KONSTITUSIONALISME DALAM UUD 1945 AMANDE

KONSTITUSIONALISME
DALAM UUD 1945 HASIL AMANDEMEN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Konstitusi dan Kelembagaan
Pemerintahan pada Program Pascasarjana Ilmu Pemerintahan dengan dosen
pembimbing Prof. Dr. H. Nandang A. Delianoor, S.H., M.Hum.

Disusun oleh:
Nina Minawati Muhaemin, S.IP
NPM 170820170003

PROGRAM PASCASARJANA ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG – 2017

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
Amandemen |1


BAB I
PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang
Lord Acton mengatakan “Power tend to corrupt, absolut power corrupt

absolutely”, jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia artinya
Kekuasaan cenderung pada kesewenang-wenangan, dan kekuasaan yang absolut
akan sewenang-wenang secara absolut. Maka dari itu, kekuasaan harus dibatasi.
Terutama di negara dengan kedaulatan rakyat, seperti di Indonesia dengan
konstitusinya yang disebut UUD 1945. Untuk membatasi kekuasaan pemerintah
dan menjamin hak-hak rakyat, maka dibentuklah sebuah konstitusi yang
kemudian menjelma sebagai hukum tertinggi dari sebuah negara.
Carl J. Friederich dalam buku Constitutional Government and Democracy,
konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintahan merupakan:Suatu
kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang
dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa
kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh

mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.1
Selanjutnya, Budiardjo mengemukakan sebagai berikut:
UUD sebenarnya tidak dapat dilihat lepas dari konsep konstitusionalisme,
suatu konsep yang telah berkembang sebelum UUD pertama dirumuskan.
Ide pokok dari konstitusionalisme adalah bahwa pemerintah perlu dibatasi
kekuasaannya (the limited state), agar penyelenggaraannya tidak bersifat
sewenang-wenang.2
Untuk

membatasi

kekuasaan

dan

menjamin

hak-hak

rakyat,


konstitusionalisme dalam UUD 1945, pada intinya mengatur, hubungan antara
pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga negara yang
satu dengan lembaga negara yang lain.
1

Budiardjo, Prof. Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2008,
hlm. 171
2
Ibid

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
Amandemen |2

1.2

Rumusan Masalah
Makalah ini akan membahas mengenai:
-


1.3

Bagaimana konstitusionalisme dalam UUD 1945?

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk

menjelaskan mengenai konstitusionalisme dalam UUD 1945. Sementara itu,
tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Konstitusi dan Kelembagaan Pemerintahan.

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
Amandemen |3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Kajian Pustaka


2.1.1

Konstitusi dan Konstitusionalisme
Sebuah keniscayaan bagi setiap negara untuk memiliki konstitusi, baik

konstitusi tertulis yang dituangkan dalam dokumen maupun konstitusi tidak
tertulis (konvensi). Secara etimologi, konstitusi berasal dari bahasa Latin ‘Cum’
yang artinya ‘bersama dengan...’ dan ‘Statuere’ yang artinya ‘membuat sesuatu
agar berdiri’. Jadi, konstitusi dapat diartikan sebagai menetapkan atau mendirikan
sesuatu secara bersama-sama.
Dalam buku “Corpus Juris Scundum” yang dikutip oleh Syahuri (Syahuri,
2004: 28) pengertian konstitusi konstitusi didefinisikan sebagai “ the original law
bay which a system of government is created and set up, and to which the
branches of government must look for all their power and authority.”3 Sementara
itu Wheare membagi konstutusi dalam dua pengertian. Pertama, istilah konstitusi
dipergunakan untuk menunjuk kepada seluruh peraturan-peraturan mengenai
sistem ketatanegaraan; kedua, istilah konstitusi menunjuk kepada suatu dokumen
atau beberapa dokumen yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
tertentu yang bersifat pokok atau dasar saja mengenai ketatanegaraan suatu

negara.4
Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa konstitusi adalah peraturan
dasar yang disepakati oleh suatu negara untuk mengatur jalannya pemerintahan,
serta mengatur kekuasaan dan wewenang dari pemerintah.
Konstitusi berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa
sehingga penyelenggaraan kekuasaan menjadi terbatas dan tidak sewenang3

