Bab I Logika - Logika Itu Sederhana (Agnes Sitopu)

Agnes Christine Sitopu
KM-40-04
1502160304
BAB I - LOGIKA
Logika Itu Sederhana

“Logika”. Kata ini sudah sangat familiar di telingaku. Namun, 18 tahun hidupku, aku
masih belum memahami dengan betul apa makna sebenarnya satu kata sederhana ini. Hari ini,
“Logika” menjadi materi pelajaran di kelas. Hmm… Menarik.
Di akhir pelajaran, kubunyikan jari jemariku satu per satu dan meletakkan jariku di atas
keyboard laptop untuk mengetik resume. Sejenak ku pejamkan mataku dan mulai berpikir,
“Logika…” hingga akhirnya aku merumuskan ini semua:
Sederhananya, logika adalah akal sehat. Logika menuntun dan memelihara hati nurani
kita dalam bertindak; dalam menentukan jalan hidup untuk menghindari kesalahan-kesalahan
dalam berpikir. Hal-hal sangat sederhana sekalipun membutuhkan logika. Ingatanku tiba-tiba
tertuju kepada sarapan yang ku makan pagi tadi, nasi kuning yang enak dan hangat. Makan
nasi kuning ternyata membutuhkan logika. Aku makan menggunakan sendok yang dipegang
dengan tangan, bukan dengan kaki, dan bukan langsung dari mulut ke piring. Kalau hewan
makan langsung dari mulut, jelas karena hewan tidak punya akal pikiran, dan tidak punya
pikiran berarti tidak berpikir dengan logika.
Logika berkaitan dengan hati nurani dan memampukan kita menjawab persoalan hidup

kita. Dari dulu hingga sekarang, kita banyak sekali mengenal sejumlah ajaran dan ideologi
yang tidak semua benar. Apabila kita menggunakan logika kita dengan benar, kita bisa
menyaring mana yang bisa kita terima, mana yang harus kita tolak.
Ingatanku lagi-lagi membawaku flashback ke waktu yang sudah lewat. Aku pernah
dihadapkan dengan seseorang beragama Kristen yang beraliran keras. Dia menceritakan
bahwa kita harus meninggalkan keluarga, budaya, dan meninggalkan keinginan dunia untuk
menyebarkan firman. Namun yang ku tahu, mereka menelantarkan keluarga demi pelayanan,
membakar simbol suku, dan sebagainya. Hal terebut sangat tidak sejalan dengan logikaku.
Yang ku pelajari di dalam Kristen sepanjang hidupku adalah hidup dengan kasih dan melayani

Tuhan. Dalam hal ini, logika berperan untuk membantuku menyaring mana yang benar mana
yang salah.
Logika yang benar dimulai dari berpikir secara benar. Namun, berpikir bisa salah apabila
terlalu banyak memupuk hal negatif. Berbicara kasar adalah contoh sederhana yang tepat.
Sekali saja kita mulai berbicara kasar, lama-lama hal itu bisa jadi terbiasa. Orang yang
bersangkutan bisa berubah dan jadi beranggapan kalau berbicara kasar itu adalah hal yang
wajar dan tidak salah. Orang-orang seperti itu logikanya jadi salah karena dia sudah tidak
berpikir dengan benar dan tidak sesuai norma. Aku teringat dengan Ibu di rumah. Ibu akan
langsung marah kalau aku berbicara kasar, karena hal itu tidak baik dan menyakiti hati orang
lain. Hal ini tertanam di dalam pikiranku, sehingga logikaku menjadi benar. Terlintas dalam

benakku, “Beruntung sekali punya ibu seperti ibuku.”
Kakakku pernah bercerita mengenai seorang pria yang memiliki moto hidup “Everyhing
happens for a reason”. Dia tidak suka menyesali kegagalan dalam hidupnya karena selalu
berpikir bahwa ada alasan atas segala sesuatu yang terjadi. Suatu kali, dia hendak minum. Dia
mengambil gelas untuk diisi air dari teko. Saat dia mengambil gelas, tidak seperti biasanya dia
mengambil gelas itu secara terbalik. Lalu dia berpikir “Well, everything happens for a
reason.” Lalu, dia menuang air dari teko ke gelas dengan posisi gelas terbalik. Jelas, yang ada
air malah tumpah. Pria ini terlihat bodoh karena tidak mengggunakan logikanya.
Selepas teringat dengan Ibu dan kakak, tiba-tiba ingatanku membawaku kepada sang
kekasih. Sering kali saat kami beradu argumen, salah satunya mengucapkan kalimat “Mikir
pake logika, dong!”. Sederhananya saja, saat dia tidak mau menjemputku yang pulang malam
dari Jakarta menggunakan bis X-Trans sehabis mengunjungi kakak, aku langsung marah dan
berkata, “Masa’ aku harus jalan sendirian gelap-gelap? Kalo aku diapa-apain gimana? Mikir
pake logika, dong!”. Kemudian, dia memikirkannya dengan benar, dan langsung bertindak
untuk menjemput, karena logikanya berkata kalau wanita jalan sendiri di malam hari itu
berbahaya.
Logika itu bukan hanya pikiran dan ide, tapi diucapkan dan dilakukan. Contoh sederhana
yang lain, saat aku hendak turun dari bis X-Tans. Aku berpikir kalau turun di poolnya akan
terlalu jauh. Aku memutuskan dalam pikiranku kalau aku akan turun di gerbang tol yang dekat


Telkom. Kalau hanya dpikir-pikir mau turun, aku tidak akan bisa turun. Aku harus bilang
“Pak, saya turunnya di gerbang tol, ya.” supaya supirnya nanti menepi dan berhenti. Dalam
hal sepele seperti ini pun, sadar tidak sadar sebenarnya kita membutuhkan logika.
“Logika…” gumamku lagi di dalam hati. Ternyata sangat sederhana. Hal-hal kecil yang
kita lakukan sehari-hari ternyata kita lakukan dengan logika. Lalu ku rumuskan, apabila
logika kita gunakan dengan benar, hidup kita bisa berjalan lebih baik dan kita mampu
menyelesaikan sejumlah pertanyaan sederhana maupun sulit dalam hidup.