KIAI HAJI AHMAD DAHLAN TELADAN DAN SUMBA

KIAI HAJI AHMAD DAHLAN: TELADAN DAN SUMBANGSIHNYA BAGI
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
Makalah Untuk Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam Indonesia

Disusun oleh:
Alfathan Wira S. (1406576370)
Irsyad Mohammad (1406572063)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bila kita berbicara mengenai organisasi umat Islam terbesar di Indonesia,
pasti yang terlintas di pikiran kita tertuju pada dua organisasi besar yang sudah
lama ada di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua
organisasi Islam besar ini adalah perkumpulan umat Islam yang besar dan sudah

banyak memberikan pengaruh dan sumbangsihnya bagi perkembangan pemikiran
Islam di Indonesia. Salah satu organisasi Islam besar dan masih eksis hingga saat
ini adalah Muhammadiyah. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi
Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orangorang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan da’wah amar
ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung
tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek
kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang
merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan
perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut
Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam
menjadi rahmatan lil-’alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.1
Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada
tanggal 18 November 1912 M, atau bertepatan dengan tanggal 6 Zulhijah 1330 H.
Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH. Ahmad Dahlan untuk
memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
Selain itu peran Muhammadiyah lebih ditujukan kepada peningkatan pendidikan
umat yang diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang
dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama

1 http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-50-det-sejarah.html, diakses 6 Mei 2017 pukul 17.14

2

menjadi Kweek School Muhammadiyah. Peran sosok KH. Ahmad Dahlan dalam
pembentukan Muhammadiyah sangat besar. Beliaulah yang memiliki gagasan
untuk mendirikan suatu wadah perkumpulan umat Islam untuk memurnikan
kembali ajaran Islam di daerahnya yang saat itu diwarnai kehidupan yang jauh
dari syariat Islam. Untuk itu dalam tulisan ini akan dibahas seluk-beluk kehidupan
KH. Ahmad Dahlan mulai dari kehidupan masa kecil, masa remaja, hingga ia
memutuskan untuk mendirikan Muhammadiyah serta sumbangsihnya bagi
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini disusun dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu:
1. Bagaimana kehidupan KH. Ahmad Dahlan semasa kecil hingga dewasa?
2. Bagaimana latar belakang KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah?
3. Bagaimana peran dan sumbangsih KH. Ahmad Dahlan bagi perkembangan
Muhammadiyah dan pemikiran Islam di Indonesia?
1.3 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah

Sejarah Pemikiran Islam Indonesia yang diajarkan oleh Dr. Abdurakhman,
M.Hum. Selain itu makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi bagaimana
kehidupan dan teladan dari KH. Ahmad Dahlan serta peran dan sumbangsihnya
bagi pendirian Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di
Indonesia juga bagi perkembangan pemikiran umat Islam di Indonesia.

BAB II
3

ISI
2.1 Kehidupan KH. Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1265 H atau 1868 M
dengan nama asli Mohammad Darwisj.2 Mohammad Darwisj (KH. Ahmad
Dahlan) lahir dari keluarga ulama yang taat beragama Islam. Ayahnya bernama
KH. Abu Bakar bin KH. Sulaiman yang masih satu garis keturunan dengan
Maulana Malik Ibrahim, seorang mubaligh pertama yang menyiarkan Islam di
Pulau Jawa. Sedangkan ibunya juga berasal dari keturunan ulama besar di Jawa.
Mohammad Darwisj adalah anak keempat dari tujuh bersaudara dan merupakan
anak laki-laki pertama. Sebagai seorang anak laki-laki pertama yang diidamidamkan oleh orang tuanya, Mohammad Darwisj kecil menjadi anak yang
disayang oleh ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Meski begitu, Mohammad

Darwisj kecil tidak menjadi anak yang manja, ia justru patuh pada perintah orang
tuanya dan jarang berselisih dengan saudara-saudaranya.
Semasa

kecil

Mohammad

Darwisj

adalah

pribadi

yang

penuh

kegembiraan. Mohammad Darwisj sering bermain dengan teman-temannya. Ia
pun disukai teman-temannya karena ia merupakan pribadi yang jujur dan suka

menolong. Jiwa sosial sudah tertanam di dalam diri Mohammad Darwisj. Ia tidak
suka berkelahi, bahkan ketika ada temannya yang berkelahi ialah yang
mendamaikannya. Mohammad Darwisj juga adalah anak yang pandai dan kreatif.
Ia pandai membuat mainan. Hasil karyanya itu tidak hanya digunakan oleh
dirinya sendiri tetapi juga oleh teman-temannya. Hal ini membuat Mohammad
Darwisj makin disukai teman-temannya. Mohammad Darwisj tergolong anak
yang cerdas, suka memperhatikan ketika belajar dan mencatat, bila ada yang
belum dimengerti ia akan bertanya.
Sebagai anak yang tinggal di Kauman, Mohammad Darwisj memperoleh
pendidikan agama yang sangat baik. Perhatian terhadap agama sungguh besar.
2 Tashadi, dkk. 1999. Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Ir. Soekarno dan K.H. Ahmad
Dahlan. Jakarta: Depdikbud, hal. 99

