Model Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau dengan Pendekatan Kerapatan Tegakan

MODEL PEMANTAUAN PELAKSANAAN PEMBAYARAN JASA
LINGKUNGAN DI DAS CIDANAU DENGAN PENDEKATAN
KERAPATAN TEGAKAN

RAHMI NUR KHAIRIAH

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Model Pemantauan
Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau dengan Pendekatan
Kerapatan Tegakan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Rahmi Nur Khairiah
NIM E34100020

ABSTRAK
RAHMI NUR KHAIRIAH. Model Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa
Lingkungan di DAS Cidanau dengan Pendekatan Kerapatan Tegakan. Dibimbing
oleh LILIK BUDI PRASETYO dan NANDI KOSMARYANDI.
Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) merupakan pemberian imbal jasa
berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa
lingkungan yang dihasilkan. Persyaratan dalam pembayaran jasa lingkungan di
DAS Cidanau yaitu jumlah tegakan yang ada dan tumbuh dengan baik tidak
kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar. Saat ini, pemantauan jumlah
tegakan di lahan PJL dilakukan dengan cara menghitung langsung jumlah tegakan
per hektar per lahan. Pemantauan dengan metode tersebut memerlukan waktu
yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Pemantauan jumlah tegakan pada
lahan PJL di DAS Cidanau perlu dilakukan menggunakan metode baru yang lebih

efisien. Penelitian dilakukan di DAS Cidanau, Kabupaten Serang dan Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten. Model pendugaan kerapatan tegakan dengan leaf
area index merupakan model pendugaan terbaik yang dapat digunakan untuk
menduga kerapatan tegakan pada lahan pembayaran jasa lingkungan di DAS
Cidanau. Persentase kerapatan kanopi di dua kelompok tani hutan semakin
meningkat setelah periode pembayaran jasa lingkungan.
Kata kunci: basal area, forest canopy density, kerapatan tegakan, leaf area index
ABSTRACT
RAHMI NUR KHAIRIAH. Monitoring of Payment for Environmental Service
(PES) Implementation in Cidanau Watershed with Stands Density Approach.
Supervised by LILIK BUDI PRASETYO and NANDI KOSMARYANDI.
Payment for Environmental Service is a give of reciprocal service in the
form of financial or non-financial payment to the land owner for every
environmental service which is produced. The requirement of Payment for
Environmental Service in Cidanau Watershed is the number of stand which exist
and grow well not less than 500 (five hundred) stands per hectare. At this moment,
monitoring the number of stands in PES land in Cidanau Watershed done by a
direct counting the number of stands per hectare per area. Monitoring with those
methods require a quite long time and quite a lot of cost. Monitiring the number of
stands in PES land in Cidanau Watershed need a new method which more

efficient. This research done in Cidanau Watershed, Serang and Pandeglang,
Banten Province. Estimating the Number of stand models with leaf area index is
the best estimating models which usable to estimate the stand density in PES land
in Cidanau Watershed. The presentage of canopy density in two forest farmer
groups are increasing after PES period.
Keywords: basal area, forest canopy density, leaf area index, stands density

iii

MODEL PEMANTAUAN PELAKSANAAN PEMBAYARAN JASA
LINGKUNGAN DI DAS CIDANAU DENGAN PENDEKATAN
KERAPATAN TEGAKAN

RAHMI NUR KHAIRIAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

v

Judul Skripsi : Model Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di
DAS Cidanau dengan Pendekatan Kerapatan Tegakan
Nama
: Rahmi Nur Khairiah
NIM
: E34100020

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc
Pembimbing I


Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MScF
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
anugerah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2014 ini adalah
pembayaran jasa lingkungan dan remote sensing, dengan judul Model
Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau dengan
Pendekatan Kerapatan Tegakan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Lilik Budi
Prasetyo, MSc dan Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MScF sebagai pembimbing, serta

Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, MSc sebagai pembimbing akademik yang tidak
pernah lelah menyemangati dan memberikan masukan. Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Desa Citaman, Desa Cikumbuen, Desa
Kadu Kempong, Keluarga besar CA Rawa Danau, Keluarga besar Forum
Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), Keluarga besar Rekonvasi Bhumi, dan
Institut Pertanian Bogor yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan
penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, adik-adik
saya, serta seluruh keluarga dan kepada Iska Gushilman atas doa dan kasih
sayangnya. Keluarga KSHE 47, Keluarga Lab Analisis Lingkungan dan
Pemodelan Spasial, Keluarga Fasttrack KVT IPB 2013, Keluarga besar
HIMAKOVA, Arif Prasetyo, Ardhianto Muhammad, Nugrahadi Ramadhan Tohir,
Romi Prasetyo, Galang Badadung, Bangkit, Anggit, ventie, Ila, Dimaz, Ali, Dini,
Iga D Darmeydi atas motivasi, bantuan, dukungan dan kebersamaan kita selama
ini, serta seluruh staf pengajar, tata usaha, laboran, mamang bibi, juga keluarga
besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Fakultas
Kehuutanan IPB yang telah membantu, memberikan dukungan, serta memberikan
ilmu pengetahuan.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Rahmi Nur Khairiah

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang

vii
1

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Daerah Aliran Sungai
Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau
METODE
Waktu dan Tempat


2
2
2
4
4

Jenis Data

6

Metode Pengumpulan Data

7

Teknik Pengumpulan Data

7

Pengolahan Data


8

HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Forest Canopy Density 12
Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Leaf Area Index

17

Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Basal Area

18

Kondisi Kerapatan Kanopi Di Lahan Pembayaran Jasa Lingkungan

19

Implikasi Model

19


Uji Asumsi Klasik

20

Dugaan Kerapatan Tegakan pada Lahan Pembayaran Jasa Lingkungan dan
Non Pembayaran Jasa Lingkungan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

21
21
21
22
22
25

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Jenis data yang diambil
Kondisi kerapatan kanopi di lahan Pembayaran Jasa Lingkungan
Model pendugaan kerapatan tegakan
Hasil validasi model pendugaan kerapatan tegakan
Model pendugaan kerapatan tegakan
Hasil uji asumsi klasik
Hasil dugaan kerapatan tegakan pada lahan Pembayaran Jasa
Lingkungan dan Non Pembayaran Jasa Lingkungan

6
19
20
20
20
20
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Lokasi penelitian
Petak Ukur
Diagram alir pembuatan peta Forest Canopy Density
Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Forest Canopy
Peta pendugaan kerapatan tegakan di DAS Cidanau dengan Forest
Canopy Density
6 Peta Forest Canopy Density tahun 2000
7 Peta Forest Canopy Density tahun 2005
8 Peta Forest Canopy Density tahun 2013
9 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Leaf Area Index
10 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Basal Area

5
8
10
12
13
14
15
16
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Struktur kepengurusan Forum Komunikasi DAS Cidanau
Hasil uji asumsi klasik dengan software IBM SPSS Statistics 21
Validasi model
Hemiview photograph

25
26
31
33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) atau Payment for Environmental
Service (PES) merupakan pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan
non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan
(Leimona et al. 2011). Beberapa implementasi PJL sudah mulai dilaksanakan di
Indonesia, salah satunya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau, Kabupaten
Serang dan Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. PJL yang dilakukan di DAS
Cidanau merupakan bagian dari upaya mempertahankan tegakan sebagai jasa
pengaturan air. DAS Cidanau merupakan sumber air satu-satunya bagi sekitar 100
industri yang beroperasi di Cilegon (RUPES 2005).
PJL di DAS Cidanau dilaksanakan sejak tahun 2005 dengan empat
Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai produsen jasa lingkungan (seller), PT
Krakatau Tirta Industri (KTI) sebagai pemanfaat jasa lingkungan (buyer) dan
Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) sebagai pengelola PJL. Lahan
masyarakat KTH yang menjadi anggota PJL di DAS Cidanau harus dipertahankan
tegakannya sampai dengan periode kontrak berakhir. Persyaratan dalam
pembayaran jasa lingkungan, pada setiap tahapan pembayaran selama masa
kontrak, jumlah tegakan yang ada dan tumbuh dengan baik tidak kurang dari 500
(lima ratus) batang per hektar. Potensi kerapatan tegakan pohon merupakan salah
satu parameter yang dapat dijadikan indikator keberhasilan pelaksanaan PJL di
tingkat lahan. Saat ini, pemantauan jumlah tegakan di lahan PJL dilakukan dengan
cara menghitung langsung jumlah tegakan per hektar per lahan oleh Tim
Verifikasi dari FKDC. Pemantauan jumlah tegakan dengan metode tersebut
memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga
pemantauan jumlah tegakan pada lahan PJL di DAS Cidanau perlu dilakukan
dengan menggunakan metode baru yang mampu menduga jumlah tegakan per
hektar dengan lebih efisien. Remote sensing dapat menjadi metode alternatif yang
lebih efisien karena tidak membutuhkan waktu yang lama, biaya yang besar serta
dapat dilakukan secara periodik. Salah satu metode remote sensing adalah Forest
Canopy Density (FCD) Mapping Model (Tohir 2013). Model pendugaan
Kerapatan Tegakan (KT) dengan nilai FCD dapat digunakan untuk menduga
kerapatan tegakan di lapangan secara tidak langsung dengan baik (Muhammad
2014; Nugroho et al. 2011). Selain itu, menurut Djumaher (2003) faktor biofisik
Leaf Area Index (LAI) dan basal area memiliki pengaruh dalam penentuan
potensi tegakan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu (1) menduga hubungan antara kerapatan
tegakan dengan Forest Canopy Desnsity, Leaf Area Index, dan Basal Area di
DAS Cidanau; (2) menduga kondisi kerapatan kanopi periode sebelum dan
sesudah pelaksanaan PJL di Kelompok Tani Hutan (KTH) Karya Muda II Ciomas
dan KTH Alam Lestari Mandalawangi; dan (3) menduga kerapatan tegakan pada
lahan Pembayaran Jasa Lingkungan dan Non Pembayaran Jasa Lingkungan di
DAS Cidanau.

2

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan metode alternatif pemantauan jumlah
tegakan yang lebih efisien pada lahan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS
Cidanau.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di DAS Cidanau, Kabupaten Serang dan Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten dengan pendekatan kerapatan tegakan. Model
dengan hubungan terbaik akan dijadikan masukan sebagai metode alternatif
pemantauan dalam menduga KT pada lahan PJL di DAS Cidanau. Lokasi dalam
pembuatan model mencakup DAS Cidanau, sedangkan untuk pendugaan KT
dilakukan di tiga KTH, yakni dua KTH di lahan PJL (KTH Karya Muda II
Ciomas dan KTH Alam Lestari Mandalawangi) dan satu KTH di lahan Non PJL
(KTH Cibunar Padarincang).

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satuan wilayah tangkapan air
(catchment area) yang menerima hujan, menampung dan mengalirkan ke sungai
dan seterusnya ke danau atau ke laut serta mengisi air bawah tanah. Menurut
Asdak (2002) DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi
oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan
untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama.
Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau
Model hubungan hulu hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan
di DAS Cidanau merupakan konsep pembayaran jasa lingkungan yang diadopsi
dari Costa Rica (Fahrizal 2009). Mekanisme PJL di DAS Cidanau
diimplementasikan oleh tiga pihak utama yaitu lembaga pengelola transaksi
pembayaran jasa lingkungan, pemanfaat jasa lingkungan, dan penyedia jasa
lingkungan. Kriteria yang harus dipenuhi oleh rancangan PJL menurut Wunder
(2007), yaitu:
1.
Merupakan suatu transaksi sukarela.
2.
Jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan jelas untuk ditransaksikan.
3.
Ada pembeli (minimal satu).
4.
Ada penjual (minimal satu).
5.
Jika dan hanya jika penjual (penyedia jasa) mengamankan ketentuanketentuan jasa secara terus menerus.

3

Lembaga Pengelola Pembayaran Jasa Lingkungan
Lembaga pengelola jasa lingkungan (LPJL) adalah lembaga penghubung
(fasilitator) bersifat independent, yang berfungsi untuk menghubungkan
kepentingan pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan dalam transaksi PJL. LPJL
di DAS Cidanau adalah Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) yang dibentuk
pada tanggal 24 Mei 2002 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi
Banten Nomor: 124.3/Kep.64-Huk/2002 (FKDC 2013). Struktur kepengurusan
terdiri dari berbagai instansi, baik instansi pemerintah, swasta, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) maupun masyarakat (Lampiran 1).
Peran FKDC diantaranya yaitu untuk mengelola dana hasil PJL dari
pemanfaat (buyer) jasa lingkungan DAS Cidanau untuk rehabilitasi dan
konservasi lahan di DAS Cidanau, menggalang dana dari potensial pemanfaat jasa
lingkungan DAS Cidanau, mendorong pemerintah untuk melakukan PJL di DAS
Cidanau, membangun kesepakatan kewenangan pengelolaan DAS Cidanau
diantara stakeholder DAS Cidanau, melakukan negosiasi dengan PT. Krakatau
Tirta Industri (KTI) untuk PJL, menuangkan hasil negosiasi dalam naskah
kesepahaman antara FKDC dan KTI dan mendiskusikan mekanisme PJL
melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat pemilik hutan di
hulu DAS Cidanau (FKDC 2013).
Pemanfaat Jasa Lingkungan
Pemanfaat jasa lingkungan adalah masyarakat, swasta, pemerintah, lembaga
dan/atau negara lain yang menerima manfaat dari produk jasa lingkungan dari
DAS Cidanau, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaat jasa
lingkungan DAS Cidanau saat ini yaitu PT Krakatau Tirta Industri (KTI), salah
satu anak perusahaan Krakatau Steel yang bergerak di bidang jasa pengolahan air
(water treatment company).
Jumlah pembayaran yang telah diterima oleh FKDC atas sumberdaya air
tersebut didasarkan pada hasil negosiasi antara FKDC dengan KTI pada tahun
2005, 2007, 2010 sebesar Rp 2 200 000 000 (dua milyar dua ratus juta rupiah)
dengan perincian sebagai berikut:
1.
Periode kontrak 2005-2009
Rp 950 000 000
2.
Periode kontak 2010-2014
Rp 1 250 000 000
Alokasi dana tersebut digunakan untuk memperkuat mekanisme PJL di DAS
Cidanau, juga untuk kepentingan pendampingan masyarakat dan pengadaan alatalat untuk mendukung kerja FKDC (FKDC 2013).
Penyedia Jasa Lingkungan
Penerima transaksi pembayaran jasa lingkungan adalah masyarakat hulu
yang dipilih berdasarkan kondisi lahan yang kritis dan berpengaruh terhadap
fungsi hutan dan tata air di DAS Cidanau serta kondisi sosio-kapital masyarakat
yang tepat (Fahrizal 2009). Periode kontrak pertama (2005-2009), terdapat 4 KTH
yang telah diidentifikasi sebagai produsen jasa lingkungan dengan luas 100 ha
dengan masing masing luasan KTH 25 ha, dengan rincian:
1.
Karya Muda II Ciomas
25 ha sd 29/04/2010
2.
Maju Bersama Padarincang
25 ha sd 20/10/2010
3.
Alam Lestari Mandalawangi 25 ha sd 06/01/2012

4

4.
Agung Lestari Gunungsari
25 ha sd 06/01/2012
KTH Maju Bersama Padarincang dan KTH Agung Lestari Gunungsari mengalami
pemutusan Perjanjian PJL karena kedua KTH tersebut telah melanggar perjanjian
dengan menebang pohon yang menjadi bagian dari kesepakatan PJL (FKDC
2013).
Syarat Penerima Pembayaran Jasa lingkungan
Syarat penerima PJL untuk penyedia jasa lingkungan, salah satunya yaitu
lahan yang diproyeksikan mendapatkan PJL, harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut (FKDC 2013):
1. Merupakan milik masyarakat.
2. Berada di dalam wilayah DAS Cidanau.
3. Memiliki jenis dan kriteria tanaman yang ada di atas lahan seperti:
a. Bukan jenis tanaman polong-polongan.
b. Bukan jenis tanaman yang memiliki akar serabut kecuali aren dan bambu
yang dihitung berdasarkan rumpun.
c. Semua jenis tanaman buah-buahan kecuali kopi, jeruk, cengkeh dan jambu
batu.
d. Mempunyai batang minimal 15 cm bagi tanaman yang sudah ada dan
minimal 5 cm bagi tanaman baru.
e. Tanaman telah diberi notasi atau diberi no pohon per lahan pemilikan.
f. Batang tanaman sehat dan terawat.
Persyaratan dalam pembayaran jasa lingkungan pada setiap tahapan
pembayaran selama masa kontrak jumlah tegakan yang ada dan tumbuh dengan
baik per hektar tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar pada akhir
kontrak. Apabila jumlah pohon yang terdapat dalam areal mekanisme PJL tidak
kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar, maka penyedia jasa lingkungan
akan mendapatkan imbalan sebesar Rp. 1 200 000 (satu juta dua ratus ribu rupiah)
per hektar per tahun selama masa kontak diluar pajak yang berlaku. Tetapi apabila
dinyatakan kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar, maka penyedia jasa
lingkungan tidak akan menerima pembayaran jasa lingkungan untuk periode yang
sudah jatuh tempo. Apabila penyedia jasa lingkungan tetap melanggar
kesepakatan dalam surat perjanjian PJL dan terus mengabaikan peringatanperingatan dari FKDC, maka FKDC dapat memutuskan surat perjanjian PJL
secara sepihak. Apabila perjanjian PJL diputus, maka penyedia jasa harus
mengembalikan seluruh dana yang telah diterima.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di DAS Cidanau, Kabupaten Serang dan Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten (Gambar 1). Untuk pengolahan dan analisis data
penelitian dilaksanakan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan
Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas

5

Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan
Maret-April 2014.
Secara geografis DAS Cidanau terletak diantara 060 07’ 30” – 060 18’ 00”
LS dan 1050 49’ 00”-1060 04’ 00” BT. DAS Cidanau memiliki luas 22.620 Ha,
yang mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang seluas 999,29 Ha dan Kabupaten
Serang seluas 21 620.71 Ha. Wilayah DAS Cidanau secara administratif
mancakup 35 desa di 5 wilayah kecamatan, Kabupaten Serang dan 4 desa di satu
wilayah kecamatan, Kabupaten Pandeglang.

Gambar 1 Lokasi penelitian
DAS Cidanau memiliki peranan penting dalam menyimpan dan
mengalirkan air dari daerah hulu ke hilir. Saat ini telah terjadi penurunan kuantitas
dan kualitas air baku di DAS Cidanau yang diakibatkan oleh aktivitas masyarakat
di daerah hulu DAS yang memanfaatkan hutan maupun lahan untuk memenuhi
kehidupannya. Kondisi mata pencaharian penduduk di wilayah DAS Cidanau
didominasi oleh sektor pertanian dengan tingkat pendapatan di KTH Karya Muda
II berada pada kisaran Rp 100 000 – Rp 800 000/bulan. Fahrizal (2009)
menyatakan bahwa rendahnya tingkat pendapatan KTH Karya Muda II terkait
dengan mata pencaharian yang seluruhnya adalah petani kebun.
Kondisi ekonomi masyarakat yang lemah tersebut cenderung
mengakibatkan penebangan hutan. Terkait dengan hal ini, maka dilakukan upaya
untuk mengatasi kondisi ekonomi dan lingkungan dengan konsep PJL. Budhi et al.
(2008) dan Fahrizal (2009) menyatakan bahwa melalui mekanisme PJL yang
dilakukan di DAS Cidanau, diharapkan dapat mengembalikan laju kerusakan
hutan di daerah hulu sekaligus memberdayakan kesejahteraan masyarakat di
sekitar DAS agar lebih kompetitif dalam menjaga hutan.

6

van Noordwijk et al. (2004) juga menyatakan bahwa pelaksanaan PJL akan
menjembatani tujuan konservasi dan pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian
Hayati et al. (2009) menunjukan terjadi peningkatan kesejahteraan pada penyedia
jasa setelah adanya PJL sebesar 2.01%, namun masih berada dalam kategori
kesenjangan tinggi atau dengan kata lain penyedia jasa masih tidak sejahtera.
Jenis Data
Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data-data seperti tercantum
pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis data yang diambil
No

Jenis data

Sumber

Metode

1

Citra landsat 7
ETM+ tahun
2000 (akusisi
14 April 2000)
dan 2005
(akusisi 6
November
2005)
Citra landsat 8
OLI dan TIRS
tahun 2013
(akusisi 16
Agustus 2013)
Hemiview
Photograph
(Foto
Hemiphot)

Earthexplorer.usgs.gov

-

Teknik
pengumpulan
data
Mengunduh

Earthexplorer.usgs.gov

-

Mengunduh

Observasi lapang

Stratified
Random
Sampling
Sensus

4

Kerapatan
Tegakan (KT)

Observasi lapang

Stratified
Random
Sampling

Mengambil
Foto
Hemiphot
Mengambil
Foto
Hemiphot
Petak Ukur
(50 x 50 m)

5

Luas Bidang
Dasar Tegakan
(Basal area)

Observasi lapang

Stratified
Random
Sampling

Petak Ukur
(50 x 50 m)

6

Titik Ground
Chek (GCP)

Observasi lapang

Stratified
Random
Sampling
Sensus

Marking
dengan GPS

2

3

Observasi lapang

Marking
dengan GPS

7

Metode Pengumpulan Data
Observasi Lapang
Observasi lapang dilakukan untuk mengumpulkan data Foto Hemiphot, KT,
basal area dan GCP yang akan digunakan sebagai data dalam membuat model
pendugaan guna memprediksi variabel terikat KT terhadap variavel bebas FCD,
LAI dan basal area. Pemilihan tiga jenis variabel dalam pengambilan sampel
didasarkan atas dugaan variabel tersebut memiliki hubungan terhadap KT.
Penentuan titik sampel untuk data pembangun model dilakukan dengan cara
membagi 10 kelas tipe kerapatan pada peta FCD. Kemudian titik sampel
diletakkan dengan metode stratified random sampling berdasarkan 10 kelas tipe
KT. Titik sampel dalam membangun model berjumlah 50 titik, dengan
keterwakilan 5 titik pada tiap kelas tipe KT. Sedangkan untuk data pendugaan KT
di lahan PJL dan lahan non PJL dilakukan dengan pengambilan titik GCP dan foto
hemiphot menggunakan metode sensus pada seluruh lahan. Jumlah titik sampel
untuk pendugaan KT berjumlah 90 titik, yaitu 32 titik pada KTH Karya Muda II
Ciomas, 33 titik pada KTH Alam Lestari Mandalawangi, dan 25 titik pada KTH
Cibunar Padarincang. Ukuran petak ukur di lapangan dengan menggunakan citra
resolusi 30 meter x 30 meter adalah dengan ukuran 50 x 50 meter (Huang et al.
2006).
Teknik Pengumpulan Data
Citra Landsat
Citra landsat 7 ETM+ tahun 2000 (akusisi 14 April 2000), Citra landsat 7
ETM+ tahun 2005 (akusisi 6 November 2005) dan Citra landsat 8 Land Imager
Operasional (OLI) dan TIRS (Thermal Infrared Sensor) tahun 2013 diperoleh
dengan cara mengunduh pada situs Earthexplorer.usgs.gov. Citra landsat tersebut
diekstraksi dengan menggunakan Software FCD Mapper v.2 untuk mendapatkan
peta FCD.
Kerapatan Tegakan

Kerapatan tegakan menunjukan jumlah pohon yang ada dalam suatu luasan
hutan. Satuan kerapatan tegakan adalah jumlah pohon per hektar. Data KT
diperoleh dengan menghitung seluruh jumlah tegakan yang memiliki diameter 15
cm pada petak ukur. Diameter 15 cm didasarkan atas lahan yang mendapatkan
pembayaran jasa lingkungan harus memenuhi persyaratan mempunyai diameter
batang 15 cm (FKDC 2013).
Basal Area
Data luas bidang dasar tegakan (basal area) diperoleh dengan mengukur
keliling pohon setinggi dada dengan menggunakan pita ukur 50 m. Menurut Philip
(1994) diacu dalam Kurniawan (2004), luas bidang dasar pohon adalah luas area
lingkaran batang pohon yang diukur pada ketinggian setinggi dada. Data keliling
dikonversi ke diameter (d =m), dan kemudian data (basal area) tiap plot dirataratakan dan dijadikan m2/hektar. Menurut Hardjosoediro (1974) kerapatan tegakan
pohon dapat diketahui melalui besarnya basal area.

8

Hemiview Photograph (Foto Hemiphot)
Foto hemiphot diambil dengan menggunakan kamera DSLR dengan lensa
fisheye, kemudian gambar diolah dengan menggunakan software HemiView
Canopy Analysis Software v2 untuk memperoleh nilai LAI. Pengambilan foto
hemiphot dilakukan di titik tengah plot dengan arah kamera menghadap kearah
atas pada tripod dengan ketinggian ± 1.5 m untuk menghindari semak yang
menghalangi pandangan dan monitor kamera menghadap kearah utara kompas
(Djumhaer 2003).
Menurut Rich et al (1999) kamera harus dinaikkan atau diturunkan dengan
tinggi yang tepat. Dalam kasus kamera sangat dekat dengan tanah, dimungkinkan
untuk berjongkok atau bahkan berbaring untuk keluar dari bidang pandang lensa.
Menurut Rich (1990) ketika hemiphot diambil dari dalam kanopi tanaman
menengadah ke atas, foto hemiphot akan mencatat koordinat sudut semua hasil
kanopi, seperti yang terlihat dari posisi dari mana foto itu diambil. Kemudian
kamera diposisikan dengan benar dan diratakan sebelum foto itu diambil. Posisi
yang tepat meliputi lokasi yang horizontal dan memiliki bidang rata, sedangkan
orientasi kamera mengacu pada rotasi kamera relatif terhadap utara, hal ini
disesuaikan agar utara magnetik terletak langsung menuju bagian atas gambar
(Rich 1990).
Ground Chek Point (GCP)
GCP diperoleh dengan melakukan marking pada GPS dan pengambilan
gambar searah empat mata angin pada setiap titik petak ukur yang telah
direncanakan (Gambar 2). Pengambilan gambar searah empat mata angin
digunakan untuk identifikasi lokasi.

Gambar 2 Petak Ukur

Pengolahan Data
Perhitungan Leaf Area Index
Hemispherical photograph atau hemiphot merupakan alat yang digunakan
untuk menghitung LAI dengan memotret bukaan tajuk melalui kamera fisheye
(Setiawan 2006). Perhitungan LAI dengan hemiphot menggunakan metode
ambang batas (threshold method) dengan menggunakan HemiView Canopy

9

Analysis Software v2, yang ditentukan oleh pengguna sendiri secara manual. Taraf
nilai ambang batas dapat dinaikan atau diturunkan sampai ditemukan kococokan
antara gambar hasil klasifikasi dengan gambar asli sehingga didapat batas yang
jelas antara bagian yang tertutup kanopi dengan bagian yang terbuka. Untuk
mengurangi subyektifitas metode ini maka diperlukan kualitas gambar yang
sangat baik dan memiliki batas yang sangat jelas antara bagian tertutup kanopi
dan bagian yang terbuka (Rich et al. 1999). Besarnya nilai LAI adalah setengah
dari luas total penutupan daun per unit penutupan permukaan dasar (Rich et al.
1999).
Pembuatan Peta Forest Canopy Density
Peta FCD untuk membangun model, diperoleh dengan mengekstraksi data
citra landsat 8 menggunakan software FCD Mapper v.2. FCD model merupakan
kombinasi dari index vegetasi, tanah, bayangan hutan dan suhu.
Pendugaan model KT dengan FCD, menggunakan citra landsat 2013 yang
telah di kalibrasi radiometris (rescale) dari 16 bit menjadi 8 bit. Kalibrasi
radiometris menunjukkan berapa banyak bit yang digunakan dalam satu pixel.
Citra landsat 2013 yang telah dikalibrasi radiometris dan citra landsat tahun 2005
kemudian dinormalisasikan terhadap citra landsat tahun 2000 sebanyak 100 titik
badan air dan pemukiman pada setiap band citra. Normalisasi citra dilakukan
dengan menggunakan software ERDAS Image 9.1. Persamaan yang digunakan
dalam normalisasi citra dapat dilihat pada Tabel 2.

Band
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7

Tabel 2 Persamaan normalisasi citra
Persamaan citra landsat tahun
Persamaan citra landsat tahun
2000-2005
2000-2013
y = 1.3798x – 61.586
y = 2.1825x – 3.1424
y = 1.2427x – 36.903
y = 2.6500x – 28.636
y = 1.1621x – 29.567
y = 1.6533x + 6.7067
y = 0.9869x – 5.9496
y = 1.2463x – 1.6164
y = 0.9511x – 3.1016
y = 2.3666x – 28.343
y = 0.5281x + 62.076
y = 0.8604x – 51.308
y = 0.9863x – 4.2639
y = 2.0542x – 30.406

Keterangan: Y = Citra landsat yang akan dinormalisasikan, X = Citra landsat tahun 2000

Citra landsat tahun 2000, 2005 dan 2013 yang telah dinormalisasi,
dianalisis dengan software FCD Mapper v.2 sehingga menghasilkan peta kelas
kerapatan kanopi (FCD). Klasifikasi FCD memiliki rentang nilai 0-100 yang
menunjukan presentase kerapatan kanopi (JOFCA 2003). Proses pembuatan FCD,
diadopsi dari Rikimaru (2002) Gambar 3.
Analisis Regresi Linear
Menurut Sembiring (1995), model regresi adalah model yang memberikan
gambaran mengenai hubungan antara variabel bebas X dengan variabel terikat Y
yang dipengeruhi oleh beberapa parameter regresi yang belum diketahui nilainya.
Analisis data dilakukan dengan melakukan regresi antara variabel bebas FCD,
LAI dan basal area dengan variabel tidak bebas KT. Analisis regresi linier

10

sederhana dalam penelitian ini menggunakan IBM SPSS Statistics 21, dengan
model regresi:
Y= α + βX
Keterangan: Y = variabel terikat, X = variabel bebas, α dan β = konstanta
Regresi juga dilakukan dengan menggunakan software Minitab 16 untuk
melihat data observasi lapangan dengan standar residual besar (unusual
observation). Data dengan nilai residual yang tinggi merupakan data pencilan
(Sungkawa 2009). Data tersebut kemudian dikeluarkan agar memenuhi
kenormalan, kemudian dilakukan analisis regresi kembali dengan menggunakan
IBM SPSS Statistics 21. Hasil uji statistik dinyatakan dengan, koefisien
determinan (R2) dan koefisien korelasi (r).

Gambar 3 Diagram alir pembuatan peta Forest Canopy Density
Koefisien determinasi menunjukan seberapa besar variabel bebas memiliki
pengaruh terhadap variabel terikat. Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan
hubungan linier antara variabel bebas dan terikat. Jika nilai koefisien korelasi
mendekati satu (r =1), artinya hubungan antara dua variabel itu kuat (Lu et al.
2002).

11

Validasi Model
Validasi model pendugaan dilakukan dengan pendekatan ketepatan dari
masing-masing model pendugaan. Dilakukan pemisahan 30% data untuk validasi
dan 70% data sisanya untuk membangun model regresi (Wibowo et al. 2010).
Ketepatan model ditunjukan dengan nilai A, dimana semakin kecil presentase
nilai A maka model pendugaan semakin tepat (Muhammad 2014).

Keterangan: A = ketepatan, ȳ = nilai rata-rata dugaan,

= nilai rata-rata aktual

Uji Asumsi Klasik
Model regresi dikatakan baik apabila telah terbebas dari masalah normalitas,
autokorelasi dan heterokedasitas. Terdapat empat asumsi klasik yang harus
terpenuhi yaitu uji normalitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas dan uji
multikolinearitas (Rosadi 2011). Uji multikolinearitas tidak dilakukan pada model
regresi linear sederhana. Uji asumsi klasik dianalisis menggunakan software IBM
SPSS Statistics 21.
Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah residu dari persamaan
regresi berdistribusi normal atau tidak (Ghozali 2009). Uji normalitas
menggunakan Uji Kolmogorov Smirnov (K-S). Data dikatakan terdistribusi
normal bila nilai Asymp. Sig. (2–tailed) ≥ 0.05. Nilai Asymp. Sig. (2–tailed)
diperoleh dari hasil uji statistik (K-S) menggunakan software IBM SPSS
Statistics 21 yang dapat dilihat pada Lampiran 2.
Uji Heterokedasitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
ketidaksamaan varian dan residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang
lain. Penelitian ini menggunakakan Uji Korelasi Pearson dengan hipotesis:
Jika nilai Sig < 0.05 terjadi Heterokedastitas.
Jika nilai Sig > 0.05 tidak terjadi Heterokedastitas.
Nilai Sig diperoleh dari hasil Uji Korelasi Pearson menggunakan software IBM
SPSS Statistics 21 yang dapat dilihat pada Lampiran 2.
Uji Autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model
regresi linear terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada suatu
pengamatan terhadap pengamatan lainnya. Model regresi yang baik seharusnya
tidak terjadi korelasi atau bebas autokorelasi. Pada penelitian ini menggunakan
Uji Durbin–Watson (DW test) dengan hipotesis:
Jika d < dl, berarti terdapat autokorelasi positif.
Jika d > (4 – dl), berarti terdapat autokorelasi negatif.
Jika du < d < (4 – dl), berarti tidak terdapat autokorelasi.
Jika dl < d < du atau (4 – du), berarti tidak dapat disimpulkan.
Nilai d diperoleh dari hasil Uji Durbin–Watson menggunakan software IBM
SPSS Statistics 21 yang dapat dilihat pada Lampiran 2, sedangkan du dan dl
diperoleh dari tabel Durbin–Watson.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Forest Canopy Density
Titik GCP yang terkumpulkan dilapangan untuk membangun model
pendugaan KT dengan FCD terdapat 50 titik sampel. Berdasarkan hasil analisis
menggunakan software Minitab 16, tedapat 1 titik sampel yang merupakan
pencilan, sehingga hanya digunakan 49 titik sampel yang dibagi menjadi dua, 34
titik sampel digunakan untuk membangun model dan 15 titik sampel untuk
validasi model.
Identifikasi hubungan KT dengan FCD di DAS Cidanau dilakukan untuk
untuk menduga KT di lapangan secara tidak langsung dengan membuat model
regresi antara peubah bebas FCD terhadap peubah terikat KT. Nilai peubah bebas
FCD diperoleh dari hasil analisis persentase kerapatan kanopi menggunakan
software FCD Mapper v.2 dalam bentuk peta kerapatan kanopi yang disajikan
pada Gambar 6, 7 dan 8. Hasil regresi KT dengan FCD didapatkan model
pendugaan yaitu KT=(0.865FCD)+186.004. Model pendugaan tersebut memiliki
koefisien determinasi (R2) sebesar 2.10% dan koefisien korelasi (r) sebesar 0.146.
Hasil regresi dapat dilihat pada Gambar 4 dan peta pendugaan kerapatan tegakan
dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Forest Canopy
Density
Koefisien determinasi sebesar 2.10% menunjukan bahwa variabel bebas
FCD memiliki pengaruh sebesar 2.10% terhadap terikat KT dan dipengaruhi
97.9% oleh faktor-faktor lain diluar variabel FCD. Hubungan KT dengan FCD
dikategorikan lemah karena nilai koefisien korelasi tidak mendekati 1. Menurut

13

Lu et al. (2002), hubungan antara dua variabel dikatakan kuat jika memiliki nilai
koefisien mendekati satu (r =1).
Model pendugaan dengan menggunakan persentase kerapatan kanopi hutan
(FCD), belum dapat digunakan untuk menduga KT di lahan PJL DAS Cidanau
karena memiliki koefisien determinasi dan korelasi yang lemah. Kurangnya
pengaruh dan hubungan antara KT dengan FCD setidaknya dipengaruhi oleh tiga
faktor. Pertama, adanya pengaruh keadaan topografi DAS Cidanau yang curam.
Menurut FKDC (2013), secara umum keadaan topografi DAS Cidanau berbentuk
seperti cawan terbuka, dimana bagian tengahnya terhampar dataran yang
dikelilingi oleh bukit-bukit curam. Kedua yaitu adanya variasi bukaan kanopi dari
setiap tegakan tanaman. Variasi bukaan kanopi juga dikemukakan oleh Prasetyo
(2014).

Gambar 5 Peta pendugaan kerapatan tegakan di DAS Cidanau dengan Forest
Canopy Density
Menurut Carolyn et al. (2013) peta FCD hanya menampilkan persentase
kerapatan kanopi, tetapi tidak dapat menampilkan perbedaan kondisi tegakan di
lapangan. Ketiga yaitu adanya dugaan kesenjangan dalam penggunaan Landsat
8 OLI dan TIRS dalam membangun model. FCD mapper digunakan untuk
menganalisis karakteristik pemantulan pada band 1-7 Landsat TM, namun
dalam penelitian ini pembuatan model menggunakan band 2,3,4,5,6,7, dan 10
Landsat 8 OLI dan TIRS. Menurut Tohir (2013), kurangnya pengaruh antara
FCD dengan KT dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah jarak antara
tegakan yang tidak seragam, jenis tegakan yang berbeda dan umur tegakan yang
tidak seragam.

14
14

Gambar 6 Peta Forest Canopy Density tahun 2000

15

Gambar 7 Peta Forest Canopy Density tahun 2005

16

16

Gambar 8 Peta Forest Canopy Density tahun 2013

17
Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Leaf Area Index
Leaf Area Index merupakan presentasi dari penutupan kanopi yang
menutupi areal yang berada di bawah penutupan tajuk yang di proyeksikan secara
vertikal dengan bidang tepat di bawah penutupan tajuk (Djumaher 2003).
Sedangkan Running et al. (1998) mendefinisikan LAI nisbah antara luas daun
dengan luas lahan tegakan yang diproyeksikan tegak lurus terhadap permukaan
tajuk. LAI didapatkan dari hasil analisis hemiphot dengan menggunakan
HemiView Canopy Analysis Software. Hasil foto hemiphot dapat digunakan untuk
menghitung karakteristik tajuk seperti indeks luas daun (Djumhaer 2003). Nilai
LAI memiliki satuan desimal (Tohir 2013).
Titik GCP yang terkumpulkan dilapangan untuk membangun model
pendugaan KT terhadap LAI terdapat 50 titik sampel. Berdasarkan hasil analisis
menggunakan software Minitab 16, tedapat 16 titik yang merupakan pencilan,
sehingga hanya digunakan 34 titik yang dibagi menjadi dua, 24 titik digunakan
untuk membangun model dan 10 titik untuk validasi model.
Identifikasi hubungan KT dengan LAI di DAS Cidanau dilakukan untuk
menduga KT di lapangan dengan membuat model regresi antara peubah bebas
LAI terhadap peubah terikat KT. Dari hasil regresi KT dengan LAI didapatkan
model pendugaan KT=(122.025LAI)+77.706. Hasil regresi KT dengan LAI dapat
dilihat pada Gambar 9. Model pendugaan tersebut memiliki koefisien determinasi
(R2) sebesar 64.60% dan koefisien korelasi (r) sebesar 0.804. Koefisien
determinasi sebesar 64.60% menunjukan bahwa variabel bebas LAI memiliki
pengaruh sebesar 64.60% terhadap terikat KT. Hubungan KT dengan FCD
dikategorikan kuat karena memiliki nilai koefisien korelasi mendekati 1. Sehingga
model pendugaan KT dengan LAI dapat digunakan dengan baik untuk menduga
KT pada lahan PJL di DAS Cidanau.

Gambar 9 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Leaf Area Index

18
Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Basal Area
Basal area merupakan parameter yang menggambarkan kerapatan individu
dalam suatu tegakan pada luasan tertantu. Luas bidang dasar suatu tegakan
berkorelasi dengan kerapatan suatu tegakan (Brack 1999 diacu Kurniawan 2004).
Satuan basal area adalah meter persegi per hektar (m2/ha) (Tohir 2013). Titik
GCP yang terkumpulkan dilapangan untuk membangun model pendugaan KT
terhadap basal area terdapat 50 titik sampel. Berdasarkan hasil analisis
menggunakan software Minitab 16, tedapat 5 titik yang merupakan pencilan,
sehingga hanya digunakan 45 titik yang dibagi menjadi dua, 32 titik digunakan
untuk membangun model dan 13 titik untuk validasi model. Identifikasi hubungan
KT dengan basal area di DAS Cidanau dilakukan untuk untuk menduga KT di
lapangan dengan membuat model regresi antara peubah bebas basal area terhadap
peubah terikat KT. Model regresi antara KT dengan basal area dapat dilihat pada
Gambar 10.

Gambar 10 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Basal Area
Dari hasil regresi KT dengan basal area didapatkan model pendugaan
KT=(29.762Basal area)+37.322. Model pendugaan tersebut memiliki koefisien
determinasi (R2) sebesar 76.60% dan koefisien korelasi (r) sebesar 0.875.
Koefisien determinasi sebesar 76.60% menunjukan bahwa variabel bebas basal
area memiliki pengaruh sebesar 76.60% terhadap variabel terikat KT. Hubungan
KT dengan basal area dikategorikan kuat karena memiliki nilai koefisien korelasi
mendekati 1. Dengan demikian model pendugaan KT=(29.762Basal area)+37.322
dapat digunakan untuk menduga KT pada lahan PJL di DAS Cidanau. Hal yang
sama juga telah dikemukakan oleh Hardjosoediro (1974), bahwa kerapatan pohon
dapat diketahui melalui besarnya basal area.

19
Kondisi Kerapatan Kanopi Di Lahan Pembayaran Jasa Lingkungan
Pemetaan FCD dilakukan untuk mengetahui kondisi kerapatan kanopi di
lahan PJL KTH Alam Lestari Mandalawangi dan KTH Karya Muda II Ciomas.
Klasifikasi FCD dilakukan terhadap tiga waktu berbeda yakni tahun 2000 (periode
sebelum pelaksanaan PJL), tahun 2005 (periode dimulainya pelaksanaan PJL) dan
tahun 2013 (periode setelah mengikuti PJL) yang disajiakan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Kondisi kerapatan kanopi di lahan Pembayaran Jasa Lingkungan
Rata-rata
Kerapatan Kerapatan Kerapatan
Kelompok Tani Hutan
kanopi
kanopi
kanopi
Desa
(KTH)
(FCD)
(FCD)
(FCD)
tahun
tahun
tahun
2000
2005
2013
Alam Lestari
Cikumbuen Mandalawangi
58%
73%
75%
Citaman
Karya Muda II Ciomas
42%
69%
79%
Carolyn et al. (2013) membagi 4 kelas kerapatan tajuk dengan kategori non
hutan (kerapatan tajuk 0-10%), kerapatan rendah (11-30%), kerapatan sedang (3150%), dan kerapatan tinggi (51-100%). Hasil klasifikasi FCD pada lokasi
penelitian menunjukan bahwa KTH Alam Lestari Mandalawangi masuk kedalam
kategori kerapatan tinggi, sedangkan KTH Karya Muda II Ciomas masuk kedalam
kategori kerapatan sedang sebelum adanya PJL. Saat PJL dimulai pada tahun
2005, kedua KTH memiliki persentase kerapatan yang tinggi yaitu 73% di KTH
Alam Lestari Mandalawangi dan 69% di KTH Alam Lestari Mandalawangi.
Hal ini mengindikasikan bahwa kedua KTH melakukan penanaman di setiap
lahan guna memenuhi persyaratan PJL. Dan persentase kerapatan kanopi di dua
KTH semakin meningkat setelah periode PJL. Hal ini menunjukan bahwa
tanaman yang mati atau ditebang, sudah tergantikan dengan tanaman baru yang
ditanam oleh penyedia jasa di kedua KTH.

Implikasi Model
Model pendugaan terbaik dalam menduga KT adalah dengan model
pendugaan KT=(122.025LAI)+77.706, dengan koefisien determinasi 64.60% dan
koefisien korelasi 0.804 (Tabel 4). Variabel LAI memiliki pengaruh dan
hubungan yang kuat dengan KT. Berdasarkan hasil validasi model dengan
pendekatan nilai ketepatan, model pendugaan KT dengan LAI memiliki nilai
ketepatan yang tinggi (0.7) karena mendekati nilai satu. Hasil validasi model
dapat dilihat pada Tabel 5. Ketepatan mendekati nilai satu menjelaskan bahwa
model memiliki kesamaan atau kedekatan dengan angka atau data yang
sebenarnya. Model pendugaan KT=(122.025LAI)+77.706 dapat digunakan
sebagai metode baru yang mampu menduga jumlah tegakan per hektar pada lahan
PJL di DAS Cidanau dengan lebih efisien.

20
Tabel 4 Model pendugaan kerapatan tegakan
Variabel
terikat (Y)
Kerapatan
Tegakan
Kerapatan
Tegakan
Kerapatan
Tegakan

Variabel
bebas (X)

Model

Forest
Canopy
KT=(0.865FCD)+186.004
Density
Leaf Area
KT=(122.025LAI)+77.706
Index
Basal area KT=(29.762Basal area)+37.322

r

(R²)

0.146

2.10%

0.804

64.60%

0.875

76.60%

Tabel 5 Hasil validasi model pendugaan kerapatan tegakan
Variabel
Variabel
Model
Ketepatan
terikat (Y)
bebas (X)
Kerapatan
FCD
KT=(0.865FCD)+186.004
Tegakan
1.2 %
Kerapatan
LAI
KT=(122.025LAI)+77.706
0.7 %
Tegakan
Kerapatan
Basal area KT=(29.762Basal area)+37.322
Tegakan
8.2 %
Uji Asumsi Klasik
Hasil uji asumsi klasik menunjukan bahwa ketiga model dapat dikatakan
baik karena telah terbebas dari masalah normalitas, autokorelasi dan
heterokedasitas (Tabel 6). Uji Normalitas menunjukan bahwa ketiga model
memiliki distribusi residu normal. Uji Heterokedasitas menunjukan bahwa ketiga
model memiliki kesamaan varian dan residual dari satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Uji Autokorelasi menunjukan bahwa ketiga model
memiliki korelasi antara kesalahan pengganggu pada suatu pengamatan terhadap
pengamatan lainnya.
Tabel 6 Hasil uji asumsi klasik
Uji
Uji
Model
Normalit
Heterokedasitas
as (K-S)
(Uji Pearson)
0.205
0.911
KT=(0.865FCD)+186.004
(Tidak terjadi
(Normal)
Heterokedastitas)
0.08
0.856
KT=(122.025LAI)+77.706
(Tidak terjadi
(Normal)
Heterokedastitas)
0.117
0.858
KT=(29.762Basal area)+37.322
(Tidak terjadi
(Normal)
Heterokedastitas)

Uji
Autokorelasi
(DW)
1.661
(Bebas
autokol )
1.463
(Bebas
autokol )
2.017
(Bebas
autokol )

21

Dugaan Kerapatan Tegakan pada Lahan Pembayaran Jasa Lingkungan dan
Non Pembayaran Jasa Lingkungan
Tahap pemantauan dan evaluasi adalah kegiatan periode paska kontrak,
dimana kegiatan dititikberatkan pada proses pemantauan dan evaluasi (Pasha et al.
2010). Menurut van Noordwijk et al. (2004), PJL menjembatani tujuan konservasi
dan pengentasan kemiskinan, sehingga terdapat dua cara pemantauan dan evaluasi
yang dapat dilakukan pada pelaksanaan PJL di DAS Cidanau, yaitu (1)
pemantauan dan evaluasi kegiatan konservasi dan (2) pemantauan dan evaluasi
tingkat kesejahteraan. Hayati et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi peningkatan
kesejahteraan pada penyedia jasa setelah adanya PJL sebesar 2.01%, namun
peningkatan tersebut masih menempatkan penyedia jasa dalam kategori
kesenjangan tinggi. Pemantauan dan evaluasi kegiatan konservasi dapat dilakukan
dengan pemantauan jumlah tegakan per lahan per hektar. Pemantauan jumlah
tegakan, baik dilakukan dengan menggunakan model pendekatan
KT=(122.025LAI)+77.706. Hasil dugaan KT dengan LAI pada lahan Pembayaran
Jasa Lingkungan dan Non pembayaran Jasa Lingkungan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil dugaan Kerapatan Tegakan pada lahan Pembayaran Jasa
Lingkungan dan Non Pembayaran Jasa Lingkungan
Leaf Area Index
Status
PJL
PJL
Non
PJL

Desa
Cikumbuen
Citaman
Kadu
Kempong

Min

Maks

1.674
1.456

5.317
3.173

1.026

2.938

KT (Ind/ha)
Ratarata
2.458
2.286
2.037

Min

Maks

282
255

727
465

Ratarata
378
357

203

436

326

Hasil pendugaan menunjukan bahwa lahan PJL (KTH Karya Muda II
Ciomas dan KTH Alam Lestari Mandalawangi) memiliki nilai kerapatan tegakan
rata-rata yang lebih tinggi dari pada kerapatan tegakan rata-rata pada lahan non
PJL (KTH Cibunar Padarincang). Pelaksaan PJL mampu mendorong KTH untuk
melakukan konservasi tegakan. PJL di DAS Cidanau dikatakan cukup berhasil
dalam efektifitas konservasi tegakan karena mampu mempertahankan dan
menambah jumlah tegakan lebih baik dibandingan pada pada lahan Non PJL.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.

Model pendugaan kerapatan tegakan dengan forest canopy density di DAS
Cidanau belum dapat digunakan untuk memantau kerapatan tegakan di
lahan Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau dengan baik. Model
pendugaan kerapatan tegakan dengan leaf area index dan basal area dapat
digunakan dengan baik untuk menduga kerapatan tegakan pada lahan
Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau. Model tebaik dengan

22

2.

3.

ketepatan yang tinggi yaitu model pendugaan kerapatan tegakan dengan leaf
area index.
Kondisi kerapatan kanopi periode sebelum pelaksanaan Pembayaran Jasa
Lingkungan KTH Karya Muda II Ciomas dan KTH Alam Lestari
Mandalawangi masuk kedalam kategori kerapatan sedang dan tinggi. Saat
Pembayaran Jasa Lingkungan dimulai pada tahun 2005, KTH Karya Muda
II Ciomas dan KTH Alam Lestari Mandalawangi memiliki persentase
kerapatan yang tinggi. Persentase kerapatan kanopi di dua KTH semakin
meningkat setelah periode Pembayaran Jasa Lingkungan. Hal ini
menunjukan bahwa pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan mampu
untuk mendorong masyarakat untuk melakukan konservasi tegakan
dilahannya.
Terdapat lahan yang lebih dan kurang dari 500 (lima ratus) batang per
hektar di lahan Pembayaran Jasa Lingkungan, tetapi lahan Pembayaran Jasa
Lingkungan memiliki nilai kerapatan tegakan rata-rata yang lebih tinggi dari
pada kerapatan tegakan rata-rata pada lahan Non PJL.

Saran
1.
2.
3.
4.

Perlu dilakukan koreksi topografi (topographic correction) pada citra
landsat sebelum melakukan analisis menggunakan software FCD mapper.
Perlu dilakukan pengaplikasian model pendugaan kerapatan tegakan dengan
leaf area index pada lahan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau.
Perlu kajian mengenai penggunaan Landsat 8 OLI dan TIRS dalam
penggunaan software FCD mapper.
Perlu kajian-kajian lain terkait model pendugaan kerapatan tegakan dengan
Remote Sensing.

DAFTAR PUSTAKA
[FKDC] Forum Komunikasi DAS Cidanau Provinsi Banten. 2013. Menuju
Pengelolaan Terpadu DAS Cidanau. Serang (ID): FKDC.
[JOFCA] Japan Overseas Forestry Consultants Association . 2003. FCD-Mapper
Ver. 2. User Guide. Yokohama (JP): International Tropical Timber
Organisationand Japan Overseas Forestry Consultants Association.
[RUPES] Rewards For Use Of And Shared Invesment In Pro-Poor Environmental
Service). 2005. Gagas Kebijakan Konsep Jasa Lingkungan dan
Pembayaran Jasa Lingkungan di Indonesia. Bogor (ID): World
Agroforestry Center ICRAF Southeast Asia Regional Office.
Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta
(ID): Gajah Mada University Press.
Carolyn RD, Baskoro DPT, Prasetyo LB. 2013. Analisis degradasi untuk
penyusunan arahan strategi pengendaliannya di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak Provinsi Jawa Barat. Globe. 15(1): 39-47.

23

Chen JM, and TA Black. 1992. Defining leaf area index for non-flat leaves.
Plant, Cell and Environment. 15:421-429.
Djumaher M. 2003. Pendugaan leaf area index dan basal area menggunakan
landsat 7 ETM+ [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fahrizal A. 2009. Analisis nilai ekonomi lahan sebagai informasi bagi upaya
peningkatan nilai pembayaran jasa lingkungan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Ghozali I. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS Edisi ke4.
Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Hardjosoediro S. 1974. Kelas Hutan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pembina
Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Hayati GG, Sariyoga S. 2009. Analisis Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan
Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Dan Perkembangan
Komoditi Agribisnis. Serang (ID): Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Huang D, Yang W, Tan B, Rautiainen M. Zhang P. 2006. The importance of
measurement errors for deriving accurate reference leaf area index maps
for validation of moderateoresolution satellite LAI products. J. IEEE
Transactions On Geoscience and Remote Sensing. 44:1866-1871.
Kurniawan A. 2004. Penggunaan teknologi penginderaan jauh dalam pendugaan
basal area dan kerapatan tegakan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Lang ARG. 1991. Application of some of cauchy’s theorems to estimation of
surface areas of leaves, needles and branches of plants, and light
transmittance. Agric. For. Meteorol. 55:191-212.
Leimona B, Munawir, Ahmad NR. 2011. Gagasan Kebijakan Konsep Jasa
Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan di Indonesia. Bogor:
RUPES-ICRAF.
Lu D, Mausel P, Brondizio E, Moran E. 2002. Aboveground Biomass Estimation
of Successional and Mature Forests Using TM Images in the Amazon
Basin. USA (US): Center for the study of instutions, population and
environmental change (CIPEC), Indiana University.
Muhammad A. 2014. Pemetaan perubahan forest canopy density di KPH
Kuningan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nugroho S, Surati IN, Saleh MB, Wijanarto AB. 2011. Kajian metode deteksi
degradasi hutan menggunakan citra satelit landsat di hutan lahan kering
taman nasional halimun salak. Jurnal Teknosains. 1(1):1-69.
Prasetyo R. 2014. Karakteristik habitat