EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PENDEKATAN PROGRAMMATIC DENGAN PENDEKATAN MOVEMENT DALAM PENYEDIAAN AKSES LAYANAN PENDIDIKAN

EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PENDEKATAN PROGRAMMATIC DENGAN
PENDEKATAN MOVEMENT DALAM PENYEDIAAN AKSES LAYANAN
PENDIDIKAN

SKRIPSI

Oleh:
Beta Pujangga Mukti
NPM: 20120720207

FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PENDEKATAN PROGRAMMATIC DENGAN
PENDEKATAN MOVEMENT DALAM PENYEDIAAN AKSES LAYANAN
PENDIDIKAN

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh

gelar sarjana Pendidikan (S. Pd) strata Satu
pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh:
Beta Pujangga Mukti
NPM: 20120720207

FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
i

ii

MOTTO
Navigasi Itu Pendidikan
Jauh sudah negeri ini melangkah

Berjalan rintih tak tentu arah
Panggung globalisasi yang kian tumpah
Kian menjebak diri dalam identitas sampah

Asa tuk melangkah kian hari kian pesimis
Tersungkur dalam lingkar eksperimen borjuis
Hingga terbuai dalam blantika hedonis

Pluralitas kini tak bermakna bhineka
Sang burung Garuda hanya menjadi pajangan bak boneka
Akibat gradasi dari trias politika
Tanpa memikirkan arti dari republika

Para oportunis yang picisan
Menari-nari dalam tarian penderitaan
Menipu manis dalam retorika kebijakan
Tuk meredam teriak suara kekritisan

Lantas pertanyaannya adalah
Siapakah kunci pembuka borgol ini?

Siapakah tisu pembersih noda bangsa ini?
Siapakah korektor identitas negeri ini?
Siapakah navigasi penentu arah bangsa ini?
Jawabannya hanya ada satu kata, Pendidikan….
iii

PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan teruntuk:
Ayah dan bunda saya yang tak pernah henti-hentinya mendoakan anaknya dalam
setiap munajahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan karya sederhana ini
dengan diberikan kemudahan dan kelancaran oleh Allah SWT.
Kakak dan adik saya yang selalu mendoakan dan memberikan semangat.
Guru-guru kehidupan saya di SMA Darul Ikhsan Muhammadiyah Sragen, yang
telah memberikan banyak inspirasi bagi saya untuk terus berjuang.
Serta almamater tempat saya menuliskan mimpi-mimpi dan belajar arti tentang
kehidupan, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta.

iv

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL……………………………………………………………i
HALAMAN NOTA DINAS……………………………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………..iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN…………………………………….iv
HALAMAN MOTO……………………………………………………………. v
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………….. vi
KATA PENGANTAR………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………... ix
ABSTRAK…………………………………………………………………….. x
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.

Latar Belakang Masalah…………………………………………………1
Rumusan Masalah………………………………………………………..5
Tujuan dan Kegunaan……………………………………………………6
Sistematika Pembahasan…………………………………………………7


BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………9
B. Kerangka Teori…………………………………………………………...13
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian…………………………………………………………...35
B. Metode Pengumpulan Data……………………………………………....35
C. Analisis Data……………………………………………………………..37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.

Akses Layanan Pendidikan Di Indonesia………………………………..38
Pengertian Kebijakan Pendekatan Programmatic………………………..43
Pengertian Kebijakan Pendekatan Movement……………………………49
Keunggulan dan Kekurangan Antara Kebijakan Programmatic Dengan
Kebijakan Movement………………………………………………………….60
v


E. Hasil Perbandingan Efektifitas Antara Kebijakan Programmatic Dengan
Kebijakan Movement……………………………………………………...65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………...63
B. Saran…………………………………………………………………….65
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..74
LAMPIRAN-LAMPIRAN

vi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas kebijakan pendekatan
programmatic dengan pendekatan movement dalam akses layanan pendidikan. Meliputi,
apa saja akses layanan pendidikan di Indonesia, pengertian kebijakan programmatic,
pengertian kebijakan movement, keunggulan dan kekurangan kebijakan programmatic
dan movement, dan terakhir untuk mengetahui mana yang lebih efektif di antara kedua
kebijakan tersebut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian library research (penelitian pustaka) dengan

manggunakan pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif analitik. Peneliti
mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan dari berbagai literatur buku, atau bahan-bahan
dari sumber lain yang mendukung dengan objek penelitian. Dari sumber-sumber yang
sudah dikumpulkan, bahan-bahan tersebut dianalisis dan diinterpretasi secara kritis
kemudian disajikan secara lebih sistematik dan menambahkan penjelasan-penjelasan
yang berhubungan, sehingga dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Hal ini
dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh dan benar mengenai objek yang
diteliti.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pendekatan movement
lebih efektif dalam menyelesaikan masalah pendidikan, khususnya dalam akses layanan
pendidikan. Tanpa mengesampingkan pendekatan programmatic, karena model
pendekatan ini juga memiliki kelebihan. Namun peneliti menyimpulkan, kedua
pendekatan ini harus berjalan beriringan, satu sama lain saling mekengkapi dengan
kelebihan masing-masing. Dalam hal ini adalah pemerintah dan masyarakat, dalam
rangka menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia, khususnya dalam akses layanan
pendidikan. Dewasa ini, isu desentralisasi dan demokratisasi harus direalisasikan.
Pemerintah perlu memberikan ruang yang cukup bagi masyarakaat untuk berkontribusi
bagi bangsanya, dalam dunia pendidikan.