4

Dorongan untuk mempelajari agama Islam tumbuh seiring lingkungannya yang
Islami. Mohammad Darwisj mulai belajar mengaji sejak umur tujuh tahun. Setiap
petang ia belajar mengaji dengan tekun. Latar belakang pendidikan Mohammad
Darwisj ialah pesantren. Memang pada saat itu tidak ada anak-anak Kauman yang
sekolah di sekolah gubernemen karena sekolah di tempat itu akan dianggap kafir.

Setelah agak dewasa Mohammad Darwisj mulai belajar ilmu-ilmu lain seperti
fiqih, ilmu falaq, ilmu hadits, ilmu qiro’ah, dan ilmu-ilmu non agama seperti ilmu
bisa dan racun binatang. Mohammad Darwisj menuntut ilmu-imu tersebut dari
ulama-ulama besar di Jawa bahkan hingga ke ulama di Bukittinggi.
Pada usia limabelas tahun, Mohammad Darwisj berangkat ke Mekah
untuk menunaikan ibadah haji. Mohammad Darwisj tidak hanya menunaikan
ibadah haji tetapi ia juga bermukim selama lima tahun untuk mendalami ilmu
agama seperti qiro’ah, tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, ilmu falaq, bahasa Arab, dan
sebagainya. Selama di tanah suci ia banyak mempelajari kitab-kitab karangan
Jamaludin Al Afgani, Syekh Mohammad Abduh, maupun Sayid Rasyid Ridha.
Ketiga tokoh tersebut terkenal dengan ide pembaruan Islam, yaitu ide untuk
memurnikan kembali ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan
Hadits. Mohammad Darwisj kemudian banyak mengilhami ajaran-ajaran mereka
dan membawanya sepulang dari Mekah untuk diterapkan di lingkungan tempat
tinggalnya.
Sepulang dari Mekah Mohammad Darwisj mengganti namanya menjadi
Ahmad Dahlan. Beliau kemudian menikah dengan Siti Walidah, anak Kiai Haji
Penghulu Fadil yang masih saudara sepupu dengan KH. Ahmad Dahlan. Siti
Walidah kemudian dikenal sebagai tokoh Aisyah, organisasi kaum wanita
Muhammadiyah. Pernikahannya dikaruniai enam orang anak. KH. Ahmad Dahlan

juga pernah menikah dengan beberapa wanita lain. Namun hal itu dimaksudkan
untuk membantu mereka karena kesemuanya adalah janda-janda yang sudah
ditinggal suaminya wafat. Sekembalinya dari Mekah, KH. Ahmad Dahlan tetap
memperdalam agama Islam dengan kiai-kiai besar dari beberapa daerah di Jawa.
Salah satu ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu falak, yaitu ilmu yang digunakan
5

untuk menentukan arah kiblat sholat. Kemudian pada tahun 1902 KH. Ahmad
Dahlan kembali berangkat ke Mekah selama dua tahun. Disana dia memantapkan
ilmunya terutama mengenai masalah pembaruan Islam. Ia sempat bertemu dengan
Sayid Rasyid Ridha, seorang tokoh pemikir pembaruan Islam. Keduanya bertukar
pikiran mengenai masalah pembaruan Islam dan pembicaraan ini sangat berguna
untuk menentukan langkah KH. Ahmad Dahlan selanjutnya.
Dua tahun kemudian KH. Ahmad Dahlan kemudian kembali pulang ke
tanah air. Setibanya di Kauman, ia kemudian mengajarkan ilmu yang sudah
dipelajarinya ke berbagai kalangan di Kauman, terutama anak-anak. Tak lama
kemudian, ayahnya yaitu KH. Abubakar wafat, KH. Ahmad Dahlan pun
menggantikan posisi ayahnya sebagai ketib atau khatib di Masjid Agung. Tugas
KH. Ahmad Dahlan sebagai ketib hanya memberikan khotbah sekali dalam
sebulan. Selain bertugas sebagai ketib, KH. Ahmad Dahlan juga melakukan usaha

