AAP, Kiai Dahlan dan Sivitas Akademika: Mosaik dan Relevansi Kisah di Era Globalisas

AAP
AS AKADEMIKA:
AN SIVIT
AP,, KIAI DAHLAN D
IVITAS
DAN
Mosaik dan Relevansi Kisah di Era Globalisasi1
Akm al Nasery Basral

1/
Nam an ya Aap, atau len gkapn ya Mu h am m ad Mu s’ap.
Pemuda berusia 23 tahun dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan,
in i m er u p akan salah seor an g d ar i 150 -an p eser t a Tem u
Sa s t r a wa n I n d on es ia ( TSI ) I I I ya n g b er la n gs u n g d i
Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 28-31 Oktober 20 10 . Sekilas
tak ada yang istim ewa dari inform asi di di atas.
Yang m em buat hal ini m enjadi patut diperhatikan adalah
karena Aap buta sekolah — m eski tak buta huruf. “Saya tak
pernah m asuk SD karena orang tua saya dulu hidupnya susah
sekali,” ujarnya kepada saya, saat kam i duduk bersebelahan
dalam bus yang m em bawa para peserta ke Museum Sultan

Sulaim an Badrul Alam syah un tuk m en yaksikan w ork shop
sastra bagi para pelajar Tanjungpinang
Karena itu sejak umur 10 tahun, Aap sudah bekerja sebagai
tukang cuci piring di sebuah rumah makan. Bosan hanya duduk
dan mencuci, setahun kemudian anak keempat dari 6 bersaudara
ini berganti pekerjaan menjadi kuli bangunan. Setelah itu pelbagai
1

Disa m p a ika n d a la m Sem in a r Na sion a l “In d on esia Ber gu la t Di Ten ga h
Perm asalahan Bangsa Di Abad Teknologi Inform asi dan Globalisasi”, dalam rangka
Dies Natalis Universitas Muham m adiyah Surakarta ke-52, Sabtu, 6 Novem ber 20 10 .

xiii

pekerjaan kasar lainnya dia lakukan, sembari terus mengasah
kemampuan dasar: belajar membaca.
Tahun 20 0 7 kedua oran g tuan ya m am pu m en gon trak
sebuah kios kecil untuk berjualan bahan pokok, di mana Aap
ikut membantu berjualan. Sampai tahun itu Aap tak pernah tahu
sama sekali tentang dunia sastra, nama-nama penyair, judul

n ovel d an an tologi p u isi, ap alagi kon sep ten tan g sebu ah
komunitas sastra, atau perdebatan tema-tema sastra yang banyak
menghiasi halaman budaya koran-koran edisi Minggu.
Semuanya berubah pada acara Tadarus Puisi 20 0 7, yang
berlangsung di bulan suci Ramadan, di kota kediamannya yang
terletak di dekat kota permata terkemuka, Martapura. Salah
seorang kawannya mengajak Aap ikut menonton acara itu. Dia
bersedia dan langsung jatuh cinta pada imaji-imaji sastra. “Saya
melihat banyak sekali orang baca puisi, sampai lepas tengah
malam,” kenangnya dengan mata berbinar. “Itu pengalaman
baru bagi saya yang membuat saya terkesan selama berhari-hari.”
Peristiwa beberapa jam itu m em buat naluri artistiknya
yang selam a ini tertidur, kini m enem ukan saluran kreatifnya.
“Sejak awal 20 0 8 saya m ulai m enulis puisi. Bukan puisi hebat,
hanya puisi cinta rem aja,” katanya m alu-m alu. Aap pun m ulai
sering bergaul dengan para pengarang, penulis dan penyair
senior di kotanya. Sekarang jum lah puisi yang dia tulis sudah
sekitar 50 judul, m eski belum ada yan g dibukukan secara
khusus. Sam pai di sini, kisah Aap pun belum terlalu istim ewa
sebenarnya.