Syahuri, Dr. Taufiurrohman, Hukum Konstitusi: Proses dan Prosedur
Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.
28.
4

Ibid, hlm. 32

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
Amandemen |4

wenang. Dengan demikian, hak-hak warga negara dapat terlindungi. Gagasan ini
dinamakan konstitusionalisme. Menurut Carl J. Friedrich, konstitusionalisme
merupakan gagasan di mana pemerintah dipasang sebagai suatu kumpulan

kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan
beberapa beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan
yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan.5
Indonesia telah mengalami empat kali pergantian konstitusi. Dimulai dari
Undang-Undang Dasar 1945 (1945 – 1949), Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (Konstitusi RIS 1949 – 1950), Undang-Undang Dasar Sementara ( 19501959), hingga akhirnya kembali lagi pada Undang-Undang Dasar 1945 melalui
Dekrit Presiden lima Juli 1959 dan masih berlaku sampai dengan sekarang. Dalam
perjalanannya, UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan atau
amandemen. Yakni pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Pada saat itu,
mandemen terhadap UUD 1945 dilakukan sebagai tuntutan reformasi. Rakyat
merasa UUD 1945 harus diamandemen, terutama terhadap pasal-pasal yang dapat
melanggengkan kekuasaan pemerintah.
2.1.2

Pembagian Kekuasaan
Para ahli pemerintahan mencoba mengusulkan pendapat untuk membagi

ataupun memisahkan kekuasaan. Terdapat beberapa pembagian kekuasaan yang
dikemukakan beberapa ahli sebagai berikut:
Menurut Montesuieu (1689-1755):

-

Kekuasaan legislatif, yaitu pembuat undang-undang
Kekuasaan Eksekutif, yaitu pelaksana undang-undang
Kekuasaan Yudikatf, yaitu yang mengadili

Menurut John Locke (1632-1704:
5

Kekuasaan legislatif
Kekuasaan eksekutif
Kekuasaan federatif (untuk memimpin perserikatan)6

Budiardjo, Prof. Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2008,
hlm. 171
6
Syafie, Inu Kencana, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung, Refka
Aditama, 2013, hlm. 112

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil

Amandemen |5

Di Indonesia tidak menganut pemisahan kekuasaan trias politika secara
keseluruhan. Di Indonesia terdapat kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
seperti yang disebutkan oleh Montesquieu, namun tidak terdapat pemisahan
kekuasaan yang drastis (Separation of power), melainkan hanya pembagian
kekuasaan (distribution of power) sehingga dengan demikian antara lembaga
kekuasaan masih ada hubungan sebagai upaya untuk melakukan checks and
balances.
Adapun pembagian lembaga kekuasaan negara menurut UUD 1945
(setelah amandemen) antara lain:

2.1.3

-

Kekuasaan konstitutif (MPR)

-


Kekuasaan eksekutif (Presiden)

-

Kekuasaan legislatif (DPR)

-

Kekuasaan yudikatif (MA, MK, KY)

-

Kekuasaan inspektif (BPK)

Hubungan Pemerintahan
Hubungan pemerintahan dibagi menjadi dua, yakni hubungan vertikal dan

hubungan horizontal.7
Hubungan vertikal yaitu hubungan atas bawah antara pemerintah dengan
rakyatnya, di mana pemerintah sebagai pemegang kendali yang memberikan

perintah-perintah kepada rakyat, sedangkan rakyat menjalankan dengan penuh
ketaatan. Sebaliknya, dalam pola ini dapat pula rakyat sebagai pemegang otoritas
yang diwakili oleh parlemen, sehingga kemudian pemerintah bertanggungjawab
terhadap rakyat tersebut.
Hubungan horizontal adalah hubungan di mana pemerintah dapat saja
berlaku sebagai produsen sedangkan rakyat sebagai konsumen karena rakyatlah
yang menjadi pemakai utama barang-barang yang diproduksi oleh pemerintah
sendiri. Misalnya negara-negara komunis seperti salah satunya adalah China.
7

