Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi Banten

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK DEBIT RANCANGAN BENDUNGAN KARIAN
DI DAS CIBERANG KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN

DESSY ARIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Penggunaan
Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten
Lebak Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Dessy Arianti
NIM A156130184

RINGKASAN
DESSY ARIANTI. Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan
Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Dibimbing oleh Kukuh Murtilaksono dan Baba Barus.
Pengaruh perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan kondisi
aliran debit. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan curah hujan lebih
berpotensi menjadi aliran permukaan dari pada terinfiltrasi. Tujuan penelitian ini
adalah (1) mengkaji pola hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan
2014; (2) mengkaji perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang pada tahun
2000, 2005, 2010 dan 2014; (3) menganalisis debit rancangan DAS Ciberang pada
prediksi penggunaan lahan tahun 2028 dan (4) menyusun arahan penggunaan
lahan agar debit puncak skenario tidak melebihi debit rancangan bendungan.
Analisis perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang menggunakan
model Cellular Automata-Markov. Penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010
dipakai untuk analisis perubahan penggunaan lahan dengan validasi penggunaan

lahan tahun 2014. Hasil analisis tersebut menghasilkan prediksi penggunaan lahan
tahun 2028.
Analisis debit banjir rancangan menggunakan metode Rasional dengan
empat skenario yakni penggunaan lahan aktual tahun 2014, prediksi penggunaan
lahan tahun 2028, penggunaan lahan pada pola ruang RTRW dan modifikasi
penggunaan lahan pada pola ruang RTRW di DAS Ciberang. Skenario pola
penggunaan lahan terbaik dipilih apabila skenario debit rancangan kurang dari
debit banjir Bendungan Karian. Pola penggunaan lahan terbaik yang memenuhi
syarat dapat dijadikan arahan kebijakan penggunaan lahan bagi pola ruang
RTRW.
Dalam kurun waktu 14 tahun (2000 - 2014), DAS Ciberang mengalami
perubahan hutan menjadi lahan lainnya seluas 24.25 km2, perubahan pertanian
lahan kering menjadi pemukiman seluas 2.2 km2, perubahan pertanian lahan
kering menjadi perkebunan seluas 3.3 km2 dan pertanian lahan kering menjadi
sawah seluas 10.1 km2. Perubahan tersebut mengakibatkan nilai koefisien
limpasan menjadi besar sehingga hujan yang jatuh ke darah tersebut berpotensi
besar menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan semakin meningkat
menyebabkan debit air hujan yang melimpas dipermukaan semakin cepat masuk
ke Sungai Ciberang dan banjir akan lebih cepat terjadi.
Debit banjir rancangan pada periode ulang 50 tahun menunjukkan kapasitas

debit banjir optimum pada Bendungan Karian. Skenario penggunaan lahan pada
debit rancangan periode tersebut menunjukkan yakni debit banjir rancangan tahun
2028 skenario ke-2 tidak memenuhi syarat pola penggunaan lahan terbaik,
sedangkan debit banjir aktual tahun 2014 skenario ke-1, Pola Ruang RTRW
skenario ke-3 dan penyesuaian Pola Ruang RTRW skenario ke-4 memenuhi
syarat pola penggunaan lahan terbaik. Skenario ke-4 digunakan sebagai arahan
perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang yang dianggap sebagai referensi
penggunaan lahan di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Tahun 2014-2034.
Kata kunci: Bendungan Karian, Cellular Automata-Markov, Debit Rancangan,
Perubahan Penggunaan Lahan.

SUMMARY
DESSY ARIANTI. Land Use Planning for Discharge Plan of Karian Dam at
Ciberang Watershed in Lebak Regency of Banten Province. Supervised by Kukuh
Murtilaksono and Baba Barus.
The effects of changes in land use cause changes in the discharge flow
conditions. Changes in land use set off rainfall to be more potential runoff than
infiltrated. The aims of this study were to (1) examine the rainfall patterns at
Ciberang watershed in 2000, 2005, 2010 and 2014; (2) assess the changes in land
use at Ciberang watershed in 2000, 2005, 2010 and 2014; (3) analyze the

discharge plan of Ciberang watershed to predict land use in 2028, and (4)
establish directives on land use so that the scenario of discharge peak does not
exceed the dam discharge plan.
The analysis of changes in land use at Ciberang watershed utilized Cellular
Automata-Markov model. Land uses in 2000 and 2010 were used to analyze the
changes in land use with the land use validation of the 2014. The analysis results
produced the prediction on land use in 2028.
The discharge analysis of the flood plan used Rational method with four
scenarios, namely the actual land use in 2014, the prediction on land use in 2028,
land use in the spatial patterns in the spatial plan, and modifications of land use
in the spatial patterns in the spatial plan at Ciberang watershed. The scenario of
the best land use pattern was selected if the discharge pan scenario was less than
the flood discharge of Karian Dam. The best land use pattern meeting the
requirement can be applied for the policy directives for the land use in the spatial
pattern in the spatial plan.
Within a period of 14 years (2000-2014), Ciberang watershed experienced
changes of 24.25 km2 forest to other land area, 2.2 km2 agricultural dryland to
residential area, 3.3 km2 farming dryland to plantations, and 10.1 km2 dryland
into rice farming area. Such changes resulted in a large runoff coefficient so that
the rain falling into those areas had a large potential to become runoff. The

increasing surface water flow caused the rainwater discharge overflowing the
surface went faster into the Ciberang River and flooding would occur more
quickly.
The plan flood discharge in the 50-year return period showed the optimum
flood discharge capacity in Karian Dam. Land use scenarios in the draft
discharge plan in that period indicated that the second scenario of the 2028 flood
discharge plan was ineligible for the best land-use pattern, whereas the 2014 first
scenario of the actual flood discharge, the third scenario of the spatial pattern in
the spatial plan, and the fourth scenario of the modified spatial pattern in the
spatial plan met the criteria for the best land-use patterns. The 4th scenario is
used as the directives for land use planning which is considered as the reference
for land use at Ciberang watershed of Lebak Regency for 2014-2034.
Key words: Cellular Automata-Markov, Discharge Plan, Karian Dam, Land Use
Changes.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK DEBIT RANCANGAN BENDUNGAN KARIAN
DI DAS CIBERANG KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN

DESSY ARIANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc

Judul Tesis : Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan
Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi
Banten
Nama
: Dessy Arianti
NIM
: A156130184

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS
Ketua

Dr Baba Barus, MSc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Santun RP Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 20 Maret 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah
penggunaan lahan untuk debit banjir rancangan, dengan judul Perencanaan

Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang
Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Kukuh
Murtilaksono, MS dan Bapak Dr Baba Barus, MSc selaku pembimbing, serta
Bapak Dr Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc (alm.) yang telah banyak memberi
bimbingan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Provinsi Banten,
Pusbindiklatren Bappenas, Pimpinan Balai Hidrologi dan Tata Air Pusat
Penelitian Bandung, Kepala Bappeda Kabupaten Lebak, Kepala Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Lebak, Ditjen Planologi Kehutanan Bogor, Kepala
Seksi Hidrologi dan Kualitas Air Balai Besar Wilayah Sungai Ciujung Cidanau
Cidurian, Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015
Dessy Arianti


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pikir Penelitian


11
11
3
4
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Fungsi Hidrologi di DAS
Curah Hujan Wilayah
Intensitas Hujan Rata-rata
Koefisien Limpasan
Debit Rancangan
Pengindraan Jauh
Interpretasi Citra
Penggunaan Lahan
Perubahan Penggunaan Lahan
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Model Cellular Automata – Markov Chain

6
6
7
8
9
9
10
11
12
12
13
14
15

3 METODE
Lokasi Penelitian
Bahan dan Alat
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Prosedur Analisis Data

16
16
17
18
19
19

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Kondisi Fisik Wilayah
Sosial dan Ekonomi

32
32
39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Curah Hujan Wilayah
Analisis Distribusi Frekwensi
Analisis Penggunaan Lahan
Validasi Model Kappa
Perubahan Penggunaan Lahan

41
41
43
44
48
49

Peramalan Penggunaan Lahan
Analisis Perubahan Lahan terhadap Debit Rancangan
Skenario Pengendalian Perubahan Penggunaan Lahan
Arahan Penggunaan Lahan

54
55
61
62

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

63
63
63

DAFTAR PUSTAKA

64

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

90

DAFTAR TABEL
1. Tipe-tipe Informasi Hasil Ekstraksi dari Data Penginderaan Jauh
2. Matriks Data dan Metode Analisa yang Digunakan dalam Penelitian
3. Hubungan Reduksi Data Rata-rata (Yn), Deviasi Standar (Sn) dengan
Jumlah Data (n)
4. Nilai Faktor Frekuensi (k) sebagai Fungsi dari Nilai CV
5. Faktor Frekuensi untuk Distribusi Log Pearson Type III dengan
Koefisien Asimetri (Cs) Negatif
6. Nilai Variabel Reduksi Gumbel Tipe II
7. Syarat pemilihan distribusi frekuensi
8. Faktor Tutupan Lahan atau Koefisien Limpasan
9. Susunan Band untuk Analisis Penggunaan Lahan
10. Klasifikasi Tutupan Lahan
11. Matrik transformasi perubahan penggunaan lahan Tahun 2000-2010
12. Penyebaran Formasi Geologi DAS Ciberang
13. Sebaran Luas Kelas Elevasi di DAS Ciberang
14. Sebaran Luas Kemiringan Lereng di DAS Ciberang
15. Sebaran Luas Jenis Tanah di DAS Ciberang
16. Penggunaan Lahan Berdasarkan Pola Ruang RTRW DAS Ciberang
(Skenario 3)
17. Distribusi Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2012
18. Mata Pencaharian Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2013
19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998
20. Curah Hujan Wilayah Harian Maksimum Tahunan di DAS Ciberang
21. Rekap Hujan Rancangan Maksimum Tahunan Tiap Metoda di DAS
Ciberang
22. Hasil Uji Kesesuaian Distribusi
23. Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Tahun 2000-2014
24. Perubahan Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Tahun 20002014
25. Tingkat Akurasi Klasifikasi Perubahan Penggunaan Lahan di DAS
Ciberang
26. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2000 dan 2005
27. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2005 dan 2010
28. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2010 dan 2014
29. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2005 dan 2014
30. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2000 dan 2010
31. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2000 dan 2014
32. Luas Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028 di DAS
Ciberang

11
18
21
21
23
24
25
27
28
29
30
33
34
36
37
38
40
40
41
42
43
44
47
47
48
49
50
51
51
52
53
55

33. Koefisien Limpasan setiap Luasan Penggunaan Lahan di DAS
Ciberang Berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4
34. Rekap Hasil Analisa Debit Rancangan Metode Rasional

59
61

DAFTAR GAMBAR
1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian
2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013
3. Peta Lokasi Penelitian di DAS Ciberang Outlet Bendungan Karian
4. Diagram Alir Tahapan Penelitian
5. Analisis Intensitas Hujan Rancangan
6. Peta Penyebaran Formasi Geologi di DAS Ciberang
7. Peta Penyebaran Kelas Elevasi di DAS Ciberang
8. Peta Penyebaran Kelas Kemiringan Lereng di DAS Ciberang
9. Peta Penyebaran Jenis Tanah di DAS Ciberang
10. Peta Pola Ruang RTRW DAS Ciberang
11. Jumlah Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2006-2012
12. Mata Pencaharian Penduduk di DAS Ciberang
13. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998
14. Analisa Perhitungan Curah Hujan Rancangan di DAS Ciberang
15. (a) Penggunaan Lahan Tahun 2000, (b) Penggunaan Lahan Tahun
2005, (c) Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan (d) Penggunaan Lahan
Tahun 2014 di DAS Ciberang
16. Luas Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 di DAS
Ciberang
17. Diagram Setiap Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciberang
18. Peta Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028
19. (a) Skenario ke-1 Penggunaan Lahan Aktual DAS Ciberang Tahun
2014, (b) Skenario ke-2 Prediksi Penggunaan Lahan DAS Ciberang
Tahun 2028, (c) Skenario ke-3 Penggunaan Lahan Pola Ruang
RTRW dan (d) Skenario ke-4 Penggunaan Lahan pada Sinkronisasi
Pola Ruang RTRW di DAS Ciberang
20. Luas Penggunaan Lahan berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4 di
DAS Ciberang

