Efisiensi Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur dengan Pendekatan Stochastic Frontier Analysis (SFA)
EFISIENSI TEKNIS USAHA PENGGILINGAN PADI
DI KABUPATEN CIANJUR: PENDEKATAN STOCHASTIC
FRONTIER ANALYSIS
TURSINA ANDITA PUTRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Teknis Usaha
Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur: Pendekatan Stochastic Frontier Analysis,
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Tursina Andita Putri
NIM H353011636
RINGKASAN
TURSINA ANDITA PUTRI. Efisiensi Teknis Usaha Penggilingan Padi di
Kabupaten Cianjur: Pendekatan Stochastic Frontier Analysis. Dibimbing oleh
NUNUNG KUSNADI dan DWI RACHMINA.
Salah satu subsistem yang berperan penting dalam agribisnis beras adalah
penggilingan padi. Adanya kebijakan pemerintah yang menetapkan harga dasar
pembelian gabah untuk melindungi petani akan membuat tingginya biaya
produksi mengingat gabah merupakan input utama pada usaha ini. Di sisi lain,
pemerintah juga menetapkan kebijakan harga beras untuk melindungi konsumen
akan membuat penerimaan usaha menurun karena beras merupakan output utama.
Kebijakan tersebut akan menentukan kinerja usaha penggilingan padi.
Usaha penggilingan padi di Indonesia masih didominasi oleh usaha
penggilingan padi skala kecil, yaitu 94.13 persen (BPS 2012). Usaha penggilingan
padi tersebut umumnya menggunakan konfigurasi mesin yang sederhana, terdiri
atas mesin husker dan polisher. Selain itu, mesin yang digunakan berumur relatif
tua. Thahir (2010) menjelaskan bahwa 32 persen mesin penggilingan padi yang
digunakan berumur lebih dari 15 tahun. Hal tersebut menyebabkan rendahnya
rendemen beras yang dihasilkan yaitu sebesar 62.7 persen (Sawit 2011).
Keseluruhan hal tersebut akan berdampak pada efisiensi usaha.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur efisiensi teknis usaha
penggilingan padi, menentukan faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi teknis,
serta menetapkan hubungan efisiensi teknis dengan keuntungan usaha
penggilingan padi. Stochastic Frontier Analysis (SFA) digunakan sebagai
pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis sekaligus faktor-faktor yang
memengaruhinya. Penelitian ini menggunakan data dari 60 sampel usaha
penggilingan padi yang dipilih dengan metode snowball sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
positif dan signifikan terhadap nilai produksi usaha penggilingan padi adalah
jumlah tenaga kerja, jumlah bahan bakar, kapasitas giling mesin per jam, dan
konfigurasi mesin yang digunakan. Usaha penggilingan padi di Kabupaten
Cianjur belum efisien, dengan rata-rata tingkat efisiensi adalah 0.616. Faktorfaktor yang signifikan memengaruhi efisiensi adalah pendidikan formal
pengusaha, umur mesin, dan rendemen beras yang dihasilkan. Efisiensi teknis
berhubungan positif dengan keuntungan usaha penggilingan padi. Komponen
penerimaan usaha penggilingan padi terbesar berasal dari side products. Oleh
sebab itu, diduga usaha menjadi lebih efisien karena adanya side-products yang
diperhitungkan dalam komponen penerimaan usaha.
Peningkatan efisiensi teknis usaha penggilingan padi perlu mendapatkan
perhatian dari pemerintah dan pelaku usaha khususnya. Diharapkan pelaku usaha
dan pemerintah bekerjasama dalam upaya perbaikan konfigurasi mesin giling, dari
yang masih sederhana menjadi lebih modern agar kualitas produk yang dihasilkan
menjadi lebih baik. Selain itu, perlu adanya kebijakan khusus oleh pemerintah
untuk mendukung program peremajaan mesin penggilingan padi yang digunakan,
baik melalui bantuan langsung maupun melalui mekanisme kredit.
Kata kunci : efisiensi teknis, SFA, usaha penggilingan padi,
SUMMARY
TURSINA ANDITA PUTRI. Technical Efficiency of Rice Milling Unit in
Cianjur District: Stochastic Frontier Analysis Approach. Supervised by
NUNUNG KUSNADI and DWI RACHMINA.
One subsystem that plays an important role in agribusiness rice is rice
milling. Government policy that sets the base price of the purchase of grain to
protect farmers will make given the high cost of production. On the other hand,
the government also established a policy that keeping the rice at low price to
protect consumer will make receipts decreased. The policy will determine the
performance of the rice milling business.
Businesses rice mills in Indonesia is still dominated by small-scale rice
milling business, which is 94.13 percent (BPS 2012). The rice milling machines
generally use a simple configuration, consisting of husker and polisher machine.
In addition, the engine used a relatively old age, Tahir (2010) explains that 32
percent of the rice milling machine used is thought to have lived more than 15
years. This leads to low yield of rice produced is equal to 62.7 percent (Sawit
2011). Overall it will have an impact on the business inefficiencies.
The purpose of this study was to measure the technical efficiency of rice
milling business, determine the factors that affect technical efficiency, technical
efficiency and establishing relationships with the rice milling business profits.
Stochastic Frontier Analysis (SFA) is used as an approach to measuring technical
efficiency at the same time the factors that affect it. To that end, this study used
data from 60 samples rice milling business were selected through snowball
sampling method.
The results showed that the factors that influence a positive and significant
impact on the value of production of rice milling business is the amount of labor,
fuel quantity, engine milling capacity per hour, and the configuration of the
machine used. The rice mills in Cianjur was inefficient, with an average efficiency
level is 0.616. Factors that are affecting the technical efficiency of rice milling
business in Cianjur Regency are formal education, engine life, and yield of rice
produced. Technical efficiency is positively corelated with the gains of rice
milling business. The largest proportion of the rice milling business profit is not
derived from rice as main product but from the by product. Therefore, the alleged
effort to become more efficient because of the side-products are accounted for in
the income component of business.
Improved technical efficiency of rice milling business needs to get the
attention of governments and businesses in particular. It is expected that
businesses and governments work together in order to improve the milling
machine configurations, from simple to modern to be a better quality product. In
addition, the need for specific policies by the government to support the
rejuvenation of rice milling machine used, either through direct assistance or the
proper of credit mechanisms.
Keywords: technical efficiency, SFA, Rice milling busines
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFISIENSI TEKNIS USAHA PENGGILINGAN PADI
DI KABUPATEN CIANJUR: PENDEKATAN STOCHASTIC
FRONTIER ANALYSIS
TURSINA ANDITA PUTRI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Ratna Winandi, MS
Penguji Program Studi
: Dr Ir Netti Tinaprilla, MM
Judul Tesis : Efisiensi Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur dengan
Pendekatan Stochastic Frontier Analysis (SFA)
Nama
: Tursina Andita Putri
NIM
: H351130636
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Nunung Kunadi, MS
Ketua
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 ini adalah Efisiensi
Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur dengan Pendekatan Stochastic
Frontier Analysis (SFA).
Penulis sampaikan ucapan terima kasih khususnya kepada Biro Penerimaan
Kerjasama Luar Negeri, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia atas Beasiswa Unggulan yang diberikan kepada penulis selama kuliah
di Program Studi Agribisnis IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nunung Kusnadi, MS dan Dr Ir
Dwi rachmina, M.Si selaku dosen pembimbing, Dr Ir Ratna Winnandi, MS dan Dr
Ir Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji pada ujian tesis, serta Prof Dr Ir Rita
Nurmalina, MS dan Dr Ir Suharno, Madev selaku ketua dan sekretaris Program
Studi Magister Sains Agribisnis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, dan kakak, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan kasih
sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada keluarga besar
Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Gekbrong, keluarga besar Punggawa Ratu
Desa Sukaratu yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis
sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan kepada rekan-rekan
program sinergi (Fast Track) Angkatan 1 dan rekan-rekan MSA3 Program Studi
Agribisnis.
Bogor, Agustus 2014
Tursina Andita Putri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
5
9
9
2
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Usaha Penggilingan Padi
Efisiensi Usaha
Faktor-Faktor (Determinant) yang Memengaruhi Efisiensi Usaha
Pendekatan Pengukuran Efisiensi
Efisiensi dan Keuntungan
10
10
11
14
23
27
3
KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Fungsi Produksi dan Produksi Frontier
Konsep Efisiensi
Kerangka Pemikiran Operasional
28
28
30
34
4
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Sampel
Metode Pengambilan Data
Analisis dan Pengolahan Data
Konsep Pengukuran Variabel
37
37
37
38
38
39
45
5
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK PEMILIK USAHA
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambaran Umum Aktivitas Usaha Penggilingan Padi
Karakteristik Individu Pelaku Usaha dan Usaha Penggilingan Padi
46
46
49
54
6
EFISIENSI TEKNIS DAN KEUNTUNGAN USAHA
PENGGILINGAN PADI
Fungsi Produksi Usaha Penggilingan Padi
Efisiensi Teknis Usaha Penggilingan Padi
Faktor-faktor yang Memengaruhi Efisiensi Teknis Usaha
Penggilingan Padi
62
62
67
69
7
Keuntungan pada Usaha Penggilingan Padi
Hubungan Efisiensi Teknis dengan Keuntungan
Usaha Penggilingan Padi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
72
75
78
78
78
DAFTAR PUSTAKA
80
LAMPIRAN
85
RIWAYAT HIDUP
91
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Perkembangan jumlah penduduk, jumlah produksi dan konsumsi
beras di Indonesia Tahun 2000-2012
Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2012
Penyebaran usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2012
Area panen, produksi tanaman padi, dan jumlah usaha penggilingan
padi di 10 Kabupaten penghasil padi terbanyak di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012
Jumlah ketersediaan beras dan kebutuhan konsumsi beras
penduduk di Kabupaten Cianjur Tahun 2009-2013
Karakteristik pelaku usaha berdasarkan jenis kelamin, umur,
pendidikan formal, pengalaman, status usaha di Kabupaten Cianjur
Tahun 2014
Statistik deskriptif dari penggunaan input dan output usaha penggilingan
Padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Karakteristik usaha berdasarkan umur bisnis, kepemilikan usaha,
tipe usaha, konfiguraso mesin, umur mesin, kontinuitas produksi,
dan kpasitas usaha di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Sebaran pelaku usaha penggilingan padi yang menerima pinjaman
modal dari lembaga keuangan di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Hasil dugaan model produksi cobb-douglas usaha penggilingan padi
di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 dengan menggunakan metode OLS
Hasil dugaan model produksi stochastic frontier cobb-douglas
usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
dengan menggunakan metode MLE
Sebaran nilai efisiensi teknis usaha penggilingan padi di
Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Keterkaitan tingkat efisiensi teknis dengan rata-rata kapasitas produksi
dan rata-rata jumlah produk sampingan pada usaha penggilingan
padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Penduga efek inefsiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier
usaha penggilingan papi di Kabuapaten Cianjur Tahun 2014
Penerimaan usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Biaya usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Keuntungan dan imbangan penerimaan dan biaya
pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Keterkaitan tingkat efisiensi ekonomi dengan rata-rata keuntungan dan
R/C pada usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Komponen penerimaan usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur
Tahun 2014
1
3
4
37
49
55
58
59
62
64
66
68
69
70
73
74
75
76
77
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Rata-rata harga gabah di tingkat penggilingan dan HPP gabah
menurut kualitas gabah Tahun 2012
Efisiensi pada orientasi input
Efisiensi pada orientasi output
Kerangka pemikiran operasional
Tahapan proses pengolahan gabah menjadi beras pada usaha
penggilingan padi
7
33
34
36
53
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Penyebaran usaha penggilingan padi dan luas areal tanaman
Padi Sawah di Kabupaten Cianjur Tahun 2013
Hasil uji normalitas model fungsi produksi usaha penggilingan padi
di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Hasil uji heterokedastisitas model fungsi produksi usaha penggilingan
Padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Hasil pendugaan fungsi produksi usaha penggilingan padi di
Kabupaten Cianjur Tahun 2014 dengan metode OLS
Hasil pendugaan fungsi produksi usaha penggilingan padi di
Kabupaten Cianjur Tahun 2014 dengan metode MLE
85
86
87
88
89
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang memiliki peran strategis
baik dari sisi produsen maupun konsumen. Dari sisi produsen diketahui produksi
padi nasional pada tahun 2012 mencapai 69.05 juta ton padi atau setara dengan
41.43 juta ton beras. Selain itu, sekitar 24.70 persen penduduk Indonesia bekerja
di sektor pertanian tanaman padi (BPS 2012). Dari sisi konsumen diketahui beras
merupakan makanan pokok (staple food) bagi mayoritas penduduk Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Satistik (2012a) diketahui bahwa pengeluaran
penduduk Indonesia untuk konsumsi beras mencapai 17.90 persen dari total
pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Selain itu, rata-rata
konsumsi beras penduduk Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu 125 kg beras
per kapita per tahun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
negara lainnya, seperti Thailand dan Malaysia. Rata-rata konsumsi beras di
Thailand adalah 103 kg per kapita pertahun dan Malaysia hanya 77 kg per kapita
pertahun (Baldwln et al. 2012).
Tabel 1 Perkembangan jumlah penduduk, jumlah produksi dan konsumsi beras di
Indonesia Tahun 2000-2012a
Tahun
Jumlah penduduk (jiwa)
Produksi (juta ton)b Konsumsi (juta ton)
2000
205 133 000
31.14
26.67
2001
207 995 000
30.28
26.83
2002
210 898 000
30.89
27.21
2003
213 841 000
31.28
27.59
2004
216 826 000
32.45
27.97
2005
219 852 000
32.39
28.14
2006
222 747 000
32.67
28.51
2007
225 642 000
34.29
28.21
2008
228 523 000
36.20
28.57
2009
231 370 000
38.64
28.92
2010
237 641 000
39.88
29.71
2011
241 182 000
29.45
30.15
2012
244 776 000
41.43
30.60
a
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013 (diolah); blaju pertumbuhan penduduk adalah 1,49 % per
tahun (BPS 2012); cRendemen beras sebesar 60 %.
Berdasarkan Tabel 1 jumlah produksi beras per tahun diketahui lebih besar
dibandingkan dengan jumlah konsumsi beras per tahun. Namun, setiap negara
harus menyediakan cadangan pangan sebesar 15 persen dari kebutuhan konsumsi.
Selain itu, diketahui bahwa jumlah produksi padi pada Tabel 1 adalah akumulasi
jumlah produksi padi selama satu tahun. Pada musim panen tertentu ketersediaan
beras di pasar bisa saja berkurang karena adanya gagal panen dan sebagainya. Hal
ini tentu menyebabkan berkurangnya pasokan beras yang menyebabkan
2
meningkatkan harga beras, padahal ketergantungan masyarakat terhadap beras
tidak dapat dihentikan. Oleh sebab itu, pada kenyataannya pemerintah tetap
melakukan kebijakan impor beras. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional
dengan cara melakukan impor memerlukan banyak devisa sehingga kebijakan ini
menjadi tidak strategis bagi kepentingan ketahanan nasional jangka panjang.
Pemerintah tidak hanya mengandalkan kebijakan impor beras sebagai solusi
pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah untuk menjamin ketersedian beras sepanjang tahun dalam jumlah
yang cukup adalah melalui program kerja Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN). Melalui program tersebut pemerintah mencanangkan Indonesia mampu
mencapai surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Dalam rangka pencapaian
tujuan tersebut, maka Kementerian Pertanian menerapkan empat strategi, yaitu (1)
peningkatan produktivitas; (2) perluasan areal tanam; (3) pengamanan produksi
melalui pengendalian OPT dan antisipasi dampak fenomena iklim, serta gerakan
penangangan pascapanen untuk mengurangi kehilangan hasil melalui manajemen
teknolgi panen dan pascapanen; dan (4) pemberdayaan dan dukungan pembiayaan
serta peningkatan koordinasi.
Masing-masing
strategi
yang
telah
dirumuskan
kemudian
diimplementasikan melalui berbagai bentuk program kerja. Peningkatan
produktivitas dilakukan melaui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT) dan intensifikasi non-PTT. Strategi perluasan areal
tanam dilakukan melalui perbaikan jaringan irigasi, percetakan sawah baru,
pemanfaatan air permukaan dan air dangkal, dan optimalisasi lahan lebak.
Pengamanan produksi dilakukan melalui pengendalian OPT dan pengurangan
kehilangan hasil dengan penerapan manajemen pasacapanen melalui revitalisasi
usaha penggilingan padi kecil dan mobilisasi peralatan. Selain itu, pemerintah
juga menyediakan berbagai alternatif pembiayaan seperti adanya Kredit
Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3),
Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP), dan bantuan kredit investasi
pertanian.
Berdasarkan strategi dan implementasi strategi yang telah diuraikan terlihat
bahwa program tersebut fokus pada upaya peningkatan produksi dan produktivitas
padi di sektor on-farm dengan sasaran kebijakan adalah petani sebagai produsen
padi. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah memiliki komitmen yang tinggi
untuk mengembangkan sektor on-farm. Namun, perlu diketahui bahwa yang
dikonsumsi oleh masyarakat bukanlah padi tetapi beras yang merupakan produk
olahan padi. Oleh sebab itu, program pemerintah seharusnya juga diarahkan
kepada pengembangan agribisnis perberasan nasional termasuk memperhatikan
sektor off-farm dan lembaga penunjangnya, salah satunya adalah industri
penggilingan padi.
Salah satu subsistem yang berperan penting dalam agribisnis beras adalah
penggilingan padi. Subsistem ini berperan sebagai unit produksi yang mengolah
gabah menjadi beras dan sekaligus sebagai unit pemasaran yang membeli gabah
dari petani serta menjadi bagian dari rantai distribusi beras ke konsumen. Industri
penggilingan padi berperan penting sebagai mata rantai distribusi beras nasional.
Oleh sebab itu, subsistem ini mendorong terciptanya usaha penggilingan padi.
Dari sisi ekonomi, keberadaan usaha penggilingan sangat berperan dalam
akselarator peningkatan kesejahteraan masyarakat. Usaha Penggilingan padi dapat
3
menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Melalui menajemen
usahanya, penggilingan padi terlibat membantu petani dalam proses penyimpanan
dan pemasaran hasil panen petani. Selain itu, tingkat harga dan pendapatan yang
diperoleh petani serta tingkat harga yang harus dibayar konsumen juga dapat
ditentukan oleh keberadaan usaha penggilingan padi.
Salah satu kebijakan P2BN adalah komitmen pemerintah untuk mendorong
peningkatan produksi melalui penanganan pascapanen dengan penambahan
peralatan pascapanen. Pada kebijakan tersebut diuraikan bahwa pemerintah akan
merevitalisasi penggilingan padi skala kecil dengan merehabilitasi konfigurasi
mesin penggilingan padi, yang terdiri dari penambahan alat pembersih (cleaner)
sebanyak 500 unit, alat pemisah gabah dan beras (separator) sebanyak 400 unit,
300 set cleaner-separator, dan 200 set polisher-cleaner-separator. Program ini
bertujuan meningkatkan penggunaan teknologi pada usaha penggilingan padi
kecil. Akan tetapi, upaya ini tidak akan berdampak signifikan karena jumlah
usaha penggilingan padi kecil di Indonesia mencapai 172 ribu unit atau sekitar 94
persen dari total usaha penggilingan padi (Tabel 2).
Tabel 2 Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2012a
Jenis Usaha Penggilingan padi
2008
%
2012
%
Penggilingan padi besar (PPB)
5 133
4.73
2 075
1.14
Penggilingan padi sedang (PPS)
8 628
4.74
Penggilingan padi kecil (PPK)
39 425
36.33
171 496
94.13
Rice milling unit (RMU)
35 093
32.34
Unit penggilingan engelberg
1 630
1.50
Unit mesin huller
14 153
13.04
Unit mesin penyosoh beras
13 178
12.14
Jumlah
108 512
100.00
182 199 100.00
a
Sumber: Thahir (2010) dan Badan Pusat Statistik (2013b), diolah
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa usaha penggilingan padi empat tahun
terakhir mengalami peningkatan jumlah yang signifikan, yaitu sekitar 68.13
persen. Usaha penggilingan padi pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis. Pada tahun 2008, data usaha penggilingan padi didasarkan pada
konfigurasi mesin yang dimiliki oleh unit usaha, sedangkan pada tahun 2012
klasifikasi usaha didasarkan pada skala usaha. Pada penelitian Putri (2013), usaha
penggilingan padi diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu maklon, non maklon,
dan kombinasi keduanya. Istilah maklon dan non maklon merupakan istilah lokal,
sehingga Winarno (2004) memberikan istilah yang lebih umum, yaitu rice milling
commercial untuk usaha penggilingan padi dengan tipe non maklon dan service
mills untuk usaha penggilingan padi dengan tipe maklon.
Maklon merupakan usaha penggilingan padi yang hanya menyediakan
layanan jasa penggilingan kepada petani atau pedagang pengumpul selaku pemilik
gabah untuk mengolah gabah menjadi beras dan produk samping lainnya. Non
maklon merupakan usaha (kesatuan) dimana seluruh aktivitas usaha penggilingan
dimiliki dan dikelola oleh pengusaha usaha penggilingan padi. Pengadaaan gabah
pada usaha non maklon dapat dilakukan melalui pembelian kepada petani maupun
4
pedagang pengumpul. Oleh sebab itu, pada usaha penggilingan padi tipe non
maklon, pengusaha juga bertindak sebagai pengumpul gabah untuk kemudian
diolah dan menjual langsung beras yang dihasilkan. Adanya variasi usaha
penggilingan padi tersebut akan menyebabkan munculnya variasi pengusahaan
dan manajemen usaha sebagai upaya memperoleh keuntungan maksimal.
Saat ini terdapat sekitar 182 199 unit usaha penggilingan padi tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa sekitar 52.56
persen usaha penggilingan padi tersebar di pulau Jawa. Salah satu penyebab
banyaknya usaha penggilingan padi di pulau Jawa adalah karena sebagian besar
provinsi sentra produksi padi terdapat di pulau Jawa, yaitu Provinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Produksi padi di pulau Jawa mencapai 52.89
persen dari total produksi padi nasional.
Tabel 3 Penyebaran usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2012a
Skala usaha
Pulau
Besar
Sedang
Kecil
Jumlah
Sumatera
413
1 564
33 473
35 450
Jawa
1 145
4 887
89 730
95 762
Bali
32
122
1 585
1 739
NTB
113
200
2 825
3 138
NTT
44
138
4 248
4 430
Kalimantan
164
660
16 370
17 248
Sulawesi
164
1 042
22 667
23 873
Maluku
0
8
285
293
Papua
0
7
259
266
Jumlah
2 075
8 628
171 496
182 199
a
Sumber: Badan Pusat Statistik (2013b)
Di Indonesia, industri penggilingan padi masih didominasi oleh pihak
swasta. Peran swasta dalam pengadaan beras melalui usaha penggilingan padi
sangatlah besar. Sekitar 93 persen ketersediaan beras di pasar merupakan akibat
beroperasinya unit usaha penggilingan padi swasta (Partiwiri 2004). Fasilitas yang
dimiliki Bulog belum mampu menampung seluruh hasil produksi dari petani.
Sawit (2011) menyebutkan bahwa Bulog hanya mampu membeli gabah atau beras
antara 2-3 juta ton per tahun atau sekitar 6-8 persen dari total produksi beras
nasional.
Berbeda dengan Indonesia, usaha penggilingan padi di Vietnam mayoritas
dimiliki oleh pemerintah (state owned organization) melalui VINAFOOD I dan
VINAFOOD II. Pada tahun 2008, keseluruhan atau sebagian dari perusahaan
milik pemerintah tersebut telah berkontribusi sebesar 79 persen dari total nilai
perdagangan beras. Sektor swasta di Vietnam hanya menyumbang sebesar 19
persen, sedangkan sisanya merupakan kontribusi koperasi. Hal ini berbeda dengan
kondisi Vietnam sebelum tahun 2000, dimana sekitar 91.6 persen usaha
penggilingan padi yang ada di Vietnam dikuasai atau dimiliki oleh sektor swasta
dan dapat memproduksi sekitar 90 persen dari jumlah total beras giling yang di
produksi di Vietnam untuk kebutuhan domestik maupun luar negeri.
5
Peran pemerintah pada industri pengolahan beras di Thailand juga sangat
besar. MOF (Marketing Organization for Farmers) sebagai organisasi di bawah
naungan Kementerian Pertanian dan Koperasi (MOAC) harus membeli beras
seluruh pengusaha penggilingan beras ketika terjadi krisis dengan harga yang
telah ditetapkan oleh Rice Committe. Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat
memastikan bahwa pengusaha penggilingan padi memiliki modal yang cukup
untuk kemudian membeli gabah lebih banyak dari petani. Kebijakan ini
berdampak positif tidak hanya bagi usaha penggilingan padi akan tetapi juga bagi
petani.
Peran pemerintah yang tinggi dan didukung oleh regulasi yang tepat
membuat Industri penggilingan padi di Vietnam dan Thailand dapat beroperasi
secara optimal. Salah satu indikator keberhasilan industri penggilingan padi dapat
dicermati melalui tingkat efisiensi industri penggilingan padi. Efisiensi teknis
usaha penggilingan padi di Thailand mencapai 87 persen (Wongkeawchan et al.
