Pengetahuan Teater 1
Direktorat Pembinaan SMK 2013
Gb. 62 Teater sebagai media pembelajaran
Pada akhirnya seni teater Indonesia kontemporer memiliki banyak ragam pilihan ekspresi dan memberikan kebebasan bagi senimannya
untuk menentukan bentuk ekspresi yang akan ditampilkan. Yang sangat menarik dari kondisi ini adalah gairah kesenian menjadi
semakin kuat dan sekat-sekat yang biasanya menjadi penghalang untuk berekspresi semisal konvensi menjadi lumer. Semua
dikembalikan pada kehendak artistik seniman teater yang ingin melahirkan karya seni baru.
E. Rangkuman
Teater daerah di Indonesia banyak yang menggunakan cerita dari mulut ke mulut sebagai sumber utama cerita dan bahan dasar ekspresi. Teater
daerah diberi adalah seni pertunjukan yang memiliki ciri-ciri khas suatu daerah tertentu. Teater daerah Indonesia dapat dibedakan menjadi teater
tradisional dan teater daerah baru. Teater tradisional adalah teater yang telah hidup, berkembang dan diajarkan secara turun temurun dari generasi
ke generasi biasanya secara lisan oleh masyarakat suatu daerah tertentu. Sedangkan teater daerah baru adalah teater yang sekalipun
memiliki ciri-ciri kedaerahan tetapi relatif baru kelahirannya, seperti drama gong dan sandiwara radio daerah. Beberapa teater daerah di Indonesia
adalah longser, ubrug, lenong, drama gong, gambuh, arja, ludruk, ketoprak, wayang, wayang orang, mamanda, makyong, randai, dan
dulmuluk. Teater masa transisi adalah periode saat teater daerahtradisional mulai
mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Naskah sudah mulai ditulis meskipun masih dalam wujud cerita ringkas. Perkenalan masyarakat
Indonesia dengan teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891. Selanjutnya berdirilah
kelompok sandiwara lain seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, dan Sandiwara
Tjahaja Timoer. Tokoh selain Agust Mahieu adalah Lauw Giok Lan, F. Wiggers, dan A. Pedro.
Teater Indonesia tahun 1920-an dan 1930-an mulai menggunakan naskah meskipun penuh dengan kaidah sastra. Bentuk sastra drama yang pertama
kali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari karya Rustam Efendi
tahun 1926. Kemudian setelah itu muncullah tokoh penulis lain seperti Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Armijn Pane, I Gusti Nyoman Panji
Tisna, Nur Sutan Iskandar, Imam Supardi, Satiman Wirjosandjojo, Singgih, dan bahkan Ir. Soekarno.
Teater Indonesia tahun 1940-an mengalami masa penjajahan Jepang. Dalam situasi yang sulit ini, Anjar Asmara
dan Kamajaya berpikir perlu
didirikannya Badan Pusat Kesenian Indonesia yang akhirnya berdiri tahun 1942. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian
Indonesia baru. Dalam masa ini kelompok sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Rombongan
sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari,
Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan
Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi
Bangsawan, dan Bolero. Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya satra yang berarti, yaitu
Penggemar Maya 1944 pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma
Pengetahuan Teater 1
Direktorat Pembinaan SMK 2013
dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional.
Teater Indonesia tahun 1950-an banyak dihiasi cerita perang dengan para penulis Emil Sanossa, Aoh Kartahadimaja, Sitor Situmorang, dan Nasjah
Djamin. Lakon-lakon lain yang muncul adalah mengenai kekecewaan pasca perang dengan para penulis Utuy Tatang Sontani dan Akhdiat
Kartamiharja. Era ini juga dipandang sebagai munculnya realisme. Pada era ini pula ATNI didirikan oleh Asrul Sani dan Usmar Ismail pada tahun
1955 dan di Yogyakarta Harymawan dan Sri Murtono mendirikan ASDRAFI. Teater akademis ini mementaskan teater dengan pendekatan
gaya realisme. Teater Indonesia tahun 1960-an merupakan masa tumbuh suburnya
kelompok dan kritik teater serta pada pertengahan dekade sebagai penanda perubahan menuju teater mutakhir. Tokoh teater pada periode ini
di antaranya adalah Jim Lim, Suyatna Anirun, dan W.S Rendra yang terkenal dengan pertunjukan teater mini kata.
Tahun 1970-an aktivitas teater di Indonesia meningkat. Tidak hanya di Jakarta, tetapi aktivitas itu juga terasa di Yogyakarta, Surabaya, Bandung,
Medan, Padang, dan Ujung Pandang. Teater modern menemukan masa kejayaannya. Tokoh-tokoh yang eksis di antaranya, Basuki Rahmat,
Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir Surabaya, Azwar AN, Mohammad Diponegoro, Syubah Asa Yogyakarta, Wisran Hadi Padang, Rahman
Arge dan Aspar Patturusi Makassar, Arifin C. Noor, Adi Kurdi, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, D. Djajakusuma, Pramana Padmodarmaya, Putu
Wijaya, dan N. Riantiarno Jakarta. Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui
pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian
merupakan produk festival teater, antara lain Yogyakarta muncul teater Dinasti, Jeprik dan Gandrik, di Solo ada teater Gapit dan Gidag-gidig, di
Bandung muncul teater Bel, Republik, dan Payung Hitam, di Jakarta muncul teater Sae, Kubur, Tetas, Oncor, dan Kami. Selain itu kehidupan
teater kampus juga semakin berkembang. Teater Indonesia tahun 2000-an mengalami dinamika yang menarik.
Muncul pelaku teater yang menjadikan teater sebagai sebuah laboratorium penciptaan yang menggelar karya berdasar riset. Pelaku teater, mulai