6
8
17
19
26
32
34
35
36
38
39
41
42
43

46
47
54
55

57
58

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998
Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998
Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1999
Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1999
Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2000
Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2000
Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2001

67
67
68
68
69
69
70

8. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2001
9. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2002
10. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2002
11. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2003
12. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2003
13. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2004
14. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2004
15. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2005
16. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2005
17. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2006
18. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2006
19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2007
20. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2007
21. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2008
22. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2008
23. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2009
24. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2009
25. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2010
26. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2010
27. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2011
28. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2011
29. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2012
30. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2012
31. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2013
32. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013
33. Perhitungan Kurva Distribusi Gumbel Tipe I
34. Nilai Ekstrim Distribusi Gumbel Tipe I
35. Perhitungan Kurva Distribusi Log-Normal Dua Parameter
36. Nilai Ekstrim Distribusi Log-Normal Dua Parameter
37. Perhitungan Kurva Distribusi Log Pearson Tipe III
38. Nilai Ekstrim Distribusi Log Pearson Tipe III
39. Perhitungan Kurva Distribusi Frechet
40. Nilai Ekstrim Distribusi Frechet
41. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Gumbel Tipe I
42. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Gumbel Tipe I
43. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log Normal
44. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Normal
45. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log-Pearson
Tipe III
46. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Pearson Tipe III
47. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Frechet
48. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Frechet
49. Uji Kesesuaian Distribusi Smirnov-Kolmogorof

70
71
71
72
72
73
73
74
74
75
75
76
76
77
77
78
78
79
79
80
80
81
81
82
82
83
83
83
84
84
85
85
86
86
86
87
87
88
88
88
89
89

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama (Asdak 2007). Pengelolaan DAS dilaksanakan sesuai dengan rencana tata
ruang dan pola pengelolaan sumber daya air sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penataan ruang dan sumber daya air. Pengelolaan
DAS diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi terkait
pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Kegiatan
Pengelolaan DAS dilaksanakan berdasarkan Rencana Pengelolaan DAS yang
telah ditetapkan dan menjadi acuan rencana pembangunan sektor dan rencana
pembangunan wilayah administrasi. Ukuran keberhasilan pengelolaan DAS
adalah dapat dikembangkan dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan
melalui upaya Pengelolaan DAS bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.
Pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah DAS telah menunjukkan
peningkatan yang sejalan dengan pertambahan penduduk. Pemanfaatan sumber
daya alam secara kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan terjadinya
perubahan kondisi lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh adanya perubahan
tersebut terjadinya penurunan kualitas lingkungan, misalnya terjadi kerusakan
lingkungan seperti adanya kejadian banjir dan kekeringan. Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) selayaknya disusun untuk mendukung perbaikan ataupun
mempertahankan kondisi lingkungan yang ada.
Mahkluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya
berbagai perubahan kondisi lingkungan. Makluk hidup selain manusia
menimbulkan perubahan alami, yang dicirikan oleh keseimbangan dan
keselarasan, sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk
mengubah secara berbeda karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimilikinya, bahkan seringkali perubahan tersebut merusak lingkungan.
Kondisi lingkungan dan pengelolaan sumberdaya air yang kurang baik dapat
memperbesar masalah kekeringan termasuk juga adanya alih fungsi hutan.
Kekeringan secara umum dapat terjadi karena kondisi hidrometeorologi, kondisi
geologis, kondisi geografis, kondisi vegetasi dan penggunaan lahan, juga
pengelolaan sumberdaya air. Berbagai dampak permasalahan akibat kekeringan
dapat terjadi di berbagai sektor antara lain: pertanian, rumah tangga, industri,
perkotaan, perubahan kondisi ekologi dan sebagainya.
Perubahan penggunaan lahan untuk keperluan pembangunan merupakan
salah satu faktor yang paling berpengaruh pada perubahan lingkungan secara
global. Tingkat perubahan penutupan lahan diperkirakan akan meningkat secara
nyata dalam beberapa dekade mendatang sebagai akibat dari pertumbuhan
penduduk (Ojima et al. 1994 dalam Hutyra et al. 2011).
FAO (2001) mencatat bahwa setiap tahunnya 0,38 % lahan hutan di seluruh
dunia terkonversi menjadi penggunaan lain. Sementara itu, Kemenhut (2012)
menyatakan bahwa angka deforestasi di Indonesia pada tahun 2011 mencapai
832.126 ha/tahun.

