Identifikasi Spesies Fabavirus Penyebab Penyakit Mosaik pada Tanaman Nilam

IDENTIFIKASI SPESIES FABAVIRUS PENYEBAB
PENYAKIT MOSAIK PADA TANAMAN NILAM

FITRIANI BR MILALA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRACT
FITRIANI BR MILALA. Identification of Fabavirus Species Causing Mosaic
Disease on Patchouli Plants. Supervised by GEDE SUASTIKA.
A survey was performed in West Java to detect Fabavirus infection in
patchouli (Pogostemon cablin Benth) plants and to identify the virus species
according its nucleotide sequences. From 25 plant samples of patchouli showing
mosaic symptoms, two samples obtained from Cicurug, Sukabumi and other two
samples from Gunung Bunder, Bogor were positively infected by Fabavirus
(designed as CG15 and CG16 & GB 27 and GB29, respectively) based on
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) using general antiserum to

Fabavirus. Evidence of the Fabavirus infections in the patchouli plant samples
were also reconfirmed by reverse transcription-polymerase chain reaction (RTPCR) using general primer for Fabavirus. To elucidate the species of the virus
isolates, the RT-PCR products of CG16 and GB 29 were sequenced directly
without cloned to any plasmid vector. The sequence consisted of about 322
nucleotide, accordance with designed primers [BBWVVSSP (5‟GTBTCDAGTGCTYTDGAAGG-3‟, B = C, G, or T; D = A, G, or T; Y = C or T)
and BBWVKMRM (5‟-TDGWDCCATCVAGICKCATTTT-3‟, W = A or T; V =
A, C, or G; I = Inosine; K = G or T)]. The alignment of nucleotide sequences
confirmed the identities of the virus isolates as Broad bean wilt virus 2 (BBWV2). This is the first report for occurrence of BBWV-2 causing mosaic symptoms in
patchouli plant in Indonesia.
Keywords: Patchouli, Broad bean wilt virus 2.

ABSTRAK
FITRIANI BR MILALA. Identifikasi spesies Fabavirus penyebab penyakit
mosaik pada tanaman nilam. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA.
Survei di daerah Jawa Barat dilakukan untuk mendeteksi infeksi Fabavirus
pada tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) dan untuk mengidentifikasi
spesies virus berdasarkan sikuen nukleotidanya. Dari 25 sampel tanaman nilam
yang menunjukkan gejala mosaik dan variasinya, dua sampel didapatkan dari
Cicurug, Sukabumi dan dua lainnya berasal dari Gunun Bunder, Bogor positif
diinfeksi oleh Fabavirus (dibuat dengan nama CG15 dan CG16 & GB27 dan

GB29, berturut-turut) berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
menggunakan antiserum untuk Fabavirus. Keberadaan infeksi Fabavirus pada
sampel tanaman nilam dikonfirmasi dengan uji molekuler melalui reverse
transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) menggunakan primer untuk
Fabavirus. Untuk menguraikan spesies dari isolat virus, produk RT-PCR CG16
dan GB29 disikuensing langsung tanpa kloning pada vektor plasmid. Sikuen
terdiri dari sekitar 322 nukleotida, berdasarkan primer yang didesain
[BBWVVSSP (5‟-GTBTCDAGTGCTYTDGAAGG-3‟, B = C, G, or T; D = A,
G,
or
T;
Y
=
C
or
T)
and
BBWVKMRM
(5‟TDGWDCCATCVAGICKCATTTT-3‟, W = A or T; V = A, C, or G; I = Inosine;
K = G or T)]. Penjajaran sikuen nukleotida mengonfirmasi identitas dari isolat

virus sebagai Broad bean wilt virus 2 (BBWV-2). Penelitian ini merupakan
laporan pertama keberadaan BBWV-2 penyebab penyakit mosak pada tanaman
nilam di Indonesia.
Kata kunci: Nilam, Broad bean wilt virus 2.

IDENTIFIKASI SPESIES FABAVIRUS PENYEBAB
PENYAKIT MOSAIK PADA TANAMAN NILAM

FITRIANI BR MILALA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012


LEMBAR PENGESAHAN
Judul

: Identifikasi Spesies Fabavirus Penyebab Penyakit
Mosaik pada Tanaman Nilam

Nama

: Fitriani Br. Milala

NRP

: A34070025

Disetujui,
Pembimbing I

Dr. Ir. Gede Suastika, MSc.
NIP.19620607 198703 1 003


Diketahui,
Plh. Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Ruly Anwar, MSi.
NIP. 19641224 199103 1 003

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Singgamanik, Medan, Sumatera Utara pada
tanggal 6 Mei 1989 dari pasangan Naksir Milala (Alm.) & Bungaros Sinuraya
dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan
menengah atas di SMA Negeri 9 Bogor tahun 2007. Pada tahun yang sama
diterima sebagai mahasiswa baru program studi Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB
(USMI).
Selama kuliah, penulis mengikuti kegiatan kepanitiaan dan organisasi
mahasiswa, diantaranya tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman
(HIMASITA) sebagai anggota Divisi Kreativitas, Minat & Bakat serta

bertanggung jawab sebagai koordinator acara-acara Himasita yang berkaitan
dengan kreativitas mahasiswa PTN selama periode 2009-2010.

Penulis juga

terlibat dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Gagasan Tertulis (PKMGT) yang berjudul “Potensi Bahan Aktif Keladi Tikus (Typonium flagelliforme
Ldd.) sebagai Biofungisida Cendawan Antraknosa Buah Cabai (Capsicum
sp.)” pada tahun 2010. Dalam organisasi kerohanian, penulis ambil bagian sebagai
Wakil Koordinator Pembinaan Komisi Pelayanan Khusus (Kopelkhu, periode 20092010) dan Koordinator Pembinaan Kelompok Pra-Alumni (Kopral, periode 20102011) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK IPB). Penulis juga berkesempatan
menjadi penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dari tahun 20072011.

PRAKATA
Puji syukur hanya kepada Tuhan Yesus Kristus yang melimpah kasih setiaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
“Identifikasi spesies Fabavirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam”.
Penulisan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada program studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr Ir Gede Suastika,
MSc. sebagai dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang
melalui arahan, nasihat dan teladannya serta dukungan materi bahan penelitian
selama proses menyelesaikan studi di IPB, sehingga penulis dapat

menyelesaikan pengerjaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Dr Ir Pudjianto, MSi. selaku dosen penguji tamu yang telah menyediakan
waktu dan perhatiannya dalam seminar dan sidang. Dan secara khusus kepada Bu
Dr Ir Nina, MSi yang memberikan dorongan semangat pada penulis untuk
menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Laboratorium
Virologi Tumbuhan; Mbak Tuti, Mbak Miftah, dan Bu Rita yang memberikan
arahan teknis selama proses penelitian, serta Mbak Mel, Mbak Dwi, Kak Aceu,
Pak Irwan, Bu Asni, Pak Edi, Shora, Rita, Sherly, Harwan, Rizki, Santi, dan
Avanty yang membantu penulis selama bekerja di laboratorium. Untuk saudaraku
Devi, Erika, Mia, Basten dan Han yang setia memotivasi dan memberi perhatian
tulus kepada penulis. Penulis juga bersyukur dan berterimakasih diberi kesempatan
tergabung dalam Departemen Proteksi Tanaman bersama teman-teman DPT 44 dan
keluarga Komisi Pelayanan Khusus PMK IPB serta semua pihak yang tidak
disebutkan satu per satu.
Penghargaan dan rasa terima kasih penulis haturkan untuk ibunda
Bungaros Sinuraya, kakak terkasih Desnatalia Milala, juga teladan & kenangan
akan ayahanda Naksir Milala (Alm.) serta keluarga besar Sinuraya dalam
memberikan dukungan semangat dan doa.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurnanya sebuah tulisan ilmiah.

Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran agar isi dan materi
skripsi ini semakin selaras dengan peruntukannya. Akhir kata penulis
menyerahkan skripsi ini sebagai bagian dari literasi virologi yang kiranya
bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Fitriani Br Milala

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................

x

PENDAHULUAN ....................................................................................

1


Latar Belakang ................................................................................
Tujuan Penelitian .............................................................................
Manfaat Penelitian ...........................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................

3

Sistematika dan Karakteristik Nilam ................................................
Penyakit pada Tanaman Nilam ........................................................
Fabavirus ........................................................................................
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ..............................
Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ........

3

4
5
7
8

BAHAN DAN METODE .........................................................................

10

Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................
Metode Penelitian ............................................................................
Penyiapan Sampel Tanaman .....................................................
Deteksi Virus dengan Teknik Serologi DAS-ELISA ................
Deteksi dan Identifikasi secara Molekuler ..............................
Ekstraksi RNA Total .........................................................
Sintesis cDNA ..................................................................
Amplifikasi DNA ..............................................................
RT-PCR ............................................................................
Elektroforesis .......................................................................
Analisis sikuen nukleotida .................................................


10
10
10
10
11
11
12
13
13
14
15

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................

16

Deteksi Fabavirus pada Tanaman Nilam ........................................
Deteksi Fabavirus Melalui Uji Serologi ..................................
Deteksi Fabavirus Melalui RT-PCR .......................................
Identifikasi Spesies Fabavirus pada Tanaman Nilam ....................
Nilai Penjajaran Sikuen Nukleotida ..........................................
Hubungan Kekerabatan antara Isolat .................................

16
16
17
18
18
21

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................

24

Kesimpulan .....................................................................................
Saran ...............................................................................................

24
24

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

25

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Komposisi reagensia Reverse Transcription (RT) (Promega; USA)
untuk reaksi sintesis complementary DNA terhadap RNA genom
Fabavirus isolat nilam Cicurug dan Gunung Bunder .....................

13

2. Komposisi reagensia Polymerase Chain Reaction (PCR)
(Promega; USA) amplifikasi gen coat protein (CP) Fabavirus
isolat nilam Cicurug dan Gunung Bunder ...................................

14

3. Tingkat homologi isolat Cicurug dan Gunung Bunder dengan
isolat BBWV 2 dari beberapa negara berdasarkan sikuen
nukleotida sebagian gen CP Fabavirus..........................................

20

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Organisasi genom Fabavirus (SIB 2009) ......................................

6

2. Organisasi genom BBWV-ME RNA1 (A) dan RNA2 (B)
mewakili genus Fabavirus spesies BBWV 2 (Koh et al. 2001) ...

7

3. Variasi gejala yang berasosiasi dengan infeksi Fabavirus pada
tanaman nilam dari daerah Cicurug (CG) dan Gunung Bunder
(GB) ..............................................................................................

17

4. Hasil amplifikasi DNA sebagian genom virus (di daerah gen
coat protein) melalui RT-PCR menggunakan pasangan primer
spesifik Fabavirus. Lajur M = marker 100 bp DNA ladder; Lajur
K(-) = Kontrol negatif dari tanaman nilam sehat; Lajur CG15
dan CG16 = isolat asal Cicurug no. 15 dan no. 16; Lajur GB27
dan GB29= isolat asal Gunung Bunder no. 27 dan no. 29 ...........

18

5. Penjajaran sikuen nukleotida hasil ClustalW sebagian gen CP
Fabavirus-GB (isolat Gunung Bunder) dan Fabavirus-CG (isolat
Cicurug) terhadap ke-11 isolat pada basis data GeneBank
menggunakan program GeneDoc v2.7...........................................

20

6. Kladogram sikuen nukleotida sebagian gen CP Fabavirus isolat
Cicurug dan Gunung Bunder dibandingkan terhadap ke-11 isolat
pada basis data GeneBank menggunakan metode UPGMA Tree
pada MEGA v5.05 .........................................................................

22

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak atsiri yang penting, menyumbang devisa lebih dari 50% total
ekspor minyak atsiri di Indonesia. Data Direktorat Jenderal Perkebunan
(Ditjenbun 2007) pada tahun 2004 menyebutkan ekspor nilam Indonesia
mencapai 2074 ton atau setara dengan US$ 27,137 juta. Angka ekspor ini terus
bertambah karena kebutuhan nilam dunia semakin meningkat diantaranya
digunakan sebagai bahan baku dalam industri pembuatan minyak wangi,
kosmetika, farmasi, insektisida, aromaterapi dan digunakan juga sebagai bahan
aditif dalam makanan. Minyak nilam (patchouli oil) diperoleh dari proses
penyulingan daun nilam yang digunakan sebagai bahan fixative (pengikat) dalam
industri parfum dan hingga saat ini belum dapat dibuat bahan substitusinya secara
sintesis (Wikardi et al. 1990; Ibnusantoso 2000).
Meskipun dikenal sebagai penyedia hampir 90% kebutuhan minyak atsiri
dunia, produktivitas dan mutu minyak nilam Indonesia masih terbilang rendah.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; penggunaan varietas nonunggul, teknologi budidaya minim pemeliharaan, teknik panen dan pasca panen
yang belum tepat dan adanya serangan patogen penyebab penyakit. Khusus untuk
hal terakhir, beberapa penyakit penting yang dilaporkan dapat menurunkan
produksi tanaman nilam diantaranya penyakit budok, layu bakteri, penyakit yang
disebabkan serangan nematoda, penyakit akar putih, dan bercak daun. Selain
penyakit penting tersebut, beberapa virus dilaporkan telah menginfeksi
pertanaman nilam di berbagai negara seperti Patchouli virus X (PatVX) genus
Potexvirus di Brazil (Filho et al. 2002), Patchouli mild mosaic virus (PaMMV)
genus Fabavirus, Patchouli mottle virus (PaMoV) genus Potyvirus di Jepang
(Natsuaki et al. 1994) dan akhir-akhir ini infeksi virus pada pertanaman nilam
juga ditemukan di Bogor dan Cianjur (Sukamto et al. 2007). Gejala infeksi virus
pada nilam memang tidak terlihat merugikan karena tanaman masih dapat
berproduksi, namun seperti yang dilaporkan Sugimura et al. (1995) patogen virus