Ibid, hlm. 52-53

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
Amandemen |6

Sebaliknya, dapat pula pola ini berlaku, yaitu rakyat yang menjadi produsen
sedangkan pemerintah menjadi konsumennya, karena seluruh industri raksasa
milik rakyat dipakai sendiri oleh pemerintahannya sendiri. Misalnya negara
Jepang.

2.2

Konstitusionalisme dalam UUD 1945
Untuk

membatasi

kekuasaan

dan

menjamin

hak-hak

rakyat,

konstitusionalisme dalam UUD 1945, pada intinya mengatur, hubungan antara
pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga negara yang
satu dengan lembaga negara yang lain. Dalam hal ini, penulis mengetengahkan
pembahasan mengenai konstitusionalisme dalam UUD 1945 hasil amandemen.
2.2.1

Hubungan antara Lembaga Kekuasaan Negara yang Satu dengan
Lembaga Kekuasaan Negara yang Lain
Seperti telah diutarakan sebelumnya, lembaga kekuasaan negara di

Indonesia tidak sepenuhnya menganut trias politika dari Montesquieu. Tria
Politika menghendaki adanya pemisahan ketat antara masing-masing lembaga
kekuasaan pemerintahan negara sebagai prasyarat kebebasan. Indonesia menganut
sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) karena:
1) Undang-Undang Dasar 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa
setiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh satu organ/badan tertentu
yang tidak boleh saling campur tangan. Hal ini dapat dilihat dari pasal
5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (2) sampai dengan ayat (5). Dalam pasal
ini terdapat hubungan kerjasama antara Presiden dengan DPR dalam
membentuk undang-undang.
2) Undang-Undang Dasar 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi
atas tiga bagian saja dan juga tidak membatasi pembagian kekuasaan
dilakukan oleh tiga organ/badan saja. Penjelasan mengenai lembaga
kekuasaan negara berdasarkan UUD 1945 akan dibahas selanjutnya.

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
Amandemen |7

Perubahan UUD 1945 dapat dilihat sebagai berikut:
1) Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum (pasal 1 ayat (3))
dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang
merdeka.
2) Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat
negara, seperti Hakim.
3) Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and
balances)

yaitu

setiap

kekuasaan

dibatasi

oleh

Undang-undang

berdasarkan fungsi masing-masing.
4) Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
5) Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk
beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional
dan prinsip negara berdasarkan hukum. Penyempurnaan pada sisi
kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan
dengan perkembangan negara demokrasi modern.
Berikut ini akan dijelaskan lembaga kekuasaan negara berdasarkan UUD
1945.
1) Presiden yang memegang kekuasaan Eksekutif
Dalam UUD 1945 hasil amandemen, kekuasaan Eksekutif diatur dalam
pasal 4 sampai dengan pasal 16. Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar yang dalam melaksanakan
kewajibannya dibantu oleh seorang wakil presiden dan menteri-menteri
yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. artinya presiden adalah
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, karena itu menteri-menteri
bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Masa jabatan presiden adalah 5 tahun dan dapat menjabat secara bertututturut selama dua periode. Hal ini tentu merupakan wujud pembatasan
kekuasaan agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut. Dalam hal ini, calon