2
Perubahan penggunaan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap
kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan
lainnya (deforestasi), seperti pertanian, perumahan ataupun industri. Apabila
gejala tersebut tidak segera dikelola dengan baik, maka debit puncak akan
meningkat sehingga menyebabkan kelebihan air atau banjir pada saat musim
hujan dan kekeringan pada saat musim kemarau . Hal ini disebabkan hujan yang
jatuh sebagian besar menjadi aliran permukaan. Oleh karena itu, upaya-upaya
pelestarian sumberdaya air sangat diperlukan melalui penataan penggunaan lahan
di dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).
DAS Ciberang merupakan sub DAS di hulu sungai Ciujung sebagai
kawasan resapan air dan daerah pengendali banjir. Eksploitasi di DAS yang tidak
terkendali menyebabkan kondisi lingkungan DAS semakin menurun. Salah satu
fenomena penurunan kondisi DAS adalah luas tutupan hutan semakin berkurang
diantaranya disebabkan oleh alih fungsi kawasan hutan.
Alih fungsi kawasan hutan perlu dianalisis multitemporal sebagai bantuan
untuk memahami proses dan pola perubahan penggunaan lahan selama periode
historis tertentu. Hal ini penting untuk memahami bagaimana perubahan
penggunaan lahan dari waktu ke waktu dan untuk mengenali sifat dinamis dari
perubahan kawasan tersebut. Secara khusus, sangat penting untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mengatur tingkat perubahan penggunaan
lahan di suatu wilayah tertentu, dan bagaimana perubahan penggunaan fungsi
kawasan hutan mungkin bervariasi dalam sub-wilayah (Mendoza et al. 2011).
Alih fungsi kawasan hutan menimbulkan masalah berkurangnya daya resap
air ke dalam tanah sehingga sebagian besar air mengalir di permukaan. Hal
tersebut berpengaruh terhadap besarnya debit puncak pada outlet Bendungan
Karian. Apabila tidak dilakukan pengelolaan lebih lanjut akan menyebabkan
peningkatan debit puncak setiap tahunnya, sehingga daerah di bagian hilir akan
berpotensi terkena dampak banjir.
Hulu DAS Ciberang masuk dalam Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS) dengan luas 14,938 ha (14%) dari luas seluruhnya
sekitar 113,357 ha. Berdasarkan data Ditjen Planologi (2012), tahun 1989-2008
luas hutan di kawasan TNGHS setiap tahun berkurang sekitar 18 hektar. Tahun
1989 luas hutan sebesar 870 km2 sedangkan tahun 2008 luas hutan hanya tinggal
639.5 km2. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadi penurunan luas hutan
satiap tahunnya di kawasan TNGHS dapat mempengaruhi kondisi hulu DAS
sebagai kawasan resapan air. Selain itu menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Lebak menyatakan bahwa luas lahan kritis di DAS Ciberang
meningkat mencapai 36.3% (Dishutbun Lebak 2013).
DAS Ciberang adalah salah satu DAS dengan laju erosi besar yang dapat
menimbulkan degradasi lahan. Upaya perlindungan sumberdaya tanah dan air dari
gejala degradasi lahan perlu segera ditanggulangi. Hal tersebut perlu dilakukan
karena adanya rencana pembangunan Bendungan Karian yang berfungsi utama
sebagai air baku dan irigasi. Agar bendungan tersebut dapat memberikan manfaat
sesuai umur yang direncanakan, maka upaya penataan penggunaan lahan pada
daerah tangkapannya perlu segera dilakukan sebelum bendungan tersebut dimulai
pembangunannya.

3
Berdasarkan data Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman dengan curah
hujan yang relatif sama, debit di sungai pada tahun 1998-2011 rendah sedangkan
pada Tahun 2001, 2006, 2009, 2012 hingga 2013 debit di sungai tinggi berakibat
banjir di hilir Sungai Ciberang yang merendam beberapa desa di Kecamatan
Rangkasbitung (DSDAP Banten 2013).
Perubahan luas tutupan hutan di hulu DAS berpengaruh pada debit puncak
di outlet rencana Bendungan Karian dari tahun ke tahun bertambah besar. Hal
tersebut terlihat pada hasil debit observasi di sungai Ciberang. Debit puncak yang
mengakibatkan banjir sebelumnya terjadi 5 tahunan tetapi akhir-akhir ini menjadi
banjir tahunan, sedangkan perubahan curah hujan dari tahun 1998-2013 relatif
sama. Hal tersebut berakibat banjir di hilir Sungai Ciberang semakin sering terjadi
yang mengakibatkan beberapa desa di Kecamatan Rangkasbitung terendam
(DSDAP Banten 2013).
Kejadian banjir berulang setiap tahun berbanding lurus dengan penurunan
luas kawasan hutan yang terjadi setiap tahunnya pada DAS Ciberang. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pengurangan luas tutupan hutan di hulu DAS
mempengaruhi debit limpasan permukaan yang menyebabkan air hujan melimpas
ke sungai lebih cepat tanpa adanya penyerapan air yang maksimum di hulunya.
Menurut Hamilton dan King (1983 dalam Narendra 2012) banjir terjadi akibat
tingginya intensitas curah hujan, atau hujan berlangsung dalam waktu lama serta
tutupan lahan tidak mampu lagi menginfiltrasi air hujan secara optimal, dan
kapasitas penyimpanan tanah telah terlampaui sehingga kelebihan air melimpas ke
aliran sungai. Dengan kata lain kejadian banjir tidak sematamata hanya
dipengaruhi kondisi penggunaan lahan, tetapi juga tergantung faktor iklim dan
geologi.
Berdasarkan uraian di atas, penggunaan lahan di DAS Ciberang dalam
keadaan terganggu fungsi hidrologisnya, sehingga diperlukan perencanaan
penggunaan lahan terbaik agar peluang debit puncak dapat ditampung oleh
Bendungan Karian.
Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi hidrologis di DAS Ciberang
terganggu sehingga diperlukan perencanaan penggunaan lahan terbaik untuk debit
rancangan Bendungan Karian agar peluang debit puncak dapat ditampung oleh
Bendungan Karian. Perencanaan perubahan penggunaan lahan dalam penelitian
ini digunakan pendekatan Model CA Markov yang dapat memprediksi alih fungsi
lahan. Perencanaan penggunaan lahan tersebut perlu dibandingkan dengan RTRW
yang dianggap sebagai referensi penggunaan lahan.

Perumusan Masalah
Perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian budidaya di DAS Ciberang
yang merupakan kawasan hulu DAS Ciujung dapat berdampak pada berkurangnya
fungsi resapan air dan meningkatnya debit puncak akibat perbedaan debit puncak
yang terjadi di DAS tersebut. Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali akan
menambah panjang daftar DAS kritis di Indonesia, dimana potensi bahaya banjir
dan kekeringan, baik dari sebaran dan frekuensinya akan semakin meningkat.
Dengan kata lain, apabila kemampuan daya resap air daerah hulu pada suatu DAS

4
ini berkurang maka akan terjadi kekritisan sumber daya air, peningkatan debit
banjir, dan sebaliknya, penurunan debit andalan.
Sebetulnya suatu lahan yang tidak mendapatkan gangguan / perubahan
mempunyai kemampuan untuk mengasimilasi air hujan yang jatuh pada saat
kondisi debit puncak. Namun dengan hilangnya tanaman menyebabkan
kemampuan tanah untuk menyimpan air hujan berkurang dan sebaliknya
presentase aliran permukaan meningkat. Hasilnya air yang turun ke bumi
langsung mengalir ke sungai dan berakhir di laut.
Beberapa dampak yang ditimbulkan dengan meningkatnya lahan terbangun
terhadap aliran permukaan beserta dampak selanjutnya yang mengakibatkan
volume aliran permukaan meningkat yang menyebabkan penyerapan air ke dalam
tanah berkurang sehingga cadangan air tanah berkurang, kecepatan aliran
meningkat, terjadi erosi yang menimbulkan sedimentasi di sungai dan perubahan
waktu debit puncak akibatnya berkurangnya aliran dasar (base flow) yaitu debit
air yang ada pada saat musim kering, sebagai dampak tidak adanya cadangan air
dalam tanah sedangkan pada musim hujan, banjir akan cepat terjadi karena
volume aliran permukaan meningkat.
Kajian mengenai pengaruh alih fungsi lahan terhadap perubahan waktu
debit puncak berakibat pada perbedaan debit maksimum-minimum yang tinggi
sehingga perlu dilakukan perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang
mengingat alih fungsi lahan di DAS tersebut yang cenderung mengarah kepada
terjadinya kerusakan DAS. Model CA Markov yang dapat memprediksi alih
fungsi lahan dan pengaruh terhadap respon hidrologi yang dapat digunakan untuk
ekstrapolasi berbagai skenario sistem penggunaan lahan yang akan datang.
Sehingga skenario yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengelolaan DAS
Ciberang yang lebih baik.
Oleh karena itu informasi mengenai prediksi perubahan penggunaan lahan
di masa yang akan datang sangat diperlukan untuk membuat arahan yang dapat
mendukung implementasi RTRW Kabupaten Lebak ke depan khususnya di daerah
aliran sungai. Berdasarkan hal tersebut, dirumuskan beberapa pertanyaan
penelitian mengenai perencanaan penggunaan lahan untuk debit rencana
Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak yang diharapkan akan
didapatkan solusinya dari penelitian ini, diantaranya adalah:
1. Bagaimana pola curah hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan
2014 ?
2. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang tahun 2000,
2005, 2010 dan 2014 ?
3. Bagaimana penggunaan lahan tahun 2028 ?
4. Bagaimana pola penggunaan lahan terbaik agar debit puncak skenario tidak
melebihi debit rancangan Bendungan Karian ?

Tujuan Penelitian
1.
2.

Tujuan penelitian ini adalah :
Mengkaji pola hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014;
Mengkaji perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005,
2010 dan 2014;

5
3.
4.

Memprediksi penggunaan lahan tahun 2028 di DAS Ciberang;
Menyusun arahan penggunaan lahan agar debit puncak skenario tidak
melebihi debit rancangan Bendungan Karian.

Manfaat Penelitian
Memberi gambaran penggunaan lahan dan perubahan di DAS Ciberang
yang menjadi dasar dalam pendugaan debit puncak tepatnya di lokasi Bendungan
Karian. Perubahan penggunaan lahan tersebut digunakan sebagai masukan untuk
menyusun arahan dalam menentukan strategi penggunaan lahan ditinjau dari
kondisi hidrologisnya.

Kerangka Pikir Penelitian
Defisit air yang tercermin dari penurunan debit minimum dan peningkatan
debit maksimum Sungai Ciberang diduga disebabkan oleh perubahan penggunaan
lahan khususnya perubahan luas hutan. Perubahan penggunaan lahan khususnya
penggunaan lahan hutan menjadi non hutan akan meningkatkan aliran permukaan
dan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga sebagian besar air hujan menjadi
aliran permukaan dan terbuang ke laut. Pada saat yang sama maka jumlah air yang
masuk dan tersimpan di dalam tanah juga berkurang akibat penurunan kapasitas
infiltrasi tanah sehingga akan mengurangi jumlah aliran dasar.
Pada konteks hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan
ketersediaan air, maka penataan penggunaan lahan diharapkan dapat menurunkan
aliran permukaan dan meningkatkan jumlah air hujan yang masuk dan tersimpan
di dalam tanah sehingga akan meningkatkan aliran dasar. Penurunan aliran
permukaan ini akan menurunkan debit maksimum sungai karena sebagian air
hujan tersimpan di dalam tanah dan menjadi aliran dasar atau aliran sungai.
Sehingga diharapkan distribusi bulanan aliran sungai akan relatif lebih merata.
Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang yang dikhawatirkan akan
menyebabkan defisit air yang perlu dikendalikan dan diatur berdasarkan proporsi
luas masing-masing jenis penggunaan lahan yang dapat menjamin ketersediaan air
jangka panjang. Sehingga dalam penelitian ini, model spasial perubahan
penggunaan lahan dirancang dengan pendekatan Cellular Automata (CA). Model
ini akan memprediksi debit rancangan penggunaan lahan tahun 2028.
Koefisien aliran diambil dari prediksi penggunaan lahan. Kemudian
dilakukan tahap analisis koefisien aliran dengan hubungannya terhadap perubahan
penggunaan lahan yang terjadi di DAS Ciberang. Kemudian dilakukan analisis
pengaruh perubahan lahan terhadap debit dan analisis hubungan antar jumlah
penduduk,
kemiringan
lereng,
ketinggian,
geologi
dengan
pola
penggunaan/penutupan lahannya dimana nilai debit puncak skenario kurang dari
debit rancangan Bendungan Karian.
Prediksi penggunaan lahan yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan
RTRW untuk menjadi dasar disusunnya arahan penggunaan lahan untuk
mendukung implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak khusus

6
di wilayah rencana Bendungan Karian. Diagram alir kerangka pikir penelitian
disajikan pada Gambar 1.

Pola penggunaan lahan ke depan semakin buruk
sehingga rasio debit maksimum / debit minimum
menjadi bertambah besar.

Debit puncak ke depan semakin besar dari
kapasitas daya tampung
Bendungan Karian

Perencanaan beberapa Penggunaan Lahan

Perubahan Penggunaan Lahan dengan
Metode CA Markov

Perhitungan Debit Puncak
Skenario dengan Metode Rasional

Arahan penggunaan lahan agar skenario debit puncak
dapat ditampung dan tidak melebihi debit rancangan Bendungan
Karian

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA) yang
merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam
(tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya
alam (Asdak 2007).
Lee (1998) mengatakan bahwa daerah tangkapan air meliputi semua titik
yang terletak di atas elevasi (ketinggian tempat) stasiun penakar dan di dalam
batas topografi (topographic divide) yang memisahkan daerah-daerah tangkapan
beragam cukup besar dengan komposisi dan struktur lapisan batuan di bawahnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, disebutkan bahwa Daerah
Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan sebagai satu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungai yang berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami.
Sedangkan batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan wilayah bersifat
kompleks yang dipengaruhi oleh karakteristik fisik variabel meteorologinya.
Karakteristik fisik yang berupa pola penggunaan lahan, bentuk jaringan sungai,
kondisi tanah dan topografi yang merupakan karakteristik DAS yang sifatnya
dapat dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Sedangkan variabel meteorologi yang
meliputi curah hujan, suhu, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin

7
bersifat sangat berubah-ubah tergantung kondisi klimatnya (Dewan Riset Nasional
1994).
Penilaian mengenai keberhasilan pengelolaan DAS secara praktis dapat
ditinjau dari segi tata airnya yaitu stabilitas debit air sungai pada musim kemarau
dan musim penghujan seimbang dan fluktuasi debitnya setiap tahun semakin
menurun. Menurut Sinukaban (1995) cara pengelolaan DAS akan mempengaruhi
produktifitas dan fungsi DAS secara keseluruhan. Oleh karena itu yang menjadi
target di dalam system pengelolaan DAS adalah mampu memberikan produktifitas
lahan yang tinggi dan mampu menjamin kelestarian DAS.
Sheng (1968) mengemukakan tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS
yaitu air, lahan dan pengelolaan. Unsur lahan meliputi semua komponen dari satu
unit geografi dan atmosfir tertentu, air dan batuan, vegetasi dan hewan, manusia
dan perkembangannya. Oleh karena itu pengelolaan DAS didefinisikan sebagai
pengelolaan lahan untuk produksi air dengan kualitas yang optimum serta
stabilitas tanah yang maksimum. Pengelolaan DAS harus diorientasikan kepada
segi-segi konservasi tanah dan air dengan menitik beratkan kepada keseimbangan
debit maksimum dan debit minimum.

Fungsi Hidrologi di DAS
DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi proses
interaksi antara faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem,
maka setiap ada masukan ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di
dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem tersebut.
Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan
keluaran terdiri dari debit air minimum dan maksimum. Komponen-komponen
DAS yang berupa vegetasi, tanah dan sungai mempengaruhi proses-proses yang
terjadi di dalam DAS (Suripin 2002).
Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi
perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan
ekosistem, misalnya perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah hulu, dapat
memberikan dampak pada daerah hilirnya. Adapun kaitannya antara masukan dan
keluaran pada suatu DAS ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis
dampak suatu tindakan atau aktivitas pembangunan di dalam DAS terhadap
lingkungan khususnya hidrologi (Suripin 2002).
Proses perubahan curah hujan menjadi aliran permukaan dapat
dikelompokan menjadi dua bagian yaitu: a) fungsi produksi DAS yang perubahan
dari hujan total menjadi hujan efektif dan b) fungsi transfer DAS yaitu perubahan
hujan efektif menjadi aliran permukaan langsung (Robinson dan Sivapala 1995).
Menurut Suripin (2002), kualitas suatu DAS dapat diukur berdasarkan
fluktuasi debit sungai yang mengalir dalam beberapa kondisi curah hujan yang
berbeda. Data debit sungai dapat ditentukan nilai dari parameter penentu kualitas
DAS diantaranya adalah koefisien rejim sungai (KRS) yang merupakan
perbandingan antara debit harian rata-rata maksimum dan debit harian rata-rata
minimum. Makin kecil harga KRS berarti makin baik kondisi hidrologis suatu
DAS. Disamping KRS, kondisi DAS juga dapat dievaluasi secara makro dengan
nisbah debit maksimum-minimum (Qmax/Qmin). Kualitas DAS ditentukan oleh

8
nilai koefisien aliran permukaan yang biasa diberi notasi C. Nilai ini merupakan
bilangan yang menyatakan perbandingan antara besarnya aliran permukaan
terhadap jumlah curah hujan. Nilai C yang kecil menunjukkan kondisi DAS yang
masih baik, sebaliknya C yang besar menunjukkan kondisi DAS yang telah rusak.
Nilai C berkisar 0-1 (Kodoatie dan Syarief 2005).

Curah Hujan Wilayah
Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan.
Perlunya menghitung curah hujan dalam suatu wilayah adalah untuk penyusunan
suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir
(Sosrodarsono dan Takeda 2006). Perhitungan curah hujan rencana digunakan
untuk meramal besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah
hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk
mencari debit banjir rencana (Sosrodarsono dan Takeda 2006). Metode yang
digunakan ArcGIS dalam perhitungan curah hujan rata-rata wilayah daerah aliran
sungai (DAS) yaitu dengan metode interpolasi grid.
Metode ini memperhitungkan secara aktual pengaruh hujan tiap-tiap pos
hujan dan elevasi di daerah tersebut. Metode ini cocok untuk daerah berbukit dan
tidak teratur dengan luas lebih dari 5000 km 2 (Suripin 2002). Penjelasan garis
interpolasi dapat dilihat pada Gambar 2.

195 mm
191 mm

180 mm

180 mm

168.3 mm

195 mm
128 mm
165 mm
245.7 mm

177.6 mm
195 mm
134.9 mm
180 mm

150 mm

165 mm

150 mm

Gambar 2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013

9
Intensitas Hujan Rata-rata
Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu
kurun waktu di mana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas curah hujan
ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau
(Loebis 1992). Untuk menentukan debit banjir rencana (design flood), perlu
didapatkan harga suatu intensitas curah hujan.
Intensitas curah hujan merupakan fungsi dari besarnya curah hujan yang
terjadi dan berbanding terbalik dengan waktu kejadiannya. Artinya besarnya curah
hujan yang terjadi akan semakin tinggi intensitasnya bila terjadi pada periode
waktu yang semakin singkat, demikian pula sebaliknya. Besarnya intensitas hujan
berbeda-beda tergantung pada lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya.
Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan dengan metode
Mononobe. Metode ini digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan
apabila yang tersedia adalah data curah hujan harian (Loebis 1992).
Hasil analisis berupa intensitas hujan dengan waktu konsentrasi hujan dan
periode ulang tertentu dihubungkan ke dalam kurva Intensity Duration Frequency
(IDF). Kurva IDF menggambarkan hubungan antaran dua parameter penting
hujan yaitu durasi dan intensitas hujan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk
menghitung debit puncak dengan metode rasional. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sosrodarsono dan Takeda (2006), yang mengatakan bahwa lengkung
IDF digunakan dalam menghitung debit puncak dengan metode rasional untuk
menentukan intensitas curah hujan rata-rata dari waktu konsentrasi yang terpilih.

Koefisien Limpasan
Koefisien limpasan merupakan perbandingan antara jumlah air yang
mengalir di suatu daerah akibat turunnya hujan, dengan jumlah hujan yang turun
di daerah tersebut (Subarkah 1980). Koefisien limpasan pada suatu daerah
dipengaruhi oleh kondisi karakteristik (Sosrodarsono dan Takeda 2006), yaitu :
a) Kondisi hujan
b) Luas dan bentuk daerah pengaliran
c) Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai
d) Daya infiltrasi dan perkolasi tanah
e) Kebebasan tanah
f) Suhu udara, angin dan evaporasi
g) Tata guna lahan
Besarnya aliran permukaan dapat menjadi kecil, terlebih bila curah hujan
tidak melebihi kapasitas infiltrasi. Selama hujan yang terjadi adalah kecil atau
sedang, aliran permukaan hanya terjadi di daerah yang impermeable dan jenuh di
dalam suatu DAS atau langsung jatuh di atas permukaan air. Apabila curah hujan
yang jatuh jumlahnya lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan untuk
evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi dan cadangan depresi, maka
barulah bisa terjadi aliran permukaan. Apabila hujan yang terjadi kecil, maka
hampir semua curah hujan yang jatuh terintersepsi oleh vegetasi yang lebat
(Kodoatie dan Syarief 2005).

10
Koefisien limpasan ini diperoleh dengan menghitung data luasan dari
masing-masing penggunaan lahan yang ada. Nilai koefisien limpasan dapat juga
digunakan untuk menentukan kondisi fisik DAS (Kodoatie dan Syarief 2005).
Perubahan tata guna lahan yang terjadi secara langsung mempengaruhi debit
puncak yang terjadi pada suatu DAS. Kondisi fisik DAS harus dilestarikan
melalui upaya peningkatan pelestarian lingkungan agar nilai koefisien limpasan
tidak meningkat secara drastis (Kodoatie dan Syarief 2005).

