KEMANDIRIAN BELAJAR DALAM ERA TEKNOLOGI

KEMANDIRIAN BELAJAR DALAM ERA
TEKNOLOGI
Oleh : Benny Prakasa Putera
(Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Lampung)

ABSTRACT
The objective of this article is focusing on analysis theoretically about students’
independence in studying. It discussed based on theory and supported by some
findings in some published research journals. Some theories such as learning
theories, independency in learning and metacognition. In order to get a precision
argumentation as the innovative idea in learning process. Analysis result said that
students who got opportunity in doing their study independently will have better
result in class instead. As the conclusion, we need to provide opportunities for
students to construct their own knowledge. Educational institution has a role to
provide better facilities in supporting independent learner, and family has a role
in shaping as independent learner.
Keywords: students’ independence
ABSTRAK
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menganalisis secara teoretik tentang
masalah kemandirian belajar peserta didik, berdasarkan teori dan temuan
penelitian dalam berbagai jurnal penelitian. Hal yang dibahas yaitu dari sisi teori

belajar, teori tentang kemandirian, metakognisi, dan didukung dengan temuan
beberapa penelitian yang menunjukkan keberhasilan kemandirian dalam
pembelajaran di kelas. Hal ini untuk menemukan argumentasi yang tepat sebagai
dasar gagasan inovatif dalam pembelajaran yaitu pentingnya memberikan peluang
lebih besar bagi siswa dalam mengasah kemandirian dalam pembelajaran di kelas.
Hasil analisis mengungkapkan bahwa peserta didik yang bekerja secara mandiri
akan memberikan pencapaian yang lebih baik di kelas. Simpulan tulisan ini adalah
di dalam era teknologi saat ini pendidik berperan penting dalam mendorong
kemandirian siswa, para pendidik perlu memberikan peluang yang lebih besar
bagi siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Lembaga Pendidikan berperan
menyediakan fasilitas yang mendukung kemandirian peserta didik, dan keluarga
juga berperan dalam terbentuknya pribadi mandiri bagi peserta didik.
Kata kunci: kemandirian belajar

2

PENDAHULUAN
Proses
pendidikan
merupakan

suatu proses perbantuan pada
siswa agar dapat berkembang
sepenuhnya sesuai dengan bakat
serta kemampuan yang dimilikinya.
Manusia dilahirkan tak berdaya
karena dia tergantung kepada
tuntutan-tuntutan biologis
yang
disediakan oleh orangtuanya dan
oleh lingkungan alamiahnya. Para
siswa yang secara intelektual dan
emosional merupakan individu yang
perlu dibimbing agar dia dapat
berkembang sehingga dia dapat
menguasai perkembangan dirinya
dan
alam
sekitarnya
untuk
kepentingannya sendiri. Eksplorasi

terhadap
dirinya
serta
alam
sekitarnya maupun dengan sesama
manusia membantu perkembangan
dirinya agar dia dapat berdiri
sendiri dan memberdayakan dirinya
sendiri atas tanggung jawabnya
sendiri. Inilah yang disebut proses
pemberdayaan, yaitu dari individu
yang tidak berdaya menjadi individu
yang independen serta kreatif
sehingga dapat bermanfaat bagi
dirinya sendiri dan bagi orang lain
serta terhadap Tuhannya.
Proses pemberdayaan siswa berarti
menghormati
kemandirian
dari

pribadi siswa itu sendiri dan bukan
merampas hak-hak asasinya maupun
martabat seseorang siswa sebagai
sesama manusia. Disinilah terletak

nilai-nilai etis
dari
proses
pendidikan, bahwa antara guru dan
siswa terdapat hubungan tanggung
jawab yang bersifat etis. Guru
mengabdikan seluruh kepribadiannya
untuk kepentingan siswa serta pihak
siswa secara lambat laun sesuai
dengan tingkat perkembangannya
akan mengambil alih tanggung jawab
itu oleh dirinya sendiri. Relasi
memberi dan menerima tanpa pamrih
ini benar- benar merupakan suatu
tindakan etis dalam relasi antara guru

dan siswa, antara orang tua dan anak.
Proses pemberdayaan siswa itu
tercermin dalam kemandirian belajar.
Kemandirian belajar siswa menjadi
salah satu motivasi untuk menghadapi berbagai tantangan dan tugastugas belajar yang dihadapi. Siswa
yang mandiri dapat menyelesaikan
pekerjaan
atau
tugas-tugasnya
dengan baik meskipun tanpa bantuan
orang lain. Sebaliknya siswa yang
tidak mandiri biasanya kurang
mampu untuk menyelesaikan sendiri
tugas-tugas dengan baik dan selalu
mengharapkan bantuan dari orang
lain atau orang-orang yang ada
disekitarnya. Sebagaimana yang
terdapat dalam temuan penelitian
dari Pratistya Nor Aini dan Abdullah
Taman (2012) bahwa Terdapat

pengaruh positif dan signifikan
Kemandirian
Belajar
dan
Lingkungan Belajar Siswa secara
bersama-sama terhadap Prestasi
Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI

3

IPS SMA Negeri 1 Sewon Bantul
Tahun Ajaran 2010/2011.
Demikian pula pada penelitian Irzan
Tahar dan Enceng (2006)
juga
mendapatkan temuan yang sama
dalam mata kuliah Manajemen
Keuangan. Mereka mengungkapkan
bahwa
kemandirian

belajar
merupakan salah satu prediktor hasil
belajar mata kuliah Manajemen
Keuangan.
Semakin
tinggi
kemandirian
belajar
seseorang
peserta
ajar,
maka
akan
memungkinkannya untuk mencapai
hasil belajar yang tinggi.
Dalam teori belajar konstruktivisme
ditegaskan bahwa peserta didik harus
menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya

apabila aturan-aturan itu tidak lagi
sesuai. Menurut teori ini, satu prinsip
yang paling penting dalam psikologi
pendidikan adalah bahwa guru tidak
hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun sendiri pengetahuan di
dalam benaknya. Konstruktivisme
tidak mengemukakan bahwa prinsipprinsip pembelajaran ada dan harus
ditemukan serta diuji, tetapi agar
siswa menciptakan pembelajaran
mereka sendiri. Asumsi konstruktivisme (Schunk, 2012 : 324) adalah
guru sebaiknya tidak mengajar
dengan cara tradisional kepada
sejumlah siswa, tetapi seharusnya
membangun situasi-situasi sedemi-

kian rupa sehingga siswa dapat
terlibat secara aktif dengan materi
pelajaran melalui pengolahan materimateri dan interaksi sosial.
Menurut Jean Piaget (Riyanto, 2009

:9) proses belajar terdiri dari tiga
tahapan yaitu: a) asimilasi, yaitu
proses penyatuan (pengintegrasian)
informasi baru ke struktur kognitif
yang sudah ada dalam benak siswa,
b) akomodasi, yaitu penyesuaian
struktur kognitif ke dalam situasi
yang baru, c) equilibrasi, yaitu
penyesuaian
berkesinambungan
antara asimilasi dan akomodasi.
Perkembangan kognitif sebagian
besar ditentukan oleh manipulasi
dan interaksi aktif anak dengan
lingkungan. Pengetahuan datang
dari tindakan. Menurut teori ini,
setiap individu pada saat tumbuh
mulai dari bayi sampai dewasa
mengalami empat tingkatan perkembangan kognitif yaitu sensorimotor (0-2 tahun), pra-operasional
(2-7 tahun), operasional konkret (711 tahun), dan operasional formal

(11- dewasa). Implikasi penting dari
teori Piaget bagi pendidikan adalah
(1) pahami perkembangan kognitifnya, (2) jaga agar siswa tetap aktif,
(3) ciptakan ketidaksesuaian dengan
membiarkan siswa menyelesaikan
soal dan mendapat jawaban yang
salah, (4) memberikan interaksi
sosial (Schunk, 2012 : 332-336).
Ki
Hajar
Dewantara
telah
merumuskan kemandirian peserta
didik yaitu: “Pengaruh pengajaran itu

4

umumnya memerdekakan manusia
atas hidupnya lahir, sedangkan
hidup batin itu terdapat dari

pendidikan. Manusia merdeka yaitu
manusia yang hidupnya lahir atau
batin tidak tergantung pada orang
lain akan tetapi berdasar atas
kekuatan
sendiri” (Dewantara,
1928:3). Beliau menerapkannya
melalui Perguruan Taman Siswa
dengan prinsip tiga asas yang
merupakan roh dari perguruan
tersebut yaitu: a) Asas kemandirian
manusia; b) Asas sistem among yang
merupakan
habitus
dari
perkembangan prinsip kemandirian;
c)
Habitus
budaya
termasuk
lingkungan alamiah di mana terjadi
perwujudan kemandirian dan sistem
among tersebut. Penjelasan dari asasasas tersebut adalah sebagai berikut:
a) Asas Kemandirian
Manusia pada dasarnya merupakan
makhluk yang berdiri sendiri dan
bertanggung
jawab
atas
eksistensinya.
Inilah
asas
Zelfbeschikkingsrecht
atau
self
determination yaitu asas untuk
mengatur diri sendiri, bertanggung
jawab atas keberadaannya sendiri
tanpa tergantung kepada orang lain.
Hal ini juga mengimplikasikan
bahwa seseorang tidak mempunyai
hak untuk merampas kemandirian
orang lain. Hak untuk menjadi diri
sendiri ini tidak lain adalah
perwujudan dari identitas seseorang.
Namun demikian identitas seseorang
tidak dapat terwujud tanpa sesama

