Pengaruh Konsep Diri dan Gaya Pengasuhan Ibu, serta Kelekatan Teman Sebaya terhadap Konsep Diri Remaja pada Keluarga Cerai dan Utuh

PENGARUH KONSEP DIRI DAN GAYA PENGASUHAN IBU,
SERTA KELEKATAN TEMAN SEBAYA TERHADAP
KONSEP DIRI REMAJA PADA KELUARGA
CERAI DAN UTUH

LISNANI SUKAIDAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konsep Diri Ibu, Gaya
Pengasuhan, Kelekatan Teman Sebaya, dan Konsep Diri Remaja Pada Keluarga
Cerai dan Utuh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Pebruari 2015
Lisnani Sukaidawati
NIM I 251110121

RINGKASAN
LISNANI SUAKAIDAWATI. Pengaruh Konsep Diri dan Gaya Pengasuhan Ibu,
serta Kelekatan Teman Sebaya terhadap Konsep Diri Remaja pada Keluarga Cerai
dan Utuh. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI dan RATNA MEGAWANGI.
Konsep diri adalah persepsi fisik, sosial, dan psikologis tentang diri seseorang
yang berasal dari pengalaman-pengalaman interaksi dengan orang lain. Keluarga
merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak, dan ibu adalah figur utama dan
pertama dalam pembentukan konsep diri melalui pengasuhan. Pada saat remaja, teman
berperan dalam pembentukan konsep diri melalui interaksi dan kelekatan dengan teman
sebaya. Sayangnya tidak semua keluarga mampu menyediakan lingkungan yang
kondusif terhadap konsep diri remaja. Perceraian adalah peristiwa yang tidak disukai
oleh keluarga. Pasca perceraian ibu mengalami perubahan status, kehilangan dukungan
ekonomi, dan dukungan emosi. Hal tersebut dapat memengaruhi kualitas pengasuhan
ibu, yang akan berdampak pada perkembangan remaja. Konsep diri adalah salah satu

aspek yang penting yang berhubungan dengan kompetensi dan pencapaian akademis.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan
remaja, konsep diri ibu, gaya pengasuhan, dan kelekatan teman sebaya terhadap konsep
diri remaja pada keluarga cerai dan utuh. Penelitian dilakukan bulan Juni sampai
Desember 2013 di wilayah Kecamatan Bogor Barat dan Tanah Sareal Kota Bogor.
Contoh terdiri dari 158 remaja, berasal dari keluarga cerai dan utuh dengan usia 12-16
tahun yang tinggal bersama ibu. Contoh berasal dari 6 SMP, yang diambil secara
purposive pada keluarga cerai, dan secara acak pada keluarga utuh dengan jumlah
masing-masing sebanyak 79 orang. Data konsep diri dikumpulkan melalui wawancara
terstruktur dan self report menggunakan Self Description Questionaire (SDQ) II untuk
remaja dan SDQ III untuk ibu. Data gaya pengasuhan-penerimaan dikumpulkan
dengan alat ukur Parental Acceptance Rejection Questionaire (PARQ), sedangkan data
kelekatan teman sebaya dikumpulkan dengan alat ukur Individual Parent and Peer
Attachment (IPPA).
Hasil menunjukkan lebih dari tiga perempat remaja keluarga cerai dan utuh
memiliki konsep diri yang positif. Tidak terdapat perbedaan pada konsep diri remaja
keluarga cerai dan utuh, namun dimensi relasi lawan jenis remaja keluarga cerai lebih
positif dan lebih besar proporsinya dibandingkan remaja keluarga utuh. Lebih dari
separuh ibu keluarga cerai dan kurang dari separuh ibu keluarga utuh memiliki konsep
diri positif. Tidak terdapat perbedaan pada total konsep diri ibu, namun dimensi

