Bagaimana Orang Rote Mengakali Belanda dalam Pemerintahan

Bagaimana Orang Rote Mengakali Belanda 
dalam Pemerintahan
Added by satutimor.com on October 31, 2014.
Saved under Sejarah
Tags: Headline

Raja Rote, Joel Simon Kedoh (1928-1948) dan permaisuri Regina Amalo di depan istana
modern mereka yang bergaya art-nouveau di Baa, Rote sekitar tahun 1930. [sumber:
Koleksi Middelkoop pada KITLV]

Oleh Matheos Viktor Messakh
Rote memang pulau kecil. Justru karena kecil maka cara para penghuninya
berinteraksi dengan dunia luar menjadi unik. Berbicara tentang kolonialisme
orang sering bicara tentang penindasan dan eksploitasi orang Eropa tetapi jika
kita masuk kepada detail sejarah, seringkali yang kita dapati adalah interaksi
yang rumit dan saling mengeksploitasi antara pribumi dan para kolonialis.
Dibanding pulau tetangga, Timor, misalnya jelas terlihat perbedaan bagaimana
para penghuni kedua pulau ini beriteraksi dengan para pendatang Eropa yang
mulai datang pada abad awal 17. Kalau Timor mempunyai daerah pedalaman
yang cukup luas dan terpencil untuk menarik diri mundur jika ada serangan
pihak asing, maka Rote tidak mempunyai keistimewaan itu. Determinasi

geografis ini menjadi salah satu alasan mengapa para pemimpin di Timor
cukup lama memilih jalan konfrontasi dan tarik mundur ke pedalaman,
sedangkan Rote yang luasnya hanya 1.255,39 Km2 ini tak mempunyai jalan lain
selain bersekutu dan mengambil keuntungan dari orang Eropa.
Awalnya memang para penguasa Rote memilih jalan perang, namun sejak
parohan kedua abad 18 tidak ada lagi perlawan senjata yang berarti di Rote.
Sebagai gantinya mereka menerima Kekristenan dan pendidikan Eropa untuk
mencari jalan keluar dari perburuan budak yang gencar dilakukan Perusahaan
Dagang Belanda di Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie), baru dihapuskan pada tahun 1818.[1]
Namun selama tiga abad berhubungan dengan bangsa Eropa, orang Rote tetap
bisa mempertahankan kebudayaannya termasuk salah satu yang terpenting,
sistem pemerintahan aslinya. Antropolog James Fox yang meneliti Rote sejak
tahun 1960-an menyimpulkan bahwa “selama tiga ratus tahun Rote mempunyai
salah satu dari sistem gelar yang paling stabil di Indonesia.”[2]
Sistem pemerintahan asli Rote memang bertahan bukan saja sampai
kemerdekaan RI, namun sampai dua dekade setelah kemerdekaanpun (cq.
1968), system pemerintahan asli Rote masih diberlakukan. Termasuk dalam
sistem itu adalah tata cara pemilihan raja yang menarik.
VOC, Pemerintah Kolonial dan Pemerintah Indonesia


Nusak-nusak di Rote termasuk di antara yang pertama yang menjalin
hubungan dengan orang Eropa dalam hal ini dengan VOC. Bahkan jauh
sebelum VOC, raja-raja Rote telah menjalin hubungan dengan Portugis dan
oleh karena itu ekspedisi-ekspedisi penghukuman dari armada VOC di Kupang
ke Rote pada awal-awal kontak VOC dengan Rote umumnya dilakukan atas

kecurigaan bahwa raja-raja Rote bersekutu dengan pihak Portugis atau tidak
menghormati kontrak yang telah dibuat.[3]
Kontak pertama dilakukan VOC dengan Rote terjadi pada tahun 1653 dan
kemudian para pejabat VOC menandatangani berbagai traktat kontrak yang
direvisi terus-menerus dengan para manek-manek Rote di berbagai domain.
Kontrak-kontrak itu antara lain terjadi pada tahun 1662, 1691, 1700, dan 1756.
[4]
Ciri utama hubungan Belanda-Rote ini adalah “penguasaan tidak langsung”
yang berlangsung sejak kontrak pertama di abad 17 sampai dengan era
kemerdekaan Indonesia. Dalam system ini VOC (dan kemudian Kerajaan
Belanda) hanya berhubungan dengan orang rote melalui sistem pemerintahan
tidak langsung yang didasarkan pada struktur formal yang sama selama
berabad-abad.[5]

Dalam menandatangi kontrak dengan berbagai nusak yang berbeda, para
pejabat VOC secara konsisten mengakui seorang penguasa utama yang mereka
sebut sebagai Regent dan seorang pejabat tambahan yang mereka sebut
sebagai Regent Kedua (Tweede Regent). Belanda juga mengakui, namun tidak
secara formal mengangkat, sejumlah ketua di setiap domain yang mereka beri
gelar dalam bahasa Melayu, Temukun.[6] Orang Rote sendiri menyebut
penguasa utama sebagai ‘Manek’ dan penguasa kedua sebagai ‘Fetor’. Barulah
pada abad 19 pemerintah kolonial Belanda menerapkan istilah ‘Raja[7]’ untuk
para manek dan istilah ‘Fetor’ untuk penguasa kedua, namun terus memakai
istilah ‘Temukun’ untuk para tua-tua. Sistem formal dengan tiga level gelar ini
dipertahankan dengan hanya sedikit perubahan selama lebih dari tiga abad.
Sebagai nusak yang diakui, masing-masing manek di setiap nusak mempunyai
sistem pengadilan independen tersendiri. Mirip cerita Alkitab, para manek di
Rote juga adalah hakim pemutus perkara tertinggi di nusaknya masing-masing.
Fungsi seorang manek adalah mendengarkan perkara, memeriksa dan
memberikan putusan sesuai dengan adat nusaknya.[8] Anthropolog terkenal
Belanda F.A.E. van Wouden dalam pengamatannya terhadap para raja Rote
mengutip sebuah peribahasa Rote yang berbunyi: “Ketika raja berbicara,
bagaikan guntur yang bersahutan.”[9]


Raja Joel Simon Kedoh, raja untuk seluruh Rote (1928-1948) di depan istana di Baa.
[sumber: koleksi Middelkop pada KITLV]