Tapi tahun lalu saat mendengar akan diselenggarakan-nya
TSI III di Tanjungpinang, Aap pasang niat: harus bisa datang ke
acara in i. Ia m ulai m en abun g. Sebab tak seperti saya yan g
menjadi pemakalah dan ditanggung seluruh keperluan untuk
a ca r a in i, Aa p h a r u s m em b ia ya i d ir in ya sen d ir i. Dia
menganggarkan sekitar dua juta rupiah untuk tiket pesawat pp
dan biaya selama di Tanjungpinang, meski untungnya akomodasi
penginapan akhirnya bisa ditanggung panitia.
xiv

Dari pendapatannya m enjaga toko yang tidak seberapa,
selam a setahun den gan san gat kon sisten , Aap m en ghem at
pengeluaran sehari-harinya supaya cukup punya dana untuk
bisa terbang m enyeberangi pulau. “Saya ingin m enam bah luas
jaringan pertem anan dan pengalam an saja,” katanya tentang
target m engikuti acara ini. Sam a sekali bukan sebuah target
yang m uluk.
Terkesan oleh sikapnya yang kian jarang saya tem ukan
dalam diri pem uda seum uran itu, m aka di dalam speed boat
yang m elaju cepat m enuju Pulau Penyengat tem pat m akam

Raja Ali Haji berada, saya putuskan untuk m em berikan satu
dari dua m iniatur cantik Masjid Raya Sultan Riau dalam kotak
kaca berbentuk piram id – fungsi sem en dalam pem buatan
m a sjid it u d iga n t ika n oleh b er t on -t on p u t ih t elu r , ya n g
m em buat m asjid ini m enjadi legenda tersendiri – yang saya
terima dari panitia kepada Aap, sebagai bentuk dukungan untuk
keseriusannya m endalam i sastra.
Ketika saya m ulai m enulis m akalah ini dan m em inta izin
u n tu k m en cu p lik sebagian kecil kisah h id u p n ya itu , Aap
m enjawab lewat pesan pendek. “Wah, luar biasa, bang, terim a
kasih. Tapi m asa hal kecil seperti itu bisa jadi inspirasi? Saya
hanya percaya bahwa semua orang akan berada di posisi terbaik
dalan hidupnya atas apa yang terus ia usahakan.”
2/
Kisah hidup Aap jelas tak mirip dengan perjalanan Muhammad Darwis remaja, yang kelak sepulangnya dari berhaji di usia
20 tahun berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Aap rakyat jelata, masyarakat akar rumput yang sejak kecil
belajar dari kerasanya sekolah kehidupan. Darwis terlahir dari
keluarga “priyayi”. Ayahnya KH Abubakar adalah khatib gede
Masjid Gedhe Kauman, dan mereka keturunan ke-10 dan ke-11

dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang dari Wali Songo yang
xv

d iken al sebagai Su n an Gr esik. Sejak kecil, Dar wis su d ah
m endapatkan banyak ilm u dari sejum lah kiai yang dim inta
bapaknya sebagai guru bagi putranya itu.
Tetapi antara Aap dan Darwis juga punya kesam aan
esensial yang kental: berani m eninggalkan kam pung halam an
u n t u k m em p er lu a s ja r in ga n p er ka wa n a n , m en a m b a h
pengalam an serta m em perluas wawasan.
“Ongkos” untuk m eninggalkan ’zona nyam an’ kam pung
h alam an in i t id ak m u r ah : Aap m en d ap at kan n ya d en gan
mengorbankan pendapatan selama setahun, sedangkan Darwis
dengan m engorbankan hangat cengkeram a keluarga, saat ia
berhaji pertam a kalinya dalam usia 15 tahun — dan m enetap
di Makkah selam a 5 tahun kem udian.
Keberanian untuk “m enyapa dunia luar” ini adalah faktor
fundamental yang membuat sosok seseorang biasanya semakin
kuat dan len gkap, kar en a ber tem u den gan car a pan dan g,
kebiasaan, tingkah laku, wawasan, dan banyak hal lain yang