dengan membuat dan memperdagangkan batik. Ia berdagang batik ke berbagai
daerah seperti ke Jawa Barat, Jawa Timur, maupun ke Sumatera. Beliau
berdagang batik sekaligus melakukan syiar Islam. Di tiap daerah yang
dikunjunginya ia selalu menemui ulama yang ada disana untuk bertukar pikiran
tentang keadaan umat Islam. Beliau selalu mengajukan masalah apakah umat
Islam di Hindia Belanda saat itu sudah benar-benar hidup sesuai ajaran Nabi
Muhammad atau belum.
2.2 Latar Belakang KH. Ahmad Dahlan Mendirikan Muhammadiyah
KH. Ahmad Dahlan memiliki perhatian terhadap umat Islam, terutama di
lingkungannya di Kauman. Dalam menyiarkan dakwah, KH. Ahmad Dahlan
berbeda dengan kiai-kiai lain yang ada di Kauman. Pada saat itu kebanyakan kiai
bersifat pasif, mereka banyak mengajar di rumah atau surau menunggu murid
yang datang. Sedangkan KH. Ahmad Dahlan memiliki pandangan berbeda, beliau
lebih suka mendatangi murid-muridnya di berbagai perguruan. Beliau memang
pada awalnya menaruh perhatian terhadap pendidikan kemudian menyampaikan
ide-ide pembaruan Islam melalui dakwah di pesantren maupun surau. KH. Ahmad
6

Dahlan ingin mengembalikan pemikiran umat Islam dari taklid ke pemikiran
rasional dalam memahami ajaran Islam. Apalagi pada saat itu tingkat pemahaman

Islam masyarakat Kauman masih rendah. Walaupun banyak kiai-kiai tetapi
mereka masih berpegang pada ajaran-ajaran yang kuno dan tidak berkembang.
Mereka masih memercayai ritual-ritual yang sebenarnya tidak diajarkan dalam
Islam, seperti tahlilan dan lainnya. Praktek kehidupan di Kauman khususnya dan
di Jawa pada umumnya masih berpegang pada ajaran-ajaran mistik. Selain itu
terdapat pengaruh percampuran ajaran Islam dan Hindu-Buddha sebagai agama
yang lebih dulu ada daripada Islam, seperti yang terlihat pada upacara pernikahan
dan kematian. Percampuran ini menyebabkan kekaburan antara ajaran Islam dan
bukan Islam.
Kondisi tersebut mendorong KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan
perubahan kehidupan masyarakat yang kabur dan kacau terkait dalam memahami
dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan mengembalikan pemahaman masyarakat
kepada ajaran Islam maka kehidupan mereka pun akan lebih terarah. KH. Ahmad
Dahlan memang bercita-cita untuk mendirikan suatu perkumpulan. Tetapi citacita itu tidak langsung diwujudkan secara langsung tetapi bertahap. Beliau
menekankan terlebih dahulu pada bidang pendidikan. Beliau pun mendirikan
Sekolah Muhammadiyah pada tahun 1911. Sekolah tersebut meniru konsep
pendidikan ala Belanda dengan memakai gedung sebagai tempat belajar. Beliau
juga menggunakan papan tulis dan meja sebagai alat belajar. Di Sekolah
Muhammadiyah selain diajarkan ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu-ilmu
umum seperti ilmu berhitung, ilmu bumi, ilmu anatomi manusia dan lainnya. Hal

ini tentu dianggap tak lazim oleh kiai-kiai lain di Kauman dan menganggap KH.
Ahmad Dahlan sudah mengajak kepada kekafiran kepada anak-anak, padahal
tidak seperti itu maksud dari KH. Ahmad Dahlan. Hal itu semata-mata untuk
menghilangkan paradigma di kalangan kiai yang sudah senior bahwa Islam tidak
harus diajarkan dengan cara-cara yang kuno dan kolot.
Sementara itu para murid dan sahabat KH. Ahmad Dahlan terus
mengusulkan dan mendesak beliau untuk mendirikan suatu perkumpulan atau
7

organisasi yang bertujuan untuk melaksanakan cita-cita pembaruan umat Islam.
Salah satu yang mendesak KH. Ahmad Dahlan tersebut adalah Sekolah Guru Jetis
Yogyakarta yang menyarankan untuk mewujudkan cita-citanya dalam kehidupan
umat Islam.3 KH. Ahmad Dahlan ingin mengajak umat Islam untuk kembali hidup
menurut tuntunan Al-Qur’an dan Hadits. Atas bantuan para sahabat dan muridmuridnya, pada tanggal 18 November 1912 didirikanlah sebuah organisasi yang
bernama Muhammadiyah, sama seperti sekolah yang beliau dirikan setahun
sebelumnya. Secara garis besar Muhammadiyah berusaha untuk menghidupkan
kembali ajaran Islam yang asli dan murni serta menetapkan ajaran Islam sebagai
pandangan hidup dalam kehidupan individu dan masyarakat.4
Pada awal pendiriannya, Muhammadiyah menetapkan maksud dan tujuan
pendiriannya dalam anggaran dasar yang tertulis sebagai berikut:

1. Memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam
dalam kalangan sekutu-sekutunya,
2. Memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam
dalam kalangan sekutu-sekutunya.5
Walaupun ditulis dengan kata-kata yang sederhana, tetapi dapat mengenai dan
sesuai dengan masalah yang aktual pada masa itu. Pada masa itu umat Islam
sedang berada dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak adanya
pemahaman pada ajaran Islam yang sesungguhnya. Maka dari itu Muhammadiyah
bercita-cita untuk menganjurkan agar masyarakat Islam mempelajari agamanya
dengan baik. KH. Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah menganjurkan agar
umat Islam kembali pada ajaran yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits.
Sedangkan hal-hal lain yang tida bersumber dari keduanya hendaknya
ditinggalkan. Dalam melaksanakan tujuan itu Muhammadiyah membuka berbagai
sekolah dan madrasah, pengajian, tabligh, cerama-ceramah hingga keluar masuk
kampung dan desa-desa.

3 Kutoyo, Sutrisno. 1985. Kiai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Depdikbud, hal. 63
4 Ibid, hal. 65
5 Ibid, hal. 69

8

2.3 Peran

dan

Sumbangsih

KH. Ahmad

Dahlan

Bagi

Perkembangan

Muhammadiyah dan Pemikiran Islam di Indonesia
K.H. Ahmad Dahlan memiliki jasa besar dalam perkembangan dakwah
Islam di Indonesia, terutama di bidang modernisasi Islam. Sebelum kita
membicarakan lebih lanjut mengenai modernisasi Islam, alangkah lebih baiknya
kita memahami zeitgeist pada masa itu. Seperti yang dijelaskan dalam halamanhalaman sebelumnya, umat Islam di Indonesia khususnya Pulau Jawa berada
dalam kejumudan dan terjebak dalam praktek takhayul, bid’ah, churofat (TBC).
Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya pendidikan di kalangan umat Islam,
sedangkan umat Islam yang memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan
yang memadai hanya golongan priyayi dan itu pun di sekolah-sekolah Belanda
yang tentu saja tidak dibekali dengan pendidikan Islam yang memadai.
Berangkat dari permasalahan ini kemudian K.H. Ahmad Dahlan
memutuskan untuk melakukan gerakan pembaharuan dalam umat Islam di
Indonesia, agar umat Islam mendapatkan kembali harga dirinya dan mampu
menghadapi tuntutan zaman. Langkah pembaharuan yang dilakukan oleh K.H.
Ahmad Dahlan ialah mendirikan organisasi Islam dengan struktur yang modern.
Dalam merealisasikan hal tersebut K.H. Ahmad Dahlan kemudian bergabung
dengan Boedi Oetomo, serta banyak bergaul dengan orang-orang Boedi Oetomo.
Hal ini dikerjakannya dengan tujuan untuk mempelajari struktur organisasi
modern6. Tentu saja bergabungya K.H. Ahmad Dahlan ke dalam Boedi Oetomo
tidak serta merta membuatnya dapat memuluskan tujuannya, tidak jarang ia
dijuluki “kiai kafir” karena kedekatannya dengan Boedi Oetomo7.
Kendati demikian K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah sekalipun
memikirkan persepsi buruk orang lain tentangnya. Ia berusaha agar misi
6 Kuntowijoyo dalam pengantarnya untuk buku Marhaenis Muhammadiyah karya Abdul Munir
Mulkhan.
7 Anggota Boedi Oetomo kebanyakan priyayi berpendidikan Belanda dan kurang memegang nilainilai keislaman. Banyak anggotanya yang cenderung abangan, malahan beberapa anggotanya
beragama Kristen. Itu sebabnya Boedi Oetomo memiliki persepsi yang kurang baik di kalangan santri.
Banyak juga anggota Boedi Oetomo yang merupakan anggota Vrijmetselarij atau Freemason. Untuk
lebih lengkapnya dapat dilihat pada Stevens, T.H. 2004. Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di
Hindia-Belanda dan Indonesia 1764-1962. Jakarta: Sinar Harapan