2
dari golongan Fabavirus dapat menurunkan produksi sebesar 35% dan kadar
patchouli alcohol turun sebesar 2%.
Hingga saat ini belum ada laporan mengenai status penyakit mosaik dan
kerugian yang diakibatkan Fabavirus pada nilam di Indonesia, sehingga sebagai
langkah awal pengendalian penyakit yang tepat perlu dilakukan upaya deteksi dan
identifikasi terhadap temuan penyakit mosaik di lapangan. Penelitian yang
dilakukan Apindiati (2012) merupakan laporan pertama tentang infeksi alami
TeMV (Telosma mosaic virus) yang termasuk genus Potyvirus pada tanaman
nilam di Indonesia dan didukung juga oleh hasil penelitian Satyani (2012)
terhadap kemungkinan infeksi Potyvirus dan atau Fabavirus serta infeksi
keduanya secara bersamaan pada tanaman nilam, mengindikasikan diperlukannya
langkah deteksi dan identifikasi Fabavirus yang berasosiasi dengan tanaman
nilam dalam kajian terpisah.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi Fabavirus yang
menyebabkan penyakit mosaik pada tanaman nilam.
Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini akan diketahui informasi mengenai asosiasi penyakit
mosaik dengan Fabavirus yang menginfeksi tanaman nilam. Dengan demikian,
strategi pengendalian penyakit dapat diarahkan secara tepat.

TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika dan Karakteristik Nilam
Menurut Guenther (1952 dalam Nuryani 2006) sistematika nilam adalah
sebagai berikut:
divisi

: Spermatophyta

kelas

: Angiospermae

ordo

: Lamiales

famili

: Labiateae

genus

: Pogostemon

spesies : - Pogostemon cablin Benth
- Pogostemon heyneanus Benth
- Pogostemon hortensis Backer
Tanaman nilam adalah tanaman perdu wangi yang berakar serabut,
permukaan daun seperti beludru jika diraba dengan tangan, bentuk daun
membulat lonjong seperti jantung dengan warna hijau agak pucat. Bagian bawah
daun dan rantingnya berbulu halus. Batangnya berkayu dengan diameter 10 – 20
mm relatif hampir berbentuk segi empat. Sebagian besar daun yang melekat pada
ranting hampir selalu berpasangan satu sama lain. Jumlah cabang yang banyak
dan bertingkat mengelilingi batang sekitar 3–5 cabang per tingkat. Tanaman ini
memiliki umur tumbuh yang cukup panjang, yakni sekitar tiga tahun, panen
perdana dapat dilakukan pada bulan ke 6–7 dan seterusnya setiap 2–3 bulan sekali
bergantung pemeliharaan dan pola tanam, kemudian dapat diremajakan kembali
dari hasil tanaman melalui persemaian maupun pembibitan berupa setek (Mangun
2002).
Budidaya nilam tidak sulit, tanaman nilam tumbuh dan berproduksi dengan
baik pada ketinggian hingga 700 mdpl (Nuryani 2006). Sedangkan Mauludi &
Asman (2005) menyebutkan tanaman nilam dapat tumbuh pada ketinggian 10–
1200 m dpl. Lebih lanjut disebutkan nilam dapat tumbuh pada segala jenis tanah,
namun tumbuh lebih baik pada tanah gembur dan mengandung bahan organik
tinggi, bertekstur lempung sampai liat berpasir, pH 5–5,7. Nilam juga
memerlukan curah hujan yang merata dalam jumlah cukup. Saat berumur lebih

4
dari 6 bulan, ketinggian tanaman nilam dapat mencapai 60-90 cm dengan radius
cabang sekitar 60 cm.
Hasil produksi tanaman nilam yang dapat dipetik untuk disuling adalah
bagian daun. Selain itu, bagian lain seperti ranting, batang dan akar, dalam
prakteknya juga ikut disuling dalam keadaan bercampur.tetapi kandungan minyak
yang dimilikinya relatif lebih sedikit daripada bagian daun. (Mauludi & Asman
2005).
Di Indonesia terdapat tiga jenis nilam yang dibudidayakan secara umum,
ketiganya dapat dibedakan dari karakter morfologi, kandungan & kualitas minyak
serta ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut
adalah: 1) P. cablin Benth. sinonim P. patchouli Pellet van Suavis Hook disebut
nilam Aceh, 2) P. heyneanus Benth. disebut nilam Jawa dan 3) P. hortensis
Becker disebut nilam sabun. Nilam dengan penyebaran paling luas dan banyak
dibudidayakan adalah nilam Aceh, karena kualitas minyaknya berkadar tinggi (>
2,5%) dibandingkan dengan jenis nilam lainnya. (Nuryani 2006)
Nilam adalah salah satu tanaman penghasil minyak atsiri, oleh sebab itu
produksi, kadar dan mutu minyak serta sifat ketahanan terhadap penyakit
merupakan faktor penting yang dapat dipergunakan untuk menentukan
keunggulan suatu varietas. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar dan mutu
minyak nilam, antara lain sifat genetik, budidaya, lingkungan, panen dan pasca
panen (Nuryani 2006). Berdasarkan sifat genetiknya telah dilepas tiga varietas
nilam unggul pada tahun 2005 yakni, varietas Tapak Tuan, varietas
Lhokseumawe, dan varietas Sidikalang (Nuryani 2005).
Penyakit pada Tanaman Nilam
Dalam pengembangan budidaya nilam banyak kendala yang dihadapi oleh
petani, salah satunya adalah serangan penyakit seperti layu bakteri, nematoda,
budok, infeksi virus dan beberapa penyakit yang belum diketahui penyebabnya.
(Sukamto & Wahyuno 2007)
Gejala penyakit layu bakteri ditandai dengan tanaman menjadi layu pada
bagian cabang dan gejala lanjut berupa seluruh bagian tanaman menjadi layu atau
mati dalam waktu singkat. Penyakit budok menimbulkan gejala bengkak-bengkak
(scabies) pada daun dan batang, pada serangan berat pertumbuhan vegetatif akan

