Hubungan antara Asupan Vitamin dan Mineral dengan Morbiditas pada Siswa di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong
ii
MIRA RAHMAWATI. Correlation Between Intake of Vitamin and Mineral and Morbidity of SMPN 5 Bogor and SMPN 2 Cibinong. Under Direction of SRI ANNA MARLIYATI.
The aim of this study was to study the correlation between intake of vitamin and mineral and morbidity of Junior High School students. The study using cross-sectional study design. It was conducted on November 2011. Total sample were 102 student from 8th grade of SMPN 5 Bogor and SMPN 2 Cibinong. The result showed that there were a significant negative correlation between the level of energy, protein and zinc sufficiency and nutritional status. While the test result of vitamin A and C sufficiency level and nutritional status showed that there were no correlation between them. The result of Pearson correlation test showed that there were no correlation between the of level energy, protein, vitamin A, Vitamin C, zinc, nutritional status, and morbidity.
(2)
PENDAHULUAN
Latar BelakangMasalah gizi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yang umum disebut sebagai masalah gizi ganda yaitu masalah gizi lebih yang ditimbulkan karena kebiasaan individu mengkonsumsi makanan yang melebihi kebutuhan gizinya serta masalah gizi kurang yang ditimbulkan karena kekurangan konsumsi pangan yang minimal yang dibutuhkan individu untuk hidup sehat (Rimbawan & Baliwati 2004). Masalah gizi lebih maupun gizi kurang merupakan hasil dari pola konsumsi masyarakat yang tidak memperhatikan kebutuhan dan keseimbangan gizi yang dibutuhkan tubuh untuk hidup sehat.
Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau sekelompok orang (keluarga, institusi) pada waktu dan tujuan tertentu. Tujuan memperoleh pangan dalam aspek gizi adalah untuk mendapatkan sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh (Nasoetion & Briawan 2008).
Konsumsi pangan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Konsumsi pangan oleh masyarakat atau oleh keluarga bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan (Almatsier 2004).
Kebiasaan makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi 1994). Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makan, kepercayaan tentang makanan, distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan dan cara pemilihan bahan pangan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya.
Kebiasaan makan mulai terbentuk sejak dini tetapi dapat berubah seperti pada masa remaja. Remaja adalah golongan individu yang sedang mencari identitas diri, suka ikut-ikutan, dan terkagum-kagum pada idola yang berpenampilan menarik. Selain itu, kehadiran fast food dalam industri makanan
(3)
di Indonesia juga mempengaruhi pola makan kaum remaja. Fast foodumumnya mengandung kalori tinggi tetapi rendah serat, vitamin A, asam askorbat, kalsium, dan folat. Kandungan gizi yang tidak seimbang akan berdampak negatif pada keadaan gizi remaja (Khomsan 2002).
Di dalam tubuh ada tiga proses yang terjadi, yaitu pembakaran (tenaga), pembangunan (pertumbuhan) dan pengaturan. Tubuh memerlukan karbohidrat, lemak dan protein untuk mendapatkan tenaga. Pertumbuhan dan perkembangan memerlukan protein dan air, dan untuk mengatur supaya semua proses ini terjadi harus ada vitamin dan mineral yang didapat dari sayur dan buah. Oleh karena itu sayur dan buah sangat penting bagi tubuh, karena ada zat-zat tertentu yang hanya bisa diperoleh dari sayur dan buah. Selain sayur dan buah pangan hewani juga memiliki kandungan vitamin dan mineral. Daging merupakan pangan hewani yang memiliki kandungan mineral seperti zinc, zat besi dan selenium. Ikan memiliki protein yang lengkap, mengandung lemak dan kaya vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A dan vitamin D (Sediaoetama 2006).
Kandungan zat gizi yang ada di dalam sayur banyak juga terdapat pada buah, sehingga kekurangan zat gizi dari sayuran dapat diganti dengan buah-buahan. Kelompok pangan sayur dan buah merupakan pangan sumber vitamin dan mineral sehingga kekurangan konsumsinya berpengaruh negatif terhadap kondisi gizi. Vitamin dan mineral berperan dalam pembentukan antibodi sehingga dapat mengurangi morbiditas terutama penyakit infeksi (Winarsi 2011). Oleh karena itu, konsumsi pangan nabati sumber vitamin dan mineral (sayur dan buah) dan pangan hewani sumber vitamin dan mineral bersama-sama dengan kelompok pangan lainnya dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pada umumnya (Aswatini et al2008).
Variabel yang mencerminkan status kesehatan yaitu morbiditas dan status gizi (Depkes 2008). Orang yang menderita kekurangan gizi makro dan mikro akan memiliki respons sistem imun dan fungsi imun yang rendah. Oleh karena itu kasus malnutrisi harus diperhatikan untuk mencegah penyakit. Penyakit infeksi dapat dicegah atau diturunkan melalui perbaikan gizi karena sistem imun akan meningkat (Fatmah 2006).
Menurut hasil penelitian Wulansari (2009), konsumsi sayur dan buah pada remaja SMA dengan status sosial ekonomi yang berbeda hanya sebesar 40%. Nilai tersebut masih kurang dari jumlah konsumsi sayur dan buah yang dianjurkan pada usia remaja. Tingkat konsumsi sayuran dan buah-buahan
(4)
penduduk Indonesia masih rendah meskipun potensi berbagai jenis sayuran dan buah-buahan cukup melimpah. Sumbangan energi dari pangan hewani penduduk Indonesia baru sebesar 146 kkal/kap/hari atau 61% dari anjuran kebutuhan minimum sebesar 240 kkal/kap/hari dan konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan sebesar 95 kkal/kapita/hari atau 79% dari anjuran kebutuhan minimum sebesar 120 kkal/kapita/hari (Aswatini et al 2008). Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara asupan vitamin dan mineral dengan morbiditas pada siswa di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum
Mengkaji hubungan antara asupan vitamin dan mineral dengan kejadian morbiditas pada siswa di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, uang saku, status gizi, dan pengetahuan gizi) dan karakteristik orangtua (besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan).
2. Menganalisis asupan energi dan zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C dan
zinc) dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi.
3. Mengkaji morbiditas penyakit infeksi (pilek, batuk, diare, dan demam).
4. Mengkaji hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C dan zinc) dengan status gizi dan morbiditas contoh. 5. Mengkaji hubungan antara status gizi dengan morbiditas.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai asupan pangan pada remaja serta menambah wawasan kepada masyarakat dan pihak sekolah pada umumnya dan bagi para remaja pada khususnya mengenai pentingnya asupan vitamin dan mineral serta hubungan asupan vitamin dan mineral dengan morbiditas.
Hipotesis
H0 : Tidak ada hubungan antara asupan vitamin dan mineral dengan morbiditas. H1: Ada hubungan antara asupan vitamin dan mineral dengan morbiditas.
(5)
TINJAUAN PUSTAKA
RemajaPerkembangan dari seorang anak menjadi dewasa pasti melalui fase remaja. Fisik seseorang terus berkembang pada saat remaja, demikian pula aspek sosial maupun psikologisnya. Perubahan ini membuat seorang remaja mengalami banyak ragam gaya hidup, perilaku, tidak terkecuali pengalaman dalam menentukan makanan apa yang akan dikonsumsi (Khomsan 2002).
Remaja adalah golongan individu yang sedang mencari identitas diri, mereka suka ikut-ikutan, dan terkagum-kagum pada idola yang berpenampilan menarik. Masa remaja berlangsung mulai usia 12 tahun sampai 21 tahun. Karakteristik pertumbuhan dan implikasi nutrisi untuk remaja adalah periode maturasi yang cepat pada fisik, emosi, sosial, dan seksual. Biasanya pertumbuhan cepat pada remaja putri pada usia 10-11 tahun, puncaknya pada usia 12 tahun, dan selesai pada usia 15 tahun. Pertumbuhan cepat remaja putra pada usia 12-13 tahun, puncaknya pada usia 14 tahun dan selesai pada usia 19 tahun (Wulansari 2009).
Remaja banyak melakukan aktivitas diluar rumah yang membuat seorang remaja sering dipengaruhi rekannya sebaya. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi tetapi sekadar bersosialisasi, untuk kesenangan, dan supaya tidak kehilangan status. Hal ini bisa menyebabkan remaja termasuk dalam nutritionally vul nerable group (Khomsan 2002).
Kehadiran fast food dalam industri makanan di Indonesia bisa mempengaruhi pola makan kaum remaja di kota. Khususnya bagi remaja dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, restoran fast food merupakan tempat yang tepat untuk bersantai. Fast food adalah gaya hidup remaja kota. Fast food
umumnya mengandung kalori tinggi, kadar lemak, gula, dan sodium (Na) juga tinggi, tetapi rendah serat kasar, vitamin A, asam askorbat, kalsium, dan folat. Kandungan gizi yang tidak seimbang ini bila menjadi pola makan, akan berdampak negatif pada keadaan gizi para remaja (Khomsan 2002).
Pola makan remaja bila tidak diluruskan akan mengakibatkan munculnya masalah gizi karena ketidakseimbangan konsumsi pangan. Tampaknya remaja kota mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami hal tersebut, karena kondisi lingkungan yang memungkinkan (Khomsan 2002).
(6)
Status Gizi Remaja
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. (Supariasa et al 2002). Gibson (2005) menyatakan status gizi sebagai keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan.
Penilaian status gizi dibagi menjadi dua yaitu pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan pengukuran tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa et al2002).
Salah satu metode yang umum digunakan pada masyarakat adalah metode antropometri (ukuran-ukuran tubuh), terutama jika terjadi ketidakseimbangan kronik antara intik energi dan protein. Metode ini sering digunakan karena prosedurnya yang sederhana, aman, mudah dan relatif murah. Pengukuran metode antropometri merupakan metode yang tepat dan akurat karena dapat dibakukan. Antropometri merupakan indikator yang cukup sensitif dalam mengidentifikasi status gizi karena sudah ada ambang batas yang jelas.
Indikator dari status gizi adalah berat badan (BB) dan tinggi bada (TB). Status gizi diukur dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) (Riyadi 2004). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan (Supariasa et al 2002). Pengukuran status gizi yang direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja yaitu IMT/U (Riyadi 2001).
Pengukuran status gizi menggunakan BB/U dianggap tidak valid bila informasi tentang TB/U tidak ada, namun kombinasi antara BB/U dan TB/U akan memberikan hasil yang bias untuk menilai massa tubuh. Menurut WHO (2007) untuk anak berusia diatas 10 tahun, BB/U bukan indikator yang baik karena tidak dapat membedakan antara tinggi badan dan berat badan pada masa remaja yang sedang mengalami pertumbuhan. Perubahan komposisi tubuh pada remaja yang mungkin dapat terlihat adalah adanya penambahan BB (BB/U), sedangkan pada remaja tidak hanya bertambah berat badan tetapi juga bertambah tinggi badan. Penggunaan umur dibutuhkan untuk membuat penyajian data referensi
(7)
menjadi komplit. Indeks massa tubuh terhadap umur (IMT/U) diklasifikasikan menurut WHO (2007), dengan klasifikasi sebagai berikut:
1. Sangat kurus (z < -3 SD) 2. Kurus (- 3 SD ≤ z < - 2 SD) 3. Normal (-2 SD ≤ z ≤ + 1 SD) 4. Overweight(+1 SD < z ≤ + 2 SD) 5. Obese(z > +2 SD)
Imunitas
Imunitas diartikan sebagai resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Sistem imun merupakan gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi. Respon imun adalah reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya. Sistem imun digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh berbagai bahan pada lingkungan hidup (Baratawidjaja 2006).
Imunitas terdiri atas sistem imunitas spesifik dan nonspesifik. Sistem imun spesifik merupakan sistem imun yang mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing bagi dirinya. Sistem imunitas tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya. Benda asing seperti mikroorganisme atau antigen yang menginfeksi tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel imun tersebut. Sel-sel imunitas ditemukan di dalam darah, limfa, timus, kelenjar limfa, saluran nafas, saluran cerna, dan saluran kemih. Benda asing yang sama bila berpapasan kembali dengan sel-sel imun akan dikenal lebih cepat kemudian dihancurkan. Sistem ini dapat bekerja tanpa bantuan sistem imunitas nonspesifik untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi kesehatan tubuh (Baratawidjaja 2006).
Imunitas nonspesifik yaitu berupa komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba tersebut. Imunitas tersebut dikatakan nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. (Baratawidjaja 2006).
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan DNA manusia, mencegah infeksi yang disebabkan jamur, bakteri, virus, dan organisme lain, serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut immunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam
(8)
tubuh. Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader(penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia (Fatmah 2006).
Orang yang menderita kekurangan gizi makro dan mikro akan memiliki respons sistem imun dan fungsi imun yang rendah. Oleh karena itu kasus malnutrisi harus diperhatikan untuk mencegah penyakit. Penyakit infeksi dapat dicegah atau diturunkan melalui perbaikan gizi karena sistem imun akan meningkat (Fatmah 2006). Zat gizi sangat berperan dalam meningkatkan dan mempertahankan imunitas tubuh, sehingga asupan zat-zat gizi harus seimbang. Zat-zat gizi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh adalah protein, vitamin A dan C, sedangkan mineral berupa selenium dan seng (Meydani et al1995 dalam Winarsi 2011).
Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Selain berfungsi sebagai pembangun dan pengatur protein memiliki fungsi membantu pembentukan antibodi, berperan dalam mencegah tubuh dari penyakit. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N (Winarno 2004).
Protein merupakan komponen fungsional dan struktural utama sel-sel dalam tubuh. Semua enzim, zat pembawa (carrier) dalam darah, matriks intraseluler, dan sebagian besar hormon tersusun atas protein. Protein merupakan komponen terbesar kedua setelah air yang menyusun 63% tubuh, sedangkan unsur lainnya terdiri atas lemak 13%, vitamin dan mineral 6%, dan komponen mikro lainnya 1% (Nasoetion & Amalia 2008).
Proses-proses yang berlangsung di dalam tubuh terkendali dengan tersedianya protein di dalam tubuh, artinya protein yang mencukupi kebutuhan akan melangsungkan proses-prosesnya secara teratur. Mineral dan vitamin yang tergabung dengan protein akan membentuk enzim, yang peranannya sangat menunjang. Contoh peranan tersebut yaitu resistensi tubuh terhadap infeksi dikarenakan dalam tubuh tersedia zat kekebalan tubuh dan zat ini berkandungan protein (Kartasapoetra & Marsetyo 2002).
Kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi tergantung pada kemampuannya untuk memproduksi antibodi terhadap organisme yang menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap bahan-bahan asing yang memasuki tubuh. Keadaan tubuh yang kekurangan protein akan menurunkan kemampuan
(9)
tubuh untuk menghalangi toksik bahan-bahan racun. Seseorang yang menderita kekurangan protein lebih rentan terhadap bahan racun dan obat-obatan (Almatsier 2004).
Vitamin A
Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karoten terutama di dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya) dan mentega. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-buahan yang berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, nangka masak dan jeruk (Almatsier 2004).
Vitamin A berfungsi dalam penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker dan penyakit jantung. Kelebihan konsumsi vitamin A dapat menyebabkan toksisitas dan mempunyai efek teratogenik bagi wanita hamil. Oleh karena itu, asupan vitamin A harus sesuai dan memenuhi kebutuhan serta menghindari kelebihan vitamin A (Almatsier 2004).
Vitamin A mengatur banyak aspek dari fungsi kekebalan tubuh, termasuk komponen-komponen baik sistem kekebalan nonspesifik dan sistem kekebalan spesifik (Semba 2002). Defisiensi berdampak pada kekebalan nonspesifik yaitu akibat terhambatnya regenerasi normal dari dinding mukosa sel epitel selama terjadi infeksi dan berdampak pada berkurangnya resistensi terhadap infeksi pathogen. Semba (2002) juga menyatakan bahwa vitamin A merupakan faktor yang penting untuk perkembangan sistem limfoid dan untuk pemeliharaan permukaan mukosa dari gastrointestinal, pernapasan dan saluran genitourinary
serta pada morbiditas dan mortalitas anak-anak.
Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh. Retinol tampaknya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B, disamping itu kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel T. Sebaliknya infeksi dapat memperburuk kekurangan vitamin A. Kaitan vitamin A dan fungsi kekebalan ditemukan bahwa ada hubungan kuat antara status vitamin A dan resiko terhadap penyakit infeksi pernafasan; kekurangan vitamin A pada campak cenderung menimbulkan komplikasi yang dapat berakibat kematian (Almatsier 2004).
(10)
Vitamin C
Vitamin C merupakan vitamin larut air. Kekurangan vitamin C dikelan dengan scurvy. Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang yang mengadakan perjalanan jauh dengan kapal yang mengalami kekurangan konsumsi bahan makanan segar seperti buah-buahan dan sayur-sayuran (Almatsier 2004).
Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu zat organis yang merupakan ko-enzim atau askorbat ko-faktor pada berbagai reaksi biokimia tubuh. Salah satu perannya yang utama adalah proses hidroksilasi praline dan lysine pada pembentukan kolagen. Kolagen adalah komponen penting jaringan ikat, oleh sebab itu vitamin C penting untuk kelangsungan hidup jaringan ikat. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin C berperan penting pada proses penyembuhan luka, adaptasi tubuh terhadap trauma dan infeksi (Soerjodibroto 1985).
Vitamin C termasuk golongan vitamin yang larut dalam air, dan akan dieksresikan melalui urine apabila kadar dalam darah melebihi batas normal. Oleh karena itu vitamin C harus tersedia secara kontinu dalam makanan sehari-hari agar tidak sampai timbul gejala defisiensi. Defisiensi vitamin C ini disebut sebagai skorbut (Almatsier 2004).
Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh yaitu untuk mensintesis kolagen; mensintesis karnitin, noradrenalin, serotin; absorpsi dan metabolisme besi; absorpsi kalsium; mencegah infeksi; dan mencegah kanker dan penyakit jantung. Vitamin C meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi kekebalan (Almatsier 2004).
Secara alami vitamin C dapat diperoleh dari buah-buahan. Buah yang tinggi kandungan vitamin C-nya adalah jambu biji, jeruk, tomat, mangga, dan sirsak. Sayuran juga banyak mengandung vitamin C terutama brokoli, cabai, dan kentang. Vitamin C rusak oleh udara, oleh karena itu untuk mendapatkannya secara maksimal sebaiknya memakan sayur dan buah dalam keadaan segar dan sesegera mungkin (belum terlalu lama dalam kondisi terbuka atau sudah dikupas di udara bebas) (Wirakusumah 1998).
Pemeliharaan terhadap membran mukosa fungsi vitamin C meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Dosis vitamin C yang tinggi dapat mencegah dan menyembuhkan pilek, namun belum tentu dapat dibuktikan. Selain itu vitamin C juga dapat mencegah dan menyembuhkan
(11)
kanker. Hal ini dikarenakan vitamin C dapat mencegah pembentukan nitrosamine yang bersifat karsinogenik. Disamping itu peranan vitamin C sebagai antioksidan dapat mempengaruhi pembentukan sel-sel tumor (Khomsan 2002) .
Zinc
Zinc merupakan mineral penting yang ikut membentuk lebih dari 300 enzim dan protein. Zinc atau seng dibutuhkan agar fungsi tubuh berjalan sempurna. Kecukupan seng akan mencegah masalah kesehatan termasuk juga mendorong sistem kekebalan. Beberapa studi menyebutkan bahwa zinc telah digunakan untuk mencegah cidera, mencegah diare, dan melambatkan degenerasi macula (kondisi yang menyebabkan masalah penglihatan) (Harmandini 2010).
Zinc merupakan komponen penting dari berbagai macam enzim. Kebutuhan zinc adalah 15 mg bagi setiap anak di atas usia 11 tahun. Para ahli gizi berpendapat dengan mengkonsumsi jumlah protein hewani yang dianjurkan kebutuhan tubuh akan zinc akan tercukupi. Sumber utama zinc terdapat pada berbagai bahan pangan yaitu daging, unggas, ikan laut, telur, keju, susu serta pecel (peanut butter) (Winarno 2004).
Seng (Zn) memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida dan asam nukleat. Seng berperan dalam fungsi kekebalan, yaitu fungsi sel T dan dalam pembentukan antibodi oleh sel B (Almatsier 2004).
Sistem imun dalam tubuh dipengaruhi oleh tingkat zinc dalam tubuh. Kekurangan zincyang parah akan melemahkan fungsi imun. Zincdiperlukan bagi pengembangan dan pengaktifan T-limposit, yaitu sejenis sel darah putih yang berfungsi untuk memerangi penyakit. Pada saat suplemen zinc diberikan pada individu yang memiliki zincrendah, jumlah sel T-limposit dalam darah meningkat dan kemampuan sel limposit untuk memerangi infeksi meningkat .
Selenium
Selenium adalah mineral penting yang sangat dibutuhkan oleh tubuh sebagai antioksidan untuk meredam aktivitas radikal bebas, tidak diproduksi oleh tubuh, tetapi diperoleh dari konsumsi makanan sehari-hari. Sumber utama selenium adalah tumbuh-tumbuhan dan makanan laut. Selenium membantu tubuh dalam memecah bahan kimia beracun, menstimulasi sistem kekebalan tubuh untuk melawan kanker, meningkatkan kepekaan terhadap kerusakan gigi
(12)
(Vitahealth 2006). Manfaat Selenium bagi tubuh yaitu (1) menangkal radikal bebas. Selenium bekerja sama dengan vitamin E sebagai zat antioksidan untuk memperlambat oksidasi asam lemak tak jenuh; (2) meningkatkan kekebalan tubuh. Selenium diketahui memperbaiki sistem imunitas (kekebalan tubuh) dan fungsi kelenjar tiroid. Hasil penelitian belakangan ini yang memastikan bahwa selenium dapat mencegah kanker (termasuk kanker kulit akibat paparan matahari) sebagai mineral yang bermanfaat besar untuk meningkatkan fungsi kekebalan tubuh manusia; (3) Mempertahankan elastisitas. Selenium bersama vitamin E berfungsi mempertahankan elastisitas jaringan dan bila kadar selenium berkurang maka tubuh akan mengalami penuaan dini, yaitu kondisi sel yang rusak sebelum waktunya.
Pangan Sumber Vitamin dan Mineral
Pangan sumber vitamin dan mineral berasal dari pangan nabati dan pangan hewani. Sayuran dan buah-buahan termasuk dalam pangan nabati. Pangan nabati (sayuran dan buah-buahan) adalah sumber serat makanan yang paling mudah dijumpai dalam menu masyarakat. Sayuran bisa dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah diproses melalui perebusan (Khomsan 2002). Sayuran dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu sayuran daun, sayuran bunga, sayuran buah, sayuran umbi, dan sayuran batang muda (Sulistijani 2005).
Bahan nabati ini sangat dibutuhkan dan harus dikonsumsi setiap hari sesuai dengan jumlah dan komposisi yang seimbang. Sayuran bermanfaat bagi kesehatan tubuh sesuai dengan zat-zat yang dikandungnya.(Sulistijani 2005). Dari sudut pengetahuan gizi, sayur merupakan sumber zat pengatur, yaitu sumber vitamin dan mineral. Sayuran merupakan salah satu sumber provitamin A, vitamin C, vitamin B, Ca, Fe, menyumbang sedikit kalori serta sejumlah elemen mikro. Vitamin dan mineral dibutuhkan oleh tubuh. Orang yang mengalami kekurangan vitamin dan mineral dalam susunan hidangannya sehari-hari dalam waktu yang lama, maka akan menderita berbagai penyakit kekurangan vitamin dan mineral. Selain itu sayuran juga merupakan sumber serat pangan (dietary fiber) serta sejumlah antioksidan yang telah terbukti mempunyai peranan penting untuk menjaga kesehatan tubuh (Muchtadi 2000).
Golongan bahan makanan buah biasanya sudah matang atau setidaknya sudah tua. Buah-buahan sebagian besar dimakan “mentah”, dan disebut buah cuci mulut (Sediaoetama 2006). Buah-buahan juga sangat dianjurkan untuk dikonsumsi setiap hari. Selain dinikmati dalam bentuk segar, buah-buahan juga
(13)
dapat diolah dalam bentuk jus atau dihidangkan bersama sayuran (Sulistijani 2005).
Selain dari pangan nabati, pangan hewani juga mengandung vitamin dan mineral namun sedikit serat. Bahan makanan hewani adalah bahan makanan yang berupa atau berasal dari hewan atau produk-produk yang diolah dengan menggunakan bahan dasar asal hewan. Pangan hewani mempunyai berbagai keunggulan dibanding pangan nabati. Pertama, pangan hewani terasa gurih atau enak karena mengandung protein dan lemak yang banyak. Kedua, pangan hewani mengandung protein yang berkualitas karena mudah digunakan tubuh dan memiliki komposisi asam amino yang lengkap. Ketiga, pangan hewani mengandung berbagai zat gizi mineral yang tinggi dan mudah digunakan oleh tubuh. Misalnya kalsium pada susu, zat besi (fe), zincdan selenium yang banyak di dalam daging, hati, telur. Keempat, pangan hewani mengandung zat gizi vitamin yang unik. Misalnya vitamin A dalam hati dan kuning telur yang mudah digunakan tubuh. Selain itu dalam pangan hewani terdapat vitamin B12 yang tidak terdapat pada pangan nabati (Hardinsyah 2008).
Kelompok bahan pangan hewani merupakan sumber utama protein. Protein berdasarkan sumbernya yaitu berasal dari hewani dan tumbuhan. Bahan pangan yang berasal dari hewan yaitu lauk-pauk, misalnya daging, ikan, telur dan sebagainya (Sediaoetama 2006).
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna daripada yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin.
Pangan hewani selain daging yaitu ikan. Kualitas protein ikan tergolong protein sempurna (protein lengkap), mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah masing-masing yang mencukupi kebutuhan tubuh. Ikan laut yang besar mengandung banyak lemak dan kaya vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A dan vitamin D. Ikan dikonsumsi sebagai ikan segar (ikan basah), sebagai ikan kering yang diasin atau tidak dan juga sebagai ikan kalengan hasil teknologi pangan modern (Sediaoetama 2004).
Kemampuan tubuh dalam melawan infeksi bergantung pada kemampuannya untuk memproduksi antibodi terhadap organisme yang menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap bahan-bahan asing yang memasuki
(14)
tubuh. Kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap bahan-bahan racun dikontrol oleh enzim-enzim yang terutama terdapat di dalam hati. Dalam keadaan kekurangan protein kemampuan tubuh untuk menghalangi pengaruh toksik bahan-bahan beracun ini berkurang. Seseorang yang menderita kekurangan protein lebih rentan terhadap bahan-bahan beracun dan obat-obatan (Almatsier 2004).
Konsumsi Pangan Sumber Vitamin dan Mineral
Survei konsumsi makanan merupakan metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi (Supariasa et al 2002). Definisi ini menunjukkan bahwa telaahan konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Tujuan dalam mengonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh.
Secara umum rumus yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi konsumsi makanan yang berasal dari pangan yang beragam adalah:
Kgij = ∑(Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan:
Kgij = penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan atau pangan j yang dikonsumsi
Bj = Berat bahan makanan j (gram)
Gij = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j BDDj = Persen bahan makanan j yang dapat dimakan
Berdasarkan waktu pengumpulan data jenis metode survei konsumsi dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu prospektif atau melakukan survei konsumsi gizi saat ini ke depan, retrospektif atau melakukan survei konsumsi gizi pada saat konsumsi gizi yang sudah lalu dan gabungan keduanya yaitu melakukan survei konsumsi gizi berdasarkan data konsumsi gizi yang sudah lalu dan saat ini (Widajanti 2009).
Jenis metode survei konsumsi gizi individu berdasarkan pendekatan prospektif antara lain meliputi pencatatan penimbangan pangan (weighed foof records), pencatatan pangan (food records), dan sejarah pangan (dietary history). Sedangkan metode dengan berdasarkan pendekatan retrospektif meliputi recall 24 jam konsumsi gizi (24 hours food recalls), pengulangan recall
(15)
(FFQ), semiquantitatif food frequency questionnaires (semiquantitatif FFQ) (Widajanti 2009).
Pencatatan pangan (food record) dilakukan dengan mencatat segala makanan dan minuman serta suplemen vitamin dan mineral maupun suplemen makanan lainnya yang dikonsumsi dari pagi sampai menjelang pagi (24 jam) dengan porsi atau ukuran rumah tangga yang dikonsumsi. Pencatatan pangan dilakukan dengan cara responden mencatat makanan, minuman, suplemen yang dikonsumsi termasuk ukuran rumah tangga dalam sehari dan diulang hingga tujuh hari baik secara berurutan atau tidak. Pencatatan dilakukan oleh subjek atau responden setiap hari selama seminggu atau minimal dua hari tidak berurutan dalam seminggu yang mewakili hari kerja dan hari libur untuk meningkatkan validitas hasil pencatatan makanan dan minuman. Hal-hal yang dicatat subjek atau responden antara lain nama makanan dan minuman beserta ukuran rumah tangga dan perkiraan berat makanan dan minuman menurut subjek. Suplemen vitamin maupun mineral maupun suplemen makanan lain yang dikonsumsi dicatat. Nama makanan dan minuman kemasan termasuk suplemen dicatat merek dan URTnya (Widajanti 2009).
Hasil pencatatan makanan dan minuman termasuk suplemen beserta ukuran rumah tangga dari masing-masing makanan dan minuman yang dikonsumsi dikonversi dulu ke berat makanan. Setelah itu kemudian diolah dengan menggunakan software Nutrisurvey sehingga akan diperoleh nilai gizi (energi, protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral) dari masing-masing makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang setiap hari (Widajanti 2009).
Prinsip metode pencatatan pangan adalah mencatat segala makanan, minuman, dan suplemen yang dikonsumsi beserta URT-nya serta perkiraan berat pangan dalam sehari. Faktor utama yang menguntungkan dalam metode pencatatan pangan antara lain dengan mencatat maka kemungkinan subjek lupa pangan apa saja yang dikonsumsi tidak terjadi, sehingga presisinya tinggi dalam menggali semua pangan yang dikonsumsi termasuk suplemen (Widajanti 2009).
Piramida kesehatan manusia menyebutkan perlunya mengonsumsi pangan hewani dan nabati seperti sayur dan buah. Menurut Almatsier (2004), di Indonesia konsumsi buah yang dianjurkan sehari sebanyak 200-300 gram atau 2-3 potong sehari sedangkan porsi sayuran dalam bentuk tercampur yang dianjurkan sehari sebanyak 150-200 gram atau 1,5-2 mangkok sehari. Indonesia cukup kaya dengan berbagai macam buah-buahan, bahkan beberapa buah
(16)
hanya dijumpai di Indonesia, sehingga seharusnya buah sering dikonsumsi untuk menambah zat gizi pada susunan pangan. Begitu juga halnya dengan sayur yang merupakan salah satu sumberdaya yang banyak terdapat di sekitar kita, mudah diperoleh dan berharga relative murah serta merupakan sumber vitamin dan mineral (Wirakusumah (1998). Konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan penduduk Indonesia baru sebesar 95 kkal/kapita/hari, atau 79% dari anjuran kebutuhan minimum sebesar 120 kkal/kapita/hari (Aswatini et al2008).
Morbiditas
Morbiditas dan status gizi merupakan variabel yang mencerminkan status kesehatan. Morbiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas). Kesehatan merupakan masalah yang kompleks hingga tidak mungkin diukur semua faktor yang mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu diperlukan suatu alat yang dapat memberi indikasi untuk menggambarkan keadaan kesehatan. Alat tersebut ialah indikator. Indikator kesehatan dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan (Depkes 2008). Menurut Sediaoetama (2006) salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai keadaan kesehatan gizi masyarakat secara tidak langsung yaitu morbiditas (angka sakit), mortalitas, dan berat lahir bayi yang rendah.
Pada hakekatnya derajat kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor penentu yaitu: faktor bawaan, pelayanan kesehatan, perilaku dan faktor lingkungan (fisik, biologi, kemasyarakatan). Dua faktor tersebut terakhir merupakan faktor penentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan masyarakat (Sukarni 1994).
Status gizi yang rendah menyebabkan kondisi daya tahan tubuh menurun, sehingga berbagai penyakit dapat timbul dengan mudah. Seorang anak yang sehat tidak akan mudah terserang berbagai jenis penyakit, termasuk penyakit infeksi, karena mempunyai daya tahan tubuh yang cukup kuat. Daya tahan tubuh akan meningkat pada keadaan kesehatan gizi yang baik, dan akan menurun bila kondisi kesehatan gizinya menurun (Sediaoetama 2006).
(17)
Masa yang paling sehat dalam kehidupan yaitu masa remaja yang didasarkan pada ukuran mortalitas dan morbiditas yang tidak menyertakan penilaian fungsional status kesehatan atau efek perilaku yang dimulai selama masa remaja pada mortalitas dan morbiditas masa dewasa (Irwin & Shafer 1999). Akan tetapi, remaja memiliki resiko kesehatan paling tinggi karena faktor kecelakaan, alkohol, narkoba, hamil diluar nikah, kebiasaan makan (diet) dan perilaku hidup sehat yang buruk (Latifah 2008).
Kebiasaan makan (diet) dan perilaku hidup sehat yang buruk akan berdampak terhadap konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang kurang dapat menjadi penyebab langsung terjadinya penyakit infeksi.
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, cacing dan sebagainya (Shulman et al1994). Proses terjadinya penyakit infeksi disebabkan adanya bibit penyakit (agent) yang masuk ke dalam tubuh manusia yang rentan (host). Munculnya bibit penyakit bervariasi dengan waktu dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup agent, tempat masuk, dan adanya reservoir lain dari agent. Mobilitas dan kontak interpersonal dalam populasi dan lamanya imunitas terdahulu dengan agent yang sama atau masih dalam satu keluarga, berpengaruh terhadap banyak sedikitnya jumlah orang yang rentan terhadap penyakit (Atmodjo & Rustiawan 1996).
(18)
KERANGKA PEMIKIRAN
Konsumsi pangan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Konsumsi pangan oleh masyarakat atau oleh keluarga bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan (Almatsier 2004).
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat yang merupakan peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini remaja memerlukan makanan yang sesuai dengan gizi seimbang untuk dapat mencapai status gizi yang optimal. Sayur-sayuran, buah-buahan dan pangan hewani merupakan zat gizi sumber vitamin dan mineral yang mempunyai peran penting dalam kesehatan.
Konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral dipengaruhi oleh faktor karakteristik contoh (jenis kelamin, umur, uang saku, dan pengetahuan gizi), karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua dan pendapatan) serta nafsu makan dan ketersediaan pangan. Berdasarkan data konsumsi pangan dapat diketahui Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) energi, protein, asupan vitamin A, vitamin C, zinc dan selenium. Pada akhirnya dapat dilihat status gizi contoh apakah status gizi baik atau tidak.
Morbiditas dan status gizi merupakan variabel yang mencerminkan status kesehatan. Status gizi yang kurang maupun lebih akan berdampak negatif bagi tubuh yang akhirnya menyebabkan kesakitan.
(19)
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan antara konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral dengan morbiditas pada siswa di SMPN 5 Bogor dan SMPN
2 Cibinong
Keterangan:
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Konsumsi pangan sumber
vitamin dan mineral
Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, zincdan selenium
Status gizi
Morbiditas Karakteristik contoh:
Jenis kelamin Umur
Uang saku Pengetahuan gizi
Karakteristik keluarga: Besar keluarga Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Pendapatan orangtua
Konsumsi pangan
Imunitas
Konsumsi pangan sumber energi dan zat gizi lainnya
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya
(20)
METODE PENELITIAN
Desain, Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini menggunakan desain cross sectional study.Cross sectional study yaitu rancangan yang digunakan pada penelitian dengan variabel sebab atau faktor resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo 2005). Penelitian dilakukan pada bulan November 2011. Penelitian dilakukan di SMPN 5 Bogor yang mewakili karakteristik tingkat sosial ekonomi menengah ke atas dan SMPN 2 Cibinong dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Pemilihan SMP dilakukan secara purposive dengan asumsi siswa yang berada di sekolah tersebut berasal dari tingkat sosial ekonomi tinggi dan rendah. Penentuan tingkat sosial ekonomi tinggi dengan menentukan SMP yang berada di kota Bogor sedangkan tingkat sosial ekonomi rendah yaitu SMP yang berada di Kabupaten Bogor yaitu Cibinong. Beberapa sekolah yang dikunjungi terdapat sekolah yang tidak sesuai dengan kriteria dan adapula sekolah yang sulit perizinannya sehingga didapatkan SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong.
Contoh yang digunakan yaitu siswa kelas VIII karena usia contoh siswa kelas VIII yang tergolong kategori remaja dibandingkan siswa kelas VII yang usianya masih belum tergolong remaja, sementara siswa kelas IX sudah sibuk mempersiapkan diri untuk kegiatan Ujian Negara (UN). Rumus perhitungan besar sampel minimal menurut Lemeshow (1997) yaitu:
n = Z21 –α / 2.P(1-P)N
d2. (N-1)+Z21-α/2. P(1-P)
Keterangan :
n : besar sampel
Z21 –α / 2 : nilai pada distribusi normal standar yang sama pada tingkat
kepercayaan 95% adalah 1.96 P : Proporsi yang diinginkan (p=0.5)
D : kesalahan sampling yang masih dapat ditoleransi yaitu d=0.1 N : Jumlah siswa kelas VIII di SMPN 5 Bogor sebanyak 353 orang
dan di SMPN 2 Cibinong sebanyak 347 orang.
Berdasarkan rumus diatas maka besar sampel minimal yang menjadi sasaran penelitian ini adalah 85 orang. Siswa yang menjadi contoh dalam penelitian ini berjumlah 102 orang yaitu 44 orang siswa SMPN 5 Bogor dan 58 orang siswa SMPN 2 Cibinong.
(21)
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner oleh peneliti terhadap siswa. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik contoh, karakteristik keluarga, pengetahuan gizi, status gizi, konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral (protein, vitamin A, vitamin C, dan
zinc), dan data morbiditas.
Karakteristik contoh meliputi usia, jenis kelamin, uang saku, dan pengetahuan gizi sedangkan karakteristik keluarga meliputi besar keluarga, pendidikan orangtua, dan pekerjaan orangtua dan pendapatan orangtua. Data pengetahuan gizi diperoleh melalui kuesioner dengan bentuk pilihan berganda sebanyak 10 pertanyaan yang terdiri dari 3 pertanyaan mengenai gizi seimbang, dan 7 pertanyaan mengenai vitamin dan mineral. Data yang diperoleh untuk mengetahui status gizi contoh yaitu berat badan dan tinggi badan diperoleh melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan. Berat badan ditimbang menggunakan timbangan injak merk Camry dengan kapasitas 120 kg dan ketelitian 0,1 kg, sedangkan pengukuran tinggi badan menggunakan
Microtoisemerk Designdengan kapasitas 200 cm dan ketelitian 0,1 cm.
Data konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral (protein, vitamin A, vitamin C, dan zinc) diperoleh melalui food record 2x24 jam yang meliputi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau dalam satuan gram. Data morbiditas diperoleh dengan menanyakan frekuensi sakit, lama sakit dan jenis penyakit/infeksi selama 2 bulan terakhir. Jenis penyakit yang diamati yaitu penyakit infeksi yang teridiri dari pilek, batuk, diare, dan demam. Menurut Husodo dan Sugiyo (1985) dalam Siahaan (2010) penyakit pilek merupakan penyakit yang paling sering diderita oleh penduduk Indonesia sedangkan penyakit batuk biasanya menjadi penyerta pilek. Selain pilek dan batuk, diare dan demam juga termasuk penyakit yang sering diderita oleh penduduk Indonesia.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisis secara statistik. Tahapan pengolahan data primer yaitu dimulai dengan proses editing, coding, scoring,
entrydata, cleaningdata, tabulasi dan analisis data. Jenis variabel, kategori dan sumber disajikan pada Tabel 1. Untuk pengolahan dan analisis data, digunakan program Microsoft Excel2007, antrho plus 2005 dan SPSS16.0for Windows.
(22)
Tabel 1 Jenis variabel, kategori dan sumber
No. Variabel Kategori Sumber
1 Karakteristik contoh Usia
Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Uang saku
2 Karakteristik Orangtua
Besar Keluarga 1. Kecil (≤4 orang) 2. Sedang (5-6 orang) 3. Besar (≥7 orang)
BKKBN 1998
Pendidikan terakhir orangtua
1. Tidak tamat SD 2. Tamat SD 3. Tamat SMP 4. Tamat SMA 5. PT
Pekerjaan orangtua 1. PNS 2. Swasta 3. Wiraswasta 4. Tidak bekerja Pendapatan
Orangtua
< Rp 500.000
Rp 500.000-1.000.000 Rp 1.000.001-2.000.000 Rp 2.000.001-5.000.000 > Rp 5.000.000
Hardinsyah 2009
3 Pengetahuan gizi 1. Kurang (<60% jawaban benar) 2. Sedang (60-80% jawaban benar) 3. Baik (>80% jawaban benar)
Khomsan 2000
4 Asupan Energi dan Zat Gizi Tingkat kecukupan
energi
1. Defisit berat (<70% AKG) 2. Defisit sedang(70-79% AKG) 3. Defisit ringan (80-89% AKG) 4. Normal (90-119% AKG) 5. Kelebihan (≥120%AKG)
Hardinsyah et al
2002
Tingkat kecukupan protein
1. Defisit berat (<70% AKG) 2. Defisit sedang(70-79% AKG) 3. Defisit ringan (80-89% AKG) 4. Normal (90-119% AKG) 5. Kelebihan (≥120% AKG)
Hardinsyah et al
2002
Asupan vitamin A 1. Kurang (<77% AKG) 2. Cukup (≥77% AKG)
Gibson 2005 Asupan vitamin C 1. Kurang (<77% AKG)
2. Cukup (≥77% AKG)
Gibson 2005 Asupan zinc 1. Kurang (<77% AKG)
2. Cukup (≥77% AKG)
Gibson 2005 Asupan selenium 1. Kurang (<77% AKG)
2. Cukup (≥77% AKG)
Gibson 2005 5 Status gizi (IMT/U) 1. Sangat kurus (z < -3 SD)
2. Kurus - 3 SD ≤ z < - 2 SD) 3. Normal (-2 SD ≤ z ≤ + 1 SD) 4. Overweight (+1 SD < z ≤ + 2 SD) 5. Obese (z > +2 SD)
(23)
Tabel 1 (lanjutan)
No. Variabel Kategori Sumber
6 Morbiditas Frekuensi sakit (dalam 2 bulan terakhir)
1. Tidak sakit 2. 1 kali 3. 2 kali 4. 3 kali 5. 4 kali
-Lama sakit (dalam 2 bulan terakhir)
1. 0 hari 2. 1-4 hari 3. 5-8 hari 4. >8 hari
-Jenis penyakit
Skor morbiditas 1. Rendah (<6) 2. Sedang (7-12) 3. Tinggi (≥13)
Sugiyono 2009
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik contoh, karakteristik keluarga, pengetahuan gizi, data asupan energi, protein, vitamin (A dan C), mineral (zinc), data status gizi dan data kejadiaan morbiditas yang dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Uji beda variabel antar kelompok contoh menggunakan uji beda T sedangkan hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C, dan zinc) dengan status gizi dan hubungan antara status gizi dengan morbiditas dianalisis menggunakan uji korelasiRank-Spearman.Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C, dan zinc) dengan morbiditas menggunakan uji
Pearson.
Tingkat asupan
Data energi dan zat gizi yang diperoleh melalui metode food record2x24 jam yaitu pada hari sekolah dan hari libur yang meliputi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau dalam satuan gram, kemudian dikonversi dalam satuan energi (kkal), protein (g), vitamin A (RE), vitamin C (mg), dan zinc (mg) dengan merujuk pada Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM 2004). Konversi dihitung dengan menggunakan rumus (Hardinsyah & Briawan 1994) sebagai berikut:
Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan:
Kgij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi
(24)
Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan
Selanjutnya, tingkat kecukupan zat gizi yang diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya. Berikut rumus tingkat kecukupan zat gizi yang digunakan (Hardinsyah & Briawan 1994):
TKG = (K/AKG) x 100% Keterangan:
TKG = Tingkat kecukupan zat gizi K = Konsumsi zat gizi
AKG = Kecukupan zat gizi yang dianjurkan
Perhitungan tingkat kecukupan zat gizi pada contoh dengan status gizi normal yaitu dengan memperhitungkan berat badan aktual yang dibandingkan dengan berat badan ideal kemudian hasil perhitungan dalam nilai persentase. Perhitungan tingkat kecukupan zat gizi pada contoh dengan status gizi sangat kurus, kurus, overweight, dan obese yaitu membandingkan asupan dengan angka kecukupan gizi dalam nilai persentase. Nilai persentase tersebut diklasifikasikan menjadi 5 kategori, yaitu defisit berat (<70%), defisit sedang (70-79%), defisit ringan (80-89%), normal (90-119), dan kelebihan (≥120) (Hardinsyah et al 2002).
Klasifikasi TKG vitamin A, vitamin C dan zinc menurut Gibson (2005) yaitu kurang (<77% AKG) dan cukup (≥77% AKG).Data tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, dan zinc diperoleh dari data konsumsi pangan yang dikonversi ke dalam kandungan zat gizi (vitamin A, vitamin C, dan zinc) dengan menggunakan Nutrisurvey.
Status gizi
Status gizi contoh diukur berdasarkan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) contoh. Indeks Massa Tubuh (IMT) per umur (IMT/U) adalah salah satu indikator cara cepat untuk menghitung status gizi remaja. Kategori untuk IMT/U menurut WHO (2007) yaitu sebagai berikut:
1. Sangat kurus (z < -3 SD) 2. Kurus (- 3 SD ≤ z < - 2 SD) 3. Normal (-2 SD ≤ z ≤ + 1 SD) 4. Overweight(+1 SD < z ≤ + 2 SD) 5. Obese(z > +2 SD)
(25)
Morbiditas
Data morbiditas yang diperoleh dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner mengenai frekuensi sakit, lama sakit dan jenis penyakit/infeksi yang diderita contoh selama 2 bulan terakhir. Frekuensi sakit dikategorikan menjadi satu kali, dua kali, tiga kali, dan empat kali sakit dalam 2 bulan terakhir. Lama sakit dikategorikan menjadi 1-4 hari, 5-8 hari dan >8 hari. Menurut Sugiyono (2009) analisis skor morbiditas dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dan frekuensi sakit, kemudian dikategorikan menjadi rendah (<6), sedang (7-12) dan tinggi (≥13).
Definisi Operasional
Contoh adalah siswa atau siswi SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong
Karakteristik contoh adalah keadaan contoh yang meliputi usia, jenis kelamin, uang saku, dan pengetahuan gizi.
Uang saku adalah seluruh uang yang diberikan oleh orang tua contoh dalam seminggu yang digunakan oleh contoh untuk keperluan membeli makanan (jajan), transportasi, kesehatan, pendidikan, dan keperluan lainnya yang dinyatakan dalam rupiah.
Karakteristik orangtua adalah keadaan orangtua contoh yang meliputi besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orangtua.
Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh oleh orang tua contoh.
Asupan pangan adalah asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi contoh.
Asupan vitamin adalah asupan vitamin yang dikonsumsi oleh contoh dari makanan maupun suplemen per hari.
Asupan mineral adalah asupan mineral yang dikonsumsi oleh contoh dari makanan maupun suplemen per hari.
Morbiditas adalah kejadian sakit yang diderita oleh contoh selama 2 bulan terakhir, dilihat dari frekuensi sakit, lama sakit dan jenis penyakit.
(26)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Contoh UsiaSiswa SMP yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah siswa yang sudah termasuk dalam kategori remaja, yaitu yang berkisar antara 12-14 tahun. Menurut Riyadi (2001), masa remaja adalah periode yang penting pada pertumbuhan dan kematangan manusia. Remaja merupakan fase transisi sebelum anak menjadi dewasa. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan usia
Usia SMPN 5 Bogor SMPN 2 Cibinong Total
n % n % n %
12 tahun 3 6.8 2 3.4 5 4.9
13 tahun 39 88.6 50 86.2 89 87.3
14 tahun 2 4.5 6 10.3 8 7.8
Total 44 100 58 100 102 100
Berdasarkan sebaran usia, sebagian besar contoh (87.3%) berusia 13 tahun, sebagian kecil (4.5%) contoh di SMPN 5 Bogor dan 10.3% contoh di SMPN 2 Cibinong berusia 14 tahun. Sebaliknya di SMPN 2 Cibinong sebagian kecil contoh (3.4%) berusia 12 tahun sedangkan d SMPN 5 Bogor terdapat 6.8% contoh dengan usia 12 tahun.
Menurut Wulansari (2009), masa remaja berlangsung mulai usia 12 tahun sampai 21 tahun. Karakteristik pertumbuhan remaja adalah periode maturasi yang cepat pada fisik, emosi, sosial, dan seksual. Remaja perempuan mengalami percepatan pertumbuhan lebih dahulu dibandingkan anak laki-laki (Arisman 2010).
Jenis Kelamin
Siswa yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII putra dan putri yang berjumlah 102 orang yaitu 44 orang siswa SMPN 5 Bogor dan 58 orang siswa SMPN 2 Cibinong. Sebagian besar contoh yang diteliti (68.6%) berjenis kelamin perempuan. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3.
Kebutuhan akan zat-zat gizi bervariasi bergantung pada umur dan jenis kelamin. Masa kehidupan remaja memerlukan zat-zat gizi penting yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dewasa untuk penunjang proses pertumbuhan fisik, emosi dan organ-organ reproduksi (Arisman 2010). Selain itu,
(27)
pada tingkat kegiatan fisik dan umur yang sama pada perempuan dengan ukuran tubuh yang lebih kecil umumnya memerlukan energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki karena komposisi tubuh laki-laki sebagian besar terdiri dari otot sedangkan pada perempuan sebagian besar terdiri dari lemak (Kartasapoetra & Marsetyo 2002).
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin
SMPN 5 Bogor SMPN 2Cibinong Total
n % n % n %
Laki-laki 18 40.9 14 24.1 32 31.4
Perempuan 26 59.1 44 75.9 70 68.6
Total 44 100 58 100 102 100
Uang Saku
Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, atau bulanan (Napitu 1994). Uang saku yang diterima contoh digunakan untuk membeli makanan dan minuman (jajan), transportasi, kesehatan, pendidikan, dan keperluan lainnya. Rata-rata uang saku contoh di SMPN 5 Bogor yaitu sebesar Rp 93.600±36.450/minggu lebih tinggi dibandingkan dengan uang saku contoh di SMPN 2 Cibinong (Rp 58.300±17.060/minggu). Uang saku terendah contoh di SMPN 5 Bogor sebesar Rp 42.000/minggu sedangkan di SMPN 2 Cibinong sebesar Rp 24.000/minggu. Uang saku contoh tertinggi di SMPN 5 Bogor yaitu sebesar Rp 245.000/minggu dan Rp 100.000/minggu pada contoh di SMPN 2 Cibinong. Sebaran contoh berdasarkan uang saku disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan uang saku
Uang saku
SMPN 5 Bogor SMPN 2
Cibinong
Total
n % n % n %
Rendah (< Rp 42.610/mgg) 2 4.5 9 15.5 11 10.8 Sedang (Rp 42.610-106.090/mgg) 31 70.5 49 84.5 80 78.4 Tinggi (> Rp 106.090/mgg) 11 25 0 0 11 10.8
Total 44 100 58 100 102 100
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar contoh yang diteliti (78.4%) memiliki uang saku sedang yaitu berada pada rentang Rp 42.610-106.090/minggu. Contoh dengan uang saku rendah (<Rp 42.610/minggu) terdapat 15.5% diSMPN 2 Cibinong sedangkan di SMPN 5 Bogor hanya 4.5% contoh dengan uang saku rendah, namun terdapat 25% contoh di SMPN 5 Bogor
(28)
memiliki uang saku tinggi (>Rp 106.090/minggu) sedangkan di SMPN 2 Cibinong tidak terdapat contoh dengan uang saku tinggi. Hasil uji beda independent sample t-testmenunjukkan bahwa ada perbedadaan yang signifikan antara uang saku contoh di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong (p<0.05). Contoh di SMPN 5 Bogor memiliki rata-rata uang saku yang lebih tinggi daripada contoh di SMPN 2 Cibinong. Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya uang saku yang diterima oleh contoh adalah besarnya pendapatan keluarga.
Karakteristik Keluarga Besar Keluarga
Keluarga inti (core family) terdiri dari ayah, ibu, anak-anak baik kandung maupun angkat (Sediaoetama 2006). Namun ada keluarga yang hanya terdiri dari ayah atau ibu dan anak, karena salah satu orangtua telah meninggal dunia. Besar keluarga menurut BKKBN (1998) dibagi menjadi keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga ≤4 orang, sedang jika 5-6 orang, dan besar jika ≥7 orang. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan dan besar keluarga mempengaruhi konsumsi pangan, apabila pendapatan rendah dan jumlah keluarga yang besar maka konsumsi pangan akan rendah (Kartasapoetra & Marsetyo 2002).
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh baik di SMPN 5 Bogor (54.5%) maupun di SMPN 2 Cibinong (51.7%) mempunyai keluarga kecil (≤4 orang). Selain itu, hanya sebesar 2.3% contoh di SMPN 5 Bogor dan 5.2% contoh di SMPN 2 Cibinong yang merupakan keluarga besar (≥7orang).
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga
Besar keluarga SMPN 5 Bogor SMPN 2Cibinong Total
n % n % n %
Kecil (≤4 org) 24 54.5 30 51.7 54 53.0
Sedang 5-6 org) 19 43.2 25 43.1 44 43.1
Besar (≥7 org) 1 2.3 3 5.2 4 3.9
Total 44 100 58 100 102 100
Menurut Sediaoetama (2006), pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari-hari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga banyak. Hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga tidak mencukupi kebutuhan. Selain dalam hal konsumsi pangan, besar keluarga juga akan berpengaruh terhadap perhatian orangtua, bimbingan, petunjuk, dan perawatan kesehatan.
(29)
Pendidikan Orangtua
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk memperoleh pengetahuan dan indikator sosial yang dapat mencerminkan keadaan sosial seseorang. Tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh dibagi menjadi tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan PT. Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (75% dan 61.3%) di SMPN 5 Bogor mempunyai ayah dan ibu dengan tingkat pendidikan sampai dengan PT, sedangkan di SMPN 2 Cibinong sebagian besar contoh (44.8% dan 53.4%) mempunyai ayah dan ibu berpendidikan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orangtua contoh d SMPN 5 Bogor sudah cukup baik, sedangkan di SMPN 2 Cibinong masih ada ayah yang tingkat pendidikannya hanya sampai tamat SD (5.2%) dan tamat SMP (12.1%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan ayah dan ibu contoh di kedua sekolah (p<0,05).
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orangtua
Pendidikan SMPN 5 Bogor SMPN 2 Cibinong Total
n % n % n %
Ayah
Tidak tamat SD 0 0 0 0 0 0
Tamat SD 0 0 3 5.2 3 2.9
Tamat SMP 0 0 7 12.1 7 6.9
Tamat SMA 11 25 26 44.8 37 36.3
PT 33 75 22 37.9 55 53.9
Total 44 100 58 100 102 100
Ibu
Tidak tamat SD 0 0 0 0 0 0
TamatSD 1 2.3 1 1.7 2 1.9
TamatSMP 1 2.3 6 10.3 7 6.9
TamatSMA 15 34.1 31 53.4 46 45.1
PT 27 61.3 20 34.5 47 46.1
Total 44 100 58 100 102 100
Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang berpendidikan tinggi cendurung memilih makanan yang murah dan kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1996). Selain itu menurut Sediaoetama (2006), tingkat pendidikan berhubungan dengan pengetahuan gizi seseorang yang pada akhirnya ikut berperan dalam
(30)
peningkatan kemampuan dan taraf hidupnya (daya beli). Ketidaktahuan tentang bahan pangan dapat menyebabkan pemilihan makanan yang salah sehingga terwujud pola konsumsi makan yang tidak baik dan pada akhirnya dapat menimbulkan masalah gizi.
Tingkat pendidikan orangtua yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional, dan psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah, pendidikan dapat merubah perilaku yang tidak sesuai dengan norma kesehatan menjadi perilaku yang menguntungkan bagi kesehatan, pendidikan formal dapat membentuk pribadi dengan wawasan berpikir yang lebih baik (Notoatmodjo 1999).
Pekerjaan Orangtua
Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh penghasilan atau keuntungan. Terlihat pada Tabel 7 pekerjaan ayah contoh di kedua sekolah sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai swasta dengan persentase 34,1% di SMPN 5 Bogor dan 53.4% di SMPN 2 Cibinong. Pekerjaan ayah sebagai wiraswasta sebanyak 31.8% di SMPN 5 Bogor dan 17.2% di SMPN 2 Cibinong. Pekerjaan ayah lainnya yaitu sebagai PNS dengan presentase 29.5% di SMPN 5 Bogor dan 24.1% d SMPN 2 Cibinong.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua
Pekerjaan SMPN 5 Bogor SMPN 2 Cibinong Total
n % n % n %
Ayah
PNS 13 29.5 14 24.1 27 26.5
Swasta 15 34.1 31 53.4 46 45.1
Wiraswasta 14 31.8 10 17.2 24 23.5
Lainnya 2 4.5 3 5.2 5 4.9
Total 44 100 58 100 102 100
Ibu
PNS 7 15.9 7 12.1 14 13.7
Swasta 4 9.1 7 12.1 11 10.8
Wiraswasta 3 6.8 5 8.6 8 7.8
IRT 30 70.5 39 67.2 69 67.7
Total 44 100 58 100 102 100
Sebagian besar ibu contoh hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang merawat dan mendidik anaknya sebesar 67.7%. Ibu contoh di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong sebagai ibu rumah tangga berturut-turut sebanyak 70.5% dan 67.2%. Sebanyak 15.9% ibu contoh yang bekerja sebagai PNS di SMPN 5 Bogor sedangkan di SMPN 2 Cibinong sebanyak 12.1%. Ibu contoh
(31)
yang bekerja sebagai pegawai swasta sebanyak 9.1% di SMPN 5 Bogor dan 12.1% di SMPN 2 Cibinong. Pekerjaan ibu contoh sebagai wiraswasta di SMPN 5 Bogor sebanyak 6.8% dan di SMPN 2 Cibinong sebesar 8.6%.
Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Engel et al 1994). Berdasarkan uji beda, baik pekerjaan ayah maupun ibu tidak terdapat perbedaan antara SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong (p>0.05).
Pendapatan
Pendapatan merupakan penghasilan orangtua yang diterima keluarga setiap bulannya. Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan contoh (52.3%) di SMPN 5 Bogor berada pada kategori >Rp 5.000.000/bulan sedangkan di SMPN 2 Cibinong hanya terdapat 3.4%. Pendapatan contoh di SMPN 2 Cibinong sebagian besar tergolong dalam kategori pendapatan Rp 2.000.001-5.000.000/bulan sebanyak 44.8%. Sebanyak 3 orang contoh di SMPN 2 Cibinong dengan pendapatan orangtua pada kategori <Rp 500.000/bulan. Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa ada perbedaan pendapatan yang signifikan antara contoh di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong (p<0.05).
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per bulan
Pendapatan SMPN 5 Bogor SMPN 2 Cibinong Total
n % n % n %
< Rp 500.000 0 0 3 5.2 3 2.9
Rp 500.000-1.000.000 3 6.8 8 13.8 11 10.8
Rp 1.000.001-2.000.000 8 18.2 19 32.8 27 26.5 Rp 2.000.001-5.000.000 10 22.7 26 44.8 36 35.3
> Rp 5.000.000 23 52.3 2 3.4 25 24.5
Total 44 100 58 100 102 100
Status Gizi
Masa remaja merupakan periode dari pertumbuhan dan proses kematangan manusia. Pada masa ini terjadi perubahan yang sangat unik dan berkelanjutan. Perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi akan mempengaruhi status kesehatan dan gizinya. Ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu masalah gizi lebih maupun gizi kurang (Riyadi 1995).
(32)
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang tersebut, maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik (Riyadi 1995).
Rata-rata nilai z-score contoh di SMPN 5 Bogor yaitu 0.083±1.291 sedangkan di SMPN 2 Cibinong yaitu -0.116±1.284. Nilai z-score terendah contoh di SMPN 5 Bogor yaitu -3.54 dan di -3.42 di SMPN 2 Cibinong. Nilai z-score tertinggi contoh di SMPN 5 Bogor sebesar 2.51 dan 2.49 di SMPN 2 Cibinong. Sebaran contoh berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan status gizi
Status gizi SMPN 5 Bogor SMPN 2 Cibinong Total
n % n % n %
Sangat kurus 1 2.3 2 3.4 3 2.9
Kurus 1 2.3 2 3.4 3 2.9
Normal 32 72.7 44 75.9 76 74.6
Overweight 6 13.6 6 10.3 12 11.8
Obese 4 9.1 4 6.9 8 7.8
Total 44 100 58 100 102 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh, baik di SMPN 5 Bogor (72.2%) maupun di SMPN 2 Cibinong (75.9%) berstatus gizi normal. Selain itu terdapat 2.3% contoh di SMPN 5 Bogor dan 3.4% di SMPN 2 Cibinong yang termasuk dalam kategori sangat kurus dan kurus. Contoh dengan status gizi overweight sebesar 13.6% di SMPN 5 Bogor dan 10.3% di SMPN 2 Cibinong. Contoh lainnya berstatus gizi obese sebesar 9.1% di SMPN 5 Bogor dan 6.9% di SMPN 2 Cibinong. Ketidakseimbangan antara asupan dengan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu masalah gizi lebih maupun gizi kurang (Riyadi 1995).
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan (Suhardjo 1996). Pengetahuan gizi mempengaruhi praktek melalui sikap terhadap makanan. Praktek konsumsi pangan merupakan hasil interaksi dari pengetahuan gizi dan sikap terhadap gizi. Pengetahuan gizi dapat membentuk praktek pangan secara langsung dan dapat juga mempengaruhi praktek pangan melalui sikap. Tingkat pengetahuan gizi diukur dari pertanyaan-pertanyaan umum mengenai
(33)
gizi seimbang sebanyak 3 pertanyaan dan vitamin dan mineral sebanyak 7 pertanyaan (Tabel 10).
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan pengetahuan gizi
Pengetahuan Gizi
Jawaban benar SMPN 5
Bogor
SMPN 2 Cibinong
n % n %
Fungsi makanan 6 13,6 8 13,8
Jenis zat gizi 41 93,2 44 75,9
Bahan makanan sumber vitamin 42 95,5 58 100,0
Manfaat vitamin 28 63,6 18 31,0
Makanan sumber vitamin A 43 97,7 55 94,8
Makanan sumber vitamin C 43 97,7 58 100,0
Bahan makanan sumber mineral 43 97,7 55 94,8
Manfaat mineral 15 34,1 30 51,7
Jenis mineral 16 36,4 21 36,2
Manfaat mengkonsumsi beraneka ragam makanan 39 88,6 44 75,9
Dari 10 pertanyaan pengetahuan gizi yang diajukan kepada contoh, terdapat dua pertanyaan yang dijawab benar oleh semua contoh di SMPN 2 Cibinong (100%), yaitu pertanyaan tentang bahan makanan sumber vitamin dan makanan sumber vitamin C. Pertanyaan lain yang paling banyak dijawab benar oleh contoh SMPN 2 Cibinong adalah tentang makanan sumber vitamin A (94,8%). Sedangkan contoh di SMPN 5 Bogor menjawab pertanyaan benar dalam presentase yang besar terdapat pada beberapa pertanyaan yaitu tentang makanan sumber vitamin A (97,7%), makanan sumber vitamin C (97,7%), bahan makanan sumber mineral (97,7%), bahan makanan sumber vitamin (95,5%), dan jenis zat gizi (93,2%). Secara keseluruhan contoh dikedua sekolah sudah mengetahui mengenai vitamin namun pengetahuan mengenai mineral masih rendah.
Pertanyaan yang paling banyak dijawab salah oleh contoh dikedua sekolah adalah tentang fungsi makanan. Kesalahan contoh dalam menjawab pertanyaan diduga karena pertanyaan tersebut telah lama sekali didapatkan oleh contoh yaitu ketika duduk di Sekolah Dasar (SD).
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kemudian diberi skor dan dikelompokkan. Rata-rata pengetahuan gizi contoh di SMPN 5 Bogor yaitu 73.64±12.592 lebih besar dari SMPN 2 Cibinong yaitu sebesar 67.41±13.836.
(34)
Sebagian besar contoh di kedua sekolah yaitu di SMPN 5 Bogor (81,0%) dan SMPN 2 Cibinong (81,8%) memiliki pengetahuan gizi pada kategori sedang. Hanya terdapat 3 orang (12.1%) di SMPN 5 Bogor yang memiliki pengetahuan gizi kurang dan sebanyak 7 orang (6.8%)di SMPN 2 Cibinong. Sebagian besar contoh (81.4%) memiliki pengetahuan gizi cukup (Tabel 11).
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi
Pengetahuan gizi
SMPN 5 Bogor SMPN 2 Cibinong Total
n % n % n %
Kurang (<60%) 3 12.1 7 6.8 10 9.8
Sedang (60-80%) 36 81.0 47 81.8 83 81.4
Baik (>80%) 5 6.9 4 11.4 9 8.8
Total 44 100 58 100 102 100
Hasil uji statistik menggunakan uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara pengetahuan gizi contoh di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan gizi contoh di SMPN 5 Bogor sama dengan pangetahuan gizi contoh di SMPN 2 Cibinong.
Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Selain itu juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi, seperti membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio, dan menyaksikan siaran televisi maupun melalui penyuluhan kesehatan/gizi (Suhardjo 1996). Semakin banyak jenis dan informasi tentang gizi dan kesehatan yang diterima seseorang, maka semakin luas wawasan dan pengetahuan tentang hal itu.
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi (Almatsier 2004). Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau sekelompok orang (keluarga, institusi) pada waktu dan tujuan tertentu. Tujuan memperoleh pangan dalam aspek gizi adalah untuk mendapatkan sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh (Nasoetion & Briawan 2008).
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Konsumsi makanan oleh masyarakat atau oleh
(35)
keluarga bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan (Almatsier 2004).
Berdasarkan data konsumsi pangan maka didapatkan asupan dan tingkat kecukupan gizi. Kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat dan tinggi badan, serta genetika (Kartasapoetra & Marsetyo 2002). Secara sederhana angka kecukupan gizi tersebut juga dapat digunakan untuk menilai tingkat konsumsi zat gizi, yaitu mengetahui seberapa banyak kecukupan zat gizi (Hardinsyah & Briawan 1994).
Energi
Energi diperoleh dari zat-zat gizi penghasil energi yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Energi diperlukan untuk berlangsungnya proses-proses yang mendasari kehidupan seperti pernafasan, sirkulasi darah, denyut jantung dan lainnya serta untuk melakukan aktivitas fisik (Dwiriani 2008).
Tingkat kecukupan energi adalah perbandingan antara asupan energi (kkal) dengan angka kecukupan energi individu (kkal/org/hr). Energi dibutuhkan oleh tubuh untuk memelihara fungsi dasar tubuh yang disebut metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan energi total. Selain itu energi juga diperlukan untuk fungsi tubuh lain seperti mencerna, mengolah dan menyerap makanan dalam alat pencernaan (Soekirman 2000). Berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) 2004, kecukupan energi remaja laki-laki dan perempuan usia 10-12 tahun adalah 2050 kkal/hari sedangkan kecukupan energi remaja laki-laki usia 13-15 tahun adalah 2400 kkal/hari dan remaja perempuan usia 13-15 tahun adalah 2350 kkal/hari. Asupanenergi terendah contoh SMPN 5 Bogor yaitu sebesar 712 kkal lebih besar dibandingkan SMPN 2 Cibinong yaitu 592 kkal. Asupan contoh yang rendah dikedua sekolah disebabkan rendahnya jumlah pangan yang dikonsumsi contoh. Contoh hanya makan 2 kali sehari dengan porsi sedikit dan menu yang tidak beragam seperti nasi dan nuggetatau mie dan telur. Selain itu contoh tidak makan selingan di antara waktu makan.
Asupanenergi tertinggi contoh di SMPN 5 Bogor lebih besar dibandingkan SMPN 2 Cibinong yaitu masing-masing sebesar 2993 kkal dan 2636 kkal. Namun, rata-rata asupan energi contoh di SMPN 5 Bogor lebih rendah dibandingkan SMPN 2 Cibinong (Tabel 12).
(36)
Tabel 12 Nilai terendah, tertinggi dan rata-rata asupanenergi dan TKE
Energi SMPN 5 Bogor SMPN 2 Cibinong
Asupan
Terendah 712 kkal 592 kkal
Tertinggi 2993 kkal 2636 kkal
Rata-rata±sd 1443±467.295kkal 1540±492.850kkal TKE
Terendah 22% 20%
Tertinggi 125% 138%
Rata-rata±sd 60.52±23.199% 69.60±26.920%
Tingkat kecukupan energi terendah contoh di SMPN 5 Bogor yaitu sebesar 22% lebih besar dibandingkan SMPN 2 Cibinong yaitu sebesar 20%. Tingkat kecukupan energi tertinggi dan rata-rata SMPN 5 Bogor masing-masing sebesar 125% dan 60.52% lebih rendah dibandingkan SMPN 2 Cibinong yaitu sebesar 138% dan 69.60%. Menurut O’Dea & Caputi (2001), pada umumnya remaja putri dari golongan ekonomi tinggi lebih banyak memiliki persepsi salah terhadap bentuk tubuh kaitannya dengan status gizi dibandingkan golongan ekonomi rendah. Hal ini terlihat bahwa tingkat kecukupan energi rata-rata contoh di SMPN 5 Bogor lebih rendah dibandingkan SMPN 2 Cibinong. Hasil uji beda
independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara TKE contoh di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong (p>0.05).
Kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang disebut adolescence growth spurt, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relative besar jumlahnya (Sediaoetama 2006). Asupan zat-zat gizi yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan remaja akan membantu remaja mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi baik itu berupa masalah gizi lebih maupun gizi kurang (Sulistyoningsih 2011).
Sebaran contoh berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh di SMPN 5 Bogor (72.7%) dan di SMPN 2 Cibinong (55.2%) memiliki tingkat kecukupan energi pada kategori defisit berat. Contoh dengan tingkat kecukupan energi normal hanya sebesar 9.1% di SMPN 5 Bogor dan 20.7% di SMPN 2 Cibinong. Tingkat kecukupan energi dengan kategori kelebihan sebesar 2.3% pada contoh di SMPN 5 Bogor dan di SMPN 2 Cibinong terdapat 3.4%. Contoh lainnya termasuk dalam kategori defisit sedang dan defisit ringan.
(1)
Lampiran 1 : Hasil Uji HubunganRank-Spearmanantara Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi (Protein, Vitamin A, Vitamin C, Dan Zinc) dengan Status Gizi
Uji hubungan TKE dengan status gizi
Correlations
TKE status_gizi Spearman's rho TKE Correlation Coefficient 1.000 -.340**
Sig. (2-tailed) . .000
N 102 102
status_gizi Correlation Coefficient -.340** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 102 102
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Uji hubungan TKP dengan status gizi
Correlations
TKP status_gizi Spearman's rho TKP Correlation Coefficient 1.000 -.328**
Sig. (2-tailed) . .001
N 102 102
status_gizi Correlation Coefficient -.328** 1.000
Sig. (2-tailed) .001 .
N 102 102
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Uji hubungan tingkat kecukupan vitamin A dengan status gizi
Correlations
TKVA status_gizi Spearman's rho TKVA Correlation Coefficient 1.000 -.064
Sig. (2-tailed) . .525
N 102 102
status_gizi Correlation Coefficient -.064 1.000
Sig. (2-tailed) .525 .
(2)
62
Uji hubungan tingkat kecukupan vitamin C dengan status gizi
Correlations
TKVC status_gizi Spearman's rho TKVC Correlation Coefficient 1.000 -.015
Sig. (2-tailed) . .883
N 102 102
status_gizi Correlation Coefficient -.015 1.000
Sig. (2-tailed) .883 .
N 102 102
Uji hubungan tingkat kecukupanzincdengan status gizi
Correlations
zn status_gizi Spearman's rho zn Correlation Coefficient 1.000 -.198*
Sig. (2-tailed) . .046
N 102 102
status_gizi Correlation Coefficient -.198* 1.000
Sig. (2-tailed) .046 .
N 102 102
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Lampiran 2 : Hasil Uji Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi (Protein, Vitamin A, Vitamin C, dan Zinc) dengan Morbiditas Uji hubungan TKE dengan morbiditas
Correlations
TKE morbiditas
TKE Pearson Correlation 1 .093
Sig. (2-tailed) .351
N 102 102
morbiditas Pearson Correlation .093 1
Sig. (2-tailed) .351
(3)
Uji hubungan TKP dengan morbiditas
Correlations
TKP morbiditas
TKP Pearson Correlation 1 .038
Sig. (2-tailed) .702
N 102 102
morbiditas Pearson Correlation .038 1
Sig. (2-tailed) .702
N 102 102
Uji hubungan tingkat kecukupan vitamin A dengan morbiditas
Correlations
TKVA morbiditas
TKVA Pearson Correlation 1 .049
Sig. (2-tailed) .624
N 102 102
morbiditas Pearson Correlation .049 1
Sig. (2-tailed) .624
N 102 102
Uji hubungan tingkat kecukupan vitamin C dengan morbiditas
Correlations
TKVC morbiditas
TKVC Pearson Correlation 1 -.062
Sig. (2-tailed) .534
N 102 102
morbiditas Pearson Correlation -.062 1
Sig. (2-tailed) .534
N 102 102
Uji hubungan tingkat kecukupan zincdengan morbiditas
Correlations
zn morbiditas
zn Pearson Correlation 1 -.040
Sig. (2-tailed) .689
N 102 102
morbiditas Pearson Correlation -.040 1
Sig. (2-tailed) .689
(4)
64
Lampiran 3 : Hubungan Status Gizi dengan Morbiditas
Correlations
status_gizi morbiditas Spearman's rho status_gizi Correlation Coefficient 1.000 .131
Sig. (2-tailed) . .188
N 102 102
morbiditas Correlation Coefficient .131 1.000
Sig. (2-tailed) .188 .
(5)
iii
Morbiditas pada Siswa di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong. Dibimbing oleh
SRI ANNA MARLIYATI.
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji hubungan antara asupan vitamin dan mineral dengan morbiditas pada siswa di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong. Adapun tujuan khususnya meliputi: (1) mengidentifikasi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, uang saku, status gizi, dan pengetahuan gizi) dan karakteristik orangtua (besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan), (2) menganalisis asupan energi dan zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C dan zinc) dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi, (3) mengkaji morbiditas penyakit infeksi (pilek, batuk, diare, dan demam), (4) mengkaji hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C dan zinc) dengan status gizi dan morbiditas contoh, (5) mengkaji hubungan antara status gizi dengan morbiditas.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study. Penelitian dilakukan pada bulan November 2011. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive. Penelitian dilakukan di SMPN 5 Bogor yang mewakili karakteristik tingkat social ekonomi menengah ke atas dan SMPN 2 Cibinong dengan yang mewakili karakteristik status sosial ekonomi menengah ke bawah. Contoh yang digunakan yaitu siswa kelas VIII sebanyak 102 orang.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner oleh peneliti terhadap siswa. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, uang saku), karakteristik orangtua (besar keluarga, pendidikan terakhir orangtua, pekerjaan orangtua dan pendapatan orangtua), pengetahuan gizi, asupan vitamin dan mineral (vitamin A, vitamin C, zinc, dan selenium), status gizi, dan data morbiditas. Pengolahan dan analisis data menggunakan program Microsoft Excel 2007, anthro plus 2005 dan
Statistical Package for Sosial Science(SPSS) Versi 16.0 for Windows.
Berdasarkan sebaran usia, sebagian besar contoh (87.3%) berusia 13 tahun. Contoh sebagian besar berjenis kelamin perempuan (68.6%) dan sisanya (31.4%) berjenis kelamin laki-laki. Rata-rata uang saku contoh di SMPN 5 Bogor yaitu sebesar Rp 93.600±36.450/minggu lebih tinggi dibandingkan dengan uang saku contoh di SMPN 2 Cibinong (Rp 58.300±17.060/minggu). Sebagian besar contoh yang diteliti (78.4%) memiliki uang saku sedang yaitu berada pada rentang Rp 42.610-106.090/minggu. Hasil uji beda independent sample t-test
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara uang saku contoh di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong (p<0.05).
Berdasarkan sebaran besar keluarga, sebagian besar contoh baik di SMPN 5 Bogor (54.5%) maupun di SMPN 2 Cibinong (51.7%) mempunyai keluarga kecil (≤4 orang). Sebagian besar ayah dan ibu contoh di SMPN 5 Bogor (75%dan 61.3%) berpendidikan PT, sedangkan di SMPN 2 Cibinong sebagian besar contoh (44.8% dan 53.4%) mempunyai ayah dan ibu berpendidikan tamat SMA. Pekerjaan ayah contoh di kedua sekolah sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai swasta dengan persentase 34,1% di SMPN 5 Bogor dan 53.4% di SMPN 2 Cibinong. Pekerjaan Ibu contoh di kedua sekolah sebagian besar sebagai ibu rumah tangga. Pendapatan orangtua contoh (52.3%) di SMPN 5 Bogor berada pada kategori >Rp 5.000.000/bulan sedangkan di SMPN 2
(6)
iv
Cibinong sebagian besar tergolong dalam kategori pendapatan Rp 2.000.000-5.000.000/bulan sebanyak 44.8%.
Hasil pengukuran indeks massa tubuh terhadap umur (IMT/U) menunjukkan bahwa sebagian besar contoh, baik di SMPN 5 Bogor (72.2%) maupun di SMPN 2 Cibinong (75.9%) berstatus gizi normal. Pengetahuan contoh di kedua sekolah sebagian besar 81,0% di SMPN 5 Bogor dan 81,8% SMPN 2 termasuk kategori sedang. Hasil uji statistik menggunakan uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara status gizi dan pengetahuan contoh di SMPN 5 Bogor dan SMPN 2 Cibinong.
Rata-rata tingkat kecukupan energi contohSMPN 5 Bogor sebesar 60.52% lebih rendah dibandingkan SMPN 2 Cibinong yaitu sebesar 69.60%. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi menunjukkan bahwa sebagian besar contoh di SMPN 5 Bogor (72.7%) dan di SMPN 2 Cibinong (55.2%) memiliki tingkat kecukupan energi pada kategori defisit berat. Rata-rata tingkat kecukupan protein contoh di SMPN 5 Bogor lebih besar dibandingkan SMPN 2 Cibinong. Sebaran contoh berdasarkan kecukupan protein menunjukkan tingkat kecukupan protein contoh di kedua sekolah sebagian besar termasuk dalam kategori defisit berat yaitu sebesar 34.1% di SMPN 5 Bogor dan sebesar 44.8% di SMPN 2 Cibinong
.
Hasil sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A, separuh lebih contoh memiliki tingkat kecukupan vitamin A dalam kategori kurang yaitu sebanyak 72.7% di SMPN 5 Bogor dan 75.9% di SMPN 2 Cibinong. Hasil sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C separuh lebih contoh di kedua sekolah yaitu 84.1% di SMPN 5 Bogor dan 91.4% di SMPN 2 Cibinong termasuk dalam kategori kurang. Hasil sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zinc seluruh contoh di SMPN 5 Bogor termasuk dalam kategori kurang sedangkan di SMPN 2 Cibinong sebesar 98.3%. Sebanyak 1.7% contoh di SMPN 2 Cibinong termasuk dalam kategori cukup tingkat kecukupan zincnya.
Jenis-jenis penyakit yang didata dalam penelitian ini yaitu pilek, batuk, diare, dan demam. Sebaran contoh berdasarkan jenis dan frekuensi sakit menunjukkan bahwa separuh contoh di SMPN 5 Bogor (56.8%) dan di SMPN 2 Cibinong (51.7%) tidak pernah sakit. Jenis penyakit yang paling sering diderita contoh di kedua sekolah yaitu pilek sebesar 20.5% di SMPN 5 Bogor dan 24.1% di SMPN 2 Cibinong dengan frekuensi terbanyak hanya 1 kali dalam 2 bulan. Sebagian besar contoh di SMPN 5 Bogor (40.9%) dan di SMPN 2 Cibinong (41.4%) menderita pilek selama 1-4 hari.
Hasil uji korelasi Rank-Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat kecukupan energi, protein dan zinc dengan status gizi, namun tidak terdapat hubungan antara vitamin A dan C dengan status gizi. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan zinc dengan morbiditas. Hasil uji korelasi Rank-Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan (r=0.131; p=0.188) antara status gizi dengan morbiditas.