matematika, kejujuran, akademis, dan verbal lebih positif pada ibu keluarga cerai. Pada
keluarga utuh dimensi kestabilan emosi dan relasi orangtua lebih positif. Tidak terdapat
perbedaan pada gaya pengasuhan, hampir tiga perempat remaja keluarga cerai dan
lebih dari tiga perempat remaja keluarga utuh menerima pengasuhan penerimaan.
Kurang dari tiga perempat remaja keluarga cerai dan lebih dari separuh remaja keluarga
utuh memiliki kelekatan teman sebaya dengan kategori secure. Konsep diri ibu dimensi
spiritual, relasi lawan jenis, stabilitas emosi, penampilan fisik, gaya pengasuhan
penerimaan dan kelekatan teman sebaya berpengaruh positif terhadap konsep diri
remaja. Sedangkan dimensi kejujuran, akademis, serta gaya pengasuhan tidak sayang
berpengaruh negatif.
Kata kunci: konsep diri ibu, gaya pengasuhan, pengasuhan penerimaanpenolakan, teman sebaya, keluarga cerai.

SUMMARY
LISNANI SUKAIDAWATI. The Affect of Maternal Self Concept, Parental
Acceptance-Rejection Style, and Peer Attachment on Adolescents’ Self Concept in
Divorced and Intact Families. Supervised by DIAH KRISNATUTI and RATNA
MEGAWANGI.
Self-concept is the individual perception of physical, social, and psychological
state that is formed by experience interactions with significant others. Self concept is
formed by family as the first environment, and mother plays an important role as the

first and main figure in formation self-concept through parenting. In adolescence
period, peers play an important role in the formation of self-concept through
interaction and attachment with peers. This study aims to analyze the influence of
family and adolescent characteristics, maternal self-concept, parenting style, and peer
attachment on adolescent self-concept in divorced and intact families. The study was
conducted from June until December 2013 in District West Bogor and Tanah Sareal
of Bogor. The samples were using 158 adolescents from Junior High School (aged
12-16 years), who live with mothers. The study used purposive and random sampling
techniques consisting of 79 adolescents from divorced and 79 from intact families.
Adolescents’self-concept were collected by structured interviews and self-report
using Self Description Questionaire (SDQ) II, and III for mothers. While parenting
style was colected by Parental Acceptance Rejection Questionaire (PARQ), and
attachment with peer was measured by Individual Parent and Peer Attacment (IPPA).
Results showed more than three-quarters of divorced and intact family
adolescents have positive self-concept. There were not significant differences in
adolescent self-concept from divorced and intact families, but opposite sex
relationships dimension adolescent from divorced is more positive and has higher
proportion than adolescent from intact families. More than half of divorced family’s
mothers and less than half of intact family’s mothers have positive self-concept.
Maternal self concept of divorced family mothers on dimensions of mathematics,

honesty, academic, and verbal were more positive than intact family mothers. While
the dimension of emotional stability and parental relationships were lower. There was
not significant difference in maternal parenting style, nearly three-quarters of
divorced family adolescents and more than three-quarters of intact family adolescents
had parental acceptance. Less than three-quarters of divorced family adolescents and
more than half of intact family adolescents had secured attachment with peers. There
were not positive corelation appeared between maternal self concept, acceptance
parenting style, and peer attachment on adolescent self-concept. In turn rejection
parenting style was negatively corelated to adolescent self-concept. The spiritual
dimension of maternal self-concept, opposite sex relationships, emotional stability,
physical appearance, acceptance parenting style, and attachment with peers had
positive affect on adolescent self-concept, while the honesty and academic dimension,
indiference parenting style had negative affect on adolescent self concept.
Keywords: self concept, parenting style, parental acceptance-rejection, peer
attachment, divorced family.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH KONSEP DIRI DAN GAYA PENGASUHAN IBU,
SERTA KELEKATAN TEMAN SEBAYA
TERHADAP KONSEP DIRI REMAJA PADA KELUARGA
CERAI DAN UTUH

LISNANI SUKAIDAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Dwi Hastuti MSc

Judul Tesis : Pengaruh Konsep Diri dan Gaya Pengasuhan Ibu, serta Kelekatan
Teman Sebaya terhadap Konsep Diri Remaja pada Keluarga Cerai
dan Utuh
Nama
: Lisnani Sukaidawati
NRP
: I 251110121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Diah Krisnatuti, MS
Ketua


Dr Ir Ratna Megawangi, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan Perkembangan
Anak

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Herien Puspitawati, MSc. MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian:
10 Desember 2014

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni sampai dengan
Desember 2013 ini adalah pengaruh konsep diri, dan gaya pengasuhan ibu,
terhadap kelekatan teman sebaya, dan konsep diri remaja pada keluarga cerai dan
utuh.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Diah Krisnatuti MS dan Dr Ir
Ratna Megawangi M Sc selaku pembimbing, yang telah banyak memberi
pengarahan dan saran kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Dr Ir Dwi Hastuti M Sc dan Alfiasari SP, M Si yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk terlibat dalam penelitian tentang
ketahanan pangan dan kesejahteraan keluarga pada perempuan sebagai kepala
keluarga yang didanai oleh BOPTN, serta Ibu Juwita Komalasari dan Ir U cu
Nursyamsu yang telah membantu dalam proses input data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami MJ Suryana MBA,
ibunda Hj Jumsiti Ranabrata, para putra Daryll Januar Isya, Marco Widya Dwipa
Ewangga, dan Panji Ananta Puspanegara, serta seluruh keluarga dan rekan-rekan
di Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, serta rekan sejawat di
Yayasan Kita dan Buah Hati dan Rumah Parenting, atas segala dukungan, doa,

dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2015
Lisnani Sukaidawati

...however..divorce make everything different.
Life, family, relationship, love, emotion,and personality..
From the author

Sometime...
Divorced allowed adults to terminate hopelessly troubled marriages,
and children avoided the burden of being raised
in an atmosphere of parental conflict
Ronals L. Simons & Asc.

About self concept:
Once you see a child’s self-image begin to improve,
you will see significant gains in achievement areas, but even more importantly,
you will see a child who is beginning to enjoy life more..

Wayne Dye

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1

KONS

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

Halaman
xiii
xiii
xiv
1
1
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perceraian
Konsep Diri
Konsep Diri Ibu
Konsep Diri Remaja
Gaya Pengasuhan Penerimaan-Penolakan
Kelekatan Teman Sebaya

6
6
7
8
9
10
12

3 KERANGKA PEMIKIRAN

14

4 METODE PENELITIAN
Desain Tempat dan Waktu Penelitian
Populasi dan Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Instrumen dan Pengukuran Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional

18
18
18
19
19
21
23

5 ARTIKEL 1
26
KONSEP DIRI IBU DAN KONSEP DIRI REMAJA PADA KELUARGA
CERAI DAN UTUH
Abstraks
Abstract
Pendahuluan
Tujuan penelitian
Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan
Saran
Daftar Pustaka

26
26
27
29
29
30
33
36
36
37

6 ARTIKEL 2
GAYA PENGASUHAN, KELEKATAN TEMAN SEBAYA DAN KONSEP 40
DIRI REMAJA PADA KELUARGA CERAI DAN UTUH

Abstraks
Absract
Pendahuluan
Tujuan penelitian
Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan
Saran
Daftar Pustaka

40
40
41
43
43
44
49
50
51
52

7 PEMBAHASAN UMUM

54

8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

57
56
58

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

59
64
72

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

Halaman

Variabel berdasarkan kategori, jenis data, dan sumber informasi
Karakteristik contoh berdasarkan nilai rataan, standar deviasi, uji
beda, dan status kawin
Karakteristik contoh berdasarkan jenis kelamin remaja, pekerjaan
ibu, dan status kawin
Sebaran contoh berdasarkan kategori konsep diri dan status kawin

5.

Sebaran ibu contoh berdasarkan dimensi konsep diri dan status
kawin

6.

Sebaran ibu contoh berdasarkan konsep diri dan status kawin

7.

Koefisien korelasi karakteristik keluarga dan remaja, status kawin,
konsep diri ibu dengan konsep diri contoh
Hasil analisis regresi faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri
contoh berdasarkan status kawin
Nilai rataan dan standar deviasi karakteristik keluarga dan remaja
berdasarkan status kawin
Sebaran contoh berdasarkan skor rataan dimensi gaya pengasuhan
dan status kawin
Sebaran contoh berdasarkan kategori gaya pengasuhan dan status
kawin
Nilai rataan, dan p-value contoh berdasarkan dimensi kelekatan
teman sebaya dan status kawin
Sebaran contoh berdasarkan kategori kelekatan teman sebaya dan
status kawin
Sebaran contoh berdasarkan kategori konsep diri dan status kawin
Koefisien korelasi gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya dan
konsep diri contoh
Hasil analisis regresi linear berganda variabel-variabel yang
memengaruhi konsep diri contoh berdasarkan status kawin

8.
9
10
11
12
13
14
15
16

20
30
30
31
31
32
32
33
44
44
45
45
46
47
48
48

DAFTAR GAMBAR
1.
2.

Kerangka pemikiran dan hubungan antar variabel
Skema penarikan contoh

16
18

DAFTAR LAMPIRAN
1. Sebaran gaya pengasuhan remaja dengan jawaban pernyataan
SERING dan SELALU berdasarkan status kawin
2. Sebaran konsep diri ibu contoh dengan jawaban item pernyataan
HAMPIR BENAR dan BENAR berdasarkan status kawin
3. Sebaran konsep diri contoh dengan jawaban pernyataan HAMPIR
BENAR dan BENAR berdasarkan status kawin
4. Sebaran contoh berdasarkan dimensi konsep diri dan status kawin
5. Sebaran contoh dengan jawaban pernyataan SETUJU dan
SANGAT SETUJU berdasarkan kelekatan teman sebaya dan status
kawin
6. Kategori kelekatan teman sebaya berdasarkan dimensi
7. Sebaran remaja berdasarkan nilai rataan, standar deviasi, p-value
dimensi konsep diri, dan status kawin
8. Sebaran remaja berdasarkan rataan dimensi konsep diri dan status
kawin
9. Sebaran ibu berdasarkan rataan dimensi konsep diri dan status
kawin
10. Hasil analisis regresi karakteristik keluarga dan total konsep diri
ibu terhadap total konsep diri remaja berdasarkan status kawin

64
66
67
68
68
69
70
70
70
71

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA)
mencatat selama periode tahun 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian
hingga 70 persen. Terdapat tiga faktor besar penyebab perceraian yaitu, masalah
ekonomi, perkawinan yang tidak harmonis, dan kurangnya tanggung jawab.
Tingkat perceraian terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Pada tahun
2009 perkara perceraian yang diputus Pengadilan Agama mencapai 223.371
perkara dan tahun 2010 mencapai 285.184 perkara, atau terjadi kenaikan sebesar
26.62 persen (Badilag 2010). Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang
memiliki tingkat perceraian yang cukup tinggi (SIAK 2011). Salah satu wilayah
yang menyumbangkan tingginya angka perceraian adalah Kota Bogor. Selain itu
Kota Bogor memiliki persentase jumlah penduduk dengan status cerai hidup
tertinggi di Jawa Barat yaitu sebesar 34.399 atau 3.95 persen dari total jumlah
penduduk Kota Bogor. Pada tahun 2009, dari 7669 perkawinan yang ada, 8.15
persen berakhir dengan perceraian. Angka perceraian tertinggi selama periode
tahun 2008 sampai dengan 2012 terjadi di wilayah Kecamatan Bogor Barat dan
Tanah Sareal. Angka tersebut diduga terus meningkat sampai dengan sekarang.
Umumnya permasalahan yang terjadi dan menyebabkan perceraian adalah
masalah ekonomi dan tidak adanya tanggung jawab dari pihak suami.
Perceraian dalam keluarga merupakan peristiwa peralihan besar yang
memerlukan masa penyesuaian. Dampak perceraian menimbulkan pengalaman
trauma bagi anggota keluarga. Menurut daftar peristiwa perubahan dalam hidup
yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe (1967) menyatakan bahwa, perceraian
merupakan salah satu penyebab stres tertinggi kedua setelah kematian pasangan.
Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Nair dan Murray (2005) yang menunjukkan
bahwa, ibu yang berasal dari keluarga bercerai memiliki stres lebih tinggi
dibandingkan ibu dari keluarga utuh. Ketidakhadiran salah satu orangtua dapat
menimbulkan tekanan atau stres dalam pengasuhan (Turner 2006). Setelah
mengalami perceraian ibu memiliki peran ganda, yaitu sebagai ayah sekaligus
sebagai ibu bagi anak-anaknya (Gunarsa dan Gunarsa 2008). Kondisi stres terus
menerus yang dialami ibu akan mempengaruhi konsep diri ibu, persepsi ibu
terhadap kemampuan dirinya tergantung pada kemampuan ibu menilai dan
memaknai seluruh peristiwa dalam mengatasi kondisi stres tersebut. Pengalaman
menghayati perasaan gagal atau berhasil ibu dalam mengatasi kesulitan-kesulitan
pasca perceraian akan mempengaruhi cara-cara ibu dalam mengasuh atau gaya
pengasuhan yang diterapkan pada anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceraian pada keluarga berakibat
pada gaya pengasuhan dan perkembangan anak baik secara fisik maupun
psikologis. Perceraian memengaruhi anak- anak secara sosial, emosional, juga
mengganggu prestasi belajar dan situasi keuangan, bahkan kehidupanya kelak
sebagai orang deawasa, keberhasilannya membina hubungan dengan orang lain,
serta karir mereka. Pada psikologis ibu, perceraian menyebabkan stres yang tinggi
sehingga mempengaruhi gaya pengasuhan yang dilakukan ibu kepada anaknya
(Nair dan Murray 2005). Permasalahan yang kerap dihadapi dalam pengasuhan
adalah adanya pola pengasuhan yang tidak mendukung perkembangan anak yang

2

disebabkan oleh ketidakmengertian yang dilakukan oleh orang tua yang
berdampak pada konsep diri remaja. Terdapat banyak hal yang dapat membentuk
cara dan gaya pengasuhan orang tua, salah satunya adalah pengalaman masa lalu
yang menjadi bagian dari sejarah kehidupan orang tua. Sejarah kehidupan
meliputi riwayat pengasuhan orang tua dan riwayat perkawinan orangtua. Sebagai
salah satu figur orangtua, ibu menjadi figur utama yang mengambil alih peran
pengasuhan pada keluarga bercerai karena posisinya sebagai satu-satunya
orangtua. Pengalaman ibu dalam menjalani dan menghayati sejarah pengasuhan
dan riwayat perkawinan akan mempengaruhi konsep dirinya. Orang tua yang
memiliki pengalaman traumatis karena disiksa dan dianiaya oleh orang tua
mereka menurut Hastuti (2009) akan melakukan hal yang sama pada pengasuhan
terhadap anaknya. Artinya ibu yang memiliki pengalaman traumatis akan
mentransfer pengalaman tersebut melalui gaya pengasuhan kepada anaknya.
Tingginya angka cerai hidup menunjukkan tingginya jumlah keluarga
dengan orang tua tunggal. Menurut Santrock (2007) anak-anak dari keluarga cerai
memiliki resiko yang lebih besar dalam perkembangannya. Anak tidak lagi
mendapatkan pengasuhan secara lengkap yang dilakukan bersama oleh ayah dan
ibu. Padahal pengasuhan bersama yang dilakukan oleh ayah dan ibu lebih baik
bagi perkembangan emosi anak dibandingkan dengan pengasuhan yang dilakukan
secara terpisah seorang diri (Ogoemeka 2012). Dalam masa-masa peralihan akibat
perceraian anak membutuhkan dukungan, kepekaan, dan kasih sayang yang lebih
besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialaminya (Cole 2004).
Pada remaja masa-masa peralihan akibat perceraian dirasakan lebih sulit, menurut
Koper (2005), remaja merasakan beratnya dampak peceraian karena selain
perceraian orangtua, mereka juga sedang mengalami masa yang penuh guncangan
dan perubahan besar dalam pencarian identitas diri. Pada masa remaja, terjadi
perubahan fisik yang cepat serta adanya peralihan dari masa kanak-kanak,
sehingga remaja harus mempersiapkan diri dan perlunya penyesuaian mental
dalam menghadapinya (Hurlock 1980). Salah satu aspek yang harus dicapai dalam
masa perkembangan remaja adalah pemahaman tentang konsep diri positif agar
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan yakin dengan identitas dirinya.
Konsep diri yang dimiliki oleh seorang remaja hanya terdapat di dalam pikirannya
namun mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang akan
ditampilkannya (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Penelitian terhadap hasil yang
umum dilakukan pada dampak perceraian pada anak menurut Amato (2000)
meliputi prestasi akademis, perilaku, adaptasi psikologis, konsep diri, adaptasi
sosial, dan kualitas hubungan dengan orangtua
Konsep diri remaja ditentukan juga oleh kemampuan remaja untuk lekat
(attach) dengan teman sebayanya. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang
menunjukkan betapa besarnya dampak jenis pertemanan antarsebaya di kalangan
remaja. Hasil studi menyatakan isolasi sosial dan kehidupan masa kanak-kanak
tanpa teman sering dikaitkan dengan berbagai permasalahan dalam masa dewasa,
sebaliknya keberhasilan hubungan pertemanan antarsebaya pada masa kanakkanak sering dikaitkan dengan masa dewasa yang lebih berhasil (Hadley et al
2008). Selanjutnya dikatakan bahwa isolasi atau penolakan oleh teman sebaya
pada masa dini kehidupan anak menempatkan anak pada resiko untuk menghadapi
masalah-masalah sosial dalam kehidupannya di kemudian hari. Selain itu
kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya merupakan salah satu dari