9

dakwahnya dapat berhasil. Langkah-langkah lain yang beliau lakukan, ialah
mendekati anak-anak priyayi yang bersekolah di sekolah-sekolah milik
pemerintahan kolonial. Ia berusaha mendakwahkan Islam kepada mereka. Sebab
ia sadar, bahwa anak-anak priyayi ini memiliki pendidikan yang jauh lebih baik
daripada masyarakat umumnya. Mereka hanya minus, pemahaman mereka
tentang masalah keislaman.
Langkah kedua dalam pembaharuan yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan
selain mendirikan organisasi Islam dengan struktur yang modern, ialah
membentuk sekolah Islam. Sekolah yang ia dirikan berbeda dengan sekolahsekolah Islam umumnya pada saat itu yang berbentuk pesantren. Sekolah yang ia
dirikan melakukan pengajaran dengan sistem pendidikan Barat, lengkap dengan
bangku dan kursi. Serta pengetahuan tentang ilmu pengetahuan non-agama8.
Langkah yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan dalam pembaharuan pendidikan
Islam ini membuat Muhammadiyah kemudian mendapat label “Islam Modernis9.”
Pembentukan sekolah-sekolah dengan menggunakan sistem pengajaran
dengan bangku kursi layaknya sekolah-sekolah di Barat. Tentunya mendapatkan
kecaman dari orang-orang yang belum memahami maksud Kiai Dahlan, sehingga
Kiai Dahlan harus menyaksikan sekolahnya dibakar sembari dicaci kiai kafir oleh
para penentangnya10. Namun hal tersebut tidak mematahkan semangat K.H.
Ahmad Dahlan, ia senantiasa terus bergerak dalam mengembangkan pendidikan
Islam yang dipadukannya dengan sistem sekolah-sekolah Barat. Harapannya ialah
menciptakan generasi Islam yang berpendidikan modern, mampu mengaktualisasi
tantangan zaman, serta memiliki nilai-nilai keislaman11.
Sumbangsih pemikirannya yang menurut kelompok kami yang paling
besar ialah memberantas TBC. Memberantas TBC yang dilakukan oleh K.H.
8 Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, hal 368
9 Label ini pada era sekarang masih dapat dikritisi. Sebab NU yang mendapatkan label “Islam
Tradisionalis” nyatanya bersikap jauh lebih terbuka daripada Muhammadiyah. Memahami label ini
tentunya perlu memahami zeitgeist pada saat abad 20 awal di Hindia-Belanda. Dengan begitu dapat
dipahami raison d’etre dari penyematan label ini kepada Muhammadiyah.
10 Mulkhan, Abdul Munir. 1990. Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah.
Yogyakarta: Percetakan Persatuan, hal 87
11 Suwarno. 2016. Pembaruan Pendidikan Islam Sayyid Ahmad Khan dan KH Ahmad Dahlan.
Yogyakarta: UMP Press & Suara Muhammadiyah, hal 47

10

Ahmad Dahlan, bukan saja melalui pendidikan atau pembuatan lembaga-lembaga
pendidikan. Melainkan melalui conscientização (gerakan penyadaran) kepada
masyarakat12. Masalah TBC di kalangan umat Islam demikian mengkhawatirkan,
seringkali para elite-elite agama Islam tidak melakukan langkah serius dalam
menghilangakan TBC ini, justru memelihara mitos-mitos untuk memperkuat
posisi elite-elite agama ini. Bila kita berkaca pada sejarah, memang dalam
beberapa kasus dalam sejarah peradaban manusia terutama sejarah peradaban
Islam khususnya, seringkali penguasa berkolaborasi dengan para elite-elite agama
untuk memantapkan kekuasaannya dengan legitimasi agama. Hal ini kemudian
melahirkan ekses-ekses yakni masyarakat yang jatuh pada kejumudan. Ali
Syari’ati seorang cendekiawan dari Iran, merumuskan mengenai fenomena ini
yang ia sebut sebagai “Trinitas kekuasaan13.” Ia merumuskan bahwa masyarakat
terbagi atas piramida kekuasaan dalam trinitas yang menjauhkan manusia dari
tauhid tersebut, yaitu Fir’aun (pemimpin yang zalim), Qorun (orang kaya yang
tamak/semena-mena/kaum mustakbirin), dan Bal’am (ulama/intelektual yang
menjadi alat kekuasaan/spindoctor).14
Melenyapkan mistifikasi ulama bukanlah hal yang mudah pada masa itu.
Hal yang pertama dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, ialah menjadikan dirinya
sendiri sebagai contoh untuk hal tersebut. Misalkan ia mau mendatangi sendiri
murid-muridnya untuk mengajarkan mengenai agama ataupun bertabligh. Dengan
posisi K.H. Ahmad Dahlan yang telah menjadi Ketua Hoofd-Bestuur
Muhammadiyah dan khatib pada Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta, sudah
semestinya murid-muridnya yang mendatangi K.H. Ahmad Dahlan langsung.
Pada masa itu fenomena guru mencari murid, merupakan suatu tindakan yang
dianggap “kelancangan” dan juga aib sosial-budaya. Namun hal demikian tidak
dianggap sebagai kelancangan bagi K.H. Ahmad Dahlan, ia ingin menunjukkan

12 Ibid, 67.
13 Syari’ati, Ali. 1984. Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais. Jakarta: Rajawali, hal 110.
14 Ibid, 127