Setelah 300-an tahun relatif tak berubah, dalam dekade-dekade awal abad 20,
dibawah kebijakan “intesifikasi kekuasaan” pemerintah kolonial berusaha
untuk merasionalisasi struktur nusak dan sistem gelar para penguasa Rote.
Tapi rupanya sistem yang sudah bertahan lama selama berabad itu sulit
dirubah. Jika pulau-pulau lain di Residensi Timor dan Pulau-pulaunya yang
sebelumnya mempunyai hubungan yang sangat kurang dengan Belanda, telah
menjadi sasaran perubahan secara mendasar, program rasionalisasi ini di Rote

berhasil ditolak dan diselepekan. Inilah ironinya: pulau yang selama berabad
sudah dipenetrasi oleh Belanda justru mampu mempertahankan sistem
pemerintahan aslinya, sementara pulau lain yang kurang mendapat penetrasi
justru menjadi sasaran perubahan luar biasa di awal abad 20.
Untuk mempertahankan posisi mereka, para penguasa Rote hanya melakukan
sebuah perubahan di permukaan. Pada 31 Oktober 1928, para manek Rote
ramai-ramai menyerahkan hak mereka akan gelar ‘Radja’ dan menyetujui
penunjukkan seorang bangsawan Rote dari turunan Fetor, Joel Simon Kedoh,
sebagai seorang pejabat sementara “Radja Rote”. Inilah untuk pertama kalinya

dan terakhir kalinya Rote mempunyai seorang “Radja” tunggal. Joel Simon
Kedoh sebenarnya adalah seorang bintang pelajar Opleiding School Voor
Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar yang dianggap cakap untuk
menjadi raja bagi seluruh pulau kecil ini.
Dengan melakukan ini sebenarnya mereka mengakali Belanda. Mereka tetap
mempertahankan hak untuk memerintah domain mereka dengan gelar
“Manek” yang sebenarnya adalah synonym bahasa Rote untuk “radja. ” Bahkan
orang Rote menyebut raja yang baru terpilih itu sebagai “manek kisek” yang
merupakan pujian sekaligus ejekan.[10] Kata ‘Kisek’ dalam bahasa Rote bisa
berarti ‘tunggal’ tetapi juga berarti ‘tersendiri’ atau ‘menyendiri’. Jadi dengan
menyebut ‘manek kisek’ bisa berarti raja tunggal tetapi bisa juga berarti raja
yang tersendiri atau raja yang menyendiri alias raja yang dicuekin.
Perubahan yang diprakarsai Belanda ini juga merupakan keuntungan bagi
beberapa penguasa dari domain yang lebih kecil yang beberapa dekade
sebelumnya telah digabungkan ke domain yang lebih besar, karena mereka
memperoleh kembali posisi ‘tradisional’ mereka.
Dengan perubahan ini, walaupun ada seorang raja yang berkedudukan di Ba’a,
Rote tetap terbagi menjadi 18 domain (nusak) dengan setiap nusak diperintah
oleh seorang Manek, seorang Fetor, dan sejumlah Temukun. Dan di sini untuk
pertama kalinya Temukun disebut dengan bahasa Rote “Maneleo”. Seluruh

Raja-raja Rote tergabung dalam sebuah dewan yang di sebut Raad van
Landshoofden[11] untuk membantu sang pejabat Raja Rote dalam
memerintah.
Ketika sang Raja Rote meninggal saat Pendudukan Jepang ia tidak digantikan.
Sistem tradisional ini berlanjut selama pendudukan Jepang dan setelah
kembalinya Belanda, dan bahkan dipertahankan sampai dua dekade setelah
kemerdekaan Indonesia dengan sedikit modifikasi. Setelah kemerdekaan, 18
nusak digabung menjadi empat Kecamatan dimana umumnya Manek dari
nusak yang besar menjadi camat. Walaupun demikian, para raja tetap berkuasa
dan sistem pengadilan tradisional Rote tetap berjalan. Hanya setelah tahun
1968 terjadi perubahan besar dalam sistem administrasi Indonesia dan sistem
tradisional ini dihapuskan.

Mengapa para Belanda masih ada di Rote sampai tahun 1949 dan
mengapa para Raja masih berkuasa sampai tahun 1960-an?[12]
Anda tentu bertanya, mengapa Belanda masih bercokol di Rote sampai tahun
1949 dan mengapa para raja masih berkuasa di Rote sampai tahun 1960-an?
Begini ceritanya: Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan untuk sementara wilayah
Negara Repuplik Indonesia yang dibagi dalam 8 propinsi.[13] Setiap Propinsi

dibagi lagi atas wilayah Keresidenan yang dipimpin oleh seorang Residen.
Setiap gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Wilayah
Swapraja Rote-Ndao dan Swapraja Sabu-Raijua yang dahulunya disatukan
dalam Onder Afdeling Rote-Sabu berada dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil
dan wilayah Keresidenan Timor dan daerah takluknya.

Kondisi terkini bekas Istana Raja Rote di Baa. [foto: Matheos Messakh]

Tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 23
Nopember 1945, Pemerintah RI menetapkan UU No. 1 Tahun 1945. UU ini
mengatur antara lain wilayah kerja perangkat Pemerintah dimana sebuah
propinsi dipimpin oleh seorang Gubernur, Keresidenan dipimpin oleh Residen,
Kabupaten dipimpin oleh Bupati, Kotapraja dipimpin oleh Wali Kota,
Kewedanan dipimpin oleh Wedana dan Kecamatan (Onder Distrik) dipimpin
oleh Asisten Wedana (Camat). Sayangnya UU ini hanya berlaku di Yokyakarta
dan tidak berlaku di daerah lain yang masih diduduki oleh Belanda termasuk
wilayah Rote-Sabu.
Oleh karena itu, pada tahun 1946 pemerintah Hindia Belanda menempatkan
kembali pejabatnya yaitu seorang Contorleur di Ba’a. Pemerintahan Swapraja
Rote-Ndao tetap bertugas seperti biasa sampai meninggalnya pejabat Raja


Rote, Joel Simon Kedoh pada tanggal 31 Agustus 1948. Pada tahun 1949
terjadilah penyerahan Kedaulatan kepada Pemerintan RI sebagai hasil
Konferensi Meja Bundar di Den Haag, secara de fakto penyerahan kedaulatan
di daerah Timor terjadi pada tanggal 29 September 1949 antara Residen Ver
Hoef dan H.A. Koroh sebagai kepala daerah Timor.
Pada tahun 1950 wilayah ex Onder Afdeling Rote-Sabu ditetapkan menjadi satu
wilayah setingkat Kewedaan (Distrik) yang dipimpin oleh seorang Kepala
Pemerintahan Setempat (KPS). Zelf Bentuur Rote yang dibentuk berdasarkan
ZBR 1938 dirubah namanya menjadi Swapraja Rote-Ndao mengalami
kekosongan kekuasaan karena meningalnya pejabat Raja Rote pada tahun
1948. Selanjutnya di Swapraja Rote-Ndao dibentuk suatu badan yang bersifat
Kolegial yang disebut Dewan Pemerintahan Daerah Sementara Swapraja RoteNdao (DPS Swapraja Rote-Ndao) yang terdiri dari beberapa raja yang bertugas
sejak 1948-1958.[14]
Berdasarkan UU No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Swatantra
Tingkat II Kupang, wilayah Swapraja Rote-Ndao digabungkan dengan Swapraja
Sabu-Raijua, Kota Kupang, Swapraja Kupang, Swapraja Amarasi, Swapraja
Fatleu, Swapraja Amfoang menjadi daerah Swatantra Tingkat II Kupang
dengan Ibukota Kupang.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur NTT[15] tertanggal 28 Februari 1962

dan tanggal 9 Juni 1962, Wilayah Swapraja Rote-Ndao dimekarkan menjadi tiga
wilayah Kecamatan yaitu: Rote Timur, Rote Tengah dan Rote Barat.[16] Periode
ini merupakan masa transisi yang sulit bagi orang Rote. Banyak orang belum
mempercayai pemerintahan Indonesia, dan oleh karena walaupun sudah ada
camat, raja-raja tetap memerintah. Perkara-perkara masih diputuskan oleh raja
walaupun telah ada pengadilan negeri di Ba’a. Dalam periode inilah dikenal
raja-raja terakhir dari Rote.[17] Karena sejumlah raja diangkat menjadi camat,
maka penggati mereka segera juga diangkat. Karena ini merupakan masa
transisi, para raja terakhir ini ada yang dipilih oleh rakyat, ada pula yang hanya
dipilih oleh para temukun. Ini penjelasannya mengapa setelah Indonesia
merdekapun Belanda masih ada dan para Raja masih diakui dan berkuasa di
Rote.
Sistem Pemerintahan Rote, Bukan Monarki Absolut
Pulau Rote terbagi dalam 18 domain otonom yang disebut Nusak[18] yang
dikuasai oleh seorang pemimpin yang disebut Manek[19] yang tugas utamanya
adalah mendengarkan perkara dan memberikan putusan dalam system
pengadilan yang otonom di nusaknya sendiri.[20] Setiap nusak
mempertahankan varian tersendiri dari bentuk hukum adatnya, memelihara
dialek tersendiri dan bangga akan keunikannya dalam kebiasaan tertentu dan
dalam hal berpakaian dari nusak yang lain.


Setiap Nusak terdiri dari sejumlah klan (leo) yang membentuk unit politik
tradisionalnya.[21] Klan itu terbatas pada satu nusak, tidak ada system klan
yang berlaku untuk seluruh pulau itu. Setiap klan dikepalai oleh seorang
kepala klan yang disebut maneleo yang mewakili klannya dalam pengadilan
kerajaan dan membantu manek dalam memberikan keputusan. Walaupun
jumlah klan dalam setiap nusak tidak selalu berjumlah Sembilan, struktur klanklan yang rumit ini secara keseluruhan biasa dirujuk sebagai kelompok
‘sembilan’ (sio), yaitu angka yang menunjukkan totalitas. Karena itu setiap
kepala klan disebut juga manesio (manek Sembilan). Dalam sejumlah nusak,
salah satu kepala klan disebut juga manedope (manek pisau) yang berfungsi
mengumunkan dan melaksanakan keputusan sang raja.
Rakyat dibagi dalam dua kelas, bangsawan dan rakyat biasa. Para bangsawan
ada dalam dua klan, klan manek dan klan fetor.[22] Walaupun gelar Fetor ini
terdapat di beberapa tempat di Timor dan kemungkinan besar berasal dari
bahasa Portugis, etymologi tradisional Rote mengatakan bahwa gelar Fetor ini
berasal dari bahasa Rote ‘feto’ yang dalam konteks tertentu berarti
‘perempuan’. Gelar Manek sendiri berasal dari kata “mane” yang berarti jantan
atau laki-laki. Orang Rote melihat hubungan antara klan Manek dan klan Fetor
sebagai polaritas sexual simbolik. Dalam banyak nusak, kedua klan ini bersatu
dalam alliansi affinal saling menguntungkan.

Semua klan yang lainnya selain klan Manek dan klan Fetor adalah klan rakyat
biasa.[23] Orang kebanyakan (laus dari kata laus yang bisa berarti ‘busuk’,
‘rakus’, ‘jelek’, ‘penyakit’, ‘tidak beruntung’ dan membentuk sebuah kata kerja
yang berarti ‘melakukan kerja kasar’. [24] Salah satu klan jelata dalam setiap
nusak adalah klan Kepala Bumi (Dae Langak). Dae Langak ini mempunyai
kuasa spiritual atas seluruh nusak, termasuk terhadap klan Manek. Ia
mempunyai hak, dalam kondisi tertentu, untuk menyanggah keputusan raja
dan mempunyai sejumlah hak ritual menyangkut bumi.
Kemenangan para manek melawan pemerintah Kolonial ini juga membawa
konsekwensi bahwa mereka tetap mengatur mekanisme rekruitmen politik
mereka berdasarkan sistem yang sudah berabad, bukan berdasarkan sistem
penunjukkan oleh pejabat Kolonial. Walaupun seorang raja untuk seluruh Rote
ditunjuk oleh Belanda, tapi manek-manek tetap dipilih oleh rakyat mereka.
Naiknya seseorang menjadi manek bukanlah berdasarkan keturuan namun
berdasarkan pemilihan. Walaupun para kandidat adalah terbatas pada klan
manek, namun manek haruslah dipilih oleh rakyat melalui pemilihan langsung.
Jadi tidak otomatis seorang Raja anaknya akan menjadi raja berikutnya, karena
setiap pergantian raja haruslah melalui pemilihan.
Contoh Kasus Nusak Thie

Meskipun Thie (sekarang menjadi kecamatan Rote Barat Daya) dalam suratsurat VOC tertanggal 22 November 1660, nusak ini tidak secara formal diakui
dalam kontrak VOC hingga 1690. Dinasty yang sama yang menggunakan nama
marga Mesak (seringkali ditulis dengan gaya Belanda kuno ‘Messakh’) telah
menguasai Thie sejak pengakuan oleh VOC ini.[25] Fox menyebut dua orang
raja Thielah yang telah melakukan inovasi yang kemudian merubah seluruh
Rote. Di tahun 1729, raja Mbura Mesa masuk Kristen dan anaknya Foe Mbura
(atau Benjamin Messakh) yang menggantikannya setelah itu mendeklarasikan
Thie sebagai negara Kristen dan mendirikan sekolah lokal berbahasa Melayu
pertama di Rote.
Nusak Thie terbagi dalam 26 klan, 14 tergabung dalam moety manek yaitu
disebut Sabarai, 12 klan tergabung dalam moiety Taratu yaitu moety Fetor.
Klan-klan ini, baik yang tergabung dalam Sabarai atau Taratu, masih
dibedakan lagi menjadi Leo Inak (klan besar), dan Leo Anak (klan kecil).
Pembedaan ini tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota klan melainkan
lebih kepada pembedaan antara “bangsawan” dan “orang biasa”. Walaupun
semua klan di Thie …klan-klan besar dalams setiap moiety mengakui hubungan
geneologis yang lebih dekat satu sama lain. Namun di antara setiap kelompok
klan besar ini terdapat pembagian lebih kecil lagi yang mempunyai signifikansi
politik. Lima dari delapan klan besar dalam grupSabarai membentuk grup yang
disebut Pandi-Anan (Anak-anak Pandi) sementara enam dari delapan klan besar
dalam grup Taratu membentuk kelompok yang disebut sebagai Moi-Anan
(Anak-anak Moi) dan empat dari enam klan dalam Moi-Anan ini membentuk
sebuah kelompok lain yang disebut Boru-Anan (Anak-anak Boru).
Menurut tradisi, anggota-anggota Boru Anan (Leo Nalle Feo, Mesa Feo, Tode
Feo dan Ndana Feo) mempunyai hak untuk memilih atau setidaknya
meratifikasi pemilihan seorang Manekbaru dan para anggota Pandi-Anan
mempunyai hak yang sama untuk memilih seorang Fetorbaru. Selain itu akan
dipilih tiga orang saksi dari leo-leo lain secara acak. Paling sering saksi dipilih
dari klan Keka Dulu yang dianggap netral. Sejak terbentuknya Swapraja RoteNdao di tahun 1945, pemerintah swapraja juga mengirimkan seorang
pengamat dari Ba’a pada saat pemilihan raja.
Manek dipilih dari klan Mbura Lae, atau keluarga Messakh yang berdiam di
tiga wilayah di Nusak Thie yaitu dari Ngoro Dulu (Keluarga Messakh di
Oebatu), Ngoro Muri (keluarga Messakh di Oebafok) dan Ngoro Kona (keluarga
Messakh di Batutua).
Entah sejak kapan pemilihan raja ini dilakukan oleh setiap rumah ( uma) yang
diwakili oleh kepala rumah tangga. Uma adalah unit terkecil dari sebuah klan.
Biasanya setelah sekian kandidat ditetapkan, maka akan diadakan pemilihan.
Pemilihan ini berlangsung secara terbuka, dan setiap pemilih akan memilih
calonnya dengan memasukkan batu kerikil ke dalam wadah yang terbuat dari
anyaman daun lontar yang di sebut kapisak atau lapaneuk.

Karena diadakan secara terbuka, sang pemilih tentu harus menyingkirkan
segala kekhawatiran dan rasa sungkan untuk memilih calon yang ia sukai.
Kebiasaan berbeda pendapat dan berperkara di kalangan orang Rote turut
membentuk kepribadian mereka dimana mereka tidak akan takut berbeda
walaupun dengan kerabat sendiri. Misalnya, walaupun paman seorang pemilih
adalah kandidat raja, namun ia belum tentu memilih pamannya. Dan itu kadang
dilakukan secara terbuka. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat kedewasaan
politik yang dibutuhkan dalam pemilu seperti ini.
Memasuki abad 20, pemilihan sudah diadakan dengan sistem kartu dan cap
jempol dimana tiga orang calon diberi nomor dalam sebuah daftar, kemudian
para pemilih akan membubuhkan cap jempol mereka pada kolom calon yang
mereka pilih.
Sayangnya, di era Orde Baru, pemilu ini dikebiri. Rakyat masih boleh memilih
secara langsung anggota DPR mereka namun pemilihan para pejabat eksekutif
dilakukan oleh DPR. Kemudian di Era Reformasi muncul kembali harapan
dimana pemilihan umum legislative maupun eksekutif dilakukan oleh rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia baru saja melakukan kebodohan yang
bahkan tidak dilakukan masyarakat tradisional Indonesia dari pulau terpencil
di sebelah selatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pertarungan di parlemen pasca terpilihnya Joko Widodo dan Yusuf Kalla,
sebernarnya baik Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat bisa
menerapkan politik ala Rote ini, namun nampaknya mereka menyukai bermain
kasar dan tanpa malu-malu. [S]
Referensi
James Fox, (1971) ‘A Rotenese Dynastic Genealogy: Structure and Event’
dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed), London: Tavistock,
hal.37-77.
James Fox,(1980) ‘Obligation and Alliance: State Structure and Moiety
Organization in Thie, Roti’ dalam Fox (ed.), The Flow of Life: Essays on Eastern
Indonesia, Harvard University Press, hal. 98-133.
James Fox,(1983) ‘For Good and Sufficient Reasons: An Examination of Early
Dutch EastIindia Company Ordinances on Slave and Slavery’ dalam Anthony
Reid (ed.), Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia, NY: St.
Martin’s Press, hal. 246-262.
James Fox, (2007), Traditional Justice and ‘Court System’ of the island of
Roti, The Asia Pasific Journal of Anthropology, 8:1, hal. 59-73.
Benjamin Messakh, Rote dalam Jangkauan Jaman, [belum dipublikasikan]

CATATAN KAKI
[1] Pada tahun 1770 sebuah ordonansi budak dikeluarkan oleh VOC yang
melarang perbudakan terhadap orang Kristen. Namun Ordonansi perbudakan
pertama kali dikeluarkan VOC pada 4 Mei 1622 yang menurut Fox telah
berkontribusi terhadap pembentukan kelas Kristen pribumi yang terpisah dari
orang Eropa yaitu para mardijkers dan juga berimplikasi pada aturan-aturan
mengenai hubungan dengan kerajaan-kerajaan pribumi di Indonesia timur
termasuk dengan Rote. Dalam hukum Belanda, rakyat dari “penguasa Kristen”
pertama di Rote tidak boleh dijadikan budak oleh kerajaan-kerjaan tetangga
yang melakukan perburuan budak. Lihat James Fox, ‘For Good and Sufficient
Reasons: An Examination of Early Dutch EastIndia Company Ordinances on
Slave and Slavery’ dalam Anthony Reid (ed.), Slavery, Bondage and
Dependency in Southeast Asia, NY: St. Martin’s Press, hal. 253.
[2]James Fox, ‘Obligation and Alliance: State Structure and Moiety
Organization in Thie, Roti’ dalam Fox (ed.), The Flow of Life: Essays on Eastern
Indonesia, Harvard University Press, h. 106; Fox (2007), Traditional Justice and
‘Court System’ of the island of Roti, The Asia Pasific Journal of Anthropology,
8:1, hal. 60.
[3] James Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy: Structure and Event’
dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed), London: Tavistock,
1971. hal. 58.
[4]Ibid: 40.
[5] Fox, ‘Obligation and Alliance’ h. 104; Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy:
Structure and Event’ dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed),
London: Tavistock, 1971. h 40.
[6] Temukun berasal dari bahasa Jawa, ‘Tumenggung’.
[7] Istilah ‘radja’ baru terapkan oleh Belanda dalam dokumen-dokumen
resminya pada awal abad 19, dan istilah yang diambil dari bahasa Melayu yang
berasal dari India ini cukup mempengaruhi konsep tentang para pemimpin
tradisional di Indonesia sampai sekarang. Menurut hemat penulis, dalam
membahas tentang para pemimpin-peminpin tradisional di Indonesia sebaiknya
digunakan istilah asli dipakai penduduk mengingat keunikan konsep dan
praktek dalam pemerintah tradisional. Dengan menggunakan raja pikiran kita
akan menuju kepada istilah “King” atau “Koning” dalam pengertian Eropa yang
sebenarnya jauh berbeda dalam level definisi maupun praktis. Oleh karena itu
sebaiknya digunakan istilah yang asli untuk menghindari misinterpretasi.
Dengan demikian maka di gunakan saja istilah “Manek” atau misalnya di Timor
sebaiknya digunakan saja istilah “Liurai” atau “Usif.”

[8] Fox, ‘Obligation and Alliance’, hal. 104.
[9] 1968: hal. 64.
[10] Wawancara dengan Benjamin Messakh, BA. (alm).
[11] Secara harfiah dapat diterjemahkan dengan ‘Dewan Para Kepala Negeri’,
namun lebih populer diterjemahkan dengan ‘Dewan Raja-raja’.
[12] Saya berhutang pada bagian ini sebagian besar dari tulisan Benjamin
Messakh yang belum diterbitkan: Rote Dalam Jangkauan Zaman.
[13] Kedepan Propinsi itu adalah: Jawa Barat dengan Ibukota Bandung, Jawa
Tengah dengan Ibukota Semarang, Jawa Timur dengan Ibukota Surabaya,
Sumetera dengan Ibukota Bukit Tinggi, Borneo dengan Ibukota
Banjarmasin, Sulawesi dengan Ibukota Makasar, Sunda Kecil dengan Ibukota
Singaraja, Maluku dengan Ibukota Ambon.
[14] DPS Swapraja Rote-Ndao adalah sebagai berikut:
Tahun 1948-1952: Raja Korbaffo, Ch. P. Manubulu (ketua) dengan anggotaanggota: J. W. Messakh (Raja Thie) dan dua orang lagi yang belum diketahui
oleh penulis.
Tahun 1952-1954: Raja Talae, Mesak Mesah Saudale (ketua) dengan anggotaAnggota: Nehemia Daud (Raja Ringgou), Marthen Lenggu (Raja Bilba), dan
seorang lagi yang belum diketahui.
Tahun 1954-1955: Raja Ringgou Nehemia Daud (Ketua), Ishak Dae Panie
(Raja Ba’a ), Hendrik Hanok Lenggu (Raja Oenale) dan seorang lagi yang
belum diketahui.
Tahun 1956-1957: Raja Korbaffo, Ch. P. Manublu (Ketua), Marthen Lenggu
(Raja Bilba), Ishak Dae Panie ( Raja Ba’a ), dan seorang lagi yang belum
diketahui.
Tahun 1957-1958: Raja Korbaffo, Ch. P. Manublu (Ketua), Nehemia Daud
(Raja Ringgou), W. St. Mbate Mooy (Wakil Raja Thie), Jacobus Lasarus, dan
Albert Dillak.
[15] Keputusan Kepala Daerah Tingkat-I Nusa Tenggara Timur No. Pem.66 /
1/2 Tanggal 28 Februari 1962 dan No. Pem. 6 /1/33 tanggal 9 Juni 1962.
[16] Kecamatan Rote Timur meliputi Nusak Landu, Ringgou, Oepao, Bilba,
Diu, dan Korbaffo dengan Ibukota Eahun, dengan Samuel Sadrak Bokotei
sebagai Camat pertama;Kecamatan Rote Tengah meliputi Nusak Termanu,
Bokai, Lelenuk, Keka, Talae, Loleh, dan Ba’a, dengan Ibukota Ba,a dengan
camat pertama E. Y. I. Amalo; Kecamatan Rote Baratmeliputi Nusak Lelain,

Thie, Dengka, Delha, Oenale, dan Ndao dengan Ibukota Oelaba dengan camat
pertama Yacobus Arnoldus Messakh.
[17] Di Nusak Ringgou/Rikou, Raja Nehemia Daud yang berkuasa sejak tahun
1926, diangkat menjadi anggota dan ketua DPDS Swapraja Rote Ndao pada
tahun 1962, sehingga ia digantikan sebagai raja oleh Samuel Daud yang
berkuasa tahun 1962-1972; di Nusak Oepao, Zakarias Sjion adalah raja tekahir
yang berkuasa tahun 1964-1969; Di Nusak Landu, raja terkahir adalah
Marthen Matheos Johannis (1959-1972); di Nusak Bilba, Raja Marten Lenggu
yang berkuasa sejak tahun 1948 diangkat menjadi anggota DPS Rote pada
tahun 1960 dan digantikan oleh Arnoldus They (1960-1972); Raja terkahir
Nusak Diu adalah Paulus Albert Manafe (1960-1972); Raja terakhir Nusak
Korbafo adalah
Christian Paulus Manubullu (1926-1972); Raja
terakhir Lelenuk adalah Josepus Daud Daik (1965-1972); Di Nusak Termanu
Raja Ernest Johanis Jermias Michel Amalo (1946-1962) diangkat menjadi
Camat Rote Tengah dan digantikan Wakil Raja Frans Bire Doko, (1962-1964)
dan dari tahun 1969-1972 diangkat Raja terakhir Jhon Fritz Amalo; Raja
terakhir Nusak Keka adalah Thobias Malelak (1927-1974) dan sejak tahun 1962
tugas Raja dilaksanakan oleh Welhelmus Malelak sebagai wakil raja; Raja
terakhir Nusak Talae adalah Mesak Mesah Saudale (1922-1972); Raja terakhir
Nusak Bokai adalah Herman Dupe (1962-1972); Raja terkahir Nusak Lole
adalah Salmun Paulus Suido Dillak (1938-1972); Raja terakhir Nusak Ba’a
adalah Abia Zakarias Mandala (1966-1972); Raja terakhir Nusak Lelain adalah
Junus Bessie (1966-1972); Raja terkahir Nusak Dengka adalah Kristofel
Aleksander Tungga (1957-1962); Raja terakhir Nusak Thie adalah Thobias
Arnoldus Messakh (1962-1972); Raja terkahir Nusak Oenale adalah Th. Dethan
(1961-1972); Raja terakhir Nusak Delha adalah Abner Ndun (1935-1972); Raja
terakhir Nusak Ndao adalah Ferdinand Baun (1945 – 1968). Lihat Benjamin
Messakh, Rote dalam Jangkauan Jaman [belum diterbitkan].
[18] James Fox menggunakan dua istilah yang bergantian untuk nusak yaitu
“domain” dan “state.” Nusak-nusak itu adalah: Delha, Oenale, Thie, Dengka,
Lole, Lelain, Ba’a, Termanu, Keka, Talae, Bokai, Lelenuk, Diu, Korbafo, Bilba,
Oepao, Ringgou dan Landu.
[19] Fox menggunakan istilah “Lord” untuk Manek.
[20] Untuk system pengadilan Rote lihat James Fox, “Traditional Justice and
the ‘Court System’ of the Island of Rote” hal. 59-73
[21] Uraian tentang system klan ini dasarkan pada Fox, ‘A Rotenese Dynastic
Genealogy’, hal. 40-42.
[22] Ada tiga nusak kecil, Delha, Oenale dan Lelenuk tidak mempunyai fetor.
Nusak-nusak ini terbentuk karena perpecahan antara manek dan fetor. Di

nusak kecil lainnya, Talae, Fetor telah menggantikan sang Manek dan
mengusai nusak itu –sebagai Fetor—secara permanen.
[23] Contoh klan manek dan klan fetor bisa di lihat di dua nusak besar yaitu
Termanu dan Thie. Di Termanu, klan manek adalah Masa-Huk dan klan fetor
adalah Kota-Deak. Klan lain yaitu Meno, Sui, Kiu-Kanak, Ingu-Beuk, Nggofa
Laik, Dou-Dangga, Ingu-Fao, Ulu-Anak dan Ingu-Nai adalah klan rakyat
kebanyakan. Klan Meno adalah klan para Dae-Langak.
[24] Op.cit. 41
[25] Fox, ‘Obligation and Alliance: State Structure: 121

Landu Affair 1756: Mengapa Nusak Landu 
Jarang Penduduknya

Added by satutimor.com on July 14, 2014.
Saved under Sejarah

Pertemuan para manek Rote tahun 1930-an. Dari kiri ke kanan: Thobias Malelak dari Keka
(ketiga dari kiri, meninggal 1966), Christian Paul Manubulu dari Korbafo (keempat, 19261989), DL Detaq dari Baa (kelima, meninggal 1938), tidak diketahui (keenam), Yusuf
William Johannis dari Landu (ketujuh, 1916-1961). Matheos Yusuf William Johannis ini
adalah keturuan dari raja-raja Landu yang terlibat pertikaian di tahun 1756 yang berakhir
dengan pembantaian oleh VOC. [sumber: dipersembahkan oelh Middelkoop kepada KITLV]

Oleh Matheos Messakh
DALAM pertarungan politik kontemporer di pulau Rote, negeri (Nusak) Landu
jarang diperhitungkan karena walaupun wilayahnya cukup luas namun jumlah
penduduknya jauh lebih sedikit dibanding nusak-nusak lain di Rote. Pengabaian
politis ini menjadi lebih kuat terutama ketika demokrasi elektoral era
Reformasi bertemu dengan kharakterisitik pemilih yang masih sangat
primordialis.
Nusak-nusak yang berjumlah penduduk besar selalu menjadi lirikan politisi dan
orang-orang dari nusak berjumlh penduduk besar selalu mempunyai peluang
lebih besar dalam politik seperti dipilih menjadi Bupati Rote-Ndao atau menjadi
anggota DPR.[1] Paling kurang nusak-nusak dengan jumlah penduduk lebih
besar seperti Thie dan Dengka menjadi lahan garapan para politisi yang mau
mendulang suara.

Kurangnya jumlah penduduk ini juga mempengaruhi pilihan ekologis dan
pertanian di negeri yang berada paling ujung timur pulau Rote dan paling
dekat dengan pulau Timor ini. Perbedaan pola pertanian dan peternakan ini
dibahas oleh James Fox dalam Harvest of the Palm: Ecological Change in
Eastern Indonesia. (1977).
Namun, jangan dikira populasi pulau Rote bagian timur, terutama Landu yang
sedikit karena persoalan ekologi dan migrasi semata. Jangan dikira karena
Landu dekat dengan Kupang, jadi sebagian besar orang-orangnya bermigrasi
ke Kupang dan sekitarnya.
Ada peristiwa sejarah yang cukup signifikan yang telah membuat Landu
menjadi nusak dengan penduduk paling sedikit di Rote dan kemudian hal itu
berpengaruh pada pola pertanian dan peternakan di Rote bagian timur.
Landu termasuk diantara nusak yang paling awal membuat perjanjian kerja
sama dengan VOC yaitu pada tahun 1653.[2] Pada saat itu Landu adalah negeri
paling padat di Rote. Pada tahun 1750 populasinya diperkirakan 4,000 atau 23
orang per kilometer persegi. Namun pada tahun 1756 telah terjadi sebuah
peristiwa yang menjadikan Landu daerah tak bertuan.
Menurut laporan Komisaris VOC, Johannes Andreas Paravicini, telah terjadi
sebuah pertikaian di Lando yang sebenarnya sudah terjadi lama antara pejabat
sementara ‘regent’[3] dan putera almarhum regent. [4] Ini terjadi karena
suadara dari mantan bupati/regent yang menjadi pejabat sementara tidak mau
menyerahkan jabatannya kepada putera sang regent ketika sang putra sudah
akil balik.

Peta Onderafdeeling Rote yang dibuat tahun 1910. Nampak nusak Landu di bagian paling
timur pulau Rote hampir merupakan bagian yang terpisah sendiri. [sumber: KITLV]

Masing-masing pihak bersihkeras mempertahankan kebenarannya. Kedua
kelompok ini masing-masing dipimpin oleh dua orang ‘temukung’.[5] Mereka
mengutus seorang bernama Nai Laffa ke Kupang untuk
bertemu opperhoofd atau kepala pemerintahan VOC di Kupang. Namun
menurut Paravicini, sang opperhoofd yang penakut ini [baca juga: Korupsi
Pejabat VOC di Kupang tahun 1750-an] tidak mampu menyelesaikan masalah
ini dan hanya menjanjikan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik. Ia
menyuruh Nai Laffa kembali ke Rote, maka meletuslah pemberontakan di
Landu.
Komisaris VOC Paravicini yang kebetulan berada di Kupang menangani kasus
ini. Ia mengadakan sebuah pertemuan besar di mana semua pemimpin pribumi
dihadirkan. Dalam siding itu terbukti bahwa pejabat sementara regent dan
putranya memerintah dengan sangat jelek. Mereka banyak melakukan hal-hal
yang tidak baik. Paravicini menyuruh menangkap mereka dan dibuang ke
Batavia.
Sesudah pertemuan itu, Paravicini menjanjikan perlindungan VOC seumur
hidup kepada pewaris tahta yang bernama Bani[6] itu apabila ia melepaskan
diri dari pengaruh para temukung yang nota bene menentang kepentingan
VOC.
“Putra mahkota” itu tidak sepenuhnya mempercayai janji Paravicini. Karena itu
tanpa alasan yang jelas ia melarikan diri kembali ke Landu dan berusaha untuk

berdamai dengan pihak yang semula melawannya. Hal ini tidak diterima baik
oleh Paravicini. Dikirimlah kapal De Vrijheid(Kebebasan/Kemerdekaan)
dibawah pimpinan Ringholm dan Wegener bersama 50 tentara Eropa, 50
orang Bali dan juga orang-orang Sabu, Rote dan Solor untuk ‘menggasak dan
menghancurkan Landu sekali dan untuk selamanya, untuk menangkap setiap
orang sebagai tawanan perang, dan tidak membiarkan seorangpun
berkeliaran.’ [7] Penumpasan ini dimaksudkan agar Landu kemudian
dibagikan-bagikan kepada orang Rote yang bersekutu dengan VOC dan juga
menjadi peringatan agar penduduk pulau Rote yang lain tidak mengikuti cara
Landu.
Dalam pertempuran antara pasukan VOC dan penduduk Landu, para penduduk
melarikan diri dan berlindung di sebuah benteng yang terletak satu jam
perjalanan dari ‘kampong Lando’[8]. Setelah melalui perlawanan sengit dan
berlangsung kira-kira empat jam orang-orang Landu akhirnya kalah. Mereka
lari meninggalkan benteng itu dan bertahan di tebing-tebing serta gua-gua.[9]
Banyak yang berhasil melarikan diri tetapi lebih dari 100 orang laki-laki,
perempuan dan anak-anak membunuh dirinya dan juga dibunuh. Tidak saja
penduduk Landu tetapi penduduk di kampong sekitar yang terletak dua sampai
lima jam jauhnya juga dirusakkan.
Mereka yang mengungsi terdiri lebih dari 1400 orang. Mereka memanjat
tebing-tebing dan batu-batu karang. Mereka mencoba bertahan di gua-gua dan
batu-batu karang namun karena kelaparan akhirnya mereka menyerahkan diri.

Interior dari sebuah rumah Manek Matheos Yoesoef Johannis (kiri) dari Landu, di Rote
sekitar tahun 1925. [sumber:KITLV]

Tak lama kemudian ada utusan dari Landu menuju Kupang untuk bertemu
Paravicini. Kepadanya dibawakan sebuah kalung emas untuk memohon maaf,
namun sang Komisaris menolak pemberian tersebut. Mereka berkata bahwa
mereka tidak menentang ‘Kompeni’[10] tetapi menentang seorang penindas
yang memeras mereka dengan cara berlebihan. Paravicini menjawab bahwa
suatu bangsa yang telah melawan Kompeni harus dihukum sebagai
pemberontak. Namun sebagai akibat dari segala penderitaan yang dialami dan
sebagai tanda belas kasihan terhadap para perempuan dan anak-anak yang
menjadi korban, mereka diberikan pengampunan dengan syarat bahwa segala
senjata diserahkan dan para penduduk wajib menyerahkan diri dan dikirimkan
ke Kupang.
Rupanya pesan Paravicini ini hanya tipu muslihat saja. Ketika para pembawa
pesan kembali ke Landu, penduduk yang masih tersisa menerima pesan itu dan
dengan sukarela mereka berlayar ke Kupang dalam keadaan lapar yang luar
biasa. “Sangat menyedihkan melihat anak-anak kecil yang menderita
kelaparan. Setibanya di Kupang, mereka dijadikan budak.
Budak-budak itu dibagi-bagi diantara mereka yang terlibat dalam penyerangan,
termasuk pegawai VOC dan para prajurit. Menurut laporan J.A. van der Chrijs,
sang Komisaris mendapat 300 orang sebagai budaknya sendiri dan 1,145 lakilaki, perempuan dan anak-anak dikirim ke Batavia demi keuntungan VOC.[11]

Demikianlah Landu yang jumlah penduduknya pada tahun 1756 berjumlah
sekitar 4000 orang itu berakhir dengan menyedihkan.
Paravicini sendiri khawatir bahwa caranya menangani masalah ini sangat keras
dan kejam karena itu ia berusaha untuk membela tindakannya. Dalam sebuah
pertemuan beberapa hari kemudian antara Paravicini dan para penguasa Rote
dan Sabu, ia memerintahkan agar kampung-kampung yang sudah dirusak
direhabilitasi dan penduduk Landu yang terserak ke seluruh Rote dikumpulkan
kembali. Pangeran Bani kembali memerintah dan para terpenjara dikirim ke
Batavia.
Di Batavia, Pemerintah Tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jendral dan
Dewan) meneliti tindakan Paravicini dan menemukan bahwa ia telah sangat
merugikan Negara-negara Eropa lain dalam kontrak-kontrak yang ia buat,
dengan menggunakan terminologi-terminologi yang sama sekali tidak layak
untuk sebuah dokumen diplomatik. Mereka juga mengkritisi pembantaian di
Landu, namun di bulan Mei 1757, sebanyak 777 tawanan dari Landu dijual ke
pasar budak dan menghasilkan sebanyak 50.012 guilders.[12]
Pertanyaannya sekarang, mungkinkah bisa ditelusuri di mana orang-orang itu
ditempatkan datau diperjualbelikan sebagai budak dan di manakah keturunan
mereka sekarang? Ilmu genetika modern mungkin bisa membantu menemukan
keturunan orang-orang Landu yang diperjualbelikan sebagai budak di Batavia
berabad lalu.
Itulah cerita mengapa nusak Landu jarang penduduknya hingga kini. [S]
Catatan akhir:
[1] Kurangnya jumlah penduduk ini menyebabkan nusak ini harus digabung
dengan nusak lain untuk dapat menjadi sebuah kecamatan. Saat terjadi
perubahan ketatanegaraan pada tahun 1962, berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur NTT No Pem. 66/1/2 tanggal 28 Januari 1962 dan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT No. Pem 66/1/3 tanggal 5 Juni 1962,
wilayah Nusak Landu digabungkan dengan Nusak Ringgou, Oepao, Bilba, Diu,
dan Korbaffo ditetapkan menjadi Kecamatan Rote Timur dengan ibukota
Kecamatan di E’ahun. Lihat Benjamin Messakh, Sejarah Rote-Ndao, belum
dipublikasikan.
[2] Penguasa nusak Landu mulai mengadakan hubungan poitik dengan VOC di
Kupang pada tahun 1653. Pada tahun itu empat Raja dari Rote bagian Timur
yaitu Landu, Ringgou,Oepao dan Bilba bersumpah setia kepada Kompeni di
Kupang yang bernama Ter Horst dan pada tahun berikutnya 1654 Terhorst
memimpin suatu ekspedisi bersenjata ke Rote untuk memperkuat sekutunya
terhadap musuh mereka. Ekspedisi ini menghancurkan Kejaan Korbaffo yang
diisukan bersekutu dengan Portugis. Walaupun Nusak Landu telah mengadan

hubungan politik dengan para petugas VOC di Kupang tahun 1653 namun
penguasa nusak Landu baru menandatangani kontrak pendek ( Korte
Verklaring) dengan penguasa VOC pada tahun 1690. Menurut Benjamin
Messakh, dari beberapa silsilah lisan para manek serta beberapa dokumen
resmi VOC diperkirakan bahwa Manek Landu yang mengadakan hubungan
politik pada tahun 1653 bernama Bane Dai Lafa sedangakan Manek Landu
yang menandatangani kontrak politik 1690 bernama Ba Bane. Lihat Benjamin
Messakh, Sejarah Rote-Ndao, belum diterbitkan; Hans Hagerdal, Lords of the
Land, Lords of the Sea: Conflict and Adaptation in 1600-1800 . Leiden: KITLV
Press, 2012, hal. 221.
[3] Ada bermacam-macam istilah yang digunakan dalam dokumen-dokumen
VOC untuk para pemimpin lokal. Lebih sering digunakan istilah yang diambil
dari Jawa yang mempunyai pengaruh India yang kuat seperti, ‘raja’, kadang
digunakan ‘bupati’, kadang pula digunakan ‘regent’. Pengaruh sebutan ini
masih kuat sampai sekarang terutama istilah ‘raja’ yang sering digunakan
tanpa memikirkan maknanya. Demi kepentingan konsistensi definisi dan isi
kami mengajurkan sebaiknya dipakai istilah sesuai sebutan penduduk lokal,
misalnya di Rote digunakan istilah ‘manek’ tanpa harus diterjemahkan atau di
Timor digunakan istilah ‘usif’.
[4] J. A. van der Chijs ‘Koepang omstreeks 1750’ (1872) Tijdschrift voor
Indische Taal-, Land- en volkenkunde 18, hal. 209-27.
[5] Istilah ‘temukung’ sendiri telah dianggap sebagai sebutan asli orang Rote
namun sebenarnya istilah ini berasal dari Bahasa Jawa ‘Tumenggung.’
[6] Sejahrawan Rote Benjamin Messakh berhasil mengumpulkan silsilah dinasti
nusak Landu berdasarkan tuturan lisan orang Landu dan beberapa dokumen
VOC, Pemerintah Hindia Belanda dan Repuplik Indonesia sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Meno Balo
Balokama Meno
Keolima Balokama (1550-1574)
Bane Keolima (1574-1594)
Sura Bane (1595-1613)
Dailafa Sura (1613-1670)
Bane Dailafa (1670-1690)
Ba Bane/Paulus Johannis (1690-1697)
Lete Ba/Soleman Johannis (1697-1725)
Dailafa lete/Abraham Johannis (1725-1745)
Keo Lima Ba/Christofel Johannis (1745-1778)
Lete Ba/ Willem Johannis (1778-1804)
Tetelai Ba/ Johanis Willem Johannis (1804-1832)
Dale Lete/Jusuf Willem Johannis (1832-1859)
Daud Willem Johannis (1859-1885)
Yusuf Willem Johannis (1885-1912)

17.
Lasarus Yusuf Willem Johannis (1912-1923)
18.
Matheos Yusuf Willem Johannis (1923-1959)
19.
Marthen Matheos Johannis (1959-1972)
Jika dilihat dari kemiripan nama dan memperhitungkan tahun kejadian,
kemungkinan utusan yang dikirim ke Kupang yang disebut ‘Nai Laffa’ adalah
Dailaffa Lete atau Abbraham Johanis yang berkuasa dari 1725-1745. Namun
agak sulit dipastikan siapakah pewaris tahta yang bernama ‘Bani’ karena ada
sejumlah penguasa sebelumnya bernama “Bane”. Kemungkina ‘Bani’ yang
dimaksud dalam laporan Paravicini yang dikutip Van der Chijs adalah anak dari
salah satu ‘Bane’ yang berkuasa sebelumnya. Hal ini sangat mungkin
mengingat pemberian nama orang Rote sebelum orang Rote menggunakan
nama Kristen adalah nama depan ayah menjadi nama belakang anak. Jadi
kemungkinan ‘Bani’ yang dimaksud adalah anak dari Bane Dailafa
( memerintah 1670-1690) atau Ba Bane/Paulus Johannis (memerintah 16901697).
[7] van der Chrijs, 1872:222
[8] Definisi ‘Kampong Lando’ di sini terlalu luas sebab Landu mempunyai
sejumlah kampong. Kemungkinan besar yang dimaksud ‘kampong Lando’
adalah pusat pemerintahan di mana pemimpin seluruh nusak ini berada. Ini
bisa saja Daeurandale atau Oendui.
[9] Topografi Landu memang mempunyai banyak tebing, jurang dan gua.
Apabila orang Rote berbicara dalam bahasa syair maka mereka menyebut
nusak Landu dengan Pia heu do faka ndoro dan Soti mori do bola tena. Pia heu
do faka ndoro berasal dari kata Piak yang berarti tebing, heu berarti
pagar, faka berasal dari kata fakak artinya jurang, Ndoro berarti keliling, jadi
secara harafiah berarti ‘Negeri yang dipagari tebing dan dikelilingi jurang.’
Lihat Benjamin Messakh, Sejarah Rote-Ndao, belum diterbitkan.
[10] Sebutkan lazim pribumi terhadap VOC.
[11] Van der Chijs 1872:220-6; Menurut dokumen VOC yang dikutip Hagerdal
(VOC 2941 (1756), ff. 603-4, 627-8, 674, 677, 715-46), jumlah orang Landu
yang dikirim sebagai budak ke Batavia berjumlah 1.060 orang.
[12] Hagerdal, Lords of the Land, hal. 381 mengutip Leupe 1877; s’Jacob
2007:527.
Bagikan artikel ini: