Arang Aktif Berbasis Kulit Buah Malapari (Pongamia pinnata) sebagai Adsorben dalam Penangan Limbah Batik

i

ARANG AKTIF BERBASIS KULIT BUAH MALAPARI
(Pongamia pinnata) SEBAGAI ADSORBEN DALAM
PENANGANAN LIMBAH BATIK

IBRAHIM

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Arang Aktif
Berbasis Kulit Buah Malapari (Pongamia pinnata) sebagai Adsorben

dalam Penangan Limbah Batik adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Ibrahim
NIM G44100099

i

ABSTRAK
IBRAHIM. Arang Aktif Berbasis Kulit Buah Malapari (Pongamia pinnata)
sebagai Adsorben dalam Penanganan Limbah Batik. Dibimbing oleh ETI
ROHAETI dan DJENI HENDRA.
Pengolahan minyak nabati dari buah malapari (Pongamia pinnata )
menyisakan kulit buah yang belum dimanfaatkan. Tujuan penelitian ini adalah

memanfaatkan kulit buah malapari sebagai bahan baku arang aktif, mencirikan
dan mengaplikasikan arang aktif mutu terbaik sebagai adsorben dalam
penanganan limbah batik. Karbonisasi contoh pada suhu 450 ℃, dilanjutkan
aktivasi dengan asam fosfat 2%, dan aktivasi fisik pada suhu 750 ℃ dengan
pengaliran uap air selama 60 menit menghasilkan arang aktif mutu terbaik dengan
kapasitas adsorpsi terhadap biru metilena sebesar 120 mg/g. Pencucian arang aktif
tersebut dengan HCl 10% meningkatkan kapasitas adsorpsi terhadap larutan biru
metilena menjadi 193 mg/g yang memenuhi persyaratan SNI 06-3730-1995
dengan luas permukaan spesifik dan luas permukan pori berturut-turut 715 m2/g
dan 138 m2. Adsorpsi warna indigosol dengan arang aktif tersebut mengikuti
isoterm Freundlich. Arang aktif tersebut mampu menurunkan intensitas warna
limbah batik dan kebutuhan oksigen kimia sebesar 98.51% dan 97.43%.
Kata kunci: arang aktif, limbah batik, malapari

ABSTRACT
IBRAHIM. Activated Charcoal Based on Malapari Peel (Pongamia pinnata) as
an Adsorbent for Dyes of Batik Waste Water. Supervised by ETI ROHAETI and
DJENI HENDRA.
Vegetable oil production of malapari (Pongamia pinnata) fruit leaving
unprocessed waste. The purpose of this study was to use malapari fruit peel as raw

material for preparing activated charcoal, characterizing, and applying the best
quality activated charcoal produced as adsorbent for dyes of batik industry waste
water. Some samples treated through carbonization at temperature of 450 ℃ and
continued activation with phosphoric acid 2% and physical activation at 750 ℃
with flow steam for 60 minutes resulted the best quality of activated charcoal with
methylene blue adsorptivity of 120 mg/g. Leaching with HCl 10% was able to
increase methylene blue adsorptivity up to 193 mg/g which meet SNI 06-37301995 requrement with specific surface area and pore surface area of 715 m2/g and
138 µm2,respectively. Indigosol dye adsorption by the best quality charcoal
followed the Freundlich isotherm. The activated charcoal was able to reduce
intensity of the dye in the waste water and the chemical oxygen demand of
98.51% and 97.43%, respectively.
Keywords: activated charcoal, batik dye waste water, malapari

ARANG AKTIF BERBASIS KULIT BUAH MALAPARI
(Pongamia pinnata) SEBAGAI ADSORBEN DALAM
PENANGANAN LIMBAH BATIK

IBRAHIM
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iii

Judul Skripsi : Arang Aktif Berbasis Kulit Buah Malapari (Pongamia pinnata)
sebagai Adsorben dalam Penangan Limbah Batik
Nama
: Ibrahim
NIM
: G44100099

Disetujui oleh


Dr Eti Rohaeti, MS
Pembimbing I

Djeni Hendra, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang
telah membimbing umatnya hingga akhir zaman. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari 2014 ini ialah Adsorben,

dengan judul Arang Aktif Berbasis Kulit Buah Malapari (Pongamia pinnata)
sebagai Adsorben dalam Penanganan Limbah Batik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Eti Rohaeti, MS dan Bapak
Djeni Hendra, MSi selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Prof Dr Gustan Pari, Bapak Mahfudin, Bapak Dadang,
SE, Bapak Dery, Bapak Ahmad, Bapak Dikdik, Bapak Slamet beserta staf
Laboratorium Kimia dan Energi dan Laboratorium terpadu Pusat Penelitian dan
Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah)
Bogor, serta Bapak Eman, Ibu Nunung, Bapak Dede, dan Bapak Kosasih selaku
staf Laboratorium Kimia Analitik IPB. Ungkapan terimakasih disampaikan
kepada Habibie, Rahmat, Sylvia, Imel, Lidia, Diani, Thaibah, Kartiyem, Ali,
Annis, Alit, Gemi, dan krisna sebagai teman-teman seperjuangan yang selalu
menyemangati. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayang yang telah dicurahkan.
Ungkapan terima kasih juga kepada PT Adaro Indonesia dan semua pihak yang
terkait dalam pembiayaan penulis selama menempuh studi di Institut Pertanian
Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

Ibrahim

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang

vii
viii
viii
1
1

Tujuan Penelitian

3


METODE
Waktu dan Tempat Penelitian

3
3

Bahan

3

Alat

3

Prosedur

4

Pencirian Aakubri


5

Pencirian Limbah Batik

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Aakubri

11
11

Serapan Maksimum dan Kurva Standar Indigosol

16

Kondisi Adsorpsi Tertinggi

16


Isoterm Adsorpsi

17

Pengolahan Limbah Batik

18

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

20
20

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

20
23
39

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Kondisi pembuatan Aakubri
Nilai konstanta isoterm adsorpsi
Pencirian dan baku mutu limbah batik
Hasil pengolahan limbah batik dengan tawas dan Aakubri

4
18
18
19

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur biru metilena (a) dan struktur indigosol (b)
2
2 Penguraian lignin
12
3 Pengaruh aktivasi kimia-fisik dengan lama pengaliran uap air 60 menit dan 90
menit terhadap rendemen Aakubri.
13
4 Pengaruh aktivasi kimia-fisik dengan pengaliran uap air selama 60 menit dan 90
menit terhadap kapasitas adsorpsi biru metilena.
14
5 Mikrografi Aakubri dan komposisi penyusunnya sebelum dan sesudah dicuci
dengan HCl 10%
15
6 Kapasitas adsorpsi Aakubri terhadap larutan indigosol 500 ppm
16
7 Kurva isoterm adsopsi Aakubri terhadap larutan indigosol. Isoterm adsorpsi
Freundlich dan Langmuir
17
8 Intensitas warna limbah batik awal, setelah koagulasi-flokulasi, dan setelah
adsorpsi
20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pembuatan Aakubri
24
2 Diagram alir pengolahan limbah batik
25
3 Rendemen arang kulit buah malapari
26
4 Rendemen Aakubri pada berbagai perlakuan
27
5 Penentuan kadar air Aakubri
28
6 Penentuan kadar zat terbang Aakubri
29
7 Penentuan kadar abu Aakubri
30
8 Kadar karbon terikat Aakubri
31
9 Kapasitas adsorpsi Aakubri terhadap larutan iodin
32
10 Kapasitas adsorpsi Aakubri terhadap uap benzena
33
11 Absorbans dan Kurva standar larutan biru metilena
34
12 Kapasitas adsorpsi Aakubri terhadap biru metilena
35
13 Luas permukaan spesifik Aakubri metode biru metilena
36
14 Komposisi penyusun permukaan Aakubri sebelum dicuci dengan HCl 10% 37
15 Komposisi penyusun permukaan Aakubri setelah pencucian dengan HCl 10%38
16 Absorbans dan Kurva standar larutan indigosol
39
18 Penentuan kondisi optimum adsorbsi Aakubri terhadap indigosol
40
19 Data isoterm adsorpsi Aakubri terhadap indogosol
41
20 Penentuan KOK limbah batik pada beberapa perlakuan
42

