Kajian Mekanisme Inisiatif Pembayaran Jasa Lingkungan (Studi Kasus Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum, Jawa Barat)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

DAS Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dan merupakan sumber air yang penting bagi masyarakat di sekitarnya yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti keperluan rumah tangga, pertanian, peternakan, perikanan, industri, dan lain-lain. Menurut Rohmat (2010), di dalam kawasan DAS Citarum, saat ini diperkirakan 8 juta penduduk bermukim, dan lebih kurang 1000 buah industri beroperasi. Dari total populasi tersebut terdapat 3.953.207 jiwa (1.729 jiwa/ km2) di daerah Citarum hulu (Drakel 2008) dengan 832.438 jiwa yang tergolong miskin (Kobul & Yahya 2011).

Dengan jumlah penduduk yang besar dan cenderung untuk terus bertambah, maka kebutuhan akan lahan pun semakin meningkat dan pembukaan lahan hutan merupakan salah satu pilihan. Menurut Haryanto et al (2007), berdasarkan hasil analisis citra satelit tahun 1983-2002 diketahui bahwa luas hutan di DAS Citarum hulu mengalami penurunan sebesar 21,89% begitu pula halnya dengan lahan pertanian mengalami penurunan sebesar 17,83%, sedangkan untuk daerah terbangun mengalami peningkatan sebesar 6,36% dan lahan terbuka sebesar 5,86%. Hal tersebut menyebabkan koefisien air larian di DAS Citarum hulu sudah mendekati batas kritis (koefisien air larian 0,2). Dari enam sub das utama di DAS Citarum hulu, peningkatan koefisien air larian Sub DAS Cikapundung lebih cepat dibanding DAS Citarum Hulu secara keseluruhan, yaitu dari 0,18 pada tahun 1983 menjadi 0,37 tahun 2002. Dari enam Sub DAS utama, maka keadaan Sub DAS Cikapundung sudah mengalami keadaan koefisien air larian yang kritis (0,37), dan pada lima tahun mendatang keadaannya akan menjadi sangat kritis (0,52). Pada Sub DAS ini penggunaan lahan hutan mengalami penurunan presentase luas sangat drastis, yaitu sebesar 50,76% dalam kurun waktu 19 tahun. Sedangkan tipe penggunaan lahan yang menyebabkan naiknya aliran permukaan semakin meningkat dengan kenaikan presentase luas sebesar 42,18% dalam kurun waktu yang sama.


(2)

Sub DAS Cikapundung sendiri merupakan salah satu bagian dari DAS Citarum yang berfungsi sebagai drainase utama di pusat kota Bandung dan sangat potensial bagi penyediaan air baku, namun kini debit bulanannya telah menurun hingga 20-30% (Maria 2008). Pada Sub DAS Cikapundung diketahui terdapat tidak kurang dari 1.058 bangunan yang dihuni oleh kurang lebih dari 71.875 jiwa, dengan kebiasaan menjadikan aliran sungai sebagai saluran penampungan dan pembawa air limbah rumah tangga dan industri dengan kondisi pada tahun 2004 tidak kurang dari 2,5 juta liter/hari air limbah rumah tangga maupun industri masuk ke dalam badan sungai (Ari 2008). Hal tersebut tentunya berdampak pada kualitas air sungai yang semakin memburuk. Menurut Rohmat (2010), pada beberapa hasil pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas air Sungai Citarum yang tidak memenuhi baku mutu air golongan C atau D.

Kondisi kekritisan tersebut tentunya berdampak pada masyarakat hilir yang memanfaatkannya seperti industri pengelola air untuk menjadi air baku untuk air minum penduduk DKI Jakarta. Menurut Tampubolon et al. (2007), PT Aetra Air Jakarta mengalami kenaikan komponen biaya bahan kimia untuk memperbaiki kualitas air sebesar Rp 87,32 juta per tahun selama kurun waktu 1998-2005 (10,61%) atau Rp 64,00 per m3 biaya produksi air minum. Penggunaan bahan kimia yang meningkat tersebut menunjukkan semakin rendahnya kualitas air baku air minum yang dimanfaatkan dari Tarum Kanal Barat-Citarum sehingga menimbulkan tambahan biaya (marginal cost) yang semakin meningkat.

Untuk menjamin ketersediaan dan kualitas air sungai maka dibutuhkan pegelolaan DAS secara berkelanjutan (Asdak 2004) yang tentunya membutuhkan dana yang besar. Relasi antar organisasi yang sudah ada dalam pengelolaaan DAS Citarum belum terstruktur dengan baik (Rahardja 2010) dan pembiayaan pengelolaan DAS selama ini masih belum memadai dan belum maksimal (Tampubolon et al. 2007). Untuk itu dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat dijadikan sumber pendanaan baru pengelolaan DAS berupa kerjasama antara komponen yang saling mempengaruhi yaitu melibatkan masyarakat hulu dan masyarakat hilir berdasarkan konsep yang memenangkan kedua belah pihak (win win solution).


(3)

Mekanisme yang dapat diadopsi yaitu mekanisme pembayaran masyarakat hilir terhadap jasa masyarakat hulu yang sudah menjaga kelestarian DAS di daerah tangkapan air sebagai biaya pengganti dari biaya tambahan karena rendahnya kualitas air serta meningkatkan kesejahteran masyarakat hulu. Mekanisme tersebut saat ini dikenal sebagai mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau Payment Environmental Services (PES). Menurut Tampubolon (2009), jasa lingkungan yang diterima oleh setiap penerima jasa terutama di hilir, seyogyanya dibayar oleh penerima jasa.

Mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan saat ini sudah berjalan antara PT Aetra Air Jakarta di daerah hilir dengan Kelompok Tani Syurga Air yang berada daerah hulu yang berada di kawasan Sub DAS Cikapundung dan difasilitasi oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) dan Yayasan Peduli Citarum (YPC). Mekanisme pembayaran jasa lingkungan sendiri merupakan konsep yang masih baru di Indonesia dan sebagian besar dalam tahap pengembangan konsep dan uji coba implementasi (Prasetyo 2009). Untuk itu diperlukan pembelajaran dari mekanisme-mekanisme yang sudah berjalan untuk pembentukan kebijakan lebih lanjut mengenai mekanisme ini apakah keluaran yang ingin direncakan sudah tercapai dilihat dari kinerja berdasarkan realita dan manfaat kedua belah pihak sehingga dapat dihasilkan rekomendasi untuk pelaksanaan mekanisme yang lebih baik lagi.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan yang berjalan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum.

2. Mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan yang berjalan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum.

3. Mengetahui perkembangan dan mengevaluasi mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum saat ini.


(4)

1.3 Manfaat

Hasil dari penilitian ini diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan selanjutnya dan sebagai bahan pertimbangan penyusunan regulasi yang lebih lanjut.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji mekanisme yang berjalan di DAS Citarum dengan batasan wilayah hulu yaitu di Sub DAS Cikapundung khususnya mekanisme yang terjadi antara Kelompok Tani Syurga Air, Desa Sunten Jaya, Lembang, Bandung sebagai penyedia jasa lingkungan dengan pihak pembeli jasa lingkungan, yaitu PT Aetra Air Jakarta. Objek dari penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait (penyedia jasa, penerima jasa, mediator, dan pihak terkait lainnya) berikut atributnya (kepentingan, pengaruh, peranan, hak, dan kewajiban) dan mekanisme itu sendiri dengan segala bentuk hal yang disepakati dan yang tercantum dalam perjanjian mekanisme yang telah ada. Selain itu juga mengkaji bagaimana mekanisme tersebut berjalan hingga saat ini (pencapaian output, kendala yang dihadapi, dan penyelesaian masalah yang timbul). Sehingga dari pemahaman akan hal-hal tersebut diharapkan dapat menjadi sebuah pembelajaran (lesson learned) baik untuk mekanisme di lokasi ini sendiri maupun untuk lokasi lainnya yang akan menerapkan mekanisme pembayaran jasa lingkungan.


(5)

1.5 Kerangka Pemikiran

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran.

Pada bagian hulu telah terjadi perubahan lahan (jangka waktu 19 tahun) dengan kondisi terparah pada Sub DAS Cikapundung dimana :

 Tutupan hutan mengalami penurunan sebesar 50,76%

 Tutupan lahan yang meningkatkan aliran permukaan meningkat sebesar 42,18%

Peningkatan koefisien aliran permukaan dan transpor sedimen serta pembuangan limbah industri, rumah tangga, peternakan, dan sebagainya ke aliran sungai

Masyarakat hulu DAS Citarum Khususnya pada Sub DAS Cikapundung yang merupakan daerah tangkapan air terdapat tidak kurang dari 1.058 bangunan yang dihuni oleh kurang lebih 71.875 jiwa

DAS Citarum sebagai DAS terbesar di Jawa Barat merupakan sumber air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, perikanan, peternakan, dan industri.

Masyarakat hilir DAS Citarum seperti misalnya industri pengelola air baku air minum dari aliran sungai Tarum Kanal Barat-Citarum yang memerlukan biaya tambahan pembelian bahan kimia untuk peningkatan mutu air

Willingness to Accept (WTA) sejumlah insentif untuk melakukan perbaikan lingkungan di daerah hulu.

Willingness to Pay

(WTP) sejumlah kompensasi kepada penyedia jasa lingkungan untuk perbaikan lingkungan di daerah hulu. Pembentukan suatu mekanisme yang bertujuan:

Alternatif pembiayaan rehabilitasi daerah tangkapan air di Sub DAS Cikapundung

Dilakukannya upaya konservasi air dan lahan di daerah tangkapan air oleh penyedia jasa lingkungan dengan sistem tanaman multi strata

insentif kepada penyedia jasa lingkungan

Payment Environmental Services (PES)

Norma terkait:

 Peraturan yang disepakati

 Perjanjian yang diacu bersama

Organisasi:

 Pihak yang terlibat beserta peranan, hak, dan tanggung jawab masing-masing

 Mekanisme penegakan kesepakatan (insentif/disinsentif)

Kinerja dilihat dari realita di lapang dan manfaat kedua belah pihak Dampak pada bagian hilir :

Kualitas air sungai belum memenuhi baku mutu air golongan C dan D.

Erosi dan pendangkalan sungai

Fluktuasi debit sungai yang besar (meluap/banjir saat musim hujan dan kering pada musim kemarau)


(6)

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dan tujuan dari penelitian ini, ada beberapa hal yang perlu diketahui, diantaranya:

1. Hal-hal apa saja yang disepakati bersama dalam mekanisme ini meliputi peraturan dan perjanjian yang diacu bersama dan bagaimana alur kesepakatan tersebut terbentuk.

