UUD 1945 SEBAGAI REVOLUTIEGRONDWET: Tafsir Poskolonial atas Gagasan-gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
“The Constitution is made for men, and not men for the Constitution.”
(Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – selanjutnya
disingkat UUD 19451 – telah mengalami perubahan sebanyak empat kali,
yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun
2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada
tahun 2002. Perubahan UUD 1945 tersebut merupakan salah satu agenda
reformasi politik selepas berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden pada
tanggal 21 Mei 1998. Dengan dilakukannya Perubahan UUD 1945 diharapkan
dapat mencegah terbentuknya kembali sistem otoriter seperti pada masa
Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru dan pada gilirannya akan terbentuk
sistem politik dan pemerintahan yang lebih demokratis.
Kehendak untuk membentuk sistem demokrasi melalui Perubahan
UUD 1945 didasari oleh pandangan bahwa UUD 1945 mengandung muatan
yang berwatak otoriter. Watak otoriter itu terutama karena adanya ketentuan
UUD 1945 yang cenderung menimbulkan pemusatan kekuasaan pada
Presiden. Ketentuan tersebut di antaranya adalah masa jabatan Presiden dan
kewenangan Presiden untuk membentuk Undang-Undang (UU).
Ketentuan Pasal 7 UUD 1945, yang mengatur masa jabatan Presiden

dan Wakil Presiden meskipun menyebutkan masa jabatan Presiden selama

1

Penamaan UUD 1945 secara resmi digunakan dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
yang secara yuridis telah dimuat dalam LNRI No. 75 Th. 1959. Setelah amandemen UUD
1945 digunakan penamaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disingkat
UUD NRI 1945 untuk menyebut UUD 1945 hasil amandemen dan membedakan dengan UUD
1945 sebelum amandemen. Tulisan ini menggunakan pembedaan serupa untuk
membedakan antara UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.

1

masa lima tahun, tetapi tidak memberikan pembatasan yang tegas mengenai
berapa kali masa jabatan itu. Ketentuan pasal itu hanya menyebutkan “masa
jabatan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” Ketentuan
tersebut menimbulkan banyak penafsiran (multi-tafsir) sehingga dalam
prakteknya memungkinan Soeharto dapat berkuasa selama 32 tahun karena
dipilih berkali-kali.
Demikian pula ketentuan tentang kekuasaan membentuk UU pada

Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, yang memberikan kekuasaan membentuk
Undang-Undang kepada Presiden sementara Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) hanya memberikan persetujuan saja. Selengkapnya ketentuan itu
berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dengan demikian, DPR
hanya sebagai pelengkap saja dari kekuasaan Presiden dalam membentuk
UU. Implikasinya, terjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden karena
Presiden

memegang

dua

kekuasaan

sekaligus,

yakni

kekuasaan


pemerintahan (eksekutif) dan kekuasaan membentuk UU (legislatif).
Pemusatan kekuasaan tersebut ditambah lagi dengan kurangnya
pengaturan tentang perlindungan HAM serta terlalu banyaknya ketentuan
yang memberikan delegasi pengaturan dalam bentuk UU. Ketentuan tentang
perlindungan HAM hanya diatur dalam beberapa pasal saja, terutama pasal
27, 28, 29, 30 dan 31 UUD 1945. Terutama dalam hak-hak politik, kurangnya
pengaturan HAM itu telah menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM dalam
bidang politik yang berimplikasi pada rendahnya perwujudan kedaulatan
rakyat dalam DPR dan MPR. Konsekuensinya, terbentuk sistem politik yang

2

semakin memperkuat pemusatan kekuasaan pada Presiden menjadi tidak
terhindarkan.
Di satu sisi, rendahnya perwujudan kedaulatan rakyat di DPR
menyebabkan UU yang dihasilkannya hanya mencerminkan kehendak
pemerintah semata. Di sisi lain, banyaknya ketentuan UUD 1945 yang
mendelegasikan pengaturan dalam bentuk UU menyebabkan pemerintah
menggunakan UU sebagai cara untuk memusatkan kekuasaannya. Hal itu, di

antaranya, terjadi dalam pengaturan atas kekuasaan kehakiman yang
seharusnya merdeka atau independen menjadi berada di bawah kendali
Presiden.
Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 menyatakan:
(1)
(2)