11

bahwa ulama itu seperti manusia biasa cuma kebetulan memiliki ilmu agama yang
lebih ketimbang orang-orang pada umumnya15.
Tabligh model semacam ini yang pada saat ini dianggap biasa, pada saat
itu dianggap perbuatan luar biasa. Tabligh semacam itu memiliki implikasi dalam
usaha untuk menghilangkan TBC yakni bentuk perlawanan tak langsung terhadap
idolatry (perlawanan terhadap pemujaan tokoh) dan juga perlawanan tak langsung
terhadap mistifikasi agama (agama dibuat misterius). Kendati praktek TBC masih
tetap berlangsung dalam masyarakat, bahkan dengan bentuk yang lebih canggih
seperti aplikasi primbon yang dapat diunduh di smartphone ataupun situs-situs
primbon di internet. Namun langkah K.H. Ahmad Dahlan, untuk memberantas
TBC memiliki sumbangsih besar bagi modernisasi Islam. Sebab umat Islam
sekarang ini dapat membedakan mana yang agama dan mana yang mistis. Sudah
barang tentu pendidikan modern tidak akan dapat terlaksana, apabila umat Islam
memiliki kepercayaan terhadap TBC dalam kadar yang tidak wajar16.
Sumbangsih yang terakhir akan dibicarakan disini ialah pemberdayaan
wanita dan juga program-program pemberdayaan masyarakat. K.H. Ahmad
Dahlan memiliki concern yang sangat besar terhadap pemberdayaan wanita, ia
rela dan mau memiliki murid kaum wanita. Bahkan ia pun selalu
mengikutsertakan

istrinya

Siti

Walidah,

dalam

kegiatan-kegiatan

Muhammadiyah17. Bahkan K.H. Ahmad Dahlan pun membuat organisasi otonom
15 Op.Cit. 19 dalam pengantar Kuntowijoyo untuk buku Abdul Munir Mulkhan. Ia pun menjelaskan
dengan artikel Koran Bromartani pada tanggal 8 September 1915, diberitakan bahwa K.H. Ahmad
Dahlan mengantar sekelompok murid-muridnya baik laki-laki maupun perempuan untuk berekreasi ke
Taman Sriwedari, Solo.
16 Pada kondisi kekinian dapat kita jumpai orang-orang yang memiliki kepercayaan terhadap TBC di
lingkungan akademik sekalipun. Namun orang-orang yang percaya pada sekte-sekte, juga percaya
terhadap TBC namun berasal dari lingkungan akademik. Mereka ini memiliki pemahaman akan hal-hal
rasional yang cukup besar juga. Jadi bisa dikatakan pada beberapa masyarakat kelas menengah di
perkotaan, mereka tidak sepenuhnya dapat menghilangkan praktek TBC paling tidak mereka
menganutnya dalam kadar yang wajar. Sehingga mereka dapat memilah mana yang rasional maupun
tidak. Dengan adanya akses pendidikan yang lebih besar di zaman sekarang, dibandingkan dengan
zaman K.H. Ahmad Dahlan atau sebelumnya – Singkatnya orang menjadi klenik dengan kesadarannya
sendiri seringkali bukan karena ditipu oleh segelintir orang-orang karena, tiadanya akses terhadap
pendidikan.
17 Wahyudi, Jarot (2002). Nyai Ahmad Dahlan: Penggerak Perempuan Muhammadiyah. Di
Burhanuddin, Jajat. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 42.

12

untuk kaum wanita dalam Muhammadiyah, yaitu organisasi Aisyiyah yang
didirikannya pada tahun 1917.
Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Muhammadiyah
antara lain pembuatan panti asuhan, pembuatan rumah sakit dan klinik, modal
usaha untuk kaum mustadh’afin. Dalam menyelenggarakan program ini K.H.
Ahmad Dahlan, bersedia bekerjasama dengan golongan non-Muslim sekalipun.
Bahkan Muhammadiyah, menerima tenaga relawan dokter yang beberapa di
antaranya merupakan orang Belanda maupun etnis Tionghoa18. Sikap keterbukaan
untuk kemaslahatan umat tersebut, menjadi salah satu sumbangsih K.H. Ahmad
Dahlan. Sebab pada saat itu tentunya umat Islam menaruh curiga terhadap etnis
Tionghoa maupun orang-orang Belanda, namun K.H. Ahmad Dahlan memberi
contoh dalam urusan kemaslahatan umat kerjasama dengan non-Muslim
sekalipun boleh.
2.4. Muhammadiyah Kontemporer
Pasca meninggalnya K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah telah
berkembang menjadi ormas Islam terbesar nomor dua di Indonesia setelah NU.
Muhammadiyah telah melahirkan berbagai anggota yang bergerak di berbagai
bidang dan profesi. Juga telah melahirkan berbagai tokoh yang berpengaruh
dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensi logis dari
sebuah organisasi besar pastinya anggotanya memiliki karakteristik beragam,
begitu juga Muhammadiyah. Dalam penelitiannya Abdul Munir Mulkhan 19 (2010)
ia membagi Muhammadiyah ke dalam empat varian:
1. Kelompok K.H. Ahmad Dahlan yaitu orang-orang Muhammadiyah yang
toleran terhadap praktek TBC, namun mereka enggan mengerjakan praktek
tersebut. Mereka hanya menganjurkan dan mendakwahkan agar praktek TBC
itu ditinggalkan.
18 Op.Cit. 26
19 Penelitian Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan pun diamini oleh Prof. Dr. Kuntowijoyo dengan
kesediannya memberikan pengantar pada buku tersebut. Buku yang saya pakai ialah buku revisi yang
kemudian oleh penulisnya dan diterbitkan dengan judul baru, penulis masih menyertakan pengantar
Kuntowijoyo.

