisional Lampung.
Tahapan Persiapan
Persiapan awal meliputi perumusan masalah dan penetapan tujuan kajian
desain taman rumah tinggal tradisional Lampung, dilanjutkan dengan
dilakukannya studi pendahuluan untuk mengumpulkan data-data sekunder
mengenai sejarah dan kebudayaan budaya yang berkaitan dengan taman rumah
tinggal tradisional Lampung.
Tahapan Pengumpulan Data
Tahap ini dilakukan untuk mengumpulkan data mengenai taman rumah
tinggal tradisional Lampung yang diperoleh melalui studi literatur, wawancara
tokoh, dan observasi lapang. Informasi yang diambil pada tahap pengumpulan data
ini disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Rincian Jenis, Bentuk dan Sumber Data Penelitian
Jenis Data

Bentuk Data

Sumber Data

Elemen pembentuk taman
rumah tinggal

Deskriptif

Studi literatur dan
wawancara

Tata letak elemen dalam taman
rumah tinggal

Deskriptif dan spasial

Observasi lapang, studi
literatur dan wawancara

Filosofi

Deskriptif

Studi literatur dan
wawancara

Pola/batas taman rumah
tinggal

Deskriptif dan spasial

Observasi lapang, studi
literatur dan wawancara

a) Studi literatur. Cara ini dilakukan untuk menelusuri sumber-sumber tertulis
yang dapat berupa arsip penting dan literatur pustaka. Pustaka diperoleh dari
buku-buku yang direkomendasikan oleh narasumber, jurnal, serta Perpustakaan
Daerah Lampung.
b) Wawancara. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi langsung
mengenai informasi budaya dan sejarah Lampung. Informasi ini diperoleh dari
tokoh-tokoh di kampung adat serta sejarawan yang paham mengenai budaya
dan sejarah Lampung (tabel 2). Wawancara dilakukan dengan metode indepth
interview secara langsung dan mendalam kepada narasumber terkait mengenai
karakter dan budaya masyarakat Lampung, tata ruang tempat tinggal, elemenelemen pembentuk, tanaman khas yang ditanam di sekitar tempat tinggal,
pengaruh, dan aktivitas kebudayaan yang masih dilakukan oleh masyarakat
Lampung.

18
Tabel 2 Daftar narasumber
No.
1
2
3
4

Nama
Budi Supriyanto, S.SOS, M.Hum
Mad Sa'ari Glr. Batin Setia
Habiburrakhman
Iskandar Zulkarnain

Bidang Pekerjaan
Kabid Pelayanan Museum Lampung
Pemangku Adat, pemilik Rumah Kenali
Pensiunan Pesirah
LPM, Seksi Pengembangan Nilai Seni
dan Tradisi
Ketua Rumah Informasi dan Sanggar
Seni Budaya Lampung Kencana Lepus

5

Hj.Uzunuhir, S.Pd Glr. Suttan
Lepus

6

Fasykinar Bahari Glr. Dalom
Putra Wiranegara

Pemangku Adat Negeri Olok Gading

7
8

Arsyad Glr. Suntan Ratu Putra
Amasin Glr. Suntan Alif

Pemangku Adat Negara Tulang Bawang
Pemangku Adat Negara Tulang Bawang

c) Observasi lapang. Cara ini dilakukan untuk mengetahui susunan elemen-elemen
arsitektural dan elemen taman rumah tinggal tradisional Lampung. Pada tahap
ini dilakukan checklist terhadap elemen-elemen yang seharusnya ada
berdasarkan budaya dari hasil studi literatur dan wawancara. Observasi lapang
dilakukan di lima daerah yaitu di Pekon Kenali; Permukiman Tradisional
Kampung Wana; Sukadana Darat; dan Negara Tulang Bawang. Berikut daftar
tabel sumber rumah tinggal yang dijadikan sample penelitian (Tabel 3).
Tabel 3 Lokasi, jumlah, dan pemilik rumah objek penelit