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang.
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
Undang-Undang.
Ketentuan tersebut jelas mendelegasikan kewenangan pengaturan

kepada pembuat UU. Dengan sistem politik yang dikendalikan oleh
Pemerintah, maka penyusunan UU tentang kekuasaan kehakiman juga
berada di bawah kepentingan pemerintah. Hasilnya adalah UU Nomor 14
Tahun 1970, yang menempatkan kedudukan kekuasaan kehakiman di bawah
Pemerintah.
Terjadinya pemusatan kekuasaan itulah yang kemudian menjadi
alasan utama perlunya perubahan atas UUD 1945. Tujuannya jelas untuk

membatasi kekuasaan Pemerintah agar tidak terjadi lagi sistem yang otoriter,
dan sebaliknya, memungkinkan terbentuknya sistem demokrasi di Indonesia.
Tujuan ini sesuai dengan paham konstitusionalisme yang menghendaki

3

adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan (the limited government).
Dengan adanya pembatasan kekuasaan maka UUD 1945 bukan sematamata UUD yang bersifat formal belaka tetapi secara substansial sudah
mencerminkan paham konstitusionalisme.
Namun, di samping alasan konstitusionalisme seperti itu terdapat pula
alasan yang berkenaan dengan sifat keberlakuan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa UUD 1945 adalah UUD yang bersifat sementara. Alasan
keberlakuan ini didasarkan pada pidato Bung Karno pada tanggal 18 Agustus
1945 yang menyatakan:
Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang
Dasar , Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan
pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-undang
Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.
Berdasarkan pidato Bung Karno itu disimpulkan bahwa UUD 1945
memiliki sifat keberlakuan sementara. Hal itu diperkuat dengan pandangan

yang mengatakan, bahwa UUD 1945 tidak pernah ditetapkan menjadi UUD
sebagaimana ketentuan Aturan Tambahan UUD 1945 yang menyatakan:
(1)
(2)

Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur
Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan
segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat
dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UndangUndang Dasar.

Dalam sejarah memang Presiden tidak pernah melaksanakan Aturan
Tambahan UUD 1945, oleh karena situasi pada awal kemerdekaan tidak
memungkinkan untuk melaksanakannya. Selain pemerintah terlibat dalam
perang kemerdekaan melawan Belanda, situasi politik pada waktu itu juga
berkembang ke arah pelaksanaan demokrasi parlementer yang menyimpang

4

dari UUD 1945. Akibatnya, UUD 1945 tidak pernah ditetapkan karena MPR

yang berwenang menetapkan UUD tidak pernah terbentuk. MPR baru
terbentuk setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden,
tertanggal 5 Juli 1959, dalam bentuk MPR Sementara karena dibentuk bukan
dari hasil Pemilu.
Masalah keberlakuan UUD 1945 tersebut menjadi alasan untuk
melakukan perubahan UUD 1945 karena secara tekstual memang Bung
Karno menyatakan UUD 1945 adalah “Undang-Undang Dasar kilat” yang
belum “sempurna dan lengkap”. Artinya, secara substansial keberlakuan UUD
1945 bersifat sementara. Konsekuensinya, UUD 1945 harus mengalami
perubahan atau amandemen.
Sifat

kesementaraan

UUD

1945

itu


sering

diajukan

sebagai

argumentasi untuk menghadapi kelompok yang hendak mempertahankan
UUD

1945

secara

mutlak.2

Dengan

mengajukan

argumen


sifat

kesementaraan UUD 1945 yang dikemukakan oleh Bung Karno, maka
perubahan UUD 1945 justru merupakan kehendak dari para pendiri negara
sendiri. Dengan demikian, perubahan atas UUD 1945 justru merupakan
keharusan. Bahkan bukan hanya mengubah UUD 1945, tetapi harus
mengganti dengan UUD yang baru.
Namun, argumen mengenai kesementaraan ini menjadi persoalan
manakala secara formal UUD 1945 sudah dimuat dalam Berita Republik
Indonesia (BRI) tanggal 16 Februari 1946 dan Lembaran Negara RI (LNRI)
No. 75 Tahun 1959. Pemuatan di dalam BRI dan LNRI mengandung arti UUD
2

Dalam proses perubahan UUD 1945 terbentuk tiga kelompok besar dalam menyikapi
perubahan UUD 1945. Pertama, adalah kelompok yang hendak mengganti UUD 1945
dengan UUD yang baru sama sekali. Kedua, adalah kelompok yang tidak menghendaki
adanya perubahan atas UUD 1945. Ketiga, adalah kelompok yang setuju terhadap
perubahan tetapi tetap mempertahankan UUD 1945.


