Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai Cidanau Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Citaman, Serang

(1)

DAMPAK PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU

TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

DESA CITAMAN, SERANG

HAMDANI PRAMONO

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai Cidanau Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Citaman, Serang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013 Hamdani Pramono NIM I34090116


(4)

ABSTRAK

HAMDANI PRAMONO. Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai Cidanau Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Citaman, Serang. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO.

Skema pembayaran jasa lingkungan (PJL) merupakan suatu kelembagaan sosial, yang mengatur hubungan antara masyarakat Desa Citaman sebagai penyedia jasa lingkungan, dan PT. KTI sebagai pembayar jasa lingkungan. Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak PJL terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan menganalisis manfaat yang diterima pembayar jasa di wilayah hilir akibat hadir skema PJL.Hasil penelitian menunjukkan adanya dampak positif yang disebabkan oleh PJL. Pertama, PJL berdampak positif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, dilihat dari segi peran serta masyarakat dalam skema PJL, partisipasi masyarakat dalam pengorganisasian Kelompok Tani Hutan, meningkatnya pendapatan, terbentuknya beragam pola nafkah, serta adanya insentif yang diterima masyarakat. Kedua, skema PJL belum mampu memberikan manfaat bagi pembayar jasa di wilayah hilir ditinjau dari aspek ekologi, khususnya dari segi kontinuitas dan fluktuasi debit air.Manfaat tersebut baru dapat diperoleh bila lembaga PJL berlangsung lebih lama, dan menjangkau wilayah yang lebih luas.

Kata Kunci: Pembayaran jasa lingkungan, sosial-ekonomi, dan ekologi

ABSTRACT

HAMDANI PRAMONO.The Impact of Payment for Environmental Services of the Cidanau Watershed to the Socio-Economic Conditions of Citaman Village’s Community, Serang. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO.

Payment for environmental services (PES) is a social institution that organizes the relationship between Citaman Village’s farmers as a provider of environmental services, and PT. KTI as the payer of environmental services.The objectives of this study are to analyze the impact of PES on the socio-economic conditions of the Citaman’s farmers, and to analyze benefits that received by the payer of environmental service i.e. PT KTI. The results show that, first, PES creates positive impact to the socio-economic conditions ofCitaman’s farmers, such aspositive engagement of the farmers community to the PJL scheme, active participation of the Forest’s Farmer Group, increase farmer incomes, creates newlivelihood formations,as well asincentives received by the farmers. Second, so far, from the ecological point of view, PES has not able to provide benefits for payer of the environmental servicse, particularly seeing from the water continuation and fluctuation. However, it is expected that the payer could gained the ecological benefits of PES if the schemecould work in a more longer and vast area than present.


(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DAMPAK PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU

TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

DESA CITAMAN, SERANG

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(6)

(7)

Judul Skripsi: Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai Cidanau Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Citaman, Serang

Nama : Hamdani Pramono NIM : I34090116

Disetujui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Pembimbing

1

9 JUL

L

j


(8)

Judul Skripsi : Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai Cidanau Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Citaman, Serang

Nama : Hamdani Pramono NIM : I34090116

Disetujui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan anugerah-Nya kepada penulis sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Penulisan karya tulis ini dimulai sejak bulan Mei 2013 sampai Juni 2013 dengan judul Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai Cidanau Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Citaman, Kabupaten Serang.

Ucapan terimakasih penulis hantarkan kepada keluarga tercinta, Bapak Miftah, Ibu Pudji Astuti, Laili Purnamasari dan Rachman Triaji yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada penulis selama penulis mengerjakan tugas skripsi ini. Ucapan terimakasih tidak lupa penulis sampaikan kepada Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan saran, kritik, motivasi, dan perhatiannya selama penulisan skripsi ini dilakukan. Penulis juga ingin berterimakasih kepada masyarakat Desa Citaman, Kabupaten Serang khususnya seluruh anggota kelompok tani hutan (KTH) Karya Muda II yang telah membantu kelancaran penelitian ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dinas Kehutanan dan Pertanian Provinsi Banten, khususnya Bapak Utang, PT. Krakatau Tirta Industri, Forum Komunikasi DAS Cidanau dan Kepala Desa Citaman beserta jajarannya yang telah memudahkan birokrasi serta bersedia memberikan data yang dibutuhkan pada penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada keluarga tercinta, Bapak Miftah, Ibu Pudji Astuti, Laili Purnamasari dan Rachman Triaji yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada penulis selama penulis mengerjakan tugas skripsi ini.

Terima kasih kepada teman-teman SKPM angkatan 46 yang memberikan dukungan kepada penulis, khususnya Zakiyah Rasyidh, Indra Setyadi, Endah Puri Astianti, Anandita Rostu Prasetya serta semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan, dan kerja samanya selama ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Penulis menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak kesalahan, untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

Bogor, Juli 2013 Hamdani Pramono


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 5

Definisi dan Prinsip Pembayaran Jasa Lingkungan 5

Jenis-jenis Jasa Lingkungan 5

Proses Sosial 8

Tingkat Pendapatan Rumah Tangga 9

Pola Nafkah 9

Kerangka Pemikiran 11

Hipotesis Penelitian 12

Definisi Konseptual 12

Definisi Operasional 12

PENDEKATAN LAPANGAN 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Teknik Pengumpulan Data 15

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18

Kondisi Geografis 18

Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian 18

Sarana dan Prasarana 19

Kondisi Sosial Masyarakat Desa Citaman 19

Karakteristik Responden 20

SKEMA PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DAS CIDANAU

23

Sejarah Singkat PJL DAS Cidanau 23

Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Sebagai Suatu Kelembagaan 26

Insentif Pembayaran Jasa Lingkungan 27

DAMPAK PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

30

Peran Serta Masyarakat Hulu Desa Citaman 30

Partisipasi Masyarakat 32

Profesi Responden Desa Citaman 33

Pola Nafkah Rumah Tangga Petani Hutan 37

Perubahan Tingkat Pendapatan 40


(11)

DAMPAK PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN TERHADAP KONDISI EKOLOGI MASYARAKAT DI WILAYAH HILIR

43

Fluktuasi Debit Air 43

Kontinuitas Debit Air 45

Ikhtisar 45

PENUTUP 47

Simpulan 47

Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 49

LAMPIRAN 52


(12)

DAFTAR TABEL

1 Beberapa kawasan konservasi penyedia jasa lingkungan air di Indonesia

7

2 Metode pengambilan data 16

3 Jumlah dan persentase usia responden Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Banten, Banten tahun 2013

20 4 Jumlah dan persentase responden Desa Citaman, Banten

menurut tingkat pendidikan tahun 2013

21 5 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan

dalam rumah tangga Desa Citaman tahun 2013

21 6 Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan yang

dimiliki rumah tangga desa Citaman tahun 2013

22 7 Jumlah dan persentase responden menurut indikator peran serta

dalam skema pembayaran jasa lingkungan

28 8 Jumlah dan persentase responden menurut indikator insentif dari

pengguna jasa air dalam skema pembayaran jasa lingkungan tahun 2013

32 9 Jumlah dan persentase responden Kelompok Tani Hutan (KTH)

Karya Muda II berdasarkan partisipasinya dalam skema PJL di Desa Citaman tahun 2013

33 10 Jenis lapangan pekerjaan dan profesi responden rumah tangga

petani hutan Desa Citaman tahun 2004 dan tahun 2013

37 11 Jumlah rumah tangga responden menurut aneka strategi nafkah

tahun 2004 dan tahun 2013

38 12 Besar pendapatan responden menurut aneka strategi nafkah

rumah tangga Desa Citaman tahun 2004

39 13 Besar pendapatan responden menurut aneka strategi nafkah

rumah tangga Desa Citaman tahun 2013

40 14 Perbandingan kategori pendapatan rumah tangga responden

sebelum skema PJL dan sesudah skema PJL

41 15 Data debit air DAS Cidanau menurut pengamatan pos Kampung

Penggilingan tahun 2004-2012


(13)

DAFTAR GAMBAR

1 Prinsip pembayaran jasa lingkungan 5

2 Kerangka pemikiran 11

3 Peta lokasi PJL 24

4 Grafik rasio debit air tahun 2004-2012 44

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta pemukiman Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang

52 2 Daftar rumahtangga peserta skema pembayaran jasa lingkungan

(PJL) Desa Citaman, Serang

53

3 Kuesioner 54

4 Peta Blok Kajaroan, lokasi skema pembayaran jasa lingkungan di Desa Citaman, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

60 5 Berbagai hal terkait pembayaran jasa lingkungan 61 6 Perjanjian skema pembayaran jasa lingkungan 63


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. DAS juga dipandang sebagai sistem alam yang menjadi tempat berlangsungnya proses kehidupan berbagai macam hewan maupun tumbuhan, serta kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Meningkatnya kebutuhan akan keberadaan DAS menyebabkan berubahnya kondisi alam di wilayah DAS.

Undang-undang No. 7 Tahun 2004 mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Permasalahan yang umumnya terjadi di sepanjang DAS diantaranya penurunan kualitas air akibat pencemaran, berkurangnya debit air sungai serta tingginya tingkat sedimentasi. Aktivitas penebangan hutan yang dilakukan oleh beberapa pihak di wilayah hulu, turut memperburuk kualitas air di sepanjang DAS.

Kesadaran masyarakat di wilayah hulu maupun hilir akan pentingnya menjaga aliran sungai turut mempengaruhi kondisi suatu DAS. Kesadaran tersebut dipengaruhi juga oleh kondisi sosial ekonomi mereka. Hakikatnya, perubahan yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak pada sistem tata air yang mengalir pada daerah hilir, termasuk pada baik ataupun buruknya kondisi suatu DAS. Kondisi DAS yang buruk, selain berpengaruh terhadap berkurangnya ketersediaan air bersih bagi masyarakat juga mengancam berbagai habitat makhluk hidup yang terdapat di sepanjang daerah aliran sungai. Di sisi lain, kondisi DAS yang baik akan menjaga ketersediaan air serta mengurangi potensi bencana yang terjadi di wilayah DAS.

Perlu pengelolaan yang tepat serta pemanfaatan yang bijak agar kondisi DAS tetap terjaga dengan baik. Selain itu, perlindungan terhadap sistem tata air maupun ekosistem hutan tidak dapat dilakukan sendiri oleh pihak pemerintah. Perlu peran aktif masyarakat, baik itu masyarakat di wilayah hulu maupun hilir agar kondisi DAS dapat terjaga dengan baik. Alih fungsi lahan yang tidak ditangani secara serius, berpotensi meningkatkan timbulnya bencana alam, baik itu banjir ataupun longsor yang mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di sekitar aliran DAS.

Dinas Kehutanan (2007) dikutip oleh Suryanto (2013) menyatakan bahwa DAS di Indonesia berjumlah 458, dimana 60 diantaranya dalam kondisi kritis berat, 222 kritis dan 176 lainnya berpotensi kritis akibat alih fungsi lahan yang mengganggu daerah penyangga lingkungan. Alih fungsi lahan yang tidak ditangani secara serius, berpotensi meningkatkan timbulnya bencana alam, baik itu banjir ataupun longsor yang mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di sekitar aliran DAS.


(15)

2

DAS Cidanau merupakan DAS yang terletak di wilayah provinsi Banten dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air. DAS Cidanau tersusun lebih kurang 18 Sub DAS dengan debit air mencapai 2.590 liter/detik. Sekitar 1.690 liter/detik digunakan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat dan dunia industri di daerah Cilegon.

Rekonvashi Bumi (2009) menyatakan bahwa luas lahan kritis yang terdapat di wilayah DAS Cidanau sebesar 4.315,97 Ha, dengan tingkat erosi rata-rata mencapai 71.034,40 ton/tahun. Tingkat sedimentasi yang terjadi di wilayah DAS Cidanau diperkirakan mencapai 75,68 cm/tahun. Bertambahnya luas lahan kritis dan semakin tingginya tingkat sedimentasi menyebabkan timbulnya kekhawatiran masyarakat dan pemerintah akan potensi bencana alam yang dapat terjadi tiba-tiba.

Dibutuhkan suatu skema yang dapat dijadikan sistem pengelolaan dan sumber pendanaan baru dalam pengelolaan DAS, berupa kerjasama antar komponen yang saling mempengaruhi, yang melibatkan masyarakat hulu dan hilir berdasarkan konsep yang memenangkan kedua belah pihak. Skema yang dapat diadopsi dalam pengelolaan DAS adalah skema pembayaran jasa lingkungan (PJL). Wunder et al. (2005) membagi produk jasa lingkungan menjadi empat kategori, yaitu perlindungan daerah aliran sungai, jasa perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, penyerap dan penyimpan karbon, serta jasa penyedia keindahan bentang alam.

Wunder et al. (2005) menyatakan PJL merupakan sebuah transaksi sukarela dengan kerangka kerja yang dinegosiasikan, dimana terdapat jasa lingkungan yang dapat terukur atau adanya penggunaan lahan untuk memelihara jasa lingkungan yang dikandungnya, yang kemudian jasa lingkungan tersebut dibeli oleh minimal satu pembeli dari minimal satu penyedia jasa lingkungan, jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan memelihara keberlangsungan jasa lingkungan yang diperjualbelikan tersebut sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan saat negosiasi. Skema PJL dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Skema PJL umumnya ditujukan untuk membangun kemitraan guna mendukung upaya konservasi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah kawasan hulu.

Pembayaran jasa lingkungan (PJL) merupakan suatu paradigm baru dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam upaya konservasi yang menetapkan adanya pemberian kompensasi secara langsung dari pihak penerima jasa lingkungan kepada pihak penyedia jasa lingkungan. Adhikari (2009) menyatakan pembayaran jasa lingkungan merupakan suatu pendekatan baru dalam pengelolaan sumberdaya alam, dimana upaya pengelolaan sumberdaya alam disusun berdasarkan manfaat pribadi dan manfaat sosial, baik berupa eksternalitas maupun internalitas ekologi ataupun upaya diversifikasi dalam pendanaan konservasi agar menimbulkan ketertarikan pada pihak pengguna lahan untuk terlibat dalam upaya konservasi tersebut. Oleh karenanya, PJL merupakan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang menggunakan instrument pasar ekonomi sebagai pendekatannya. (market-based approaches).

LPM Equator (2011) mengungkapkan bahwa skema PJL secara tidak langsung memberikan kesempatan pekerjaan kepada masyarakat pedesaan melalui beragam kegiatan yang ada dalam skema PJL itu sendiri. Masyarakat diberikan


(16)

3 kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan alternatif setelah pelaksanaan skema PJL, dimana sebelum memperoleh skema PJL, mereka merambah kawasan hutan untuk bertahan hidup. Cara bertahan hidup masyarakat seperti itulah yang menyebabkan terjadinya degradasi di wilayah hutan dan kerusakan lingkungan di wilayah daerah aliran sungai (DAS).

Masalah Penelitian

Desa Citaman terletak di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Desa Citaman merupakan salah satu desa yang menjadi kawasan penerima dana insentif Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) di Provinsi Banten. Pemberian dana insentif tersebut dilakukan karena Desa Citaman merupakan salah satu daerah resapan air yang terletak di kawasan hulu DAS Cidanau. Disamping itu, pemberian dana insentif PJL kepada masyarakat merupakan salah satu upaya untuk mengajak masyarakat agar melakukan kegiatan konservasi di lahan hutan milik mereka. Pemberian dana insentif PJL telah berlangsung sejak tahun 2005. Komponen penting dari skema ini adalah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi hutan di wilayah hulu DAS Cidanau dan sebagai imbalannya masyarakat akan diberikan dana insentif sebesar Rp 1.200.000/hektar/tahun. Tentunya, pelaksanaan skema PJL secara tidak langsung berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah hulu sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat di wilayah hilir, dilihat dari pola nafkah yang dilakukan masyarakat, tingkat kerjasama antar masyarakat dalam menjaga kawasan hutan, berubahnya tingkat pendapatan masyarakat penerima dana insentif PJL serta terlihat dari fluktuasi maupun kontinuitas debit air di wilayah hilir. Terkait dengan kondisi tersebut, rumusan masalah yang akan diangkat dalam proposal penelitian ini diantaranya adalah:

1. Sejauh mana skema pembayaran jasa lingkungan berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat?

2. Sejauh mana skema pembayaran jasa lingkungan bermanfaat bagi masyarakat yang berada di wilayah hilir?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis dampak skema pembayaran jasa lingkungan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.

2. Menganalisis manfaat yang diterima masyarakat di wilayah hilir setelah penerapan skema pembayaran jasa lingkungan

Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Bagi akademisi, tulisan ini dapat dijadikan bahan referensi dalam melakukan penelitian mengenai dampak pembayaran jasa lingkungan terhadap masyarakat di wilayah hulu dan masyarakat penerima manfaat di wilayah hilir.


(17)

4

2. Bagi pemerintah dapat dijadikan sebagai masukan dalam membuat kebijakan terkait dengan skema pembayaran jasa lingkungan.

3. Bagi swasta, penelitian ini diharapkan membantu pihak swasta dalam menetapkan nilai jasa lingkungan yang dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.

4. Bagi masyarakat, penelitian ini menambah pengetahuan tentang skema pembayaran jasa lingkungan dan dampaknya terhadap kondisi sosial ekonomi mereka serta manfaat yang dierima oleh masyarakat di wilayah hilir.


(18)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Prinsip Pembayaran Jasa Lingkungan

Rekonvasi Bhumi (2009) mendefinisikan jasa lingkungan sebagai produk sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berupa manfaat langsung dan tidak langsung yang meliputi antara lain jasa wisata alam/rekreasi, jasa perlindungan tata air/hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan, keanekaragaman hayati, penyerapan dan penyimpanan karbon. Wunder et al. (2005) menggambarkan lima kriteria dalam prinsip pembayaran jasa lingkungan, yaitu:

1. PJL memiliki konsep sukarela. Hal ini mensyaratkan bahwa penyedia potensial benar-benar memiliki pilihan dalam penggunaan lahan, walaupun tidak pada setiap kasus.

2. Jasa yang dibeli harus didefinisikan dengan baik, artinya jasa lingkungan dapat dibuktikan secara ilmiah.

3. Terdapat minimum satu pembeli jasa 4. Terdapat minimum satu penyedia jasa.

5. Pembayaran oleh pengguna jasa yang bergantung pada keberlanjutan penyediaan jasa.

Gambar 1. Prinsip pembayaran jasa lingkungan

Sumber: Wunder et al. (2005)

Gouyon (2004) dalam Cahyono dan Suyanto (2006), membagi imbalan berkaitan dengan pembayaran jasa lingkungan dalam tiga kategori yaitu :

1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas pertukaran suatu perubahan tata guna lahan.

2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan.

3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik.

Jenis-jenis Jasa Lingkungan

Wunder et al. (2005), membagi jenis-jenis jasa lingkungan dalam empat kategori, yaitu:

1. Penyerap dan penyimpanan karbon (carbon sequestration and storage) 2. Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection)


(19)

6

4. Keindahan bentang alam (landscape beauty)

Jasa lingkungan penyerapan karbon (carbon sequestration) merupakan jasa lingkungan yang bertujuan menyimpan karbon dioksida agar tidak lepas ke atmosfir. Forest Trend (2008) mengemukakan kegiatan-kegiatan (PJL) dari jasa penyerapan karbon (carbon sequestration), diantaranya:

1. Pencegahan penggundulan hutan.

2. Reforestasi lahan, terutama di kawasan tropis.

3. Mengurangi pencemaran methan, terutama dari lahan pertanian.

4. Implementasi konservasi pengolahan lahan pertanian untuk meminimalisasi pelepasan karbon dari tanah

5. Menghindari kegiatan yang meningkatkan keasaman dan pemanasan laut. Jasa lingkungan berupa perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection) merupakan salah satu skema PJL yang banyak diminati, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Skema PJL dalam bentuk perlindungan keanekaragaman hayati bisa dalam bentuk penyediaan pemanfaatan lahan tertentu untuk melindungi spesies, ekosistem ataupun berbagai koleksi genetik yang ada di wilayah tersebut. Landell-Mills dan Porras (2002) dalam LPM Equator (2011) menyebutkan kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam jasa perlindungan keanekaragaman hayati, diantaranya:

1. Kawasan konservasi laut serta kawasan hutan lindung. 2. Hak bioprospecting.

3. Produk biodiversity yang ramah lingkungan. 4. Kontrak pengelolaan biodiversitas.

5. Ekoturisme.

Jasa lingkungan keindahan bentang alam (landscape beauty) merupakan jasa lingkungan yang ditujukan menjaga, mempertahankan serta melindungi sumberdaya alam yang dapat dinikmati keindahan serta fungsinya dalam ekosistem di kawasan pariwisata. LPM Equator (2011) memaparkan beberapa bentuk kegiatan jasa perlindungan keanekaragaman hayati, diantaranya:

1. Membangun sistem nasional maupun lokal untuk kawasan konservasi hutan, laut serta taman nasional.

2. Membangun sistem untuk melindungi, mempertahakan dan menjaga kawasan yang memiliki nilai historis penting.

3. Membangun sistem tata ruang kawasan pariwisata yang berwawasan lingkungan.

4. Mengembangkan sertifikasi kawasan pariwisata (green tourism).

Pagiola et al. (2002) dalam LPM Equator (2011) mengemukakan bentuk jasa perlindungan daerah aliran sungai (watershed protection), diantaranya:

1. Pengaturan aliran air (water flow), pemeliharaan aliran musim kering dan mengontrol banjir.

2. Pemeliharaan kualitas air, meminimalisir beban endapan (sediment load), beban nutrient (misalnya, phosphorous dan nitrogen), beban kimia, dan kadar garam.

3. Kontrol terhadap erosi tanah dan sedimentasi.

4. Penurunan salinitas tanah atau pengaturan level air tanah. 5. Pemeliharaan habitat akuatik.

Asdak (2004) menyatakan bahwa debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai persatuan


(20)

7 waktu. Asdak (2004) serta Kodoatie dan Sjarief (2005) dalam Tampubolon (2009) menyatakan bahwa dalam mengukur keberhasilan pengelolaan suatu DAS, dapat dilihat beberapa faktor ekologi, diantaranya:

1. Kuantitas air. Pada umumnya kuantitas air sangat berkaitan dengan jumlah curah huan, kondisi penutup dan tata guna lahan.

2. Kualitas air. Kualitas air dalam DAS dipengaruhi oleh penutup lahan, limbah domestik, limbah industry, kegiatan pertanian, serta kualitas air sungai, waduk maupun sumur.

3. Perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Kondisi ini menandai kemampuan DAS dalam menyimpan air (saat musim hujan) dan mengalirkannya secara terus menerus (kontinu) walaupun musim kemarau dengan fluktuasi debit yang kecil. Kemampuan lahan menyimpan air sangat tergantung pada kondisi dan distribusi penutupan lahan serta tanah. Berikut ini beberapa contoh penerapan jasa perlindungan daerah aliran sungai (DAS) yang berlangsung di Indonesia:

Tabel 1 Beberapa kawasan konservasi penyedia jasa lingkungan air

No Lokasi Tipe Pemanfaatan Konsumen

1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Regulasi/ pengaturan Air dan Supply Air

Masyarakat Bogor, Sukabumi, Lebak dan Jakarta

2 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Supply Air PDAM, masyarakat dan swasta

3 Taman Nasional Ciremai

Regulasi Air untuk pertanian, perikanan, air minum dan industry

PDAM, masyarakat dan swasta

4 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Supply air untuk dam Masyarakat, PDAM, hotel

5 Taman Nasional Baluran

Regulasi Air Perusahaan botol air minum, hotel dan masyarakat 6 Taman Nasional

Gunung Leuser

Regulasi Air Masyarakat

7 Taman Nasional Danau Sentarum

Regulasi Air Masyarakat

8 Taman Nasional Rinjani

Regulasi Air Masyarakat

9 Taman Nasional Bukit Tiga Pulu

Regulasi Air Masyarakat

10 Taman Nasional Bukit Beka Bukit Raya

Regulasi Air Masyarakat

Sumber: Midora & Anggraeni (2006)

Oleh karena itu, sangat penting melihat keberhasilan implementasi skema pembayaran jasa lingkungan dengan membandingkan debit aliran sungai saat posisi maksimum maupun minimum. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sampurno dalam Talkurputra (1979), dimana kesegaran hutan di wilayah hulu akan


(21)

8

berpengaruh terhadap kondisi di wilayah hilir, yaitu tidak terjadinya pendangkalan sungai secara cepat, berkurangnya banjir, cukupnya air tanah dan air permukaan, serta berkurangnya pengendapan lumpur di pantai maupun di pelabuhan.

Talkurputra (1979) menyatakan bahwa luas hutan lebat berpengaruh terhadap fluktuasi debit air. Semakin luas debit hutan lemat maka semakin kecil fluktuasi debit air, artinya semakin banyak penyebaran air sepanjang tahun. Agar suatu DAS tidak menghasilkan fluktuasi debit air yang cukup tinggi sehingga menimbulkan banjir dan kekeringan, maka disarankan untuk memperluas kawasan hutan dengan merubah penggunaan tanah milik yang sesuai dengan hutan dan fungsi hidrologisnya, mempercepat reboisasi hutan belukar sehingga menjadi hutan lebat kembali.

Proses Sosial

Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (2009) memaparkan, proses asosiatif merupakan proses terjadinya saling pengertian dan kerjasama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan yang lainnya, dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan akhir bersama.

1. Kerjasama (cooperation) adalah usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Proses cooperation terjadi apabila diantara individu atau kelompok tertentu menyadari adanya kepentingan atau ancaman yang sama. Terdapat lima bentuk kerja sama menurut Thompson dan McEwen (1958) dikutip Soekanto (2009), yaitu: (1) kerukunan; (2) bargaining; (3) ko-optasi, proses penerimaan unsur-unsur baru; (4) koalisi, kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang memiliki tujuan-tujuan yang sama; (5) joint-ventrue, kerjasama dalam pengusahaan-pengusahaan tertentu seperti pengeboran minyak, perhotelan, dan sebagainya.

2. Akomodasi, yaitu proses sosial yang menunjukkan pada suatu keadaan seimbang dalam interaksi sosial antara individu dan kelompok di dalam masyarakat, terutama yang ada hubungannya dengan norma dan nilai sosial yang berlaku.

3. Asimilasi merupakan proses pencampuran dua atau lebih budaya yang berbeda sebagai akibat dari proses sosial, kemudian menghasilkan budaya baru yang berbeda dengan budaya aslinya.

Menurut Soekanto (2009) proses sosial yang menjauhkan/ mempertentangkan (disosiatif) dapat diperinci sebagai berikut:

1. Persaingan (competition) adalah proses sosial dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakaan ancaman atau kekerasan.

2. Kontravensi merupakan bentuk antara persaingan dan konflik. Kontravensi terdapat tiga tipe umum yaitu kontravensi generasi masyarakat, kontravensi seks, dan kontravensi parlementer.


(22)

9 3. Pertentangan (pertikaian atau conflict) adalah proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.

Tingkat Pendapatan Rumah Tangga

Nurmanaf (1985) menjelaskan bahwa pendapatan rumah tangga merupakan aliran uang, barang, jasa dan kepuasan yang diperoleh di bawah penguasaan keluarga untuk digunakan dalam memuaskan kebutuhan dan kewajibannya. Saifullah (2000) menjelaskan pendapatan rumah tanga adalah nilai tambah seluruh usaha rumah tangga dikurangi balas jasa, yaitu nilai tenaga buruh, modal dan tanah milik orang lain yang dipekerjakan di dalam usaha (upah, bunga, sewa) yang diterima oleh keluarga.

Dirgantoro (2001) menjabarkan sumber pendapatan adalah seluruh pendapatan yang berasal dari anggota rumah tangga dalam satu unit rumah tangga yang lazimnya berada dalam satu rumah. Dewi et al. (2004) mendefinisikan pendapatan total rumah tangga petani hutan rakyat merupakan pendapatan yang diterima oleh petani pengelola hutan rakyat, yaitu hasil dari usaha hutan rakyat ditambah hasil dari usaha selain hutan rakyat dikurangi pengeluaran total yang dikeluarkan oleh petani hutan rakyat.

Badan Pusat Statistik (2010) mendefinisikan konsep pendapatan rumah tangga sebagai seluruh pendapatan yang diterima oleh rumah tangga maupun pendapatan anggota-anggota rumah tangga. Pendapatan dapat berasal dari:

1. Balas jasa faktor produksi tenaga kerja, yaitu upah/gaji, keuntungan, bonus yang mencakup dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja sebagai imbalan bagi pekerjaan yang dilakukan.

2. Balas jasa kapital, yaitu bunga, bagi hasil dari hasil usaha seluruh anggota rumah tangga.

3. Pendapatan yang berasal dari pihak lain yaitu pendapatan diluar upah/gaji yang menyangkut dari: (1) perkiraan sewa rumah milik sendiri; (2) bunga deviden; (3) bukan hasil usaha; (4) pensiunan; (5) kiriman dari famili/pihak lain secara rutin, ikatan dinas.

Pola Nafkah

Dharmawan (2006) menyatakan bahwa strategi nafkah dalam kehidupan sehari-hari direpresentasikan oleh keterlibatan individu dalam proses perjuangan untuk mendapatkan suatu jenis mata pencaharian atau bentuk kegiatan produktif demi mempertahankan ataupun meningkatkan derajat kehidupan dalam merespon dinamika sosial-ekonomi, ekologi, dan politik yang mengenai mereka. Menurut Scoones dalam Dharmawan (2001), strategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan meliputi:

1. Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi).

2. Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain


(23)

10

pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja –selain pertanian- dan memperoleh pendapatan

3. Rekayasa spasial (migrasi) merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.

Dharmawan (2001) mendefinisikan nafkah ganda atau beragam sumber pendapatan sebagai sebuah kombinasi dari banyak pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang yang terdiri dari aktivitas-aktivitas ekonomi pokok di bidang pertanian dan nonpertanian, dimana aktivitas yang terakhir adalah sampingan diluar pekerjaan pokok dari sebuah bentuk rumah tangga dan mungkin pekerjaan ini dilakukan oleh kepala rumah tangga atau anggota dari sebuah rumah tangga dan aktivitas tersebut mungkin secara langsung atau tidak langsung tetapi secara positif menciptakan pendapatan yang esensial untuk menjamin keberadaan rumah tangga.