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
Amandemen |8

presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilu. Artinya, setelah amandemen, partai
politik dan sistem multi partai mendapat penegasan dalam UndangUndang Dasar. Partai politik menjadi sangat penting dan keberadaannya
menjadi sebuah keniscayaan karena calon presiden hanya didapatkan
melalui partai politik, tidak seperti kepala daerah yang dapat mencalonkan
diri secara independen. Begitu pun dengan DPR yang juga anggotanya
dipilih melalui seleksi dari partai poltik terlebih dahulu. Artinya, dua
lembaga kekuasaan negara, keberadaannya bergantung kepada partai
politik.
Presiden berhak untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada
DPR dan memiliki hak prerogatif dalam hal mengangkat menteri,
mengangkat duta atau konsul, menerima penempatan duta negara lain,
memberi amnesti dan abolisi, yang memperhatikan pertimbangan DPR..
Kemudian presiden dapat memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Namun tidak
dijelaskan lebih lanjut apakah pertimbangan DPR dan MA bersifat
mengikat atau tidak. Selanjutnya, Presiden dapat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dengan
persetujuan DPR. Hal ini merupakan bentuk hubungan checks and
balances antara presiden dengan lembaga negara lainnya yang dalam
menjalankan tugasnya tidak bisa dipisahkan secara tegas satu dengan yang
lainnya.
Sebagai konsekuensi logis dari dipilihnya Presiden secara langsung
oleh rakyat, maka presiden tidak lagi bertanggungjawab secara langsung
kepada MPR yang sebelumnya adalah mandataris rakyat. Artinya, saat ini
pertanggungjawaban presiden dalam hal kinerjanya tidaklah jelas.
Presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat secara moril. Yang
menjadi pertanyaannya adalah bagaimana pertanggungjawaban itu
dilakukan? Adapun kewenangan MPR untuk memberhentikan Presiden
atas usul DPR jika dilihat dalam UUD hanya terbatas pada telah terbukti

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
Amandemen |9

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/
atau

Wakil

Presiden

berdasarkan

putusan

MK.

Sementara

pertanggungjawaban kinerja dalam hal penyelenggaraan pemerintahan
tidaklah jelas jalurnya. Dalam hal ini, pertanggungjawaban presiden
kepada rakyat secara langsung hanya dapat dilihat dan dianggap diterima
jika ia dalam hal ini presiden terpilih kembali dalam pemilu selanjutnya.
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang memegang kekuasaan
konstitutif
MPR diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 UUD 1945. Amandemen
yang dilakukan terhadap UUD 1945 telah membawa perubahan besar
dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama perubahan terhadap tugas
dan wewenang MPR. Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut.
Dalam asal 2 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen, MPR terdiri
atas anggota DPR dang anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum. Berbeda dengan sebelum amandemen, bahwa anggota MPR terdiri
dari anggota DPR hasil pemilu, Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang
diangkat oleh pemerintah. Adanya utusan daerah dan utusan golongan
dimaksudkan agar adanya sistem keterwakilan yang sempurna, karena
DPR saja tidak cukup untuk merepresentasikan seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini karena Indonesia terbagi dalam beberapa daerah yang memiliki
kepentingan sendiri yang berbeda dengan daerah lainnya, sementara
adanya utusan golongan adalah karena terdapat golongan-golongan
minoritas yang kepentingan-kepentingannya perlu mendapat keterwakilan.
DPD dibentuk sebagai pengganti Utusan Daerah dan Utusan
Golongan yang dalam UUD 1945 sebelum amandemen menjadi pelengkap
DPR dalam mengisi MPR untuk memenuhi keterwakilan rakyat yang ada
di daerah dan terbagi dalam golongan-golongan minoritas yang
kepentingannya perlu mendapat keterwakilan di pemerintahan.

