Badai Narkoba Hanya Islam Solusinya

Badai Narkoba Hanya Islam Solusinya
Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag
Akademisi, Tinggal di Purwakarta – Jawa Barat
Peredaran narkoba di negeri muslim terbesar ini sudah sangat
memprihatinkan. Menurut penelitian, pada tahun 2015 jumlah
pecandu bisa mencapai 5,8 juta jiwa (www.merdeka.com, 11/6/2014),
ironisnya tidak hanya kalangan umum dan artis, bahkan kalangan
terdidik dan pejabat pun kini terindikasi menjadi pecandunya. Maka
wajar kiranya jika banyak tokoh muslim Indonesia mendukung
hukuman mati terhadap para pengedar narkoba, sebab narkoba
memang memiliki daya rusak yang besar terhadap masyarakat.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas, narkotika
merusak dan membunuh hingga ratusan ribu jiwa. “Ini lebih parah
dari pembunuhan biasa”. Sekjen PBNU Masdar F Masudi memandang
hukuman mati sebagai wujud keadilan, sebab kejahatan narkotika
merusak nilai kemanusiaan. “Narkotika itu ibarat seperti membunuh
orang dengan skala banyak secara perlahan-lahan”. Anwar Abbas dari
MUI pun mengungkapkan, hukuman mati itu adil untuk pengedar
narkoba karena mereka sudah mencabut hak hidup orang lain. Hakim
Agung Artidjo Alkostar menegaskan, hukuman mati merupakan
konsekuensi etis, konsekuensi logis dan konsekuensi yuridis bagi

kejahatan yang berdampak luar biasa. (www.republika.co.id,
20/1/2015).
Akar Masalah
Berdasarkan penelusuran penulis, penyalahgunaan dan
penyebaraan narkoba yang kian menggila di negeri ini, disebabkan
beberapa faktor:
Pertama, faktor individu, yakni akibat rasa penasaran hingga
menimbulkan keinginan mencoba, ditambah waktu luang atau situasi
dan kesempatan menggunakan narkoba, dan tekanan/jebakan atau
rayuan dari pihak pengedar.
Kedua, faktor zat yang ada dalam narkoba. Ketika seseorang
sudah memakai narkoba, dia mungkin merasa lebih percaya diri dan
juga bergairah. Zat dalam narkoba menstimulus pemakaian yang
berulang-ulang
dan
semakin
bertambah
dosisnya,
lalu
ketergantungan secara fisik dan psikis. (medan.tribunnews.com,

16/11/2012).
Ketiga, faktor lingkungan, misal lingkungan keluarga, ketika
hubungan ayah dan ibu yang retak, komunikasi kurang efektif antara
orang tua dan anak, dan kurangnya rasa hormat antar anggota
keluarga, hal demikian bisa memicu stress yang menyebabkan
pelarian kepada narkoba. Lingkungan sekolah/kampus bisa
berkontribusi dalam peredaran narkoba, ketika lembaga kurang
kontrol/disiplin, lokasi terlalu dekat tempat hiburan, minimnya
kegiatan pengembangan kreatifitas (misal kegiatan ke-Islaman) dan
adanya murid pengguna narkoba. Selanjutnya lingkungan teman
1

sebaya juga bisa mempengaruhi seseorang menggunakan narkoba
dengan dalih eksistensi dan syarat masuk dalam sebuah pergaulan
komunitas. (dedihumas.bnn.go.id, 23/7/2013).
Keempat, faktor ekonomi. Dengan total penduduk kurang-lebih
270 juta jiwa, Indonesia tentunya menjadi pasar besar bagi para
bandar narkoba, baik dalam dan luar negeri. Sehingga bisnis haram
narkoba sangat menggiurkan, apalagi ditambah dengan situasi sosial
dan ekonomi yang semakin sulit dan iming-iming keuntungan besar

dari bisnis narkoba, maka hal tersebut semakin memicu peredaran
narkoba. Bisa dibayangkan 1 kg narkotik jenis shabu saja bisa dijual
sampai 500 juta (www.selasar.com, 15/12/2014). Sungguh keji, demi
uang mereka rela merusak jutaan generasi muda.
Sebenarnya, selain empat faktor di atas, terdapat faktor
ideologis, yang merupakan sumber utama dari masalah badai
narkoba ini. Secara ideologis, meluas dan sistemiknya kejahatan
narkoba merupakan akibat penerapan sistem kapitalisme-sekular,
sebab dalam ideologi kufur tersebut terkandung filosofi kehidupan
yang bertentangan dengan Islam, seperti materialisme (materi
belaka), dan liberalisme (kebebasan berperilaku).
Ideologi tersebut hanya mengejar manfaat sesaat dan materi
belaka, sehingga melahirkan life style (gaya hidup) hedonisme
(mencari kesenangan belaka) yang memuja kenikmatan jasmani, hal
ini terlihat dari pengakuan para pecandu yang berdalih sebagai
pelarian dari tekanan masalah kehidupan dan ingin ‘bahagia’ secara
instan, sehingga mereka terjerumus. Karena itu kita mendapati
berbagai tempat hiburan malam, yang erat kaitannya dengan
peredaran narkoba, semakin marak dan merajalela.
Paham liberalisme dalam ideologi tersebut juga menyatakan,

setiap orang diberi kebebasan mendapatkan kenikmatan setinggitingginya, baik sebagai pecandu –dengn mengkonsumsi sepuasnya–
maupun sebagai pengedar –dengan menjual mencari keuntungan
sebesar-besarnya– tanpa peduli halal-haram. Apalagi ketika dibingkai
paham sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan, tentu
semakin menambah kerusakan. Tatanan kemuliaan hidup masyarakat
pun jelas semakin terancam. Dengan demikian, akar masalah narkoba
itu adalah pandangan hidup sekularisme-kapitalisme itu sendiri.
Hukum Narkoba
Narkoba dalam istilah fiqih kontemporer disebut al-mukhaddirât
(narcotics), yakni segala materi/zat yang menyebabkan hilangnya
kesadaran pada manusia atau hewan dengan level berbeda-beda,
seperti ganja, opium, dll. (Al-Mu’jam al-Wasith, hal. 220). Atau,
narkoba adalah segala materi/zat yang menyebabkan hilangnya atau
lemahnya kesadaran/penginderaan. (Sa’aduddin Mus’id Hilali, AtTa`shil as-Syar’i li al-Khamr wa al-Mukhaddirat, hal. 142).
Narkoba merupakan masalah baru yang belum ada pada masa
imam-imam mazhab yang empat. Narkoba baru muncul di Dunia
Islam pada akhir abad ke-6 hijriyah. Tidak ada perbedaan di kalangan
ulama mengenai haramnya narkoba dengan berbagai jenisnya, baik
itu ganja, opium, morfin, mariyuana, kokain, ecstasy, dll (M. Shiddiq Al
Jawi, Hukum Seputar Narkoba dalam Fiqih Islam, 2012).

2

Narkoba hukumnya haram karena dua alasan:
Pertama, ada nash yang mengharamkan narkoba, nash tersebut
adalah hadis dari Ummu Salamah ra bahwa Rasulullah saw telah
melarang segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan
melemahkan (mufattir). (HR. Ahmad 25416, Abu Dawud 3201). Yang
dimaksud mufattir (tranquilizer) adalah zat yang menimbulkan rasa
tenang/rileks dan malas pada tubuh manusia. (Mu’jam Lughah alFuqaha, hal. 342).
Kedua, karena menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia
(Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, VII/5513), yang
didasarkan pada kaidah fiqih tentang bahaya (dharar) yang berbunyi:
al-ashlu fi al-madhâr at-tahrîm (hukum asal benda yang berbahaya
[mudharat] adalah haram). (Atha’ bin Khalil, Taisir al-Wushul ila alUshul, hal. 46). Kaidah ini bermakna bahwa segala sesuatu
materi/benda yang berbahaya, semisal narkoba, hukumnya haram,
sebab syariah Islam mengharamkan terjadinya bahaya.

Solusi Islam
Tiada jalan lain dalam menyelesaikan masalah badai narkoba
yang menerpa seluruh lapisan masyarakat ini, kecuali menggunakan

solusi yang bersumber dari sang Pencipta. Allah swt maha tahu apa
yang terbaik bagi manusia, karena itu selayaknya manusia hanya
tunduk pada aturan dan solusi kehidupan yang disampaikan Islam. Di
sisi lain, kapitalisme-demokrasi yang diterapkan di negeri ini telah
gagal dalam melindungi masyarakat dari bahaya narkoba, alih-alih
mampu memberantas, yang ada justru kasus narkoba malah semakin
menggila. Karena itu sudah saatnya Islam menjadi solusi dan
diterapkan secara kaffah di negeri ini.
Islam dalam konteks sebuah sistem kehidupan, memiliki solusi
tuntas, baik dalam mencegah peredaran narkoba maupun
memberantas badai narkoba yang sudah akut di tengah masyarakat
kini, solusi tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, meningkatkan ketakwaan setiap individu masyarakat,
serta dipahamkan bahwa mengonsumsi, mengedarkan bahkan
memproduksi narkoba adalah perbuatan haram yang mendatangkan
murka Allah, yang di akhirat kelak pelakunya akan dimasukkan ke
neraka. Ketakwaan tersebut akan menjadi kontrol bagi masing-masing
sehingga mereka akan tercegah untuk mengonsumsi, mengedarkan
apalagi memproduksi narkoba.
Kedua, Negara dalam Islam harus menjamin pemenuhan

kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan, dan
papan) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, layanan
kesehatan dan keamanan), dan setiap orang juga difasilitasi untuk
memenuhi kebutuhan sekundernya sesuai kemampuan masingmasing. Dengan begitu, alasan ekonomi tidak lagi menjadi faktor
orang melakukan kejahatan.
Ketiga, jika dengan semua itu masih ada yang melakukan
tindak kriminal, maka sistem sanksi (‘uqubat) Islam akan menjadi
palang pintu terakhir yang efektif, yang sanggup memberi efek jera
3

mencegah terjadinya kejahatan. Kasus kejahatan narkoba masuk
dalam sanksi ta’zîr, yakni hukuman yang disyariatkan atas pelaku
maksiat yang tidak ditentukan hudud dan kafarah-nya. Penentuan
ta’zîr diserahkan kepada Khalifah, namun hakim (Qadhi) dibenarkan
menetapkan ketentuannya, berdasarkan ijtihadnya.
Pengguna narkoba dapat dipenjara 15 tahun atau dikenakan
denda yang besarnya diserahkan kepada hakim (al-Maliki, Nizham
al-‘Uqubat, hal. 189). Jika pengguna saja dihukum berat, apalagi
pengedar atau bahkan produsen narkoba; mereka bisa dijatuhi
hukuman mati sesuai keputusan hakim, sesuai dalam bab ta’zîr.

Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali –selain mesti
diobati/rehabilitasi oleh negara secara gratis– mungkin cukup dijatuhi
sanksi ringan. Jika berulang-ulang (pecandu) sanksinya lebih berat.
Terhadap pengedar tentu tak layak dijatuhi sanksi hukum yang ringan
atau diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba
mereka juga membahayakan masyarakat. Gembong narkoba
(produsen atau pengedar besar) sangat membahayakan masyarakat
sehingga layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.
Jika vonis telah dijatuhkan, maka harus segera dilaksanakan
dan tidak boleh dikurangi atau bahkan dibatalkan (al-Maliki, Nizham
al-‘Uqubat, 1990). Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus
dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan
vonis. Hukuman hendaknya disaksikan masyarakat seperti dalam had
zina (QS. an-Nur [24]: 2). Sehingga masyarakat paham bahwa itu
merupakan sanksi atas kejatahan tersebut dan merasa ngeri. Maka,
setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan
serupa.
Keempat, merekrut aparat penegak hukum yang bertakwa.
Dengan sistem hukum pidana Islam yang tegas, yang bersumber dari
Allah swt, serta aparat penegak hukum yang bertakwa, hukum tidak

akan mudah diperjual-belikan. Mafia peradilan –yang marak terjadi
dalam peradilan sekular saat ini– kemungkinan kecil terjadi dalam
sistem pidana Islam. Ini karena dalam menjalankan sistem pidana
Islam, aparat penegak hukum yang bertakwa menyadari, bahwa
mereka sedang menegakkan hukum Allah, yang akan mendatangkan
pahala jika mereka amanah dan akan mendatangkan dosa jika
menyimpang atau berkhianat.
Selain itu, dalam sistem pidana Islam, hakim yang curang
dalam menjatuhkan hukuman, atau menerima suap dalam mengadili,
misalnya, diancam hukuman yang berat. Dalam sebuah riwayat
dinyatakan: “Seorang hakim (Qadhi), jika memakan hadiah berarti dia
telah memakan suht (haram), dan jika menerima suap berarti dia
telah terjerumus dalam tindakan kufur.” (HR. An-Nasa’i 5571).
Demikianlah solusi komprehensif yang dimiliki Islam dalam
menyelesaikan kasus peredaran narkoba yang semakin menggila.

4