5
terhambat sehingga rumpun tanaman tidak bertambah besar. Sedangkan penyakit
yang diakibatkan oleh infeksi virus ditandai beberapa macam gejala berupa gejala
belang-belang (mottle) atau bintik-bintik yang membentuk mosaik pada
permukaan daun nilam, maupun kombinasi keduanya. Gejala ini muncul pada
daun muda dan kemudian diikuti oleh seluruh permukaan daun tanaman nilam.
Infeksi virus umumnya muncul seiring serangan hama kutu daun. Apabila tidak
dilakukan pengendalian penyakit akan cepat meluas dan pada serangan lanjut
akan menurunkan produksi tanaman nilam.
Menurut Natsuaki et al. (1994) dan Sugimura et al. (1995), tanaman nilam
Indonesia dan Taiwan diinfeksi oleh Patchouli mottle virus (PaMoV) genus
Potyvirus dan Patchouli mild mosaic virus (PaMMV) genus Fabavirus dengan
persentase tinggi. Kedua virus ini juga menyerang tanaman nilam di Bogor,
Bandung dan Cianjur (Sukamto et al. 2007). Dengan adanya laporan awal ini
perlu dilakukan deteksi dan identifikasi sebagai langkah awal pengendalian yang
tepat terhadap keberadaan virus ini di Indonesia. Salah satu pertanaman nilam di
Indonesia, daerah Brebes diindikasikan telah terinfeksi oleh virus dengan gejala
mosaik. Berdasarkan deteksi awal dengan uji serologi, gejala tersebut disebabkan
oleh Fabavirus.
Fabavirus
Genus Fabavirus dapat menginfeksi tanaman dalam berbagai kisaran
inang, termasuk tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan tanaman
hortikultura dari berbagai spesies sehingga menyebabkan kehilangan hasil yang
tinggi pada berbagai tanaman di dunia setiap tahunnya (Ferrer et al. 2007).
Fabavirus yang termasuk ke dalam famili Comoviridae, berbentuk isometric
virus dengan diameter sekitar 30 nm seperti yang ditunjukkan Gambar 1. Genom
virus ini terdiri dari dua utas-tunggal RNA yang berisi partikel virus yang identik
sama namun terpisah dimulai dari 6.0–6.3 kb (RNA1) dan 3.9–4.5 kb (RNA2)
dimana terjadi pemisahan (encapsid) pada komponen B dan M secara berturut-turut,
terkadang ditemukan juga virus tanpa partikel di dalamnya. Selubung protein dari
tiap partikel terdiri atas satu, dua, atau tiga jenis subunit protein, yaitu Mr 40 x 103
sampai 45 x 103 (large coat protein; LCP) dan 21 x 103 sampai 27 x 103 (small
coat protein; SCP) (Agrios 2005; Kobayashi et al. 2005). RNA Fabavirus

6
ditranslasikan menjadi single polyprotein awal, dimana protein fungsional
diperoleh dari pemecahan proteolytic yang terjadi seperti pada Comoviridae
(Wellink et al. 2000).

Gambar 1 Organisasi genom Fabavirus (SIB 2009)
Hingga saat ini, terdapat tiga spesies dalam genus Fabavirus yaitu Broad
bean wilt virus 1 (BBWV-1), Broad bean wilt virus 2 (BBWV-2), Lamium mild
mosaic virus (LaMMV) dan kandidat spesies baru, Gentian mosaic virus
(GeMV) (Kobayashi et al. 2005). BBWV-1 dan BBWV-2 dapat dibedakan
berdasarkan

uji

serologi (Uyemoto & Provvidenti 1974). Kobayashi et al.

(2003) dalam penelitian sebelumnya melaporkan bahwa seluruh sikuen
nukleotida dari RNA BBWV-1 dan BBWV-2 memiliki hubungan genetik satu
dengan lainnya. Tanaman yang terdeteksi tunggal BBWV memiliki gejala mosaik,
vein-clearing, rugosity, dan malformasi pada daun (Kondo et al. 2005). BBWV
memiliki kisaran inang yang luas pada tanaman dikotil dan beberapa famili
tanaman monokotil (Qi et al. 2000). Patchouli mild mosaic virus (PaMMV) juga
telah diklasifikasikan sebagai spesies yang termasuk dalam Fabavirus (Ferrer et al.
2005; Kobayashi et al. 2003) dan telah diusulkan sebagai salah satu isolat BBWV-2
(Ikegami 1998, 2001). Isolat BBWV-ME merupakan isolat Broad bean wilt virus 2
asal Singapura (Koh et al. 2001) dan pada Gambar 2 diperlihatkan organisasi
genom yang menunjukkan garis sikuen non-coding dan kotak menggambarkan
sikuen poliprotein yang disandikan oleh ORF. Garis vertikal memperlihatkan dugaan
situs pemilahan protease. Ukuran dari produk yang memisah ditunjukkan sepanjang

7
bagian yang diketahui dan dugaan fungsinya. Tanda tanya mewakili bagian yang
tidak dapat ditentukan tapi diduga merupakan keberadaan VPg dan (A)n adalah
polyadenylated tail.
(A)

(B)

Gambar 2 Organisasi genom BBWV-ME RNA1 (A) dan RNA2 (B) mewakili
genus Fabavirus spesies BBWV 2 (Koh et al. 2001)
Virus yang termasuk kedalam genus Fabavirus dapat ditularkan oleh kutu daun
(aphid) secara non-persisten dan dapat menyebabkan penyakit pada bagian tanaman
dan buah (Kobayashi 2005). Selain itu, dapat juga ditularkan secara mekanis,
namun tidak melalui benih. Untuk mendeteksi dan melakukan diagnosis penyakit
akibat Fabavirus pada tanaman, dapat dilakukan uji serologi DAS-ELISA
(Kobayashi et al. 2005) dengan antiserum BBWV-1 dan BBWV-2 yang telah
tersedia secara komersial (Ferrer et al. 2007).
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Penggunaan teknik
(ELISA)

serologi Enzyme

Linked

Immunosorbent

Assay

diaplikasikan secara luas untuk deteksi dan identifikasi patogen

tumbuhan (Converse & Martin 1990; Seal & Elphinstone 1994). Hal tersebut
dikarenakan teknik ini: (1) efisien menggunakan bahan kimia 1,0 ml antiserum
dapat digunakan untuk menguji 10–20 ribu sampel; (2) bahan kimia yang
digunakan tidak berbahaya dan memiliki daya simpan lama; (3) bahan yang diuji
dapat langsung berupa ekstrak tanaman sakit tanpa harus mengisolasi patogennya
terlebih dahulu; (4) mempunyai kepekaan deteksi tinggi (1–10 ng virus/ml

8
dan 103–104 sel bakteri/ml); (5) prosedurnya relatif sederhana dan cepat, antara 5–
24 jam; (6) hasilnya berupa data kuantifikasi; (7) dapat digunakan untuk menguji
sampel dalam jumlah besar sekaligus; dan (8) dapat digunakan langsung di
lapangan (Thomas et al. 1989; Converse & Martin 1990; Agrios 2005).
Dalam perkembangannya, teknik ELISA dimodifikasi baik dari segi praktis
maupun keunggulannya sehingga muncul berbagai varian teknik ELISA
(Randles et al. 1996; Seal 1997). Namun secara umum dalam prosedurnya ELISA
dibagi menjadi dua kategori, yakni ELISA secara langsung yang dikenal dengan
DAS-ELISA (Double Antibody Sandwich) dan ELISA tidak langsung atau
Indirect ELISA (I-ELISA). Perbedaan kedua metode ini adalah pada tempat
enzim terikat. Bila konjugasi enzim dilakukan pada imunoglobulin antivirus maka
metode itu termasuk DAS-ELISA, tetapi bila konjugasi enzim dilakukan pada
imunoglobulin dari serum darah hewan maka metode tersebut diklasifikasikan
sebagai I-ELISA (Badan Karantina Tanaman 2009).
Sebagai uji serologi, prinsip dasar ELISA adalah reaksi antara antigen (Ag)
dengan antibodi (Ab) menjadi molekul Ag-Ab yang lebih besar dan mudah
mengendap. Pengamatan hasil reaksi pada ELISA berdasarkan perubahan warna
yang terjadi pada substrat pereaksi sesuai dengan label atau imunoprob (immuno
probe) konjugat antibodi-enzim. Perubahan warna terjadi akibat hidrolisis
enzimatik pada reaksi antara konjugat antibodi-enzim dengan substratnya,
sehingga hasil ELISA lebih peka dan dapat dikuantifikasi (Converse & Martin
1990). Tahapan umum ELISA meliputi penempelan (trapping) Ag atau Ab
pada media reaksi (solid phase) pada cawan mikrotiter ELISA, diikuti
penambahan konjugat, dan diakhiri dengan penambahan substrat serta bufer
penghenti reaksi (blocking buffer). Setelahnya, cawan mikrotiter ELISA dibaca pada
ELISA-reader pada panjang gelombang 405 nm. Nilai absorbansi dari hasil ELISA
dapat diverifikasi dengan melanjutkan uji molekuler seperti PCR.
Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Beberapa komponen genetik virus tanaman adalah RNA, terutama
jenis-jenis viroid yang hanya terdiri dari RNA. Untuk melipat gandakan DNA dari
cetakan yang berupa RNA maka sebelumnya perlu dilakukan sebuah tahapan
yaitu transkripsi balik (reverse transcription). Pada tahap ini cetakan RNA

9
terlebih dahulu diubah menjadi cDNA (complementary DNA) menggunakan
enzim reverse transcriptase.
Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode deteksi
yang sensitif dan cepat dalam mendeteksi virus. PCR merupakan sebuah metode
yang digunakan untuk memperbanyak suatu fragmen DNA yang spesifik secara invitro. Posisi fragmen DNA yang spesifik tersebut ditentukan oleh sepasang
primer yang akan menjadi cetakan awal untuk proses perbanyakan fragmen DNA
selanjutnya

dengan bantuan enzim polimerase dan

deoxyribonucleotide

triposphate (dNTPs) yang dikondisikan pada suhu tertentu. Fragmen DNA, yang
pada awalnya terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah akan diperbanyak
menjadi cetakan fragmen DNA baru yang cukup untuk dapat divisualisasi pada
gel agarosa (Badan Karantina Tanaman 2009).
Dalam prinsipnya, PCR merupakan proses yang dilakukan berulangulang antara 20–30 kali. Setiap siklus terdiri dari tiga tahap. Berikut adalah tiga
tahap kerja PCR dalam satu siklus:
1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini, berlangsung
pada suhu tinggi (94 °C–96 °C), ikatan hidrogen DNA terputus karena
mengalami denaturasi akibat suhu tinggi sehingga struktur DNA terpisah
menjadi utas tunggal. Biasanya tahap ini dapat dilakukan agak lama
(hingga 5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pada
pemisahan ini DNA tidak stabil dan siap menjadi template bagi primer.
Durasi tahap ini 1–2 menit.
2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian
DNA template yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada
suhu antara 45 °C–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu
yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau
primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
3. Tahap pemanjangan atau elongation. Suhu untuk proses ini tergantung
dari jenis DNA polymerase yang dipakai. Dengan Taq-polymerase, proses
ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Survei penyakit mosaik dan koleksi sampel tanaman nilam sakit dilakukan
di Kebun Percobaan Balai Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) di daerah
Gunung Bunder dan Cicurug, Jawa Barat. Deteksi virus dilakukan di
Laboratorium Virologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai Desember
2011.

Metode Penelitian
Penyiapan Sampel Tanaman
Sampel tanaman nilam yang memperlihatkan gejala mosaik dikoleksi dari
dua lokasi Kebun Percobaan Balittro di daerah Cicurug, Sukabumi dan daerah
Gunung Bunder, Bogor. Setiap sampel yang diambil didokumentasikan dengan
melihat gejala pada daun nilam yang diindikasikan merupakan asosiasi dengan
Fabavirus yakni, mosaik dan modifikasi gejalanya; mosaik ringan, bintik-bintik,
belang, hingga malformasi seperti daun mengeriting dan daun melekuk.
Selanjutnya sampel daun nilam sakit dari lapangan digunakan sebagai sumber
inokulum pertama dan diuji secara serologi menggunakan berbagai antiserum
termasuk antiserum terhadap Fabavirus.
Deteksi Virus dengan Teknik Serologi DAS-ELISA
Teknik serologi melalui DAS-ELISA menggunakan produk DSMZ
(Germany), dengan prosedur seperti yang telah dijelaskan oleh Clark & Adams
(1977): IgG atau antiserum diencerkan pada coating buffer (1.59 g sodium
carbonate [Na2CO3], 2.93 g sodium bicarbonate [NaHCO3], dan 0.20 g sodium
azide [NaN3] dilarutkan dalam 900 ml H2O dengan mengatur pH pada 9.6
menggunakan HCl, kemudian jadikan larutan hingga 1000 ml). Dengan
menggunakan perbandingan 1:1000, larutan dimasukkan ke setiap well pada
microplate sebanyak 100 µl, diinkubasi selama 2–4 jam pada suhu 37 °C. Plate

11
dicuci dengan PBST-Tween (8.0 g sodium chloride [NaCl], 0.2 g monobasic
potassium phospate [KH2PO4], 1.15 g dibasic sodium phospate [Na2HPO4], 0.2
potassium chloride [NaN2], dilarutkan dalam 900 ml H2O (pH diatur 7,4 dengan
NaOH dan HCl) kemudian larutan ditambahkan H2O hingga volume menjadi
1000 ml, selanjutnya ditambahkan 0.5 Tween 20), kemudian plate dikeringkan
dengan membalikkan plate diatas kertas tissue. Pencucian diulang tiga kali.
Sampel (diekstraksi dengan ekstrak buffer PBST + 2% PVP [sediakan PVP-15
polyvinyl pyrrolidone]) lalu dimasukkan ke dalam tiap well sebanyak 100 µl
dilanjutkan dengan inkubasi semalam. Setelahnya plate dicuci dengan PBST
sebanyak tiga kali. Antivirus conjugate dilarutkan pada conjugate buffer
(PBST+2% egg albumin [Sigma A-5253] sesuai rekomendasi), ditambahkan 100
µl di setiap well, inkubasikan selama 4 jam pada suhu 37 °C. Plate dicuci dengan
PBST tiga kali. Kemudian siapkan substrat baru; 10 mg p-nitrophenyl phospate
(Sigma; Fluka) yang dilarutkan pada 10 ml substrate buffer (97 ml
diethanolamine, 600 ml H2O, 0.2 g sodium azide [NaN3], pH diatur 9.8 dengan
HCl, dan volume dijadikan 1000 ml). Substrat tersebut ditambahkan sebanyak 100
µl dalam tiap well, lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 30, 60 dan 90 menit.
Selama waktu-waktu tersebut plat mikrotiter diuji secara kuantitatif menggunakan
ELISA-reader (Bio-RAD 550) pada panjang gelombang 405 nm. Dalam setiap
pengujian disertakan kontrol negatif, yaitu tanaman sehat dan buffer. Pengujian
dikatakan positif jika nilai absorban sampel yang diuji menunjukkan nilai dua kali
(2X) lebih besar daripada kontrol negatif tanaman sehat.
Deteksi dan Identifikasi secara Molekuler
Ekstraksi RNA total. RNA total diekstraksi dari jaringan daun tanaman
nilam bergejala penyakit mosaik dengan menggunakan kit komersial Bench-Top
Protocols for Xprep Plant RNA Mini Kit (PKT; Korea). Tanaman yang diekstraksi
merupakan tanaman yang telah diuji menggunakan ELISA dan positif
Fabavirus. Tahapannya adalah sebanyak 0,1 g sampel daun digerus dengan
menggunakan mortar dan pistil steril dengan bantuan nitrogen cair. Hasil gerusan
dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml dan ditambahkan 450 µl buffer XPRB
yang mengandung 1% mercaptoethanol, kemudian dihomogenkan. Sampel