Debit Rancangan
Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati
suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan
Standar Internasional (SI) besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik
per detik (m3/detik).
Teknik peggukuran debit aliran langsung di lapangan pada dasarnya dapat
dilakukan melalui empat kategori (Gordon et al. 1992 dalam Asdak 2007), yaitu:
(1) pengukuran volume air sungai; (2) pegukuran dengan cara mengukur
kecepatan aliran dan menentukan luas penampang melintang sungai; (3)
pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan
dalam aliran sungai (substance tracing method); (4) pengukuran debit dengan
membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume
(aliran air cepat). Pengukuran debit pada kategori pertama, biasanya dilakukan
untuk keadaan aliran (sungai) lambat. Pada kategori pengukuran debit yang
kedua, yaitu pengukuran debit dengan bantuan alat ukur current meter atau sering
dikenal sebagai pengukuran debit melalui pendekatan velocity-area method paling
banyak dipraktekkan dan berlaku untuk kebanyakan aliran sungai. Pengukuran
debit dengan menggunakan bahan-bahan kimia, pewarna, atau radioaktif sering
digunakan untuk jenis sungai yang aliran airnya tidak beraturan (turbulent).
Kategori pengukuran debit yang keempat, yaitu pembuatan bangunan pengukuran
debit, biasanya untuk pengukuran debit jangka panjang di stasiun-stasiun
pengamatan hidrologi. Pengukuran debit aliran yang paling sederhana dapat
dilakukan dengan metode apung (floating method). Caranya dengan menempatkan
benda yang tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu
dan mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari satu
titik pengamatan ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan.
Menurut Arsyad (2010) aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke
dalam sungai dalam bentuk aliran permukaan, aliran air bawah permukaan, air
bawah tanah, dan butir-butir hujan yang langsung jatuh di permukaan sungai.
Debit aliran sungai akan naik setelah terjadi hujan yang cukup, kemudian akan
turun kembali setelah hujan selesai.
Besarnya banjir rancangan dinyatakan dalam debit banjir sungai dengan
kala ulang tertentu. Kala ulang debit adalah suatu kurun waktu berulang dimana
debit yang terjadi menyamai atau melampaui besarnya debit banjir yang
ditetapkan (banjir rancangan). Sebagai contoh adalah apabila ditetapkan banjir
rancangan dengan kala ulang T tahun, maka dapat diartikan bahwa probabilitas
kejadian debit banjir yang sama atau melampaui dan debit banjir rancangan setiap
tahunnya rata-rata adalah sebesar l/T. pernyataan tersebut dapat pula dikatakan

11
bahwa periode ulang rata-rata kejadian debit banjir sama atau melampaui debit
banjir rancangan adalah sekali setiap T tahun. (Nurrizqi dan Suyono 2012)

Pengindraan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu peralatan tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah
atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990).
Cara memperoleh obyek dalam penginderaan jauh adalah dengan
mendeteksi gelombang elektromagnetik yang dipantulkan, diserap dan
ditransmisikan atau dipancarkan oleh masing-masing obyek yang datang padanya,
sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat
dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang sedang
diteliti (Lillesand dan Kiefer 1990).
Sistem penginderaan jauh pasif (foto udara dan citra aster), yaitu sistem
penginderaan jauh yang energinya dari matahari. Panjang gelombang yang
digunakan oleh sistem pasif, tidak memiliki kemampuan menembus atmosfer
yang dilaluinya, sehingga atmosfer ini dapat menyerab (absorp) dan
menghamburkan (scatter) energi pantulan (reflektan) obyek yang akan diterima
oleh sensor (Lillesand dan Kiefer 1990). Faktor inilah yang menyebabkan nilai
reflektan obyek yang diterima sensor tidak sesuai dengan nilai reflektan obyek
yang sebenarnya di bumi.
Data penginderaan jauh dapat berupa : (1) data analog, misalnya foto udara
cetak atau data video, dan (2) data digital, misalnya citra satelit. Teknologi
Penginderaan jauh berkembang pesat dewasa ini seiring peranannya yang semakin
diperlukan dalam proses pengambilan dan pengumpulan informasi mengenai
obyek yang diamati. Murai (1996) mengklasifikasikan tipe-tipe informasi yang
bisa diekstrak melalui data penginderaan jauh menjadi 5 tipe dan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Tipe-tipe Informasi Hasil Ekstraksi dari Data Penginderaan Jauh
Tipe
Klasifikasi
Deteksi Perubahan
Ekstraksi Kualitas Fisik
Ekstraksi Indeks
Identifikasi Feature Spesifik

Sumber: Murai (1996)

Contoh
Penggunaan lahan, Vegetasi
Perubahan penggunaan lahan
Temperatur, Komponen Atmosfer,
Elevasi
Index Vegetasi, Index Kekeruhan
Identifikasi Bencana Alam seperti
Kebakaran Hutan, atau Banjir, Ekstraksi
of Linearment, Deteksi Feature
Arkeologi

12
Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan
maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar dalam citra dan menilai arti
penting obyek tersebut (Estes dan Simonett 1975 dalam Sutanto 1987). Di dalam
pengenalan obyek yang tergambar pada citra, ada rangkaian kegiatan yang
diperlukan, yaitu : deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengamatan
atas ada atau tidaknya suatu obyek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk
mencirikan obyek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup
yaitu menggunakan unsur interpretasi citra. Pada tahap analisis dikumpulkan
keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan Simonett 1975
dalam Sutanto 1987).
Pengenalan obyek merupakan tahap yang sangat penting dalam interpretasi
citra, bila obyek tidak dikenal maka analisis maupun pemecahan masalah tidak
mungkin dilakukan. Tujuh unsur-unsur interpretasi citra yang dikemukakan oleh
Lillesand dan Kiefer (1990) yaitu :
1. Bentuk; ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek
demikian mencirikan sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya
berdasarkan kriteria ini.
2. Ukuran; obyek harus dipertimbangkan sehubungan dengan skala foto.
3. Pola; ialah hubungan susunan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum
tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah
maupun bangunan, dan akan memberikan suatu pola yang membantu penafsir
untuk mengenali obyek tersebut.
4. Bayangan; penting bagi penafsir dalam dua hal yang bertentangan, yaitu:
 Bentuk atau kerangka bayangan dapat memberikan gambaran profil suatu
obyek (dapat membantu interpretasi).
 Obyek di bawah bayangan hanya dapat memantulkan sedikit cahaya dan
sukar diamati pada foto (menghalangi interpretasi).
5. Rona; ialah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto.
6. Tekstur; adalah frekuensi perubahan rona pada citra fotografi. Tekstur
dihasilkan oleh kumpulan unit kenampakan yang mungkin terlalu kecil
apabila dibedakan secara individual, seperti daun tumbuhan dan
bayangannya.
7. Situs atau lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek yang lain, dapat
sangat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek.
Kemudian Avery (1992) memberikan penambahan karakteristik asosiasi
yang menunjukkan keterkaitan suatu obyek tehadap lokasi dimana obyek tersebut
ditemukan.

Penggunaan Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrolog