PEMIDANAAN TERHADAP PECANDU SEKALIGUS PENGEDAR NARKOTIKA

(1)

PEMIDANAAN TERHADAP PECANDU SEKALIGUS PENGEDAR NARKOTIKA

SKRIPSI

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta

Oleh :

Nama : Avie Yogha Purbo Pamungkas NIM : 20120610043

Program : Studi Ilmu Hukum Bagian : Hukum pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

HALAMAN PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : AVIE YOGHA PURBO PAMUNGKAS NIM : 20120610043

Judul Skripsi : PEMIDANAAN TERHADAP PECANDU SEKALIGUS PENGEDAR NARKOTIKA.

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik sarjana baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta atau pun di Perguruan Tinggi lainnya.

Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 5 JUNI 2016


(3)

MOTTO

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,

tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”

(QS. Al-Baqarah ayat 219 )

IMPOSSIBLE IS NOTHING (Muhammad ali)


(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Almarhum Ayahanda Purbandwiyono dan Ibunda Anik Rochmani, serta kakaku intan dan rifky terima kasih atas segala kasih sayang, dorongan semangat serta motivasi dan nasehat yang telah kalian limpahkan kepada ku yang tak kan pernah bisa ku balas sampai akhir hayat menjemput diriku nanti;

2. Calon pasangan hidup saya Dyah Ayu Isnain Ramadhani terimakasih sudah selalu memberi semangat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(5)

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 14

F. Sistematika Penulisan Skripsi ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Tindak Pidana ... 19

1. Pengertian Tindak Pidana ... 19

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 20

B. Narkotika ... 24


(6)

2. Tindak Pidana Narkotika ... 26

C. Pecandu dan Pengedar Narkotika ... 33

1. Definisi Pecandu dan Pengedar ... 33

2. Golongan Pemakai Narkotika ... 37

D. Tindak Pidana Narkotika Menurut Perspektif islam ... 39

1. Pengertian Narkotika dalam Perspektif Islam ... 39

2. Pandangan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Bagi Pengedar Narkotika ... 41

3. Hukuman Bagi Pecandu Sekaligus Pengedar Narkotika Menurut Hukum Islam ... 43

BAB III PERBARENGAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN JENIS-JENIS SANKSI PIDANANYA ... A. Tindak Pidana Perbarengan (concurcus) ... 44

B. Tujuan Pemidanaan ... 49

C. Jenis-Jenis Sanksi Pidana ... 52

D. Sanksi Dalam Tindak Pidana Narkotika ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. ... A.Penerapan Pemidanaan Terhadap Pecandu Sekaligus Pengedar Narkotika ... 66

B. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pecandu Sekaligus Pengedar ... 80

BAB V PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 89


(7)

(8)

(9)

(10)

PEMIDANAAN TERHADAP PECANDU SEKALIGUS PENGEDAR NARKOTIKA

ABSTRAK

Pemidanaan terhadap pecandu memang menjadi perdebatan yang sangat sulit mengingat bahwa pecandu adalah orang yang sakit ataupun orang yang menjadi korban penyalahgunaan Narkotika. Permasalahanya bagaimana pemidanaan terhadap pecandu sekaligus pengedar narkotika. Mengingat bahwa pasal 54 undang-undang narkotika no. 35 tahun 2009 menjelaskan bahwa pecandu dan penyalahguna wajib menjalani rehabilitasi. Kasus pecandu narkotika sepenuhnya di serahkan kepada Hakim yang mengadili, pasal 103 yang menyebutkan hakim yang memutus perkara dapat memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan atau rehabilitasi dan untuk pecandu rangkap pengedar maka di terapakan atau mengacu kepada ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010.

Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dengan melakukan pengkajian melalui studi pustaka dan data sekunder dengan mempelajari buku-buku, jurnal, situs internet, peraturan perundangan-undangan, doktrin dan dokumen - dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian dan juga data primer yakni data yang diperoleh dari hasil penelitian langsung yang dilakukan melalui wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa hakimlah yang berperan penting dalam meumtus perkara tindak pidana pecandu sekaligus pengedar narkotika dengan berdasarkan pertimbangan penyidik serta ketentuan Peraturan Bersama Nomer 3 Tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.

Penulis mengambil kesimpulan bahwa tidak semua pecandu yang merangkap menjadi seorang pengedar bisa mendapatkan tindakan pengobatan atau rehabilitasi. Apalagi seorang pengedar gelap dan pelaku residivis. Pelaku pengedar bisa mendapatkan tindakan rehabilitasi di lapas tempat dimana di tahan berdasarkan keterangan dokter seperti ketentuan Peraturan Bersama Nomer 3 Tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi , dalam artian maka pelaku pengedar sekaligus pecandu teteap dikenakan pasal pengedar yaitu pasal 114 Undang-Undang No.35 Tahun 2009.


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Keinginan untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk seperti sekarang ini, diprediksikan akan mendorong munculnya pabrik-pabrik gelap baru dan penyalahgunaan Narkoba lain akan semakin marak di masa mendatang. Kondisi ini tentunya menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan Narkoba ini sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menyadari bahwa penyalahgunaan Narkoba ini sama halnya dengan penyakit masyarakat lainnya seperti perjudian, pelacuran, pencurian dan pembunuhan yang sulit diberantas atau bahkan dikatakan tidak bisa dihapuskan sama sekali dari muka bumi, maka apa yang dapat kita lakukan secara realistik hanyalah bagaimana cara menekan dan mengendalikan sampai seminimal mungkin angka penyalahgunaan Narkoba serta bagaimana kita melakukan upaya untuk mengurangi dampak buruk yang diakibatkan oleh penyalahgunaan Narkoba ini.

Pelaku dalam tindak pidana Narkotika bisa dikategorikan Produsen, Pengedar, Pengedar sekaligus Pecandu/penyalahguna dan pecandu/penyalahguna. Produsen ini adalah pihak berkaitan dengan proses


(12)

produksi Narkotika tersebut, sedangkan pengedar ini adalah pihak yang telibat dalam proses ditribusi narkotika. Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

Penyalahguna adalah orang yang memakai Narkotika yang tidak ada alasan hak atau melawan hukum. Pecandu adalah orang yang menyalahgunakan tetapi sudah dalam taraf ketergantungan. Pecandu/penyalahguna selain sebagai pihak yang berperan sendiri dalam tidak pidana narkotika, namun ikut juga sebagai pihak yang ikut dalam distribusi yaitu sekaligus pengedar, hal ini terjadi karena dalam bisnis haram tersebut seorang pecandu/Penyalahguna akan membutuhkan uang untuk memperoleh barang haram tersebut, dan jika tidak mampu membeli maka dia akan ikut terjun dalam bisnis barang haram tersebut untuk mencari uang yang bisa digunakan untuk konsumsi barang haram tersebut.