Key-Word: Programmatic, Movement, dan Akses Layanan Pendidikan


x

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan topik utama dalam kehidupan sehari-hari yang senantiasa
selalu aktual untuk dibicarakan, serta dituntut untuk selalu relevan dengan kontinuitas
dinamika kehidupan masyarakat. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses
pembangunan yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Sedangkan manusia yang berkualitas itu sendiri dapat dilihat dari segi
pendidikannya (Hamalik, 2014: 1).
Berangkat dari keyakinan bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusia, maka peranan sistem pendidikan nasional dalam kehidupan
suatu bangsa menjadi sangat dominan. Oleh sebab itu, pendidikan nasional harus
selalu ditata agar benar-benar dapat menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya
manusia yang berkualitas (Wahjoetomo, 1993: 6).
Sekolah merupakan salah satu

wahana


yang dijadikan tempat untuk

mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dari sekolah akan
melahirkan manusia-manusia yang terdidik, karena semakin tinggi pendidikan
seseorang maka akan semakin mengantarkannya kepada peluang yang akan merubah
kehidupannya menjadi lebih baik kedepannya.
Sekolah yang diharapkan merupakan sekolah yang unggul, baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya. Ketika sekolah tersebut dilihat dari segi kualitasnya unggul,
infrastruktur bangunannya bagus, fasilitas sekolahan yang memadai, serta para tenaga
pengajar yang kompeten di bidangnya, maka akan tercetak anak-anak didik yang
unggul dan berkualitas. Begitu juga ketika dilihat dari segi kuantitasnya, semakin
1

2

banyak jumlah sekolahan yang tersedia, maka akan semakin banyak pula anak-anak
usia sekolah yang tertampung dan mempunyai akses untuk melanjutkan sekolah,
mengenyam pendidikan, dan merasakan duduk di bangku sekolahan.
Sudah banyak saat ini lembaga-lembaga yang dibentuk untuk ikut membantu

pemerintah dalam menangani masalah-masalah pendidikan yang ada di Indonesia.
Sebut saja misalkan, Indonesia Mengajar, Indonesia Menyala, Kelas Inspirasi, Tunas,
Sekolah Gajah Wong, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dari
semangat gerakan atau lebih menerapkan kebijakan Movement. Sehingga pegiat dan
para aktivis pendidikan memiliki rasa peduli terhadap pendidikan di Indonesia. Semua
lambaga tersebut memiliki visi dan misi yang sama, yaitu ikut andil dalam
menuntaskan berbagai masalah pendidikan di Indonesia, terutama pada sumber daya
manusianya.
Namun kenyataannya, saat ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia lebih cenderung
menggunakan pendekatan program (programmatic), yaitu menekankan bahwa seluruh
masalah pendidikan di Indonesia diselesaikan oleh pemerintah. Sedangkan lembagalembaga swasta yang ingin membantu dalam bidang pendidikan kurang diberikan
ruang yang cukup oleh pemerintah untuk ikut dalam menyelesaikan masalah
pendidikan di Indonesia (Baswedan, 2013).
Di samping itu pemerintah juga kurang memberikan perhatian atau respon kepada
lembaga-lembaga swasta tersebut. Baik berupa fasilitas infrastruktur hingga tunjangan
yang layak bagi mereka yang sudah siap mengabdi di daerah-daerah terpencil bahkan
pelosok untuk menjadi pengajar atau guru. Mereka terjun di tempat-tempat yang masih

3


jauh dari layak untuk akses pendidikannya. Jumlah sekolah yang minim dan guru yang
masih sangat kurang.
Ketika pemerintah masih menerapkan kebijakan program (programmatic) dalam
menuntaskan masalah pendidikan di Indonesia, maka dampaknya adalah akan semakin
banyak masalah pendidikan di Indonesia yang tidak terselesaikan dengan tuntas.
Karena rasa kepemilikan (ownership) terhadap masalah pendidikan di Indonesia
sangat rendah (Baswedan, 2013).
Dalam bidang politik, kita lihat telah dimatikannya kehidupan demokrasi.
Demokrasi yang menjamin pluralitas atau kemajemukan kehidupan berbangsa dan
bernegara, yang mengakui keunikan kemajemukan dan perbedaan pendapat telah
dimatikan sedemikian rupa. Dengan demikian, kehidupan bersama berdasarkan dialog
dan tukar pikiran telah dikubur, sehingga usaha untuk memecahkan persoalan bersama
telah diganti dengan cara-cara pemaksaan melalui berbagai instruksi atau peraturan
dari penguasa. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam menentukan berbagai
kebijakan baik di dalam kehidupan bersama maupun di dalam pemerintahan semakin
lama semakin sempit. Masyarakat menjadi apatis, tidak kreatif dan inovatif, selalu
menunggu petunjuk, serba juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis),
dan berfikir procedural (Hasbullah, 2007: 12-13).
Hal yang lebih memprihatinkan, jumlah sekolah di Indonesia saat ini masih sangat
minim. Berikut jumlah sekolah di Indonesia menurut jenjang dan statusnya pada tahun
2010.

4

Jumlah Sekolah Di Indonesia Tahun 2010.
No

Jenjang Pendidikan

Negeri

Swasta

Jumlah

1.616

65.934

67.550

1

Taman Kanak-kanak

2

Sekolah Dasar

130.563

12.080

143.252

3

SMP

17.714

12.152

29.816

4

SMA

4.707

5.965

10.762

5

SMK

2.003

5.589

7.502

156.683

107.720

258.882

Jumlah Sekolah

Sumber: Statistik Pendidikan Kemendiknas, 2010
Pada tahun 2013, jumlah SD mencapai 169 ribu, untuk SMP mencapai 39 ribu,
sedangkan SMA mencapai 26 ribu (Kemdikbud, 2013). Secara statistik, jumlah
sekolah yang ada di Indonesia dari tingkat dasar hingga mennengah atas, mengalami
kenaikan. Namun, dengan jumlah SD yang tidak seimbang dengan jumlah SMP dan
SMA, maka akan banyak anak yang terancam tidak sekolah atau tidak mendapat akses
layanan pendidikan di Indonesia. Karena jumlah sekolah yang tidak sebanding.
Hal tersebut ditambah dengan jumlah anak sekolah yang duduk di bangku kelas 1
SD saat ini berjumlah 5,6 juta, sedangkan jumlah anak yang lulus dari bangku SMA
hanya 2,3 juta (Kemdikbud, 2013). Dari jumlah data tersebut, ada sekitar 3,3 juta
anak tidak melanjutkan pendidikan atau dengan kata lain mereka tidak cukup
mendapatkan akses layanan pendidikan. Padahal Indonesia disebut-sebut memiliki
jumlah bonus demografi tinggi, jumlah anak usia produktif banyak namun tidak
terdidik dan tidak mendapat cukup akses layanan pendidikan.

5

Masalah yang lain adalah faktor ketidakadilan yang berdampak terhadap
rendahnya mutu pendidikan. Terjadinya berbagai gejala ketidakadilan dalam
pelayanan pendidikan dapat dijelaskan oleh teori “dual system” (Windham, 1990).
Masyarakat seolah terpilah menjadi dua segmen yang terpisah, yaitu segmen miskin
(disadvantages) dan segmen kaya (advantages). Yang kaya mendapatkan berbagai
kemudahan dalam akses pendidikan, sedangkan yang miskin semakin tertinggal
karena kurangnya fasilitas dan akses layanan pendidikan (Suryadi, 2014: 119).
Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan. Mengingat
permasalahan pendidikan di Indonesia yang semakin hari semakin komleks dan butuh
penanganan yang tepat. Salah satunya adalah dengan mengambil kebijakan yang
sesuai dan yang paling dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah pendidikan di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa saja akses layanan pendidikan di Indonesia?
2. Apa yang dimaksud dengan kebijakan pendekatan program (programmatic)?
3. Apa yang dimaksud dengan kebijakan pendekatan gerakan (movement)?
4. Apa keunggulan dan kekurangan antara kebijakan pendekatan program
(programmatic) dengan kebijakan pendekatan gerakan (movement)?
5. Bagaimana hasil perbandingan efektifitas antara kebijakan pendekatan
program (programmatic) dengan kebijakan pendekatan gerakan (movement)
dalam penyediaan akses layanan pendidikan?

6

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Ingin mengkaji apa saja akses layanan pendidikan di Indonesia.
2. Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijakan pendekatan
program (programmatic).
3. Ingin memahami apa yang dimaksud dengan kebijakan pendekatan
gerakan (movement).
4. Ingin menganalisis apa keunggulan dan kekurangan antara kebijakan
pendekatan program (programmatic) dengan kebijakan pendekatan
gerakan (movement).
5. Ingin mengidentifikasi mana yang lebih efektif antara kebijakan
pendekatan program (programmatic) dengan kebijakan pendekatan
gerakan (movement) dalam penyediaan akses layanan pendidikan.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi khazanah
keilmuan sebagai wacana baru dalam bidang kebijakan, khususnya
kebijakan pendidikan.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan salah satu solusi terhadap
problematika pendidikan di Indonesia.

7

2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan pemerintah dalam hal ini adalah kementerian
pendidikan dan kebudayaan dapat mengambil kebijakan yang sesuai dan
lebih dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia.
b. Diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi para pemangku kebijakan
dalam menjalankan tugasnya. Agar apa yang diputuskan dapat
memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kebijakan
dalam bidang pendidikan.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran umum mengenai susunan skripsi ini, maka
perlu dikemukakan sistematika pembahasan yang berisi antar bagian atau antar
bab. Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari V bab:
Bab I berisi tentang pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II memuat uraian tentang tinjauan pustaka dan kerangka teori yang
relevan dan terkait dengan tema skripsi.
Bab III berisi metode penelitian yang digunakan oleh peneliti beserta
alasannya, jenis penelitian, metode pengumpulan data, dan analisis data yang
digunakan peneliti.
Bab

IV

menjelaskan

tentang

efektifitas

kebijakan

pendekatan

programmatic dengan pendekatan movement dalam penyediaan akses layanan
pendidikan.

8

Bab V merupakan bab terakhir atau penutup yang meliputi kesimpulan,
saran-saran, dan rekomendasi-rekomendasi

dari peneliti

baik

kepada

pemerintah dalam hal ini adalah kementerian pendidikan maupun kepada
lembaga-lembaga sumber daya masyarakat yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Peneliti mengkaji beberapa penelitian sebelumnya dengan maksud untuk
mendukung penulisan yang lebih komprehensif. Maka peneliti berusaha
melakukan kajian awal terhadap pustaka atau karya-karya yang mempunyai
relevansi dengan topik yang ingin diteliti. Peneliti sudah berusaha melakukan
kajian pustaka di perpustakaan internal UMY, namun karena keterbatasan bahan
yang peneliti dapat, sehingga peneliti hanya dapat melakukan beberapa kajian
pustaka saja, selebihnya peneliti melakukan kajian pustaka di perpustakaan luar
UMY. Adapun penelitian yang pernah peneliti dapatkan berkaitan dengan topik
yang diteliti khususnya tentang kebijakan pendidikan adalah:
Pertama penelitian Agung Subekti (2006), dengan judul “Implementasi
Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2005”, penelitian ini menggunakan
metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini ingin menjelaskan bahwa
sejauh

mana

keberhasilan

pemerintah

kabupaten

Kulon

Progo

dalam

mengimplementasikan kebijakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
Badan Kepegawaian Daerah, sekaligus membahas faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di
kabupaten Kulon Progo. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa
banyak pegawai yang masih bingung dalam melaksanakan kinerjanya. Untuk itu
Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kulon Progo melaksanakan pendidikan

9

10
dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme yang dapat meningkatkan
kualitas pelayanan pada masyarakat.
Dari hasil penelitian di atas, berbeda dengan apa yang diteliti oleh peneliti.
Penelitian oleh Agung Subekti lebih kepada kebijakan pendidikan bagi para guru
untuk meningkatkan profesionalisme dalam peningkatan kualitas pelayanan
kepada masyarakat. Sedangkan penelitian ini lebih kepada kebijakan pemerintah
bagi ketersediaan akses layanan pendidikan di seluruh penjuru negeri.
Kedua penelitian Supardi (2012), dengan judul “Arah Pendidikan Di
Indonesia Dalam Tataran Kebijakan dan Implementasi”, penelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif analitik. penelitian ini ingin
menjelaskan bahwa ada

beberapa

permasalahan

yang

muncul

terkait

pendidikan. Pendidikan tidak sama dengan pengajaran. Pendidikan merupakan
usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, terpola, dan dapat dievaluasi
yang dilakukan oleh pendidik untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi
yang ada dalam peserta didik.
Arah pendidikan bangsa dalam tataran kebijakan diselenggarakan
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilandasi keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia. Arah pendidikan bangsa ditujukan untuk
menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki karakter:
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Masa Esa, berakhlak mulia,
sehat,

berilmu,

cakap,

kreatif,

mandiri, menjadi

warga

Negara

yang

demokratis, dan bertanggung jawab. Dalam tataran praktek, pelaksanaan
pendidikan belum terimplementasikan secara benar sesuai dengan arah

11
kebijakan pendidikan. Praktek pendidikan pada semua jenjang, termasuk
pada jenjang PAUD dan SD masih lebih menekankan pada aspek pengajaran
untuk mencerdaskan intelektual dalam mengasah potensi kognitif semata, dan
sangat kurang memperhatikan pendidikan moral/budi pekerti. Untuk itu, perlu
ada koreksi terhadap proses pelaksanaan pendidikan untuk mencapai arah
kebijakan pendidikan yang menghasilkan kualitas sumber daya manusia unggul,
bertakwa dan berakhlak mulia.
Penelitian oleh Supardi ingin mengukur sejauh mana keberhasilan
pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan implementasi dalam bidang
pendidikan. Sedangkan penelitian ini ingin mengukur sejauh mana perhatian dan
keberhasilan pemerintah dalam menyediakan akses layanan pendidikan.
Ketiga penelitian Kholil (2013), dengan judul “Menakar Kualitas
Pendidikan”, penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitik.
dalam opininya, Kholil ingin menyampaikan bahwa peran perguruan tinggi sangat
diperlukan untuk mengimbangi laju derasnya arus globalisasi yang semakin tak
terbendung. Masyarakat dan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung
harus terlibat dengan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang. Karena
kualitas pendidikan suatu Negara dapat dilihat dari aspek kemampuan di bidang
ilmu pengetahuannya.
Penelitian oleh Kholil lebih menekankan peran perguruan tinggi untuk
ikut andil dalam mengimbangi arus globalisasi yang semakin maju dan tak
terbendung. Peran perguruan tinggi sangat penting dalam meningkatkan kualitas
ilmu pengetahuan masyarakat. Sedangkan penelitian ini lebih bicara tentang peran

12
pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan khususnya dalam
aspek pemerataan layanan akses pendidikan.
Keempat penelitian Joni Wirawan (2014), dengan judul “Evaluasi
Kebijakan Pendidikan Penyaluran Bantuan Operasional Sekolah Di Kota
Yogyakarta Tahun 2012”, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
evaluasi program BOS yang diberikan wewenang kepada Dinas Pendidikan Kota
Yogyakarta pada tahun 2012. Hal ini dikarenakan pada tahun 2012 BOS
mengalami peningkatan jumlah anggaran. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode kualitatif dan kuantitatif (Mixed Method) dengan menggunakan
sumber data primer dan skunder dan unit analisanya adalah Dinas Pendidikan
Kota Yogyakarta, SD N Demangan dan SMP N 1 Kota Yogyakarta. Dari hasil
penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa dana BOS meringankan biaya sekolah
siswa dan cukup untuk pembiayaan yang bersifat standar. Dana BOS belum
menyentuh secara signifikan untuk peningkatan kualitas dan mutu karena dana
belum mencukupi.
Penelitian oleh Joni Wirawan lebih menekankan kepada kebijakan
pemerintah dalam penyaluran dana BOS di beberapa daerah khususnya
Yogyakarta. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan kepada kebijakan
pendidikan untuk memenuhi kekurangan jumlah sekolah yang ada di pelosokpelosok negeri.
Dari beberapa karya ilmiah di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
penelitian yang berjudul “Efektifitas Kebijakan Pendekatan Programmatic
Dengan Pendekatan Movement Dalam Penyediaan Akses Layanan Pendidikan”

13
belum ada yang meneliti dengan judul yang serupa. Penelitian ini dimaksudkan
untuk mengukur sejauh mana efektifitas kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah melalui pendekatan program (programmatic) dengan yang dilakukan
oleh Lembaga Sumber Daya Masyarakat

melalui pendekatan gerakan

(movement). Dua pendekatan ini sudah sama-sama berjalan dalam menuntaskan
permasalahan pendidikan di Indonesia. Dari penelitian ini diharapkan bisa
mendapatkan sesuatu yang berguna bagi bangsa Indonesia terutama dalam dunia
pendidikan.
B. Kerangka Teoritik
1. Efektivitas
a. Pengertian Efektivitas
Kamus

ilmiah

popular

mendefinisikan

efektivitas

sebagai

ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Efektivitas
merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah
ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut
efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah
ditentukan. Menurut Mardiasmo “Efektivitas adalah ukuran berhasil
tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya”. Apabila suatu organisasi
berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah
berjalan dengan efektif. Efektivitas adalah mengukur hubungan antara
hasil pungutan suatu pajak dengan potensi pajak itu sendiri (Mardiasmo,
2004: 134).

14
Dalam bahasa dan kalimat yang mudah hal tersebut dapat
dijelaskan bahwa: efektivitas dari kelompok (organisasi perusahaan)
adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan
kebutuhan yang direncanakan. Sedangkan efisien berkaitan dengan jumlah
pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan. Bila
pengorbanannya dianggap terlalu besar, maka dapaat dikatakan tidak
efisien. Peter F. Drucker dalam Moenir (2000: 166) menyatakan:
effectiveness, doing the right things is more important than doing the
things right. Selanjutnya dijelaskan bahwa: “Effectiveness is to do the
right things: while efficiency is to do the things right” (efektivitas adalah
melakukan hal yang benar: sedangkan efisiensi adalah melakukan hal
secara benar. Atau juga “Effectiveness means how far we achieve the goal
and efficiency means how do we mix various resources properly”
(efektivitas berarti sejauhmana kita mencapai sasaran dan efisien berarti
bagaimana kita mencampur sumber daya secara cermat) (Moenir, 2000:
166).
Selanjutnya Steers (1985: 87) mengemukakan bahwa: “Efektivitas
adalah jangkauan usaha suatu program sebagai suatu sistem dengan
sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya
tanpa melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa memberi
tekanan yang tidak wajar terhadap pelaksanaannya”. Dari beberapa
pendapat di atas mengenai efektivitas, dapat disimpulkan bahwa
efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

15
(kuantitas, kualitas, dan waktu) yang dicapai oleh manajemen, yang mana
target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Organisasi dapat disebut
efektif ketika dapat melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi enam
hal berikut ini (Steers, 1985: 87):

1. Kepuasan pelanggan,
2. Mencapai visi organisasi,
3. Pemenuhan aspirasi,
4. Menghasilkan keuntungan bagi organisasi,
5. Pengembangan sumber daya manusia prganisasi, dan
6. Aspirasi yang dimiliki, serta memberikan dampak positif bagi
masyarakat di luar organisasi.
Menurut Bernard dalam Steers (1985, 20) empat hal yang
menggambarkan tentang efektivitas, yaitu:
1) Mengerjakan hal-hal yang benar, di mana sesuai dengan
yang seharusnya diselesaikan sesuai dengan rencana dan
aturannya.
2) Mencapai tingkat di atas pesaing, di mana mampu menjadi
yang terbaik dengan lawan yang lain sebagai yang terbaik.
3) Membawa hasil, di mana apa yang telah dikerjakan mampu
memberikan hasil yang bermanfaat.
4) Menangani tantangan masa depan.

16
Jadi dapat dikatakan bahwa efektivitas selalu berkaitan dengan
tujuan. Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari produktivitas (hasil)
yaitu mengarah pada pencapaian unjuk kerja yang maksimal, yaitu
pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu.
Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target
(kuantitas, kualitas dan waktu) telah dicapai. Di mana semakin besar
persentase target yang dicapai, semakin tinggi efektivitasnya.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
Berikut adalah empat faktor yang mempengaruhi efektivitas, yang
dikemukakan oleh Steers (1985:209):
1). Karakteristik organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif
tetap seperti susunan sumber daya manusia yang terdapat dalam
organisasi. Struktur merupakan cara yang unik menempatkan
manusia dalam rangka menciptakan sebuah organisasi. Dalam
struktur, manusia ditempatkan sebagai bagian dari suatu hubungan
yang relatif tetap yang akan menentukan pola interaksi dan tingkah
laku yang berorientasi pada tugas.
2). Karakteristik lingkungan, mencakup dua aspek. Aspek pertama
adalah lingkungan ekstern yaitu lingkungan yang berada di luar
batas organisasi dan sangat berpengaruh terhadap organisasi,
terutama dalam pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan.
Aspek kedua adalah lingkungan intern yang dikenal sebagai iklim

17
organisasi yaitu lingkungan yang secara keseluruhan dalam
lingkungan organisasi.
3).Karakteristik

pekerja

merupakan

faktor

yang

paling

berpengaruh terhadap efektivitas. Di dalam diri setiap individu
akan ditemukan banyak perbedan, akan tetapi kesadaran individu
akan perbedaan itu sangat penting dalam upaya mencapai tujuan
organisasi.

Jadi

apabila

suatu

organisasi

menginginkan

keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat mengintegrasikan
tujuan individu dengan tujuan organisasi.
4).Karakteristik manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja
yang dirancang untuk mengkondisikaan semua hal yang di dalam
organisasi sehingga efektivitas tercapai. Kebijakan dan praktek
manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk mengarahkan
setiap

kegiatan

melaksanakan

guna

mencapai

kebijakan

dan

tujuan

organisasi.

Dalam

praktek

manajemen

harus

memperhatikan manusia, tidak hanya mementingkan strategi dan
mekanisme kerja saja. Mekanisme ini meliputi penyusunan tujuan
strategis, pencarian dan pemanfaatan atas sumber daya, penciptaan
lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan
pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap perubahan
lingkungan inovasi organisasi.

18
c. Ukuran Efektivitas
Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat
sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang
dan tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya.
Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara
rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan.
Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan
tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang
diharapkan, maka hal itu dikatakan tidak efektif. Adapaun kriteria atau
ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau tidak, sebagaimana
dikemukakan oleh Siagian (1978: 77), yaitu:
1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan
supaya karyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran
yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai.
2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa
strategi adalah “pada jalan” yang diikuti dalam melakukan
berbagai

upaya

dalam

mencapai

sasaran-sasaran

yang

ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam
pencapaian tujuan organisasi.
3. Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap,
berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang
telah

ditetapkan.

Artinya

kebijakan

harus

mampu

19
menjembatani tujuan-tujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan
kegiatan operasional.
4. Perencanaan

yang

matang,

pada

hakekatnya

berarti

memutuskan sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi di
masa depan.
5. Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih
perlu dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang
tepat, sebab apabila tidak, para pelaksana akan kurang
memiliki pedoman bertindak dan bekerja.
6. Tersediannya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator
efektivitas organisasi adalah kemampuan bekerja secara
produktif. Dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan
mungkin disediakan oleh organisasi.
7. Pelaksanaan yang efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya
suatu program apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan
efisien maka organisasi tersebut tidak akan mencapai
sasarannya, karena dengan pelaksanaan organisasi semakin
didekatkan pada tujuannya.
8. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik,
mengingat sifat manusia yang tidak sempurna maka efektivitas
organisasi menuntut terdapatnya sistem pengawasan dan
pengendalian.

20
Menurut Steers (1985: 44), umumnya kerangka kerja yang
digunakan untuk meneliti efektivitas terdiri atas dua model, yaitu (1)
model pengukuran yang bersifat univariasi (berdimensi satu), yang
memusatkan perhtian dalam mengukur efektivitas hanya kepada satu
kriteria evaluasi, misalnya produktivitas; (2) model multivariasi, yaitu
mengukur efektivitas organisasi berdasarkan sejumlah kriteria penilaian.
Masing-masing model mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Dalam
model univariasi, penelaahnya mendalam, meskipun kurang meluas;
sebaliknya dalam model multivariasi, penelaahannya mungkin tidak
terlalu mendalam tetapi cakupannya luas karena meliputi beberapa
variabel. Selanjutnya Steers (1985: 206) mengemukakan lima kriteria
dalam pengukuran efektivitas, yaitu:
a. Produktivitas
b. Kemampuan adaptasi kerja
c. Kepuasan kerja
d. Kemampuan berlaba
e. Pencarian sumber daya
Steers (1985: 53) dalam bukunya “Efektivitas Organisasi”
mengatakan mengenai ukuran efektivitas, sebagai berikut:
a. Pencapaian Tujuan
Pencapaian adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan
yang harus dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar
pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan pentahapan,

21
baik dalam arti pentahapan pencapaian bagian-bagiannya maupun
pentahapan dalam arti periodisasinya. Pencapaian tujuan terdiri
dari beberapa faktor, yaitu: kurun waktu dan sasaran yang
merupakan target kongkrit.
1). Integrasi
Integrasi yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan
suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan
consensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi
lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi.
2). Adaptasi
Adaptasi

adalah

kemampuan

organisasi

untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk itu digunakan
tolok ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja.
Dalam rangka ini pula, Steers mengembangkan model
suatu proses untuk menilai efektivitas organisasi, yang mencakup
tiga sudut pandang, yakni: pertama, optimal tujuan yang akan
dicapai yaitu bila beberapa bagian dari tujuan itu mendapat
perhatian alokasi sumber dana dan daya yang lebih besar; kedua,
ialah yang berkaitan dengan interaksi antara organisasi dengan
keadaan sekeliling; ketiga, yaitu penekanan pada aspek perilaku
yang lebih memusatkan perhatian pada pentingnya peranan

22
perilaku manusia dalam proses pencapaian tujuan organisasi dalam
efektivitas suatu organisasi (Steers, 1985: 207).
Sebelum membicarakan lebih jauh tentang kebijakan pendidikan, sangat
diperlukan untuk terlebih dahulu memahami konsep kebijakan. Hal ini perlu
dilakukan karena begitu luasnya penggunaan konsep dan istilah kebijakan,
sehingga akan menimbulkan sudut pandang yang berbeda dalam memahami
konsep kebijakan dimaksud.
Kata “kebijakan” merupakan terjemahan dari kata “policy” dalam bahasa
Inggris, yang berarti mengurus masalah atau kepentingan umum, atau juga
administrasi pemerintah. Kebijakan lebih berat penekanannya pada tindakan
(produk) yaitu kebijakan yang ditetapkan secara subjektif. Dalam pengertian
operatifnya, kebijakan dapat diartikan sebagai:
1.

Suatu penggarisan ketentuan-ketentuan;

2. Yang bersifat sebagai pedoman, pegangan atau bimbingan untuk
mencapai kesepahaman dalam maksud, cara dan atau sarana;
3. Bagi

setiap

usaha

dan

kegiatan

sekelompok

manusia

yang

berorganisasi;
4. Sehingga terjadi dinamisasi gerak tindak yang berpadu, sehaluan dan
seirama mencapai tujuan bersama tertentu.
2. Kebijakan
a. Pengertian Kebijakan
Policy diartikan juga hal-hal mengenai kebijakan pemerintah, atau
sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti government yang

23
hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan juga governance yang
menyentuh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya
merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara
langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam,
finansial, dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak,
penduduk, masyarakat atau warga Negara. Kebijakan merupakan hasil dari
adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan,
teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik
suatu Negara. (Hasbullah, 2007: 37-38).
b. Jenis-jenis Kebijakan
Di samping mengetahui berbagai tingkatan kebijakan, pada
dasarnya kebijakan juga dapat dibedakan dalam beberapa jenis, sesuai
sasaran atau objek apa yang mendasari lahirnya sebuah kebijakan tersebut.
Secara tradisional, para pakar ilmu politik mengategorikan kebijakan
publik ke dalam kategori: (1) Kebijakan substantif (misalnya: kebijakan
pendidikan, perburuhan, kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar
negeri, dan sebagainya), (2) Kelembagaan (misalnya: kebijakan legislatif,
kebijakan yudikatif, dan kebijakan departemen), dan (3) Kebijakan
menurut kurun waktu tertentu (misalnya: kebijakan masa Reformasi,
kebijakan masa Orde Baru, dan kebijakan masa Orde Lama). (Hasbullah,
2007: 52). Jenis kebijakan yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah jenis kebijakan substantif, yaitu membahas mengenai kebijakan
pendidikan.

24
3. Pendidikan
a. Pengertian Pendidikan
Setelah mengetahui makna dari suatu kebijakan dan jenis-jenisnya,
selanjutnya adalah mengetahui makna dari pendidikan. Beberapa pakar di
bidang pendidikan mendefinisikan makna pendidikan. Diantaranya,
pendidikan adalah wahana. Sudah sejak tahun 900-an sebelum Masehi
ketika system pendidikan mulai dilembagakan di kota Sparta, pendidikan
tidak pernah diarahkan untuk dirinya sendiri. (Thompson, 1951: 1; Smith,
1979: 1).
Pendidikan

selalu

sebagai

alat.

Pendidikan

sebagai

alat

menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan
ketrampilan, alat mengasah otak, alat meningkatkan pemekerjaan, alat
investasi, alat konsumsi, alat menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran
keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf
ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat pengangkat status sosial, alat
menguasai teknologi, alat menguak rahasia alam raya dan manusia, alat
menciptakan keadilan sosial, alat pemanusiaan, alat pembebasan, dan lain
sebagainnya. (Jacks, 1946; Freire, 1968; Rogers and Ruchlin, 1971; Blaug,
1972; Ul Haq, 1974; Edwards and Todaro, 1974; Schumacher, 1979;
Scheffer, 1985; Handley, 1986; Ruwiyanto, 1994; Tilaar, 1998; Buckley,
1998).

25
Menurut UUD R.I. No. 2 Tahun 1989, Bab I Pasal 1, pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang.
Pendidikan, menurut Romo Mangunwijaya, adalah proses awal
dalam usaha menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai
pelaku sejarah. Kesadaran sosial hanya akan bisa tercapai apabila
seseorang telah berhasil membaca realitas perantaraan dunia di sekitar
mereka. Sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran sosial, maka perlu
adanya perangkat analisis yang bersumber dari kebebasan berpikir dari
masing-masing individu, yang pada akhirnya memberikan daya nalar yang
kritis terhadap perkembangan sosial yang ada (Susetyo, 2005. Hal: 145).
Selain beberapa pandangan di atas, pendidikan juga dipandang
sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi manusia, agar ia bersedia dan
mampu mewujudkan apa yang ia pandang sebagai makna eksistensi
manusia di dunia ini. Manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang
berbudi dan bermasyarakat. Karena budi ini manusia membudayakan
hidup pribadinya dan turut hidup membudayakan masyarakatnya. Makna
eksistensi manusia di dunia ini adalah membina budi pekerti dan turut
membina kebudayaan sesamanya demi kebaikan (mamayu hayu) pribadi
sekeluarga (salira), kebaikan sesame bangsa (bangsa) dan sesama
manusia

(manungsa).

(Reksohadiprodjo,

1989:

18).

Jadi

dapat

disimpulkan, makna pendidikan menurut Reksohadiprodjo adalah dengan

26
pendidikan, manusia akan mengetahui hakikat dirinya diciptakan oleh
sang Maha Pencipta dan memahami apa tugas yang harus dirinya emban
di muka bumi ini.
Pendidikan
integritas

di

kepribadian

Indonesia,

diharapkan

manusia

Indonesia

mampu

membangun

seutuhnya

dengan

mengembangkan berbagai potensi secara terpadu. UU RI No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 menegaskan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.”
Kemudian dalam Pasal 3 masih dalam Sistem Pendidikan Nasional
juga menegaskan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”

27
4. Kebijakan Pendidikan
a. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Istilah “kebijakan pendidikan” merupakan terjemahan dari
“educational policy”, yang tergabung dari kata educational dan policy.
Kebijakan adalah seperangkat aturan, sedangkan pendidikan menunjuk
kepada bidangnya. Jadi kebijakan pendidikan hampir sama artinya dengan
kebijakan pemerintah dalam bisang pendidikan. (Hasbullah, 2015: 40).
Carter V. Good (1959), yang dikutip oleh Ali Imran (1996: 14),
memberikan pengertian “educational policy” sebagai pertimbangan yang
didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor
yang bersifat situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar
untuk

mengoperasikan

pendidikan

yang

bersifat

melembaga;

pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan
pedoman untuk mengambil keputusan, agar keputusan yang bersifat
melembaga bisa tercapai.
Menurut Gamage dan Pang (2003), kebijakan pendidikan dapat
juga difahami sebagai perangkat panduan yang memberikan kerangka
kerja bagi tindakan dalam hubungan dengan persoalan substantive. Garis
panduan dimaksud mencakup istilah umum (general terms), dan tindakan
yaitu yang akan dilaksanakan dengan mempertimbangkan masalah yang
ada. Garis panduan atau kebijakan pendidikan akan menjadikan kepala
sekolah, staf, dan personalia lainnya sebagai warga sekolah dapat
melaksanakan tanggung jawabnya dengan arah yang jelas.

28
Kebijakan pendidikan di sini dimaksudkan adalah seperangkat
aturan sebagai bentuk keberpihakan dari pemerintah dalam upaya
membangun satu sistem pendidikan sesuai dengan tujuan dan cita-cita
yang diinginkan bersama. Keberpihakan tersebut menyangkut dalam
konteks politik, anggaran, pemberdayaan, tata aturan, dan sebagainya.
Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan
langkah-langkah strategi pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi
pendidikan, dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan
dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu. (Hasbullah,
2015: 41).
b. Manfaat Kebijakan Pendidikan
Studi kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik paling tidak
memiliki tiga manfaat penting, yaitu untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, meningkatkan profesionalisme praktisi, dan untuk tujuan
politik (Dye, 1981).
1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Dalam kaitan ini, ilmuan dapat menempatkan kebijakan
pendidikan sebagai variabel terpengaruh, sehingga berusaha
menentukan variabel pengaruhnya (independent variable).
Studi ini berusaha mencari variabel-variabel yang dapat
memengaruhi isi dan sebuah kebijakan pendidikan. Misalnya,
studi untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi

29
dikeluarkannya undang-undang tentang guru dan dosen di
Indonesia.
Sebaiknya

studi

kebijakan

pendidikan

dapat

menempatkan kebijakan pendidikan sebagai independent
variable, sehingga berusaha mengidentifikasi apa dampak dari
suatu kebijakan pendidikan.
2. Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah-masalah
pendidikan.
Dengan

mempelajari

kebijakan

pendidikan,

para

praktisi akan memiliki dasar teoritis tentang bagaimana
membuat kebijakan pendidikan yang baik dan memperkecil
kegagalan dari suatu kebijakan pendidikan. Sesungguhnya ke
depan akan lahir kebiakan pendidikan yang lebih berkualitas
yang dapat menopang tujuan pembangunan.
3. Berguna untuk tujuan politik.
Suatu kebijakan pendidikan yang dibuat melalui proses
yang benar dengan dukungan teori yang kuat memiliki posisi
yang kuat terhadap kritik dari lawan-lawan politik. Kebijakan
pendidikan tersebut dapat meyakinkan lawan-lawan politik
yang sebelumnya kurang setuju. Kebijakan pendidikan seperti
itu tidak akan mudah dicabut hanya karena alasan-alasan
kepentingan sesaat dari lawan-lawan politiknya.