13

2. Kelompok Al-Ikhlas yaitu golongan Muhammadiyah yang tidak mau
mengerjakan TBC dan menentang adanya TBC. Kelompok ini merupakan
golongan minor di Muhammadiyah, secara tampak luar mereka agak mirip
dengan golongan Salafi.
3. Kelompok

Munu

(Muhammadiyah-NU)

merupakan

kelompok

Muhammadiyah, namun masih melakukan praktek tahlilan ataupun Maulid
Barzanji dan juga ritual-ritual lain yang biasa dilakukan oleh kaum Nahdliyin.
Kelompok ini muncul awalnya di daerah-daerah yang memiliki kultur NU
yang kuat, namun tidak tersedia pendidikan menengah pertama hingga tingkat
atas dari pemerintah. Sehingga anak-anak yang sudah menyelesaikan
pendidikannya di SD-Inpres, kemudian dikirimkan orang tuanya ke SMP
ataupun SMA milik Muhammadiyah yang kebetulan merupakan satu-satunya
sekolah SMP/SMA di daerah tersebut. Dari sinilah mulai terjadi sinkretisme
antara NU dengan Muhammadiyah. Misalkan pada sosok mantan Ketua
Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin ia pernah menjadi ketua IPNU
Cabang Sumbawa. Kemudian ia pun menjadi anggota IMM dan pernah
menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah (1989-1993). Meskipun dalam
prakteknya keislamannya ia lebih condong ke Muhammadiyah, namun
pengalamannya sebagai ketua IPNU cabang Sumbawa pastinya ada pengaruh
ajaran NU yang masuk dalam pemikirannya20.
4. Kelompok Muhammadiyah Nasionalis atau disebut juga MarhaenisMuhammadiyah (Marmud). Kelompok Marmud ini pertama muncul dalam
penelitian Abdul Munir Mulkhan, saat ia meneliti Muhammadiyah di Desa
Wuluhan, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Ia melihat pada warga desa ini
mereka memiliki praktek sinkretisme antara ajaran Muhammadiyah dengan
NU (Munu), namun bukan saja itu. Warga desa ini memiliki tipologi ideologi

20 Mengenai pengalamannya sebagai Ketua IPNU dan juga pindah ke Muhammadiyah. Hal ini
pernah disampaikan Din Syamsuddin dalam pidato pembukaan acara Silaturahim Korps Alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dalam rangka Halal Bihalal pada tahun 2015 di Gedung
Nusantara V, MPR.

14

yang cenderung pada partai nasionalis seperti PDI 21, bukan hanya itu namun
pengurus Muhammadiyah setempat melakukan pemberdayaan kaum tani
dengan menggunakan pendekatan ajaran Marhaenisme. Sehingga terciptalah
kemudian dalam masyarakat di desa ini, sebuah teologi petani. Di Desa
Wuluhan, praktek teologi petani tersebut dijalankan oleh sebuah koperasi desa
yang dikelola oleh Muhammadiyah. Namun dalam praktek politik nyata,
tidaklah jarang kader ataupun simpatisan Muhammadiyah kemudian aktif di
parpol nasionalis.
Dalam tubuh Muhammadiyah pun belakangan ini terjadi pertentangan
dalam bidang furu’iyah antara Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki. Memang
kalau kita lihat di Muhammadiyah belakangan, mulai terbagi atas kedua mazhab
furu’iyah tersebut. Berikut analisa terhadap kedua mazhab furu’iyah tersebut:
1. Di kampus yang dimiliki Muhammadiyah seperti Universitas Prof. Dr. Buya
Hamka (UHAMKA) terdapat tulisan dilarang merokok di area kampus. Juga
dalam kompleks UHAMKA, kemudian UMY beberapa kampus-kampus yang
dimiliki Muhammadiyah terdapat tulisan demikian. Juga civitas academica
kampus-kampus tersebut tidak merokok di area kampus. Mengapa demikian?
Sebab di dalam Muhammadiyah sendiri ada kecendrungan ikut Mazhab
Syafi’i, kebetulan Syafi’i Ma’arif sendiri tidak merokok.
2. Kendati di lingkungan kampus-kampus yang dimiliki Muhammadiyah
menerapkan larangan yang begitu ketat terhadap rokok. Tidak serta merta
mahasiswa turut pada aturan tersebut, banyak mahasiswa kampus UHAMKA
ataupun UMY yang merokok di luar lingkungan kampus. Bahkan dekat
kampus, juga dengan satpam yang bekerja pada institusi tersebut. Hal ini tentu
bukan sebagai bentuk pembangkangan mereka terhadap ajaran Mazhab
Syafi’I, namun karena mereka pengikut Mazhab Maliki. Prof. Dr. H. Abdul
Malik Fadjar, sebagai teladan utama Mazhab Maliki. Ia merupakan tokoh
21 Pada saat peneliti mengambil sampel berawal dari laporan penelitian sebelum akhirnya
berkembang menjadi buku. Pada saat penelitian dilakukan partai nasionalis saat itu hanya PDI. Namun
dalam penelitian selanjutnya yang dibukukan, tepatnya dalam buku yang kelompok kami pakai warga
setempat sudah mulai memiliki kecendrungan terhadap parpol nasionalis khususnya PDI-P.