12
dipipet, lalu dimasukkan ke dalam filter column putih dan ditempatkan pada
tabung koleksi 2 ml, lalu disentrifuse pada kecepatan 12000 rpm selama 2
menit. Supernatan dipipet tanpa menyentuh pelet dalam tabung koleksi, ukur
volume supernatan yang diperoleh lalu dipindahkan ke dalam tabung mikro 2 ml
baru. Kemudian ethanol 96% ditambahkan (sebanyak setengah dari volume
supernatan) dan dicampur dengan rata. Sampel dimasukkan ke dalam XPPLR
mini column merah, kemudian ditempatkan pada tabung koleksi 2 ml lalu
disentrifuse pada kecepatan 12000 rpm selama 1 menit. Cairan yang terdapat pada
tabung koleksi dibuang, kemudian ditambahkan 500 µl wash buffer 1 ke dalam
XPPLR mini column, lalu ditutup dengan baik dan disentrifuse pada kecepatan
12000 rpm selama 1 menit. Cairan yang terdapat pada tabung koleksi dibuang,
kemudian ditambahkan 700 µl wash buffer 2 ke dalam XPPLR mini column, lalu
ditutup dengan baik dan disentrifuse pada kecepatan 12000 rpm selama 1 menit.
Cairan yang terdapat pada tabung koleksi dibuang, kemudian untuk mengeringkan
XPPLR

mini column disentrifuse selama 3 menit pada 12000 rpm. Untuk

meyakinkan bahwa tabung column telah kering, column dipindahkan pada tabung
koleksi baru. Selanjutnya, 50 µl RNAse free water ditambahkan ke dalam pusat
membran XPPLR mini column, didiamkan selama 1 menit lalu disentrifuse pada
kecepatan 12000 rpm selama 2 menit. Siapan RNA total ini digunakan sebagai
template dalam reaksi RT-PCR.
Sintesis cDNA. Total RNA didenaturasi dengan pemanasan 5 menit pada
suhu 95 °C. RNA hasil ekstraksi selanjutnya ditranskripsi balik menjadi
cDNA (complementary DNA) dengan menggunakan teknik Reverse Transcription
(RT) selama 1 jam pada suhu 42 °C. RNA. Konsentrasi reagensia yang digunakan
dalam reaksi RT pada Tabel 1 dicampurkan dalam microtube. Reaksi RT
dilakukan dalam sebuah mesin Automated Thermal cycler Gene Amp PCR
System 9700; PE Applied Biosystem, USA) yang diprogram untuk satu siklus
pada suhu 25 °C selama 5 menit, 42 °C selama 60 menit, dan 70 °C selama 15
menit. Hasil RT berupa cDNA digunakan sebagai DNA template dalam reaksi
PCR.

13
Tabel 1 Komposisi reagensia Reverse Transcription (RT) (Promega; USA) untuk
reaksi sintesis complementary DNA terhadap RNA genom Fabavirus
isolat nilam Cicurug dan Gunung Bunder
Volume (µl) a

Volume (µl) b

H2O

2,20

8,80

Buffer RT 5

2,00

4,00

DTT 50 mM

0,35

1,40

dNTP 10 mM

2,00

8,00

M-MuLV Rev

0,35

1,40

RNAse inhibitor

0,35

1,40

Oligo d(T) 10 mM

0,75

3,00

RNA template

2,00

8,00

Total volume (µl)

10,00

40,00

Komponen

a

Volume total yang diperlukan sebanyak 10 µl untuk 1X reaksi; bVolume total yang diperlukan
sebanyak 40 µl untuk 4X reaksi

Amplifikasi DNA.

Total RNA hasil ekstraksi RNA dipakai sebagai

template untuk amplifikasi sebagian genom Fabavirus. Amplifikasi gen penyandi
coat protein Fabavirus dilakukan dengan teknik RT-PCR menggunakan pasangan
primer spesifik digunakan untuk mendeteksi Fabavirus yang terdiri dari forward
primer

dan

reverse

primer,

yaitu

[BBWVVSSP

(5‟-

GTBTCDAGTGCTYTDGAAGG-3‟, B = C, G, atau T; D = A, G, atau T; Y = C
atau T) dan BBWVKMRM (5‟-TDGWDCCATCVAGICKCATTTT-3‟, W = A
atau T; V = A, C, atau G; I = Inosine; K = G atau T)] dengan prediksi ukuran
produk 322 bp mencakup wilayah dari C-terminal dari large coat protein (LCP)
ke N-terminal small coat protein (SCP) (Kondo et al. 2005).
Selanjutnya cDNA yang dihasilkan dari proses RT diamplifikasi pada reaksi
campuran dengan sejumlah pereaksi yang disajikan pada Tabel 2.

14
Tabel 2 Komposisi reagensia Polymerase Chain Reaction (PCR) (Promega; USA)
amplifikasi gen coat protein (CP) Fabavirus isolat nilam Cicurug dan
Gunung Bunder
Volume(µl)a

Volume(µl)b

H2O

9,5

38

Go Tag Green Master Mix 2x

12,5

50

Primer BBWVVSSP

1

4

Primer BBWVKMRM

1

4

cDNA

1

4

Total Volume

25

100

Komponen

a

Volume total yang diperlukan sebanyak 25 µl untuk 1X reaksi; bVolume total yang diperlukan
sebanyak 100 µl untuk 4X reaksi

Program PCR diatur untuk mengamplifikasi cDNA yang didahului dengan
tahap denaturasi awal pada suhu 95 °C selama 5 menit. Dilanjutkan dengan 35
siklus yang terdiri dari denaturasi pada 95 °C selama 1 menit, penempelan primer
(annealing) pada 51 °C selama 1 menit, dan pemanjangan (extention/elongation)
pada 72 °C selama 1 menit. Khusus untuk siklus terakhir, ditambahkan 5 menit
pada 72 °C untuk tahapan sintesis, dan siklus berakhir pada suhu 4 °C. Setelah
dilakukan PCR, maka hasil yang diperoleh dapat dielektroforesis.
Elektroforesis. Visualisasi hasil RT-PCR dilakukan dengan elektroforesis
gel agarosa 1%. Sebanyak 0,3 gr agarosa dimasukkan ke dalam tabung
Erlenmeyer 100 ml, lalu ditambahkan 30 ml buffer Tris-Borate EDTA (TBE) 0,5x
(0,045 M Tris-Borate, 0,01 M EDTA), untuk pembuatan gel agarose. Kemudian
dipanaskan dalam microwave oven selama 2 menit atau sampai agarose larut.
Larutan agar didinginkan terlebih dahulu selama kurang lebih 15 menit,
ditambahkan 1,5 µl ethidium bromida kemudian diaduk. Siapkan cetakan dan
„sisir‟ gel yang diletakkan di bagian atas pencetak gel kemudian larutan agarose
dituang ke dalam cetakan. Gel didiamkan sampai mengeras (30-45 menit). Setelah
mengeras, gel diambil dan diletakkan ke dalam bak elektroforesis yang berisi
buffer TBE 0,5 kali. DNA hasil PCR dimasukkan ke dalam sumur gel
elektroforesis sebanyak 5 µl dan 100 bp DNA ladder dimasukkan pada sumuran
gel elektroforesis yang berada di posisi sebelah kiri sebanyak 5 µl. Elektroforesis