30
c. Macam-macam pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan
1). Pendekatan Social Demand Approach (kebutuhan sosial)
Social Demand Approach adalah suatu pendekatan dalam
perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi,
tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat.
Pada pendekatan jenis ini para pengambil kebijakan lebih dahulu
menyelami dan mendeteksi terhadap aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang
ditanganinya.
Pendekatan Social Demand Approach sebenarnya tidak
semata-mata merespon aspirasi masyarakat sebelum dirumuskan
kebijakan pendidikan, akan tetapi juga merespon tuntutan masyarakat
setelah kebijakan pendidikan diimplementasikan. Partisipasi warga
dari seluruh lapisan masyarakat diharapkan terjadi baik pada masa
perumusan maupun implementasi kebijakan pendidikan. Dalam
perumusan kebijakan dapat digolongkan ke dalam tipe perumusan
kebijakan yang bersifat pasif. Artinya suatu kebijakan baru dapat
dirumuskan apabila ada tuntutan dari masyarakat terlebih dahulu.
2). Pendekatan Man-Power Approach
Pendekatan

jenis

ini

lebih

menitikberatkan

kepada

pertimbangan-pertimbangan rasional dalam rangka menciptakan
ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai
di masyarakat. Pendekatan ini tidak melihat apakah ada permintaan

31
dari masyarakat atau tidak, tetapi yang terpenting adalah menurut
pertimbangan-pertimbangan rasional dan visioner dari sudut pandang
pengambil kebijakan.
Pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan
suatu kebijakan memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan kebijakan
pendidikan. Dapat dipetik aspek penting dari pendekatan jenis kedua
ini adalah, bahwa secara umum lebih bersifat otoriter. Man-Power
Approach kurang menghargai proses demokratis dalam perumusan
kebijakan pendidikan, terbukti perumusan kebijakannya tidak diawali
dari adanya aspirasi dan tuntutan masyarakat, akan tetapi langsung saja
dirumuskan sesuai dengan tuntutan masa depan sebagaimana dilihat
oleh sang pemimpin visioner. Terkesan adanya cara-cara otoriter
dalam pendekatan jenis kedua ini. Namun dari sisi positifnya, dalam
pendekatan Man-Power ini proses perumusan kebijakan pendidikan
yang ada lebih berlangsung efisien dalam proses perumusannya, serta
lebih berdimensi jangka panjang (Rohman, 2009: 114-118).
Dari dua pendekatan perumusan kebijakan pendidikan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa, pendekatan Social Demand Approach
dapat dikatakan sesuai dengan pendekatan Movement. Sedangkan
pendekatan

Man-Power

Programmatic.

Approach

sesuai

dengan

pendekatan

32
5. Akses Layanan Pendidikan
Akses layanan pendidikan merupakan tersedianya sarana dan prasarana
untuk menunjang pelaksanaan pendidikan. Ketersediaan jumlah sekolah,
fasilitas sekolah yang memadai, dan pemerataan pendidikan yang dapat
dinikmati oleh semua anak di Indonesia. Bidang sarana dan prasarana
pendidikan berkenaan dengan fasilitas dan kemudahan-kemudahan dalam
pelaksanaan pendidikan yang tersedia. Dewasa ini sarana dan prasarana
pendidikan, pengadaannya masih sangat tergantung dari pemerintah pusat,
sementara pendistribusiannya belum terjamin merata sampai ke tujuannya,
sehingga kemandirian dan tanggung jawab daerah masih kurang maksimal
(Hasbullah, 2015: 181).

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Kata metodologi berasal dari tiga kata Yunani, meta, hetodos, dan logos.
Meta artinya menuju, melalui, dan mengikuti. Sementara hetodos berarti jalan
atau cara. Sedangkan logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang” ilmu
pengetahuan, cakrawala, dan wawasan (Earle, 1992).
Menurut Jamali Sahrodi, metodologi berarti pengetahuan tentang metode
atau cara-cara yang berlaku dalam kajian atau penelitian (Sahrodi, 2008).
Menurut Muhyar Fanani, metode merupakan langkah-langkah praktis dan
sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah tidak lagi dipertanyakan
lagi karena sudah bersifat aplikatif. Metode dalam suatu ilmu dianggap sudah bisa
mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut. Oleh karena
itu, ia sudah tidak diperdebatkan lagi karena sudah disepakati oleh komunitas
ilmuwan dalam bidang ilmu tersebut (Fanani, 2008).
Louay Safi mendefinisikan metodologi sebagai bidang penelitian ilmiah
yang berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode yang digunakan
dalam mengkaji fenomena alam dan manusia, atau dengan redaksi yang lain,
“metodologi

adalah

bidang

penelitian

ilmiah

yang

membenarkan,

mendeskripsikan, dan menjelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur ilmiah (Safi,
2001).
Secara etimologi, terma penelitian berarti “mencari kembali”. Dalam
bahasa Inggris, upaya pencarian kembali disebut research. Kata research berasal
dari kata re yang berarti “kembali atau berulang-ulang” dan search yang berarti
32

33

“mencari, menjelajahi, dan menemukan makna”, dengan demikian, penelitian
(research) berarti mencari, menjelajahi dan menemukan makna kembali secara
berulang-ulang (Sofyan, 2013).
“Metode penelitian” berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang
tepat untuk melakukan sesuatu; dan “Logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan.
Jadi Metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran
secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan “Penelitian” adalah
suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai
menyusun laporannya (Narbuko, 2012).
Selain pengertian di atas, ada