Pemidanaan terhadap Pecandu Narkotika merupakan salah satu permasalahan yang selalu menjadi topik yang menarik untuk di bahas, karena selalu terdapat pro dan kontra yang mengiringi pembahasan masalah tersebut. Pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu hukuman yang diberikan kepada seseorang yang melanggar aturan hukum yang berlaku dalam hal ini pecandu narkotika dikatakan sebagai pelanggar hukum karena telah menyalahgunakan narkotika. Perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi maka semakin banyak pemikiran yang berkembang tentang pemidanaaan khususnya terhadap pecandu narkotika, beberapa ahli


(13)

memberikan pendapat bahwa dengan berkembangnya zaman maka hukum pidana yang ada juga harus dapat beradaptasi atau menyesuaikan dengan perkembangan yang ada di masyarakat maka, pembaharuan terhadap hukum pidana dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi di masyarakat saat ini. Pecandu narkotika adalah mereka yang sedang mengalami sakit baik secara fisik, mental maupun psikis yang diakibatkan penggunaan narkotika yang berlebihan atau tidak sesuai dosis penggunaannya, hal ini yang menyebabkan seorang pecandu narkotika seharusnya mendapat penanganan yang serius karena jika salah dalam penanganannya dapat berakibat fatal bagi si pecandu.

Pidana seharusnya lebih dititik beratkan kepada pengedar narkotika karena dengan adanya pengedar yang menyebabkan munculnya penyalahguna narkotika yang kemudian melahirkan seorang pecandu narkotika, karena biar bagaimanapun pemberantasan narkotika harus dilihat titik sentralnya, sulitnya aparat penegak hukum melakukan pelacakan terhadap pengedaran narkotika di karenakan kejahatan tersebut dilakukan tidak secara perseorangan melaikan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional, tetapi bagaimana jika seorang pecandu merangkap menjadi seorang pengedar narkotika.1

1

Moh. Taufik Makarao,Suhasril, dan Moh.Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.8


(14)

Undang-undang RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menjelaskan apabila setiap orang yang tanpa memiliki hak atau melawan hukum yang telah diatur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana yang berlaku.

Kejahatan peredaran narkotika ini dapat di katakan salah satu bentuk kejahatan transnasional, karena seiring dengan perkembangan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi canggih, modus operandi kejahatan ini dalam waktu yang singkat dan dengan mobilitas yang cepat dapat melintasi batas-batas negara. Indonesia pun tidak luput menjadi sasaran bisnis peredaran narkotika walaupun hanya sebagai negara transit atau bahkan sebagai negara tujuan perdagangan narkotika ilegal.2 Contoh kasus peredaran narkotika belum lama ini terjadi di daerah Bantul, Kepolisisan resor Bantul menangkap dua pelaku yang diduga seorang pengedar dan pengguna narkoba jenis psikotropika, kedua pelaku kedapatan membawa 256 obat jenis Alprazolam, 38 caumlet, dan 15 butir Riclona. Kedua pelaku akan dijerat dengan pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun.3

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan BNN bekerjasama dengan Puslitkes-UI Tahun 2015, angka prevalensi penyalahgunaan Narkoba berada dikisaran 2,20% atau sekitar 4.098.029 orang dari total populasi

2

Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Batas berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2001, hal. 67


(15)

penduduk Indonesia (berusia 10 - 59 tahun). Dari tahun 2011 hingga tahun 2016 sendiripun ada 9 kasus pecandu rangkap pengedar yang ditangani oleh BNN Yogyakarta, dari 9 kasus tersebut diantaranya terkait dengan jaringan besar narkotika atau gembong narkotika.4 Pecandu narkotika digolongkan sebagai korban karena akibat dari perbuatannya yang mengkonsumsi narkotika tersebut langsung berdampak terhadap dirinya sendiri dan tidak merugikan orang lain yang tidak menggunakan barang tersebut, jadi patutlah dikatakan seorang pecandu adalah orang yang menjadi korban atas perbuatannya sendiri.

Tindakan atau hukuman yang tepat diberikan kepada seorang pecandu narkotika juga harus sesuai dengan aturan hukum yang ada dan harus memperhatikan hak-hak asasi dari si pecandu seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatur mengenai hak asasi manusia, salah satunya adalah hak seseorang atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, karena seorang pecandu narkotika juga merupakan warga negara indonesia yang harus dilindungi hak-haknya, Undang-Undang juga telah mengatur bahwa seorang pecandu narkotika juga berhak atas pelayanan kesehatan bagi dirinya karena pecandu narkotika dapat digolongkan sebagai orang yang sedang sakit, karena pengaruh dari narkotika tersebut berdampak langsung bagi kesehatan fisik, mental dan psikis dari si

4


(16)

pecandu, maka perlu adanya jaminan atas hak-hak dari seorang pecandu narkotika.

Tindakan dan penanganan yang seharusnya diberikan kepada pecandu narkotika juga telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009 tentang menempatkan pemakai narkotika kedalam panti terapi dan rehabilitasi.

Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan langkah maju didalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perilaku biasa. Hal yang menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya Rehabilitasi, secara tersirat kewenangan ini, mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri. Uraian dalam pasalnya menitik beratkan pada kekuasaan hakim dalam memutus perkara narkotika, sayangnya rumusan tersebut tidak efektif dalam


(17)

kenyataannya. Peradilan terhadap pecandu narkotika sebagian besar berakhir dengan vonis pemenjaraan dan bukan vonis rehabilitasi sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang tersebut.

Hakim melakukan pemidanaan bagi pengguna narkotika didasarkan atas tujuan dari pemidanaan itu yang memberi efek jera, akan tetapi sampai sekarang banyak pengguna narkotika yang tidak jera untuk melakukan tindak pidana yang sama ataupun beralih menjadi pengedar, karena pengguna narkotika yang sudah menjadi pecandu hanya dikenakan pidana penjara saja, seharusnya mereka tidak dipenjara melainkan direhabilitasikan. Satu contoh kasus yang dapat kita lihat yaitu kasus Roy Marten yang sudah diputus pidana penjara oleh Pengadilan Negeri, tetapi masih saja melakukan tindak pidana yang sama, hal ini jelas membuktikan ketidak efektifan pemidanaan bagi seseorang yang telah mejadi pecandu, oleh sebab itu pengguna narkotika yang sudah menjadi pecandu alangkah baiknya apabila diberi tindakan perawatan dan pengobatan rehabilitasi, selain tidak adanya jaminan akan menjadi lebih baik, maka bukan tidak mungkin akan membawa pengaruh atau dampak yang lebih buruk terhadap para pengguna (pecandu) narkotika tersebut disebabkan di dalam penjara mereka dapat bertukar pengalaman tentang kejahatan, tidak jarang pula bahwa didalam penjara justru malah terjadi transaksi narkotika bahkan ada pabrik pembuatan narkotika.5

Kasus di atas hanya segelintir kasus-kasus narkotika yang terliput oleh media karena orang itu adalah publik figur/artis, jika dibandingkan

5https://m.tempo.co/read/news/2015/11/09/063717041/ penjara-pecandu-dan-pengedar-narkoba-akan-dipisah.


(18)

dengan terpidana mati fredy budiman. Siapa yang tak kenal Fredy budiman terpidana mati kasus narkoba ini kerap sekali membuat geger media media tanah air dengan membuat lapas Cipinang seakan hanya tempat fredy budiman singgah. Fredy budiman atau yang kerap dikenal dengan Raja narkoba ini menjalankan bisnis haramnya didalam lapas Cipinang, jika kita melihat bagaimana mungkin seseorang yang divonis mati bisa begitu bebas melakukan komunikasi bisnis narkotika didalam lapas. Semua ketidak mungkinan yang bisa dilakukan seorang narapidana, ada satu pertanyaan yang sangat mendasar, mengapa narapidana para pidana narkoba tidak jera walaupun sudah mendapat vonis berat bahkan hukuman mati, apakah dengan hukuman penjara bisa membuat para narapidana narkoba jera atau bagaimana dengan rehabilitasi.

Pidana penjara bagi penyalahguna atau penyalahguna sekaligus pengedar narkotika terbukti tidak dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika, dengan dipenjarannya pengguna narkotika tidak akan menyelesaikan masalah bahkan mungkin akan menimbulkan masalah yang lain, penegak hukum dan pembentuk undang-undang seharusnya memperketat kepemilikan barang haram tersebut serta harus ada perubahan paradigma di dalam masyarakat terhadap seorang pengguna narkotika dan juga harus ada ketentuan yang jelas mengenai seseorang yang memiliki kecanduan sekaligus menjadi pengedar narkotika. berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk menulis dan meneliti mengenai


(19)

PEMIDANAAN TERHADAP PECANDU SEKALIGUS PENGEDAR NARKOTIKA

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemidanaan terhadap pecandu sekaligus pengedar narkotika?

2. Apa faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan penjatuhan sanksi pidana terhadap pecandu sekaligus pengedar narkotika ?

C.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pemidanaan terhadap pecandu sekaligus pengedar narkotika.

2. Untuk memahami dan mengkaji apa saja faktor-faktor penghambat didalam pelaksanaan penjatuhan sanksi terhadap pecandu sekaligus pengedar narkotika

D.Tinjauan Pustaka 1. Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana. Antara satu pengertian tindak pidana dengan pengertian tindak pidana yang lain secara umum terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memisahkan secara tegas antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, dan kelompok yang menyamakan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Moeljatno mengatakan bahwa


(20)

pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Kesempatan yang lain, dia juga mengatakan dengan substansi yang sama bahwa tindak pidana adalah tindakan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.6

Roeslan saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. Marshall mengatakan bahwa tindak pidana adalah tindakan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Konsep KUHP tindak pidana mengartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Konsep KUHP juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Berdasarkan beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa tindak pidana


(21)

adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya.7

2. Tindak Pidana Perbarengan (concurcus)

Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang menerjemahkannya dengan istilah gabungan. Perbarengan adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana dilakukan oleh satu orang yang mana tindak pidana yang pertama belum dijatuhi pidana, antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.

Pengulangan juga terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang, hanya saja pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan pertama telah di putus oleh hakim dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dinyatakan adanya perbarengan adalah:8

a. Ada dua atau lebih tindak pidana yang dilakukan sebagaimana dirumuskan dalam perundang-undangan.

b. Dua atau lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang atau lebih dalam rangka penyertaan).

c. Dua atau lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili. d. Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus

7

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, dalam Mahrus Ali,

Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 98 8

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, 2011, hlm. 46


(22)

3. Pidana Dan Pemidanaan

Moeljatno 9 mengatakan bahwa istilah “hukuman” berasal dari kata

“straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari kata “wordt gestraf” merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraf” menurut moeljatno, kalau straf diartikan

“hukuman” maka strafrecht seharusnya diartikan “hukum hukuman”.10

Istilah hukuman merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Oleh karena itu pidana merupakan merupakan istilah yang lebih khusus.

Sudarto11 memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Roeslan Saleh12 mengartikan pidana sebagai reaksiatas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu. Dalam kamus Black’s Law Dictionary dinyatakan

punishment adalah :

9 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, 2008, hlm.44

10

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 1981, hlm.36 11Ibid, hlm 40


(23)

“any fine, or penalty or confinement inflicted upon a person by authority of

the law and the judgement and sentence of a court, for some crimes or offence

committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law”. (setiap dendan atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan olehnya atau karena kelalaiannya terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).

4. Teori Tujuan Pemidanaan a. Teori Tujuan Pemidanaan

Beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara lebih mendetail mengenai pemidanaan dan apa tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun yang banyak itu dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan besar, yaitu:13

1) Teori absolut atau teori pembalasan 2) Teori relatif atau teori tujuan

3) Teori gabungan

5. Perbarengan Tindak Pidana Pecandu Rangkap Pengedar Narkotika Tindak pidana pecandu sekaligus pengedar termasuk dalam tindak pidana perbarengan karena terjadinya dua atau lebih tindak pidana

13 Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.158


(24)

dilakukan oleh satu orang yang mana tindak pidana yang pertama belum dijatuhi pidana, antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Tindak pidana tersebut termasuk Concursus Realis, Perbarengan perbuatan terjadi apabila seseorang yang melakukan dua atau lebih tindak pidana sehingga karenanya ia secara hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan pidana, atau dengan kata lain seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain dan masingmasing perbuatan itu merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri..14

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian/Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu ”suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi”.15 dengan cara mempelajari doktrin-doktrin dan asas-asas yang

berkembang dalam ilmu hukum untuk menemukan doktrin-doktrin dan asas-asas yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti yakni tentang pemidanaan terhadap pecandu sekaligus pengedar narkotika dalam tindak pidana narkotika Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2; Penafsiran Hukum Pidana,

Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Kencana, Jakarta,2011, hlm. 46


(25)

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai sumber data, untuk mendapatkan sumber data tersebut peneliti menggunakan studi kepustakaan yang mengkaji bahan hukum. Bahan hukum tersebut terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan peraturan perundangan yang terdiri dari :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009 tentang menempatkan pemakai Narkotika kedalam panti terapi dan rehabilitasi.

5. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial 6. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik


(26)

Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. No. : 01/PB/MA/III/2014, No. : 03 Tahun 2014

7. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang BNN b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu :

1) Buku-buku ilmiah yang terkait.

2) Putusan Nomor : 372/Pid.Sus/2015/PN.SMN 3) Putusan Nomor : 480/Pid.Sus/2015/PN SMN. 4) Jurnal hukum terkait.

5) Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu berupa Kamus dan ensiklopedi.

3. Narasumber

Untuk melengkapi data dari bahan-bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier penulis menambahkan data dengan cara wawancara terstruktur dengan narasumber :

a. Joedi Prajitno, SH, MH, Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta. b. Ari Sahbana, SH, Penyidik BNN Yogyakarta.


(27)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis terdiri dari 2 macam :

a. Studi pustaka yaitu dengan cara menghimpun semua peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian.

b. Wawancara tertulis dengan Narasumber yang berkaitan erat dengan penelitian

5. Teknik Analisis Data

Bahan hukum dan non hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara preskriptif dengan menggunakan metode deduktif yaitu data umum tentang konsepsi hukum baik berupa asas-asas hukum, postulat serta doktrin dan pendapat para ahli yang dirangkai secara sistematis sebagai susunan fakta-fakta hukum yang mengkaji bagaimana peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur tentang pemidanaan terhadap pecandu sekaligus pengedar dalam tindak pidana Narkotika menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Kerangka skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing disusun sebagai berikut :


(28)

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi tentang hal-hal yang bersifat umum, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini merupakan tinjauan umum tentang tindak pidana narkotika yang berisi tentang beberapa uraian, pengertian dan pengaturan tindak pidana, pengertian dan pengaturan tindak pidana narkotika, definsi pecandu dan pengedar serta pengertian narkotika, dan tindak pidana Narkotika menurut perspektif islam.

BAB III : Bab ini merupakan perbarengan tindak pidana narkotika dalam sistem peradilan di Indonesia yang berisi beberapa uraian, tentang pengertian sanksi pidana dan jenis sanksi pidana, sanksi pidana narkotika.

BAB IV : Pada bab ini penulis akan memaparkan tentang penerapan sanksi pidana bagi pecandu sekaligus pengedar serta faktor-faktor penghambat dalam pelaksanan penerapan sanksi pidananya.

BAB V : Bab ini merupakan penutup dari keseluruhan skripsi ini, di dalamnya berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya serta saran dari penulis.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA A.Pengertian Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana merupakan rumusan tentang perbuatan yang dilarang untuk dilakukan (dalam peraturan perundang-undangan) yang disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan (feit) di sini adalah unsur pokok dari suatu tindak pidana yang dirumuskan tersebut.1

Pengertian tindak pidana atau banyak dikemukakan oleh para ahli hukum, yang mana pengertian tersebut dibagi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis cenderung tidak memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility sedangkan, pandangan dualistis cenderung memisahkan secara tegas antara criminal act dan

criminal responsibility. Criminal act adalah perbuatan yang dilarang dengan sanksi ancaman pidana, unsurnya terdiri dari: perbuatan manusia, memenuhi rumusan undang-undang, dan bersifat melawan hukum. Criminal responsibility

adalah dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat atas perbuatannya, unsurnya terdiri dari: kemampuan bertanggung jawab dan kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Berikut ini pandangan para ahli hukum mengenai tindak pidana yang disebutkan secara berbeda-beda sesuai istilah mereka masing-masing. Para ahli hukum yang memiliki pandangan monistis diantaranya adalah J.E. Jonkers,

menurut Beliau, “Peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum

1 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, jakarta, cetakan 1, PT Sinar Grafika, 2014, Hal 179


(30)

(wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang

dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.2 Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”

mengemukakan, “Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”.3 Menurut H.J. Schravendijk, “Perbuatan yang boleh

dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehinggga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh

seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan”.4 Para ahli hukum yang memiliki

pandangan dualistis diantaranya adalah Moeljatno, Beliau mengemukakan,

“Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut”.5 Roeslan Saleh mengemukakan, “Perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana

dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang”.6

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif. Unsur-unsur ”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan

2

J.E. Jonkers dalam Adami Chazawi, Op. Cit, hlm. 75 3

Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, 1981, hlm. 50.

4

H.J. Schravendijk dalam Adami Chazawi, Op. Cit, hlm. 75 5

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, 2008, hlm. 38.

6


(31)

termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur ”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.7

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah : a. Sifat melanggar hukum;

b. Kualitas si pelaku;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

7


(32)

Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis. Monistis adalah Suatu pandangan yang melihat suatu syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan dalam artian siapa yang berbuat maka dia harus mempertanggungjawabkanya8

Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :

a. Simons, sebagai penganut pandangan monistis Simons mengatakan bahwa pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah ”Een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”.

Atas dasar pandangan tentang tindak pidana tersebut di atas, unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah :

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

3) Melawan hukum (onrechtmatig);

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsyatbaar persoon).

Melihat unsur-unsur tindak pidana tersebut, Simons membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :


(33)

Yang dimaksud dengan unsur obyektif ialah : 1) perbuatan orang;

2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar

atau ”dimuka 1 P.umum”

Unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah : 1) Orangnya mampu bertanggung jawab.

2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 9

b. Van Hamel, menyatakan Stafbaarfeit adalah een weterlijk omschre en mensschelijke gedraging onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten. Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah :

1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; 2) Bersifat melawan hukum;

3) Dilakukan dengan kesalahan dan 4) Patut dipidana.10

c. J. Baumman, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan.11

9

D. Simons dalam Sudarto, Hukum Pidana 1 A - 1B, 1990/1991, hlm. 3

10

Van Hammel dalam Sudarto, Ibid, hlm. 33 11Ibid, hlm. 35


(34)

Pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.

Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut :

a. H.B. Vos, menyebutkan Strafbaarfeit hanya berunsurkan : 12 1) Kelakuan manusia dan

2) Diancam pidana dengan undang-undang.

b. W.P.J. Pompe, menyatakan : menurut hukum positif strafbaarfeit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.13

Perbuatan tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan KUHP yang sebagaimana sudah dijelaskan diatas, juga penjelasan dari para ahli yang semakin memperjelas tetntang apa itu perbuatan tindak pidana. Intinya tindak pidana adalah suatu perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan harus dihindari walaupun secara sengaja ataupun tidak sengaja.

B.Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diuraikan bahwa Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu, jika


(35)

disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda, hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud Narkotika dalam undang-undang tersebut adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dapat dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini.

Pengertian Narkotika sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut di atas, Mardani mengemukakan mengenai pengertian narkotika, bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah sebagai berikut :

“Narkotika adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syarat, mengakibatkan

ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit dan nyeri, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan dan yang ditetapkan oleh Menteri

Kesehatan sebagai narkotika”.14

14 Mardani, Penyalaghunaan Narkotika dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum


(36)

2. Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana Narkotika diatur didalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Dikemukakan oleh Sudarto15, pada hakikatnya hukum itu mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Hukum dapat mengkualifikasi sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskusikannya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah ialah perbuatan yang melawan hukum, bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh hukum ialah justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum. Terhadap perbuatan yang melawan hukum tersedia sanksi.

Melihat tata hukum secara skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, ialah sistem sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana dan sistemsanksi hukum administrasi (tata usaha negara). Ketiga sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai aturannya


(37)

sendiri pula.16 Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : 17

a. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman , Pasal 111; Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, Pasal 112

b. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, Pasal 113;

c. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, Pasal 114

d. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengakut, atau mentransito Narkotika Golongan I, Pasal 115

e. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, Pasal 116

f. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, Pasal 117

16Ibid., hlm. 111


(38)

g. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, Pasal 118

h. Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, Pasal 119

i. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, Pasal 20

j. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, Pasal 121

k. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan III, Pasal 122

l. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, Pasal 123

m.Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, Pasal 124

n. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, Pasal 125


(39)

o. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, Pasal 126

p. Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I, II, dan III bagi diri sendiri Pasal 127; Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor,Pasal 128

q. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk perbuatan Narkotika; Memproduksi, menimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika Pasal 129

r. Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Narkotika Pasal 130

s. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika Pasal 131

t. Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu


(40)

muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana Narkotika; Untuk menggunakan Narkotika Pasal 133 u. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak

melaporkan diri; Keluarga dari Pecandu Narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut Pasal 134

Uraian diatas adalah mengenai Ketentuan Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Apabila seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil pilihan yang kurang tepat atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kriminalitas, maka adalah

wajar apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas agak “agak terganggu”.

Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi Hakim dan Jaksa di lain pihak, merupakan salah satu masalah di bidang kebijakan pemidanaan yang cukup sulit.

Undang-undang Narkotika mengatur sanksi pidana maupun tindakan seperti rehabilitasi tetapi jika melihat sebenarnya Undang-undang Narkotika mempunyai perbedaan dengan KUHP , berikut adalah perbedaan Undang-undang Narkotika dibandingkan dengan KUHP :18

a. Dalam undang-undang narkotika terdapat hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda. Selain itu terdapat sanksi adminisratif seperti teguran, peringatan, denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan


(41)

pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur dalam pasal 130 ayat (2) UU Narkotika, berupa:

1) pencabutan izin usaha; dan/atau 2) pencabutan status badan hukum. Sedangkan dalam KUHP hukumannya berupa:

1) Hukuman Pokok a) Hukuman mati b) Hukuman penjara c) Hukuman kurungan d) Hukuman denda.

e) Hukuman Pidana Tutupan 2) Hukuman Tambahan

a) Pencabutan beberapa hak yang tertentu. b) Perampasan barang yang tertentu. c) Pengumuman keputusan hakim.

b. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana diatur dalam undang-undang narkotika tersebut dengan pidana penjara yang sama dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini, misalnya percobaan untuk menyediakan narkotika golongan 1,dipidana dengan pidana penjara paling singkat4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak


(42)

Rp8.000.000.000,00(delapan miliar rupiah). Sedangkan dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang melakukan percobaan adalah maksimum hukuman utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, dalam hal percobaan.

c. Undang Narkotika bersifat elastis, seperti perubahan dari Undang-Undang Narkotika Tahun 1997 berubah menjadi Undang-Undang-Undang-Undang No.35 Tahun 2009, sedangkan KUHP tidak bersifat elastis karena didalamnya mengatur banyak hal.

d. Perluasan Berlakunya Asas Teritorial, dalam hal ini Undang-Undang Narkotika beserta pemerintah mengupayakan hubungan kerjasama secara bilateral ataupun multilateral guna untuk pembinaan dan pengawasan Narkotika, sedangkan KUHP hanya berlaku di Indonesia.

e. Penggunaan pidana minimal dalam undang-undang narkotika memberikan asumsi bahwa undang-undang tersebut diberlakukan untuk menjerat pihak-pihak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap narkotika. Misalnya pidana minimal yang terdapat dalam pasal 113 ayat (1) UU No.35 tahun 2009, sedangkan dalam KUHP tidak mengenal pidana minimal, yang ada hanya pidana maksimal, seperti dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Sanksi merupakan aktualisasi dari norma hukum yang mempunyai karakteristik sebagai ancamaan atau sebagai sebuah harapan. Sanksi akan dapat memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan sosialnya, di samping itu, sanksi ialah merupakan penilaian pribadi seseorang yang ada


(43)

kaitannya dengan sikap perilaku serta hati nurani yang tidak mendapatkan pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati. Pengaruh hukum dan konsep tujuan dapat dikatakann bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum dalam kenyataan, perpengaruh positif atau efektivitasnya yang tergantung pada tujuan atau maksud suatu kaidah hukum. Suatu tujuan hukum tidak selalu identik dinyatakan dalam suatu aturan dan belum tentu menjadi alasan yang sesungguhnya dari pembuat aturan tersebut.19

Sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil pilihan yang kurang tepat atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kriminalitas, maka adalah wajar apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas agak “agak terganggu”. Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi Hakim dan Jaksa di lain pihak, merupakan salah satu masalah di bidang kebijakan pemidanaan (centencing polity) yang cukup sulit.20

C. Pecandu dan Pengedar Narkotika 1. Definisi Pecandu dan Pengedar

Pengertian Pecandu Narkotika itu berkaitan dengan hal-hal yang diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 54, Pasal 55 serta Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 1 Angka 13 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa Pecandu Narkotika adalah Orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan

19Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984.hlm. 90

20


(44)

ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis, sehingga dari pengertian tersebut, maka dapat diklasifikasikan 2 (dua) tipe Pecandu Narkotika yaitu : 1. orang yang menggunakan Narkotika dalam keadaaan ketergantungan secara fisik maupun psikis, dan 2. orang yang menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan secara fisik maupun psikis.21

Tipe yang pertama, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu yang mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatan dirinya sendiri. Kategori seperti itu, dikarenakan penggunaan narkotika tersebut sesuai dengan makna dari Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan tentunya Pecandu yang dimaksud adalah seorang pecandu yang sedang menjalankan rehabilitasi medis khususnya dalam proses intervensi medis. Seorang pecandu yang sedang menggunakan narkotika dalam kadar atau jumlah yang ditentukan dalam proses intervensi medis pada pelaksanaan rawat jalan, kemudian dia tertangkap tangan menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri dan perkaranya diteruskan sampai tahap pemeriksaan di Pengadilan, maka sudah sepatutnya ia tidak terbukti bersalah menyalahgunakan narkotika dan jika Pecandu memang membutuhkan pengobatan dan/atau perawatan intensif berdasarkan program assesmen yang dilakukan oleh Tim Dokter/Ahli, maka berdasarkan Pasal 103 Ayat (1) huruf b UU No. 35 Tahun 2009, Hakim disini dapat menetapkan Pecandu yang tidak terbukti bersalah tersebut untuk direhabilitasi dalam jangka waktu yang bukan dihitung sebagai masa menjalani hukuman dan penentuan jangka waktu tersebut setelah mendengar keterangan ahli

21 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 56


(45)

mengenai kondisi/taraf kecanduan Terdakwa. Pecandu Narkotika tipe kedua, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu yang tidak mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatannya. Pengkategorian seperti itu didasarkan pada pengertian Penyalahguna yang dimaksud pada Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009, dimana ada unsur esensial yang melekat yaitu unsur tanpa hak atau melawan hukum. Mengenai penjabaran unsur tanpa hak atau melawan hukum telah dipaparkan penulis sebelumnya yaitu pada pokoknya seseorang yang menggunakan Narkotika melanggar aturan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau perbuatannya bersifat melawan hukum.22

Secara esensial penyalahguna dan pecandu Narkotika tipe kedua adalah sama-sama menyalahgunakan Narkotika, hanya saja bagi pecandu narkotika mempunyai karakteristik tersendiri yakni adanya ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Pecandu Narkotika tipe kedua tersebut hanya dikenakan tindakan berupa kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, dalam jangka waktu maksimal yang sama dengan jangka waktu maksimal pidana penjara sebagaimana tercantum pada Pasal 127 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009.

Pengedar berasal dari kata dasar edar serupa dengan definisi bandar narkotika, di dalam undang-undang narkotika tidak ada definisi pengedar secara ekplisit. Sementara arti pengedaran itu sendiri meliputi kegiatan atau serangkaian


(46)

penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu teknologi.23

Pengedaran, Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, golongan II dan golongan II. Dikenakan ketentuan pidana: 24

a. Golongan I. Diancam pidana penjara paling singkat empat tahun dan maksimum penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah, apabila beratnya melebihi satu kilogram atau melebihi lima batang pohon (untuk tanaman) dan melebihi lima gram (bukan tanaman), maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 114 dan 115);

b. Golongan II. Diancam pidana penjara paling singkat tiga tahun dan maksimum pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling banyak delapan miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi lima gram, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 119 dan 120);

c. Golongan III. Diancam dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama lima belas tahun.

23

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5141cd01a7dac/pemilik-puntung-ganja-pengedar-ganja.html

24


(47)

d. Denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi lima gram, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 124 dan 125).

2. Golongan Pemakai Narkotika

Menurut Simanjuntak25, bahwa dalam lingkungan pergaulan, apabila kita menjumpai seseorang yang menyalahgunakan bahan obat-obatan tertentu, janganlah terlalu cepat memberikan vonis bahwa orang tersebut telah addict. Kita harus lebih dahulu menyelidiki apakah “sifat” dari

pemakaian obat itu. Perlu ditegaskan sehingga kita tidak salah mengambil tindakan kepada mereka. Bagaimanapun, tidak ada orang yang ingin nama baiknya menjadi rusak. Terhadap permasalahan sebagaimana tersebut di atas lebih lanjut Simanjuntak mengemukakan untuk itu, kita harus membedakan para pemakai obat-obatan ini, sebagai berikut :

a. Experimental users (golongan yang mencoba-coba)

Mereka hanya ingin mencoba saja, sesuai dengan naluri seorang manusia. Mereka hanya didorong oleh rasa ingin tahu saja, sehingga pemakaiannya biasanya hanya sekali-sekali dan dalam takaran kecil. Biasanya hal ini akan berhenti dengan sendirinya. b. Social-recreational users (pemakai untuk sosial-rekreasi)

Pemakai yang hanya mempergunakan obat untuk keperluan sosial dan rekreasi. Biasanya dilakukan bersama teman-teman untuk memperoleh kenikmatan. Penggunaan obat-obat ini hanya di


(48)

waktu-waktu tertentu saja, misalnya ketika mengadakan pesta-pesta ataupun kegiatan-kegiatan tertentu. Dalam hal ini tidak ada penjurusan kepada pemakaian yang berlebihan. Pada golongan ini mereka masih mampu melakukan aktifitas sosial dengan sempurna. c. Circumstantial-situational users (pemakai karena situasi)

Mereka ini mempergunakan obat karena terdorong oleh sesuatu keadaan. Misalnya dipakai oleh atlet, supir mobil jarak jauh untuk mencegah mengantuk dan keletihan, pemain musik, pemain sandiwara, serdadu dalam pertempuran. Tujuan mereka untuk memperbesar prestasi dan kemauannya. Dalam hal ini penderita sering mengulangi perbuatannya sehingga risiko menjadi “addict” lebih besar dari kedua golongan terdahulu. Obat yang sering dipergunakan untuk maksud ini adalah “obat perangsang mental” seperti Amphetamin.

d. Intensified drug users (pemakai obat yang intensif)

Pada golongan ini pemakaian obat bersifat kronis, sedikitnya sekali sehari, dengan maksud untuk melarikan dari dari problem kehidupan. Mereka mempunyai kecenderungan lebih buruk dari golongan circumstantial-situasional users.


(49)

Penggunaan obat pada golongan ini sangat sering, takarannya tinggi, dan tidak lagi dapat melepaskan dirinya dari pengaruh obat tanpa goncangan mental dan fisik.26

Pecandu dan pengedar adalah dua hal yang saling berhubungan secara tidak disengaja maupun di sengaja. Pecandu ya sama saja penyalahguna narkotika ,sekarang ini banyak orang-orang yang memakai narkotika bukan untuk kebutuhan medis melainkan hanya untuk membuat kenyamanan untuk diri sendiri walauapun orang itu tidak sakit tetapi dia sendiri yang membuat menjadi sakit dan menjadi kecanduan, dan yang lebih miris orang-orang yang memakai narkotika hanya berdasarkan trend dan keinginan untuk tahu hal seperti ini sungguh sangat disayangkan karena tidak adanya pelajaran atau sosisalisasi sejak kecil tetntang bahaya narkotika.

D. Tindak Pidana Narkotika Menurut Perspektif Hukum Islam 1. Pengertian Narkotika Menurut Perspektif Islam

Narkoba secara alami, baik sintesis maupun semi sintesis memang tidak

disebutkan hukumnya secara khusus di dalam Qur’an maupun hadis Nabi saw.

Istilah narkotika dalam konteks hukum Islam tidak disebutkan secara langsung di dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah. Al- Qur’an hanya menyebutkan istilah khamr. Teori ilmu fiqh, bila suatu hukum belum ditentukan status hukumnya, maka bisa diselesaikan melalui metode qiyas (analogi hukum). Kata khamr

26 Ibid. hlm. 302-303


(50)

dipahami sebagai nama minuman yang membuat peminumnya mabuk atau gangguan kesadaran.27

Bertolak dari akibat yang ditimbulkan antara khamr dan narkotika yang ditimbulkan sama yaitu memabukkan maka hukumnya adalah haram. Narkoba termasuk dalam kategori khamr meskipun dalam arti sempit, khamr sering dipahami sebagai minuman keras, arak, atau sejenis minuman yang memabukkan karena itu sebagian ulama klasik mengartikan khamr adalah minuman yang memabukkan, atau minuman yang bercampur dengan alkohol. khamr seperti ini yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Jahiliyah pra-Islam. Bahkan Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar menjelaskan, tidak kurang dari 250 istilah yang mereka gunakan untuk menyebutkan istilah-istilah khamr.

Artian luas, khamr tidak saja berupa minuman atau sesuatu yang mengandung alkohol. Rasulullah Saw menegaskan bahwa :

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; saya bacakan di hadapan Malik; dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai bit'u (yaitu minuman yang terbuat dari madu) maka beliau bersabda “Setiap zat

yang memabukkan itu khamr dan setiap zat yang memabukkan itu haram” (HR.

Bukhari dan Muslim).

Penjelasan hadis ini, dapat dipahami bahwa khamr adalah zat yang memabukkan, baik ketika banyak maupun sedikit. Umar bin Khattab juga

menegaskan bahwa “al-Khamru makhamara al-‘aql”, khamr adalah sesuatu yang


(51)

menutupi akal. Arti khamr itu sendiri adalah sesuatu yang menutupi. Narkoba tentu masuk dalam kategori pengertian di atas, karena seseorang yang menggunakannya menyebabkan mabuk dan akalnya tertutupi atau tidak berfungsi.28

2. Pandangan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Bagi Pengedar Narkotika

Tindak pidana bagi pengedar narkotika dikategorikan dengan khamr

dengan metode qiyas. Adanya illat yang sama antara khamr dengan narkotika yakni memabukkan yang mana dapat merusak akal dan badan. Illat disini

mewujudkan hikmah yang dikehendaki syari’ yaitu adanya maslahat al- dunyawiyyah maupun maslahat al-ukhrawiyyah.29 Qs.Al-Maidah: 90 menjelaksan maksud dari ayat tersebut adalah bahwa khamr, narkotika ataupun yang lainnya merupakan perbutan setan yang akan menyengsarakan manusia.