15
dilakukan dengan tegangan 100 volt selama 25 menit. Hasil elektroforesis dilihat
di bawah UV transluminator. Pita DNA yang terbentuk pada hasil elektroforesis
tersebut didokumentasikan dengan kamera digital.
Analisis sikuen nukleotida. Sampel yang terdeteksi positif terinfeksi
Fabavirus pada tanaman nilam uji kemudian dianalisis sikuen nukleotidanya.
Perunutan susunan nukleotida menggunakan sequencer machine ABI-Prism 3100Avant Genetic Analyzer. Hasil sikuen nukleotida dianalisis menggunakan software
Blast yang dapat diakses di situs web National Center for Biotechnology
Information (NCBI) [www.ncbi.nlm.nih.gov] untuk memperoleh kesamaan
nukleotida yang didapatkan dan untuk mendapatkan file dalam format fasta
berupa database nukleotida dari virus yang diindikasikan sama dengan virus yang
sedang dianalisis. BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) merupakan alat
yang tersedia untuk mencari database sehingga didapatkan sikuen yang sama pada
sebuah penggunaan sequence query supplied.
Analisis sikuen dilakukan setelah mendapatkan database nukleotida dari
virus tersebut kemudian dianalisis menggunakan BioEdit Sequence Alignment
Editor untuk mendapatkan database nukleotida dari Fabavirus yang dianalisis
berdasarkan coat protein Fabavirus tersebut. Perunutan sikuen merupakan
landasan bioinformatika berupa variabel yang telah dikonversi dan digunakan
sebagai dasar database metode filogeni (Higgs & Attwood 2005).
Metode filogeni secara molekuler menggunakan sikuen molekuler untuk
membangun sebuah pohon evolusi. Informasi secara tipikal yang dikembangkan
dari sebuah teori evolusionari dipaparkan dalam bentuk diagram pohon sehingga
dapat diinterpretasikan dengan baik berupa diagram bercabang-cabang yang dapat
dikonstruksi berdasarkan kesamaan atau perbedaan sifat fisik maupun genetik
seperti sikuen DNA, sikuen asam amino (protein), dan lainnya. Metode filogeni
dapat menggunakan program Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA
4.0 or newer version) dengan memasukkan hasil multi-alignment untuk
memperkirakan

tingkat

evolusi

molekuler

evolusionarinya (Higgs & Attwood 2005).

dan

pengujian

hipotesis

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deteksi Fabavirus pada Tanaman Nilam
Deteksi Fabavirus Melalui Uji Serologi
Tanaman nilam dari sampel yang telah dikoleksi dari daerah Cicurug dan
Gunung Bunder telah berhasil diuji secara serologi (DAS-ELISA) menggunakan
antiserum Fabavirus. Dari tanaman nilam yang dikoleksi, dipilih dua sampel dari
daerah Cicurug (isolat CG15 dan CG16) dan dua sampel dari Gunung Bunder
(isolat GB27 dan GB29) yang terdeteksi terinfeksi Fabavirus dengan nilai
absorbansi tertinggi (data tidak ditampilkan). Tanaman nilam yang ditemukan
terinfeksi Fabavirus tersebut memperlihatkan gejala mosaik dengan beberapa
variasi, seperti bintik-bintik kuning pada daun (Gambar 3 A), daun melekuk
berwarna keunguan (Gambar 3 B), mosaik dengan malformasi (Gambar 3 C), dan
mosaik tanpa malformasi (Gambar 3 D). Banyaknya variasi gejala yang ditemukan
atau tidak adanya gejala khas pada tanaman nilam dari infeksi Fabavirus ini
mempertegas pendapat banyak peneliti bahwa gejala penyakit tidak dapat
digunakan

sebagai

satu-satunya

faktor

penentu

untuk

mendeteksi/

mengindentifikasi suatu virus pada tanaman. Seperti yang diungkapkan Bock (1982
dalam Naidu & Hughes 2003) bahwa kenampakan gejala menjadi informasi
penting dalam kaitannya dengan infeksi penyakit, tapi perlu diingat bahwa beberapa
virus dapat menginduksi inangnya tanpa menimbulkan gejala (laten). Demikian
pula, virus yang berbeda dapat menghasilkan gejala yang sama atau virus yang
sama namun berbeda strain dapat menyebabkan gejala yang sama pada inang yang
sama. Untuk itu diperlukan pengalaman yang memadai di lapangan dalam
mengidentifikasi berdasarkan gejala yang nampak. Umumnya diperlukan
pemeriksaan silang dengan uji lain untuk memastikan keakuratan dari diagnosis
akibat infeksi virus. Namun demikian, gejala-gejala semacam ini tetap dapat
digunakan sebagai arahan dalam identifikasi.

17

Gambar 3 Variasi gejala yang berasosiasi dengan infeksi Fabavirus pada tanaman
nilam dari daerah Cicurug (CG) dan Gunung Bunder (GB)
Deteksi Fabavirus Melalui RT-PCR
Sampel tanaman nilam yang positif terinfeksi Fabavirus (isolat CG15,
CG16, GB27, dan GB29) selanjutnya diuji dengan RT-PCR menggunakan
pasangan primer yang spesifik Fabavirus (Kondo et al. 2005). Seperti ditampilkan
Gambar 2, pada keempat sampel tersebut terbentuk pita DNA yang berukuran
sesuai dengan desain primer yaitu sekitar 322 bp. Hasil ini mempertegas hasil
deteksi Fabavirus yang telah dilakukan melalui uji serologi. Adapun pita DNA
yang terbentuk pada sampel CG15 dan GB27 sangat tipis, kemungkinan karena
konsentrasi partikel virus sangat rendah pada jaringan tanaman. Hal ini tidaklah
mengherankan karena pengujian dilakukan terhadap sampel yang langsung
diambil dari lapangan, sehingga konsentrasi virus saat sampel tersebut diambil
bergantung dari dinamika perkembangannya, meskipun demikian kemungkinan
ini perlu dipastikan dengan menguji konsentrasi virus sampel tanaman yang
didapat menggunakan spektrofotometer pada 206 nm atau menggunakan
fluorometry karena uji molekuler dengan PCR memiliki sensitivitas tinggi dalam

18
mendeteksi keberadaan virus dalam konsentrasi rendah sekalipun. Selama ada
cukup utas tunggal DNA atau RNA yang menjembatani 5‟ ends dari dua primer
oligonukleotida, maka amplifikasi dapat menunjukkan hasil berupa pita DNA
yang terbentuk setelah dilakukan prosedur elektroforesis. (Jackson et al. 1991)

Gambar 4 Hasil amplifikasi DNA sebagian genom virus (di daerah gen coat
protein) melalui RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik
Fabavirus. Lajur M = marker 100 bp DNA ladder; Lajur K(-) =
Kontrol negatif dari tanaman nilam sehat; Lajur CG15 dan CG16 =
isolat asal Cicurug no. 15 dan no. 16; Lajur GB27 dan GB29= isolat
asal Gunung Bunder no. 27 dan no. 29
Identifikasi Spesies Fabavirus pada Tanaman Nilam
Nilai Penjajaran Sikuen Nukleotida
Produk RT-PCR isolat Cicurug dan Gunung Bunder yang jumlahnya cukup
memadai (Gambar 5) berhasil disikuen. Hasil sikuen nukleotida tersebut
kemudian dianalisis menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool
(BLAST) pada www.ncbi.nlm.nih.gov untuk melakukan pemetaan spesies-spesies
Fabavirus yang memiliki homologi dengan Fabavirus isolat nilam asal Cicurug
dan Gunung Bunder. Bila disejajarkan sikuen nukleotida padanannya diantara
genus Fabavirus spesies BBWV-2 dari berbagai asal isolat: AF225954-Singapura,
AB018698-Jepang1, JX183234-Korea1, HQ283390-China1, AB161177-Jepang2,
GQ202215-China2, AB161179-Jepang3, AF104335-Korea2, AB013616-Jepang4,
AB161178-Jepang5, dan CPMV-NC_003550 sebagai outgroup maka terlihat
kesamaan yang cukup tinggi seperti pada Gambar 5 (dapat dilihat dari huruf
dengan latar belakang hitam menunjukkan kesamaan runutan, huruf dengan latar
belakang abu-abu menunjukkan runutan yang berbeda antara sesama isolat yang
dibandingkan). Keseluruhan isolat dari GeneBank dengan similaritas tinggi yang

19
dibandingkan berasal dari golongan Fabavirus dan digunakan satu spesies di luar
genus Fabavirus yang masih berada dalam satu famili (Comoviridae) sebagai
outgroup, yakni CPMV (Cowpea mosaic virus) genus Comovirus. Genus
Comovirus memiliki kisaran inang yang terbatas pada sedikit dari spesies famili
Leguminosae dengan gejala khas yang ditimbulkan berupa mosaik, belang dan
secara umum tidak menimbulkan gejala bercak/ mosaik cincin. Penularannya di
alam dilakukan oleh kumbang, khususnya famili Chrysomelidae (Wellink et. al
2000). CPMV memiliki bentuk partikel yang relatif sama dengan Fabavirus,
yakni bentuk isometric yang terdiri dari dua molekul RNA, RNA1 dan RNA2
(Bertens 2000).
Gambar 5

Analisis

Penjajaran sikuen nukleotida hasil ClustalW sebagian gen CP
Fabavirus-GB (isolat Gunung Bunder) dan Fabavirus-CG (isolat
Cicurug) terhadap ke-11 isolat pada basis data GeneBank
menggunakan program GeneDoc v2.7

similaritas

nilai

penjajaran

(alignment

score)

dilakukan

menggunakan Sequence Identity Matrix dalam BioEdit v7.0.5 (Hall 1999)
dirangkum dalam Tabel 3. Perbandingan nilai alignment score antara isolat asal

20
Cicurug dan Gunung Bunder hanya sebesar 65,2%, nilai ini cukup rendah dan
diduga keduanya memiliki karakterisasi yang berbeda. Isolat CG16 memiliki
similaritas tertinggi terhadap BBWV-2 asal Singapura (AF225954) dengan
alignment score 91,8% menunjukkan bahwa isolat asal Cicurug merupakan strain
yang sama dengan isolat asal Singapura. Sementara sikuen isolat GB29
mempunyai alignment score 77,8% terhadap BBWV-2 asal China2 (GQ202215)
(Tabel 3). Clavarie & Notredame (2003 dalam Jamil 2005) menyatakan bahwa
dua gen atau fragmen DNA dikatakan homolog jika 70% urutan nukleotidanya
atau 25% urutan asam aminonya identik, dengan panjang urutan minimal 100.
Tabel 3 Tingkat homologi isolat Cicurug dan Gunung Bunder dengan isolat
BBWV 2 dari beberapa negara berdasarkan sikuen nukleotida sebagian
gen CP Fabavirus
No

Homologi (%)*

Isolat

1

Faba-CG

2

Faba-GB

3

Singapura

4

Jepang1

5

Korea1

6

China1

7

Jepang2

8

China2

9

Jepang3

10

Korea2

11

Jepang4

12

Jepang5

13

CPMV

1

2

3

4

5

6

7

8

9

-

65,2

91,8

89,1

88,4

87,2

77,9

77,2

75,6

-

66,4

65,6

66

67,1

73,6

77,8

-

92,6

91,1

89,1

79,5

-

94,2

92,2

-

10

11

12

13

76

77,6

85,7

42,4

75,9

74,8

75,5

65,2

41

77,9

78,3

78,7

77,6

86,1

40,6

78,7

76,8

77,9

79,1

77,9

88,8

43,2

93,8

79,9

77,9

78,3

79,5

81

90,3

41,3

-

79,5

77,9

78,3

79,9

78,3

90,7

42,4

-

87,2

85,7

86,8

84,9

76,4

43,6

-

88,4

87,6

87,2

76,4

42,8

-

94,2

81,4

75,6

42,8

-

84,9

78,3

41,7

-

78,7

43,2

-

40,6
˗

*Tingkat homologi nukleotida dihitung menggunakan program BioEdit v7.0.5
Angka dengan arsiran menunjukkan homologi tertinggi pada baris yang sama
Angka dengan cetak tebal menunjukkan homologi terendah pada baris yang sama

Sehingga melalui tingkat homologi ini dapat dijelaskan identitas gen CP
Fabavirus isolat CG16 asal Cicurug dan GB29 asal Gunung Bunder berada dalam
karena masing-masing isolat memiliki homologi dengan isolat asal negara yang
berbeda.

21
Perbandingan dengan Cowpea mosaic virus (CPMV) menunjukkan
homologi nukleotida yang rendah berkisar dari 40,6% hingga 43,2% yang berarti
bahwa BBWV-2 memiliki hubungan yang jauh dengan CPMV walaupun masih
dalam genus yang sama.
Hubungan Kekerabatan antara Isolat. Pohon filogenetika dibangun
menggunakan

metode

UPGMA

(Unweighted

Pair-Group

Method

with.

Arithmetic) pada program MEGA v5.05 (Tamura et al. 2011) untuk menunjukkan
hubungan kekerabatan antara isolat yang dibandingkan seperti yang disajikan
dalam bentuk kladogram disertai nilai penghitungan boostrap di setiap
percabangannya (Gambar 6). Metode ini mengasumsikan nilai substitusi
nukleotida atau asam amino adalah sama pada semua garis keturunan secara
evolusi. Pohon filogeni yang terbentuk menghasilkan jumlah p