v

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Buah malapari (Pongamia pinnata) merupakan salah satu sumber energi
alternatif selain sebagai bahan baku industri sabun dan obat-obatan herbal. Saat
ini pemanfaatan malapari sebagai bahan bakar nabati banyak ditemukan di India
(Alimah 2010). Namun proses pengolahan minyak nabati dari buah malapari
menyisakan kulit yang belum dimanfaatkan. Sementara itu, prospek pengolahan
minyak nabati berbahan baku buah malapari sangatlah menjanjikan karena
mudahnya pengembangbiakannya. Satu hekter populasi malapari dapat
menghasilkan 9 ton biji malapari kering, meskipun tumbuhan tersebut sudah
berusia lebih dari 50 tahun tetap menghasilkan biji (Mardjono 2008). Sehingga
perlu dikaji sejak dini pemanfaatan kulitnya agar dapat meningkatkan nilai
tambah dan tidak mencemari lingkungan.
Tekstur kulit buah malapari yang cukup keras, kemungkinan banyak
mengandung lignin dan selolusa yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber karbon
dalam pembuatan arang aktif. Beberapa peneliti juga telah melaporkan
pemanfaatan limbah sebagai sumber karbon dalam pembuatan arang aktif seperti
limbah padat agar (Azalia 2013), limbah padat tapioka (Kurniawan 2011), serabut
kelapa dan jerami (Pakpahan et al. 2013) dan limbah pembalakan kayu puspa
(Hendra 2007). Arang aktif sangat luas pemanfaatannya seperti dalam penanganan
polutan baik berupa gas maupun cairan. Azalia (2013) telah meneliti arang aktif
dari limbah padat agar yang mampu mengadsorpsi zat warna indigosol sebesar
6239.39 g/g. Mizwar dan Diena (2012) memanfaatkan arang aktif dari
tempurung kelapa yang memiliki kapasitas adsorpsi warna pada limbah industri
sasirangan (kain khas Kalimantan Selatan) sebesar 29.412 mg/g. Pornomo (2010)
juga telah meneliti arang aktif dari kulit biji kopi yang mampu mengadsorpsi
warna biru metilena dan kuning naftol dengan kapasitas adsorpsi sebesar 0.33
mg/g dan 7.81 mg/g. Riyanti (2012) memanfaatkan serbuk gergaji kayu mindi
sebagai arang aktif yang mampu mengadsorpsi warna reaktif merah cibakron
sebesar 4891.55 g/g .
Proses pembuatan arang aktif dapat melalui dua tahap, yaitu karbonisasi
dan aktivasi. Proses karbonisasi menggunakan metode pirolisis, yaitu proses
dekomposisi termokimia dengan suhu tinggi terhadap bahan organik tanpa
menggunakan udara. Proses aktivasi ada dua, yaitu aktivasi fisik dan aktivasi
kimia. Prinsip aktivasi fisika adalah pemberian uap air atau CO2 terhadap arang
yang telah dipanaskan, sedangkan aktivasi kimia adalah perendaman arang di
dalam larutan kimia seperti CaCl2, ZnCl2, H3PO4, NaOH, KOH, dan Na2SO4
(Sudrajat dan Pari 2011).
Pada penelitian ini pembuatan kulit buah malapari menjadi arang aktif
dilakukan dengan cara karbonisasi pada suhu 300 ℃, 400 ℃ dan 450 ℃.
Sementara itu, proses aktivasinya dilakukan dengan perendaman dalam larutan
H3PO4 1 % dan 2 %, sehingga dihasilkan arang teraktivasi secara kimia, kemudian
arang aktif tersebut dipanaskan pada tungku aktivasi dengan suhu 750 ℃ sambil
dialiri uap air selama 60 dan 90 menit, sehingga diperoleh arang teraktivasi
secara kimia-fisik. H3PO4 tidak hanya berfungsi sebagai aktivator, tetapi juga
sebagai pelindung bahan dari panas (Sudrajat et al. 2005). Jadi keberadaan

2

H3PO4 dapat juga diartikan sebagai zat yang memperlambat laju reaksi
oksidasi karbon, sehingga rendemen arang aktif yang dihasilkan meningkat.
Arang aktif dengan kapasitas adsorpsi biru metilena tertinggi dijadikan sebagai
adsorben untuk pengolahan limbah batik. Hal ini berdasarkan salah satu
komponen limbah batik yang akan diolah mengandung pewarna indigosol yang
kemungkinan ukuran molekulnya tidak jauh berbeda dengan biru metilena.
Sehingga dapat dianalogikan jika kapasitas adsorpsi arang aktif terhadap biru
metilena tinggi, maka juga akan berlaku terhadap pewarna indigosol. Struktur
pewarna biru metilena dan indigosol ditunjukkan pada Gambar 1.

(a)

(b)
Gambar 1 Struktur biru metilena (a) dan struktur indigosol (b)
Arang aktif mutu terbaik yang dihasilkan dicuci terlebih dahulu dengan HCl
10 % untuk menghilangkan pengotor yang menutupi pori-porinya dengan harapan
mampu memperbesar pori, sehingga kapasitas adsorpsinya meningkat. Mengingat
konsentrasi warna limbah batik yang sangat tinggi (Azalia 2013), maka
pengolahan limbah batik dilakukan dengan proses koagulasi-flokulasi
menggunakan tawas, kemudian dilanjutkan dengan adsorpsi menggunakan arang
aktif yang diperoleh dan memiliki mutu terbaik. Parameter yang diukur adalah
penurunan konsentrasi warna dan kebutuhan oksigen kimia (KOK) limbah batik.
Batas ambang maksimum zat warna pada lingkungan perairan berdasarkan
Kep. Gubernur Kepala DIY No. 281/KPTS/1998 adalah 50 Pt-Co. Warna
indigosol yang melebihi ambang batas dapat membahayakan kesehatan manusia
jika kontak langsung atau tertelan. Dampak yang dihasilkannya seperti gangguan
pernapasan, iritasi, dan pencernaan (MSDS 2013). Sementara itu, limbah cair ini
juga dapat meningkatkan kadar kebutuhan oksigen kimia (KOK) atau akan
menurunkan kadar oksigen terlarut (Achmad 2004). Hal ini akan mengancam