(24)

11 Kerangka Pemikiran

Kebutuhan jasa perlindungan terhadap sumberdaya alam air terus meningkat di Indonesia. Salah satu penyebab utamanya adalah aktifitas manusia yang berpotensi memberikan dampak negatif terhadap keberadaan sumberdaya alam air tersebut. Berbagai skema pengelolaan lingkungan sudah diterapkan, namun sampai saat ini skema-skema tersebut belum mampu menjaga kualitas dan kuantitas lingkungan hidup. Skema pembayaran jasa lingkungan (PJL) merupakan salah satu model perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam air yang didasarkan kepada instrumen ekonomi. Pelaksanaan PJL di wilayah DAS Cidanau berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi warga. Pola kerjasama, peran masyarakat dalam skema PJL, pola nafkah masyarakat, serta perubahan pendapatan rumah tangga merupakan beberapa dampak diterapkannya skema pembayaran jasa lingkungan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.

.

Keterangan : Berdampak Fokus Penelitian

Gambar 2. Kerangka pemikiran Jasa Lingkungan

Sumberdaya Alam

Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)

Insentif dari Pengguna Jasa Air di Hilir

SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT HULU

- Peran Serta Masyarakat - Insentif Pembayar PJL - Partisipasi Masyarakat - Pola Nafkah

- Tingkat Pendapatan RT

MANFAAT EKOLOGI BAGI PENGGUNA JASA

DI HILIR

- Kontinuitas Debit Air - Fluktuasi Debit Air


(25)

12

Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:

1. Skema pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau berdampak positif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Citaman.

2. Skema pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau membawa manfaat positif bagi pengguna jasa di wilayah hilir

Definisi Konseptual

1. Jasa lingkungan sumberdaya alam menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten (2006) dalam Rekonvasi Bhumi (2009) adalah produk sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berupa manfaat langsung dan tidak langsung yang meliputi antara lain jasa wisata alam/rekreasi, jasa perlindungan tata air/hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan, keanekaragaman hayati, penyerapan dan penyimpanan karbon.

2. Debit Air (Kontinuitas dan Fluktuasi)

Dampak pembayaran jasa lingkungan terhadap debit air sungai Cidanau dapat dilihat dari aspek kontinuitas maupun aspek fluktuasi debit air sungai. Aspek kontinuitas debit air sungai berhubungan dengan jaminan ketersediaan air baku untuk diolah menjadi air bersih, sehingga dapat dilihat tinggi air sungai minimum yang terjadi pada musim kering yang harus dapat memenuhi kebutuhan air bersih. Adapun aspek fluktuasi debit air dapat dijadikan petunjuk keadaan tata air sepanjang tahun dari DAS yang bersangkutan. Makin kecil nilai fluktuasi debit maka makin baik keadaan tata air dan makin merata pula penyebaran air sepanjang tahun.

Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan konsep yang dibuat untuk membantu dalam pengumpulan data di lapangan serta membantu dalam mengolah dan menganalisis data. Sejumlah konsep operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Peran Serta Masyarakat Hulu

Peran serta masyarakat hulu dalam skema pembayaran jasa lingkungan adalah bentuk partisipasi responden yang merupakan penduduk di wilayah hulu dalam kegiatan konservasi yang menjadi bagian dari syarat skema pembayaran jasa lingkungan kepada mereka, baik dilakukan secara individu maupun kelompok.

Dalam penelitian ini, peran serta masyarakat hulu dalam skema pembayaran jasa lingkungan, adalah:

a) Menanam pohon dengan mempertimbangkan pembentukan strata kanopi. Strata kanopi atau lapisan kanopi adalah suatu struktur lapisan dari dahan-dahan pepohonan di hutan hujan tropika yang saling bertemu sehingga sangat lebat, hingga menyerupai atap.

b) Melakukan penyebaran terhadap jenis tanaman secara merata, artinya suatu jenis tanaman tidak hanya ditanam di suatu titik tertentu saja,


(26)

13 melainkan disebar ke seluruh kawasan lahan yang dijadikan lokasi pembayaran jasa lingkungan.

c) Menanam tanaman dengan jenis tanaman yang tidak memiliki kecenderungan monokultur.

d) Mempertahankan tegakan tanaman yang masuk dalam skema pembayaran jasa lingkungan.

e) Menghadiri pertemuan rutin kelompok dan mematuhi tata administrasi yang sudah disepakati.

Ukuran yang digunakan dalam variabel ini berdasarkan perjanjian antara masyarakat yang ada di Desa Citaman dengan pihak pemberi dana insentif dalam skema pembayaran jasa lingkungan. Variable ini diukur dengan menggunakan lima buah pertanyaan.

2. Insentif dari Pengguna Jasa di Hilir

Insentif dari pengguna jasa di hilir adalah bantuan yang diberikan oleh masyarakat hilir sebagai imbalan jasa bagi masyarakat hulu karena telah bersedia mentaati aturan-aturan pembayaran jasa lingkungan. Nursidah (2012) menyatakan insentif jasa lingkungan dibagi menurut sifatnya menjadi dua kategori, yaitu insentif langsung (bentuk uang tunai, bantuan bibit serta bantuan ternak) dan insentif tak langsung (penyuluhan).

a) Uang tunai adalah besarnya uang yang diterima oleh masyarakat di wilayah hulu sebagai imbalan atas jasa lingkungan yang mereka sediakan empat tahun terakhir.

b) Bantuan bibit adalah banyaknya bantuan bibit yang diterima oleh masyarakat selama skema pembayaran jasa lingkungan berlangsung dalam kurun waktu empat tahun terkahir.

c) Bantuan hewan ternak adalah banyaknya hewan ternak yang diterima masyarakat selama skema pembayaran jasa lingkungan berlangsung dalam kurun waktu empat tahun terakhir.

d) Penyuluhan adalah bentuk pelatihan yang diberikan oleh anggota Forum DAS Cidanau kepada masyarakat selama skema pembayaran jasa lingkungan berlangsung dalam kurun waktu empat tahun terakhir.

3. Partisipasi Masyarakat dalam Pengorganisasian KTH

Partisipasi masyarakat dalam pengorganisasian KTH merupakan keterlibatan responden untuk melakukan berbagai kegiatan yang diadakan oleh KTH demi menjaga eksistensi KTH itu sendiri.Ukuran yang digunakan dalam variabel ini adalah keterlibatan responden dalam berbagai kegiatan KTH serta frekuensi kehadiran responden dalam berbagai kegiatan tersebut.

a) Bentuk keterlibatan responden dalam berbagai kegiatan KTH merupakan sumbangan pemikiran dan bantuan tenaga dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh KTH.

b) Frekuensi kehadiran responden adalah seberapa banyak responden terlibat dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh KTH.

4. Pola Nafkah

Pola nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini mengacu pada pengertian yang diungkapkan oleh Scoones (1998) yaitu penerapan pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain pekerjaan utama untuk menambah pendapatan atau mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu,


(27)

14

dan anak) untuk ikut bekerja dan memperoleh pendapatan. Ukuran yang digunakan dalam variabel ini berdasarkan ada atau tidaknya pola nafkah ganda dan keberagaman jenis pekerjaan pada rumah tangga responden.

5. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga

Tingkat pendapatan rumah tangga adalah jumlah pemasukan yang diterima responden selama satu tahun terakhir yang diperoleh baik dari mata pencaharian utama maupun diluar mata pencaharian utama. Pengukuran didasarkan kepada rata-rata pendapatan rumah tangga pada total sampel yang diukur. Kategori tingkat pendapatan rumah tangga dibedakan menjadi lima kategori sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan dan diolah menggunakan metode statistika.


(28)

15 PENDEKATAN LAPANGAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Lokasi tersebut dipilih dengan alasan lokasi tersebut ditetapkan sebagai salah satu wilayah penerima skema pembayaran jasa lingkungan di Indonesia. Desa Citaman merupakan salah satu kawasan yang terletak di bagian hulu DAS Cidanau dan berfungsi sebagai daerah resapan air. Skema pembayaran jasa lingkungan telah dilakukan sejak tahun 2005 dan masih berlangsung sampai saat ini. Adanya skema pembayaran jasa lingkungan diduga menimbulkan dampak terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat serta memberikan manfaat bagi masyarakat yang berada di wilayah hilir. Berdasarkan alasan tersebut, maka desa Citaman dipilih menjadi lokasi penelitian.

Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data, dan informasi di Desa Citaman sebagai desa lokasi penelitian adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan penelitian sensus yaitu penelitian yang mengambil seluruh populasi dari satu komunitas dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Effendi 1989). Pengumpulan data kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan melalui metode sensus kepada responden dengan menggunakan kuesioner. Adapun responden dalam penelitian ini adalah seluruh anggota kelompok tani Karya Muda II yang menerima skema pembayaran jasa lingkungan di desa Citaman. Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 43 orang. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui karakteristik dan identitas responden, dampak pembayaran jasa lingkungan terhadap kondisi ekonomi masyarakat setempat, pola kerjasama dalam kegiatan konservasi, serta pola nafkah masyarakat yang menjadi sampel penelitian.

Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap informan. Informan dalam penelitian ini berasal dari berbagai kalangan, mulai dari anggota Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) sebagai pengelola skema pembayaran jasa lingkungan di desa Citaman serta beberapa orang tokoh masyarakat setempat. Data juga diperoleh dengan mengkaji dokumen yang ada seperti data monografi desa Citaman. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Penelitian explanatory merupakan penelitian dengan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi 1989).

Populasi sasaran pada penelitian ini merupakan seluruh rumah tangga yang tinggal di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang. Adapun populasi sampling dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kampung Sibopong, Desa Citaman, yang terlibat dalam skema PJL. Unit analisis yang akan diteliti adalah rumah tangga masyarakat penerima dana insentif pembayaran jasa lingkungan. Pengambilan sampel responden digunakan dengan teknik sensus yang


(29)

16

dilihat berdasarkan keanggotaan masyarakat dalam kelompok tani hutan yang terdapat di desa Citaman serta statusnya sebagai penerima pembayaran jasa lingkungan. Reponden didefinisikan sebagai pihak yang memberi keterangan tentang diri dan kegiatan yang dilaksanakannya.

Tabel 2 Metode pengambilan data

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan

Kuantitatif (Kuesioner)  Data karakteristik responden: usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, dan lain-lain.

 Kondisi ekonomi: pendapatan rumah tangga, jenis pekerjaan, dan pola nafkah masyarakat.

 Kondisi sosial: pola kerjasama.

 Metode pengumpulan data dilakukan secara sensus. Wawancara Mendalam

Kepada Informan

 Sejarah awal mula dilaksanakannya skema pembayaran jasa lingkungan.

 Pola kerjasama dalam melakukan kegiatan konservasi hutan rakyat.

 Peran dana insentif pembayaran jasa lingkungan dalam mendukung kehidupan ekonomi.

 Sumber-sumber dan besarnya pendapatan yang diperoleh responden.

Pengumpulan Dokumen  Gambaran umum desa diperoleh dari data monografi desa Citaman.

 Data terkait dengan skema pembayaran jasa lingkungan di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, seperti jumlah masyarakat penerima jasa lingkungan, jumlah dana insentif yang diterima masyarakat, perubahan kondisi lahan, serta jenis tanaman apa saja yang boleh dan tidak boleh ditanam di lahan milik masyarakat diperoleh dari kelompok tani Karya Muda II, desa Citaman.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian, baik secara kuantitatif maupun kualitatif diolah dengan cara mereduksi bagian-bagian terpenting sehingga menjawab masalah penelitian yang diajukan. Data yang telah diperoleh disajikan dalam bentuk tabel frekuensi, tabulasi silang dan grafik. Langkah awal yang dilakukan adalah analisis deskriptif, analisis tersebut digunakan untuk memperoleh gambaran data awal responden untuk mengungkapkan keadaan atau karakteristik data responden untuk masing-masing variabel penelitian secara tunggal. Analisis deskriptif dilakukan menggunakan perangkat lunak microsoft excel 2007. Kemudian, dibuat tabel frekuensi untuk melihat keterkaitan dari aspek-aspek yang menjadi dampak sosial ekonomi penerima skema pembayaran jasa lingkungan di Desa Citaman. Selanjutnya, digunakan tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara dua variabel. Data yang telah diperoleh kemudian diberi kode untuk selanjutnya ditransfer ke dalam komputer dengan aplikasi statistic program for social sciences (SPSS). Gabungan data tersebut diolah dan


(30)

17 dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, atau bagan. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.

Adapun analisis data kualitatif dilakukan melalui dua tahap, yaitu reduksi data dan penyajian data. Reduksi data terdiri dari proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang berupa catatan tertulis di lapang selama penelitian berlangsung. Reduksi data bertujuan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, serta membuang data yang tidak perlu. Kemudian, ditarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dilakukan.


(31)

18

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis

Desa Citaman terletak di daerah Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Bagian utara, desa ini berbatasan dengan Desa Pondok Kahuru dan Sungai Cibarugbug. bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang, bagian barat berbatasan dengan Desa Sukabares dan Desa Cidanghian serta pada bagian timur berbatasan dengan Desa Cisitu, Lebak dan Sungai Cikempong. Desa Citaman terletak dibagian selatan kaki Gunung Pangarang pada ketinggian 600 meter diatas permukaan laut (dpl) serta merupakan kawasan yang termasuk ke dalam daerah hulu DAS Cidanau.

Secara keseluruhan, Desa Citaman memilik luas daerah sebesar 509 ha dengan proporsi peruntukan lahan terbagi dalam lahan pemukiman sebesar 100 ha, tanah perkebunan rakyat sebesar 200 ha, ladang sebesar 95 ha, tanah fasilitas umum sebesar tujuh ha, lahan kawasan sawah tadah hujan sebesar tujuh ha serta hutan lindung dan hutan produksi masing-masing sebesar 50 ha (Potensi Desa Citaman 2008). Desa Citaman merupakan desa yang termasuk dalam kategori desa hutan dengan vegetasi didominasi oleh tanaman buah-buahan, sayur-sayuran dan tanaman kayu. Adapun jenis tanaman yang mendominasi di kawasan Desa Citaman adalah pohon melinjo.

Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian

Berdasarkan data potensi Desa Citaman (2011), jumlah penduduk yang tercatat menetap di kawasan tersebut berjumlah 2522 jiwa dengan rincian jumlah penduduk laki-laki terdiri dari 1310 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebesar 1212 jiwa. Kepadatan penduduk di Desa Citaman yaitu sebesar 496 jiwa per km2. Mata pencaharian utama penduduk Desa Citaman adalah terdiri dari petani (68.5%), buruh tani (23.4%), buruh atau pegawai swasta (3.3%), pegawai negeri (0.6%), pengrajin (0.4%), pedagang (3.7%) serta peternak (0.2%).

Banyaknya penduduk Desa Citaman yang bekerja di bidang pertanian, baik itu sebagai petani maupun buruh tani disebabkan oleh tersedianya lahan perkebunan milik masyarakat dalam jumlah cukup besar serta bekerja di bidang pertanian merupakan pekerjaan turun temurun yang dilakukan masyarakat. Responden dalam penelitian ini secara keseluruhan termasuk ke dalam Kelompok Tani Karya Muda II, dimana seluruh anggotanya memiliki lahan di Blok Kajaroan dan menerima skema pembayaran jasa lingkungan (PJL). Jumlah anggota Kelompok Tani Karya Muda II adalah sebanyak 43 kepala keluarga. Selain bekerja sebagai petani hutan, sebagian masyarakat juga bekerja sebagai pedagang serta buruh bangunan.


(32)

19 Sarana dan Prasarana

Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Citaman diantaranya, tiga Sekolah Dasar (SD) atau sederajat dan satu bangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat dengan kondisi baik. Selain itu, di desa terdapat sarana kesehatan berupa lima buah posyandu dan sarana olahraga berupa satu buah lapangan sepakbola. Sementara, untuk sarana peribadatan terdapat empat unit masjid dan 12 unit mushola. Adapun kondisi jalan yang terdapat di Desa Citaman cenderung rusak sehingga transportasi umum yang ada hanyalah ojek. Kondisi jalan yang rusak lebih disebabkan oleh buruknya drainase di sepanjang jalan.

Kondisi Sosial Masyarakat Desa Citaman

Kegiatan sosial budaya di Desa Citaman tidak terlalu beragam. Masyarakat suku Sunda mendominasi jumlah penduduk yang menetap di Desa Citaman. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat merupakan bahasa Sunda-Jawa. Bahasa Sunda-Jawa dapat berkembang di tengah-tengah masyarakat mengingat banyaknya para sesepuh yang belajar agama dan bekerja di wilayah Jawa Timur serta Jawa Tengah yang kemudian pada kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Sunda-Jawa.

Kegiatan pertanian masyarakat sehari-hari biasanya dilakukan secara bersama-sama. Bagi masyarakat yang memliki lahan pertanian yang tergolong luas, mereka membayar tenaga anggota masyarakat lain untuk menggarap lahan miliknya. Umumnya, masyarakat yang dibayar tenaganya untuk menggarap lahan milik masyarakat lain adalah mereka yang memiliki luas lahan sedikit dan memiliki waktu luang yang banyak. Kesamaan nasib sebagai masyarakat petani hutan menyebabkan kehidupan bertetangga menjadi seperti saudara sendiri. Hal tersebut yang membentuk kehidupan sosial masyarakat Desa Citaman memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Di Desa Citaman terdapat dua buah kelompok tanim yaitu kelompok tani Karya Muda II dan kelompok tani Karya Muda III. Kelompok tani Karya Muda III dibentuk karena adanya rencana perluasan lokasi skema PJL di Desa Citaman.

Setiap malam Jum’at, bapak-bapak di Desa Citaman rutin melakukan pengajian. Lokasi pengajian dilakukan di rumah ketua kelompok tani Karya Muda II, Bachrani. Pengajian dilakukan dari pukul 22.00 WIB-24.00 WIB dengan agenda pembacaan surat Yasin serta diisi juga dengan perbincangan seputar masalah pertanian diantara peserta pengajian.

Penduduk Desa Citaman tidak terstrata ke dalam beberapa lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian besar dari masyarakat merupakan petani hutan. Warga Desa Citaman sangat membaur dan tidak ada perbedaan antara penduduk yang berpenghasilan tinggi dan rendah. Bentuk rumah dan kepemilikan barang pun tidak berbeda secara signifikan. Hanya ada beberapa masyarakat yang memiliki bentuk rumah permanen dan semi-permanen, selebihnya bentuk rumah yang ada berupa rumah panggung yang dindingnya terbuat dari bambu.


(33)

20

Karakteristik Responden Usia

Data primer yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa usia responden beragam, antara 32 tahun sampai dengan 75 tahun. Klasifikasi responden berdasarkan usia tersaji dalam Tabel 3:

Tabel 3 Jumlah dan persentase usia responden Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Banten, Banten tahun 2013

No Kelompok Usia (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 15-19 0 0

2 20-24 0 0

3 25-29 0 0

4 30-34 1 2.3

5 35-39 9 20.9

6 40-44 6 14

7 45-49 6 14

8 50-54 8 18,6

9 55-59 4 9.3

10 60-64 5 11.6

11 ≥ 65 4 9.3

Total 43 100

Sumber: Data Primer (2013)

Usia maksimal responden di Desa Citaman yang mejadi populasi dalam penelitian ini adalah 75 tahun. Menurut BPS (2012), penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja atau sementara sedang tidak bekerja, dan yang sedang mencari pekerjaan. Merujuk dari pengertian tersebut, maka 100% responden tergolong dalam penduduk usia kerja. Pendidikan Formal

Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Kategori tingkat pendidikan responden di Desa Citaman terbagi dalam lima kelompok, yaitu: tidak bersekolah, SD tapi tidak tamat, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SMA.Data lengkap tentang pendidikan responden Desa Citaman dipaparkan dalam Tabel 4. Sebagian besar responden Desa Citaman hanya menempuh pendidikan sampai pada tamat SD atau termasuk dalam kategori pendidikan rendah. Presentase responden yang mengenyam pendidikan hanya sampai tamat SD adalah 76.8 %.

Adapun presentase responden yang bersekolah sampai tingkat SD namun tidak tamat sebesar 9.3% dan tidak bersekolah sebesar 14 %. Pekerjaan sebagai seorang petani hutan merupakan pekerjaan yang tidak memandang tingkat pendidikan seseorang, namun lebih kepada kesehatan dan kemampuan fisik untuk dapat bertahan dalam menggarap lahan.


(34)

21 Tabel 4 Jumlah dan persentase responden Desa Citaman, Banten menurut tingkat

pendidikan tahun 2013

No Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Tidak Bersekolah 6 14

2 SD Tidak Tamat 4 9.3

3 Tamat SD 33 76.7

4 Tamat SMP 0 0

5 Tamat SMA 0 0

Total 43 100

Sumber: Data Primer (2013)

Responden menuturkan, minimnya akses pendidikan, rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, serta ketidakmampuan masyarakat untuk membayar biaya sekolah membuat tingkat pendidikan rata-rata responden rendah.

Jumlah Tanggungan

Pengkategorian jumlah tanggungan pada keluarga responden Desa Citaman dibagi menjadi lima kategori berdasarkan data di lapanan. Klasifikasi responden berdasarkan jumlah tanggungan rumah tangganya dicantumkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan Presentase Responden Menurut Jumlah Tanggungan dalam Rumah Tangga Desa Citaman Tahun 2013

No Jumlah Tanggungan (Orang) Jumlah Responden Persentase (%)

1 1-2 2 4.7

2 3-4 10 23.3

3 5-6 21 48.8

4 7-8 9 20.9

5 9 1 2.3

Total 43 100

Sumber: Data Primer (2013)

Tabel di atas memaparkan bahwa sebaran jumlah tanggungan responden tidak terlalu merata. Responden dengan jumlah tanggungan satu sampai dua orang berumlah 4.7 %, sedangkan responden dengan jumlah tanggungan tiga sampai empat orang berjumlah 23.3 %. Adapun jumlah tanggungan lma sampai enam orang dan tujuh sampai delapan orang, masing-masing berjumlah 48.8 % dan 20.9%, sisanya 2.3 % merupakan respondne yang memiliki tanggungan sembilan orang. Banyaknya anggota rumah tangga yang menjadi tanggungan rumah tangga merupakan salah satu alasan beragamnya pola nafkah keluarga responden.


(35)

22

Pemilikan Tanah

Pengkategorian luas tanah yang dimiliki rumah tangga responden dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan data di lapangan. Penggolongan luas tanah responden rumah tangga yaitu, luas tanah kurang dari sama dengan setengah hektar, luas tanah setengah sampai satu hektar dan lebih dari satu hektar. Penggolongan responden berdasarkan luas tanah rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 6.

Rata-rata luas lahan yang dimiliki masyarakat yang menjadi lokasi skema PJL adalah sebesar 0.6 ha sampai satu ha, yaitu sebanyak 25 responden. Adapun 16 responden memiliki lahan seluas kurang dari sama dengan setengah ha, sedangkan dua orang responden memiliki lahan lebih dari satu ha. Luas atau tidaknya lahan yang dimiliki oleh responden lebih disebabkan faktor warisan yang diterima masing-masing individu.

Tabel 6 Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan yang dimiliki rumah tangga Desa Citaman tahun 2013

No Luas Lahan (ha) Jumlah Responden Persentase (%)

1 ≤ 0,5 16 37.2

2 0,6-1 25 58.1

3 > 1 2 4.7

Total 43 100


(36)

23

SKEMA PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN

DAS CIDANAU

Sejarah Singkat Skema PJL Desa Citaman

Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) yang diterapkan di desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten mulai dilaksanakan tahun 2005, namun inisiasi skema ini sudah berlangsung sejak tahun 2002. Beberapa faktor penting yang melatarbelakangi terwujudnya skema PJL adalah adanya hasil penelitian yang mengungkapkan tingginya tingkat sedimentasi di wilayah DAS Cidanau, banyaknya lahan kritis di wilayah hulu DAS serta fakta penting bahwa DAS Cidanau merupakan salah satu DAS dengan debit air yang cukup tinggi, berkisar 1.200-110.000 liter/detik, yang menjadikan DAS Cidanau sebagai satu-satunya sumber air baku yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat dan industri di wilayah kota Cilegon.

Inisiasi skema PJL dimulai dari sosialisasi konsep transaksi jasa lingkungan yang dilakukan oleh The German Agency for Technical Cooperation - Strengthening the Management Capacities in the Ministry of Forestry (GTZ-SCMP) dihadapan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau pada pertengahan tahun 2002. Selain itu, inisiasi skema PJL juga diawali dari adanya undangan yang diberikan kepada salah satu anggota Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) oleh pihak GTZ-SCMP, untuk melakukan studi banding guna mempelajari konsep Lembaga Keuangan Alternatif (LKA) dan social forestry di Kosta Rika, Amerika Tengah. Harapannya, hasil studi banding tersebut diterapkan di DAS Cidanau. Adapun konsep LKA yang diterapkan di wilayah Kosta Rika tersebut berupa skema pembayaran jasa lingkungan. Setelah itu, pada tahun yang sama, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) serta International Institute for Environment and Development (IIED) mengundang FKDC dalam rapat kerja selama lima hari untuk merencanakan pembangunan konsep dan pengembangan hubungan hulu hilir dengan skema transaksi jasa lingkungan. Hasil rapat kerja memutuskan DAS Cidanau ditunjuk sebagai salah satu lokasi model pembangunan dan pengembangan jasa lingkungan yang difasilitasi oleh IIED dan Departement for International Development (DFID) selama tiga tahun di Indonesia.

Pada tahun 2004, FKDC mendapat kunjungan mahasiswi tamu dari Imperial College London, yang melakukan penelitian untuk tesis master, yang berkaitan dengan keinginan untuk membayar jasa lingkungan dari pemanfaatan jasa lingkungan DAS Cidanau. Hasil dari penelitian mahasiswi tamu tersebut digunakan oleh pihak FKDC untuk mencari potencial buyer yang memiliki keinginan untuk membayar jasa lingkungan, sehingga dana jasa lingkungan yang dibayarkan kepada penyedia jasa (masyarakat lokal) menjadi lebih besar dan kawasan yang mendapatkan skema pembayaran jasa lingkungan semakin luas. Adapun potencial buyer utama dalam skema PJL ini adalah PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) sebagai perusahaan air minum yang menjadikan DAS Cidanau sebagai sumber mata air. Pada tahun 2005, luas kawasan penyedia jasa lingkungan yang telah menerima skema PJL mencapai 100 hektar, yang tersebar di empat desa di kawasan DAS Cidanau.


(37)

24

Skema PJL melibatkan berbagai stakeholder, baik itu masyarakat, pemerintah maupun swasta. Salah satu kelompok masyarakat yang terlibat dalam skema PJL ini adalah masyarakat yang tergabung kedalam Kelompok Tani Karya Muda II, dimana mereka berperan sebagai penyedia jasa lingkungan, sedangkan pihak pemerintah maupun pihak swasta, dalam hal ini Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Banten serta PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) berperan sebagai pembayar jasa lingkungan. Skema PJL ini mensyaratkan agar masyarakat bersedia menanami lahan perkebunan yang dimilikinya dengan pohon buah-buahan maupun kayu-kayuan sebanyak minimal 500 pohon. Sebaliknya, pihak pemerintah maupun pihak swasta wajib memberikan insentif kepada masyarakat sebagai imbalan atas usaha masyarakat dalam menjaga lingkungannya.

Adapun insentif yang sudah diperoleh masyarakat diantaranya bibit tanaman buah-buahan maupun kayu-kayuan, beberapa ekor domba serta uang tunai. Luas lahan yang menjadi lokasi PJL sebesar 25 hektar (Ha) dimana lokasi tersebut berada di wilayah Blok Kajaroan. Insentif yang sudah diberikan oleh pihak PT.KTI maupun pihak pemerintah, dalam hal ini Departemen Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Banten kepada masyarakat, berupa uang tunai sebesar Rp. 1.200.000/tahun/ha dan 20 ekor domba yang dapat dikembangbiakkan oleh kelompok tani penerima. Jumlah anggota kelompok tani yang terlibat dalam skema PJL berjumlah 43 orang. Kontrak yang diberikan kepada masyarakat dalam skema PJL berlaku dalam kurun waktu lima tahun. Sistem kontrak dalam PJL ini adalah tanggung renteng, artinya apabila terdapat satu anggota kelompok tani yang menebang pohon di lahan milik mereka, maka kontrak PJL bagi kelompok tani tersebut akan dibatalkan. Adapun peta lokasi PJL, terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta lokasi PJL


(38)

25 Pada pelaksanaannya, skema PJL yang berlangsung di Desa Citaman, Kabupaten Serang, bukanlah tanpa kendala. Masalah muncul pada awal penerapan skema PJL, dimana terjadi konflik antara masyarakat penerima skema PJL dan masyarakat yang tidak menerima skema PJL. Masyarakat penerima skema PJL mengklaim bahwa pihak pembayar PJL,dalam hal ini pihak PT. Krakatau Tirta Industri hanya bersedia membayar bagi 150 ha lahan masyarakat di wilayah hulu, sebesar Rp 1.200.000/ha/tahun.

Disisi lain, masyarakat yang tidak menerima skema PJL dan memiliki lahan disekitar lokasi PJL, tidak menerima keputusan tesebut. Akhirnya, sempat terjadi perusakan pada papan nama yang berada di lokasi PJL. Semenjak kejadian tersebut, diadakan pertemuan antara masyarakat penerima PJL dan yang tidak menerima PJL, dimana pihak FKDC (Forum Komunikasi DAS Cidanau) berperan sebagai fasilitatornya.

Melalui keputusan musyarawah, akhirnya masyarakat penerima PJL bersedia membagi dananya sebesar 50% kepada masyarakat yang tidak menerima PJL. Hal tersebut ditujukan agar tidak terjadi konflik diantara mereka. Selain itu, masyarakat penerima PJL bersedia menyisihkan kembali sebagian uangnya untuk diberikan kepada janda maupun anak yatim serta membeli beberapa buah karpet untuk disumbangkan ke masjid. Semenjak dihasilkannya kesepakatan tersebut, konflik diantara masyarakat tidak terjadi lagi, dan skema pembayaran jasa lingkungan pun berlangsung hingga saat ini.


(39)

26

Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Sebagai Suatu Kelembagaan Kelembagaan menurut Kartodihardjo et al. (2000) merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut tentunya mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Jika melihat pengertian tersebut, dapat kita lihat adanya beberapa alasan yang menguatkan pemahaman, bahwasannya perjanjian skema pembayaran jasa lingkungan merupakan suatu bentuk kelembagaan menurut definisi yang diungkapkan oleh Kartodihardjo et al. (2000). Adapun perjanjian skema PJL dapat dilihat pada lampiran 6.

Alasan pertama dapat dilihat dari salah satu poin dalam skema pjl, dimana skema PJL mengatur bentuk-bentuk aktivitas yang boleh dilakukan oleh pihak masyarakat, sebagai pihak penyedia jasa lingkungan. Bentuk-bentuk aktivitas tersebut diantaranya mengharuskan masyarakat untuk menanam pohon dengan mempertimbangkan pembentukan strata kanopi, menyebarkan jenis tanaman secara merata, menanami lahan dengan jenis tanaman yang bersifat heterogen, serta mempertahankan tegakan tanaman yang masuk dalam lokasi skema PJL.

Alasan kedua adalah skema PJL mengatur hak istimewa yang harus diberikan kepada masyarakat setelah menjalankan skema PJL, serta mengatur tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pihak pembayar jasa lingkungan, dalam hal ini PT. Krakatau Tirta Industri, apabila masyarakat telah menjalankan skema PJL sesuai perjanjian. Adapun hak istimewa dan tanggung jawab tersebut diantaranya masyarakat berhak mendapatkan dana sebesar Rp. 1.200.000 per hektar per tahun dari pihak PT. Krakatau Tirta Industri, sebagai upaya penyediaan jasa lingkungan oleh masyarakat. Sebenarnya ada hak-hak istimewa lain yang diperoleh masyarakat selain dana segar tersebut. Hak-hak istimewa tersebut diantaranya masyarakat mendapatkan bantuan hewan ternak, berupa 20 ekor domba dari pihak PT. KTI dan pihak dinas kehutanan dan perkebunan provinsi banten dan mendapatkan beberapa bibit unggul tanaman kehutanan selama skema PJL berlangsung.

Alasan lain mengapa skema PJL dapat dianggap sebagai suatu kelembagaan adalah skema PJL mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat, dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam, dalam hal ini sumberdaya alam hutan. Unsur tersebut dapat dilihat dari adanya peraturan diluar perjanjian skema PJL, yang menyatakan bahwa masyarakat sebagai pihak penyedia jasa lingkungan hanya dapat menebang tanaman tersebut ketika pihak pembayar jasa lingkungan telah memberikan izin adanya penebangan pohon dilokasi skema PJL. Dampaknya, masyarakat harus mengganti pohon yang ditebang tersebut dengan tanaman baru. Apabila masyarakat menebang pohon tanpa izin, maka masyarakat akan mendapatkan konsekuensi, berupa pemutusan perjanjian PJL oleh pihak pembayar jasa lingkungan dan masyarakat harus mengembalikan seluruh dana yang telah diterima.


(40)

27 Insentif Pembayaran Jasa Lingkungan

Adanya insentif yang diberikan kepada masyarakat lokal merupakan salah satu bagian dari skema pembayaran jasa lingkungan (PJL) di Desa Citaman. Adapun insentif-insentif yang diberikan kepada masyarakat, diantaranya:

a. Insentif berupa dana segar sebesar Rp. 1.200.000/Ha/Tahun.

Salah satu bentuk insentif yang diterima responden dalam skema PJL ini adalah dana segar sebagai kompensasi digunakannya lahan masyarakat sebagai lahan konservasi. Ditetapkannya dana segar sebesar Rp. 1.200.000/Ha/Tahun, dilakukan setelah adanya negosiasi antara pihak masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan dengan pihak PT. Krakatau Tirta Industri (PT.KTI) sebagai pembayar jasa lingkungan. Dana segar ini diberikan oleh pihak PT.KTI kepada masyarakat sebagai salah satu wujud saling menguntungkan diantara kedua belah pihak dalam skema PJL. b. Pembayaran sesuai dengan tenggang waktu yang disepakati.

Ketepatan waktu dalam membayar dana insentif merupakan salah satu komponen penting pada skema PJL. Dalam menentukan tenggang waktu pembayaran, pihak penyedia jasa lingkungan, dalam hal ini masyarakat serta pihak pembayar jasa lingkungan, dalam hal ini pihak PT.KTI melakukan pertemuan insentif. Kesepakatan di awal sebelum skema PJL diterapkan menghasilkan keputusan bahwasannya pemberian dana segar kepada masyarakat dilakukan satu minggu setelah tim evaluator melakukan pengecekan jumlah tegakan tanaman di lahan milik masyarakat. Sejauh ini, masyarakat tidak pernah mengalami keterlambatan dalam pembayaran dana insentif PJL.

c. Insentif berupa bibit tanaman dari pihak pengguna jasa air di wilayah hilir. Insentif berupa bibit tanaman adalah salah satu bentuk insentif yang diterima oleh masyarakat dalam skema PJL. Pemberian bibit tanaman tersebut diberikan oleh salah satu penerima jasa lingkungan di kawasan hilir, dalam hal ini Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Banten. Selama penerapan skema PJL berlangsung, masyarakat telah menerima berbagai jenis bibit tanaman, diantaranya bibit rambutan, durian serta mangga harum manis. Pemberian bibit tanaman tersebut ditujukan agar masyarakat dapat menanami lahan mereka dengan bibit unggul, sehingga hasil panen yang diperoleh lebih maksimal dan menguntungkan bagi masyarakat.

d. Insentif hewan ternak, berupa domba dari pihak pengguna jasa air di wilayah hilir.

Hewan ternak seperti domba merupakan salah satu bentuk insentif yang diberikan oleh para pengguna jasa di wilayah hilir kepada masyarakat. Pihak PT. KTI maupun pihak pemerintah, pernah memberikan insentif berupa hewan domba kepada masyarakat. Pihak PT. KTI misalnya, memberikan bantuan beberapa ekor domba kepada masyarakat kemudian pihak PT. KTI juga bersedia untuk membeli hasil ternak warga tersebut, terutama ketika hari raya tiba. Adapun pihak pengguna jasa air lainnya, seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten pernah memberikan insentif berupa beberapa ekor domba kepada masyarakat. Domba-domba tersebut kemudian dikelola oleh pihak kelompok tani hutan


(41)

28

untuk diberikan kepada anggota-anggotanya. Penyebaran bantuan domba-domba tersebut dilakukan ketika sudah adanya domba-domba-domba-domba yang lahir dari hasil perkawinan domba-domba sebelumnya. Sejauh ini belum semua anggota kelompok tani menerima hewan domba tersebut, sebab terbatasnya jumlah domba dan belum banyaknya domba yang sudah lahir. e. Penyuluhan dari pihak pengguna jasa air selama skema PJL berlangsung.

Salah satu bentuk insentif yang diperoleh masyarakat dari pihak pengguna jasa air di wilayah hilir adalah adanya penyuluhan terkait skema PJL. Penyuluhan tersebut dilakukan tidak secara rutin. Tujuan diadakannya penyuluhan tersebut agar masyarakat tetap mempertahankan tegakan pohon yang berada di lahan perkebunan milik mereka. Selain itu, diadakannya penyuluhan tersebut agar kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan tetap terjaga. Penyuluhan tersebut berasal dari tim forum komunikasi DAS Cidanau (FKDC), dimana di dalamnya terdapat perwakilan berbagai stakeholder yang terlibat dalam skema PJL. Tim FKDC tersebut terdiri dari pihak PT. KTI, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Banten serta pihak LSM Konservasi Bhumi. Pada umumnya, kegiatan penyuluhan dilakukan ketika pengajian rutin kelompok tani berlangsung, yaitu pada malam Jumat.

Berbagai bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat pada hakikatnya bertujuan agar masyarakat dapat merasakan langsung keuntungan diterapkannya skema PJL. Beberapa bentuk insentif tersebut diantaranya: (1) menerima dana segar sebesar Rp. 1.200.000/Ha/Tahun; (2) menerima insentif sesuai dengan waktu yang disepakati; (3) menerima insentif berupa bibit tanaman dari pihak pengguna jasa air; (4) menerima insentif berupa hewan ternak seperti domba dari pihak pengguna jasa air; dan (5) mendapatkan penyuluhan dari pihak pengguna jasa air selama skema PJL berlangsung. Data mengenai jumlah presentase responden menurut indikator tingkat insentif dalam skema PJL disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut insentif dari pengguna jasa air dalam skema PJL tahun 2013

No Insentif Pengguna Jasa Air dalam Skema PJL

Jumlah Responden

Total

Tidak Ya

1 Menerima dana segar sebesar Rp.

1.200.000/Ha/Tahun 0 (0%) 43 (100%) 43 (100%) 2 Menerima insentif berupa dana segar

sesuai dengan waktu yang disepakati 0 (0%) 43 (100%) 43 (100%) 3 Menerima insentif berupa bibit

tanaman dari pihak pengguna jasa air 0 (0%) 43 (100%) 43 (100%) 4 Mendapatkan insentif berupa hewan

domba dari pengguna jasa air 33 (76.7%) 10 (23.3%) 43 (100%) 5 Mendapatkan penyuluhan dari pihak

pengguna jasa air selama skema PJL 0 (0%) 43 (100%) 43 (100%)

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa insentif yang diberikan pengguna jasa air dalam skema PJL kepada masyarakat tergolong tinggi. Khusus pada indikator masyarakat mendapatkan insentif berupa hewan domba dari pengguna


(42)

29 jasa air, hanya ada 10 dari 43 responden (23.3 %) yang memperolehnya dan 33 dari 43 responden (76.7 %) belum mendapatkan insentif tersebut. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah hewan ternak yang diberikan, sehingga ada sebagian responden yang belum mendapatkannya. Selain itu, adanya sistem pembagian yang menunggu lahirnya domba baru untuk diberikan kepada anggota lainnya juga memengaruhi rendahnya jumlah masyarakat yang mendapatkan insentif berupa hewan domba.


(1)

66

2. Syarat Penyedia (sellers) Jasa Lingkungan

Syarat Penerima Pembayaran Jasa Lingkungan (penyedia jasa lingkungan), adalah sebagai berikut;

2.1 Memiliki keinginan dan bersedia untuk menjalankan konsep hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan

(willingness to accept);

2.2 Lahan yang diproyeksikan mendapatkan pembayaran jasa lingkungan, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Merupakan milik masyarakat;

2. Berada di dalam wilayah daerah aliran singai (DAS) Cidanau;

3. Memiliki jenis dan kriteria tanaman, sebagai berikut:

1) Bukan jenis tanaman polong – polongan

(Leguminaseae) kecuali tanaman petai;

2) Bukan jenis tanaman yang mempunyai akar serabut kecuali bambu yang dihitung berdasarkan rumpun (dapur);

3) Semua jenis tanaman buah – buahan kecuali kopi, jeruk, dan jambu batu;

4) Mempunyai diameter batang minimal 15 cm bagi tanaman yang sudah ada dan minimal 5 cm bagi tanaman baru;

5) Tanaman telah diberi notasi atau diberi nomor pohon per lahan pemilikan;

6) Batang tanaman sehat dan terawat. 2.3 Memenuhi persyaratan konservasi, adalah:

1. Penanaman pohon mempertimbangkan pembentukan strata kanopi;

2. Sebaran jenis tanaman harus merata;

3. Jenis yang ditanam tidak memiliki kecenderungan monokultur;

2.4 Memiliki pemahaman yang cukup tentang konsep hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan dan bersedia mematuhi perjanjian pemabayaran jasa lingkungan ini;

2.5 Mempertahankan tegakan tanaman yang masuk dalam skema pembayaran jasa lingkungan, tanpa menghilangkan hak pemilik lahan atas hasil dari dari tegakan tanaman kecuali kayu selama masa perjanjian pembayaran jasa lingkungan ini;

2.6 Berbentuk kelompok atau organisasi masyarakat lain, dengan penguasaan lahan tidak kurang dari 25 (dua puluh lima) hektar dan telah melakukan upaya – upaya yang secara langsung yang


(2)

7 67 yang baik;

2.8 Memiliki rekening bank yang ditanda – tangani sekurang kurangnya oleh 2 (dua) orang pengurus kelompok;

2.9 Bersedia membuat batas kepemilikan lahan dengan menggunakan patok bercat merah dan/atau batas alam yang dituangkan ke dalam peta lay out (rincik) kepemilikan lahan berikut dengan jenis dan jumlah tanaman.

3. Masa Berlaku Perjanjian :

Masa berlaku Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan ini selama 5 (lima)

tahun, terhitung mulai tanggal 7 Januari 2008 sampai dengan 6 Januari 2012.

4. Tata Cara Pembayaran :

Pembayaran oleh PIHAK KESATU kepada PIHAK KEDUA dilakukan dengan tahapan, sebagai berikut:

4.1 Untuk tahun pertama dilaksanakan dalam 3 (tiga) kali pembayaran, sebagai berikut:

1. Pembayaran pertama sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah pembayaran yang akan diterima PIHAK KEDUA untuk satu tahun, pada saat penanda-tanganan perjanjian pembayaran jasa lingkungan ini;

2. Pembayaran kedua sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pembayaran yang akan diterima PIHAK KEDUA untuk satu tahun pada akhir bulan ke 6 (enam) setelah 14 (empat belas) hari Tim yang ditunjuk oleh PIHAK KESATU selesai melaksanakan verifikasi dan menerima kondisi pohon atas lahan yang masuk dalam mekanisme pembayaran jasa

lingkungan berdasarkan tagihan pembayaran dari PIHAK KEDUA;

3. Pembayaran ketiga sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pembayaran yang akan diterima PIHAK KEDUA untuk satu tahun, pada akhir bulan ke 12 (dua belas) setelah 14 (empat

belas) hari Tim yang ditunjuk oleh PIHAK KESATU selesai

melaksanakan verifikasi dan menerima kondisi pohon atas lahan yang masuk dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan berdasarkan tagihan pembayaran dari PIHAK KEDUA;

4.2 Untuk tahun kedua dan seterusnya pembayaran akan dilaksanakan sebanyak 2 (dua) kali pembayaran per tahun, yaitu :

1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah pembayaran yang akan diterima PIHAK KEDUA untuk satu tahun, pada akhir bulan ke ke 5 (lima) atau paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Tim yang ditunjuk oleh PIHAK KESATU selesai melaksanakan verifikasi dan menerima kondisi pohon atas lahan yang masuk dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan berdasarkan tagihan pembayaran dari PIHAK KEDUA;


(3)

68

2. Sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pembayaran yang akan diterima PIHAK KEDUA untuk satu tahun, pada akhir bulan ke ke 11 (sebelas) atau paling lambat 14 (empat belas)

hari setelah Tim yang ditunjuk oleh PIHAK KESATU selesai melaksanakan verifikasi dan menerima kondisi pohon atas lahan yang masuk dalam mekanisme pembayaran jasa

lingkungan berdasarkan tagihan pembayaran dari PIHAK KEDUA;

4.3 Pada setiap tahapan pembayaran yang sudah jatuh tempo, PIHAK KEDUA wajib untuk membuat tagihan pembayaran yang dilengkapi dengan peta situasi lahan dan tanaman masing – masing anggota kelompok;

4.4 Seluruh realisasi pembayaran dilaksanakan dengan mekanisme transfer dari rekening PIHAK KESATU ke rekening PIHAK KEDUA.

5. Persyaratan Pembayaran Jasa Lingkungan

Persyaratan jumlah dan kondisi tanaman yang harus dipenuhi PIHAK KEDUA dan menjadi persyaratan penerimaan pembayaran jasa lingkungan, selama masa perjanjian jasa lingkungan, adalah sebagai berikut:

5.1 Pada setiap tahapan pembayaran selama masa kontrak jumlah tanaman yang ada dan tumbuh dengan baik per hektar tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar;

5.2 Batasan tanaman yang tumbuh dengan baik ditentukan oleh tinggi dan diameter yang disesuaikan dengan umur tanaman;

5.3 Untuk tanaman yang mati akibat unsur alam, hama dan penyakit harus diganti dan dibuatkan berita acara di kelompok dengan diketahui oleh Ketua Koordinator Jasa Lingkungan FKDC, sementara untuk pencurian PIHAK KEDUA wajib melaporkannya kepada pihak yang berwajib dan memberikan bukti laporan tersebut kepada PIHAK KESATU;

5.4 Peta situasi lahan dan tanaman masing – masing anggota kelompok harus menginformasikan tata letak pohon yang diberi notasi nomor dan informasi jenis tanaman;


(4)

9 69

5.6 Tim verifikasi akan mengamati contoh areal yang diverifikasi minimal 10% (sepuluh persen) dari luas areal yang dikelola oleh PIHAK KEDUA dan memilih secara acak (random).

6. Konsekuensi

6.1 Apabila jumlah pohon yang terdapat dalam areal mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dikelola PIHAK KEDUA, dinyatakan kurang oleh Tim Verifikasi, maka secara tanggung

renteng PIHAK KEDUA tidak akan menerima pembayaran jasa

lingkungan dari PIHAK KESATU untuk periode yang sudah jatuh tempo;

6.2 Apabila PIHAK KEDUA tetap melanggar kesepakatan dalam surat perjanjian pembayaran jasa lingkungan ini dan terus mengabaikan peringatan-peringatan dari PIHAK KESATU, maka PIHAK KESATU dapat memutuskan surat perjanjian permbayaran jasa lingkungan ini secara sepihak;

6.3 Apabila terjadi pemutusan perjanjian pembayaran jasa lingkungan ini, maka PIHAK KEDUA harus mengembalikan seluruh dana yang telah diterima kepada PIHAK KESATU.

7. Penutup

Kontrak ini mengikat kedua belah pihak dan apabila di kemudian hari terdapat perselisihan, maka pertama – tama kedua belah pihak akan menyelesaikan perselisihan secara musyawarah, dan apabila cara musyawarah tidak dicapai kesepakatan akan diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku di Pengadilan Negeri Serang.

Demikian Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) dan ditandatangani di atas materai cukup yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.

PIHAK KEDUA

J U H D I

Serang, 7 Januari 2008

PIHAK KESATU


(5)

Mengetahui/Menyetujui

FORUM KOMUNIKASI DAS CIDANAU

Ir. H. HUSNI HASAN. CES Ketua


(6)

9 71

RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Hamdani Pramono. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Mohammad Miftah dan Ibu Pudji Astuti yang lahir di Bogor pada tanggal 28 Maret 1991. Penulis menamatkan pendidikan di TK Miftahussalam Bogor (1996-1997), SDN 22 Ujung Gurun Padang (1997-2003), SMP Negeri 6 Bogor (2003-2006), SMA Negeri 9 Bogor (2006-2009). Kemudian pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan pada tahun 2009 juga diterima sebagai mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama di IPB, penulis tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai anggota Divisi Pengembangan Masyarakat HIMASIERA pada periode 2010-2011 dan 2011-2012. Pada kepengurusan periode 2010-2011, penulis pernah didaulat sebagai ketua pelaksanaan Hari Turun Lapang Himasiera, di desa Pasir Honje, Kelurahan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Penulis juga aktif dalam serangkaian seminar, kepanitiaan serta berbagai kegiatan internal IPB lainnya. Penulis pernah bekerja sebagai enumerator PSP3-IPB guna melihat tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Kota Bogor.