Islam dan Marxisme di Indonesia Hanya Se

Islam dan Marxisme di Indonesia: Hanya Sebuah Persinggungan
Oleh: Khalid Syaifullah
Dalam babak sejarah kebangsaan Indonesia, banyak ditemui persinggungan antara Islam
dan Marxisme. Berbagai peristiwa yang terekam dalam sejarah menjadi dasar faktualitas untuk
menggambarkan hubungan tersebut. Dari mulai tahun 1920-an sampai 1965 tercatat berbagai
sifat hubungan dari keduanya (terkadang mesra, tapi terkadang juga antagonistik). Mulai dari
perpecahan Sarekat Islam (SI) ‘Merah’ dan ‘Putih’ sampai akhir drama Gerakan 30 September (G
30 S) tahun ’65.
Dalam melihat hubungan keduanya, terutama perlu kita bedakan tingkatan masingmasing dalam konteks ilmu pengetahuan. Islam berada pada tingkat aksiologis, sementara
Marxisme berada pada tingkat ontologis. Yang dimaksud aksiologis adalah suatu ilmu yang
mempunyai nilai yang mempengaruhi kehidupan manusia. Ada suatu nilang tentang yang positif
dan negatif. Sementara itu, ontologis merupakan penjelasan tentang ‘ada’nya sesuatu. Jadi,
Marxisme berada pada tingkat ontologis yang merupakan hasil penjelasan tentang ke’ada’annya
pada konteks sosial-politik.
Selain itu, keduanya mengalami perbedaan historis ketika masuk ke Indonesia. Islam
datang di Indonesia melalui proses akulturasi budaya yang panjang mulai semenjak abad ke-8
Masehi.1 Proses penyebaran Islam sebagai agama lebih melalui cara-cara yang menyesuaikan pada
kondisi Nusantara ketika itu. Sementara, Marxisme datang sekitar awal tahun 1920-an ketika
situasi internasional sedang memanas, yaitu ketika sesudah Perang Dunia I dan revolusi
Bolshevik. Marxisme dibawa dari Belanda oleh seseorang yang bernama Henk Sneevliet. Selain
itu, Soe Hok Gie dalam karyanya yang berjudul “Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat

Islam Semarang 1917-1920” mengatakan bahwa kemunculan Marxisme di Indonesia dilihat
melalui 3 aspek, yaitu agraria; liberalisasi lahan perkebunan, pembentukan volksraad dan indie
weebar, wabah pes dan juga kedatangan Sneevliet di Semarang.2
Salah satu alasan penting yang mempertemukan Islam dan Marxisme di Indonesia bisa
dikatakan semenjak kedatangan Sneevliet ke Semarang. Ketika itu ia sering berbincang dengan
Semaoen dan Darsono (di samping Abdul Muis) selaku orang-orang yang punya pengaruh besar
dalam tubuh SI Semarang. Hasil perbincangan itulah yang melahirkan pandangan Semaoen Cs
punya prinsip perjuangan kelas marxis dalam pergerakannya. Tak lama kemudian, SI terpecah
belah menjadi dua bagian, yaitu SI ‘Merah’ dan SI ‘Putih’. Perpecahan ini disebabkan oleh sikap
HOS Tjokroaminoto yang mengambil sikap lunak terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Anggapan ini disertai dengan masuknya Tjokro ke dalam Volksraad (parlemen bentukan
Belanda). Sementara, pihak seberang SI “Merah” menghendaki jalan revolusioner dengan doktrin
perjuangan kelas yang antagonistis. Hal itu tercermin dalam banyak tulisan surat kabar semisal H.
Misbach yang menyuarakan bahwa perlawanan terhadap penjajah tidak bisa dilakukan lewat
perundingan. Setelah itu, orang-orang kalangan SI ‘Merah’ membentuk Perhimpunan Komunis

Disampaikan dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam di Indonesia” di Medan, tahun 1963.
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, 1999, Yogyakarta: Yayasan
Benteng Budaya, hlm. 7-17.


1
2

Hindia Belanda, yang kemudian pada sidang Komunis Internasional (Komintern) berubah nama
menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sementara itu, usaha untuk mendamaikan antara pihak SI ‘Putih’ dan ‘Merah’ pernah
dilakukan oleh Tan Malaka. Pada sidang Komintern di Uni Soviet, Tan Malaka mendapatkan
waktu untuk berpidato sebagai wakil Komintern dari Asia Timur Jauh. Ia mengungkapkan
gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama
dengan Pan-Islamisme.3 Hal ini menurutnya karena Islam dan komunisme punya kesamaan
dalam melawan kapitalisme berjubah imperialisme di Negara-negara koloni. Titik persinggungan
inilah yang menjadi dasar atas penyampaian pidato Tan. Dalam kata-katanya yang termahsyur, dia
menyebutkan (dalam bahasa Rusia), “Di hadapan Tuhan aku adalah seorang muslim, tetapi di
hadapan manusia yang seperti serigala, aku adalah seorang komunis .....”. Akan tetapi, Stalin
menolak ide itu karena menurutnya Islam juga punya kecenderungan untuk menjajah. Selanjutnya
Tan dijadikan buruan Stalin karena bersikukuh memperjuangkan gagasannya dan seturut dengan
itu pula ia dicopot dari posisinya sebagai wakil Komintern Asia Timur Jauh.
Selain itu, beberapa kali perjumpaan antara Islam dan Marxisme dapat ditemukan dalam
peristiwa semisal pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1926 (sering
disebut sebagai revolusi Prambanan) di Banten. Pada peristiwa itu ulama-ulama Banten

mengambil jalan “merah” dengan hingar-bingar semangat revolusioner. Tetapi pemberontakan
itu tak berlangsung lama. Hanya sekitar beberapa bulan sebelum Belanda membabat habis para
pemberontak.
Pada saat awal kemerdekaan, tepatnya setelah Tan Malaka mengeluarkan Tujuh Thesis
Manilanya sebagai penolakan atas revolusi Prambanan, tubuh PKI terpecah menjadi dua. Yang
satu dibawah pimpinan Muso yang Stalinis, yang lain di bawah pimpinan Tan yang Trotskyis.
Pada zaman itu, kedua pihak PKI turut bekerja sama dengan golongan muslim melalui Masyumi.
Masyumi merupakan partai politik yang menjadi wadah suara umat Islam secara tunggal pada saat
itu (sebelum keluarnya NU dari anggota kehormatan, PSII, PUI dan Perikatan Umat Islam
bergabung menjadi PUSI). Pandangan dasar Masyumi yang modernis telah membuat sikapnya
menjadi terbuka. Keterbukaannya itu tampak dalam kesediaannya untuk bekerja sama dengan
golongan lain. Dalam zaman revolusi, Masyumi bersedia bekerja sama dengan golongan komunis
beraliran Trotskyis pimpinan Tan Malaka.4
Namun, setelah PKI pimpinan Muso menyatakan sikap untuk bergabung dengan Soviet
dalam melawan kolonial, pemberontakan terjadi di Madiun pada tahun 1948. Muso
mendeklarkan Madiun sebagai bagian dari Uni Soviet pada tahun 1948 dan mengganti bendera
merah putih dengan bendera berwarna merah “palu arit”.5 Di samping itu, masjid-masjid tempat
peribadatan umat muslim diobrak-abrik oleh kawanan Muso. Seketika hubungan golongan
komunis dengan Muslim menjadi putus, yang diakhiri dengan ditangkap dan dieksekusinya Muso.


Yandhrie Arfian, Tan Malaka: Bapak Republik yang Terlupakan, dalam “Buku Seri Tempo: Bapak Bangsa”, 2008,
Jakarta: PT. Temprint, hlm. 3.
4 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai
Jam~’at-i-Isl~m§ (Pakistan), 1999, Jakarta, Paramadina, hlm. 82.
5 Samsuri, “Komunisme dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi”, Millah, Vol. 1- Nomor 1 Agustus 2001.

3

Konfrontasi golongan komunis dengan Masyumi setelahnya terjadi sangat sengit. Hal ini
tampak pada proses Pemilu tahun 1955 yaitu ketika kampanye perang mulut terjadi di jalan-jalan.
Saat itu, PKI sudah berganti kepemimpinan D.N. Aidit yang menggebu-gebu. Sementara Tan
mendirikan Partai Murba bersama Sukarni pada tahun 1949 dan tidak mendapatkan suara yang
signifikan. Setelah itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
menandakan era baru Demokrasi Terpimpin. PKI menjadi semakin leluarsa di bawah pimpinan
Soekarno yang dianggap melindungi PKI menggunakan dalih Manifesto Politik (Manipol)
USDEK. Sikap-sikap permusuhan antara Masyumi dan kaum Komunis, yang kemudian
ditujukan secara langsung kepada PKI, berlanjut hingga Masyumi itu terpaksa membubarkan diri
pada tahun 1960.6
Pada akhirnya, puncak hubungan Islam dan Marxisme berujung pada peristiwa G 30 S
tahun ‘65. Peristiwa ini merupakan titik klimaks peperangan antara (hampir bisa dikatakan

seluruh) golongan Islam dan golongan kiri yang diduga bertanggung jawab atas percobaan kup
terhadap pemerintahan NKRI, terutama terhadap dasar falsafah bangsa, Pancasila. Paska tragedi
tersebut, banyak pihak mencoba menjelaskan; menganalisis; merunut dari berbagai bentuk,
terutama tulisan.7 Ada yang menyebut PKI sebagai dalang dari peristiwa tersebut, namun ada
yang berdalih PKI hanya sebagai korban. Selain itu, ada juga sumber yanng menyebutkan bahwa
peristiwa G 30 S merupakan konflik internal TNI Angkatan Darat. Salim Said sendiri dalam
karyanya yang berjudul “Dari G 30 S PKI Menuju Reformasi” mencurigai beberapa pihak, termasuk
Presiden Soekarno ditengarai ikut terlibat karena ingin menyingkirkan Jend. Ahmad Yani yang
dianggap tak bisa diatur lagi dalam mendukung pengarusutamaan slogan Nasionalisme-AgamisKomunis (Nasakom) sebagai bagian Manipol.
Konsekuensi logis dari peristiwa G 30 S menyebabkan berbagai demonstrasi yang
dipimpin oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1966 menuntut pembubaran
PKI. Dalam situasi yang memanas kala itu, Presiden Soekarno memberikan mandat kepada
Mayjend. Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) untuk mengamankan
situasi sementara waktu. Rupanya, Soeharto tidak ambil pusing dengan membentuk Panglima
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yang segera memberangus
orang-orang yang dituduh sebagai kader dan simpatisan PKI sampai ke pelosok daerah. Di
tambah lagi, proses pemberangusan ini didukung oleh golongan muslim yang sangat kesal
lantaran trauma sejarah pemberontakan Madiun 1948. Kader-kader NU yang terhimpun dalam
Barisan Serbaguna (Banser) dan GP Anshor banyak menjadi eksekutor dalam aksi
pengganyangan komunis di desa-desa.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan Marxisme maupun
Komunisme hanya bersifat taktis/sementara. Keduanya hanya bersinggungan di tengah jalan
yang kemudian setelahnya berpisah. Tidak ada persinggungan yang bersifat organik. Keduanya
tidak pernah mematenkan hubungan satu sama lain dalam artian strategis. Hal ini disebabkan
oleh dua level yang berbeda pada Islam (aksiologis) dan Marxisme yang ontologis. Moh Hatta
mengungkapkan penyatuan organik antara Islam dan Marxisme seperti kerbau yang bertanduk,
6

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, 1987, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm. 184.
Berbagai kajian mengenai persitiwa G 30 S ’65 dapat dilihat dari beberapa karya, diantaranya Ruth McVey, Benedict
Anderson, Soe Hok Gie, Salim Said, Taufik Ismail.

7

artinya merupakan hal yang mustahil. Di satu sisi, Islam menjunjung konsep ke-Tuhan-an, di sisi
lain Marxisme hanya merupakan pisau analisa dalam menerjemahkan masyarakat. Mungkin juga
kalau sampai ada, maka akan terjadi semacam doktrin-komprehensif seperti apa yang
diungkapkan John Rawls. Sebuah rezim menjadi absolut untuk dipertanyakan dan hal ini akan
berbahaya bagi sebuah peradaban.
Akan tetapi, tulisan ini hanya untuk melihat hubungan Islam dan Marxisme di tanah air

secara historis, bukan untuk menjustifikasi salah satu. Tiadalah Tuhan mengadakan sesuatu untuk
ada kalau tidak ada rahmatnya. Sebab yang ada menjadi ada karena yang ada. Yang ada tidak akan
ada jika tidak ada yang ada. Maka yang ada menghadirkan yang tidak ada bagi adanya rahmat di
bumi ini. Sekian.

Ciputat, 5 Januari 2015.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24