Awalnya manusia akan mendapatkan kenikmatan semu dan sesaat, tetapi kemudian hal tersebut dapat mempengaruhi akal sehat. Agar terhindar dari malapetaka yang lebih besar. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 219:

28

Muhammad Kosim, Kasus Narkoba, (Padang : Makalah Mahasiswa Program Doktor IAIN Imam Bonjol),2008, hal. 10

29 Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan Pidana


(52)

yang Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. Paparan diatas menjelaskan bahwa pemakai narkotika saja dilarang apalagi dengan memperjual belikan narkotika bahkan untuk meraih keuntungan. Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhuma-, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr (minuman keras/segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan

berhala”,. An-Nawawi menjelaskan, “Menjual khamr adalah transaksi yang tidak sah baik penjualnya adalah muslim ataupun non muslim. Meski penjual dan pembelinya non muslim ataupun seorang muslim mewakilkan kepadanon muslim agar non muslim tersebut membelikan khamr untuk si muslim.

Transaksi jual beli dalam kasus di atas adalah transaksi jual beli yang tidak sah tanpa ada perselisihan di antara para ulama syafi’iyyah. Sedangkan Al-Imam Abu Hanifah membolehkan seorang muslim untuk memberikan mandat kepada non muslim untuk menjualkan atau membelikan khamr. Pendapat ini jelas pandapat yang keliru karena menyelisihi banyak hadis shahih yang melarang jual beli khamr. Jual beli khamr ataupun memproduksinya dan semisalnya adalah suatu hal yang hukumnya haram dilakukan non muslim sebagaimana haram dilakukan oleh muslim.30


(53)

3. Hukuman Bagi Pecandu dan Pengedar Narkotika Narkotika Menurut Hukum Islam

Tindak pidana bagi pecandu dan pengedar narkotika dikategorikan dengan

khamr dengan metode qiyas. Ulama’-ulama’ fikih telah sepakat bahwa penghukum peminum khamar adalah wajib, dan bahwa hukuman itu berbentuk deraan. Akan tetapi mereka berbeda penddapat mengenai deraan tersebut. Penganut-penganut madzhab Haafi dan imam Malik mengatakan 80 kali deraan, sedangkan imam Syafi’ie mengatakan 40 kali. Pada riwayat lain dikatakan yang artinya :Dari Mu’awiyah Nabi berkata bagi peminum khamar : apabila dia

meminum khamar maka deralah, apabila dia minum khamar maka deralah, apabila tiga kali dia minum khamar maka deralah, apabila empat kali dia minum khamar maka pukullah dagunya (Ahmad) Diriwayatkan pula bahwa Ali pernah berkata, apabila orang itu mabuk maka dia akan mengigau, dan bila seseorang mengigau, makadia berdusta dan mengadangada karena itu hukumlah dia dengan hukuman pendusta.31

tanggal 12 Juli 2016

31


(54)

BAB III

PERBARENGAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN JENIS-JENIS SANKSI PIDANANYA

A. Tindak Pidana Perbarengan (concursus)

1. Pengertian perbarengan tindak pidana

Gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan

concursus atau samenloop. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengertian perbarengan tindak pidana maka perlu diketahui bagaimana pendapat para sarjana hukum dalam memberikan definisi mengenai Perbarengan tindak pidana ini. Menurut KUHP gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare Feiten yaitu satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana.1

Pakar hukum seperti Von Lizt menyebut perbarengan tindak pidana dengan istilah gesetzeskonkurrenz, artinya gabungan peraturan undang-undang, karena satu perbuatan atau feit hanya dapat mengakibatkan satu feit saja.2

Perbarengan tindak pidana adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang pertama kali dilakukan belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang pertama dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.3 Delik perbarengan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang berbentuk

1

E. Utrecht, Hukum Pidana II , Pustaka Tinta Mas ,Surabaya, 1994, hlm. 137. 2Ibid. hlm. 139


(55)

Khusus, kerena beberapa perbuatan pidana yang terjadi hakikatnya hanya dilakukan oleh satu orang (samenloop van strafbare feiten).4

2. Macam-macam Perbarengan (Concursus)

Dalam hukum pidana, perbarengan tindak pidana terdiri dari tiga hal, perbarengan peraturan (concursus idealis), perbuatan berlanjut (vorgezette handelings), dan perbarengan perbuatan (concursusrealis).5 a.Perbarengan Peraturan (concursus idealis)

Perbarengan Perbuatan atau yang dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan eendaadse samenloop yang tercantum dalam pasal 63 KUHP yang berbunyi :

(1) Jika sesuatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara Aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2) Jika sesuatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Concursus Idealis terjadi apabila seorang melakukan satu tindak pidana tetapi dengan melakukan satu tindak pidana itu ia memenuhi rumusan dari beberapa ketentuan pidana (perbarengan peraturan). Contohnya : perkosaan dimuka umum, selain melanggar pasal 285 sekaligus juga pelanggaran pasal 281 tentang kesusilaan.

b. Perbuatan Berlanjut (vorgezette handelings)

4 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum

Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,1990. hlm. 169. 5 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 135


(56)

Disebut perbuatan berlanjut yaitu apabila seseorang yang dalam kenyataannya memang melakukan beberapa perbuatan pidana, tetapi antara perbuatan pidana yang satu dan yang lainnya masing-masing berhubungan erat satu sama lain karena bersumber dari satu niat jahat pelaku tindak pidana. Dalam KUHP perbarengan yang berbentuk perbuatan berlanjut diatur dalam pasal 64 yang berbunyi :6

(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun perbuatan itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2) Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau dirusak itu

(3) Akan tetapi jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379 dan pasal 407 ayat I, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, atau 406.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 64 diatas, perbuatan berlanjut terjadi apabila tindakan masing-masing yang dilakukan merupakan kejahatan atau pelanggaran, akan tetapi ada hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai tindakan berlanjut.7 Ciri-ciri pokok

sebagai kejahatan atau pelanggaran yang sedemikian rupa adalah :8

1) Rentetan perbuatan pidana yang terjadi harus timbul dari satu kehendak atau niat jahat;

6

Ibid, hlm. 137-138 7


(57)

2) Beberapa perbuatan pidana yang dilakukan haruslah sejenis atau sama kualifikasi deliknya;

3) Jarak waktu antara melakukan perbuatan pidana yang satu dengan perbuatan pidana yang lain tidak boleh terlalu lama.

c.Perbarengan Perbuatan (concursus realis)

Perbarengan perbuatan terjadi apabila seseorang yang melakukan dua atau lebih tindak pidana sehingga karenanya ia secara hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan pidana, atau dengan kata lain seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain dan masingmasing perbuatan itu merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.9Concursus realis diatur dalam pasal 65 sampai pasal

71 KUHP.

3. Perbarengan Tindak Pidana Narkotika

Perumusan tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Bab XV bersifat sangat luas dan satu tindak pidana dapat termasuk juga dalam rumusan tindak pidana yang lain (all embracing), dengan demikian maka suatu perbuatan yang telah memenuhi rumusan suatu tindak pidana narkotika dapat pula memenuhi rumusan tindak pidana yang lain. Sebagai ilustrasi: perbuatan yang tanpa hak dan melawan hukum memproduksi narkotika Golongan I sebagaimana dilarang dalam Pasal 113 ayat (1) pasti juga memenuhi tindak pidana berdasarkan Pasal 112 ayat (1) yaitu secara tanpa hak


(58)

dan melawan hukum menguasai narkotika Golongan I. Bukankah seseorang yang memproduksi berarti juga pasti menguasai narkotika yang diproduksinya. sifat all embracing tersebut dalam asas-asas dan ilmu hukum pidana menyebabkan terjadinya concursus idealis atau perbarengan peraturan. Menurut ketentuan Pasal 63 ayat (1) KUHP apabila suatu perbuatan memenuhi Iebih dari satu aturan pidana sebagaimana ilustrasi diatas, maka hanya dikenakan satu aturan yang memuat ancaman pidana paling berat. Apabila diantara aturan-aturan tersebut terdapat hubungan sebagai lex specialis dan lex generalis maka yang berlaku adalah ketentuan yang bersifat khusus sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP. 10

Tindak Pidana Narkotika bagi pengguna rangkap pengedar termasuk dalam tindak pidana perbarengan karena terjadinya dua atau lebih tindak pidana dilakukan oleh satu orang yang mana tindak pidana yang pertama belum dijatuhi pidana, antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Tindak pidana tersebut termasuk Concursus Realis, Perbarengan perbuatan terjadi apabila seseorang yang melakukan dua atau lebih tindak pidana sehingga karenanya ia secara hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan pidana, atau dengan kata lain seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain dan masingmasing perbuatan itu merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri..11

10http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/b5274ecedfbe1a1438cf1ffc 9d5e2336

11

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran


(59)

Apabila hanya penyalahguna rangkap pengedar maka akan dikenakan hukuman yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat dalam artian berarti terdakwa dipidana dengan pidana penjara seumur hidup dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) seperti yang tertera dalam pasal 114 tentang pengedar, namun walaupun dijatuhi hukuman terberat pengedar bisa saja mendapatkan tindakan rehabilitasi , apabila terdakwa terbukti sebagai pengguna rutin yang tidak lain adalah pecandu narkotika. Pecandu Narkotika bisa mendapatkan tindakan rehabilitasi saat di lapas yang berarti itu adalah seperti hukuman bagi para pecandu saja tapi perlu digaris bawahi bahwa hanya pengedar yang membutuhkan rehabilitasi dalam keadaan darurat dan di sertai keterangan dokter saja yang dapat melakukan tindakan rehabilitasi.12

B. Tujuan Pemidanaan

Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk sama-sama yang akan datang. Sudarto mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan adalah : 13

12 http://www.solopos.com/2015/09/24/kasus-narkoba-banyak-pengedar-berlindung-di-pasal-pengguna-645846

13 Soedarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983. hlm. 83


(60)

a. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak maupun menakut-nakuti orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi .

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat;

c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni :

1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna

2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana sebagai pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberpa tujuan yang bisa dikasifikasikan berdaarkan teori-teori tentang pemidanaan. 14


(1)

91 B. SARAN

Adapun saran yang dapat disampaikan sebagai bagian dari penyusunan skripsi ini, semoga dapat memberikan manfaat dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkotika antara lain sebagai berikut :

a. Diharapkan kepada penegak hukum, dalam hal ini hakim berani untuk memutuskan hukuman yang berat sesuai dengan perundangundangan tetapi juga harus berlandaskan rasa kemanusiaan mengingat kebanyakan pecandu yang menjadi pengedar karena upaya untuk menyambung hidupnya.

b. Badan Narkotika Provinsi harusnya melakukan upaya yang lebih serius dalam pencegahan terjadinya penyalahgunaan narkotika dengan melibatkan semua pihak penegak hukum didalamnya sehingga memudahkan koordinasi dalam mengatasi penyalahgunaan narkotika. c. Bagi pemerintah dalam hal ini harusnya lebih serius lagi dalam

penyelenggaraan sosialisasi Anti terhadap Narkoba, dengan mengadakan penyuluhan bahaya barang haram tersebut sehingga banyak memberikan pengetahuan bagi masyarakat awam mengenai sanksi-sanksi menyangkut Tindak Pidana Narkotika.


(2)

92

Daftar Pustaka

Adami Chazawi, 2001, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Batas berlakunya Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Ali, Mahrus, 2015, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, edisi pertama, cetakan ke 5, Sinar Grafika offset, jakarta.

AR.sujono, dan,Bony Daniel, 2011, komentar dan pembahasan undang-undang nomor 35 tahun 2009, sinar grafika, Jakarta.

B.Simandjuntak, 1981, Pengantar Krimonologi Dan Patologi Sosial, Parsito , Bandung.

Dadang Hawari, 1997. Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Dana Bakti Primayasa, Yogyakarta.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.Storia Grafika, jakarta

Erdianto Effendi, 2011.Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung Fajar, Mukti ND, dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum

Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gatot Supramono, 2009, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung

Lamintang, P.A.F, 2010. Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Leden Marpaung, 1991. Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum

(Delik),Sinar Grafika,jakarta

Lydia Herlina Martono dan Satya Joewana, 2006, Belajar Hidup Bertanggung jawab Menangkal Narkoba dan Kekerasan, Jakarta Balai Pustaka , jakarta.

Ma’roef, 1987, Narkotika, Masalah dan Bahayanya, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Mardani, 2008. Penyalaghunaan Narkotika dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Moh. Taufik Makarao,Suhasril, 2005, dan Moh.Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Romli Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Mandar Maju, Bandung

Satya Joewana, 1986. Gangguan Penggunaan Zat Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif Lainnya. Karisma Indonesia, Jakarta


(3)

93 Sholehuddin, 2002. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track

System dan Implementasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Siswanto Sunarso, 2004. Penegakan Hukum Psikotropika. Raja Grafindo, Jakarta Soedjono Dirdjosisworo, 1990, Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya

Nusantara, Bandung,

Sudarsono, 1992. Kenakalan Remaja. Rineka Cipta, Jakarta

Soedarto, 1983 Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung

Sumarno Ma’sum, 1987. Penanggulangan Bahaya Narkotika dan

Ketergantungan Obat. CV. Mas Agung, Jakarta

Taufik Makarao, 2005, Tindak Pidana Narkotika, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Internet

http:// HarianJogja.com/2015/12/Tiba-tiba-semangat-dan-loyo-2-pengguna-sekaligus pengedar-ditangkap.html. https://m.tempo.co/read/news/2015/11/09/063717041/penjara-pecandu-dan-pengedar-narkoba-akan-dipisah.html http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5141cd01a7dac/pemilik-puntung-ganja-pengedar-ganja.html

Peraturan Perundang – undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009 tentang

menempatkan pemakai narkotika kedalam panti terapi dan rehabilitasi. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang

Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial


(4)

94 Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi tahun 2014 Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. No. : 01/PB/MA/III/2014, No. : 03 Tahun 2014


(5)

(6)