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 10

Kewenangan
menetapkan UUD

MPR

sebelum

amandemen

tercantum

yakni

dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN),

memilih Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan suara terbanyak di
MPR. Bahkan sebelum amandemen terhadap UUD 1945, MPR menjelma
sebagai kedaulatan rakyat yang menjadikannya sebagai lembaga tertinggi
negara. Setelah amandemen, kekuasaan MPR dibatasi hanya pada
penetapan UUD, dan adapun kewenangan MPR untuk melakukan
pemberhentian terhadap presiden dan wakil presiden dalam masa
jabatannya dilakukan menurut UUD yang diatur dalam pasal 7A dan 7B
harus diusulkan oleh DPR yang sebelumnya harus diajukan terlebih
dahulu kepada MA untuk memeriksa, mengadili, dan memutus apakah
presiden dan/atau wakil presiden dinyatakan telah melakukan pelanggaran
yang disebutkan dalam konstitusi. Hal ini menjadi bentuk checks and
balances antara MPR dengan lembaga kekuasaan negara lainnya di mana
MPR dalam menjalankan tugasnya tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya
hubungan dengan lembaga kekuasaan lainnya.
Sementara itu, hilangnya GBHN yang kemudian digantikan oleh
Perencanaan Pembangunan Nasional yang diatur dalam Undang-Undang
menimbulkan perdebatan tersendiri. Terdapat pihak yang setuju dan yang
tidak setuju mengenai hal ini. Pihak yang tidak setuju akan hilangnya
GBHN beranggapan bahwa GBHN adalah dokumen negara yang menjadi
cetak biru pembangunan Indonesia yang capaiannya jelas dan tidak akan
berubah meskipun ada pergantian presiden. Pertanggungjawaban presiden
terhadap MPR dilihat dari capaiannya terhadap GBHN. Saat GBHN
dihilangkan, maka perencanaan pembangunan akan menyesuaikan garis
politik, artinya perencanaan pembangunan disesuaikan dengan visi dan
misi presiden meskipun telah diatur dalam Undang-Undang tentang
Perencanaan Pembangunan Nasional. Jika demikian adanya, maka setiap
kali pergantian presiden akan terdapat pandangan baru tentang
pembangunan nasional sesuai dengan visi dan misi presiden yang terpilih,
hal ini dianggap akan menghambat percepatan pembangunan, atau lebih

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 11

buruk lagi akan membuat program pembangunan tidak kunjung selesai
atau tidak selesai.
Bagi pihak yang setuju beranggapan bahwa UU tentang
perencanaan Pembangunan Nasional sudah cukup untuk menjadi grand
design pembangunan nasional, karena UU tersebut juga telah memuat
tahapan capaian-capaian pembangunan melalui RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dan RPJPN (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional). Segala visi dan misi presiden
harus mengacu pada RPJMN dan RPJPN tersebut. Hal ini karena adanya
anggapan

bahwa

penyelenggaraan

presiden
pemerintahan

paling

tahu

termasuk

mengenai

kebutuhan

pembangunan,

karena

Presidenlah yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan tersebut.
Hemat penulis, baik GBHN ataupun Regulasi tentang Rencana
Pembangunan Nasional tentu memiliki kelemahan dan kelebihannya
sendiri. Kiranya yang perlu diperhatikan dari pelaksanaan kedua grand
design pembangunan tersebut adalah mengenai political will dari setiap
penyelenggara pemerintahan. Faktanya, Inggris berjalan dengan baik
dengan GBHNnya dan Amerika Serikat tetap menjadi negara adidaya
dengan tanpa adanya GBHN (artinya program kerja disusun sendiri oleh
Presiden). Namun, untuk negara Indonesia yang baru saja merdeka,
diperlukan suatu sistem perencanaan pembangunan yang ajeg yang
dituangkan dalam GBHN agar pembangunan menjadi lebih terarah sesuai
tahapan pembangunan yang ingin, akan, harus, dan segera dicapai.
3) Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang Kekuasaan Legislatif
DPR

memegang

kekuasaan

membentuk

undang-undang.

Keberadaan DPR diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 22B UUD
1945 hasil amandemen. Anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat
dalam pemilu melalui rekrutmen partai politik. Maka dari itu, DPR tidak
dapat dibubarkan oleh presiden ataupun memberhentikan presiden.
Dalam menjalankan kekuasaannya sebagai pembuat undangundang, DPR tidak dapat bekerja sendiri, karena UUD mengatur bahwa

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 12

setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibuat dan diusulkan oleh
DPR harus dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Hasil pembahasan dengan presiden bersifat mengikat karena RUU yang
tidak disetujui oleh Presiden tidak bisa disahkan dan boleh dibahas
kembali serta tidak boleh diusulkan kembali. Artinya, dalam menjalankan
tugasnya ini, DPR tidaklah berdiri sendiri. Untuk itu perlu ada hubungan
yang baik antara dua lembaga tinggi negara ini.
Selain menjalankan fungsi legislatif, DPR memiliki fungsi lainnya,
yakni fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Sebagai wakil rakyat di
pemerintahan, DPR melakukan pengawasan terhadap penggunaan kuangan
negara yang digunakan oleh pemerintah dalam hal ini eksekutif, dan
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan oleh Presiden.
Fungsi anggaran dilakukan saat Presiden mengajukan RAPBN yang harus
dibahas bersama antara presiden dan DPR, tujuannya agar DPR sebagai
wakil rakyat dapat mengetahui digunakan untuk apa saja uang negara
tersebut yang bersumber pada hasil pajak yang dibayarkan oleh rakyat.
Sementara itu, dalam melaksanakan fungsi pengawasan, DPR memiliki
hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat.
Berkenaan dengan hak angket, saat ini DPR sedang menggunakan
hak angketnya terhadap KPK. Banyak pihak beranggapan bahwa hak
angket ini digunakan oleh DPR terhadap proses penanganan perkara yang
dilakukan oleh KPK adalah untuk menyerang eksistensi KPK. Sebagai
bagian dari sistem peradilan pidana, maka pengujian dan review terhadap
tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, termasuk pembuktian
kebenaran perkara pidana semestinya dilakukan melalui lembaga peradilan
ataupun pengadilan tipikor sebagaimana ditentukan undang-undang.
Artinya, hak angket yang dilaksanakan oleh DPR ini menyalahi ketentuan
yang ada dan mengganggu kedaulatan hukum. Proses peradilan yang
seharusnya ditangani dan menjadi kewenangan lembaga hukum telah
diambilalih oleh DPR melalui proses politik dengan adanya hak angket
terhadap KPK.

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 13

Selanjutnya, hubungan antara DPR dengan Pemerintah cenderung
berjalan harmonis, artinya tidak terlalu terjadi banyak perdebatan, jika
anggota DPR dari partai pemerintah mendominasi komposisi anggota DPR
yang ada. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa partai politik menjadi
kendaraan politik sekaligus kekuatan politik bagi kekuasaan pemerintah
dalam hal ini presiden. Hal ini terjadi pada masa orde baru, dimana DPR
diisi oleh partai pemerintah, sehingga kebijakan pemerintah tidak
mengalami hambatan yang berarti di parlemen.
UUD 1945 hasil amandemen juga mengatur mengenai Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Anggota DPD dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui pemilu. DPD bukanlah lembaga kekuasan legislatif
meskipun memiliki hak mengajukan RUU, ikut membahas RUU, dan
melakukan pengawasan pengawasan terhadap undang-undang yang
berkenaan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dewasa ini sering terdapat kekeliruan di masyarakat yang
menganggap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga
legislatif di daerah. Anggapan tersebut merupakan sebuah kesalahan.
DPRD tidak memiliki kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang,
selain itu, kedudukan DPRD bukanlah lembaga kekuasaan negara, namun
hanya lembaga negara yang merupakan salah satu unsur penyelenggara
negara di daerah bersama dengan kepala daerah. DPRD hanya memiliki
fungsi yang hampir sama dengan DPR, yakni melakukan fungsi regulasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Berkenaan dengan fungsi
regulasi, DPRD berwenang untuk membentuk peraturan darah yang dalam
sistem konstitusional berada dibawah Undang-Undang yang dibentuk oleh
DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden.
4) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pemegang kekuasaan
Inspektif

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 14

Lembaga inspektif adalah lembaga pemgawasan yang mengontrol
dan memeriksa penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.
Hasil pemerikasaan keuangan negara oleh BPK diserahkan kepada DPR
dan DPRD. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. BPK sebagai lembaga
pengawas keuangan negara (APBN dan APBD) harus terlepas dari
kekuasaan eksekutif dan juga tidak berarti berdiri diatas lembaga
eksekutif. Namun, karena anggota BPK dipilih oleh DPR dan hasil
pemeriksaan diberikan lagi kepada DPR dan DPRD, maka sulit bagi BPK
melakukan pengawasan secara independen. Inilah salah satu yang
melatarbelakangi dibuatnya lembaga ad-hoc Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melalui UU tentang KPK. Meskipun anggota KPK dipilih
oleh Presiden, namun KPK berwenang untuk melakukan peradilan pidana
yang merupakan ranah dari kekuasaan yudikatif yang independen. KPK
dibentuk berdasarkan pasal 24 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen.
5) Lembaga Kekuasaan Kehakiman/Yudikatif (MA, MK, dan KY)
Kekuasaan Kehakiman diatur dalam pasal 24, 24A-C, dan pasal 25
UUD 1945 hasil amandemen. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
(MK).
MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY) kepada DPR
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
agung oleh Presiden.

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 15

KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunya wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
DPR.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
hasil pemilihan umum. MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut UUD. MK memiliki 9 orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing 3 orang oleh MA,
3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden.
Kekuasaan kehakiman hadir sebagai bentuk pengawasan terhadap
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, karena UU yang telah dibuat
oleh DPR dan Presiden dan perundangan lain di bawahnya perlu diuji oleh
lembaga kekuasaan kehakiman agar peraturan yang ada bersifat
konstitusional, artinya peraturan yang satu dengan peraturan yang lain
tidak saling berlawanan. Sebagai contoh, terdapat beberapa UU yang diuji
MK seperti UU tentang Pilkada yang baru disahkan tahun 2017 ini.
Beberapa pasal dalam UU tersebut dianggap tidak konstitusional, seperti
pasal yang membahas tentang presidential treshold dan pasal yang
membahas tentang pelaksanaan konsultasi antara KPU dengan DPR dan
Pemerintah yang keputusannya bersifat mengikat.
2.2.2

Hubungan Pemerintahan
Terdapat dua hubungan pemerintahan, yang pertama adalah hubungan

vertikal dan kedua adalah hubungan horizontal. Hubungan vertikal bisa dilihat
dari pemerintah sebagai pemegang otoritas yang memberikan perintah
dalambentuk kebijakan yang harus ditaati oleh rakyat, atau bisa dilihat dari rakyat

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 16

sebagai pemegang otoritas yang diwakili oleh parlemen. Dalam hal ini, UUD
1945 hasil amandemen memberikan kekuasaan kepada pemerintah (Presiden)
untuk memegang kekuasaan pemerintahan (pasal 4 ayat 1). Dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahan, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang harus ditaati oleh masyarakat. Selanjutnya, UUD 1945 mengatur mengatur
tentang DPR yang merupakan wakil rakyat untuk menyalurkan aspirasi rakyat
kepada pemerintah dan pemerintah wajib untuk mengartikulasikan kepentingankepentingan rakyat tersebut.
Kemudian berkenaan dengan hubungan pemerintahan secara horizontal, di
mana pemerintah dapat berlaku sebagai produsen dan pemerintah sebagai
konsumen karena rakyatlah yang menjadi pemakai utama barang-barang yang
diproduksi pemerintahnya sendiri. Dalam hal ini, UUD 1945 mengatur hubungan
pemerintahan secara horizonyal melalui pasal 31 mengenai pendidikan dan
kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar dan mengalokasikan
sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk penyelenggaraan
pendidikan nasional, pasal 33 ayat (2) dan (3) di mana cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara dan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, serta pasal 34 ayat (1) sampai dengan ayat (3) di mana fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, adanya sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat yang lemah dan tidak mampu, serta adanya penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Selain itu, hubungan horizontal yang diatur dalam UUD tercermin dalam
hak-hak konstitusional warga negara, yakni adanya jaminan persamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, jaminan dalam kemerdekaan berserikat dan berkumpul
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, serta dijamin atas Hak Asasi
Manusia yang tertuang dalam pasal 28 A-J.Adapun hubungan horisontal di mana
masyarakat menjadi produsen dan pemerintah menjadi konsumen tidak dibahas