3

kehidupan akuatik dan populasi bakteri akan meningkat. Azalia (2013) telah
meneliti konsentrasi warna limbah batik sebelum pengolahan sebesar 13500 Pt-Co.
Nugroho dan Ikbal (2005) juga telah meneliti konsentrasi wara limbah batik pada
pabrik yang berbeda sebesar 5610 Pt-Co. Hal ini menunjukkan ada potensi
membahayakan bagi lingkungan perairan jika langsung dibuang ke sungai terus
menerus tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Proses penanganan zat warna pada limbah cair secara konvensional dapat
dilakukan dengan proses fisika, kimia, dan biologi seperti koagulasi, filtrasi,
adsorpsi, oksidasi, reduksi, dan perlakuan biologis (Abramian dan El-Rassy 2009).
Koagulasi-flokulasi dapat dilakukan dengan penambahan zat koagulan seperti
tawas, poli aluminium klorida dan FeCl2. Adsorpsi dapat dilakukan dengan
menggunakan suatu material berpori. Salah satunya adalah arang aktif.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memanfaatkan kulit buah malapari (Pongamia
pinnata) sebagai bahan baku pembuatan arang aktif, pencirian arang aktif kulit
buah malapari (Aakubri) yang diperoleh, dan mengaplikasikan Aakubri mutu
terbaik sebagai adsorben dalam penanganan limbah batik.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Pebruari hingga bulan Juni 2014 di
Lab. Kimia Analitik Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor (IPB), Lab.
Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Huan (Pustekolah) Bogor dan Lab. Pengujian Departemen
Teknologi Industri Pertanian IPB
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu kulit buah malapari dari Batu Karas,
Pangandaran (Jawa Barat). serbuk indigosol, KCl, NaOH, HCl 10 %, K2Cr2O7, ,
HgSO4, Ag2SO4, biru metilena (BM), H2SO4 pekat, NaOH 13 %, H3PO4 1%, dan
2%, I2 0.1 N, Na2SO3 0.1 N, kanji 1%, FAS 0.1 N (ferro ammonium sulfat),
indikator ferroin, akuades, akuabides, Al2(SO4)3.18H2O (tawas), dan limbah batik
dari pabrik X.
Alat
Alat yang digunakan yaitu spektrofotometer DR 2500 Hach,
spektrofotometer UV-Vis P1700 Shimadzu, Scanning Electron MicroscopyEnergy Dispertive Analysis X-Ray (SEM-EDAX), penggiling Mill Herzog, pH
meter, konduktometer Horiba, neraca analitik, shaker, penyaring vakum,
membran Whatman 0.45 m, oven, tanur, desikator, hot plate, dan alat-alat kaca.

4

Prosedur
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama adalah preparasi
adsorben. Tahap kedua adalah pencirian Aakubri. Tahap ketiga pencucian Aakubri
mutu terbaik dengan HCl 10 %. Tahap keempat adalah analisis mikrografi
Aakubri dengan Scanning Electron Microscopy-Energy Dispertive Analysis XRay (SEM-EDAX). Tahap kelima adalah pencirian limbah batik. Tahap keenam
adalah penentuan panjang gelombang serapan maksimum warna indigosol. Tahap
ketujuh adalah penentuan kondisi adsorpsi tertinggi. Tahap kedelapan adalah
penentuan isoterm adsorpsi. Tahap kesembilan adalah pengolahan limbah batik
dengan tawas dan Aakubri. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1
dan 2.
Preparasi Adsorben
Adsorben yang dibuat adalah arang aktif kulit buah malapari (Aakubri) yang
diawali dengan penimbangan kulit buah malapari, kemudian dikarbonisasi dengan
tiga perlakuan, yaitu pada suhu 300 ℃, 400 ℃ dan 450 ℃ secara pirolisis. Pirolisis
dilakukan dalam tungku baja tahan karat selama 4 jam. Kemudian tungku
karbonisasi dimatikan dan dibiarkan sampai dingin (± 20 jam). Arang dikeluarkan
dan ditenttukan rendemennya, kemudian dilanjutkan proses aktivasi.

Tabel 1 Kondisi pembuatan Aakubri
Aktivasi kimia
(H)

Karbonisasi (K)
Perlakuan

K3H1S6
K3H1S9
K3H2S6
K3H2S6
K4H1S6
K4H1S9
K4H2S6
K4H2S9
K45H1S6
K45H1S9
K45H2S6
K45H2S9

300 ℃





400 ℃






450 C

H3PO4
1%













H3PO4
2%








Aktivasi fisik
(750 ℃) (S)
Uap
Uap
air 60
air 90
menit
menit













Arang kulit buah malapari diaktivasi kimia dengan direndam di dalam
larutan asam fosfat 1%, dan 2% selama 24 jam, kemudian ditiriskan, dicuci dan
dikeringkan dengan panas matahari, sehingga diperoleh arang teraktivasi secara
kimia (modifikasi Wibowo et al. 2010). Setelah itu, arang teraktivasi kimia
dimasukkan ke dalam reaktor tungku aktivasi fisika. Selanjutnya alat disiapkan

5

dengan menaikkan suhu menjadi 750 ℃ secara bertahap sampai tercapai suhu
konstan dan tekanan dibuat konstan pada 35 mbar. Dilakukan juga pengaliran uap
air ke dalam reaktor dengan waktu 60 dan 90 menit (modifikasi Lempang et al
2011). Setelah proses aktivasi selesai, alat dibiarkan sampai dingin (± 24 jam) dan
pada proses ini akan dihasilkan arang teraktivasi secara kimia-fisik. Arang aktif
kulit buah malapari (Aakubri) yag dihasilkan ditimbang dan ditentukan
rendemennya serta dihaluskan dengan ukuran 200 mesh menggunakan
penggilingan mill Herzog selama 1 menit. Proses ini menghasilkan 12 jenis
perlakuan seperti Tabel 1.

Pencirian Aakubri
Kadar Air (SNI 06-3730-1995)
Sebanyak ± 1.00 g contoh ditimbang dalam cawan porselen yang telah
diketahui bobot kosongnya, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ℃
selama 3 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Pengeringan dan penimbangan diulangi sampai diperoleh bobot konstan.

Keterangan:
a = bobot contoh awal (g)
b = bobot contoh akhir (g)
Kadar Zat Terbang (SNI 06-3730-1995)
Bobot awal adalah bobot contoh akhir pada penentuan kadar air. Cawan
ditutup dan diikat dengan kawat kemudian dipanaskan dalam tanur listrik pada
suhu 950 ℃ selama 10 menit, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai
diperoleh bobot konstan.

Kadar Abu (SNI 06-3730-1995)
Bobot awal adalah bobot contoh akhir pada penentuan kadar zat terbang.
Cawan yang berisi contoh ditempatkan dalam tanur listrik pada suhu 750 ℃
selama 6 jam. Setelah itu, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai
diperoleh bobot konstan.

6

Kadar Karbon Terikat (SNI 06-3730-1995)
Karbon dalam arang aktif adalah hasil dari proses karbonisasi dengan
pirolisis selain abu (zat anorganik) dan zat terbang (zat-zat atsiri yang masih
terdapat pada pori-pori arang).

Kadar Karbon terikat = 100% - (u + z)
Keterangan:
u = kadar abu (%)
z = kadar zat terbang (%)
Kapasitas Adsorpsi Iodin (SNI 06-3730-1995)
Contoh yang telah dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ℃ selama 1 jam,
kemudian dimasukkan ke dalam desikator. Selanjutnya ditimbang sebanyak 0.25
g dan ditempatkan di dalam erlenmeyer 250 mL. Selanjutnya di tambahkan 25 mL
larutan iodin 0.1 N, lalu erlenmeyer segera ditutup dan dikocok selama 15 menit.
Lalu suspensi disaring, filtratnya dipipet sebanyak 10 mL ke dalam erlenmeyer
dan langsung dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N sampai warna kuning
muda. Setelah itu ditambahkan beberapa tetes amilum 1%, titrasi dilanjutkan
sampai warna biru tepat hilang. Penentuan kapasitas adsorpsi iodin dengan
perhitungan sebagai berikut:

Keterangan:
Qi = kapasitas adsorpsi iodin (mg/g)
B = volume larutan Na-tiosulfat (ml)
C = normalitas Na-tiosulfat (N)
D = normalitas iodin (N)
Fp = faktor pengenceran
12.693 = jumlah iodin yang sesuai dengan 1 mL larutan Na2S2O3 0.1 N
Kapasitas Adsorpsi Benzena (SNI 06-3730-1995)
Sebanyak ± 1.00 g contoh ditimbang beralaskan cawan petri yang telah
diketahui bobot keringnya (a gram). Cawan petri kemudian dimasukkan ke dalam
desikator yang telah dijenuhi uap benzena, diinkubasi selama 24 jam agar
kesetimbangan adsorpsi tercapai. Selanjutnya contoh ditimbang kembali (b gram),
namun sebelum ditimbang cawan dibiarkan 5 menit di udara terbuka untuk
menghilangkan uap benzena yang menempel pada cawan.

Kapasitas Adsorpsi Biru Metilena (SNI 06-3730-1995)
Dibuat larutan standar biru metilena (BM) dengan konsentrasi 1.00, 3.00,
5.00, 7.00, dan 9.00 ppm. Larutan tersebut diukur absorbansnya menggunakan

7

spektrofotometer Uv-Vis Shimadzu P1700 pada panjang gelombang 664 nm.
Kemudian dibuat kurva standar biru metilena yaitu hubungan konsentrasi terhadap
absorbans.
Sebanyak ± 0.25 g Aakubri ditimbang dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan biru metilena 1200 ppm dan
dikocok selama 15 menit, lalu larutan disaring. Filtrat diukur absorbansnya
dengan spektrofotometer Uv-Vis Shimadzu P1700 pada panjang gelombang 664
nm. Berdasarkan konsentrasi awal dan akhir larutan biru metilena, maka
konsentrasi larutan biru metilena yang teradsorpsi oleh Aakubri dapat diketahui.
Kapasitas adsorpsi biru metilena dapat ditentukan dari selisih konsentrasi awal
dengan konsentrasi akhir larutan biru metilena dan dibagi dengan bobot Aakubri.
Penentuan Luas Permukaan Spesifik Metode Biru Metilena (Muthia 1998)
Luas permukaan spesifik (LPS) Aakubri dihitung berdasarkan banyaknya
biru metilena (BM) yang diadsorpsi dengan rumus sebagai berikut.

Keterangan :
Xm
= kapasitas adsorpsi BM (mL/g)
N
= bilangan avogadro (6.023 × 1023/mol)
A
= luas penampang BM (1.969 × 10 -21 m2/molekul)
ρBM
= masa jenis BM (1g/mL)
MBM
= bobot molekul BM (319.86 g/mol)
Pencucian Aakubri Mutu Terbaik dengan HCl 10%
Aakubri dicuci melalui perendaman dengan larutan HCl 10% disertai
pemanasan 85 ℃ sambil di aduk dengan magnetic stirrer selama 60 menit.
Setelah itu, Aakubri dibilas dengan akuades panas sampai pH netral. Kemudian
Aakubri di oven pada suhu 105 ℃ selama
jam. Aakubri disimpan dalam
desikator dan ditentukan lagi kapasitas adsorpsinya terhadap larutan biru
metilena dan luas permukaan spesifiknya.
Analisis Mikrografi Aakubri dengan Scanning Electron Microscopy-Energy
Dispertive Analysis X-Ray (SEM-EDAX)
Sekitar ± 0.5 gram Aakubri mutu terbaik sebelum dan sesudah dicuci
dengan HCl 10 % ditempatkan di atas sampel holder SEM-EDAX yang telah
dilapisi karbon. Diamati mikrografinya mulai perbesaran 100 sampai 1000 kali
hingga terlihat ukuran dan bentuk pori dengan jelas. Analisis ini dilakukan untuk
melihat perbedaan ukuran pori dan komponen yang mengotori permukaan
Aakubri.

8

Pencirian Limbah Batik
Penentuan pH
Limbah batik diendapkan, kemudian bagian cairan disaring dengan kain
blacu untuk memisahkan partikel yang berukuran besar. Filtrat tersebut kemudian
diukur pHnya dengan pH meter yang telah dikalibrasi.
Penentuan Daya Hantar Listrik (DHL) (SNI 06-6989.1-2004)
Elektroda konduktometer yang telah dikalibrasi dibilas dengan filtrat limbah
batik sebanyak tiga kali, kemudian elektroda dicelupkan ke dalam filtrat limbah
batik sampai konduktometer menunjukkan pembacaan yang tetap. Dicatat hasil
pembacaan angkanya.
Penentuan Total Padatan Tersuspensi (TPT) ( SNI 06-6989.3-2004)
Sebanyak 20 mL filtrat limbah batik dimasukkan ke dalam gelas piala,
kemudian diaduk sampai homogen dan disaring dengan membran Whatman
berpori 0.45 m yang telah diketahui bobot konstannya. Penyaringan dibantu
dengan alat vakum untuk mempercepat prosesnya. Setelah itu membran dicuci
dengan akuades sebanyak 30 mL dan dibiarkan selama 3 menit. Membran
dikeringkan pada suhu 105 °C selama 1 jam. Membran didinginkan dalam
desikator dan ditimbang hingga bobot konstan.
TPT (mg/L) =
Penentuan Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) Metode Dikromat RefluksTerbuka Secara Titrimetri (SNI 06-6989.15-2004)
Sebanyak 2.50 mL filtrat limbah batik dimasukkan ke dalam botol reaksi.
Kemudian ditambahkan 10 mL larutan K2Cr2O7 0.25 N, 15 mL larutan Ag2SO4H2SO4 dan 0.20 g HgSO4. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 150 °C selama 2 jam
kemudian didinginkan. Campuran tersebut ditambahkan 3 tetes indikator ferroin
dan dititrasi dengan larutan FAS 0.1 N yang sudah distandardisasi. Langkahlangkah tersebut juga dilakukan untuk akuabides sebagai blanko.
KOK (mg/L) =
Keterangan :
A
= volume FAS untuk menitrasi blanko (mL)
B
= volume FAS untuk menitrasi contoh (mL)
BE
= bobot ekivalen (g/mol eq)
Fp
= faktor pengenceran
Uji Warna Limbah Batik Secara Spektofotometri (APHA ed. 21 th 2120 C,
2005)
Uji warna ini meliputi pembuatan larutan induk Pt-Co dengan melarutkan
1.246 g K2PtCl6 dan 1.000 g CoCl2.6H2O ke dalam labu ukur 1000 mL yang berisi
100 mL HCl pekat, kemudian diencerkan dengan akuades sampai 1000 mL.
Larutan ini memiliki nilai warna 500 unit Pt-Co. Kemudian dilakukan penentuan

9

panjang gelombang serapan maksimum ( maks) diantara 450 dan 465 nm. maks
digunakan untuk pengukuran absorbans larutan standar dan limbah batik.
Selanjutnya pembuatan deret larutan standar dari larutan induk minimal 3
konsentrasi yang berbeda secara proporsional berada pada rentang pengukuran
dan pembuatan 1 blanko. Absobansnya diukur pada maks dan dibuat kurva linear
hubungan antara konsentrasi dengan absorbans.
Limbah batik yang akan di uji adalah limbah batik awal, limbah batik
setelah koagulasi-flokulasi dan limbah batik setelah adsorpsi. Sebelum ketiga
contoh tersebut diukur, terlebih dahulu dilakukan penetralan pH. Jika pH tinggi,
maka ditambahkan HCl 13 % dan jika pH rendah, maka ditambahkan NaOH 13%.
Selanjutnya ketiga contoh disaring dengan kertas saring berpori 0.45 m.
Filtratnya diukur absorbansnya pada maks. Kemudian ditentukan konsentrasi
warnanya dari kurva standar dalam satuan unit warna, yaitu Pt-Co.
Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum dan Kurva Standar
Warna Indigosol
Penentuan panjang gelombang serapan maksimum (λmaks) dilakukan
dengan cara mengukur absorbans larutan stok indigosol 1000 ppm pada λ 400
sampai 700 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Puncak grafik pada data
menunjukkan λmaks. Kemudian dibuat larutan standar berkonsentrasi 100 ppm,
200 ppm, 300 ppm, 400 ppm dan 500 ppm dari larutan stok 1000 ppm dan diukur
pada λmaks. Selanjutnya dibuat kurva standar hubungan antara konsentrasi
dengan absorbans.
Penentuan Kondisi Adsorpsi Tertinggi
Penentuan kondisi adsorpsi tertinggi ditentukan menurut metode
Raghuvansi (2004) yang dimodifikasi. Aakubri dengan variasi bobot 1 g, 1.5 g,
dan 2 g dimasukkan ke dalam 50 mL larutan standar zat warna indigosol dengan
konsentrasi awal 500 ppm, 550 ppm dan 600 ppm, kemudian dikocok dengan
variasi waktu 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Setelah waktu pengocokan
terpenuhi, campuran disaring dan diukur absorbansnya pada panjang gelombang
maksimum. Kemudian ditentukan kapasitas adsorpsi dan efisiensi adsorpsi
dengan persamaan:
Q (mg/g ) =

E (%) =

x 100 %

Keterangan:
Q
= kapasitas adsorpsi per bobot Aakubri (mg/g)
E
= efisiensi adsorpsi (%)
V
= volume larutan (mL)
Co
= konsentrasi awal larutan (ppm)
Ca
= konsentrasi akhir larutan (ppm)
m
= bobot Aakubri (g)
Penentuan Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi ditentukan menurut metode Kurniawan (2011) yang
dimodifikasi. Aakubri ditimbang sebanyak 1/5 g bobot kondisi adsorpsi tertinggi,

10

kemudian ditambahkan 50 mL larutan zat warna indigosol pada konsentrasi 20
mg/L, 40 mg/L, 60 mg/L, 80 mg/L, dan 100 mg/L, kemudian dikocok selama
waktu adsorpsi tertinggi. Setelah waktu pengocokan optimum terpenuhi,
kemudian disaring dan diukur absorbansnya pada λmaks dan dihitung dengan
model isoterm Langmuir dan Freundlich.
isoterm Langmuir
…...isoterm Freundlich
Keterangan:
Ce
= konsentrasi akhir solut (mg/L)
x
= massa solut yang teradsorpsi (mg)
m
= massa Aakubri (g)
= kapasitas adsorpsi (mg/g)
= konstanta kesetimbangan adsorpsi (L/mg)
k
= kapasitas adsorpsi (mg/g)
n
= intensitas adsorpsi
Pengolahan Limbah Batik dengan Koagulan dan Aakubri
Limbah batik diendapkan kemudian disaring dengan kain blacu untuk
menghilangkan partikel-partikel berukuran besar. Filtrat tersebut dinetralkan
menggunakan NaOH 13% jika pH rendah dan ditambahkan H2SO4 13% jika
pHnya terlalu tinggi (Nugroho dan Ikbal 2005). Filtrat yang sudah netral diambil
sebanyak 150 mL ditempatkan di dalam gelas piala 250 mL. Setelah itu,
ditambahkan tawas (koagulan) dengan konsentrasi pengendapan optimum, yaitu
150 mg/L (Azalia 2013). Untuk proses koagulasi dilakukan pengadukan
menggunakan pengaduk bermagnet dengan kecepatan 100 rpm selama 10 menit,
sedangkan untuk flokulasi kecepatan pengadukan 60 rpm selama 30 menit
kemudian diendapkan (Modifikasi Ma dan Xia 2009). Endapan yang terbentuk
disaring dan filtratnya diukur pHnya, konsentrasi warna dan KOK. Filtratnya juga
diambil sebanyak 50 mL dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 mL dan
ditambahkan Aakubri dengan bobot kondisi adsorpsi tertinggi dan dikocok dengan
waktu optimum. Setelah waktu optimum terpenuhi, larutan disaring dan filtratnya
ditentukan konsentrasi warna dan KOK.

11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Aakubri
Aakubri yang dihasilkan dari suhu karbonisasi dan cara aktivasi yang
berbeda akan menghasilkan karakteristik yang berbeda. Hal ini disebabkan tingkat
penguraian bahan baku yang berbeda dengan peningkatan suhu karbonisasi.
Semakin banyak komponen yang terurai maka semakin banyak potensi
terbentuknya pori. Pada suhu 300 ℃ telah terjadi penguraian selolusa dan pada
suhu diatas 00 ℃ tidak hanya terjadi penguraian selolusa, namun juga telah
terjadi penguraian lignin. Komponen yang terurai membentuk arang, CO,
CO2, CH4, fenol, abu dan tar (Sudrajat dan Pari 2011). Hal ini terbukti dengan
menurunnya rendemen arang seiring peningkatan suhu karbonisasi karena
terbentuknya komponen volatil seperti gas CO, CO2 dan CH4 (Lampiran 3).
Selama proses karbonisasi, bahan yang mengandung karbon mengalami proses
fragmentasi membentuk struktur aromatik yang termostabil yang menginisiasi
pembentukan poliaromatik. Proses ini terjadi pada suhu karbonisasi ± 400 ℃
(Mochida et al. 2006).
Ukuran pori arang yang terbentuk masih berukuran kecil karena tertutupi
oleh abu, tar dan resin yang terbentuk selama proses karbonisasi. Komponenkomponen yang terbentuk dari penguraian lignin selama proses karbonisasi
ditunjukkan pada gambar 2. Komponen abu, tar dan resin yang menutupi pori
dapat dihilangkan melalui proses aktivasi. Penggunaan H3PO4 sebagai bahan
aktivator dapat memperluas pori arang yang teraktivasi dengan melarutkan abu
dan tar yang menutupi porinya (Kurniati 2008). H3PO4 juga berperan penting
dalam pembentukan struktur mesopori dan mikropori pada struktur bagian dalam
arang aktif (Yue et al. 2003). Sehingga peningkatan konsentrasi H3PO4 dapat
memberikan peningkatan potensi perluasan dan pembentukan pori arang yang
diaktivasi. Aktivasi lanjutan secara fisik juga berperan penting dalam
pembentukan pori melalui proses penguraian hidrokarbon membentuk senyawa
volatil karena panas yang diberikan. Luas permukaan arang aktif akan meningkat
dengan hilangnya senyawa volatil tersebut (Khah dan Ansari 2009). Aktivasi
fisika ini disertai dengan pengaliran uap air ke dalam reaktor yang menyebabkan
terjadinya rekasi oksidasi karbon membentuk gas CO2 dan H2. Reaksi oksidasi
meningkat dengan peningkatan pengaliran uap air, sehingga rendemen arang aktif
menurun (Gambar 3). Hal ini diperkuat oleh Aprianis (2012) dan Lempang et al.
(2012) yang menyatakan bahwa rendemen arang aktif mengalami penurunan
dengan peningkatan waktu pengaliran uap air.

12

12

Abu, tar, CO, CO2, CH4

pirokatekol 2,6-dimtoksifenol

2-metoksifenol

Gambar 2 Penguraian lignin

4-etilfenol

13

90

82

80

Rendemen (%)

70
60
50

54
46

43

40

45
35

30

31

27

28

27
20

20

14

10
0
K3H1

K3H2

K4H1

K4H2

K45H1

K45H2

Perlakuan
Gambar 3 Pengaruh aktivasi kimia-fisik dengan lama pengaliran uap air 60 menit
( ) dan 90 menit ( ) terhadap rendemen Aakubri.
Rendemen arang aktif juga menurun dengan peningkatan konsentrasi H3PO4
karena semakin banyaknya oksida logam, tar dan resin yang larut bersamanya
(Gambar 3). Hasil karakteristik Aakubri menunjukkan bahwa hanya kadar air
(Lampiran 5) dan zat terbang (Lampiran 6) yang memenuhi persyaratan SNI 063730-1995. Rendahnya kadar karbon terikat (Lampiran 8), kapasitas adsorpsi
iodin (Lampiran 9), benzena (Lampiran 10) dan biru metilena (Lampiran 12)
karena dipengaruhi oleh tingginya kadar abu (Lampiran 7). Kadar abu yang tinggi
dapat menutupi pori-pori Aakubri, sehingga fungsinya sebagai adsorben terhadap
larutan dan gas menurun.
Aakubri mutu terbaik berasal dari bahan baku yang dikarbonisasi pada suhu
450 ℃, diaktivasi kimia menggunakan H3PO4 2% dilanjutkan dengan aktivasi
secara fisik pada suhu 750 ℃ dengan pengaliran uap air selama 60 menit.
Kapasitas adsorpsinya terhadap larutan biru metilena sebesar 120 mg/g (Gambar
4) yang mendekati persyaratan SNI 06-3730-1995, yaitu 120 mg/g (BSN 1995)
dengan LPS sebesar 443 m2/g (Lampiran 13). Kapasitas adsorpsi Aakubri
terhadap biru metilena lebih besar daripada arang aktif dari tempurung kelapa
yang diaktivasi dengan ZnCl2 (Anggarini et al. 2013) dan arang aktif dari biji
kapuk yang diaktivasi dengan asam fosfat 85% (Whidianti 2010), namun lebih
kecil daripada arang aktif dari kulit biji teh yang diaktivasi dengan ZnCl2 (Gao et
al. 2013) dan arang aktif dari kulit pohon Cina (Cao et al. 2010). Semakin tinggi
kapasitas adsorpsinya terhadap larutan biru metilena, maka luas permukaan
spesifiknya (LPS) semakin besar. LPS yang besar menyebabkan semakin banyak
molekul-molekul adsorbat yang bisa berinteraksi dengan molekul adsorbat.
Menurut Kirk dan Othmer (1964) luas permukaan spesifik arang aktif berkisar
300 sampai 2000 m2/g.

Kapasitas adsorpsi biru metilen (mg/g)

14

140
118,527

120

109,757

100
80
60

115,244
93,889

84,826
62,880

118,885

119,503
118,098

90,000

70,964

60,472

40
20
0
K3H1

K3H2

K4H1

K4H2

K45H1

K45H2

Perlakuan

Gambar 4 Pengaruh aktivasi kimia-fisik dengan pengaliran uap air selama 60
menit ( ) dan 90 menit ( ) terhadap kapasitas adsorpsi biru metilena.
Kemampuan Aakubri mengadsorpsi biru metilena meningkat dengan
peningkatan suhu karbonisasi dan konsentrasi asam fosfat (Gambar 4).
Peningkatan suhu karbonisasi dapat meningkatkan penguraian komponen bahan
baku seperti selolusa dan lignin. Penguraian komponen tersebut menyebabkan
terbentuknya pori, namun masih ditutupi oleh pengotor berupa abu dan tar.
Penggunaan asam fosfat sebagai aktivator berfungsi melarutkan tar dan mineralmineral yang terkandung di dalam abu sehingga pori-pori terbuka. Peningkatan
konsentrasi asam fosfat dapat meningkatkan pelarutan pengotor-pengotor tersebut.
Hal ini didukung oleh Gonzalez et al. (2013) yang menyatakan bahwa
peningkatan konsentrasi asam fosfat dapat meningkatkan volume pori. Kapasitas
adsorpsi Aakubri terhadap larutan biru metilena sedikit menurun dengan
peningkatan waktu pengaliran uap air. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
peningkatan oksidasi karbon, sehingga dapat merusak sebagian pori yang telah
terbentuk.
Aakubri mutu terbaik sebelum diaplikasikan untuk penanganan limbah batik
dicuci lebih dahulu melalui proses perendaman di dalam larutan HCl 10% selama
1 jam dan dibilas dengan akuades panas sampai pH netral. Pencucian ini bertujuan
mengurangi kandungan oksida logam dan pengotor lainnya yang berpotensi
menutupi pori-pori Aakubri. Hasil Analisis menggunakan SEM-EDAX diketahui
permukaan Aakubri sebelum dicuci dengan HCl 10% terlihat kotor (Gambar 5).
Komponen pengotor tersebut adalah oksida dari natrium, magnesium, kalium,
kalsium, aluminium, silikon, sulfur, dan klorin (Lampiran 14). Setelah dilakukan
pencucian, semua pengotor hilang kecuali klorin dan kalium sebanyak 0.18% dan
0.36% (Lampiran 15)

15

Gambar 5 Mikrografi Aakubri dan komposisi penyusunnya sebelum (kiri) dan
sesudah (kanan) dicuci dengan HCl 10%
Oksida-oksida logam yang terbentuk selama proses karbonisasi dan aktivasi
fisika hilang dari permukaan Aakubri karena berubah wujudnya dari fase padatan
menjadi fase terlarut. Reaksi yang terlibat adalah reaksi penggaraman. Reasi ini
menghasilkan garam dan air. Semua garam yang terbentuk dari oksida tersebut
dapat larut dalam air dan dapat membentuk larutan elektrolit (Vogel 1979). Chang
(2003) menyatakan bahwa sebagian besar senyawa yang mengandung klorida
dapat larut dalam air pada suhu 25 ℃, kecuali senyawa yang mengandung Ag+,
Hg22+ dan Pb2+. Reaksi pelarutan oksida logam tersebut ditunjukkan pada reaksi
berikut.
Na2O(s) + 2HCl(aq) → 2NaCl(aq) + H2O(l)
CaO(s)

+ 2HCl(aq) → CaCl2(aq) + H2O(l)

MgO(s) + 2HCl(aq)

→ MgCl2(aq) + H2O(l)

K2O(s) + 2HCl(aq) → 2KCl(aq) + H2O(l)
Al2O3(s) + 6HCl(aq) → 2AlCl3(aq) + 3H2O(l)
Berubahnya oksida-oksida logam menjadi bentuk garam terlarut
menyebabkan permukaan Aakubri menjadi lebih bersih (Gambar 5), sehingga
terjadi peningkatan luas pori dan luas permukaan spesifik berturut-turut 35 m2
dan 443 m2/g menjadi 138 m2 dan 715 m2/g. Kapasitas adsorpsi biru metilena
pun meningkat dari 120 mg/g menjadi 193 mg/g yang telah memenuhi
persyaratan SNI 06-3730-1995 (BSN 1995). Luas permukaan spesifik yang
dihasilkan mendekati dengan luas permukaan arang aktif komersial yang
berukuran 200-325 mesh, yaitu 750 m2/g (Sigma Aldrich 2013). Luas permukaan
Aakubri yang dihasilkan lebih besar daripada arang aktif dari biji kapuk
(Widhianti 2010).

16

Serapan Maksimum dan Kurva Standar Indigosol
Pemilihan panjang gelombang serapan maksimum berguna untuk
menentukan kondisi yang tepat dalam pengukuran contoh dengan kesalahan
minimum dan keakuratan tinggi. Panjang gelombang serapan maksimum larutan
indigosol yang diperoleh adalah 525 nm. Hal ini berdasarkan serapan maksimum
larutan induk indigosol 1000 ppm dengan rentang pemanyaran 400 sampai 700
nm. Pengolahan kurva standar berguna untuk menentuakan konsentrasi larutan
indigosol yang teradsorpsi per bobot Aakubri berdasarkan persamaan garis linear
yang diperoleh, yaitu y = 0.0027x – 0.0023 dengan R2 = 0.998 (Lampiran 16).
Kondisi Adsorpsi Tertinggi
Kondisi adsorpsi tertinggi zat warna indigosol terjadi pada bobot Aakubri 1
gram dan waktu kontak 120 menit dengan konsentrasi larutan indigosol 500 ppm.
Saat waktu kontak dan konsentrasi indigosol konstan, terjadi penurunan kapasitas
adsorpsi (Gambar 6) dan secara keseluruhan terjadi peningkatan efisiensi adsorpsi
(Lampiran 17). Hal ini menunjukkan pada bobot Aakubri 1 gram, hampir semua
permukaannya yang memiliki sisi aktif telah berinteraksi dengan molekul
indigosol. Sementara itu, peningkatan bobot Aakubri menjadi 1.5 dan 2 gram
sama dengan meningkatkan luas permukaan sisi aktifnya menjadi setengah dan
dua kalinya dari semula, sehingga banyak permukaan dengan sisi aktif yang
belum berinteraksi. Hal ini diperkuat oleh Diapati (2009), Victoria (2010) dan
Kurniawan (2011) yang menyatakan bahwa peningkatan bobot adsorben dapat
menurunkan kapasitas adsorpsi dan meningkatkan efisiensi adsorpsi. Saat bobot
Aakubri dan konsentrasi indigosol dibuat konstan, terjadi peningkatan kapasitas
adsorpsi. Hal ini terjadi karena peningkatan waktu kontak dapat memberikan
peluang yang lebih besar untuk terjadinya interaksi antara sisi aktif Aakubri
dengan molekul indigosol. Kapasitas adsorpsi Aakubri tertinggi sebesar 30 mg/g
dengan efisiensi adsorpsi 99.73 %. Hal ini menunujukkan ada 30 mg indigosol
yang terjerap dalam 1 gram Aakubri. Hasil ini lebih baik daripada kapasitas
adsorpsi arang aktif limbah padat agar terhadap pewarna indigosol (Azalia 2013).

Kapasitas adsorpsi (mg/g)

35,00
30,00
25,00
60 menit
20,00

90 menit
120 menit

15,00
10,00
0,80

1,30

1,80

2,30

Bobot Aakubri (g)
Gambar 6 Kapasitas adsorpsi Aakubri terhadap larutan indigosol 500 ppm

17

Isoterm Adsorpsi

1,40
1,30
1,20
1,10
1,00
0,90
0,80
0,70
0,60

Ce/x/m (g/L)

Log (x/m)

Penentuan tipe isoterm adsorpsi berguna untuk mengetahui mekanisme
interaksi antara adsorbat terhadap adsorben. Informasi ini dapat diperoleh dengan
membuat kurva hubungan antara Ce terhadap Ce/(x∕m) untuk tipe isoterm
Langmuir dan hubungan antara log Ce terhadap log (x∕m) untuk isoterm
Freundlich. Ce adalah konsentrasi akhir indigosol, x adalah massa indigosol yang
terjerap dan m adalah massa Aakubri. Isoterm adsorpsi Aakubri terhadap larutan
indigosol mengikuti tipe isoterm Freundlich berdasarkan linearitas kurva dan
koefisien determinasi yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan
Freundlich dapat diterapkan dalam proses adsorpsi larutan indigosol oleh Aakubri
(Gambar 7).
Model isoterm adsorpsi Freundlich mengasumsikan bahwa pada proses
adsorpsi terjadi banyak lapisan pada permukaan Aakubri, sisi bersifat heterogen
dan berlangsung secara fisika. Pada proses ini terjadi gaya tarik menarik antara
molekul indigosol dengan Aakubri lebih besar daripada gaya tarik menarik antara
indigosol dengan pelarutnya, sehingga indigosol akan teradsorpsi dipermukaan
Aakubri. Interaksi antara sisi aktif Aakubri dengan molekul indigosol bersifat
lemah karena melibatkan interaksi van der waals, sehingga adsorbat bebas
bergerak (Atkins 1996). Hal inilah yang dapat menyebabkan molekul adsorbat
mudah lepas kembali, sehingga efisiensi adsorpsi berfluktuatif.

y = 0.6113x + 0.6693
R² = 0.8693

0,60
0,55
0,50
0,45
0,40
0,35
0,30
0,25
0,20

y = 0.0294x + 0.2321
R² = 0.7607

0,00
0,00

0,50

1,00

Log Ce (ppm)

1,50

5,00

10,00

15,00

Ce (ppm)

Gambar 7 Kurva isoterm adsopsi Aakubri terhadap larutan indigosol. Isoterm
adsorpsi Freundlich (kiri) dan Langmuir (kanan)

Konstanta Freundlich dan Langmuir dapat ditentukan dari persamaan garis
linear log (x∕m) = 0.6113log Ce + 0.6693 dan Ce∕(x∕m) = 0.0294Ce + 0.2321.
Nilai n dan k pada isoterm Freundlich dipengaruhi oleh suhu, adsorben dan
adsorbat (Kurniawan 2011). Nilai n menunjukkan intensitas dari adsorpsi dan k
menunjukkan kapasitas adsorpsi Aakubri. Nilai dan pada isoterm Langmuir
menunjukkan kapasitas adsorpsi untuk membentuk lapisan sempurna pada
Aakubri dan konstanta kesetimbangan adsorpsi. Kapasitas adsorpsi maksimum
berdasarkan nilai k pada tipe isoterm adsorpsi Freundlich adalah 4.67 mg/g (Tabel
2). Hasil ini lebih baik daripada penelitian sebelumnya menggunakan arang aktif

18

dari limbah padat agar (Azalia 2013). Nilai-nilai konstanta Freundlich dan
Langmuir ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai konstanta isoterm adsorpsi
Tipe isoterm
Freundlich

Konstanta
N
K

Langmuir

R2

Nilai
1.64

0.8693

4.67 mg/g
34.01 mg/g
0.13 L/mg

0.7607

Pengolahan Limbah Batik
Pengolahan limbah batik diawali dengan proses pencirian untuk mengetahui
tingkat pencemarannya. Hasil karakteristik limbah batik menunjukkan bahwa
semua nilai parameter berada diatas baku mutu (tabel 3). Hasil ini juga didukung
oleh Azalia (2013) bahwa pada limbah batik tersebut memiliki parameter yang
berada diatas baku mutu limbah berdasarkan Kep. Gubernur Kepala DIY No.
281/KPTS/1998. Hal ini mengindikasikan bahwa limbah tersebut cukup
berpotensi mencemari lingkungan, sehingga perlu pengolahan terlebih dahulu
sebelum dibuang ke lingkungan.

Tabel 3 Pencirian dan baku mutu limbah batik
Parameter
pH
Daya hantar listrik
Total padatan terlarut
Warna
Kebutuhan oksigen kimia

Kadar
9.01
3.80
465
30900
103680

Satuan
mmho/cm
mg/L
Pt-Co
mg/L

Baku mutu*
6−9
0.05−1.5
200
50
100

*Kep. Gubernur Kepala DIY No. 281/KPTS/1998

Kondisi pH limbah batik sebelum pengolahan sebesar 9.01 sehingga perlu
dinetralkan. Penetralan ini bertujuan mengkondisikan kerja optimum dari
koagulan tawas. Menurut ikbal dan Nugroho (2002) proses netralisasi limbah
mampu mereduksi intensitas warnanya. Limbah batik yang telah mengalami
penetralan kemudian ditambahkan tawas sebagai koagulan. Tawas di dalam air
akan membentuk Al(OH)3, seperti rekasi di bawah ini (Makki et al. 2010).
Al2(SO4)3.18H2O + 6H2O → 2Al(OH)3 + 6H+ + 3SO4



+ 18H2O

Pada kondisi netral kelarutan Al(OH)3 sangat rendah, sehingga partikel
organik maupun anorganik pada limbah batik akan mengendap bersama Al(OH)3.
Proses pengendapan menggunakan tawas diawali dengan proses pengadukan

19

cepat (koagulasi). Tawas akan bekerja mendestabilisasi muatan partikel terlarut
yang bermuatan negatif dengan memberikan proton sehingga partikel-partikel
koloid akan beraglomerasi. Proses pengadukan lambat (flokulasi) bertujuan
mengumpulkan partikel-partikel kecil hasil koagulasi membentuk flok yang lebih
besar, sehingga mengendap. Komponen yang mengendap akan menurunkan KOK
dan konsentrasi warna karena semakin berkurangnya komponen terlarut.
Penurunan KOK menunjukkan penurunan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi semua zat yang bisa dioksidasi, sehingga kadar oksigen terlarut
meningkat. Sementara itu, penurunan konsentrasi warna limbah menunjukkan
penurunan jumlah komponen yang memiliki gugus kromofor, sehingga
kemampuan limbah batik untuk menyerap dan mentransmisikan cahaya visibel
berkurang. Penurunan konsentrasi warna dan KOK melalui proses koagulasiflokulasi berturut-turut 29.45% dan 13.79%.
Proses adsorpsi limbah batik setelah koagulasi-flokulasi dengan 1 gram
Aakubri mutu terbaik mampu menurunkan konsentrasi warna dan KOK sebesar
98.51% dan 97.43% (Tabel 4). Hasil ini lebih baik daripada penelitian yang
dilakukan oleh Azalia (2013) yang mampu menurunkan konsentrasi warna dan
KOK sebesar 59.81% dan 22.19%. Hasil penurunan konsentrasi warna limbah
dengan proses adsorpsi menggunakan Aakubri juga lebih baik dari pada
penggunaan arang aktif tempurung kelapa (Mizwar et al. 2012). Besarnya
penurunan KOK dan konsentrasi warna karena banyaknya jumlah komponen
adsorbat yang berinteraksi dengan sisi aktif Aakubri. Komponen yang berinteraksi
dengan sisi aktif Aakubri bersifat lebih stabil daripada dalam keadaan bebas,
sehingga mudah dipisahkan dari pelarutnya. Penurunan konsentrasi warna limbah
batik setelah diadsorpsi dengan Aakubri masih berada di atas ambang batas baku
mutu, sehingga perlu pengolahan lebih lanjut. Visualisasi limbah batik awal,
setelah koagulasi-flokulasi dan adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 4 Hasil pengolahan limbah batik dengan tawas dan Aakubri
Perlakuan

Limbah awal
Koagulasiflokulasi
Adsorpsi

Konsentrasi
(Pt-Co)
30900
21800
324

Persen
penuruan
(%)


KOK
(mg/L)
103680.0

29.45

89379.8

98.51

2299.3

Persen
penuruan
(%)

13.79
97.43

20

Gambar 8 Intensitas warna limbah batik awal (kanan), setelah koagulasi-flokulasi
(tengah), dan setelah adsorpsi (kiri)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Arang aktif kulit buah malapari (Aakubri) telah berhasil dibuat.
Karakterisitiknya hanya kadar air dan zat terbang yang memenuhi persyaratan
SNI 06-3730-1995. Aakubri mutu terbaik dihasilkan dari kulit malapari yang
dikarbonisasi pada suhu 450 ℃, diaktivasi dengan H3PO4 2% dan dilanjutkan
aktivasi pada suhu 750 ℃ disertai pengaliran uap air selama 60 menit. Kapasitas
adsorpsinya terhadap biru metilena sebesar 120 mg/g. Pencucian lanjut dengan
HCl 10% mampu meningkatkan luas pori Aakubri dan kapasitas adsorpsinya
terhadap biru metilena menjadi 193 mg/g (memenuhi persyaratan SNI 06-37301995). Luas permukaan spesifik dan pori Aakubri sebesar 715 m2/g dan 138 m2.
Aplikasi Aakubri sebagai adsorben dalam pengolahan limbah batik dapat
mereduksi warna dan kebutuhan oksigen sebesar 98.51 % dan 97.43 %.

Saran
Perlu perendaman bahan kulit malapari dengan asam fosfat sebelum
karbonisasi untuk meningkatkan rendemen arang. Perlu dicoba menggunakan
bahan aktivator lain untuk memperoleh arang aktif yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad R. 2004. Kimia Lingkungan. Jakarta: C. V Andi Offset (ID)
Abramian L, Houssam E. 2009. Adsorption kinetics and thermodynamics of azodye Orange II onto highly porous titania aerogel. Chemical Engineering
journal. 150: 403-410.
Aldrich Sigma. 2014. Catalog Product. [Internet]. [diunduh 2014 Juli 07].
Tersedia
pada:
www.sigmaaldrich.com/catalog/product/sial/c3345?
lang=en®ion=ID
Aldrich Sigma. 2013. Activated Carbon Technical Information Bulletin. [Internet].
[diunduh
2014
Agustus
20].
Tersedia
pada:

21

www.sigmaaldrich.com/chemistry/chemical-synthesis/learningcenter/technicalbulletins/al-1430/activated-carbon/html.
Alimah D. 2010. Budidaya dan potensi malapari (Pongamia pinnata L.) pierre
sebagai tanaman penghasil bahan bakar nabati. Galam. 4(2):147-159.
Anggarini D, Tjahjanto RT, Darjito. Studi aktivasi arang dari tempurung kelapa
dengan pengozonan. Kimia Student Journal. 2(1). 400-407.
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard Method for the
Examination of Water and WastewaterADMI Weighed Ordinate
Spectrophotometric Methods. APHA 2120 C. Washington: American Public
Health Association.
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard Method for the
Examination of Water and WastewaterADMI Weighed Ordinate titrimetric
Methods. APHA 5220 B. Washington: American Public Health Association.
Atkins PW. 1996. KIMIA FISIKA. Irma I. Kartohadprodjo, penerjemah. Jakarta:
Erlangga (ID). Terjemahan dari : Physical Chemistry.
Azalia N. 2013. Adsorben berbasis limbah padat agar-agar sebagai penjerap zat
warna dan zat organik pada limbah industri batik. [Skripsi]. Bogor (ID).
Institut Pertanian Bogor.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 6989.2-2009. Air dan Air
Limbah-Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen
Demand/COD) dengan Refluks Tertutup secara Spektrofotometri. Serpong
(ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. SNI 06-6989.1-2004. Air dan Air
Limbah-Cara Uji Daya Hantar Listrik. Serpong (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. SNI 06-6989.3-2004. Air dan Air
Limbah-Cara Uji Total Padatan Terlarut. Serpong (ID): BSN.
[BSN] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI-06-3730-1995: Arang aktif Teknis.
Jakarta (ID): BSN.
C