yang lain atau dalam relasi dengan
sesamanya. Relasi antar manusia
berarti suatu relasi dari berbagai
identitas
dan
berbagai
kemungkinannya.
Perkembangan
serta
terbentuknya
identitas
seseorang dalam relasi sesamanya
hanya dapat terjadi dalam hubungan
interpersonal yang tertib dan damai.
Tidak mungkin dalam kondisi yang
serba bermusuhan serta kecurigaan
atau tidak adanya trust di dalam
interaksi sesama manusia itu akan
terbentuk
identitas seseorang.
Dalam suasana damai dapat terjadi
saling membantu, saling pengertian,
saling
mengisi,
dan
saling
bertanggung
jawab
untuk
perkembangan
pribadi
dan
perkembangan masyarakat pada
umumnya.
Identitas
seseorang
mengimplikasikan adanya identitas
sesama yang lain di dalam suasana
saling menghormati dan saling
menghargai. Dalam kondisi saling
mencurigai
bahkan
saling
bermusuhan tidak mungkin terjadi
pembentukan dan perkembangan
identitas seseorang.
b) Sistem Among
Prinsip kemandirian dalam proses
pendidikan dikembangkan dalam
sistem among. Among atau ngemong
mempunyai arti yang sangat dalam di
dalam proses pendidikan yang
berkaitan dengan hakikat manusia
yang tidak berdaya ketika dilahirkan.
Namun demikian ketidakberdayaan
manusia merupakan suatu proses

5

yang tertuju ke arah kemandirian.
Hal ini berarti dalam sistem among
relasi antara pendidik dan peserta
didik bukanlah suatu relasi saling
ketergantungan, tetapi suatu relasi
yang semakin lama semakin
memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk berdiri sendiri.
Sistem among bukan berarti suatu
sistem perintah dari atas atau
membiarkan peserta didik mencari
jalannya sendiri. Dengan demikian
pendidikan bukanlah suatu proses
totaliter atau kemerdekaan tanpa
batas, tetapi proses pemandirian yang
bertahap
sesuai
dengan
perkembangan pribadi peserta didik.
Sistem among mempunyai implikasi
di dalam relasi antara pendidik dan
peserta didik. Pendidik bukanlah
seorang diktator atau yang haus
kekuasaan atau kehormtan pribadi,
tetapi dengan satu visi yang secara
sukarela dan penuh dedikasi dalam
membantu peserta didik untuk
menemukan dirinya sendiri atau
dapat
berdiri
sendiri
atas
kemampuannya
sendiri.
Inilah
prinsip
among
yng
menuju
kemandirian
yang
memerlukan
dedikasi seorang pendidik.
c)

Prinsip Kebudayaan

Proses pendidikan menurut Ki
Hadjar
Dewantara
(1928:30)
“pendidikan terjadi di dalam habitus
yang
sentripetal artinya yang
berpusat dari budaya lokal dan
berangsur-angsur meningkat kepada

lingkungan semakin luas sampai
pada budaya nasional bahkan budaya
global”. Inilah prinsip yang modern
dari Tamansiswa yang sejak semula
telah
mengenal
prinsip-prinsip
multikultural yang marak pada abad
XXI
ini.
Tamansiswa
telah
menunjukkan
pentingnya
pengembangan identitas manusia
yang berakar dari keluarga serta
budaya lokal sehingga hubungan
personal antar manusia yang konkret
merupakan dasar dari terbentuknya
identitas seseorang, identitas etnis
dan identitas bangsa Indonesia.
Ketiga prinsip proses pendidikan
Taman siswa di atas merupakan ruh
Tamansiswa yang menghargai akan
nilai-nilai luhur kemanusiaan yaitu
manusia yang berdiri sendiri, yang di
dalam
perkembangannya
memerlukan bantuan orang lain yaitu
pendidik
yang
bukan
untuk
mendominasikannya tetapi yang
membantunya agar menjadi pribadi
yang berdiri sendiri, mandiri dan
bertanggung jawab. Seluruh proses
kemandirian tersebut terjadi di dalam
habitus sosial budaya tempat proses
pendidikan berlangsung. Proses
pendidikan sebagai proses menuju
kemandirian seorang pribadi berarti
merupakan suatu proses pembebasan
dari ketidakberdayaan manusia yang
memerlukan dialog dan hubungan
interpersonal
yang
berdasarkan
keputusan-keputusan etis di dalam
habitus lokal menuju kepada habitus
nasional dan global. Prinsip tersebut
teraplikasi dalam pembelajaran di

6

pesantren
sebagaimana
temuan
penelitian dari Uci Sanusi (2012)
mengungkapkan dalam penelitiannya
bahwa kemandirian santri yang
ditemukan di lapangan dimulai dari
perilaku pengelolaan kehidupan yang
sederhana,
misalnya
makan,
mencuci, dan sebagainya. Walaupun
sederhana, kalau dilakukan secara
berulang dan dijalani apa adanya,
akan
membuahkan
perilaku
kemandirian yang mantap. Ciri
minimal yang akan terbentuk adalah
pada urusan sederhana, santri tidak
mengandalkan orang lain. Ini
menjadi indikator penting dalam
kemandirian.
Beliau
juga
mengungkapkan bahwa kreativitas
santri sebagai indikator kemandirian
tidak ditemukan pada proses
pembelajaran
atau
pengajian.
Kreativitas muncul pada kegiatan di
luar pengajian, seperti membuat
kaligrafi untuk hiasan dinding dan
panggung pengajian ceramah umum.
Dalam teori kemandirian yang
dikembangkan Steinberg (1995)
istilah independence dan autonomy
sering disejajarartikan secara silih
berganti (interchangeable) sesuai
dengan konsep kedua istilah tersebut.
Meski secara umum kedua istilah
tersebut memiliki arti yang sama
yakni
kemandirian,
tetapi
sesungguhnya secara konseptual
kedua istilah tersebut berbeda.
Secara leksikal independence berarti
kemerdekaan
atau
kebebasan
(Kamus Inggris-Indonesia). Secara
konseptual independence mengacu

kepada kapasitas individu untuk
memperlakukan
diri
sendiri.
Steinberg
(1995
:
286)
menyatakannya
independence
generally refers to individuals’
capacity to behave on their own.
Berdasarkan konsep independence
ini Steinberg (1995) menjelaskan
bahwa anak yang sudah mencapai
independence
ia
mampu
menjalankan atau melakukan sendiri
aktivitas
hidup
terlepas
dari
pengaruh kontrol orang lain terutama
orang tua. Misalnya, ketika anak
ingin buang air kecil ia langsung
pergi ke toilet, tidak merengekrengek meminta dibantu buka celana
atau
minta
dicarikan
toilet.
Kemandirian yang mengarah kepada
konsep independence ini merupakan
bagian dari perkembangan autonomy
selama masa remaja, hanya saja
autonomy
mencakup
dimensi
emosional, behavioral, dan nilai.
Steinberg (1995 : 286) menegaskan
the growth of independence is surely
a part of becoming autonomous
during adolescence. Hanna Widjaja
(1986), mengemukakan tiga istilah
yang
bersepadanan
untuk
menunjukkan kemampuan berdikari
anak, yaitu autonomy, kompetensi,
dan
kemandirian.
Menurutnya,
kompetensi berarti kemampuan
untuk bersaing dengan individuindividu
lain
yang
normal.
Kompetensi juga menunjuk pada
suatu taraf mental yang cukup pada
individu untuk memikul tanggung
jawab atas tindakan-tindakannya.

7

Istilah autonomy seringkali disama
artikan
dengan
kemandirian,
sehingga
didefinisikan
bahwa
individu yang otonom ialah individu
yang mandiri, tidak mengandalkan
bantuan atau dukungan orang lain
yang kompeten, dan bebas bertindak.
Padahal dalam perspektif Hanna
Widjaja (1986) autonomy dan
kemandirian
adalah dua konsep
yang
berbeda.
Menurutnya,
kemandirian menunjuk pada adanya
kepercayaan akan kemampuan diri
untuk menyelesaikan persoalanpersoalan tanpa bantuan khusus dari
orang lain, keengganan untuk
dikontrol
orang
lain,
dapat
melakukan sendiri kegiatan-kegiatan,
dan menyelesaikan sendiri masalahmasalah yang dihadapi. Dengan
menggunakan istilah autonomy,
Steinberg(1995:285)mengonsepsikan
kemandirian sebagai self governing
person,
yakni
kemampuan
menguasai diri sendiri. Jika konsepkonsep di atas dicermati, maka
konsep
kemandirian
adalah
kemampuan
untuk
menguasai,
mengatur, atau mengelola diri
sendiri. Remaja yang memiliki
kemandirian
ditandai
oleh
kemampuannya
untuk
tidak
tergantung
secara
emosional
terhadap orang lain terutama orang
tua, mampu mengambil keputusan
secara mandiri dan konsekuen
terhadap keputusan tersebut, serta
kemampuan
menggunakan
(memiliki)
seperangkat
prinsip
tentang benar dan salah serta penting

dan tidak penting (Steinberg, 1995).
Kemampuannya
untuk
tidak
tergantung
secara
emosional
terhadap orang lain terutama orang
tua disebut kemandirian emosional
(emotional autonomy), kemampuan
mengambil keputusan secara mandiri
dan konsekuen terhadap keputusan
tersebut
disebut
kemandirian
behavioral (behavioral autonomy),
serta kemampuan untuk memaknai
seperangkat prinsip tentang benar
dan salah serta penting dan tidak
penting disebut kemandirian nilai
(values autonomy).
TEORI METAKOGNISI
Lebih lanjut, arah pembelajaran
secara mandiri yaitu sebagaimana
dijelaskan dalam teori metakognisi.
Penjelasan tentang metakognisi
dijelaskan di dalam Encyclopedia of
Educational
Technology.
Di
sebutkan di sana bahwa metakognisi
sebagai
konsep
pembelajaran
pertama kali diungkapkan oleh John
Flavell tahun 1976. Hal ini dapat
didefinisikan
dengan
istilah
sederhana yaitu "thinking about
thinking” atau berpikir tentang
berpikir. Bila kita menyadari,
sebenarnya
selama
beraktivitas
dalam keseharian setiap orang selalu
bekerja dengan metakognitifnya.
Kesadaran
akan
keberadaan
metakognisi
memungkinkan
seseorang berhasil sebagai pelajar,
dan hal itu berkaitan kecerdasan atau
inteligen. Mengetahui dan menyadari
bagaimana
kita
belajar
dan

8

mengetahui strategi kerja mana yang
terbaik adalah sebuah kecakapan
berharga
yang
membedakan
pebelajar ahli (expert learners) dari
pebelajar pemula (novice learners).
Dalam Encyclopedia of Educational
Technology juga dikutip pendapat
dari Ertmer dan Newby (1996)
berikut ini:
“Novice Learners don't stop
to
evaluate
their
comprehension
of
the
material. They generally
don't examine the quality of
their work or stop to make
revisions as they go along.
Satisfied with just scratching
the surface, novice learners
don't attempt to examine a
problem in depth. They don't
make connections or see the
relevance of the material in
their lives. Expert learners
are "more aware than
novices of when they need to
check for errors, why they
fail to comprehend, and how
they need to redirect their
efforts."
Ini berarti seorang siswa pemula
(novice learners) tidak terbiasa
mengevaluasi pengertian mereka
terhadap materi. Mereka biasanya
tidak menguji kualitas pekerjaan
mereka atau berhenti untuk membuat
perbaikan selama mereka bekerja.
Cukup
puas
hanya
dengan
membahas masalah di permukaannya

saja, novice learners tidak mencoba
untuk menguji masalah lebih dalam.
Mereka tidak membuat hubungan
atau melihat relevansi dari materi
dengan kehidupan nyata mereka.
Sedangkan siswa ahli (expert
learners)
lebih
peduli/sadar
dibandingkan
novices
learners,
dimana
mereka
selalu
butuh
mengecek setiap kesalahan yang
mungkin dibuat, bertanya mengapa
mereka
gagal
memperoleh
kemajuan/mendapatkan hasil, dan
bagaimana
mereka
butuh
mengalihkan tujuan dari usaha yang
telah dilakukan. Sehingga jika guru
mengharapkan
siswa
menjadi
seseorang yang ahli dalam suatu
bidang khususnya matematika maka
guru haruslah dapat melatihkan
kemampuan metakognisi tersebut.
Kedudukan
guru
dalam
meningkatkan
kemampuan
metakognitis
siswa
sangatlah
penting. Guru dapat bertindak
sebagai fasilitator yang memberikan
arahan dan bimbingan melalui
pertanyaan – pertanyaan yang
mengiring,
sehingga
siswa
menyadari akan kemampuan kognitif
yang dimilikinya.

PEMBAHASAN
Ditinjau dari teori-teori yang telah
diungkapkan sebelumnya, jelaslah
bahwa ekspektasi kepada seorang
peserta didik, adalah kemampuan
untuk belajar secara mandiri. Dalam

9

teori terbaru diistilahkan sebagai
metakognisi. Landasan teori tersebut
diperkuat dengan penelitian empiris
berikut ini yang berasal dari jurnal
pendidikan. Penelitian berikut ini
menunjukkan bahwa kemandirian
adalah
hal
penting
dalam
meningkatkan hasil belajar siswa.
Menurut
Ni
Nyoman
Lisna
Handayani, Nyoman Dantes, I
Wayan
Suastra
(2013)
juga
mendapatkan temuan serupa di
SMPN 3 Singaraja yaitu bahwa Ratarata kemandirian belajar siswa yang
mengikuti
model
pembelajaran
mandiri lebih tinggi dari pada siswa
yang
mengikuti
pembelajaran
konvensional.
Tahmid
Sabri
(2010)
dalam
penelitiannya menyarankan bahwa
guru di sekolah perlu membuat suatu
perencanaan, minimal dijadikan
materi sisipan yang betul- betul
diprogramkan
dalam
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
agar
upaya
pemupukan
atau
pengembangan kemandirian siswa
dalam belajar dapat terwujud untuk
dijadikan modal dasar bagi anak
menghadapi
masa
dewasanya
sebagai manusia yang mandiri,
handal, aktif dan kreatif serta mampu
memecahkan berbagai persoalan
kehidupan menuju hidup yang
sejehtera secara berkesinambungan
baik lahir maupun batin, yang intinya
kesemua ini modal dasarnya adalah
kemandirian yang dimiliki oleh anak
atau individu yang dibina dan

dikembangkan sejak usia dini melalui
pendidikan sesuai jenjangnya, TK,
SD, SLTP, SLTA dan Perguruan
Tinggi yang merupakan refleksi dari
pengembangan
empat
pilar
pendidikan, yaitu: Learning to know/
penguasaan pengetahuan; Learning to
do/
penguasaan
keterampilan;
Learning to be/ pengembangan diri;
dan learning to live together/belajar
untuk hidup bermasyarakat.
Cara yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kemandirian siswa
misalnya
sebagaimana
yang
ditemukan oleh Supriyati (tanpa
tahun) yaitu dengan cara layanan
bimbingan klasikal. Ia mengatakan
bahwa:
Penggunaan
layanan
bimbingan klasikal dapat digunakan
untuk meningkatkan kemandirian
belajar siswa dalam mencari
alternative solusi atas persoalan yang
dihadapi individu dan kelompok.
Cara lain adalah dengan Lesson
Study. Nudji, DA (2014) dalam
penelitiannya menemukan bahwa
Kemandirian belajar mahasiswa
Program Studi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) dapat
ditingkatkan melalui Lesson Study.
Peningkatan terlihat dari hasil
pengamatan
berbagai
aktifitas
mahasiswa dalam perkuliahan yang
meliputi mempelajari materi yang
akan dipelajari dengan sendirinya,
bertanya kepada dosen bila merasa
kesulitan dan menjawab pertanyaan
dosen, berdiskusi dengan kelompok,
menanggapi dan bertanya saat

10

presentasi. Perlu adanya perluasan
cakupan mata kuliah dengan
menggunakan pembelajaran Lesson
Study
dengan
harapan
akan
berimplikasi kepada kemandirian
belajar
mahasiswa
serta
profesionalisme dosen.
Model lain adalah sebagaimana yang
ditemukan oleh Sehatta Saragih
(tanpa tahun) dalam penelitiannya
yang berjudul
Application of
Generative Learning in Cooperative
Settings TPS Type on Learning Areas
and Space Analitic Geometry, Ia
melakukan
metode
penerapan
pembelajaran
Generatif
dalam
Setting Kooperatif tipe Think Pair
Share (GSKTPS). Ia mendapatkan
bahwa
Penerapan
model
pembelajaran GSKTSP memungkin
kan berkembangnya kemampuan
berpikir
tingkat
tinggi
dan
kemandirian belajar mahasiswa,
maka strategi pembelajaran ini dapat
dijadikan
sebagai
alternative
pembelajaran
yang mendukung
tercapainya tujuan pembelajaran
matematika.
Temuan dari Catherine Manathunga
dan Justine Gooze (2007) juga
mengungkapkan cara meningkatkan
kemandirian siswa yaitu dengan cara
mengembangkan critical analysis
dan keterampilan menulis, kemudian
siswa diminta mengoreksi pekerjaan
teman lainnya, namun dalam
mengerjakan tugas tersebut, tetap
dalam bimbingan guru sehingga
peserta didik dapat terlibat secara

produktif dan belajar tentang banyak
hal
terkait
memberikan
dan
menerima umpan balik.
Di dalam penelitiannya, Nurwahyuni
(2013) menegaskan pentingnya peran
orang tua untuk memberikan
kontribusi bagi kemandirian belajar
siswa. Ia mengungkapkan bahwa
salah satu faktor yang dapat
memberikan kontribusi terhadap
kemandirian belajar siswa adalah
konsep diri dan pola asuh orang tua.
Maka sepatutnyalah staf pendidik
dan pemegang kebijakan dalam
mengembangkan
potensi
siswa
terkait
dengan
peningkatan
kemandirian belajarnya harus banyak
memberikan pendidikan yang berupa
pendidikan karakter yang dapat
menumbuhkan kemandirian belajar
siswa terutama siswa SMP yang ada
di Palu Sulawesi Tengah. Begitu
pula halnya orang tua, perlu disadari
bahwa
cara
mendidik
dan
memperlakukan anak di tengahtengah
keluarga
sangatlah
mempengaruhi kemandirian belajar
anak sehingga selayaknyalah bagi
orang
tua
mendidik
dan
memperlakukan anak secara tepat
sesuai dengan karakter dan kondisi
anak tersebut.
Peter Serdyukov (2013) menyarankan dalam penelitiannya bahwa
pihak sekolah atau universitas
seharusnya menerapkan kebijakan
yang
dapat
meningkatkan
kemandirian peserta didik, sementara
pendidik harus menciptakan kondisi

11

yang dapat memungkinkan siswa
bekerja secara mandiri. Bahkan
meskipun beliau mengutip bahwa
pendidikan telah bertransformasi
menjadi sharing pengetahuan yang
dimediasi oleh teknologi dan bahwa
pendidikan adalah sebagai kendaraan
bagi knowledge society (lingkungan
pengetahuan) (Harasim, 2012; Bates
& Sangra, 2010; Scardamalia &
Bereiter, 2006; Jonassen, 1996;
Moore & Kearsley, 1996 dalam
Serdyukov, 2013), namun temuan
beliau menunjukkan bahwa dua
pertiga dari peserta didik lebih
memilih kelas yang terorganisir
dibandingkan kelas yang diberi
kebebasan dalam belajar.
SIMPULAN
Pendidikan dalam era teknologi saat
ini telah bertransformasi menjadi
sharing pengetahuan yang dimediasi
oleh teknologi dan bahwa pendidikan
adalah sebagai kendaraan bagi
sebuah lingkungan pengetahuan yang
mendunia, maka sebagai pendidik,
kita
perlu
menyiapkan
dan
memberikan kesempatan seluasnya
bagi
terwujudnya
kemandirian
peserta
didik
dalam
kelas.
Kemandirian
tidak
berarti
melepaskan siswa begitu saja, namun
dengan menciptakan kelas yang
terorganisir dengan baik agar
mencapai hasil yang optimal. Untuk
mencapai tujuan tersebut, bukan
hanya peran dari pendidik, tetapi
juga orang tua dan lembaga
pendidikan. Bagaimana peran orang

tua
dalam
meningkatkan
kemandirian bagi putra putrinya.
Sementara lembaga pendidikan baik
itu
Sekolah
atau
Universitas
selayaknya memberikan fasilitas
yang mendorong siswa bekerja
secara mandiri.
Di sisi lain, rumusan kemandirian
siswa dari Bapak Pendidikan
Indonesia Ki Hajar Dewantara masih
tetap relevan yaitu bahwa pengaruh
pengajaran
itu
umumnya
memerdekakan
manusia
atas
hidupnya lahir, sedangkan hidup
batin itu terdapat dari pendidikan.
Manusia merdeka yaitu manusia
yang hidupnya lahir atau batin
tidak tergantung pada orang lain
akan tetapi berdasar atas kekuatan
sendiri. Singkatnya ekspektasi proses
pembelajaran adalah tercapainya
kemandirian siswa. Kemandirian
siswa adalah hasil akhir dari sebuah
proses pembelajaran. Proses awalnya
adalah
sebagaimana
yang
diungkapkan dalam teori belajar
konstruktivisme yaitu bahwa siswa
harus
membangun
sendiri
pengetahuan dalam benaknya. Hal
tersebut
dapat
tercapai
jika
dilaksanakan dengan memperhatikan
teori perkembangan kognitif dari
Piaget, yaitu dengan tahapan
asimilasi, akomodasi dan equilibrasi.
Selanjutnya konsep kemandirian
diungkapkan dengan lebih mendalam
oleh Steinberg (1995) yaitu bahwa
memerdekakan
manusia
atas
hidupnya lahir, sedangkan hidup
batin itu terdapat dari pendidikan.

12

Manusia merdeka yaitu manusia
yang hidupnya lahir atau batin
tidak tergantung pada orang lain
akan tetapi berdasar atas kekuatan
sendiri. Pada teori yang terkini, yaitu
metakognisi yang dikemukakan
pertama kali oleh John Flavell tahun
1976, ekspektasi kemandirian lebih
terdefinisi yaitu metakognisi adalah
berpikir tentang berpikir.
Secara aplikasi, penelitian-penelitian
tentang kemandirian selanjutnya
mengungkapkan bahwa kemandirian
dalam peserta didik memberikan
hasil yang baik dalam tercapainya
proses pembelajaran di kelas.

DAFTAR PUSTAKA
Aini,

DA,

Prastistya Nor., Taman,
Abdullah. 2012. Pengaruh
Kemandirian
Belajar
dan
Lingkungan Belajar Siswa
terhadap
Prestasi
Belajar
Akuntansi Siswa Kelas XI IPS
SMA Negeri 1 Sewon Bantul
Tahun Ajaran 2010/2011.
Jurnal Pendidikan Akuntansi
Indonesia, Vol. X, No. 1,
Tahun 2012 halaman 48-65.
Nudji.
2014.
Upaya
Meningkatkan
Kemandirian
Belajar Mahasiswa PPKN
Melalui Pembelajaran Lesson
Study.
Jurnal
Heritage
Volume 2 Nomor 2. Januari
2014 Program Studi Ilmu
Komunikasi UYP.

Encyclopedia of Educational
Technology. Metacognition.
[Online]. Tersedia:
http://www.cordonline.net/mnt
utorial2/module_4/Reading%2
04-1%20metacognition.pdf.
[16 Mei 2015].
Handayani, Ni Nyoman., Dantes,
Nyoman., Suastra, I Wayan.
2013.
Pengaruh
Model
Pembelajaran Mandiri terhadap
Kemandirian
Belajar
dan
Prestasi Belajar IPA Siswa
Kelas VIII SMPN 3 Singaraja.
e-Journal
Program
Pascasarjana
Universitas
Pendidikan Ganesha Jurusan
Pendidikan Dasar Volume 3
Tahun 2013.
Livingston, J., (1997).
Metacognition: An overview.
[Online]. Tersedia:
http://www.gse.buffalo.edu/fa
s/shuell/cep564/Metacog.htm.
[16 May 2015]
Manathunga, Catherine., Gooze,
Justine. 2007. Challenging the
dual assumption of the
‘always/already’ autonomous
student
and
effective
supervisor. Teaching in Higher
Education Vol. 12, No. 3, June
2007, pp. 309_322
Nurwahyuni.
2013.
Pengaruh
Konsep Diri Siswa dan Pola
Asuh Orang Tua Terhadap
Kemandirian Belajar Siswa
SMP Di Palu Sulawesi Tengah.
Tri Sentra Jurnal Ilmu
Pendidikan Vol.2 Edisi 4 JuliDesember 2013.

13

Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma
Baru Pembelajaran Sebagai
Reformasi
Bagi
Guru
Implementasi
Pembelajaran
yang Efektif dan Berkualitas.
Jakarta: Kencana.
Ruben Moruk de Laktutus. 2011. Ki
Hajar Dewantara: Tokoh
Pendidikan
Nasional.
https://sekolahmerdeka.wordpr
ess.com/2014/03/31/ki-hajardewantara/ diakses tanggal 2
Mei 2015.
Sabri, Tahmid. 2010. Memupuk
Kemandirian sebagai Strategi
Pengembangan
Kepribadian
Individu Siswa dalam Belajar.
Jurnal Pendidikan Sosiologi
Dan Humaniora Vol. 1. No. 1.
April 2010.
Sanusi Uci. 2012. Pendidikan
Kemandirian
di
Pondok
Pesantren (Studi Mengenai
Realitas Kemandirian Santri di
Pondok Pesantren al-Istiqlal
Cianjur dan Pondok Pesantren
Bahrul Ulum Tasikmalaya).
Jurnal Pendidikan Agama
Islam -Ta’lim Vol. 10 No. 2 2012
Saragih, Sehatta. Tanpa tahun.
Application of Generative
Learning
in
Cooperative
Settings TPS Type on Learning
Areas and Space Analitic
Geometry. Jurnal Pendidikan
Matematika PARADIKMA, Vol
6 Nomor 1, hal 27-48.
Schunk, Dale.H. (terjemahan Eva
Hamdiah dan Rahmat Fajar).
2012. Learning Theories. Edisi
Keenam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Serdyukov, Peter. 2013. Flying with
Clipped Wings: Are Students
Independent in Online College
Classes? Journal of Research
in
Innovative
Teaching
Volume 6, Issue 1, March
2013.
Supriyati. Tanpa tahun. Upaya
Meningkatkan
Kemandirian
Belajar Siswa Melalui Layanan
Bimbingan Klasikal. JURNAL
ILMIAH
PENDIDIKAN
BIMBINGAN
DAN
KONSELING
Steinberg,
Laurence.
1995.
Adolescense. Sanfrancisco :
McGraw-Hill Inc.
Tahar, Irsan., Enceng. 2006.
Hubungan
Kemandirian
Belajar dan Hasil Belajar pada
Pendidikan Jarak Jauh. Jurnal
Pendidikan Terbuka dan Jarak
Jauh, Volume. 7, Nomor 2,
September 2006, 91-101
Widjaja, Hanna. 1986. Hubungan
Antara Asuhan Anak dan
Ketergantungan Kemandirian.
(Disertasi).
Bandung:
Universitas Padjadjaran