2. Pihak-pihak mana saja yang terlibat, apakah keterlibatan tersebut sudah tepat, dan pihak mana saja yang seharusnya terlibat yang dapat dilihat dari kepentingan dan pengaruh dari masing-masing pihak. Selain itu, perlu diketahui juga peranan, hak dan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme ini serta bagaimana pemenuhan hak dan tanggung jawab tersebut berikut mekanisme penegakannya.

3. Bagaimana perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan tersebut hingga saat ini. Apakah keluaran (output) yang diharapkan sudah tercapai. Sejauh mana isi kesepakatan tersebut dapat mengakomodasi kepentingan dari pihak-pihak yang terkait. Kendala apa saja yang ditemui dan solusi apa yang diambil untuk mengatasi kendala tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dapat dijawab melalui analisis para pihak untuk poin kedua, dan analisis deskriptif melalui triangulasi data untuk poin pertama dan ketiga. Proses analisis tersebut diawali dengan pengambilan data melalui wawancara dan studi literatur terhadap pihak dan dokumen terkait.


(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DAS dan Pengelolaan DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami sedemikian rupa sehingga semua air hujan yang jatuh kedalam DAS tersebut akan ditampung, disimpan dan dialirkan melalui suatu sistim sungai dan anak-anaknya ke danau atau laut. Dengan pemahaman seperti itu maka DAS dapat dianggap sebagai suatu sistim secara hidrologis dan berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan. Dalam pengelolaan DAS, fungsi hidrologis tersebut harus dikonservasikan agar dapat menunjang kehidupan secara lestari. Karena DAS merupakan suatu sistem secara hidrologis maka bagian-bagian DAS mempunyai hubungan saling ketergantungan. DAS bagian-bagian hilir sangat tergantung pada DAS bagian hulu dalam hal penyediaan air (Tampubolon 2009).

Menurut Tampubolon (2009), terjadinya krisis air baik dalam kuantitas dan kualitas, disebabkan oleh pengelolaan DAS yang tidak tepat. Arsyad (2000), Pagiola, et al (2002), Asdak (2004) dan Kodoatie dan Sjarief (2005) diacu dalam Tampubolon (2009) menyatakan bahwa kondisi air merupakan parameter kunci dalam menilai keberhasilan pengelolaan DAS yang dicirikan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Kuantitas air. Pada umumnya kuantitas air sangat berkaitan dengan jumlah curah hujan, kondisi penutup dan tataguna lahan. Semakin tinggi perbandingan antara luas lahan tertutup vegetasi dengan total luas lahan, maka tingkat ketersediaan air akan semakin besar, demikian sebaliknya. Kondisi ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan dan debit air sungai.

2. Kualitas air. Kondisi kualitas air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh penutup lahan, limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian (pola tanam, pemupukan dan pestisida). Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai, waduk, dan sumur.


(8)

3. Perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Kondisi ini mencirikan kemampuan DAS menyimpan air (saat musim hujan) dan mengalirkannya terus menerus (kontinuitas) walaupun musim kemarau dengan fluktuasi debit yang kecil. Kemampuan lahan menyimpan air sangat tergantung pada kondisi dan distribusi penutup lahan serta tanah. Dalam sistem pengelolaan DAS, aktivitas di salah satu bagian akan memberi dampak hulu-hilir dalam bentuk hilangnya peluang maupun biaya sosial sehingga diperlukan suatu pengelolaan bersama dengan peran yang jelas (Pangesti 2002 diacu dalam Rahardja 2010).

2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan

Secara umum PES (pembayaran jasa lingkungan) didefinisikan sebagai mekanisme kompensasi dimana penyedia jasa (service provider) dibayar oleh penerima jasa (service users) (The Regional Forum on Payment Schemes for Environmental Services in Watersheds, The Third Latin American Congress on Watershed Management 2003 diacu dalam USAID 2009). Sedangkan definisi dari Wunder (2005), Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah sebuah transaksi sukarela dengan kerangka kerja yang dinegosiasikan dimana terdapat jasa lingkungan yang dapat terukur atau adanya penggunaan lahan untuk memelihara jasa lingkungan yang dikandungnya yang kemudian jasa lingkungan tersebut dibeli oleh minimal satu pembeli dari minimal satu penyedia jasa lingkungan jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan memelihara keberlangsungan jasa lingkungan yang diperjualbelikan tersebut sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan saat negosiasi. Berikut adalah ilustrasi pembayaran jasa lingkungan (Gambar 2).


(9)

Sumber : USAID (2009)

Gambar 2 Ilustrasi pembayaran jasa lingkungan.

Berdasarkan definisi diatas suatu kegiatan pembayaran jasa lingkungan memerlukan sebuah mekanisme untuk mengatur berjalannya kegiatan tersebut. Mekanisme pembayaran jasa multifungsi DAS yang tergolong dalam pembayaran jasa lingkungan dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk (Cahyono & Purwanto 2006), yaitu:

1. Kesepakatan yang di atur sendiri.

Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan pemilik lahan yang bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi DAS.

2. Skema pembayaran publik.

Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang


(10)

bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi pelanggarnya.

3. Skema pasar terbuka.

Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di negara yang sudah maju. Pemerintah dapat mendefinisikan barang atau jasa apa saja dari multifungi DAS yang dapat diperjualbelikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum, transparansi, penghitungan secara ilmiah yang akurat dan sistem verifikasi yang terjamin.

Sedangkan menurut Landell-Mills & Porras (2002), terdapat delapan kategori mekanisme pembayaran jasa DAS, mekanisme-mekanisme tersebut antara lain :

1. Direct negotiation between buyers and sellers. Mekanisme ini melibatkan rincian kontrak untuk membangun praktek manajemen terbaik yang dapat meningkatkan manfaat DAS atau perjanjian pembelian tanah berdasarkan negosiasi antara pembeli dan penjual

2. Intermediary-based transactions. Perantara digunakan untuk mengontrol biaya transaksi dan resiko, dan paling sering dibangun dan dijalankan oleh LSM, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah. Pada beberapa kasus dibuat perwakilan dana independen.

3. Pooled transactions. Transaksi terpusat mengontrol biaya transaksi dengan menyebar resiko pada beberapa pembeli. Mereka juga dipekerjakan untuk membagi biaya dari transaksi besar seperti yang dibutuhkan pasar DAS. 4. Internal trading. Transaksi dalam suatu organisasi, misalnya pembayaran

dalam intra pemerintahan.

5. Over-the-counter trades/user fees. Mekanisme ini muncul dimana jasa dikemas untuk dijual, contohnya kredit kualitas air. Jasa DAS seringkali menawarkan standar tingkatan untuk penerima yang berbeda melalui biaya penggunaan. Tingkatan ini biasanya tidak dinegosiasikan dan dikenakan pada semua penerima.


(11)

6. Clearing-house transactions. Sebuah perantara yang lebih rumit menawarkan inti bentuk dasar perdagangan kepada pembeli dan penjual berupa penerimaan cek-cek antara bank. Mekanisme ini tergantung pada keberadaan dari standar pra pengemasan komoditas. Seperti : kredit salinitas, ganti rugi kualitas air.

7. Auctions. Seringkali diasosiasikan dengan mekanisme clearing-house dan perdagangan over-the counter, pelelangan mencoba untuk melangkah lebih dekat dengan pasar persaingan untuk jasa DAS. Pelelangan ditujukan untuk menentukan penawaran jasa DAS serta untuk mengalokasikan kebijakan untuk membayar.

8. Retail-based trades. Dimana pembayaran jasa untuk perlindungan DAS yang melekat pada pembayaran dari konsumen. Contohnya: produksi pertanian yang aman. Biasanya diasosiasikan dengan sertifikasi dan skema pelabelan yang menghasilkan pengakuan konsumen dan kemauan membayar.

Koch-Weser (2002) diacu dalam Pudyastuti (2007) menjelaskan bahwa dalam pembayaran jasa lingkungan membutuhkan beberapa elemen, khususnya :

 Valuasi (nilai) jasa lingkungan dari titik yang menguntungkan satu atau beberapa kelompok stakeholder hilir

 Organisasi sosial yang cukup efektif yang dinegosiasikan antara kelompok hulu dan hilir untuk mendorong kesepakatan pembayaran secara langsung.

 Kesepakatan dengan tujuan yang jelas dan teruji serta berhubungan dengan kesepakatan implementasi dan monitoring.

 Kerangka kerja yang legal dan institusional  Ketentuan untuk resolusi konflik.

Menurut USAID (2009), konsep PES relatif baru, sehingga tidak semua skema kontrak PES yang berkembang telah memiliki kesempurnaan dan siap diperbanyak untuk daerah lain. Dalam Kongres Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Negara-negara Amerika Latin 2003, Forum on Payment Schemes for Environmental Serivices in Watershed mengindentifikasi pembelajaran yang


(12)

diperoleh dari pengalaman pengembangan skema PES di Amerika Latin, yaitu bahwa:

 Hingga sekarang skema PES pada pengelolaan DAS yang dikembangkan masih sangat beragam dengan tahapan kemajuan yang berbeda-beda dan untuk berbagai tujuan mulai dari tingkatan mikro dengan fokus yang sangat spesifik hingga tingkatan nasional yang dikontrol oleh negara. Namun banyak pula skema PES yang beroperasi tanpa kerangka peraturan yang spesifik.

 Penerapan skema PES di negara-negara America Latin tergolong sudah maju di antara negara-negara berkembang lainnya, namun belum semua penerapan skema PES tersebut terinventarisasi secara baik dan masih memerlukan kajian-kajian sosial ekonomi dan kaitannya terhadap lingkungan.

 Masih adanya ketidakpastian hubungan sebab akibat yang siginifikan antara penggunaan lahan dan jasa-jasa yang dihasilkan.

 Pada banyak kejadian, penyedia jasa tertarik dengan skema PES sebagai instrumen mekanisme informal untuk penguatan hak kepemilikan (property rights) atas lahan.

 Peran pemerintah dalam pengembangan skema PES dalam kerangka pengelolaan DAS masih sangat bervariasi.

 Di beberapa kasus, institusi publik yang terlibat kebanyakan adalah institusi lokal dibandingkan dengan institusi yang berskala nasional.

 Penerapan skema PES yang berkembang secara potensial dapat direplikasi ke berbagai lokasi.

2.3 Peraturan Perundangan Terkait Jasa Lingkungan

Menurut Prasetyo et al. (2009), UU No 23 Tahun 1997 yang menggantikan UU Lingkungan Hidup No 4 Tahun 1984 menjelaskan pihak yang berwenang, hak, dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur pengelolaan lingkungan, termasuk delegasi pemerintahan lokal (propinsi, kabupaten, dan kota) dengan mempertimbangkan perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan. UU No 41 Tahun 1999 diikuti baru-baru ini oleh PP No 6 Tahun 2007 tentang Kehutanan, menyediakan pedoman umum pengelolaan sumber daya hutan dengan bagian


(13)

tertentu mengatur pengelolaan jasa lingkungan. Undang-undang ini, dikombinasikan dengan UU No 34 Tahun 2000 dan PP 65 Tahun 2001 tentang Perpajakan Daerah. Sebagai tambahan, jasa air diatur oleh UU No 7 Tahun 2004 mengenai Sumberdaya Air yang dijadikan dasar implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di Indonesia. Menurut Bapak Subarudi dari Badan Litbang Kehutanan, sebenarnya Indonesia telah memiliki peraturan perundangan terkait pembayaran jasa lingkungan yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 14 yang banyak terkait dengan pemanfaatan air, dan PP No. 6 Tahun 2007 dengan PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Murjani 2010).

2.4 Penelitian Terdahulu

2.4.1 Jasa lingkungan di DAS Citarum

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan jasa lingkungan DAS Citarum. Nurfitriani & Nugroho (2007), telah menghitung nilai ekonomi manfaat hidrologis hidrologis hutan lindung di hulu DAS Citarum yang memiliki nilai pasar sebagai dasar perhitungan nilai distribusi biaya dan manfaat di antara para penerima dan penyedia manfaat. Dari hasil penelitian diperoleh besar biaya penuh (full cost) pengadaan air yang telah memasukkan nilai lingkungan di Sub DAS Citarum Hulu sebesar Rp 25,33 milyar/tahun. Dari nilai tersebut diperoleh nilai tarif normal Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air untuk pemanfaatan PDAM dan industri sebesar Rp 273,38/m3 dan Rp 297,18/m3 dengan nilai lingkungan sebesar Rp 15,87 milyar/tahun dan Rp 5,265 milyar/tahun. Nilai tersebut menggambarkan nilai yang perlu dialokasikan kembali ke pengelola kawasan hutan di hulu DAS sebagai bentuk pembagian keuntungan dan biaya (benefit cost sharing) di antara penyedia dan penerima manfaat hidrologis hutan lindung.

Drakel (2008), menganalisis persepsi dan kemauan masyarakat perkotaan (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan, lahan, dan air pada studi kasus DAS Citarum. Dari hasil penelitiannya, sebesar 70% responden mengeluhkan ketersedian air saat ini buruk, 65% menyatakan keluhan terhadap air yang keruh, 35% menyatakan keluhan air yang berbau. Sehingga 70% masyarakat menyatakan


(14)

hulu berperan untuk perbaikan lingkungan dan 69,45% setuju. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi air semakin buruk sehingga perlu untuk perbaikan lingkungan. Namun kemauan membayar (WTP) yang dilihat dari dugaan rataan WTP diatas harga air berlaku yang saat ini masih rendah, yaitu sebesar Rp 62.500/orang/bulan dengan WTP agregat (total kemauan membayar) dari populasi adalah sebesar Rp 36.080,618/bulan di bawah total harga air yang diterima pemerintah/PDAM per-bulan saat ini. Hal tersebut dipengaruhi oleh pendapatan, umur, tanggungan keluarga, ketersediaan air, keluhan air, status rumah, dan lebih memilih sumber air sumur dibanding PDAM.

2.4.2 Implementasi pembayaran jasa lingkungan di Indonesia (studi kasus di beberapa DAS)

2.4.2.1 DAS Cidanau, Banten

Budhi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai konsep dan implementasi dari program PES di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa implementasi PES di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir.

PES diagggap penting untuk diimplementasikan untuk mengatasi masalah air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, implementasi dari program tersebut tidaklah mudah. PT KTI sebagai perusahaan air siap mendanai implementasi tersebut sebagai uji coba PES. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada pertanian mereka. Skema PES yang terjadi di DAS Cidanau dapat dilihat pada Gambar 3.


(15)

PT KTI Kelompok

Tani

LP3ES dan Rekonvasi

Bhumi

PDAM

PLN

FKDC Sektor

Swasta Industri

Keterangan :

: Komunikasi dan Fasilitasi : MoU dan PES

: Air dan Pembayarannya

Sumber : Budhi et al. (2007)

Gambar 3 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Banten. Implementasi PES telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan dan kondisi ekonomi petani yang penting untuk keberlanjutan implementasi PES. Namun ditemui beberapa hambatan dimana konsep PES masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru, karena adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari implementasi PES di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan.

Implementasi yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek pembelajaran dimana hak dan kewajiban tiap pihak dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, implementasi PES dapat di uji coba pada skala nasional.

2.4.2.2 DAS Way Besai, Lampung

Isu yang melatarbelakangi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Sumberjaya, Lampung dikemukakan oleh RUPES (2010). Tulisan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah mempercayai bahwa deforestasi yang tidak


(16)

terkontrol dan konversi lahan menjadi kebun kopi telah menyebabkan peningkatan erosi tanah. Erosi tersebut mengancam pengoperasian bendungan Sumberjaya dan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Kepercayaan tersebut mengakibatkan pengusiran ribuan petani dari Sumberjaya antara tahun 1991-1996.

Hasil penelitian RUPES sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa kebun kopi multistrata dapat mengontrol erosi dan meningkatkan taraf hidup petani. Selain itu, menurut Suyanto & Khususiyah (2006), petani miskin di Trimulyo sangat tergantung pada lahan negara. Berdasarkan analisa Gini Rasio, lahan negara merupakan faktor yang menyebakan peningkatan pemerataan pendapatan dan pemerataan kepemilikan lahan. Pemberian imbalan atas lahan (land right) akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemerataan di kalangan petani.

Menurut LPM Equator (2011), proses perumusan masalah, pendefinisian jasa lingkungan, aktor yang terlibat, serta indikator keberhasilan PES harus dipenuhi dalam pengembangan PES. PES yang dikembangkan di Sumberjaya, Lampung merupakan salah satu contoh implementasi PES yang berhasil mengembangkan indikator keberhasilan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikator mengenai jumlah sedimentasi yang ada di sungai Way Besai. Indikator yang dikembangkan berasal dari aspek fisik, biologi, dan ekonomi. Berikut adalah skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung (Gambar 4).

Gambar 4 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung.

PLTA

Pembayarana jasa lingkungan riparian melalui dinas pertanian dan kehutanan

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (kepemilikan lahan)

Masyarakat hulu DAS Way Besai

Masyarakat peduli sungai

RUPES (intermediary)

Pelaksanaan kontrak dimana masyrakat hulu berhasil menurunka sedimen sungai, kemudian mendapatkan sejumlah insentif Pemberian Pembangkit Listrik


(17)

2.4.2.3 DAS Kali Brantas, Jawa Timur

Mata air utama Sungai Brantas dikenal dengan nama Sumber Brantas. Pada awalnya jumlah mata air sebanyak 13 buah, namun kondisi hutan saat ini mengalami kerusakan akibat aktivitas masyarakat baik pengusaha, petani maupun penebangan liar sehingga mata air banyak yang menurun fungsinya (PSDAL-LP3ES 2004 diacu dalam USAID 2007).

USAID (2007) menyebutkan bahwa pembayaran jasa lingkungan yang terjadi antara Perum Jasa Tirta (PJT-1) dan Yayasan Pengembangan Pedesaan (YPP) PJT-1 sebagai pihak pertama dengan masyarakat petani di Desa Tlekung dan Desa Bendosari. Yayasan Pengembangan Pedesaan (YPP) berperan sebagai intermediary dari proses hubungan hulu-hilir DAS Brantas. Kurun waktu kesepakatan antara YPP dengan Petani adalah selama 6 bulan. Setelah berakhirnya kesepakatan tersebut, petani akan melakukan pemeliharaan tanaman dari bantuan tersebut meliputi penyulaman, pemupukan, pendangiran, penyiraman, dan sebagainya secara swadaya sampai tanaman mampu menghasilkan buah atau produk lainnya. Hasil panen dari tanaman tersebut sepenuhnya menjadi hak petani. Meskipun demikian, hasil kayu dari penanaman tersebut diperoleh dengan melakukan tebang pilih untuk menghindari degradasi lahan. YPP dengan Petani Petani berkewajiban melakukan upaya penghijauan di lokasi yang telah disepakati dengan tanaman yang telah ditentukan: Petani ber-swadaya menyediakan ajir tanaman, pupuk kandang, tenaga kerja dan tanaman sulam dengan petani wajib mematuhi peraturan tebang pohon yang telah ditentukan walaupun pohon tersebut berada di tanah milik petani sendiri. Skema PES di DAS Kali Brantas tersaji pada Gambar 5.


(18)

Sumber : USAID (2007)

Gambar 5 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Kali Brantas, Jawa Timur. Anonim3 (2007) menyebutkan dampak yang terjadi setelah adanya pembayaran jasa lingkungan di DAS Brantas antara lain: 1. Terbangunnya kesadaran masyarakat untuk melakukan perlindungan DAS di lahan pribadi maupun milik Perhutani, 2. Munculnya keswadayaan masyarakat, seperti membangun kebun bibit, penanaman lahan, dan perawatan tanaman, 3. Terbangunnya hubungan antara kelompok masyarakat dengan dinas terkait, perguruan tinggi, pengusaha, bank, masyarakat sekitarnya untuk membangun lingkungan lestari, 4. Tercapainya kegiatan-kegiatan produktif dalam upaya perbaikan lingkungan, 5. Terbentuknya Serikat Petani Hulu sebagai wadah organisasi masyarakat hulu DAS Brantas, 6. Terciptanya mekanisme pertemuan secara rutin untuk media pembelajaran. Sedangkan permasalahan yang terjadi

Kualitas dan kuantitas air lebih baik untuk rumah tangga, irigasi, hotel dan industri.

PJB, PDAM, Hotel (APHI), HIPAM,

Jasa Tirta

GIRAB Batu Hijau

Lestari Kegiatan : kepastian hak

kelola masyarakat, pelatihan, pelayanan kesehatan, pendidikan, kampanye, patroli, industri rumah tangga Pemilik/pengelola

lahan/Tahura, LMDH, Desa, KTT, Fokal

Mesra Hubungan diatur dalam MoU/ agreement dukungan pembiayaan program & CSR Rehabilitasi, restorasi, praktek pertanian ramah lingkungan DAS Kali Brantas, Jawa Timur


(19)

adalah tidak adanya peraturan yang mengatur secara tegas mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berlaku di DAS Brantas.


(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada wilayah Sub Das Cikapundung, DAS Citarum. Wilayah Sub DAS Cikapundung sebagai penyedia jasa lingkungan yaitu Desa Sunten Jaya, Kecamatan Lembang, Bandung dan wilayah hilir yaitu PT Aetra Air Jakarta sebagai pembeli jasa lingkungan, serta Yayasan Peduli Citarum (YPC) dan Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jawa Barat sebagai fasilitator. Penelitian dilakukan pada bulan September-November 2011.

3.2 Objek dan Alat Penelitian

Objek penelitian adalah para pihak yang terkait dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum yang sedang berjalan, dan mekanisme itu sendiri. Alat yang digunakan antara lain: alat tulis, tape recorder, panduan wawancara, dan kamera digital.

3.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data untuk penelitian ini terdiri dari metode wawancara dan studi literatur. Metode wawancara dilakukan dengan cara semi terstruktur dimana responden dipilih secara purposive sampling dengan mempertimbangkan keterlibatannya dalam mekanisme terkait dan merupakan tokoh kunci (key person) dari setiap pihak yang terlibat (stakeholder). Menurut Devers & Frankel (2000), purposive sampling di desain untuk mendapatkan pemahaman dari pemilihan individu atau kelompok yang berpengalaman atau untuk mengembangkan teori atau konsep. Tujuan tersebut dicari oleh peneliti melalui pemilihan kasus yang kaya informasi, dimana individu, kelompok, organisasi, atau perilaku yang menyediakan wawasan terbesar terhadap pertanyaan penelitian. Wawancara dilakukan terhadap ketua Kelompok Tani Syurga Air beserta 12 dari 32 orang anggotanya, dua orang dari PT.Aetra, dua orang dari LP3ES, satu orang dari Yayasan Peduli Citarum, satu orang dari BPLHD Jawa Barat, satu orang dari BBWSC, satu orang dari Dinas Kehutanan, satu orang dari Dinas Pengelola Sumber Daya Air, dan satu orang dari PDAM


(21)

Kota Bandung. Menurut Bernard (2002) diacu dalam Tongco (2007), tidak ada batasan terehadap banyaknya informan yang diambil untuk purposive sampling, selama kebutuhan akan informasi masih dibutuhkan. Selanjutnya menurut Seidler (1974) diacu dalam Tongco (2007), ukuran contoh yang telah dipelajari terhadap jumlah informan yang dipilih secara purposive, ditemukan bahwa setidaknya 5 informan dibutuhkan agar data teruji.

Wawancara semi terstruktur merupakan wawancara lintas para pihak untuk memeriksa atau menambahkan kelompok data yang difokuskan (Reed et al. 2009). Sedangkan studi literatur dilakukan melalui penelusuran dokumen perjanjian mekanisme pembayaran jasa lingkungan Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum yang sedang berjalan dan data pendukung lainnya seperti kondisi Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum, data kependudukan dari desa terkait, dll. Berikut adalah jenis, sumber, dan metode pengumpulan data secara lengkap (Tabel1).

Tabel 1 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data

No Jenis Data Sumber Data Metode Pegumpulan

Data Data Pokok

1 Skema PJL di Sub DAS

Cikapundung, DAS

Citarum :

- Latar belakang

munculnya mekanisme PJL di lokasi tersebut - Cara penentuan nilai

imbal jasa yang

disepakati (dasar,cara perhitungan, dan proses) - Aturan dari mekanisme

yang berjalan - Isi perjanjian

- Penegakan aturan (monev, pemberian sanksi, dll)

- Perkembangan

mekanisme PJL yang dilakukan

- Permasalahan yang

timbul dalam

pelaksanaan dan solusi yang diambil

Kelompok Tani Syurga Air PT Aetra Air Jakarta Yayasan Peduli Citarum Lembaga Penelitian,

Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

Badan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

(BPLHD) Jawa Barat

Penelusuran dokumen dan wawancara


(22)

Tabel 1 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data (lanjutan)

No Jenis Data Sumber Data Metode Pegumpulan

Data

2 Keterlibatan para pihak : - Identifikasi para pihak - Peranan para pihak - Tingkat kepentingan

serta pengaruh para pihak

Hak dan kewajiban para pihak serta pemenuhan hak dan kewajiban tersebut

Kelompok Tani Syurga Air PT Aetra Air Jakarta Yayasan Peduli Citarum Lembaga Penelitian,

Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

Badan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

(BPLHD) Jawa Barat

Penelusuran dokumen, observasi lapang, dan

wawancara

Data Pendukung

3 Kondisi Sub DAS

Cikapundung

 BPDAS Citarum-Ciliwung Penelusuran dokumen dan studi literatur 4 Kondisi sosial-ekonomi

masyarakat

Kantor desa Sunten Jaya Kecamatan Lembang, Bandung

Penelusuran dokumen dan wawancara

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan berdasarkan data dari dokumen perjanjian mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan yang ada dengan tiga jalur analisis data (Miles & Huberman 1992 diacu dalam Agusta 2003), yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data untuk menyederhanakan data, meringkas, dan menggolongkannya. Penyajian data dapat berupa skema atau bagan alir mekanisme atau teks naratif. Penarikan kesimpulan dengan cara peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan.

Untuk mekanisme yang sudah berjalan dievaluasi dengan metode triangulasi, yaitu menyocokkan data yang diperoleh dari studi literatur terhadap dokumen terkait dengan hasil dari observasi lapang dan wawancara. Kemudian penyocokkan data tersebut dianalisis secara deskriptif.

3.4.2 Analisis para pihak

Menurut Groenendijk (2003), para pihak (stakeholder) adalah keseluruhan aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan, dan penerapan sebuah proyek. Para pihak merepresentasikan sistem dengan tujuan, sumberdaya, dan sensitifitas masing-masing. Analisis para pihak berusaha untuk membedakan dan mempelajari pihak-pihak yang didasari oleh atribut mereka dan kriteria yang tepat untuk situasi yang spesifik.


(23)

Pihak yang terlibat dianalisis untuk mengetahui peranannya melalui metode pendekatan yang dikembangkan oleh Groenendijk (2003), metode tersebut diawali dengan mengidentifikasi pihak yang terlibat dan mengklasifikasikan pihak tersebut menjadi pihak primer, pihak sekunder, dan pihak eksternal berdasarkan keterkaitannya secara langsung/tidak langsung dengan mekanisme yang ada. Kemudian, tiap pihak yang berbeda tersebut tentunya memiliki atribut yang berbeda untuk dikaji tergantung situasi dan tujuan dari analisis. Atribut kunci dari analisis para pihak adalah kepentingan (interest). Atribut lainnya yang juga dimasukkan dalam analisis adalah pengaruh (influence) dan kepentingan (importance).

 Kepentingan (interest) terhadap tujuan proyek/mekanisme merupakan atribut yang penting untuk diinvestigasi dari para pihak. Kepentingan ini mungkin bersimpati terhadap tujuan (para pihak juga menginginkan apa yang coba dicapai oleh proyek) atau kebalikannya (tujuan proyek bertolak belakang terhadap kepentingan dari para pihak).

 Pengaruh (influence) adalah kewenangan para pihak terhadap proyek- untuk mengontrol keputusan apa yang dibuat, untuk memfasilitasi penerapannya atau untuk menggunakan tekanan yang mempengaruhi proyek secara negatif. Pengaruh mungkin saja diartikan sebagai tingkatan orang, kelompok, atau organisasi yang dapat membujuk atau memaksa pihak lain dalam membuat keputusan dan mengikuti beberapa tindakan.  Tingkat kepentingan (importance) mengindikasikan prioritas yang

diberikan untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan para pihak pada proyek. Jadi itu merujuk pada masalah, kebutuhan, dan kepentingan para pihak yang merupakan prioritas proyek.


(24)

Tabel 2 Kepentingan para pihak Kepentingan

(Interest)

Potensi dampak dari mekanisme

Tingkat kepentingan relatif Pihak primer

Pihak1 ... Pihak n

Pihak sekunder

Pihak 1 ... Pihak n

Pihakeksternal

Pihak 1

...

Pihak n

Pada kolom potensi dampak terhadap mekanisme dapat diklasifikasikan menjadi positif (+), negatif (-), tidak jelas (-/+), dan tidak diketahui (?). Untuk kolom tingkat kepentingan relatif pada tiap pihak diisi berdasarkan kebijakan dan tujuan dari mekanisme dengan skala (1-5).

Kesuksesan sebuah mekanisme sebagian tergantung dari kebenaran asumsi yang dibuat dari para pihak yang berbeda, dan resiko yang dihadapi oleh mekanisme. Beberapa dari resiko akan menimbulkan konflik kepentingan. Dengan mengkombinasikan pengaruh dan kepentingan dari tiap pihak pada sebuah diagram matriks, asumsi dan resiko pada pihak dapat teridentifikasi. Posisi dari para pihak pada kuadran tertentu mengindikasikan resiko relatif yang mungkin ditimbulkan dan potensi koalisi untuk mendukung mekanisme yang ada. Berikut adalah bentuk matriks tersebut (Gambar 6).

High

Importance

Low Influence High

Gambar 6 Diagram matriks kepentingan dan pengaruh dari tiap pihak.

A B

C D

Pihak 1

Pihak 2

Pihak 3

Pihak 4


(25)

Kotak A, B, dan C merupakan pihak kunci dari mekanisme yang dapat secara signifikan mempengaruhi mekanisme. Implikasi dari tiap kotak adalah sebagai berikut :

A. Pihak dengan kepentingan yang tinggi terhadap mekanisme tapi memiliki pengaruh yang rendah. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa mereka membutuhkan inisiatif khusus jika kepentingan mereka ingin dilindungi.

B. Pihak dengan tingkat pengaruh yang tinggi pada mekanisme dan juga kepentingan yang tinggi terhadap kesuksesan mekanisme. Untuk memastikan koalisis efektif yang mendukung mekanisme, staf mekanisme perlu membangun hubungan kerja yang baik dengan pihak ini.

C. Pihak dengan pengaruh yang tinggi, yang dapat mempengaruhi dampak mekanisme, tetapi tidak memiliki kepentingan terhadap mekanisme. Pihak ini bisa menjadi sumber resiko yang signifikan, dan dibutuhkan monitoring dan manajemen yang hati-hati. Pihak kunci ini dapat menghentikan mekanisme dan perlu diperhatikan.

D. Pihak di kuadran ini dengan pengaruh yang rendah dan kepentingan yang rendah pula terhadap mekanisme, mungkin membutuhkan monitoring yang sedikit atau evaluasi namun dengan prioritas rendah. Mereka bukanlah subjek dari aktivitas mekanisme.


(26)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sub DAS Cikapundung 4.1.1 Letak dan luas

Daerah Sungai Cikapundung terletak di sebelah utara Kota Bandung Provinsi Jawa Barat, dan merupakan bagian hulu Sungai Citarum. Secara administrasi pemerintahan ada di Kabupaten Bandung (meliputi : Kecamatan Lembang, Kecamatan Cilengkrang, dan Kecamatan Cimenyan) serta Kota Bandung (meliputi: Kecamatan Cidadap dan Kecamatan Coblong). Luas daerah Sub DAS Cikapundung secara keseluruhan sekitar 40.491,79 ha dengan panjang sungai 975,49 km dan kerapatan sungai 2,41 km/km2 (BPDAS Citarum Ciliwung 2006). Pada bagian hulu terdapat percabangan sungai yang membentuk dua sub sistem DAS, yang terletak di Maribaya. Percabangan ke arah Barat merupakan sub sistem Cigulung meliputi Sungai Cikidang, Cibogo, Ciputri, dan Cikawari. Sedangkan ke arah Timur meliputi Sungai Cibodas, dan Sungai Cigalukguk (USAID 2007).

Sumber : BPDAS Citarum Ciliwung


(27)

4.1.2 Kondisi geografis

Berdasarkan analisis peta geologi lembar Bandung yang dinyatakan dalam bentuk irisan memanjang geologi permukaan, daerah hulu Sungai Cikapundung didasari oleh batuan dasar gunung api tua tak teruraikan, bagian hulu tertimbun oleh material gunung api muda tak teruraikan. Hal tersebut dikarenakan daerah hulu Sungai Cikapundung terdiri dari rangkaian pegunungan tinggi (Gunung Tangkuban Perahu dan Bukit Tunggul). Untuk jenis tanah, daerah hulu Sungai Cikapundung terdiri atas jenis tanah : andosol coklat, asosiasi andosol dan regosol coklat, dan latosol coklat (Darsiharjo 2004). Dari segi kelerangan di daerah Sub DAS Cikapundung, terdiri dari kelerengan 0-8% (8.212,82 ha), 15-25% (18.723,60 ha), 25-40% (2.867,88 ha), >49% (10.687,73 ha) (BPDAS Citarum Ciliwung 2006).

4.1.3 Curah hujan

Curah hujan berdasarkan pemantauan 6 stasiun (Margahayu, Kayu Ambon, Cemara, Dago Pakar, Lembang, dan Buah Batu) berkisar antara 1500-2400 mm/tahun dengan hari hujan berkisar antara 96-220 hari dan curah hujan maksimum 89 mm (USAID 2007).

4.1.4 Luas dan tata guna lahan

Tataguna lahan di Sub DAS Cikapundung meliputi : hutan lahan kering sekunder 5.204,90 ha (12,85%), hutan tanaman 54,39 ha (0,13%), pemukiman 18.615 ha (45,97%), pertanian lahan kering 10.336,63 ha (25,53%), pertanian lahan kering campuran 4.162,35 ha (10,28%), sawah 1.917,65 ha (4,74%), tanah terbuka 200,25 ha (0,49%) (BPDAS Citarum Ciliwung 2006).

4.1.5 Sosial ekonomi penduduk

Terdapat kurang lebih 71.875 penduduk yang bermukim di sekitar Sungai Cikapundung dengan tingkat kepadatan menengah ke bawah (Ari 2008). Tingkat pertumbuhan penduduk cukup tinggi dengan sebagian penduduk yang tinggal di wilayah Sub DAS Cikapundung dikelompokkan sebagai penduduk miskin. Untuk mata pencaharian, sebagian besar penduduk bergantung pada sektor pertanian (35,6%), baik bercocok tanam, beternak, maupun berkebun atau wana tani. Pada tingkat pendidikan, masyarakat tersebut masih tergolong rendah karena sebagian


(28)

besar hanya tamat SD bahkan ada yang tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD (USAID 2007).

4.2 Penyedia Jasa Lingkungan

Masyarakat Desa Sunten Jaya yang tergabung dalam Kelompok Tani Syurga Air merupakan masyarakat yang bersedia berperan sebagai penyedia jasa lingkungan. Desa Sunten Jaya terletak di Kecamatan Lembang pada ketinggian 1200 m dpl yang memiliki mata-mata air yang potensial sebagai sumber air di daerah-daerah sekelilingnya, termasuk menjadi suplai air untuk Sungai Cikapundung (daerah tangkapan air Sub DAS Cikapundung) yang bermuara ke Sungai Citarum di daerah Dayeuh Kolot. Berdasarkan Profil Desa Sunten Jaya (2009), jumlah mata air yang berada di desa ini sebanyak 6 sumber mata air dalam kondisi baik yang dimanfaatkan oleh 2.068 kepala keluarga.

Luas Desa Sunten Jaya 4.556,56 km2 dengan total populasi 7.032 jiwa. Rata-rata penduduk desa ini memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, pedagang, pegawai negeri, buruh migran, dan jasa ojek. Sebagian besar lahan desa digunakan sebagai lahan pertanian termasuk bercocok tanam di daerah-daerah lereng bukit dengan kemiringan yang cukup tajam, atau sekitar 30° (57,7%) menurut profil desa tahun 2009. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya lahan kritis setiap tahun yang hingga saat ini mencapai sekitar 160 ha (Yayasan Peduli Citarum 2011). Sementara untuk kegiatan peternakan sapi perah, sekitar 3000 ekor sapi dimiliki 35% penduduk desa yang bekerja sebagai peternak dengan produksi per hari rata-rata 10-15 liter susu dari tiap ekor sapi. Namun, peternak tersebut memiliki kebiasaan untuk membuang kotoran ternak langsung ke aliran sungai karena aliran sungai tersebut tidak digunakan warga sebagai sumber air bersih (USAID 2007).

Gambar 8 Mata pencaharian mayoritas desa Sunten Jaya sebagai petani sayur dan peternak.


(29)

Gambar 9 Peta lokasi penyedia jasa lingkungan (Desa Sunten Jaya) Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum.

4.3 Pembeli Jasa Lingkungan

PT Aetra Air Jakarta merupakan industri pengelola air baku air minum bagi area industri, area bisnis maupun pemukiman penduduk di wilayah operasional Aetra, meliputi Jakarta Timur, sebagian Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Aetra mendapat konsesi untuk melakukan usaha selama 25 tahun berdasarkan Perjanjian Kerjasama dengan Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya). Kerjasama ini berlaku efektif sejak tanggal 1 Februari 1998 hingga tanggal 31 Januari 2023. Aetra bertanggung jawab untuk mengelola, mengoperasikan, memelihara, serta melakukan investasi untuk mengoptimalkan, menambah dan meningkatkan pelayanan air bersih di wilayah operasional Aetra, yaitu sebelah timur Sungai Ciliwung yang meliputi sebagian wilayah Jakarta Utara, sebagian wilayah Jakarta Pusat dan seluruh wilayah Jakarta Timur (Anonim2 2011). Sumber air baku PT. Aetra berasal dari Waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II), yang dialirkan ke Jakarta melalui saluran terbuka Kanal Tarum Barat (Kalimalang). Produk utama PT. Aetra adalah air bersih perpipaan. Air didistribusikan ke pelanggan rumah tangga dan industri yang berada di area operasionalnya melalui jaringan perpipaan (PT. Aetra Air Jakarta 2009).


(30)

Kapasitas produksi air PT. Aetra adalah sebesar 9000 liter/detik dengan standar kualitas air minum sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/Menkes/PER/IV/2010 untuk melayani 386.400 pelanggan (PT. Aetra Air Jakarta 2011). Untuk memproduksi air dengan standar tersebut seringkali PT. Aetra berhadapan dengan masalah kualitas air baku yang buruk. Dari segi standar kekeruhan misalnya, sering kali didapatkan air baku dengan kekeruhan 2.000-3.000 NTU, bahkan sampai 28.000 NTU sedangkan stndar kekeruhan untuk kualitas air baku adalah 200 NTU (Kompas 2010). Selain itu dari hasil pengukuran amonia telah mencapai lebih dari 1,7 ppm sedangkan pada kondisi normal hanya berkisar maksimum 0,5 ppm (Anonim 2010).


(31)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Mekanisme Inisiatif Pembayaran Jasa Lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum

5.1.1 Latar belakang mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum

DAS Citarum sebagai salah satu DAS terbesar di Jawa Barat memiliki peranan yang besar terhadap kebutuhan air di daerah sekitarnya bahkan sampai DKI Jakarta. Namun, peranan yang besar tersebut tidak diikuti dengan kondisi DAS yang baik seperti kualitas air yang buruk, laju transpor sedimen yang tinggi, erosi, dll. Menurut Pusat Litbang SDA (2008), status mutu air Sungai Citarum bagian hulu dan hilir dengan Metoda Indeks Pencemaran, terhadap Baku Mutu Air Klas II dari PP 82/2001 tegolong ke dalam tercemar berat dan untuk skala nasional Sungai Citarum termasuk kategori sungai super prioritas berdasarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri No.19/1984; Menteri Kehutanan No.059/1984 dan Menteri Pekerjaan Umum No.124/1984. Bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) bahwa kualitas air waduk saguling (bagian dari DAS Citarum) sudah di atas ambang normal. Kandungan merkuri (Hg), misalnya meroket hingga menembus angka 0,236 padahal menurut standar baku mutu, angka aman adalah 0,002 (Sanjaya 2011). Penyebab dari kondisi tersebut antara lain akibat dari aktivitas manusia seperti pembuangan limbah industri, rumah tangga, pertanian, dan pertenakan langsung ke badan sungai dan terutama adalah perubahan penggunaan lahan di daerah hulu yang menyebabkan naiknya laju aliran permukaan (Farida et al 2006). Menurut Poerbandono (2006), konversi hutan menjadi lahan terbuka pada DAS Citarum hulu dengan luas yang memiliki dampak spasial yang berarti berada pada wilayah yang mengalami peningkatan laju ekspor sedimen tahunan yang melebihi 100 ton/km2. Dana yang dibutuhkan untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut tentunya tidak sedikit, sedangkan penggunaan dana yang didapatkan dari pajak air dan iuran penggunaan air dari PJT II masih belum tepat sasaran. Berdasarkan kondisi tersebut, LP3ES yang


(32)

merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat mencoba untuk menginisiasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment Environmental Service) di DAS Citarum. Inisiasi mekanisme ini mendapatkan bantuan dana dari Asian Development Bank (ADB) terutama untuk proses persiapan prakondisi terimplementasinya mekanisme pembayaran jasa lingkungan ini.

5.1.2 Proses penerapan mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum

Langkah awal yang ditempuh LP3ES dalam menginisiasi mekanisme ini adalah mengajukan mekanisme ini ke pemerintah terkait seperti Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Jawa Barat (BPSDA Jabar), Balai Besar Sungai Wilayah Citarum (BBWSC), dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat (BPLHD Jabar) untuk berkonsultasi mengenai keberlanjutan mekanisme ini. Dari tiga lembaga pemerintahan tersebut, BPLHD Jawa Barat merupakan lembaga yang paling merespon dan menanggapi mekanisme ini.

Kemudian dilakukan proses konsultasi antara LP3ES dengan BPLHD untuk menentukan daerah hulu yang memungkinkan akan menjadi lokasi pelaksanaan mekanisme ini. Pada awalnya, pihak BPLHD merekomendasikan dua lokasi untuk implementasi mekanisme ini, yaitu di daerah Bandung Selatan (Sub DAS Cisangkuy) dan di daerah Bandung Utara (Sub DAS Cikapundung). Evaluasi lapang dilakukan terhadap dua lokasi tersebut dan pada akhirnya LP3ES lebih condong kepada lokasi di Bandung Utara (Sub DAS Cikapundung). Sub DAS Cisangkuy dirasakan kurang cocok karena di lokasi ini sudah ada program konservasi yang berjalan cukup baik namun dengan skema yang berbeda dari mekanisme pembayaran jasa lingkungan sehingga dikhawatirkan jika dilakukan implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di lokasi ini akan menjadi tidak efektif.

Evaluasi lapang dilakukan atas dasar beberapa kriteria seperti: ketersedian kelembagaan petani yang cukup solid, lokasi strategis pembangunan pemerintah daerah, telah terjadi degradasi lingkungan, ada kesiapan anggota kelompok tani, dan ada keterlibatan dari pemerintah untuk menentukan lokasi. Setelah ada kesediaan dan kesiapan dari kelompok tani di daerah tersebut untuk dijadikan lokasi implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan ijin dari


(33)

pemerintah daerah (bukan hanya BPLHD Jabar tetapi juga BBWSC), langkah selanjutnya adalah penguatan kelompok petani untuk lebih siap terlibat dalam mekanisme ini. Setelah kelompok tani siap, selanjutnya dilakukan pendekatan terhadap pemanfaat air yang bersedia untuk memberikan sejumlah kompensasi terhadap kelompok tani tersebut untuk usaha mereka merehabilitasi lahan kritis di lahan milik mereka.

Beberapa pendekatan telah dilakukan ke beberapa pemanfaat air potensial untuk terlibat dalam mekanisme ini sebagai pembeli jasa lingkungan. Pemanfaat tersebut antara lain PT Indonesia Power, PJT II, PT. Palyja, APPLI (Asosiasi pengendali Pencemaran Lingkungan), PDAM Kota Bandung, dan PT. Aetra. Dari beberapa pemanfaat air tersebut hanya PT. Aetra yang baru bersedia untuk menjadi pembeli jasa lingkungan dan terlibat langsung dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Pemanfaat lainnya belum berkepentingan menjadi pembeli jasa lingkungan karena menurut mereka, mereka sudah membayar pajak air atas air yang mereka manfaatkan dan mereka juga sudah melakukan program proteksi lingkungan daerah hulu dengan titik dan mekanisme yang berbeda dari mekanisme pembayaran jasa lingkungan ini. Sehingga akhirnya dibuatlah kesepakatan antara PT. Aetra sebagai pembeli jasa DAS dengan membayar sejumlah kompensasi kepada Kelompok Tani Syurga Air sebagai penyedia jasa dengan melakukan upaya rehabilitasi lahan kritis daerah hulu seluas 22 ha. Sebenarnya ada pihak lain yang bersedia menjadi pembeli jasa lingkungan, yaitu Pusat Standardisasi Lingkungan (Pustanling), Kementrian Kehutanan. Pustanling yang bersedia memberikan sejumlah kompensasi kepada Kelompok Tani Giri Putri di Desa Cikole, Lembang Bandung atas usaha kelompok tani untuk merehabilitasi lahan kritis seluas 33 ha. Namun dalam penelitian ini hanya fokus pada perjanjian antara PT. Aetra dengan Kelompok Tani Syurga Air.

5.1.3 Penetapan nilai imbal jasa yang disepakati

Nilai imbal jasa lingkungan yang disepakati kedua belah pihak, yaitu pihak PT. Aetra dan Kelompok Tani Sunten Jaya adalah sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Nilai tersebut dibayarkan oleh PT. Aetra kepada Kelompok Tani Syurga Air sebagai kompensasi terhadap upaya Kelompok Tani Syurga Air untuk menanami lahan kritis di desa Sunten Jaya seluas 22 ha sesuai dengan


(34)

perjanjian yang disepakati. Besaran nilai tersebut disepakati atas dasar jumlah uang yang dibutuhkan petani untuk menanam satu batang pohon dan biaya teknik pengelolaan lahan serta kemampuan dari pihak PT. Aetra untuk mengeluarkan dana. Berdasarkan dana dan luasan yang sudah disepakati tersebut maka petani mendapatkan kompensasi sebesar Rp 10.000,- per batang untuk tanaman kayu (suren dan ekaliptus) dan Rp 1.500,- per batang tanaman kopi yang mereka tanam. Sehingga pada areal 22 ha tersebut ditanami sebanyak 20.000 bibit kopi, 1.000 bibit suren, dan 1.000 bibit eukaliptus.

Dana yang dikeluarkan oleh PT. Aetra merupakan bagian dari alokasi dana CSR perusahaan mereka. Sebenarnya dana yang dikeluarkan untuk kompensasi tersebut dapat dihitung berdasarkan biaya tambahan yang dikeluarkan akibat pengaruh penurunan kualitas lingkungan seperti biaya penggunaan bahan kimia untuk memperbaiki kualitas air. Penurunan kualitas lingkungan tersebut tentunya semakin lama akan semakin parah jika tidak ada upaya perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi dan konservasi lahan dan air dan tentunya berimplikasi terhadap biaya untuk mengatasi penurunan kualitas air yang semakin mengingkat juga. Jika alokasi biaya tambahan tersebut dialokasikan untuk biaya perbaikan lingkungan, maka tentunya akan menjadi sebuah investasi jangka panjang yang menguntungkan (Tampubolon 2009). PT Aetra Air Jakarta sendiri mengalami kenaikan komponen biaya bahan kimia untuk memperbaiki kualitas air sebesar Rp 87,32 juta per tahun selama kurun waktu 1998-2005 (10,61%) atau Rp 64,00 per m3 biaya produksi air minum (Tampubolon et al. 2007). Besaran biaya tersebut tentunya dapat dijadikan ukuran sebagai dana yang bersedia dikeluarkan oleh pihak PT. Aetra untuk perbaikan lingkungan di daerah hulu dengan dampak yang lebih jangka panjang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua kelompok tani, dana kompensasi yang diberikan masih kurang mencukupi. Sehingga untuk menanggulangi hal tersebut beberapa petani yang memiliki lahan sempit, jarak tanam kopi diperlebar dari yang seharusnya 2,5 x 2,5 m menjadi 4 x 4 m sehingga lahan untuk menanam sayur lebih lebar. Dari pihak petani sendiri ingin jika lahan mereka lebih dihijaukan lagi dengan tanaman keras asalkan ada penghasilan atau kompensasi yang mencukupi, karena mereka mulai menyadari bahwa harga sayur


(35)

di pasaran tidak menentu sedangkan biaya untuk bertani sayur makin tinggi. Menurut Wunder (2008), nilai jasa lingkungan tergantung pada penentuan kemauan membayar (willingness to pay) untuk jasa lingkungan yang harus melebihi opportunity cost dari penyedia jasa lingkungan (seperti keuntungan yang hilang dari penggunaan lahan mereka sebelumnya) atau dengan kata lain harus melebihi nilai dari kemauan untuk menerima (willingness to accept) ditambah dengan biaya transaksi (minimum willingness to accept + biaya transaksi > maksimum willingness to pay). Namun, ketika opportunity cost secara umum tidak dapat diobservasi, setidaknya dapat diperkirakan untuk besarnya pembayaran. Jika diasumsikan bahwa partisipan adalah pembuat keputusan yang rasional, tentunya mereka tidak akan menerima pembayaran kecuali melebihi perhitungan opportunity cost yang mereka hadapi, biaya implementasi yang mereka harus ambil alih, dan biaya transaksi yang mereka hadapi.

Biaya transaksi, yaitu dana dan waktu yang dikeluarkan untuk membangun dan mengimplementasikan perjanjian pembayaran jasa lingkungan dalam studi kasus ini terbantu dari pihak LP3ES yang mendapatkan bantuan dana dari Asian Development Bank dan pihak BPLHD Jawa Barat yang bersedia untuk memfasilitasi implementasi mekanisme ini serta kesiapan dari pihak penyedia jasa dalam hal pengetahuan mengenai lingkungan dan kelembagaan. Sehingga dana yang dikeluarkan oleh pembeli jasa lingkungan menjadi tidak terlalu besar. Menurut Myrand & Paquin (2004), biaya transaksi akan berkurang dimana pengguna lahan telah cukup terorganisasi dan tersruktur dengan baik untuk menerima dan mendistribusikan pembayaran selain itu biaya perjanjian dengan pengguna lahan secara umum rendah ketika perjanjian kontraknya sederhana. Sedangkan menurut The Katoomba Group dan UNEP (2008), untuk mengurangi biaya transaksi, terdapat beberapa solusi sederhana seperti menerapkan mekanisme pembayaran jasa lingkungan pada program pengembangan masyarakat yang sudah ada sebelumnya dan dengan kerjasama dengan jaringan dan lembaga donor internasional.


(36)

5.1.4 Skema mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum

Kesepakatan kerjasama dalam mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum telah terjadi antara PT. Aetra Air Jakarta dengan Kelompok Tani Syurga Air. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Perjanjian Kerjasama antara PT Aetra Air Jakarta dengan Kelompok Tani Syurga Air Desa Sunten Jaya Nomor: 063/AGR-SA/IX/09 tentang Membangun Mekanisme Hubungan Hulu-Hilir Dalam Upaya Pelestarian Sumberdaya Air Di DAS Citarum. Berikut ini adalah penggambaran skema mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan antara PT.Aetra Air Jakarta dengan Kelompok Tani Sunten Jaya (Gambar 10).

Gambar 10 Skema mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum.

Dalam perjanjian tersebut, PT. Aetra Air Jakarta sebagai pembeli jasa lingkungan (buyer) memberikan sejumlah kompensasi kepada Kelompok Tani Syurga Air sebagai penyedia jasa lingkungan (seller) untuk menanami lahan milik

LP3ES

fasilitasi fasilitasi

fasilitasi lapang

Kelompok Tani Syurga Air, Desa

Sunten Jaya, Lembang-Bandung

PT. Aetra Air Jakarta Konservasi air dan lahan

milik seluas 22 ha di Sub DAS Cikapundung, hulu DAS Citarum

Yayasan Peduli Citarum

Dana kompensasi sebesar Rp 50.000.000,-

Waduk Jatiluhur-Kanal Tarum

Barat Jasa air

Working Group


(37)

anggota Kelompok Tani Syurga Air seluas 22 ha dari lahan pertanian sayur menjadi lahan perkebunan dengan pola tanam multistrata.

5.1.4.1 Jenis-jenis tanaman dalam perjanjian

Jenis-jenis yang ditanam sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak antara lain 20.000 bibit kopi, 1000 bibit suren, dan 1000 bibit eukaliptus. Jenis-jenis tersebut diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan baru karena nilai ekonomi dari jenis-jenis tersebut dan juga dapat berpengaruh baik terhadap konservasi air dan tanah. Menurut Pujiyanto et al. (2001) diacu dalam Agus (2004), tanaman kopi dapat mengurangi erosi. Berdasarkan penelitian skala petak kecil, erosi sangat tinggi pada dua tahun pertama tanaman kopi bila petakan tersebut tidak dikelola dengan perlakuan pengendalian erosi karena minimnya penutupan permukaan tanah oleh tanaman. Tindakan pengendalian erosi seperti teras bangku dan strip (hedgerow) efektif mengurangi erosi dalam dua tahun pertama. Mulai tahun ketiga, erosi menjadi sangat kecil karena makin rapatnya tajuk kopi dan mulai saat itu berbagai perlakuan konservasi tidak lagi memberikan pengaruh terhadap erosi. Untuk tanaman Eucalyptus, menurut Cornish dan Vertessy (2001) diacu dalam Suprayogi (2003) menyatakan bahwa fase-fase pertumbuhan tanaman Eucalyptus mempengaruhi besarnya evapotranspirasi. Kondisi ini dapat dianalisis dengan melihat hasil air (water yield), pada awal pertumbuhan eucalyptus hasil air mengalami peningkatan kemudian mengalami penurunan pada fase menjelang penebangan. Selain itu, menurut Pudjiharta (2001), isu bahwa Eucalyptus berpengaruh buruk pada aspek hidrologi tidak seluruhnya benar. Pada Eucalyptus, kehilangan air hujan oleh intersepsi tajuk relatif kecil, air lolos dan aliran batang relatif besar sedang erosinya relatif kecil. Sedangkan untuk tanaman suren, menurut Sofyan & Islam (2006) suren memiliki potensi untuk digunakan sebagai salah satu jenis tanaman rehabilitasi dan lahan terdegradasi.

5.1.4.2 Masa berlaku dan tata cara penyerahan kompensasi

Masa berlaku perjanjian pembayaran jasa lingkungan adalah selama 6 bulan (September 2009-Februari 2010) untuk menyelesaikan kegiatan penanaman. Pada perjanjian tersebut Kelompok Tani Syurga Air menerima kompensasi dari PT. Aetra Air Jakarta sebesar Rp 50.000.000,- yang dibayarkan dalam tiga tahap berdasarkan ketentuan sebagai berikut:


(38)

1. Tahap pertama dibayarkan sebesar 50% dari nilai yang disepakati, setelah perjanjian ditandatangani dan seluruh persiapan lahan sudah diselesaikan oleh Kelompok Tani Syurga Air

2. Tahap kedua dibayarkan sebesar 25% dari nilai yang disepakati setelah lewat 3 bulan perjanjian ditandatangani dan tanaman yang ditanam oleh Kelompok Tani Syurga Air telah tumbuh dengan baik

3. Tahap ketiga dibayarkan sebesar 25% dari nilai disepakati setelah lewat 6 bulan perjanjian ditandatangani dan antara pihak PT. Aetra Air Jakarta dan Kelompok Tani Syurga Air sepakat atas hasil yang telah dicapai dari tujuan perjanjian.

Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka pembayaran dana kompensasi akan ditunda sampai ketentuan tersebut terpenuhi. Setelah perjanjian berakhir (6 bulan masa perjanjian), Kelompok Tani Syurga Air tetap harus melakukan pemeliharaan tanaman sehingga tanaman mampu menghasilkan buah atau produk lainnya. Hasil dari buah atau produk lainnya merupakan hak Kelompok Tani Syurga Air dan PT. Aetra tidak memiliki sedikit pun hak atas produk yang dihasilkan tersebut. Khusus untuk produk tanaman berupa kayu baru dapat diambil sekurang-kurangnya 7 tahun dan harus menanam kembali tanaman sejenis di lahan yang sama dengan jumlah yang sama atau lebih.

.


(39)

5.1.4.3 Monitoring

Setiap kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan perjanjian dilakukan monitoring oleh kedua belah pihak secara bersama-sama dengan dibantu oleh pihak LP3ES selama sebagai fasilitator sampai dengan November 2009 sehingga dapat diketahui perkembangan kegiatan konservasi yang telah dilakukan. Hasil laporan kegiatan kemudian akan diberikan kepada PT. Aetra sebagai bentuk pertanggung jawaban kegiatan. Selain itu kemajuan dari tiap kegiatan juga dilaporkan pada setiap pertemuan working group untuk kemudian didiskusikan dan dievaluasi bersama oleh pihak-pihak yang tergabung. Monitoring dalam mekanisme pembayaran ini memang hanya sebatas pada perubahan penggunaan lahan yang telah disepakati dalam perjanjian. Sedangkan untuk monitoring terhadap efek dari perubahan lahan tersebut terhadap jasa air tidak dilakukan mengingat jangka waktu perjanjian dan cakupan wilayah yang sempit. Menurut Pagiola dan Platais (2007) diacu dalam Engel et al. (2008), monitoring terhadap program pembayaran jasa lingkungan terbagi menjadi dua, yaitu monitoring apakah penyedia jasa lingkungan menjalani perjanjian yang disepakati seperti perubahan penggunaan lahan dan monitoring apakah penggunaan lahan tersebut faktanya dapat meningkatkan jasa lingkungan yang diinginkan. Walaupun dalam praktek kebanyakan program pembayaran jasa lingkungan tidak lebih dari monitoring penggunaan lahan yang disepakati dalam perjanjian.

5.1.4.4 Kategori mekanisme pembayaran jasa lingkungan

Berdasarkan kategori mekanisme pembayaran jasa DAS yang dikemukakan oleh Landell-Mills & Porras (2002), mekanisme yang terjadi antara PT. Aetra dengan Kelompok Tani Syurga Air termasuk ke dalam mekanisme intermediary-based transaction. Kategori mekanisme tersebut menggunakan perantara untuk mengontrol biaya transaksi dan resiko, dan paling sering dibangun dan dijalankan oleh LSM, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah. Hal tersebut terlihat dari keterlibatan LP3ES dan YPC yang merupakan LSM dan BPLHD Jawa Barat yang merupakan instansi pemerintah sebagai pihak perantara yang memfasilitasi dan mendorong terjadinya kesepakatan pembayaran jasa lingkungan ini. Sedangkan menurut kategori yang dikemukakan oleh Cahyono & Purwanto (2006), mekanisme ini termasuk ke dalam kategori kesepakatan yang diatur


(40)

sendiri. Pada kategori ini, kesepakatan diatur sendiri antara pemyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah. Hal tersebut terlihat dari jumlah pihak yang terlibat secara langsung yang hanya terdiri dari satu pembeli jasa lingkungan yaitu PT. Aetra dan satu penyedia jasa lingkungan (Kelompok Tani Syurga Air) dengan perjanjian yang sederhana dan campur tangan dari pihak pemerintah hanya sebatas memfasilitasi dan menjadi saksi dalam perjanjian tersebut. Pengkategorian ini bisa saja berkembang menjadi skema pembayaran publik jika pemerintah sudah menyediakan landasan kelembagaan untuk mekanisme ini dengan skala yang lebih luas, mengingat mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang sudah terjadi merupakan proyek uji coba yang memungkinkan pereplikasian dengan cakupan yang lebih luas dan keterlibatan pihak yang lebih banyak.

5.2 Keterlibatan Para Pihak 5.2.1 Indentifikasi para pihak

Menurut Groenendijk (2003), para pihak (stakeholder) adalah keseluruhan aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan, dan penerapan sebuah proyek. Para pihak dapat disebutkan dan diklasifikasikan dengan banyak cara. Pembedaan mendasar pada pihak (stakeholder) adalah antara yang pihak mempengaruhi (menentukan) keputusan atau aksi (active stakeholder) dan pihak yang dipengaruhi oleh keputusan atau aksi (baik secara positif atau negatif) (passive stakeholder). Pihak yang dipengaruhi selanjutnya dikategorikan sebagai pihak yang terpengaruh secara langsung (pihak yang mendapatkan keuntungan atau kerugian) yang dapat disebut sebagai pihak primer dan pihak yang secara tidak langsung terpengaruh seperti perantara atau perwakilan organisasi yang dapat disebut sebagai pihak sekunder.

Pada mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan ini yang termasuk dalam pihak primer adalah pihak pembeli jasa lingkungan dan pihak penyedia jasa lingkungan sesuai dengan kriteria untuk mendefinisikan pembayaran jasa lingkungan yang disebutkan dalam Wunder (2005). Untuk itu, PT. Aetra Air Jakarta sebagai pembeli/penerima jasa lingkungan dan Kelompok Tani Syurga Air sebagai penyedia jasa lingkungan merupakan pihak primer dalam mekanisme ini.


(1)

83

Lampiran 7 Skoring pengaruh dan kepentingan para pihak

No Pihak Pengaruh Tingkat

kepentingan

Argumen

Pihak primer

1. Masyarakat hulu penyedia jasa lingkungan

5 5  Tingkat kepentingan pihak ini merupakan prioritas dari tujuan mekanisme PJL => skor 5

 Pengaruh pihak ini tinggi terkait dengan keputusan penggunaan lahan milik mereka yang tidak dapat diganggu gugat=> skor 5 2. PT. Aetra air Jakarta 4 5  Tingkat kepentingan pihak ini merupakan prioritas dari tujuan

mekanisme PJL => skor 5

 Pengaruh pihak ini cukup tinggi karena mempengaruhi aturan dalam mekanisme seperti besaran dana kompensasi karena sifat mekanisme yang sukarela => skor 4

3. PT. Palyja 4 4  Tingkat kepentingan pihak ini merupakan prioritas dari tujuan mekanisme PJL namun pihak ini belum terlibat langsung dalam mekanisme sebagai pemanfaat jasa lingkungan=> skor 4

 Pengaruh pihak ini cukup tinggi karena dapat mempengaruhi aturan dalam mekanisme seperti besaran dana kompensasi atau

keikutsertaan dalam mekanisme karena sifat mekanisme yang sukarela => skor 4

4. PDAM Kota Bandung 4 4  Tingkat kepentingan pihak ini merupakan prioritas dari tujuan mekanisme PJL namun pihak ini belum terlibat langsung dalam mekanisme sebagai pemanfaat jasa lingkungan=> skor 4

 Pengaruh pihak ini cukup tinggi karena dapat mempengaruhi aturan dalam mekanisme seperti besaran dana kompensasi atau

keikutsertaan dalam mekanisme karena sifat mekanisme yang sukarela => skor 4

5. PDAM Kabupaten Bandung 4 4  Tingkat kepentingan pihak ini merupakan prioritas dari tujuan mekanisme PJL namun pihak ini belum terlibat langsung dalam mekanisme sebagai pemanfaat jasa lingkungan=> skor 4

 Pengaruh pihak ini cukup tinggi karena dapat mempengaruhi aturan dalam mekanisme seperti besaran dana kompensasi atau

keikutsertaan dalam mekanisme karena sifat mekanisme yang sukarela => skor 4


(2)

84

mekanisme PJL namun pihak ini belum terlibat langsung dalam mekanisme sebagai pemanfaat jasa lingkungan=> skor 4

 Pengaruh pihak ini cukup tinggi karena dapat mempengaruhi aturan dalam mekanisme seperti besaran dana kompensasi atau

keikutsertaan dalam mekanisme karena sifat mekanisme yang sukarela => skor 4

7. Perum Jasa Tirta II 4 4  Tingkat kepentingan pihak ini merupakan prioritas dari tujuan mekanisme PJL namun pihak ini belum terlibat langsung dalam mekanisme sebagai pemanfaat jasa lingkungan=> skor 4

 Pengaruh pihak ini cukup tinggi karena dapat mempengaruhi aturan dalam mekanisme seperti besaran dana kompensasi atau

keikutsertaan dalam mekanisme karena sifat mekanisme yang sukarela => skor 4

8. PT. Lippo Cikarang 4 4  Tingkat kepentingan pihak ini merupakan prioritas dari tujuan mekanisme PJL namun pihak ini belum terlibat langsung dalam mekanisme sebagai pemanfaat jasa lingkungan=> skor 4

 Pengaruh pihak ini cukup tinggi karena dapat mempengaruhi aturan dalam mekanisme seperti besaran dana kompensasi atau

keikutsertaan dalam mekanisme karena sifat mekanisme yang sukarela => skor 4

Pihak sekunder

9. BPLHD 3 3  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa

lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 3

 Pengaruh pihak ini sedang karenabelum ada aturan mengikat terkait PJL dan pengaruh sebatas lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan DAS/lingkungan =>skor 3

10. BBWSC 3 3  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa

lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 3

 Pengaruh pihak ini sedang karenabelum ada aturan mengikat terkait PJL dan pengaruh sebatas lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan DAS =>skor 3

11. BPDAS Citarum-Ciliwung 3 3  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 3


(3)

85

 Pengaruh pihak ini sedang karenabelum ada aturan mengikat terkait PJL dan pengaruh sebatas lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan DAS =>skor 3

12. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bandung Barat

2 3  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 3

 Pihak ini berpengaruh dalam kebijakan pengelolaan daerah hulu (pertanian, perkebunan, dan kehutanan) tingkat kabupaten =>skor 2 13. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat 3 3  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa

lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 3

 Pengaruh pihak ini sedang karenabelum ada aturan mengikat terkait PJL dan pengaruh sebatas lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan DAS bagian hulu (hutan) =>skor 3 14. Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air

Jawa Barat

3 3  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 3

 Pengaruh pihak ini sedang karenabelum ada aturan mengikat terkait PJL dan pengaruh sebatas lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan DAS =>skor 3

15. Pemda : Jawa Barat,

Kabupaten Bandung Barat, dan kota Bandung

2 3  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 3

 Pihak ini memiliki pengaruh terhadap kebijakan yang berjalan di daerah otoritasnya=>skor 2

16. ICWRMP 2 3  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa

lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 3

 Pihak ini memiliki wewenang langsung di bawah BBWSC dan memiliki koneksi dengan pihak-pihak lain=>skor 2

17. LP3ES 2 3  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa

lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 3

 Pihak ini memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih terhadap mekanisme PJL dan membutuhkan aliansi dengan pihak yang


(4)

86

memiliki wewenang terhadap pengelolaan DAS => skor 2

18. YPC 2 2  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa

lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 2

 Pihak ini mempunyai pengaruh terkait koneksinya dengan

masyarakat hulu dan pengetahuannya mengenai lingkungan => skor 2

19. PKK DAS Citarum 2 2  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 2

 Pihak ini mempunyai pengaruh terkait koneksi dan kemampuan informasi terhadap masyarakat serta pengetahuannya mengenai lingkungan => skor 2

20. PORTAB 2 2  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa

lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 2

 Pihak ini mempunyai pengaruh terkait koneksinya dengan

masyarakat hulu dan pengetahuannya mengenai lingkungan => skor 2

21. K3A (Kelompok Kerja Komunikasi Air) 2 2  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 2

 Pihak ini mempunyai pengaruh terkait koneksi dan kemampuan informasi terhadap masyarakat serta pengetahuannya mengenai lingkungan => skor 2

22. Forum Komunikasi Penggiat Lingkungan

2 2  Pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa lingkungan DAS namun pihak ini bukan merupakan prioritas dari tujuan mekanisme =>skor 2

 Pihak ini mempunyai pengaruh terkait koneksi dan kemampuan informasi terhadap masyarakat serta pengetahuannya mengenai lingkungan => skor 2


(5)

RINGKASAN

NEINA FEBRIANTI. Kajian Mekanisme Inisiatif Pembayaran Jasa

Lingkungan (Studi Kasus Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum, Jawa

Barat). Dibimbing oleh ENDES N. DAHLAN DAN HARYANTO R. PUTRO.

Mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment Environmental Services)

merupakan mekanisme alternatif yang menghubungkan pihak hulu dan hilir

sungai untuk pengelolaan jasa DAS yang lebih baik. Mekanisme ini sudah mulai

di ujicoba antara PT.Aetra Air Jakarta di daerah hilir dengan Kelompok Tani

Syurga Air di daerah hulu di kawasan Sub DAS Cikapundung. Konsep ini masih

baru di Indonesia dan sebagian besar dalam tahap pengembangan konsep dan uji

coba implementasi (Prasetyo 2009). Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji

bagaimana skema dari mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS

Cikapundung, siapa saja pihak yang terkait, dan bagaimana perkembangan

mekanisme tersebut saat ini.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pembelajaran untuk

pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan selanjutnya dan sebagai

bahan pertimbangan penyusunan regulasi yang lebih lanjut. Penelitian

dilaksanakan pada wilayah Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum pada bulan

September-November 2011. Metode pengumpulan data dilakukan dengan

wawancara semi terstruktur dimana responden dipilih secara

purposive sampling

dengan mempertimbangkan keterlibatannya dalam mekanisme terkait dan

merupakan tokoh kunci (key

person) dari setiap pihak yang terlibat (stakeholder).

Data dianalisis dengan analisis deskriptif dan analisis stakeholder berdasarkan

Groenendijk (2003).

Pada mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan Di Sub DAS

Cikapundung, DAS Citarum, PT. Aetra Air Jakarta bersedia memberikan

kompensasi kepada Kelompok Tani Syurga Air sebesar Rp 50.000.000,- dalam

tiga tahap jika Kelompok Tani bersedia mengkonservasi lahan miliknya dengan

tanaman multistrata seluas 22 ha. Pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme

pembayaran jasa lingkungan ini adalah pihak penyedia jasa lingkungan yaitu

Kelompok Tani Syurga Air, pembeli jasa lingkungan yaitu PT. Aetra Air Jakarta,

pihak yang mendorong/memfasilitasi terjadinya mekanisme pembayaran jasa

lingkungan yaitu LP3ES, BPLHD Jawa Barat, dan YPC, serta beberapa pihak

lainnya yang dapat berpotensi sebagai pihak pembeli jasa lingkungan dan sebagai

fasilitator dan penguat kelompok masyarakat.

Kesepakatan pembayaran jasa lingkungan pada studi kasus ini sudah

terlaksana. Kedua belah pihak memang belum merasakan manfaat yang signifikan

mengingat masa perjanjian yang masih baru dan cakupan area yang dikonservasi

masih sedikit. Namun dari pihak PT. Aetra Air Jakarta berencana untuk replikasi

mekanisme di lokasi lain dan dari pihak Kelompok Tani Syurga Air masih tetap

memelihara tanaman yang ditanam sesuai perjanjian dan mendapatkan program

lanjutan dari pihak BPLHD Jabar untuk menjadi kampung konservasi.


(6)

SUMMARY

NEINA FEBRIANTI. Study of Initiatives Mechanism of Payment

Environmental Services (A Case Study In Cikapundung Sub Watershed,

Citarum Watershed, West Java). Under supervision of ENDES N. DAHLAN

AND HARYANTO R. PUTRO.

Mechanisms of payment environmental is an alternative mechanism that

connects the upstream and downstream of the river for a better management of

watershed services. This mechanism has been started in pilot demonstrating

project between Aetra Air Jakarta company in downstream with Syurga Air

Farmers Group in the upstream region located in the Sub Watershed

Cikapundung. This concept is still new in Indonesia and most of at the stages of

concept development and pilot implementation (Prasetyo 2009). This study was

conducted to examine how the scheme of payment environmental services

mechanism in Cikapundung Sub Watershed, which stakeholders who related,

and

how the development of the mechanism of this moment.

The results of this study is expected to be lesson learning for the next

implementation of payment environmental services mechanisms and further

consideration for further regulatory development. The research was conducted on

Cikapundung Sub Watershed, Citarum Watershed in September-November 2011.

Data collection method is done by semi-structured interviews where respondents

are selected using purposive sampling by consider involvement in the related

mechanisms and the key person from each of the parties involved. Data were

analyzed with descriptive analysis and stakeholder analysis based Groenendijk

(2003).

On payment environmental services mechanisms that are running in Sub

Watershed Cikapundung, Citarum Watershed, Aetra Air Jakarta company is

willing to compensate Rp 50.000.000,- for Syurga Air Farmers Group in three

stages if farmers are willing to conserve their own property with an area of 22 ha

multistrata plant. The stakeholders involved in the mechanism of payment

environmental services are Syurga Air Farmers Group whose act as providers of

environmental services, Aetra Air Jakarta Company as buyers of environmental

services, LP3ES, BPLHD West Java, and YPC who encourage/facilitate the

payment environmental services mechanisms and several other parties that may

potentially as a buyer of environmental services and the potential party as a

facilitator and strengthen community groups.

Agreement of payments environmental services in this case study has been

done. Both parties did not feel the benefits significantly considering the agreement

was still new and the scope of the conservation area is still small. But from the

Aetra Air Jakarta Company plans for replication the mechanism in other locations

and Syurga Air Farmers Group still maintain the plants that are grown according

to the agreement and get the follow up program from the BPLHD Jabar continued

to be a conservation village.

Keywords : mechanism, payment environmental services, Cikapundung Sub

Watershed