2000). Namun, jika dibandingkan dengan Indonesia, tingkat efisiensi tersebut jauh
lebih tinggi. Publikasi Apriande (2013) dengan menggunakan metode non
parametrik menyebutkan bahwa usaha penggilingan padi studi kasus di
Kabupaten Cianjur belum efisien secara teknis. Tingginya tingkat efisiensi
menjadi salah satu pendorong industri perberasan di Thailand dapat menghasilkan
beras dalam jumlah yang besar sehingga menjadi negara eksportir terbesar.
Hingga saat ini Indonesia masih melakukan impor beras dari Vietnam dan
India. Kebijakan tersebut akan berdampak buruk pada ketahanan pangan nasional
dalam jangka panjang. Selain itu, saat ini Indonesia telah sepakat untuk segera
mewujudkan integrasi ekonomi, yaitu ASEAN Economy Community (AEC).
Adanya kesepakatan tersebut menuntut Indonesia untuk waspada dan aktif
menyiapkan industri beras nasional yang berdaya saing tinggi. Hal ini dilakukan
untuk melindungi pasar domestik dari beras impor. Selain itu, dengan sistem
agribisnis beras yang efisien dapat meningkatkan peluang Indonesia untuk
melakukan ekspor ke negara lain di Asia Tenggara mengingat Indonesia memiliki
luas panen padi yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lainnya di Asia
Tenggara.
Agar dapat melindungi industri beras nasional dan memiliki daya saing
tinggi terhadap negara pengekspor beras lainnya maka Indonesia harus mampu
meningkatkan efisiensi pengusahaan industri penggilingan padi. Oleh sebab itu,
mempelajari efisiensi usaha penggilingan padi dalam rangka pengembangan
sistem agribisnis perberasan nasional sangatlah penting.
Perumusan Masalah
Aktivitas usahatani tanaman padi merupakan sektor on-farm yang terus
didorong pengembangannya oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan harga
dan non harga. Upaya tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil
padi dengan tingkat produktivitas tertinggi setelah China (Puslitbang Tanaman
Pangan 2007). Selain itu, diketahui bahwa usahatani padi di Indonesia sudah
efisien. Kusnadi et al. (2012) menyebutkan bahwa secara teknis pengusahaan
tanaman padi di setiap sentra produksi padi di Indonesia telah efisien. Namun,
industri penggilingan padi sebagai industri perantara belum kokoh mendukung
6
perkembangan sektor pertanian on-farm tersebut. Hal ini disebabkan karena
pemerintah tidak fokus membenahi industri penggilingan padi yang kemudian
berpengaruh terhadap kualitas, harga, dan daya saing beras nasional.
Usaha penggilingan padi di Indonesia masih didominasi usaha penggilingan
padi skala kecil, yaitu 94.13 persen (BPS 2013b). Usaha penggilingan padi
tersebut umumnya menggunakan konfigurasi mesin yang sederhana, terdiri atas
mesin husker dan polisher. Selain itu, mesin yang digunakan berumur relatif tua.
Thahir (2010) menjelaskan bahwa 32 persen mesin penggilingan padi yang
digunakan berumur lebih dari 15 tahun. Hal tersebut menyebabkan rendahnya
rendemen beras yang dihasilkan yaitu sebesar 62.7 persen (Sawit 2011), jauh bila
dibandingan dengan beberapa negara produsen lainnya di Asia, seperti China (70
persen), Thailand (69.1 persen), dan India serta Vietnam (66.6 persen).
Unit penggilingan padi pada tahun 2008 diketahui mencapai 108 512 unit
dengan kapasitas kumulatif diperkirakan 109.5 juta ton per tahun (Thahir 2010).
Produksi padi Nasional pada tahun tersebut hanya 60.3 juta ton atau setara dengan
39.2 juta ton beras. Hal ini menyebabkan banyak unit penggilingan padi bekerja di
bawah kapasitas terpasang. Fenomena tersebut telah terjadi sejak tahun 2003
sehingga diperkirakan hanya 40 persen unit penggilingan padi yang beroperasi
dengan kapasitas penuh (Thahir 2010).
Salah satu penyebab banyaknya unit penggilingan padi bekerja di bawah
kapasitas terpasang adalah distribusi panen yang tidak merata. Distribusi panen
tidak merata menyebabkan volume gabah yang tersedia tidak mencukupi untuk
memenuhi kapasitas maksimum usaha penggilingan padi. Oleh sebab itu,
biasanya usaha penggilingan padi skala besar dengan modal yang cukup
melakukan pembelian gabah pada musim panen raya sebagai stok pada musim
paceklik. Selain itu, pengusaha penggilingan padi juga berupaya mendapatkan
gabah di daerah sentra produksi lainnya. Namun, usaha penggilingan padi yang
tidak memiliki modal untuk mendapatkan pasokan gabah akan memanfaatkan
mesin penggilingan hanya untuk melayani jasa penggilingan padi. Hal ini
dilakukan agar biaya tetap dari usaha ini masih dapat ditutupi sehingga usaha
masih dapat dijalankan.
Adanya fakta yang memperlihatkan bahwa usaha penggilingan padi di
Indonesia masih didominasi oleh usaha penggilingan padi skala kecil dengan
konfigurasi mesin yang sederhana dan berumur tua akan berdampak pada
produksi usaha penggilingan padi dimana rendemen beras yang dihasilkan akan
rendah. Selain itu, fenomena idle capacity pada usaha penggilingan padi di
Indonesia membuktikan bahwa manajemen usaha penggilingan padi masih belum
baik. Keseluruhan hal tersebut akan berdampak pada produksi usaha yang
kemudian memengaruhi efisiensi teknis usaha penggilingan padi.
Perhatian pemerintah terhadap industri penggilingan padi masih sangat
sedikit dan dirasa masih belum tepat. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah
terkadang tidak mengakomodasi semua kepentingan stakeholder yang berperan
dalam industri perberasan nasional, baik petani selaku produsen, pengusaha
penggilingan padi selaku pelaku usaha yang mengolah gabah menjadi beras, dan
konsumen. Salah satu instrumen pemerintah dalam mengontrol perdagangan beras
adalah melalui intervensi harga gabah dan beras.
Intervensi harga gabah maupun beras didisain untuk memengaruhi marjin
harga yang diterima oleh produsen maupun konsumen. Horcrow (1981)
7
mengungkapkan kadangkala pembuat kebijakan tidak hati-hati dalam menetapkan
besaran intervensi harga melalui kebijakan harga pembelian pemerintah yang
kemudian menyebabkan dampak negatif terhadap stakeholder yang berperan
dalam agribisnis perberasan. Kebijakan harga pembelian gabah maupun beras
oleh pemerintah akan berdampak pada perubahan harga yang diterima oleh
produsen maupun konsumen. Selain itu, kebijakan tersebut juga berdampak pada
perubahan anggaran pemerintah. Keseluruhan dampak tersebut dihitung sebagai
tingkat kehilangan efisiensi.
Inpres Nomor 3 Tahun 2012 mengarahkan agar kebijakan perberasan
nasional berpihak pada petani, dalam arti melindungi petani dari gejolak harga
musiman dan dampak dari gejolak harga beras di pasar dunia, melalui mekanisme
instrumen pembelian pemerintah pada tingkat harga yang sesuai dengan harga
dasar pembelian pemerintah. Sejak tanggal 27 Februari 2012 diberlakukan HPP
untuk gabah kering panen dengan kualitas kadar air maksimum 25 persen dan
kadar hampa atau kotoran maksimum 10 persen adalah Rp3 300 per kg di petani
atau Rp3 350 per kg di penggilingan. Sedangkan Harga pembelian gabah kering
giling dengan kualitas kadar air maksimum 14 persen dan kadar hampa/kotoran
maksimum tiga persen adalah Rp4 150 per kg di penggilingan atau Rp4 200 per
kg di gudang Perum Bulog. HPP gabah yang ditetapkan oleh pemerintah berlaku
sama untuk semua musim panen. Padahal harga gabah diketahui mengikuti pola
tanam. Harga gabah merosot rendah pada musim panen raya, kemudian
meningkat setelah itu dan mencapai puncaknya pada musim panen paceklik.
Gambar 1 Rata-rata harga gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling
(GKG) di tingkat penggilingan dan harga pembelian pemerintah
(HPP) gabah pada bulan Januari 2012 – Januari 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013a (diolah)
8
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa HPP gabah bukan merupakan
harga minimal gabah yang harus dibayar oleh pengusaha penggilingan padi.
Harga gabah yang ditawarkan oleh petani kepada pengusaha penggilingan padi
lebih tinggi dibandingkan HPP yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Upaya
pemerintah untuk melindungi petani kemudian akan menyebabkan tingginya
biaya yang harus dikeluarkan oleh usaha penggilingan padi untuk memperoleh
input produksi. Padahal diketahui bahwa biaya penyediaan gabah sebagai input
produksi merupakan komponen biaya terbesar, yaitu mencapai 90.84 persen dari
total biaya (Putri 2013).
Teori ekonomi menyebutkan bahwa salah satu upaya pelaku usaha untuk
tetap mendapatkan keuntungan maksimum pada kondisi harga input mahal atau
tinggi, adalah dengan mengurangi jumlah input produksi. Akan tetapi, pada kasus
penggunaan gabah sebagai input pada usaha penggilingan padi hal demikian tidak
dapat dilakukan. Usaha penggilingan padi merupakan usaha konversi gabah
menjadi beras, dimana jumlah gabah yang digunakan akan setara dengan jumlah
beras dan side product yang dihasilkan. Oleh sebab itu, jika jumlah gabah sebagai
input dikurangi menyebabkan jumlah beras yang dihasilkan pun berkurang.
Dengan demikian, pada harga beras yang konstan diketahui bahwa tujuan
memaksimumkan keuntungan tidak akan tercapai.
Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan kebijakan harga beras. Kebijakan
harga beras merupakan upaya bagi pemerintah untuk melindungi konsumen
sehingga mendapatkan beras dengan harga yang relatif murah dan terjangkau.
Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah
atau Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah, maka sejak tanggal 27
Februari 2012 pemerintah menetapkan HPP beras dengan harga Rp6 600 per kg di
Bulog. Bulog membeli beras kepada penggilingan padi dengan harga tersebut
untuk beras kualitas medium. Setiap tahunnya Bulog bekerjasama dengan sekitar
4 500 usaha penggilingan padi skala kecil. Usaha penggilingan padi skala besar
biasanya tidak mau bekerjasama dengan Bulog dikarenakan harga yang ditetapkan
oleh Bulog tidak sesuai dengan kualitas beras yang dihasilkan. Hal ini
menyebabkan usaha penggilingan padi skala kecil tidak termotivasi untuk
memperbaiki kualitas beras yang dihasilkan karena permintaan beras kualitas
medium oleh Bulog cukup tinggi.
Harga gabah dan beras merupakan sesuatu yang di luar kendali pelaku usaha
penggilingan padi. Struktur pasar gabah dan beras di Indonesia menyerupai
kriteria struktur pasar persaingan sempurna sehingga menyebabkan posisi pelaku
usaha hanya sebagai price taker. Adanya kebijakan harga gabah akan membuat
tingginya biaya produksi. Di sisi lain, kebijakan harga output yang bertujuan
melindungi kepentingan konsumen justru membuat penerimaan usaha dari
penjualan beras menurun. Hal ini kemudian diduga akan berdampak pada
performa atau kinerja dari usaha penggilingan padi. Selain itu, kondisi yang
demikian juga akan sangat berpengaruh pada perkembangan industri penggilingan
padi. Padahal ini industri ini menjadi salah satu penentu agribisnis beras di
Indonesia. Oleh sebab itu, penting untuk mempelajari efisiensi usaha penggilingan
padi dalam rangka pengembangan sistem agribisnis perberasan nasional.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini antara lain:
9
1.
2.
3.
Apakah usaha penggilingan padi sudah efisien secara teknis dan berapa
tingkat efisiensi usaha penggilingan padi?
Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi efisiensi teknis usaha
penggilingan padi?
Bagaimana hubungan efisiensi teknis usaha penggilingan padi dengan
keuntungan usaha penggilingan padi?
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Mengukur efisiensi teknis usaha penggilingan padi
Menetukan faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi teknis usaha
penggilingan padi
Menetapkan hubungan efisiensi teknis dengan keuntungan usaha
penggilingan padi
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada analisis efisiensi usaha penggilingan padi di
Kabupaten Cianjur. Tidak semua usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur
menjadi responden pada penelitian ini. Kabupaten Cianjur memiliki sekitar 3 449
usaha penggilingan padi yang tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Cianjur
(BPS 2013c). Keseluruhan penggilingan padi tersebut terbagi atas tipe maklon,
non maklon, dan gabungan. Pada penelitian ini, usaha penggilingan padi yang
akan menjadi sampel adalah usaha penggilingan padi dengan tipe non maklon dan
gabungan (baik skala kecil, menengah, maupun besar). Hal ini disebabkan karena
penelitian ini fokus pada aktivitas produksi sehingga unit analisisnya adalah usaha
manufaktur. Dalam hal ini usaha yang tergolong usaha manufaktur adalah usaha
penggilingan padi tipe non maklon dan gabungan.