5

1945 berlaku secara formal dan mengikat secara yuridis bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dalam pengertian lain, UUD 1945 telah menjadi UUD yang tetap.3
Selain itu secara sosiologis UUD 1945 telah berlaku secara efektif
selama lebih dari 5 dekade, yakni pada masa Revolusi, Republik Indonesia
Serikat (RIS), Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan era kepemimpinan
Presiden B.J. Habibie. Jika UUD 1945 berlaku efektif selama 5 dekade maka
artinya UUD 1945 tersebut bukan UUD yang bersifat sementara melainkan
UUD yang sudah bersifat tetap.
Namun demikian, tidak berarti UUD 1945 tidak boleh diubah.
Ketentuan Pasal 37 UUD 1945 telah mengatur tata cara perubahan UUD
1945. Hanya saja yang menjadi persoalan berkenaan dengan substansi
perubahannya. Sebagian kalangan menghendaki agar UUD 1945 diganti
sama sekali dengan UUD yang baru karena dianggap mengandung materi
muatan yang otoriter dan bahkan buatan Jepang. Sebagian kalangan yang
lain menghendaki agar substansi perubahan dilakukan dengan tetap
mempertahankan

UUD


1945

yang

asli

sehingga

perubahan

hanya

menyangkut beberapa pasal atau ketentuan UUD 1945. Hal ini mengacu
pada model perubahan UUD Amerika Serikat yang menggunakan model
adendum.
Lepas dari rumusan normatif mengenai tata cara perubahan UUD 1945
tersebut terdapat kontradiksi antara sifat kesementaraan UUD 1945 yang
diungkapkan oleh Bung Karno dan fakta yuridis-historis UUD 1945 yang
memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Ironisnya, kontradiksi ini secara
personal mengacu pada sosok yang sama, yaitu Bung Karno, yang
3

Simorangkir, J.C.T., Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: Gunung Agung, 1984.

6

mengungkapkan sendiri kesementaraan UUD 1945 tetapi menetapkan sendiri
UUD 1945 sebagai UUD yang bersifat tetap melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959.
Pada satu pihak, sikap Bung Karno itu dapat ditafsirkan sebagai
bentuk inkonsistensi. Tetapi, di pihak lain, sikap tersebut justru dapat
ditafsirkan juga sebagai konsistensi pemahaman Bung Karno atas maksud
asli (original meaning) dari pernyataannya pada pidato tanggal 18 Agustus
1945.

Pemaknaan

atas

maksud

asli

ini

terkait

dengan

istilah

Revolutiegrondwet yang digunakan oleh Bung Karno pada pidato tersebut.
Pemaknaan atas UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet dapat
diungkap dari pernyataan Bung Karno beberapa tahun kemudian dalam
pidatonya yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” tertanggal 17
Agustus 1959 yang kemudian ditetapkan menjadi Ketetapan MPRS RI No.
I/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Daripada Haluan negara (LN 1960138). Dalam pidatonya itu, Bung Karno menyatakan kembali, bahwa
“Undang-Undang Dasar 1945 – Undang-Undang dasar Revolusi.”4
Pada bagian lain secara tersirat Bung Karno memberikan penjelasan
tentang makna UUD 1945 sebagai UUD revolusi dengan pernyataan:
Di hadapan konstituante, dalam tahun 1956, tatkala saya membuka
sidang pertama Konstituante itu, sudah saya mulai memberikan
peringatan ke arah itu. Dengan jelas saya katakan kepada
Konstituante pada waktu itu: “Buatlah Undang-Undang Dasar yang
cocok dengan jiwa Revolusi.”5
Apabila dikaitkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang
memberlakukan kembali UUD 1945, maka pernyataan Bung Karno tersebut
4

Soekarno, “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pidato pada tanggal 17 Agustus 1959 dalam
Muhono, Ketetapan MPRS dan Peraturan Negara Yang Penting Bagi Anggauta Angkatan
Bersenjata, tanpa penerbit, 1966, hlm. 55.
5
Ibid., hlm. 60.

7

bermakna bahwa UUD yang “cocok dengan jiwa Revolusi” adalah UUD 1945.
Karena Konstituante tidak berhasil menyelesaikan pekerjaannya membuat
UUD baru, maka Bung Karno mengambil putusan untuk memberlakukan UUD
1945 yang cocok dengan jiwa Revolusi.
Dengan demikian, terdapat konsistensi antara pernyataan Bung Karno
pada tanggal 18 Agustus 1945 dan sikap serta tindakannya pada tahun 1959
yang mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang memberlakukan
kembali UUD 1945. Hubungan antara dua peristiwa tersebut dapat dimaknai
bahwa tindakan Bung Karno pada tahun 1959 menjelaskan pernyataannya
pada tanggal 18 Agustus 1945.6 Hal itu berarti juga bahwa Revolutiegrondwet
tidak dapat dimaknai semata-mata sebagai proses – yaitu “Undang-Undang
Dasar [yang dibuat secara] kilat” melainkan secara substansial bermakna
UUD yang memiliki jiwa Revolusi.
Makna Revolutiegrondwet seperti itu menjelaskan pula bahwa UUD
1945 memiliki tujuan untuk mencapai cita-cita revolusi di Indonesia.
Berkenaan dengan hal ini, Bung Karno mengungkapkan, “Dengan UndangUndang Dasar 1945 itu kita sekarang dapat bekerja sesuai dengan dasar dan
tujuan revolusi.... Dasar dan tujuan revolusi Indonesia adalah kongruen
dengan Social Conscience of Man, [yakni] keadilan sosial dan kemerdekaan
Indonesia.”7 Dalam konteks itu, UUD 1945 adalah “alat perjuangan” untuk
mencapai keadilan dan kemerdekaan Indonesia.

6

Dalam kajian bahasa hukum tindakan Bung Karno tersebut merupakan “symbolic speech”
atau “expressive conduct” yang menjelaskan makna linguistik dari ungkapan yang dinyatakan
Bung Karno dalam suatu konteks tertentu. Lihat Paul Berckmans, “The Semantics of
Symbolic Speech,” dalam Law and Philosophy 16:1997, hlm. 145-176.
7
Ibid., hlm. 64-65.

8

Pendekatan Buku Ini
Buku ini akan membahas lebih lanjut makna UUD 1945 sebagai
Revolutiegrondwet. Ada dua pendekatan teoretis yang digunakan untuk
menjelaskan

makna

Revolutiegrondwet

tersebut,

yakni

pendekatan

berdasarkan teori pascakolonial dan pendekatan fungsi hukum untuk
perubahan sosial.
Pertama, Pendekatan pascakolonial digunakan untuk menjelaskan
UUD 1945 sebagai teks yang mengandung gagasan-gagasan yang berkaitan
dengan kolonialisme dan perlawanannya atas kolonialisme tersebut. Studi
pascakolonial sendiri umumnya dipakai dalam bidang sastra dan sosial.
Penggunaan dalam bidang hukum bagaimanapun sangat relevan karena
pada dasarnya hukum adalah teks sebagaimana teks sastra ataupun teks
sosial lainnya. Dengan menggunakan pendekatan pascakolonial akan
diperoleh penjelasan mengenai makna UUD 1945 dalam kaitan dengan
wacana revolusi yang muncul dalam konteks proses dekolonisasi di
Indonesia.
Kedua, Pendekatan berdasarkan fungsi hukum untuk perubahan sosial
terkait dengan studi sosiologi hukum dan filsafat hukum (jurisprudence).
Dalam pengertian itu, UUD 1945 bukan hanya sebagai teks normatif dan
perwujudan nilai-nilai konstitusionalisme tetapi mengandung fungsi sosiologis
untuk melakukan perubahan sosial di Indonesia. Perubahan sosial dimaksud
adalah perubahan yang bersifat revolusioner dalam pengertian mengubah
secara radikal sistem kolonial menjadi sistem nasional.
Kedua pendekatan itu digunakan untuk menjelaskan peran historis
UUD sebagai Revolutiegrondwet, sejak awal kemerdekaan hingga masa

9

reformasi sebelum terjadi perubahan UUD 1945. Peran historis tersebut
ditandai dengan perubahan sosial yang secara normatif menggunakan UUD
1945 sebagai landasan formal konstitusional. Terlepas dari perdebatan
tentang adanya penyimpangan atas UUD 1945 baik pada awal kemerdekaan
maupun pada masa kekuasaan Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, tetapi
secara formal UUD 1945 menjadi acuan normatif untuk melahirkan kebijakankebijakan negara yang berhasil mengubah keadaan masyarakat Indonesia
secara berarti. Artinya, secara formal UUD 1945 dijadikan dasar dan alat
untuk melakukan perubahan sosial di Indonesia.

Sistematika Pembahasan
Dalam upaya menelaah makna UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet, buku
ini

disusun

berdasarkan

sistematika

sebagai

berikut.

Setelah

menggambarkan latar belakang yang menunjukkan arti penting studi ini dan
pendekatan teoretis yang dijadikan pijakan analisis, kiranya penting
menjelaskan beberapa konsep yang penting. Karena itu, untuk menelaah
fungsi historis UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet, terlebih dahulu perlu
mengkaji secara teoretik konsep-konsep revolusi dan fungsi hukum untuk
perubahan sosial. Selanjutnya, akan dibahas pula tentang makna konstitusi
dalam kehidupan negara modern, yakni sebagai aturan hukum tertinggi,
perwujudan

nilai-nilai

konstitusionalisme,

dan

alat

untuk

melakukan

perubahan sosial. Pada bagian ini akan dilakukan pembahasan atas UUD
1945 sebagai Revolutiegrondwet, yang sekaligus akan dijadikan landasan
teori untuk mengkonstruksi peran historis UUD 1945 dalam melakukan
perubahan sosial di Indonesia.

10

Pada bagian-bagian berikutnya akan dibahas tentang peran historis
UUD 1945 sejak awal kemerdekaan, masa Demokrasi Terpimpin, masa Orde
Baru, dan masa Reformasi sebelum Perubahan UUD 1945. Pada bagian ini
akan dibahas pula proses penyusunan UUD 1945 dan Proklamasi
Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, serta keterkaitan antara UUD
1945 dengan UUD Konstitusi RIS dan UUD Sementara Tahun 1950.
Pembahasan berikutnya berisi tentang evaluasi kritis atas Perubahan
UUD 1945 dengan menggunakan konsep Revolutiegrondwet sebagai
landasan teoretik. Pembahasan atas Perubahan UUD 1945 dimaksudkan
untuk menghasilkan penilaian kritis terhadap Perubahan UUD 1945 atas
dasar kesesuaiannya dengan watak revolusioner dari UUD 1945.
Pembahasan atas seluruh persoalan

di atas

diakhiri dengan

kesimpulan dan saran yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan UUD
1945 ataupun perubahan atas UUD 1945 yang dilakukan berikutnya.

11

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, dan Internet
Abdelal, Rawi, National Purpose in the World Economy: Post—Soviet States
in Comparative Perspective, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press,
2001.
Aidit, D.N. et al., PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948),
Jakarta: Era Publisher, 2001.
Amin, S.M., Indonesia di Bawah Rezim Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Bulan
Bintang, 1967.
Anderson, Benedict, Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang AsalUsul
dan
Penyebaran
Nasionalisme,
Yogyakarta:
Pustaka
Perlajar/Insist, 1999.
Ankersen, Tom, “Tierra y Libertad: The Social Function Doctrine and Land
Reform
In
Latin
America”
dalam
http://www.law.ufl.edu/cgr/conference/06confmaterials/8_Panel/8_Tom
Ankersen-powerpoint.pdf (diakses tangal 7 Oktober 2009)
Anwar, Rosihan, Soebadio Sastrosatomo Pengemban Misi Politik, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Azhari, Aidul Fitriciada, ‘Penafsiran Konstitusi dan Implikasinya terhadap
Pembentukan Sistem Ketatanegaraan Demokrasi atau Otokrasi’
(Dissertation of Doctor in Legal Science in Law Faculty of University of
Indonesia, 6 August 2005).
Azhari, Aidul Fitriciada, Menemukan Demokrasi, Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2005.
Azhari, Fitriciada Azhari, “Independensi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
di Indonesia,” makalah disampaikan dalam Experts Meeting bertema
“Bank Indonesia Menuju Bank Sentral Yang Mandiri” yang dilaksanakan
oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada hari
Kamis, 21 Februari 2008
Azhari, Aidul Fitriciada, Tafsir Konstitusi Pergulatan Mewujudkan Demokrasi
di Indonesia, Surakarta: Jagad Abjad, 2010.
Badan Pekerja MPR, Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945:
Bahan Penjelasan BP-MPR dalam Rangka Memasyarakatkan Hasil
Sidang Umum MPR 1999 dan Sidang Tahunan MPR 1999, Sekretariat
MPR: 2000.
Basywir, Revrisond, Neokolonisasi Indonesia, makalah tidak dipublikasi, t.t.
Barkun, Michael, “Law and Social Revolution: Millenarianism and the Legal
System,” dalam Law and Society Review, Volume 6, Number 1/Agustus
1971.
Beirne, Piers and Alan Hunt, “Law and the Constitution of Soviet Society: The
Case of Comrade Lenin,” dalam Law & Society Review, 22, 1988.
Berckmans, Paul, “The Semantics of Symbolic Speech,” dalam Law and
Philosophy 16: 1997.
Berman, Harold J., Law and Revolution The Formation of the Western Legal
Tradition (1983).

209

Black, Donald J., “The Mobilization of Law,” dalam The Journal of Legal
Studies, Vol. II (1) January 1973.
Brenner, Y.S.,Theories of Economic Development and Growth, London:
George Allen & Unwin, 1969.
Budiardjo, Miriam (ed.), Masalah Kenegaraan, Jakarta: Gramedia, 1975.
Conboy, Ken, The Second Front, Jakarta/Singapore: Equinox Publishing,
2006
Cotterrell, Roger, The Sociology of Law An Introduction (2nd ed, 1992).
Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia, Ithaca/London: Cornell
University Press, 1978.
“Dia Yang Mahir Revolusi”, dalam Tempo edisi 17 Agustus 2008.
Effendi, Djohan dan Abdul Hadi WM, Iqbal, Pemikir Sosial Islam dan Sajaksajaknya, Jakarta: Pantja Sakti, 1986.
Feith, Herbert & Lance Castles (eds.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965
(Jakarta: LP3ES, 1995)
Fitzpatrick, Peter, The Mythology of Modern Law. London: Routledge, 1992.
Freeman, M.D.A., Lloyd’s Introduction to Jurissprudence (7th ed, 2001).
Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man, New York: The
Free Press, 1992.
Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy (1976).
Gani, Roeslan Abdul, “Penjelasan Manipol dan Usdek, Uraian Ke II,” dalam
Muhono, Ketetapan MPRS dan Peraturan Negara Yang Penting Bagi
Anggauta Angkatan Bersenjata, tanpa penerbit, 1966.
Hagopian, Mark N., Regimes, Movements, and Ideologies, New York/London:
Longman, 1978.
Harvey, David, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Yogyakarta:
Resist Book, 2009.
Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Jakarta: Balai Pustaka, 2004.
Hatta, Mohammad, “Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat,”
dalam Miriam Budiardjo (ed.), Masalah Kenegaraan, Jakarta: Gramedia,
1975.
Higgins, Benjamin, “Thought and Action: Indonesian Economic Studies and
Policies in the 1950s,” dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies
26, 1 (1990).
Huntington, Samuel P., The Third Wave: Democratization in The Late
Twentieth Century, Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991.
Huntington, Samuel P., Gelombang Demokratisasi Ketiga (terjemahan),
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995
“IMF di Balik Kejatuhan Soeharto” dalam Antara, Kamis 15 Mei 2008,
http://www.antaranews.com/view/?i=1210836368&c=ART&s= (diakses
pada 20 September 2010)
Kahin, George McTurnan (ed.), Governments and Politics of Southeast Asia
(2nd ed.), Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1967.
Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia,
Ithaca/London: Cornell University Press, 1952.
Kuntowijoyo, Periodesasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Ummat Islam,
Yogyakarta: UGM Press, 2001.
Kusuma, RM A.B., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan
Penerbit FHUI, 2004.

210

Legge, J.D., Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan Peranan
Kelompok Sjahrir, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003.
Linblad, J. Thomas, From Java Bank to Bank Indonesia: A Case Study of
Indonesianisasi
in
Practice,
http://www.indieindonesie.nl/content/documents/papers-economic%20side/Makalah
Thomas%20Lindblad.pdf (diakses 22 Oktober 2009).
Loomba, Ania, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2003.
Malaka, Tan, Aksi Massa (2008)
Malaka, Tan, Naar de “Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia),
Yayasan Massa, 1987.
Malaka, Tan, Semangat Muda, Ted Sprague (Mei 2007).
Marzuki, Laica, ‘Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Sebuah Reformasi
Konstitusi’ (Paper presented at the Discussion Forum on “Pendidikan
Kesadaran Berkonstitusi”, Surakarta, 17 March 2007).
Massel, Gregory J., “Law as an Instrument of Revolutionary Change in a
Traditional Milieu: The Case of Soviet Central Asia,” dalam Law and
Society Review, Volume II, Number 2, February 1968.
Muhono, Ketetapan MPRS dan Peraturan Negara Yang PentingBagi
Anggauta Angkatan Bersenjata (1966)
Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia,
Jakarta: Grafiti, 1995.
Owen, Norman G. (ed.), The Emergence of Modern Southeast Asia,
Singapore: Singapore University Press, 2005.
Parekh, Bhiku dan Pieterse Jan Nederveen, The Decolonization of
Imagination, Delhi: Oxford University Press, 1997.
Paton, George Whitecross, A Textbook of Jurisprudence, Oxford: Clarendon
Press, 1951.
Philpott, Simon, Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism,
and Identity, New York & London: Palgrave Macmillan, 2000.
Pilger, John, The New Rulers of The World, London/New York: Verso, 2003
Pound, Roscoe, An Introduction to the Philosophy of Law (1999)
Pound, Roscoe, Social Control Through Law, New Jersey: New Brunswick,
1997.
Rambe, Safrizal, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia
1905-1942, Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia, 2008.
Said, Mohammad, Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan
Rakyat, Jilid I-A, Surabaya: Permata, 1961.
Sarbini_Sumawinata,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sarbini_Sumawinata
(Diakses tanggal 23 Oktober 2009)
Seda, Frans, “Dewan Perencanaan Nasional“ dalam Hadi Soesastro, dkk.
(eds.), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam
Setengah Abad Terakhir (Buku I 1945-1959, Membangun Ekonomi
Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Siddiqi, Nazheruddin, “Iqbal, Pendekar Sosialis,” dalam Djohan Effendi dan
Abdul Hadi WM, Iqbal, Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya,
Jakarta: Pantja Sakti, 1986.
Simorangkir, J.C.T., Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta; Gunung Agung, 1984.
Singadimedjo, Kasman, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

211

Sklair, Leslie, Capitalism and Development, London: Routledge, 1994.
Soekarno, “Amanat Negara Presiden Soekarno Pada Pembukaan Sidang
Pertama MPRS Pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1960”, dalam
Muhono, Ketetapan MPRS dan Peraturan Negara Yang Penting Bagi
Anggauta Angkatan Bersenjata, tanpa penerbit, 1966.
Soekarno, “Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta dan Berencana
(Bagian tertulis yang disampaikan kepada Depernas tanggal 28 Agustus
1959)”, dalam Moh. Said, Pedoman untuk Melaksanakan Amanat
Penderitaan Rakyat, Jilid I-a, Surabaya, Permata, 1961.
Soekarno, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?” dalam
Soekarno, Di Bawah Bendera RevolusiI, Jakarta: Panitya Penerbit
Dibawah Bendera Revolusi, 1965.
Soekarno, “Penemuan Kembali Revolusi Kita,” dalam Muhammad Yamin,
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, tanpa penerbit, 1960.
Soekarno, “Penemuan Kembali Revolusi Kita,” dalam Muhono, Ketetapan dan
Peraturan Warga Negara yang Penting bagi Anggauta Angkatan
Bersenjata, tanpa penerbit, 1966.
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta, Penerbit Di
Bawah Bendera Revolusi, 1965.
Soesastro, Hadi, dkk. (eds.), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Buku I 1945-1959),
Membangun Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Soetoprawiro, Koerniatmanto, Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia
(1994).
Spivak, Gaytri C., “Constitutions and Culture Studies,” dalam J. D. Leonard,
ed., Legal Studies as Cultural Studies: A Reader in (Post) Modern Critical
Theory, New York: State University of New York Press, 1995.
Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional (1988).
Stone, Julius, Human Law and Human Justice, Sydney: Maitland
Publications, 1965.
Sumawinata, Sarbini, “Garis-garis Besar Pembangunan Ekonomi Indonesia,”
dalam Hadi Soesastro, dkk. (eds.), Pemikiran dan Permasalahan
Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Buku I 19451959), Membangun Ekonomi Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Taylor, Alastair M., Indonesian Independence and The United Nations, Ithaca,
N.Y.: Cornell University Press, 1960.
Tempo edisi 17 Agustus 2008.
Wallerstein, Immanuel, “Development Lodestar or Illusion,” dalam Leslie
Sklair, Capitalism and Development, London: Routledge, 1994.
Tim Weiner, “Unrest In Indonesia: The Opposition; U.S. Has Spent $26 Million
Since '95 on Suharto Opponents,” dalam The New York Times, 20 Mei
1998 (diakses 20 Agustus 2010)
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional,
Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia
(1994).
Wolhoff, G.J., Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara Republik Indonesia,
Jakarta: Timur Mas, 1955.
Wrihatnolo, Randi R., “Sekilas Perencanaan Pembangunan di Indonesia
1948–2009”, http://wrihatnolo.blogspot.com/2009_09_30_archive.html
(diakses 16 Oktober 2009)

212

Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, tanpa
penerbit, 1960.

Dokumen Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Perubahannya.
Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Daripada
Haluan Negara (LNRI No. 138, 1960, tertanggal 19 Novermber 1960)
Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 19611969 (LNRI No. 152, 1960, tertanggal 3 Desember 1960, diumumkan
13 Desember 1960).
Ketetapan
MPRS
No.
IX/MPRS/1966
tentang
Surat
Perintah
Presiden/Panglima
Tertinggi
Angkatan
Bersenjata
Republik
Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, tertanggal 21
Juni 1966.
Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan
Kebijaksanaan Landasan Ekonomi. Keuangan, dan Pembangunan,
tertanggal 5 Juli 1966.
Ketetapan MPRS Nomor: XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan
Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, tertanggal 12 Maret
1967
Ketetapan MPR Nomor: II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara
Ketetapan MPR Nomor: II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara
Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara,
Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
Rangka Demokratisasi Ekonomi.
Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor
Timur.
Maklumat Wakil Presiden No. X, tertanggal 16 Oktober 1945.

213

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia (LNRI tahun 1950, Nr 56; TLN Nr 37,
Tahun 1950)
Undang-Undang Nomor 24 tahun 1952 tentang Nasionalisasi De Javasche
Bank N.V
Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1958 tentang Dewan Perancang Nasional
(LNRI No. 144, 1958)
Undang-Undang Nomor 85 Tahun 1958 tentang Rencana Pembangunan
Lima Tahun 1956-1960 (LNRI No. 161, Th. 1958, TLN No. 1689)
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan
Belanda (LNRI No. 162, 1958; TLN No. 1690)
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (LNRI No. 104, 1960; TLN No. 2043)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1966 tentang Penarikan Diri Republik
Indonesia dari Keanggotaan Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan
Pembangunan (International Bank for Reconstruction and
Development) – (LNRI No. 10, 1966: TLN No. 2798)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1966 tentang Persetujuan antara
Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia
tentang Soal-soal Keuangan (LNRI No. 34, 1966);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1966 tentang Keanggotaan Republik
Indonesia dalam Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank)
– (LNRI No. 35, 1966);
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1966 tentang Keanggotaan Kembali
Republik Indonesia dalam Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan
Pembangunan (International Bank for Reconstruction and
Development) – (LNRI No. 36, 1966).
UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (LNRI No. 1,
1967; TLN No. 2818)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian
atas UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1959 tentang Dewan Perwakilan Rakyat
(LNRI No.76, 1959; TLN 1815)

214

Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (LNRI No. 77, 1959, TLN No. 1816)
Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung
Sementara (LNRI No. 79, 1959, TLN No. 1817)
Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1959 tentang Perubahan dalam UndangUndang No. 80 Tahun 1958 tentang Dewan Perancang Nasional
Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 33 tahun 1950
tentang Pengumuman Dokumen-dokumen Konferensi Meja Bundar,
tertanggal 21 Januari 1950 (LNRI 1950,Nr. 2).
Keputusan Presiden RIS Nomor 48 Tahun 1950 tentang Pengumuman
Piagam Penandatanganan Konstitusi RIS dan Konstitusi RIS (LNRI
1950, Nr 3)
Keputusan Presiden RI No. 150 tahun 1959 tentang Dekrit Presiden Republik
Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali
Kepada UUD 1945 (LNRI No. 75, 1959).
Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No. 3/Kpts/Sd/II/59, tertanggal 25
September 1959.
Keputusan DPA Nomor 4/Kpts/Sd/III/61 tentang Perincian
Pembangunan Presiden, tertanggal 28 Agustus 1959.

Amanat

215