berbeda dengan yang dialam i sebelum nya di tanah kelahiran.
Bagi m ahasiswa, pen galam an in i biasan ya dim ulai den gan
kuliah di kota atau provinsi lain, yang berbeda dengan daerah
asal. Dalam konteks globalisasi, pengalam an antarbudaya ini
m enjadi lebih relevan lagi.
Seja r a wa n Ar n old J . Toyn b ee d a la m Teor i Ra d ia si
Kebu d ayaan n ya yan g ter ken al, m en gem u kakan p ostu lasi
bahwa jika dua kebudayaan bertem u, m aka kebudayaan yang
lebih kuat akan m engeluarkan radiasi yang m em pengaruhi
kebudayaan lainnya yang lebih lemah, dimulai dari penampilan
fisik, dan perlahan-perlahan m erasuk ke dalam sam pai pada
cara berpikir.
Begitulah sehingga kita bisa melihat mahasiswa yang berasal
dari pulau-pulau non-J awa (baik dari Indonesia bagian Barat
atau bagian Tim ur), sem akin ban yak ditem ui m ulai asyik
memakai blangkon, beskap, atau atribut warga Surakarta/ Solo
xvi

la in n ya , seb elu m kem u d ia n ju ga m u la i m en u n ju kka n
kesan tu n an d an kelem ah lem bu tan m asyar akat Solo yan g

terkenal itu.
H al ser u p a ju ga ter jad i p ad a Dar wis. Per gau lan d an
komunikasinya dengan para pemuda dari berbagai negara di
Tanah Suci pada akhir abad ke-19 yang sedang berkecambah
d en gan id e Keban gkit an Islam d an p u r ifikasi n ilai-n ilai
keislaman lewat para ulama-intelektual seperti J amaluddin AlAfghan i, Muham m ad Abduh atau Rasyid Ridha, di ten gah
dominasi imperaliame Barat saat itu, membuat Darwis lebih
kritis dalam menakar eksistensi tradisi yang sudah berabad-abad
berlangsung di seputaran tempat tinggalnya di Kauman, dan
masyarakat J awa pada umumnya.
3/
Kampus dalam bentuk fisik, idealnya adalah sebuah salad
bow l (“piring gado-gado”) yang mempertemukan banyak entitas
beragam profesi dalam sebuah nama indah: sivitas akademika,
yang m encakup m ulai m ahasiswa sem ester pertam a sam pai
profesor senior. Dari remaja yang baru memegang KTP pertama
sampai lansia pemegang KTP abadi.
Untuk bisa melekatkan rentang usia yang sangat lebar dan
kepentingan yang sangat beragam itu, sivitas akadem ika harus
selalu dalam kon disi m en tal “m uda”. Kam pus dan sivitas

akadem ika harus terus m erevitalisasi dirin ya, palin g tidak
dalam dua hal yang secara konsisten pernah dilakukan KH
Ah m a d Da h la n : ( 1) b er s ifa t in klu s if ( t er b u ka ) u n t u k
m em pelajari kelebihan pihak lain (individu/ organisasi) yang
berbeda ideologi dan keyakinan, serta (2) m em berikan ruang
yang lebih luas bagi kaum muda untuk lebih berpartipasi dalam
p r oses m en en t u kan id en t it as d ir i d i t en gah zam an yan g
bergerak sangat cepat.

xvii

4/
Un tuk sifat in klusif, Kiai Dah lan m en un jukkan lewat
keberaniannya belajar mengadopsi bentuk organisasi modern
dengan berkecimpung dalam Budi Utomo – hal yang tak pernah
dilakukan kiai lain pada zamannya. Bagi mayoritas kiai saat itu,
termasuk murid-murid Kiai Dahlan di Langgar Kidul sendiri,
Budi Utomo adalah kelompok kejawen yang tidak sepantasnya
diikuti oleh sosok seperti beliau.
Bagi m asyarakat lebih luas, khususnya m urid-m urid kiai

lain, pilihan taktis Kiai Dahlan ini m em buat m ereka tak ragu
m en golok-olokn ya seb a ga i ’Kia i Ka fir ’, seb u a h ju lu ka n
ox y m or on ya n g lu a r b ia sa p ed a s. Seb a b , b u ka n h a n ya
berkecim pung aktif di Budi Utom o, Kiai Dahlan pun tak ragu
untuk berpenampilan seperti kawan-kawan “kejawen”-nya saat
itu yang berbusana ala Belanda.2
Meski begitu, derasnya kritikan dan cercaan terhadap Kiai
Dah lan , yan g ber u ju n g den gan per oboh an Lan ggar Kidu l
tem patnya m engajar, tak m em buat m arw ah beliau m enurun
sedikit pu n . Ter bu kti saat Per syar ikatan Mu h am m adiyah
didirikan, ulama senior yang membacakan doa justru Kiai Siraj
Pakualam an, kiai karism atis penentang utam a ide pelurusan
arah kiblat usulan Kiai Dahlan yang disampaikan belasan tahun
sebelum nya.
Sikap Kiai Dahlan ini, jika diterapkan dalam skala kampus,
harus mampu menginspirasi sivitas akademika UMS untuk tidak
pernah takut mempelajari entitas lain yang berbeda keyakinan
dan ideologi, sepan jan g upaya m odellin g itu diyakin i akan
2
Kecen derun gan alam i Kiai Dahlan un tuk m en gim itasi obyek yan g sedan g

dipelajarinya, disebutkan peneliti Cornell University, Mitsuo Nakam ura Ph.D, kelak
m en jad i gaya Mu h am m ad iyah d alam m en gh ad api aktivitas kolon ialism e d an
m is io n a r is Kr is t e n le wa t s t r a t e gi ya n g d is e b u t “p e n ir u a n s e ca r a t a k t is
(appropriation )”. Lihat Nakam ura dalam Sang Pencerah: N ov elisasi Kehidupan
K.H . Ahm ad Dahlan dan Perjuanganny a M endirikan M uham m adiy ah (Akm al
Nasery Basral, 20 10 ) hal. 391.

xviii

m em bawa m aslahat bagi pen gelolaan kam pus secara lebih
efektif, efisien, dan good governance. Bentuk strategisnya adalah
dengan terus memperluas jaringan “sister university ” dengan
sebanyak mungkin universitas dalam dan luar negeri yang sudah
terbukti mampu menjadikan diri mereka sebagai komunitas dan
akadem isi-akadem isi par excellence yang tetap am anah dan
menerapkan ilmu mereka bagi kemaslahatan umat.
UMS harus bisa terbebas dari kungkungan berpikir hanya
m au beker ja sam a den gan , atau belajar dar i, un iver sitasuniversitas “sekandung” berbasis filosofi Muhammadiyah atau
universitas Islam secara um um . Sebab, eksklusifitas seperti itu
ju st r u t ak p er n ah t er cat at sebagai bagian d ar i d in am ika

pem ikiran dan am al usaha yang dilakukan Kiai Dahlan.
Dalam aplikasi program yan g lebih spesifik, UMS bisa
m enjadi pionir bagi tren baru di kalangan kam pus-kam pus
terkemuka yang memilih para pejabat administrasi mereka dari
alm a m ater yang berbeda, tidak m elulu dari satu kam pus yang
satu guru, satu ilm u. Pertim bangan berbasis kom petensi harus
d id a h u lu ka n a t a s p er t im b a n ga n p r im or d ia lis m e a ga r
revitalisasi kam pus m enem ukan denyutnya yang dinam is.
5/
Faktor lain yang sangat revolusioner dilakukan Kiai Dahlan
ad alah d en gan m em ber ikan r u an g lebih besar bagi p ar a
m u r id n ya (ka u m m u d a ) u n t u k b er kip r a h d a la m p r oses
pem bentukan identitas kolektif, lewat kisah tercetusnya nam a
Muham m adiyah.
Perhatikanlah, bagaim ana Kiai Dahlan dengan segenap
“privilese ke-kiai-annya”, tak m endom inasi proses penentuan
nam a persyarikatan, m eski beliau bisa saja m em berikan nam a
Dahlaniyah seperti lazim dilakukan para kiai, m isalnya nam a
J am’iyyah Nuriyah yang dibentuk oleh kakak iparnya KH Lurah
Muham m ad Noor.
xix

Dalam proses penentuan identitas kolektif yang sangat
p en t in g it u , Kiai Dah lan ju st r u m en er im a m asu kan d ar i
m uridnya Sangidu yang m em berikan nam a Muham m adiyah,
untuk m enunjukkan bahwa persyarikatan yang akan dibentuk
itu adalah pen gikut Nabi Muham m ad Saw, bukan sekadar
pengikut Kiai Dahlan.
Ada dua sisi hikmah yang bisa dipetik dari kisah penamaan
in i, yakn i bagaim an a sebagai p em im p in Kiai Dah lan tak
m em onopoli peristiwa-peristiwa penting rites de passage bagi
sebuah kelom pok, serta di sisi lain bagaim ana seorang m urid
seperti San gidu, m en un jukkan keluasan pen getah uan dan
keb er a n ia n u n t u k m en ga ju ka n u su l b er b ob ot ya n g b isa
dipertanggungjawabkan.
Dalam tradisi dunia akademis, dampak yang lebih dahsyat
bagi percepatan kem ajuan UMS akan terjadi jika “para Kiai
Dah lan ” dan “San gidu-San gidu” di sean tero kam pus, bisa
menerapkan komunikasi dialogis yang sangat bermartabat ini.
Apalagi di tengah riuh rendah perkembangan dunia teknologi
informasi yang lazimnya dimaknai sebagai dunia kaum muda.
(Sebagai contoh Mark Zuckerberg, pendiri “padepokan virtual
Fesbukiy ah (Facebook)” yang memiliki ’santri virtual’ 50 0 juta
orang, tahun ini berusia 26 tahun).
J ika identitas ideologis UMS sudah lam a terbentuk dan
d ir awat sam p ai sekar an g sebagai salah sat u bagian d ar i
perguruan Muhammadiyah, maka Dies Natalis ini bisa menjadi
momentum emas untuk menajamkan identitas intelektual UMS
(di tengah makin meluasnya penyakit nasional “pengkhianatan
kaum intelektual”, yakni degradasi moral kaum intelektual yang
tan pa m alu-m alu m em perton ton kan sikap m ereka sebagai
“abdi dalem ” di hadapan para penguasa pengendali kuasa dan
kapital), serta identitas sosial UMS untuk m elakukan am al
usaha yang lebih relevan di bidang pendidikan.
Laiknya kiprah Kiai Dahlan yang banyak m em bantu anakan ak jelata un tuk m en dapatkan pen didikan layak den gan
xx

langsung memilih mereka dari pinggir jalan, memandikan, dan
mengajak mereka untuk menimba ilmu langsung di rumahnya,
UMS bisa m em p er besar skala kegiat an in i d en gan lebih
m engaktifkan program pem antauan untuk para pem uda usia
m ah asiswa sep er t i Aap d ar i Ban jar bar u it u , yan g p u n ya
keseriusan untuk maju tapi terkendala secara sosial, untuk bisa
m encicipi program pendidikan yang lebih terencana.
Program-program beasiswa harus dipertimbangkan ulang
tidak h an ya diberikan bagi para m ah asiswa atau pem uda
berdasarkan penilaian indeks prestasi m ereka yang tinggi, tapi
juga bagi para pem uda potensial dari kalangan m iskin dan
san gat m iskin – bah kan bu ta h u r u f sekali pu n – m elalu i
program yang dirancang khusus.
J ika sinergi intelektual antara “para kiai” dan “Sangidu”
di kam pus ini m am pu m enjalankan program -program di atas,
m aka pesan utam a Kiai Dahlan yang saya sesuaikan sedikit
r ed aksion aln ya m en jad i, “H id u p -h id u p ilah UMS, jan gan
(sekadar) m encari penghidupan di UMS” akan m enem ukan
m a kn a t er ku a t n ya seca r a op t im a l, b a ik b a gi kom u n it a s
akadem is sebagai institusi prim us interpares m aupun bagi
m asyarakat luas secara keseluruhan.
Sem oga.
Cibubur, 2 Novem ber 20 10 .

Akm al N as e ry Bas ral adalah penulis novel Sang Pencerah
(20 10 ) d an N a g a bon a r J a d i 2 (20 0 7), d i an tar a
beber apa kar ya or isin al d an ter jem ah an lain n ya.
Pernah m enjadi wartawan sejum lah m ajalah berita
nasional dan pendiri m ajalah m usik selam a total 16
t a h u n ( 19 9 4 - 2 0 10 ) , kin i b er kh id m a t d i d u n ia
penulisan kreatif dan kesenian secara um um .
xxi