Efisiensi usaha terdiri atas efisiensi teknis, efisiensi alokasi, dan efisiensi
ekonomi. Akan tetapi, penelitian ini hanya menganalisis efisiensi teknis usaha
penggilingan padi di Kabupaten Cianjur. Hal ini disebabkan karena harga input
produksi yang digunakan relatif sama, sehingga apabila dilakukan perhitungan
efisiensi alokasi dan ekonomi akan menghasilkan nilai yang tidak representatif.
Selain itu, dua variabel independen pada fungsi produksi, yaitu konfigurasi mesin
dan kapasitas produksi tidak memiliki harga per satuan, sehingga perhitungan
efisiensi alokasi dan ekonomi melalui persamaan dual frontier tidak dapat
dilakukan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan parametrik, yaitu stochastic
frontier analysis (SFA) dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Melalui
pendekatan tersebut maka dapat diketahui nilai efisiensi usaha penggilingan padi.
Selain itu, juga diketahui faktor-faktor (determinant) yang memengaruhi efisiensi
usaha penggilingan padi. Keseluruhan analisis tersebut akan dibahas melalui
analisis kuantitatif. Selain tingkat efisiensi usaha, pada penelitian ini juga
dianalisis hubungan efisiensi dengan keuntungan usaha penggilingan padi.
10
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian dengan topik efisiensi dan penelitian yang membahas komoditi
padi bukanlah suatu hal yang baru. Topik efisiensi seringkali ditemui pada
penelitian efisiensi produksi dari subsistem usahatani bermacam-macam produk
pertanian, baik pada sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan,
dan perikanan. Akan tetapi, efisiensi pada sektor pengolahan atau manufaktur
produk-produk pertanian sangatlah terbatas. Oleh sebab itu, tinjauan pustaka yang
dirujuk pada tulisan ini lebih banyak berasal dari penelitian terdahulu terkait
efisiensi pada sektor usahatani terutama pada bagian faktor-faktor yang
memengaruhi efisiensi. Namun, ada juga beberapa penelitian terdahulu tentang
efisiensi usaha manufaktur dari sektor non pertanian.
Peneliti umumnya tertarik untuk mengestimasi efisiensi produksi suatu
usaha dan menganalisis faktor-faktor apa yang berpengaruh secara signifikan
terhadap efisiensi produksi. Pendekatan yang biasa digunakan untuk
mengestimasi dan menganalisis faktor-faktor tersebut, terdiri atas pendekatan
parametrik dengan Stochastic Frontier Analysis dan pendekatan non parametrik
dengan Data Envelopment Analysis.
Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang jenis-jenis efisiensi dan
faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi produksi suatu usaha, model yang
sering digunakan dalam analisis datanya, serta hubungan keuntungan dengan
efisiensi usaha. Referensi yang digunakan adalah berasal dari jurnal, artikel ilmiah
laporan penelitian, tesis, dan disertasi. Berdasarkan referensi yang telah dibahas
maka dapat diperoleh kesimpulan atas beberapa konsep yang berhubungan dengan
tujuan penelitian ini.
Karakteristik Usaha Penggilingan Padi
Usaha penggilingan padi sebagai usaha perantara memiliki peran penting
dalam sistem agribisnis perberasan. Dalam aktivitasnya, usaha penggilingan padi
merupakan usaha yang mengolah gabah menjadi beras. Peranan yang besar
tersebut kemudian menjadi sebuah peluang bagi masyarakat atau pengusaha untuk
menjadikannya sebuah usaha komersial. Tujuan utama pelaku usaha adalah
memaksimumkan keuntungan. Sebagai pelaku usaha yang beroritasi profit maka
pelaku usaha penggilingan padi dituntut mampu memanajemen usahanya sehinga
seluruh aktivitas yang dilakukan diharapkan mampu memberikan tambahan
keuntungan bagi usaha.
Input utama usaha penggilingan padi adalah gabah, baik berupa gabah
kering panen ataupun gabah kering giling. Jika yang dimiliki adalah gabah kering
panen, maka gabah tersebut akan dikeringkan terlebih dahulu sebelum digiling.
Pada usaha tipe non maklon gabah diperoleh melalui aktivitas pembelian gabah
sehingga biaya terbesar usaha penggilingan padi dialokasikan untuk pembelian
gabah, yaitu mencapai 92.32 persen (Putri 2013). Pada usaha penggilingan padi
tipe maklon, input usaha berupa gabah merupakan milik pelanggan atau penerima
jasa, sehingga komponen biaya terbesar pada usaha ini adalah biaya tenaga kerja.
Berdasarkan penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Putri (2013)
diketahui bahwa komponen penerimaan terbesar usaha penggilingan padi tipe
11
gabungan dan non maklon berasal dari penjualan beras. Namun, proporsi
keuntungan yang dimiliki oleh usaha penggilingan padi tipe non maklon 66
persen berasal dari penjualan side products, sedangkan hanya 34 persen
keuntungan berasal dari penjualan beras. Oleh sebab itu, usaha penggilingan padi
yang hanya fokus pada aktivitas penggilingan gabah menjadi beras dan kemudian
menjual beras yang dihasilkan akan meperoleh keuntungan usaha lebih rendah
jika dibandingkan dengan usaha penggilingan padi yang juga fokus terhadap
pengelolaan produk samping (side products), seperti sekam, dedak, menir, dan
broken rice. Hal ini disebabkan karena diduga harga jual produk samping lebih
stabil dibandingkan dengan harga beras.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa industri penggilingan padi
di Indonesia didominasi oleh usaha penggilingan padi skala kecil. Usaha
penggilingan tipe maklon biasanya didominasi oleh usaha penggilingan skala
kecil, namun tidak untuk sebaliknya. Usaha penggilingan padi skala besar dapat
dikategorikan kepada usaha penggilingan tipe non maklon, namun usaha non
maklon belum tentu merupakan usaha penggilingan padi besar. Menurut Nugraha
(2008), usaha penggilingan padi skala kecil (PPK) lebih efisien dibandingkan
dengan usaha penggilingan padi skala besar (PPB). Putri (2013) melalui analisis
R/C dan Apriande (2013) melalui pendekatan non parametrik juga
mengungkapkan bahwa usaha penggilingan padi tipe maklon lebih efisien
daripada kedua tipe lainnya. Putri (2013) menduga hal tersebut disebabkan karena
usaha penggilingan padi tipe maklon tidak dipengaruhi secara langsung oleh
fluktuasi harga gabah sebagai input dan harga beras sebagai output usaha.
Jika dalam jangka panjang (long run) industri penggilingan padi tetap
didominasi usaha penggilingan padi skala kecil maka industri perberasan nasional
menjadi tidak efisien. Oleh sebab itu, perlu melakukan revitalisasi industri
penggilingan padi. Usaha penggilingan padi skala besar (PPB) atau usaha
penggilingan padi tipe non maklon memungkinkan untuk dikembangkan dalam
upaya pengembangan industrialisasi perberasan nasional dalam jangka panjang.
Akan tetapi, diketahui usaha penggilingan tipe ini belum cukup efisien sehingga
daya saing produk yang dihasilkan pun belum cukup baik.
Efisiensi Usaha
Efisiensi merupakan salah satu parameter kinerja yang secara teoritis
merupakan salah satu kinerja yang mendasari seluruh kinerja organisasi. Efisiensi
tercapai apabila usaha dapat menghasilkan sejumlah output tertentu dengan
memininalisir penggunaan input atau menghasilkan output yang optimal dengan
penggunaan input tertentu. Banyak usaha yang profitable tetapi kurang efisien.
Salah satunya disebabkan karena kurangnya pemahaman seorang pemilik atau
pengelola usaha dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki. Usaha yang dapat
mencapai tingkat efisiensinya berarti pelaku usaha tersebut mampu mengelola
sumberdaya yang dimiliki sehingga pendapatan usaha dapat ditingkatkan. Usaha
yang menghasilkan pendapatan yang tinggi kemudian akan mampu
mengembangkan usahanya. Pengembangan usaha dapat berupa peningkatan skala
usaha, peningkatan lini usaha, dan sebagainya yang kemudian akan meningkatkan
kesejahteraan pengelola usaha.
12
Efisiensi merupakan ukuran kinerja yang cukup populer. Hal ini disebabkan
karena efisiensi dapat menjadi solusi terhadap kesulitan-kesulitan dalam
menghitung ukuran kinerja. Selain itu, efisiensi merupakan isu yang penting
dalam pengembangan usaha. Din et al. (2007) mengungkapkan bahwa
peningkatan efisiensi usaha berpengaruh terhadap persaingan usaha yang
kemudian akan memengaruhi iklim bisnis yang ada. Efisiensi sebagai ukuran
kinerja dapat digunakan atau diterapkan pada berbagai jenis usaha, baik usaha
yang menghasilkan barang maupun usaha yang menghasilkan jasa, seperti
pengukuran kinerja pada perusahaan manufaktur, perusahaan jasa, perbankan,
maupun pada aktivitas usaha pertanian.
Farrel (1957) mengungkapkan ada dua komponen dalam efisiensi produksi
(production efficiency), yaitu efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi
alokasi (alocative efficiency). Efisiensi teknis adalah ukuran kesuksesan
perusahaan atau sebuah usaha untuk memaksimalkan output dengan penggunaan
input tertentu. Efisiensi alokasi atau biasa disebut dengan efisiensi harga adalah
kesuksesan perusahaan untuk memilih input secara optimal pada maisng-masing
tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki. Efisiensi ekonomi dapat tercapai
apabila diketahui bahwa suatu usaha efisien baik secara teknis maupun alokasi.
Perusahaan yang mencapai efisiensi ekonomis mengindikasikan bahwa usaha
tersebut telah mampu meningkatkan kesejahteraan pengusaha.
Konsep efisiensi pada sektor pertanian biasanya digunakan untuk mengukur
kinerja pada aktivitas on-farm, seperti bagaimana petani atau peternak mengelola
penggunaan sumberdaya input untuk mendapatkan output yang maksimal. Konsep
efisiensi yang dipakai dalam mengukur kinerja usaha pada aktivitas on-farm
adalah efisiensi teknis (technical efficiency). Di Indonesia maupun di negara lain,
penelitian terkait efisiensi teknis pada usaha on-farm telah banyak dilakukan,
seperti efisiensi teknis pada tanaman pangan oleh Kusnadi et al. (2011);
Rachmina dan Maryono (2008); Tijani (2006); Nurmalina et al (2012); Chiona
(2011). Selain itu, juga terdapat analisis efisiensi teknis pada bidang peternakan
oleh Yunus (2009); Gusasi dan Saade (2006). Sedangkan, Fernandes dan Nuthall
(2012); Susilowati dan Tinaprilla (2012); Haridas et al. (2012); Triwidyaratih
(2012) menganalisis efisiensi teknis pada produksi tamanan perkebunan. Analisis
efisiensi teknis juga dilakukan di bidang perikanan yang dilakukan oleh Nguyen
(2012) dan Pascoe dan Mardle (2003). Penelitian tersebut memiliki tujuan yang
sama, yaitu mengetahui berapa tingkat efisiensi usaha yang dilakukan dan
bagaimana input usaha dapat memengaruhi output yang dihasilkan.
Konsep efisiensi teknis juga digunakan oleh usaha yang bergerak dalam
bidang manufaktur. Ukuran efisiensi teknis digunakan sebagai indikator
suksesnya sebuah usaha dalam menghasilkan output yang maksimal dengan
penggunaan input yang sama dengan usaha sejenisnya. Oleh sebab itu, biasanya
peneliti berusaha mengukur tingkat keberhasilan ekonomi usaha yang dijalankan
melalui penilaian terhadap efisiensi teknis (Apriande 2013; Charoenrat dan Harvie
2012; Ngatindriatun 2011; Abu dan Kirsten 2009; Nugraha 2008; Radam et al.
2008; Din et al. 2007; Wongkeawchan et al. 2000).