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 17

dalam UUD 1945, menurut hemat penulis, hal ini karena Indonesia masih dalam
proses pembangunan menuju negara dengan masyarakat yang mandiri. Kiranya, di
negara berkembang seperti Indonesia, masyarakat belum bisa sepenuhnya menjadi
subjek pembangunan, maka dari itu, UUD 1945 lebih menempatkan masyarakat
sebagai objek pembangunan, terutama dalam hal pembangunan kualitas SDM
melalui kesehatan dan pendidikan yang diatur dalam UUD 1945.
BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Berdasarkan

pembahasan

di

bab

II,

dapat

disimpulkan

bahwa

konstitusionalisme dalam UUD 1945 dapat dilihat dari hubungan lembaga
kekuasaan negara dengan lembaga kekuasaan negara lainnya, dan dapat dilihat
dari hubungan pemerintahan dengan warga negara. Indonesia membagi kekuasaan
negara ke dalam kekuasaan eksekutif (Presiden), Kekuasaan konstitutif (MPR),
kekuasaan legislatif (DPR), Kekuasaan yudikatif (MA, MK, KY), dan kekuasaan
inspektif (BPK). Masing-masing lembaga kekuasaan negara tersebut saling
berhubungan satu sama lain atau dengan kata lain disebut distribution of power,
artinya, Indonesia tidak sepenuhnya menganut trias politika dari Montesquieu.
Selanjutnya, hubungan pemerintahan dengan warga negara diatur oleh
UUD 1945 melalui kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan
yang karena kekuasaannya dapat membuat kebijakan yang harus ditaati oleh
rakyat, selain itu rakyat melalui DPR dapat memberikan aspirasinya sehingga
pemerintah harus mengartikulasi kepentingan rakyat tersebut. Selanjutnya, UUD
1945 juga mengatur mengenai hal-hal yang harus disediakan oleh pemerintah
untuk pemenuhan kepentingan rakyat, serta harus menjamin hak konstitusional
warga negara.
3.2

Saran

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 18

Berdasarkan pembahasan di bab II, terdapat beberapa saran yang kiranya
perlu untuk ditindaklanjuti untuk perbaikan terhadap konstitusi yang merupakan
dasar negara dan sekaligus sebagai hukum tertinggi dari sebuah negara dalam hal
ini UUD 1945 yang sedang berlaku di Indonesia. Kiranya perlu diadakannya
amandemen ke-5 dari UUD 1945 dengan pembahasan mengenai cetak biru
pembangunan nasional, penyempurnaan keterwakilan di MPR, dan beberapa
kejelasan terhadap pasal 34 ayat (1) yang menyatakan fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara. Dalam hal ini perlu kiranya dibahas bagaimana
negara melakukan pemeliharaan tersebut. Selanjutnya pada pasal 31 ayat (2) yang
intinya membahas mengenai pendidikan dasar, namun pendidikan dasar sendiri
tidak diberikan penekanan berapa lama waktunya. Adapun pendidikan dasar saat
ini diatur hanya sampai 9 tahun saja, jika dilihat dari keadaan masyarakat dunia
saat ini, tentu pendidikan dasar yang hanya SMP akan membuat SDM Indonesia
kalah dalam hal kualifikasi pendidikan dengan negara-negara lainnya.

Konstitusionalisme dalam UUD 1945 Hasil
A m a n d e m e n | 19

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Prof. Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia,
2008.
Syafiie, Inu Kencana, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung, Refika
Aditama, 2013
Syahuri, Dr. Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi: Proses dan Prosedur
Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1946 Hasil Amandemen.