15

Muhammadiyah, juga sebagai mantan Mendiknas (2001-2004), Menteri
Agama (1998-1999), pejabat ad-interim Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia (2004), mantan Rektor Universitas
Muhammadiyah Malang (1983-2000) dan sekarnag menjabat sebagai Anggota
Wantimpres. Tentu sebagai mantan rektor Universitas Muhammadiyah
Malang

dan

Mantan

Menteri

Agama,

tidak

diragukan

lagi

kemuhamadiyahannya dan juga keislamannya. Sebagai mantan pengurus di
PP Muhammadiyah, ia dikenal sebagai juga sebagai perokok berat.
Cendekiawan Muhammadiyah terkemuka yang juga pengikut Mazhab Maliki
ialah Prof. Dr. H.Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga
tersebut dikenal sebagai orang yang tidak bisa melepaskan diri dari rokoknya,
ia pun perokok berat sama dengan Malik Fadjar. Seringkali apabila terdapat
seorang perokok, seringkali diidentikkan dengan Nahdliyin. Meskipun
Muhammadiyah secara de jure mengharamkan rokok, namun terdapat
sejumlah anggota Muhammadiyah yang merupakan perokok bahkan
diantaranya perokok berat seperti Abdul Munir Mulkhan dan Malik Fadjar.

BAB III
16

KESIMPULAN
Kiprah K.H. Ahmad Dahlan yang demikian besar dalam perkembangan Islam
di Indonesia dan juga pembaharuan di bidang pendidikan. Kemudian memunculkan
semangat kebangsaan, tidak sedikit kader-kader Muhammadiyah yang kemudian
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia baik secara fisik maupun non-fisik. Juga
ketika Indonesia merdeka, banyak orang-orang Muhammadiyah yang turut aktif
mengisi kemerdekaan.
Tidak salah bila kemudian K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai Pahlawan
Nasional, pada tahun 1961 oleh Presiden Soekarno. Hal tersebut sudah merupakan
keputusan yang tepat. Mengingat begi besar jasa K.H. Ahmad Dahlan.
Muhammadiyah masih tetap bertahan hingga sekarang, bahkan kadernya masih ada
yang aktif di dalam politik nasional seperti mantan Ketua Umum Muhammadiyah
Prof. Dr. H. Amien Rais. Kita harapkan kedepannya keberadaan Muhammadiyah
senantiasa membawa kemaslahatan bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
17

Kutoyo, Sutrisno. 1985. Kiai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Depdikbud.
Mulkhan, Abdul Munir. 2010. Marhaenis Muhammadiyah. Yogyakarta: Galang Press
Noer, Deliar. 1972. Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. London:
Oxford Press
Notosusanto, Nugroho, dkk. 2011. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai
Pustaka
Pringgodigdo, A.G. 1980. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat
Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
Shariati, Ali. 1984. Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais. Jakarta: Rajawali
Stevens, T.H. 2004. Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia-Belanda dan
Indonesia 1764-1962. Jakarta: Sinar Harapan
Suwarno. 2016. Pembaruan Pendidikan Islam Sayyid Ahmad Khan dan KH Ahmad
Dahlan. Yogyakarta: UMP Press & Suara Muhammadiyah
Tashadi, dkk. 1999. Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Ir. Soekarno dan K.H.
Ahmad Dahlan. Jakarta: Depdikbud.
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-50-det-sejarah.html, diakses 6 Mei 2017
pukul 17.14

18