Nugraha (2008) menunjukkan bahwa usaha penggilingan padi skala kecil
memiliki tingkat efisiensi teknis lebih besar dibandingkan dengan usaha
pengggilingan padi skala besar. Sedangkan, Apriande (2013) menunjukkan bahwa
melalui pendekatan non parametrik, yaitu DEA dieperoleh bahwa rata-rata usaha
13
penggilingan padi di Kabupaten Cianjur memiliki tingkat efisiensi sebesar 60.64
persen. Tingkat
DI KABUPATEN CIANJUR: PENDEKATAN STOCHASTIC
FRONTIER ANALYSIS
TURSINA ANDITA PUTRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Teknis Usaha
Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur: Pendekatan Stochastic Frontier Analysis,
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Tursina Andita Putri
NIM H353011636
RINGKASAN
TURSINA ANDITA PUTRI. Efisiensi Teknis Usaha Penggilingan Padi di
Kabupaten Cianjur: Pendekatan Stochastic Frontier Analysis. Dibimbing oleh
NUNUNG KUSNADI dan DWI RACHMINA.
Salah satu subsistem yang berperan penting dalam agribisnis beras adalah
penggilingan padi. Adanya kebijakan pemerintah yang menetapkan harga dasar
pembelian gabah untuk melindungi petani akan membuat tingginya biaya
produksi mengingat gabah merupakan input utama pada usaha ini. Di sisi lain,
pemerintah juga menetapkan kebijakan harga beras untuk melindungi konsumen
akan membuat penerimaan usaha menurun karena beras merupakan output utama.
Kebijakan tersebut akan menentukan kinerja usaha penggilingan padi.
Usaha penggilingan padi di Indonesia masih didominasi oleh usaha
penggilingan padi skala kecil, yaitu 94.13 persen (BPS 2012). Usaha penggilingan
padi tersebut umumnya menggunakan konfigurasi mesin yang sederhana, terdiri
atas mesin husker dan polisher. Selain itu, mesin yang digunakan berumur relatif
tua. Thahir (2010) menjelaskan bahwa 32 persen mesin penggilingan padi yang
digunakan berumur lebih dari 15 tahun. Hal tersebut menyebabkan rendahnya
rendemen beras yang dihasilkan yaitu sebesar 62.7 persen (Sawit 2011).
Keseluruhan hal tersebut akan berdampak pada efisiensi usaha.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur efisiensi teknis usaha
penggilingan padi, menentukan faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi teknis,
serta menetapkan hubungan efisiensi teknis dengan keuntungan usaha
penggilingan padi. Stochastic Frontier Analysis (SFA) digunakan sebagai
pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis sekaligus faktor-faktor yang
memengaruhinya. Penelitian ini menggunakan data dari 60 sampel usaha
penggilingan padi yang dipilih dengan metode snowball sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
positif dan signifikan terhadap nilai produksi usaha penggilingan padi adalah
jumlah tenaga kerja, jumlah bahan bakar, kapasitas giling mesin per jam, dan
konfigurasi mesin yang digunakan. Usaha penggilingan padi di Kabupaten
Cianjur belum efisien, dengan rata-rata tingkat efisiensi adalah 0.616. Faktorfaktor yang signifikan memengaruhi efisiensi adalah pendidikan formal
pengusaha, umur mesin, dan rendemen beras yang dihasilkan. Efisiensi teknis
berhubungan positif dengan keuntungan usaha penggilingan padi. Komponen
penerimaan usaha penggilingan padi terbesar berasal dari side products. Oleh
sebab itu, diduga usaha menjadi lebih efisien karena adanya side-products yang
diperhitungkan dalam komponen penerimaan usaha.
Peningkatan efisiensi teknis usaha penggilingan padi perlu mendapatkan
perhatian dari pemerintah dan pelaku usaha khususnya. Diharapkan pelaku usaha
dan pemerintah bekerjasama dalam upaya perbaikan konfigurasi mesin giling, dari
yang masih sederhana menjadi lebih modern agar kualitas produk yang dihasilkan
menjadi lebih baik. Selain itu, perlu adanya kebijakan khusus oleh pemerintah
untuk mendukung program peremajaan mesin penggilingan padi yang digunakan,
baik melalui bantuan langsung maupun melalui mekanisme kredit.
Kata kunci : efisiensi teknis, SFA, usaha penggilingan padi,
SUMMARY
TURSINA ANDITA PUTRI. Technical Efficiency of Rice Milling Unit in
Cianjur District: Stochastic Frontier Analysis Approach. Supervised by
NUNUNG KUSNADI and DWI RACHMINA.
One subsystem that plays an important role in agribusiness rice is rice
milling. Government policy that sets the base price of the purchase of grain to
protect farmers will make given the high cost of production. On the other hand,
the government also established a policy that keeping the rice at low price to
protect consumer will make receipts decreased. The policy will determine the
performance of the rice milling business.
Businesses rice mills in Indonesia is still dominated by small-scale rice
milling business, which is 94.13 percent (BPS 2012). The rice milling machines
generally use a simple configuration, consisting of husker and polisher machine.
In addition, the engine used a relatively old age, Tahir (2010) explains that 32
percent of the rice milling machine used is thought to have lived more than 15
years. This leads to low yield of rice produced is equal to 62.7 percent (Sawit
2011). Overall it will have an impact on the business inefficiencies.
The purpose of this study was to measure the technical efficiency of rice
milling business, determine the factors that affect technical efficiency, technical
efficiency and establishing relationships with the rice milling business profits.
Stochastic Frontier Analysis (SFA) is used as an approach to measuring technical
efficiency at the same time the factors that affect it. To that end, this study used
data from 60 samples rice milling business were selected through snowball
sampling method.
The results showed that the factors that influence a positive and significant
impact on the value of production of rice milling business is the amount of labor,
fuel quantity, engine milling capacity per hour, and the configuration of the
machine used. The rice mills in Cianjur was inefficient, with an average efficiency
level is 0.616. Factors that are affecting the technical efficiency of rice milling
business in Cianjur Regency are formal education, engine life, and yield of rice
produced. Technical efficiency is positively corelated with the gains of rice
milling business. The largest proportion of the rice milling business profit is not
derived from rice as main product but from the by product. Therefore, the alleged
effort to become more efficient because of the side-products are accounted for in
the income component of business.
Improved technical efficiency of rice milling business needs to get the
attention of governments and businesses in particular. It is expected that
businesses and governments work together in order to improve the milling
machine configurations, from simple to modern to be a better quality product. In
addition, the need for specific policies by the government to support the
rejuvenation of rice milling machine used, either through direct assistance or the
proper of credit mechanisms.
Keywords: technical efficiency, SFA, Rice milling busines
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFISIENSI TEKNIS USAHA PENGGILINGAN PADI
DI KABUPATEN CIANJUR: PENDEKATAN STOCHASTIC
FRONTIER ANALYSIS
TURSINA ANDITA PUTRI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Ratna Winandi, MS
Penguji Program Studi
: Dr Ir Netti Tinaprilla, MM
Judul Tesis : Efisiensi Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur dengan
Pendekatan Stochastic Frontier Analysis (SFA)
Nama
: Tursina Andita Putri
NIM
: H351130636
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Nunung Kunadi, MS
Ketua
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 ini adalah Efisiensi
Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur dengan Pendekatan Stochastic
Frontier Analysis (SFA).
Penulis sampaikan ucapan terima kasih khususnya kepada Biro Penerimaan
Kerjasama Luar Negeri, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia atas Beasiswa Unggulan yang diberikan kepada penulis selama kuliah
di Program Studi Agribisnis IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nunung Kusnadi, MS dan Dr Ir
Dwi rachmina, M.Si selaku dosen pembimbing, Dr Ir Ratna Winnandi, MS dan Dr
Ir Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji pada ujian tesis, serta Prof Dr Ir Rita
Nurmalina, MS dan Dr Ir Suharno, Madev selaku ketua dan sekretaris Program
Studi Magister Sains Agribisnis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, dan kakak, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan kasih
sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada keluarga besar
Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Gekbrong, keluarga besar Punggawa Ratu
Desa Sukaratu yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis
sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan kepada rekan-rekan
program sinergi (Fast Track) Angkatan 1 dan rekan-rekan MSA3 Program Studi
Agribisnis.
Bogor, Agustus 2014
Tursina Andita Putri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
5
9
9
2
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Usaha Penggilingan Padi
Efisiensi Usaha
Faktor-Faktor (Determinant) yang Memengaruhi Efisiensi Usaha
Pendekatan Pengukuran Efisiensi
Efisiensi dan Keuntungan
10
10
11
14
23
27
3
KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Fungsi Produksi dan Produksi Frontier
Konsep Efisiensi
Kerangka Pemikiran Operasional
28
28
30
34
4
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Sampel
Metode Pengambilan Data
Analisis dan Pengolahan Data
Konsep Pengukuran Variabel
37
37
37
38
38
39
45
5
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK PEMILIK USAHA
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambaran Umum Aktivitas Usaha Penggilingan Padi
Karakteristik Individu Pelaku Usaha dan Usaha Penggilingan Padi
46
46
49
54
6
EFISIENSI TEKNIS DAN KEUNTUNGAN USAHA
PENGGILINGAN PADI
Fungsi Produksi Usaha Penggilingan Padi
Efisiensi Teknis Usaha Penggilingan Padi
Faktor-faktor yang Memengaruhi Efisiensi Teknis Usaha
Penggilingan Padi
62
62
67
69
7
Keuntungan pada Usaha Penggilingan Padi
Hubungan Efisiensi Teknis dengan Keuntungan
Usaha Penggilingan Padi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
72
75
78
78
78
DAFTAR PUSTAKA
80
LAMPIRAN
85
RIWAYAT HIDUP
91
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Perkembangan jumlah penduduk, jumlah produksi dan konsumsi
beras di Indonesia Tahun 2000-2012
Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2012
Penyebaran usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2012
Area panen, produksi tanaman padi, dan jumlah usaha penggilingan
padi di 10 Kabupaten penghasil padi terbanyak di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012
Jumlah ketersediaan beras dan kebutuhan konsumsi beras
penduduk di Kabupaten Cianjur Tahun 2009-2013
Karakteristik pelaku usaha berdasarkan jenis kelamin, umur,
pendidikan formal, pengalaman, status usaha di Kabupaten Cianjur
Tahun 2014
Statistik deskriptif dari penggunaan input dan output usaha penggilingan
Padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Karakteristik usaha berdasarkan umur bisnis, kepemilikan usaha,
tipe usaha, konfiguraso mesin, umur mesin, kontinuitas produksi,
dan kpasitas usaha di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Sebaran pelaku usaha penggilingan padi yang menerima pinjaman
modal dari lembaga keuangan di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Hasil dugaan model produksi cobb-douglas usaha penggilingan padi
di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 dengan menggunakan metode OLS
Hasil dugaan model produksi stochastic frontier cobb-douglas
usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
dengan menggunakan metode MLE
Sebaran nilai efisiensi teknis usaha penggilingan padi di
Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Keterkaitan tingkat efisiensi teknis dengan rata-rata kapasitas produksi
dan rata-rata jumlah produk sampingan pada usaha penggilingan
padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Penduga efek inefsiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier
usaha penggilingan papi di Kabuapaten Cianjur Tahun 2014
Penerimaan usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Biaya usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Keuntungan dan imbangan penerimaan dan biaya
pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Keterkaitan tingkat efisiensi ekonomi dengan rata-rata keuntungan dan
R/C pada usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Komponen penerimaan usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur
Tahun 2014
1
3
4
37
49
55
58
59
62
64
66
68
69
70
73
74
75
76
77
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Rata-rata harga gabah di tingkat penggilingan dan HPP gabah
menurut kualitas gabah Tahun 2012
Efisiensi pada orientasi input
Efisiensi pada orientasi output
Kerangka pemikiran operasional
Tahapan proses pengolahan gabah menjadi beras pada usaha
penggilingan padi
7
33
34
36
53
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Penyebaran usaha penggilingan padi dan luas areal tanaman
Padi Sawah di Kabupaten Cianjur Tahun 2013
Hasil uji normalitas model fungsi produksi usaha penggilingan padi
di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Hasil uji heterokedastisitas model fungsi produksi usaha penggilingan
Padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014
Hasil pendugaan fungsi produksi usaha penggilingan padi di
Kabupaten Cianjur Tahun 2014 dengan metode OLS
Hasil pendugaan fungsi produksi usaha penggilingan padi di
Kabupaten Cianjur Tahun 2014 dengan metode MLE
85
86
87
88
89
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang memiliki peran strategis
baik dari sisi produsen maupun konsumen. Dari sisi produsen diketahui produksi
padi nasional pada tahun 2012 mencapai 69.05 juta ton padi atau setara dengan
41.43 juta ton beras. Selain itu, sekitar 24.70 persen penduduk Indonesia bekerja
di sektor pertanian tanaman padi (BPS 2012). Dari sisi konsumen diketahui beras
merupakan makanan pokok (staple food) bagi mayoritas penduduk Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Satistik (2012a) diketahui bahwa pengeluaran
penduduk Indonesia untuk konsumsi beras mencapai 17.90 persen dari total
pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Selain itu, rata-rata
konsumsi beras penduduk Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu 125 kg beras
per kapita per tahun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
negara lainnya, seperti Thailand dan Malaysia. Rata-rata konsumsi beras di
Thailand adalah 103 kg per kapita pertahun dan Malaysia hanya 77 kg per kapita
pertahun (Baldwln et al. 2012).
Tabel 1 Perkembangan jumlah penduduk, jumlah produksi dan konsumsi beras di
Indonesia Tahun 2000-2012a
Tahun
Jumlah penduduk (jiwa)
Produksi (juta ton)b Konsumsi (juta ton)
2000
205 133 000
31.14
26.67
2001
207 995 000
30.28
26.83
2002
210 898 000
30.89
27.21
2003
213 841 000
31.28
27.59
2004
216 826 000
32.45
27.97
2005
219 852 000
32.39
28.14
2006
222 747 000
32.67
28.51
2007
225 642 000
34.29
28.21
2008
228 523 000
36.20
28.57
2009
231 370 000
38.64
28.92
2010
237 641 000
39.88
29.71
2011
241 182 000
29.45
30.15
2012
244 776 000
41.43
30.60
a
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013 (diolah); blaju pertumbuhan penduduk adalah 1,49 % per
tahun (BPS 2012); cRendemen beras sebesar 60 %.
Berdasarkan Tabel 1 jumlah produksi beras per tahun diketahui lebih besar
dibandingkan dengan jumlah konsumsi beras per tahun. Namun, setiap negara
harus menyediakan cadangan pangan sebesar 15 persen dari kebutuhan konsumsi.
Selain itu, diketahui bahwa jumlah produksi padi pada Tabel 1 adalah akumulasi
jumlah produksi padi selama satu tahun. Pada musim panen tertentu ketersediaan
beras di pasar bisa saja berkurang karena adanya gagal panen dan sebagainya. Hal
ini tentu menyebabkan berkurangnya pasokan beras yang menyebabkan
2
meningkatkan harga beras, padahal ketergantungan masyarakat terhadap beras
tidak dapat dihentikan. Oleh sebab itu, pada kenyataannya pemerintah tetap
melakukan kebijakan impor beras. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional
dengan cara melakukan impor memerlukan banyak devisa sehingga kebijakan ini
menjadi tidak strategis bagi kepentingan ketahanan nasional jangka panjang.
Pemerintah tidak hanya mengandalkan kebijakan impor beras sebagai solusi
pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah untuk menjamin ketersedian beras sepanjang tahun dalam jumlah
yang cukup adalah melalui program kerja Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN). Melalui program tersebut pemerintah mencanangkan Indonesia mampu
mencapai surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Dalam rangka pencapaian
tujuan tersebut, maka Kementerian Pertanian menerapkan empat strategi, yaitu (1)
peningkatan produktivitas; (2) perluasan areal tanam; (3) pengamanan produksi
melalui pengendalian OPT dan antisipasi dampak fenomena iklim, serta gerakan
penangangan pascapanen untuk mengurangi kehilangan hasil melalui manajemen
teknolgi panen dan pascapanen; dan (4) pemberdayaan dan dukungan pembiayaan
serta peningkatan koordinasi.
Masing-masing
strategi
yang
telah
dirumuskan
kemudian
diimplementasikan melalui berbagai bentuk program kerja. Peningkatan
produktivitas dilakukan melaui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT) dan intensifikasi non-PTT. Strategi perluasan areal
tanam dilakukan melalui perbaikan jaringan irigasi, percetakan sawah baru,
pemanfaatan air permukaan dan air dangkal, dan optimalisasi lahan lebak.
Pengamanan produksi dilakukan melalui pengendalian OPT dan pengurangan
kehilangan hasil dengan penerapan manajemen pasacapanen melalui revitalisasi
usaha penggilingan padi kecil dan mobilisasi peralatan. Selain itu, pemerintah
juga menyediakan berbagai alternatif pembiayaan seperti adanya Kredit
Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3),
Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP), dan bantuan kredit investasi
pertanian.
Berdasarkan strategi dan implementasi strategi yang telah diuraikan terlihat
bahwa program tersebut fokus pada upaya peningkatan produksi dan produktivitas
padi di sektor on-farm dengan sasaran kebijakan adalah petani sebagai produsen
padi. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah memiliki komitmen yang tinggi
untuk mengembangkan sektor on-farm. Namun, perlu diketahui bahwa yang
dikonsumsi oleh masyarakat bukanlah padi tetapi beras yang merupakan produk
olahan padi. Oleh sebab itu, program pemerintah seharusnya juga diarahkan
kepada pengembangan agribisnis perberasan nasional termasuk memperhatikan
sektor off-farm dan lembaga penunjangnya, salah satunya adalah industri
penggilingan padi.
Salah satu subsistem yang berperan penting dalam agribisnis beras adalah
penggilingan padi. Subsistem ini berperan sebagai unit produksi yang mengolah
gabah menjadi beras dan sekaligus sebagai unit pemasaran yang membeli gabah
dari petani serta menjadi bagian dari rantai distribusi beras ke konsumen. Industri
penggilingan padi berperan penting sebagai mata rantai distribusi beras nasional.
Oleh sebab itu, subsistem ini mendorong terciptanya usaha penggilingan padi.
Dari sisi ekonomi, keberadaan usaha penggilingan sangat berperan dalam
akselarator peningkatan kesejahteraan masyarakat. Usaha Penggilingan padi dapat
3
menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Melalui menajemen
usahanya, penggilingan padi terlibat membantu petani dalam proses penyimpanan
dan pemasaran hasil panen petani. Selain itu, tingkat harga dan pendapatan yang
diperoleh petani serta tingkat harga yang harus dibayar konsumen juga dapat
ditentukan oleh keberadaan usaha penggilingan padi.
Salah satu kebijakan P2BN adalah komitmen pemerintah untuk mendorong
peningkatan produksi melalui penanganan pascapanen dengan penambahan
peralatan pascapanen. Pada kebijakan tersebut diuraikan bahwa pemerintah akan
merevitalisasi penggilingan padi skala kecil dengan merehabilitasi konfigurasi
mesin penggilingan padi, yang terdiri dari penambahan alat pembersih (cleaner)
sebanyak 500 unit, alat pemisah gabah dan beras (separator) sebanyak 400 unit,
300 set cleaner-separator, dan 200 set polisher-cleaner-separator. Program ini
bertujuan meningkatkan penggunaan teknologi pada usaha penggilingan padi
kecil. Akan tetapi, upaya ini tidak akan berdampak signifikan karena jumlah
usaha penggilingan padi kecil di Indonesia mencapai 172 ribu unit atau sekitar 94
persen dari total usaha penggilingan padi (Tabel 2).
Tabel 2 Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2012a
Jenis Usaha Penggilingan padi
2008
%
2012
%
Penggilingan padi besar (PPB)
5 133
4.73
2 075
1.14
Penggilingan padi sedang (PPS)
8 628
4.74
Penggilingan padi kecil (PPK)
39 425
36.33
171 496
94.13
Rice milling unit (RMU)
35 093
32.34
Unit penggilingan engelberg
1 630
1.50
Unit mesin huller
14 153
13.04
Unit mesin penyosoh beras
13 178
12.14
Jumlah
108 512
100.00
182 199 100.00
a
Sumber: Thahir (2010) dan Badan Pusat Statistik (2013b), diolah
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa usaha penggilingan padi empat tahun
terakhir mengalami peningkatan jumlah yang signifikan, yaitu sekitar 68.13
persen. Usaha penggilingan padi pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis. Pada tahun 2008, data usaha penggilingan padi didasarkan pada
konfigurasi mesin yang dimiliki oleh unit usaha, sedangkan pada tahun 2012
klasifikasi usaha didasarkan pada skala usaha. Pada penelitian Putri (2013), usaha
penggilingan padi diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu maklon, non maklon,
dan kombinasi keduanya. Istilah maklon dan non maklon merupakan istilah lokal,
sehingga Winarno (2004) memberikan istilah yang lebih umum, yaitu rice milling
commercial untuk usaha penggilingan padi dengan tipe non maklon dan service
mills untuk usaha penggilingan padi dengan tipe maklon.
Maklon merupakan usaha penggilingan padi yang hanya menyediakan
layanan jasa penggilingan kepada petani atau pedagang pengumpul selaku pemilik
gabah untuk mengolah gabah menjadi beras dan produk samping lainnya. Non
maklon merupakan usaha (kesatuan) dimana seluruh aktivitas usaha penggilingan
dimiliki dan dikelola oleh pengusaha usaha penggilingan padi. Pengadaaan gabah
pada usaha non maklon dapat dilakukan melalui pembelian kepada petani maupun
4
pedagang pengumpul. Oleh sebab itu, pada usaha penggilingan padi tipe non
maklon, pengusaha juga bertindak sebagai pengumpul gabah untuk kemudian
diolah dan menjual langsung beras yang dihasilkan. Adanya variasi usaha
penggilingan padi tersebut akan menyebabkan munculnya variasi pengusahaan
dan manajemen usaha sebagai upaya memperoleh keuntungan maksimal.
Saat ini terdapat sekitar 182 199 unit usaha penggilingan padi tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa sekitar 52.56
persen usaha penggilingan padi tersebar di pulau Jawa. Salah satu penyebab
banyaknya usaha penggilingan padi di pulau Jawa adalah karena sebagian besar
provinsi sentra produksi padi terdapat di pulau Jawa, yaitu Provinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Produksi padi di pulau Jawa mencapai 52.89
persen dari total produksi padi nasional.
Tabel 3 Penyebaran usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2012a
Skala usaha
Pulau
Besar
Sedang
Kecil
Jumlah
Sumatera
413
1 564
33 473
35 450
Jawa
1 145
4 887
89 730
95 762
Bali
32
122
1 585
1 739
NTB
113
200
2 825
3 138
NTT
44
138
4 248
4 430
Kalimantan
164
660
16 370
17 248
Sulawesi
164
1 042
22 667
23 873
Maluku
0
8
285
293
Papua
0
7
259
266
Jumlah
2 075
8 628
171 496
182 199
a
Sumber: Badan Pusat Statistik (2013b)
Di Indonesia, industri penggilingan padi masih didominasi oleh pihak
swasta. Peran swasta dalam pengadaan beras melalui usaha penggilingan padi
sangatlah besar. Sekitar 93 persen ketersediaan beras di pasar merupakan akibat
beroperasinya unit usaha penggilingan padi swasta (Partiwiri 2004). Fasilitas yang
dimiliki Bulog belum mampu menampung seluruh hasil produksi dari petani.
Sawit (2011) menyebutkan bahwa Bulog hanya mampu membeli gabah atau beras
antara 2-3 juta ton per tahun atau sekitar 6-8 persen dari total produksi beras
nasional.
Berbeda dengan Indonesia, usaha penggilingan padi di Vietnam mayoritas
dimiliki oleh pemerintah (state owned organization) melalui VINAFOOD I dan
VINAFOOD II. Pada tahun 2008, keseluruhan atau sebagian dari perusahaan
milik pemerintah tersebut telah berkontribusi sebesar 79 persen dari total nilai
perdagangan beras. Sektor swasta di Vietnam hanya menyumbang sebesar 19
persen, sedangkan sisanya merupakan kontribusi koperasi. Hal ini berbeda dengan
kondisi Vietnam sebelum tahun 2000, dimana sekitar 91.6 persen usaha
penggilingan padi yang ada di Vietnam dikuasai atau dimiliki oleh sektor swasta
dan dapat memproduksi sekitar 90 persen dari jumlah total beras giling yang di
produksi di Vietnam untuk kebutuhan domestik maupun luar negeri.
5
Peran pemerintah pada industri pengolahan beras di Thailand juga sangat
besar. MOF (Marketing Organization for Farmers) sebagai organisasi di bawah
naungan Kementerian Pertanian dan Koperasi (MOAC) harus membeli beras
seluruh pengusaha penggilingan beras ketika terjadi krisis dengan harga yang
telah ditetapkan oleh Rice Committe. Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat
memastikan bahwa pengusaha penggilingan padi memiliki modal yang cukup
untuk kemudian membeli gabah lebih banyak dari petani. Kebijakan ini
berdampak positif tidak hanya bagi usaha penggilingan padi akan tetapi juga bagi
petani.
Peran pemerintah yang tinggi dan didukung oleh regulasi yang tepat
membuat Industri penggilingan padi di Vietnam dan Thailand dapat beroperasi
secara optimal. Salah satu indikator keberhasilan industri penggilingan padi dapat
dicermati melalui tingkat efisiensi industri penggilingan padi. Efisiensi teknis
usaha penggilingan padi di Thailand mencapai 87 persen (Wongkeawchan et al.
2000). Namun, jika dibandingkan dengan Indonesia, tingkat efisiensi tersebut jauh
lebih tinggi. Publikasi Apriande (2013) dengan menggunakan metode non
parametrik menyebutkan bahwa usaha penggilingan padi studi kasus di
Kabupaten Cianjur belum efisien secara teknis. Tingginya tingkat efisiensi
menjadi salah satu pendorong industri perberasan di Thailand dapat menghasilkan
beras dalam jumlah yang besar sehingga menjadi negara eksportir terbesar.
Hingga saat ini Indonesia masih melakukan impor beras dari Vietnam dan
India. Kebijakan tersebut akan berdampak buruk pada ketahanan pangan nasional
dalam jangka panjang. Selain itu, saat ini Indonesia telah sepakat untuk segera
mewujudkan integrasi ekonomi, yaitu ASEAN Economy Community (AEC).
Adanya kesepakatan tersebut menuntut Indonesia untuk waspada dan aktif
menyiapkan industri beras nasional yang berdaya saing tinggi. Hal ini dilakukan
untuk melindungi pasar domestik dari beras impor. Selain itu, dengan sistem
agribisnis beras yang efisien dapat meningkatkan peluang Indonesia untuk
melakukan ekspor ke negara lain di Asia Tenggara mengingat Indonesia memiliki
luas panen padi yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lainnya di Asia
Tenggara.
Agar dapat melindungi industri beras nasional dan memiliki daya saing
tinggi terhadap negara pengekspor beras lainnya maka Indonesia harus mampu
meningkatkan efisiensi pengusahaan industri penggilingan padi. Oleh sebab itu,
mempelajari efisiensi usaha penggilingan padi dalam rangka pengembangan
sistem agribisnis perberasan nasional sangatlah penting.
Perumusan Masalah
Aktivitas usahatani tanaman padi merupakan sektor on-farm yang terus
didorong pengembangannya oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan harga
dan non harga. Upaya tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil
padi dengan tingkat produktivitas tertinggi setelah China (Puslitbang Tanaman
Pangan 2007). Selain itu, diketahui bahwa usahatani padi di Indonesia sudah
efisien. Kusnadi et al. (2012) menyebutkan bahwa secara teknis pengusahaan
tanaman padi di setiap sentra produksi padi di Indonesia telah efisien. Namun,
industri penggilingan padi sebagai industri perantara belum kokoh mendukung
6
perkembangan sektor pertanian on-farm tersebut. Hal ini disebabkan karena
pemerintah tidak fokus membenahi industri penggilingan padi yang kemudian
berpengaruh terhadap kualitas, harga, dan daya saing beras nasional.
Usaha penggilingan padi di Indonesia masih didominasi usaha penggilingan
padi skala kecil, yaitu 94.13 persen (BPS 2013b). Usaha penggilingan padi
tersebut umumnya menggunakan konfigurasi mesin yang sederhana, terdiri atas
mesin husker dan polisher. Selain itu, mesin yang digunakan berumur relatif tua.
Thahir (2010) menjelaskan bahwa 32 persen mesin penggilingan padi yang
digunakan berumur lebih dari 15 tahun. Hal tersebut menyebabkan rendahnya
rendemen beras yang dihasilkan yaitu sebesar 62.7 persen (Sawit 2011), jauh bila
dibandingan dengan beberapa negara produsen lainnya di Asia, seperti China (70
persen), Thailand (69.1 persen), dan India serta Vietnam (66.6 persen).
Unit penggilingan padi pada tahun 2008 diketahui mencapai 108 512 unit
dengan kapasitas kumulatif diperkirakan 109.5 juta ton per tahun (Thahir 2010).
Produksi padi Nasional pada tahun tersebut hanya 60.3 juta ton atau setara dengan
39.2 juta ton beras. Hal ini menyebabkan banyak unit penggilingan padi bekerja di
bawah kapasitas terpasang. Fenomena tersebut telah terjadi sejak tahun 2003
sehingga diperkirakan hanya 40 persen unit penggilingan padi yang beroperasi
dengan kapasitas penuh (Thahir 2010).
Salah satu penyebab banyaknya unit penggilingan padi bekerja di bawah
kapasitas terpasang adalah distribusi panen yang tidak merata. Distribusi panen
tidak merata menyebabkan volume gabah yang tersedia tidak mencukupi untuk
memenuhi kapasitas maksimum usaha penggilingan padi. Oleh sebab itu,
biasanya usaha penggilingan padi skala besar dengan modal yang cukup
melakukan pembelian gabah pada musim panen raya sebagai stok pada musim
paceklik. Selain itu, pengusaha penggilingan padi juga berupaya mendapatkan
gabah di daerah sentra produksi lainnya. Namun, usaha penggilingan padi yang
tidak memiliki modal untuk mendapatkan pasokan gabah akan memanfaatkan
mesin penggilingan hanya untuk melayani jasa penggilingan padi. Hal ini
dilakukan agar biaya tetap dari usaha ini masih dapat ditutupi sehingga usaha
masih dapat dijalankan.
Adanya fakta yang memperlihatkan bahwa usaha penggilingan padi di
Indonesia masih didominasi oleh usaha penggilingan padi skala kecil dengan
konfigurasi mesin yang sederhana dan berumur tua akan berdampak pada
produksi usaha penggilingan padi dimana rendemen beras yang dihasilkan akan
rendah. Selain itu, fenomena idle capacity pada usaha penggilingan padi di
Indonesia membuktikan bahwa manajemen usaha penggilingan padi masih belum
baik. Keseluruhan hal tersebut akan berdampak pada produksi usaha yang
kemudian memengaruhi efisiensi teknis usaha penggilingan padi.
Perhatian pemerintah terhadap industri penggilingan padi masih sangat
sedikit dan dirasa masih belum tepat. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah
terkadang tidak mengakomodasi semua kepentingan stakeholder yang berperan
dalam industri perberasan nasional, baik petani selaku produsen, pengusaha
penggilingan padi selaku pelaku usaha yang mengolah gabah menjadi beras, dan
konsumen. Salah satu instrumen pemerintah dalam mengontrol perdagangan beras
adalah melalui intervensi harga gabah dan beras.
Intervensi harga gabah maupun beras didisain untuk memengaruhi marjin
harga yang diterima oleh produsen maupun konsumen. Horcrow (1981)
7
mengungkapkan kadangkala pembuat kebijakan tidak hati-hati dalam menetapkan
besaran intervensi harga melalui kebijakan harga pembelian pemerintah yang
kemudian menyebabkan dampak negatif terhadap stakeholder yang berperan
dalam agribisnis perberasan. Kebijakan harga pembelian gabah maupun beras
oleh pemerintah akan berdampak pada perubahan harga yang diterima oleh
produsen maupun konsumen. Selain itu, kebijakan tersebut juga berdampak pada
perubahan anggaran pemerintah. Keseluruhan dampak tersebut dihitung sebagai
tingkat kehilangan efisiensi.
Inpres Nomor 3 Tahun 2012 mengarahkan agar kebijakan perberasan
nasional berpihak pada petani, dalam arti melindungi petani dari gejolak harga
musiman dan dampak dari gejolak harga beras di pasar dunia, melalui mekanisme
instrumen pembelian pemerintah pada tingkat harga yang sesuai dengan harga
dasar pembelian pemerintah. Sejak tanggal 27 Februari 2012 diberlakukan HPP
untuk gabah kering panen dengan kualitas kadar air maksimum 25 persen dan
kadar hampa atau kotoran maksimum 10 persen adalah Rp3 300 per kg di petani
atau Rp3 350 per kg di penggilingan. Sedangkan Harga pembelian gabah kering
giling dengan kualitas kadar air maksimum 14 persen dan kadar hampa/kotoran
maksimum tiga persen adalah Rp4 150 per kg di penggilingan atau Rp4 200 per
kg di gudang Perum Bulog. HPP gabah yang ditetapkan oleh pemerintah berlaku
sama untuk semua musim panen. Padahal harga gabah diketahui mengikuti pola
tanam. Harga gabah merosot rendah pada musim panen raya, kemudian
meningkat setelah itu dan mencapai puncaknya pada musim panen paceklik.
Gambar 1 Rata-rata harga gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling
(GKG) di tingkat penggilingan dan harga pembelian pemerintah
(HPP) gabah pada bulan Januari 2012 – Januari 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013a (diolah)
8
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa HPP gabah bukan merupakan
harga minimal gabah yang harus dibayar oleh pengusaha penggilingan padi.
Harga gabah yang ditawarkan oleh petani kepada pengusaha penggilingan padi
lebih tinggi dibandingkan HPP yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Upaya
pemerintah untuk melindungi petani kemudian akan menyebabkan tingginya
biaya yang harus dikeluarkan oleh usaha penggilingan padi untuk memperoleh
input produksi. Padahal diketahui bahwa biaya penyediaan gabah sebagai input
produksi merupakan komponen biaya terbesar, yaitu mencapai 90.84 persen dari
total biaya (Putri 2013).
Teori ekonomi menyebutkan bahwa salah satu upaya pelaku usaha untuk
tetap mendapatkan keuntungan maksimum pada kondisi harga input mahal atau
tinggi, adalah dengan mengurangi jumlah input produksi. Akan tetapi, pada kasus
penggunaan gabah sebagai input pada usaha penggilingan padi hal demikian tidak
dapat dilakukan. Usaha penggilingan padi merupakan usaha konversi gabah
menjadi beras, dimana jumlah gabah yang digunakan akan setara dengan jumlah
beras dan side product yang dihasilkan. Oleh sebab itu, jika jumlah gabah sebagai
input dikurangi menyebabkan jumlah beras yang dihasilkan pun berkurang.
Dengan demikian, pada harga beras yang konstan diketahui bahwa tujuan
memaksimumkan keuntungan tidak akan tercapai.
Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan kebijakan harga beras. Kebijakan
harga beras merupakan upaya bagi pemerintah untuk melindungi konsumen
sehingga mendapatkan beras dengan harga yang relatif murah dan terjangkau.
Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah
atau Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah, maka sejak tanggal 27
Februari 2012 pemerintah menetapkan HPP beras dengan harga Rp6 600 per kg di
Bulog. Bulog membeli beras kepada penggilingan padi dengan harga tersebut
untuk beras kualitas medium. Setiap tahunnya Bulog bekerjasama dengan sekitar
4 500 usaha penggilingan padi skala kecil. Usaha penggilingan padi skala besar
biasanya tidak mau bekerjasama dengan Bulog dikarenakan harga yang ditetapkan
oleh Bulog tidak sesuai dengan kualitas beras yang dihasilkan. Hal ini
menyebabkan usaha penggilingan padi skala kecil tidak termotivasi untuk
memperbaiki kualitas beras yang dihasilkan karena permintaan beras kualitas
medium oleh Bulog cukup tinggi.
Harga gabah dan beras merupakan sesuatu yang di luar kendali pelaku usaha
penggilingan padi. Struktur pasar gabah dan beras di Indonesia menyerupai
kriteria struktur pasar persaingan sempurna sehingga menyebabkan posisi pelaku
usaha hanya sebagai price taker. Adanya kebijakan harga gabah akan membuat
tingginya biaya produksi. Di sisi lain, kebijakan harga output yang bertujuan
melindungi kepentingan konsumen justru membuat penerimaan usaha dari
penjualan beras menurun. Hal ini kemudian diduga akan berdampak pada
performa atau kinerja dari usaha penggilingan padi. Selain itu, kondisi yang
demikian juga akan sangat berpengaruh pada perkembangan industri penggilingan
padi. Padahal ini industri ini menjadi salah satu penentu agribisnis beras di
Indonesia. Oleh sebab itu, penting untuk mempelajari efisiensi usaha penggilingan
padi dalam rangka pengembangan sistem agribisnis perberasan nasional.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini antara lain:
9
1.
2.
3.
Apakah usaha penggilingan padi sudah efisien secara teknis dan berapa
tingkat efisiensi usaha penggilingan padi?
Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi efisiensi teknis usaha
penggilingan padi?
Bagaimana hubungan efisiensi teknis usaha penggilingan padi dengan
keuntungan usaha penggilingan padi?
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Mengukur efisiensi teknis usaha penggilingan padi
Menetukan faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi teknis usaha
penggilingan padi
Menetapkan hubungan efisiensi teknis dengan keuntungan usaha
penggilingan padi
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada analisis efisiensi usaha penggilingan padi di
Kabupaten Cianjur. Tidak semua usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur
menjadi responden pada penelitian ini. Kabupaten Cianjur memiliki sekitar 3 449
usaha penggilingan padi yang tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Cianjur
(BPS 2013c). Keseluruhan penggilingan padi tersebut terbagi atas tipe maklon,
non maklon, dan gabungan. Pada penelitian ini, usaha penggilingan padi yang
akan menjadi sampel adalah usaha penggilingan padi dengan tipe non maklon dan
gabungan (baik skala kecil, menengah, maupun besar). Hal ini disebabkan karena
penelitian ini fokus pada aktivitas produksi sehingga unit analisisnya adalah usaha
manufaktur. Dalam hal ini usaha yang tergolong usaha manufaktur adalah usaha
penggilingan padi tipe non maklon dan gabungan.
Efisiensi usaha terdiri atas efisiensi teknis, efisiensi alokasi, dan efisiensi
ekonomi. Akan tetapi, penelitian ini hanya menganalisis efisiensi teknis usaha
penggilingan padi di Kabupaten Cianjur. Hal ini disebabkan karena harga input
produksi yang digunakan relatif sama, sehingga apabila dilakukan perhitungan
efisiensi alokasi dan ekonomi akan menghasilkan nilai yang tidak representatif.
Selain itu, dua variabel independen pada fungsi produksi, yaitu konfigurasi mesin
dan kapasitas produksi tidak memiliki harga per satuan, sehingga perhitungan
efisiensi alokasi dan ekonomi melalui persamaan dual frontier tidak dapat
dilakukan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan parametrik, yaitu stochastic
frontier analysis (SFA) dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Melalui
pendekatan tersebut maka dapat diketahui nilai efisiensi usaha penggilingan padi.
Selain itu, juga diketahui faktor-faktor (determinant) yang memengaruhi efisiensi
usaha penggilingan padi. Keseluruhan analisis tersebut akan dibahas melalui
analisis kuantitatif. Selain tingkat efisiensi usaha, pada penelitian ini juga
dianalisis hubungan efisiensi dengan keuntungan usaha penggilingan padi.
10
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian dengan topik efisiensi dan penelitian yang membahas komoditi
padi bukanlah suatu hal yang baru. Topik efisiensi seringkali ditemui pada
penelitian efisiensi produksi dari subsistem usahatani bermacam-macam produk
pertanian, baik pada sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan,
dan perikanan. Akan tetapi, efisiensi pada sektor pengolahan atau manufaktur
produk-produk pertanian sangatlah terbatas. Oleh sebab itu, tinjauan pustaka yang
dirujuk pada tulisan ini lebih banyak berasal dari penelitian terdahulu terkait
efisiensi pada sektor usahatani terutama pada bagian faktor-faktor yang
memengaruhi efisiensi. Namun, ada juga beberapa penelitian terdahulu tentang
efisiensi usaha manufaktur dari sektor non pertanian.
Peneliti umumnya tertarik untuk mengestimasi efisiensi produksi suatu
usaha dan menganalisis faktor-faktor apa yang berpengaruh secara signifikan
terhadap efisiensi produksi. Pendekatan yang biasa digunakan untuk
mengestimasi dan menganalisis faktor-faktor tersebut, terdiri atas pendekatan
parametrik dengan Stochastic Frontier Analysis dan pendekatan non parametrik
dengan Data Envelopment Analysis.
Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang jenis-jenis efisiensi dan
faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi produksi suatu usaha, model yang
sering digunakan dalam analisis datanya, serta hubungan keuntungan dengan
efisiensi usaha. Referensi yang digunakan adalah berasal dari jurnal, artikel ilmiah
laporan penelitian, tesis, dan disertasi. Berdasarkan referensi yang telah dibahas
maka dapat diperoleh kesimpulan atas beberapa konsep yang berhubungan dengan
tujuan penelitian ini.
Karakteristik Usaha Penggilingan Padi
Usaha penggilingan padi sebagai usaha perantara memiliki peran penting
dalam sistem agribisnis perberasan. Dalam aktivitasnya, usaha penggilingan padi
merupakan usaha yang mengolah gabah menjadi beras. Peranan yang besar
tersebut kemudian menjadi sebuah peluang bagi masyarakat atau pengusaha untuk
menjadikannya sebuah usaha komersial. Tujuan utama pelaku usaha adalah
memaksimumkan keuntungan. Sebagai pelaku usaha yang beroritasi profit maka
pelaku usaha penggilingan padi dituntut mampu memanajemen usahanya sehinga
seluruh aktivitas yang dilakukan diharapkan mampu memberikan tambahan
keuntungan bagi usaha.
Input utama usaha penggilingan padi adalah gabah, baik berupa gabah
kering panen ataupun gabah kering giling. Jika yang dimiliki adalah gabah kering
panen, maka gabah tersebut akan dikeringkan terlebih dahulu sebelum digiling.
Pada usaha tipe non maklon gabah diperoleh melalui aktivitas pembelian gabah
sehingga biaya terbesar usaha penggilingan padi dialokasikan untuk pembelian
gabah, yaitu mencapai 92.32 persen (Putri 2013). Pada usaha penggilingan padi
tipe maklon, input usaha berupa gabah merupakan milik pelanggan atau penerima
jasa, sehingga komponen biaya terbesar pada usaha ini adalah biaya tenaga kerja.
Berdasarkan penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Putri (2013)
diketahui bahwa komponen penerimaan terbesar usaha penggilingan padi tipe
11
gabungan dan non maklon berasal dari penjualan beras. Namun, proporsi
keuntungan yang dimiliki oleh usaha penggilingan padi tipe non maklon 66
persen berasal dari penjualan side products, sedangkan hanya 34 persen
keuntungan berasal dari penjualan beras. Oleh sebab itu, usaha penggilingan padi
yang hanya fokus pada aktivitas penggilingan gabah menjadi beras dan kemudian
menjual beras yang dihasilkan akan meperoleh keuntungan usaha lebih rendah
jika dibandingkan dengan usaha penggilingan padi yang juga fokus terhadap
pengelolaan produk samping (side products), seperti sekam, dedak, menir, dan
broken rice. Hal ini disebabkan karena diduga harga jual produk samping lebih
stabil dibandingkan dengan harga beras.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa industri penggilingan padi
di Indonesia didominasi oleh usaha penggilingan padi skala kecil. Usaha
penggilingan tipe maklon biasanya didominasi oleh usaha penggilingan skala
kecil, namun tidak untuk sebaliknya. Usaha penggilingan padi skala besar dapat
dikategorikan kepada usaha penggilingan tipe non maklon, namun usaha non
maklon belum tentu merupakan usaha penggilingan padi besar. Menurut Nugraha
(2008), usaha penggilingan padi skala kecil (PPK) lebih efisien dibandingkan
dengan usaha penggilingan padi skala besar (PPB). Putri (2013) melalui analisis
R/C dan Apriande (2013) melalui pendekatan non parametrik juga
mengungkapkan bahwa usaha penggilingan padi tipe maklon lebih efisien
daripada kedua tipe lainnya. Putri (2013) menduga hal tersebut disebabkan karena
usaha penggilingan padi tipe maklon tidak dipengaruhi secara langsung oleh
fluktuasi harga gabah sebagai input dan harga beras sebagai output usaha.
Jika dalam jangka panjang (long run) industri penggilingan padi tetap
didominasi usaha penggilingan padi skala kecil maka industri perberasan nasional
menjadi tidak efisien. Oleh sebab itu, perlu melakukan revitalisasi industri
penggilingan padi. Usaha penggilingan padi skala besar (PPB) atau usaha
penggilingan padi tipe non maklon memungkinkan untuk dikembangkan dalam
upaya pengembangan industrialisasi perberasan nasional dalam jangka panjang.
Akan tetapi, diketahui usaha penggilingan tipe ini belum cukup efisien sehingga
daya saing produk yang dihasilkan pun belum cukup baik.
Efisiensi Usaha
Efisiensi merupakan salah satu parameter kinerja yang secara teoritis
merupakan salah satu kinerja yang mendasari seluruh kinerja organisasi. Efisiensi
tercapai apabila usaha dapat menghasilkan sejumlah output tertentu dengan
memininalisir penggunaan input atau menghasilkan output yang optimal dengan
penggunaan input tertentu. Banyak usaha yang profitable tetapi kurang efisien.
Salah satunya disebabkan karena kurangnya pemahaman seorang pemilik atau
pengelola usaha dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki. Usaha yang dapat
mencapai tingkat efisiensinya berarti pelaku usaha tersebut mampu mengelola
sumberdaya yang dimiliki sehingga pendapatan usaha dapat ditingkatkan. Usaha
yang menghasilkan pendapatan yang tinggi kemudian akan mampu
mengembangkan usahanya. Pengembangan usaha dapat berupa peningkatan skala
usaha, peningkatan lini usaha, dan sebagainya yang kemudian akan meningkatkan
kesejahteraan pengelola usaha.
12
Efisiensi merupakan ukuran kinerja yang cukup populer. Hal ini disebabkan
karena efisiensi dapat menjadi solusi terhadap kesulitan-kesulitan dalam
menghitung ukuran kinerja. Selain itu, efisiensi merupakan isu yang penting
dalam pengembangan usaha. Din et al. (2007) mengungkapkan bahwa
peningkatan efisiensi usaha berpengaruh terhadap persaingan usaha yang
kemudian akan memengaruhi iklim bisnis yang ada. Efisiensi sebagai ukuran
kinerja dapat digunakan atau diterapkan pada berbagai jenis usaha, baik usaha
yang menghasilkan barang maupun usaha yang menghasilkan jasa, seperti
pengukuran kinerja pada perusahaan manufaktur, perusahaan jasa, perbankan,
maupun pada aktivitas usaha pertanian.
Farrel (1957) mengungkapkan ada dua komponen dalam efisiensi produksi
(production efficiency), yaitu efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi
alokasi (alocative efficiency). Efisiensi teknis adalah ukuran kesuksesan
perusahaan atau sebuah usaha untuk memaksimalkan output dengan penggunaan
input tertentu. Efisiensi alokasi atau biasa disebut dengan efisiensi harga adalah
kesuksesan perusahaan untuk memilih input secara optimal pada maisng-masing
tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki. Efisiensi ekonomi dapat tercapai
apabila diketahui bahwa suatu usaha efisien baik secara teknis maupun alokasi.
Perusahaan yang mencapai efisiensi ekonomis mengindikasikan bahwa usaha
tersebut telah mampu meningkatkan kesejahteraan pengusaha.
Konsep efisiensi pada sektor pertanian biasanya digunakan untuk mengukur
kinerja pada aktivitas on-farm, seperti bagaimana petani atau peternak mengelola
penggunaan sumberdaya input untuk mendapatkan output yang maksimal. Konsep
efisiensi yang dipakai dalam mengukur kinerja usaha pada aktivitas on-farm
adalah efisiensi teknis (technical efficiency). Di Indonesia maupun di negara lain,
penelitian terkait efisiensi teknis pada usaha on-farm telah banyak dilakukan,
seperti efisiensi teknis pada tanaman pangan oleh Kusnadi et al. (2011);
Rachmina dan Maryono (2008); Tijani (2006); Nurmalina et al (2012); Chiona
(2011). Selain itu, juga terdapat analisis efisiensi teknis pada bidang peternakan
oleh Yunus (2009); Gusasi dan Saade (2006). Sedangkan, Fernandes dan Nuthall
(2012); Susilowati dan Tinaprilla (2012); Haridas et al. (2012); Triwidyaratih
(2012) menganalisis efisiensi teknis pada produksi tamanan perkebunan. Analisis
efisiensi teknis juga dilakukan di bidang perikanan yang dilakukan oleh Nguyen
(2012) dan Pascoe dan Mardle (2003). Penelitian tersebut memiliki tujuan yang
sama, yaitu mengetahui berapa tingkat efisiensi usaha yang dilakukan dan
bagaimana input usaha dapat memengaruhi output yang dihasilkan.
Konsep efisiensi teknis juga digunakan oleh usaha yang bergerak dalam
bidang manufaktur. Ukuran efisiensi teknis digunakan sebagai indikator
suksesnya sebuah usaha dalam menghasilkan output yang maksimal dengan
penggunaan input yang sama dengan usaha sejenisnya. Oleh sebab itu, biasanya
peneliti berusaha mengukur tingkat keberhasilan ekonomi usaha yang dijalankan
melalui penilaian terhadap efisiensi teknis (Apriande 2013; Charoenrat dan Harvie
2012; Ngatindriatun 2011; Abu dan Kirsten 2009; Nugraha 2008; Radam et al.
2008; Din et al. 2007; Wongkeawchan et al. 2000).
Nugraha (2008) menunjukkan bahwa usaha penggilingan padi skala kecil
memiliki tingkat efisiensi teknis lebih besar dibandingkan dengan usaha
pengggilingan padi skala besar. Sedangkan, Apriande (2013) menunjukkan bahwa
melalui pendekatan non parametrik, yaitu DEA dieperoleh bahwa rata-rata usaha
13
penggilingan padi di Kabupaten Cianjur memiliki tingkat efisiensi sebesar 60.64
persen. Tingkat