3

beberapa jenis permasalahan penyesuaian sosial yang dapat mengganggu
kemajuan anak dalam sekolah. Prestasi rendah ditunjukkan dengan tidak
bersemangat untuk pergi ke sekolah, banyaknya angka bolos sekolah, dan
akhirnya tidak mau sekolah. Karena itu kelekatan dengan teman sebaya menjadi
penting bagi remaja, karena bersama teman sebaya remaja dapat bersama-sama
membangun dan meningkatkan konsep dirinya.
Berdasarkan uraian dan pendapat para ahli, serta hasil penelitian terdahulu
mengenai dampak perceraian terhadap konsep diri ibu dan hubungannya dengan
pembentukan konsep diri remaja melalui gaya pengasuhan yang dilakukan ibu
kepada remaja, serta peran kelekatan teman sebaya terhadap konsep diri remaja
dari keluarga cerai dan utuh menjadi hal yang penting dan menarik untuk diteliti.
Meskipun kajian tentang konsep diri telah banyak dilakukan dalam berbagai
bidang ilmu sosial, namun tetap memiliki nilai spesifik bagi penulis dengan
dimasukkannya variabel-variabel penting dalam aspek perkembangan konsep diri
remaja secara bersamaan yaitu, konsep diri ibu, gaya pengasuhan, dan kelekatan
teman sebaya, sehingga bahasan tentang konsep diri remaja serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya tetap menarik untuk diteliti.
Rumusan Masalah
Penelitian mengenai konsep diri, gaya pengasuhan, kelekatan teman
sebaya, telah banyak dilakukan dalam bidang ilmu psikologi dan ilmu-ilmu sosial
lainnya. Dalam bidang ilmu keluarga dan perkembangan anak konsep diri telah
menjadi kajian yang kerap menjadi variabel penting untuk diteliti. Konsep diri
pada remaja sering dikaitkan dengan kelekatan pada teman sebaya. Gaya
pengasuhan orangtua diduga sebagai variabel independen yang turut
berkontribusi dalam pembentukan konsep diri. Dengan asumsi seperti itu, berarti
konsep diri orangtua dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orangtua di masa lalu.
Karena itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk meneliti adakah hubungan
konsep diri ibu dengan konsep diri remaja secara langsung. Dugaan jika konsep
diri ibu baik, maka anak atau remaja akan memiliki konsep diri yang baik juga.
Artinya jika ibu ingin memiliki anak dengan konsep diri baik, maka diperlukan
upaya ibu untuk memperbaiki konsep diri terlebih dahulu. Atau dapat juga
dikatakan bahwa semakin tinggi konsep diri ibu akan semakin tinggi pula konsep
diri remaja, demikian juga sebaliknya. Tentu saja dugaan ini perlu dibuktikan
kebenarannya. Penelitian yang ada telah menemukan bahwa konsep diri
berhubungan dengan kompetensi yang dimiliki oleh remaja, misalnya dalam
bidang pelajaran di sekolah, kemampuan akademik (Hughes 2011), konsep diri
juga ditemukan berhubungan dengan kemampuan berkomunikasi (Yahaya dan
Ramli 2009), konsep diri juga mempengaruhi kemampuan remaja dalam
beradaptasi dengan situasi depresi (Byird dan Ollendick 2000).
Penelitian ini membahas tentang konsep diri remaja pada keluarga cerai
dan utuh yang tinggal berama ibu. Ibu adalah figur utama dan pertama dalam
pengasuhan. Sebagai pengasuh utama (primary caregiver) ibu memiliki pengaruh
dominan pada aspek perkembangan seorang anak dan remaja. Peristiwa penting
yang terjadi dalam kehidupan ibu diduga akan memiliki pengaruh juga pada
kehidupan anak dan remaja. Berbagai kajian tentang perceraian yang terjadi pada

4

keluarga memberikan dampak negatif baik pada orangtua maupun pada anak.
Perceraian mempengaruhi anak-anak secara sosial, emosional, juga mengganggu
prestasi belajar dan situasi keuangan, bahkan kehidupannya kelak sebagai orang
dewasa, keberhasilannya membina hubungan dengan orang lain, serta karir
mereka (Charlish 2003). Posisi sebagai anak dalam keluarga menempatkan remaja
pada situasi yang lebih sulit dikarenakan remaja sedang mengalami fase
perubahan. Sebaliknya remaja pada keluarga utuh lebih banyak memiliki
dukungan orangtua dibandingkan keluarga bercerai. Perbedaan kondisi keluarga
diduga mempengaruhi tingkat konsep diri remaja di kedua tipe keluarga, karena
itu berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian: 1)
adakah perbedaan karakteristik keluarga dan remaja, konsep diri ibu, gaya
pengasuhan dan kelekatan pada teman sebaya antara keluarga cerai dan keluarga
utuh; 2) faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan konsep diri remaja
pada kedua tipe keluarga tersebut; dan 3) faktor-faktor apa yang paling
berpengaruh terhadap konsep diri remaja pada keluarga cerai dan utuh. Ketiga
pertanyaan tersebut akan menjadi pusat perhatian dalam kajian penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pada
konsep diri anak melalui identifikasi konsep diri dan gaya pengasuhan ibu serta
kelekatan remaja pada teman sebaya berdasarkan perbedaan status perkawinan
ibu. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga dan remaja, konsep diri ibu,
gaya pengasuhan, kelekatan teman sebaya, dan konsep diri remaja pada
keluarga cerai dan utuh.
2. Melakukan analisis hubungan antara karakteristik keluarga dan remaja,
konsep diri ibu, gaya pengasuhan ibu, kelekatan teman sebaya dan konsep
diri remaja.
3. Menganalisis variabel-variabel yang berpengaruh terhadap konsep diri
remaja pada keluarga cerai dan utuh.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini bagi penulis dapat memperkaya pengalaman
penelitian, dan kegiatan keilmuan, sebagai sarana pengembangan wawasan dan
peningkatan kemampuan analisis terhadap masalah-masalah praktis. Adapun
secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan keilmuan khususnya dalam bidang ilmu keluarga dan
perkembangan anak serta dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi
pengembangan penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.
Bagi Badilag hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan
untuk menyusun kebijakan yang mendorong ke arah penguatan fungsi keluarga
dengan mengutamakan penyatuan dan rekonsiliasi secara musyawarah
kekeluargaan terlebih dahulu bagi pasangan-pasangan yang ingin bercerai melalui
bantuan program mediasi dan atau konseling keluarga dan perkawinan. Bilamana

5

tidak tercapai kesepakatan diantara pihak suami dan istri, Badilag mampu
memfasilitasi keputusan yang berpihak pada anak dan istri yang pada umumnya
lebih memiliki keterbatasan sumber daya dibandingkan pihak suami. Sehingga
diharapkan ibu tetap dapat memberikan kualitas terbaik dalam melakukan proses
pengasuhan anak dan remaja.
Manfaat bagi masyarakat khususnya para orang tua, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi yang memadai mengenai pentingnya
membangun konsep diri positif pada remaja melalui pengembangan konsep diri
ibu, dan gaya pengasuhan yang dilakukan ibu baik pada keluarga cerai maupun
keluarga utuh. Sedangkan bagi remaja penelitian ini dapat menjadi sumber
infomasi mengenai peran teman sebaya terhadap pembentukan konsep dirinya,
agar remaja dapat memiliki pertimbangan dalam memilih teman yang mendukung
ke arah pengembangan diri yang lebih positif, sehat secara fisik, psikologis, dan
sosial sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat dan memberikan
sumbangsih pada masyarakat dan negara.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perceraian
Perceraian merupakan berakhirnya suatu ikatan pernikahan dari sebuah
keluarga. Perceraian menurut Karim (1999) adalah suatu ketidakstabilan
perkawinan, sehingga seorang suami memutuskan berpisah yang disebabkan oleh
faktor emosi, ekonomi, dan sosial. Pengertian secara khusus, dikutip dari Pramono
(2007) perceraian merupakan suatu keadaan ketika seorang suami dan seorang
isteri telah terjadi ketidak cocokan batin yang berakibat pada putusnya suatu tali
perkawinan melalui suatu putusan pengadilan. Perceraian tidak terlepas dari
lingkungan yang berpengaruh pada keluarga atau sebaliknya sehingga
menimbulkan terputusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri. Perceraian
merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian tanpa diawali
pernikahan. Perceraian adalah berakhirnya atau putusnya ikatan pernikahan, dan
pasangan suami istri tidak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya (Naofal
2011). Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak
meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan.
Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan
perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai
suami isteri.
Peningkatan perceraian terjadi dengan sangat cepat di berbagai negara
pada abad kedua puluh (Santrock 2007). Di Indonesia, perceraian meningkat tiap
tahunnya. Pada tahun 2009, perkara perceraian yang diputus Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar‟iyah mencapai 223.371 perkara. Namun demikian,
selama sembilan tahun terakhir, tiap tahun rata-rata terdapat 161.656 perceraian
sehingga jika diasumsikan setahun terdapat dua juta peristiwa perkawinan, maka 8
persen di antaranya berakhir dengan perceraian (Badilag 2010). Badan Urusan
Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode
2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan Jawa Barat menyebutkan bahwa pada
tahun 2010, kabupaten yang memiliki angka Perceraian tertinggi adalah
Kabupaten Bogor (SIAK 2011). Adapun penyebab perceraian di antaranya adalah
ketidakharmonisan, tidak ada tanggung jawab, dan permasalahan ekonomi.
Perceraian pada keluarga berdampak pada kehilangan salah satu peran
orang tua dalam pengasuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceraian
pada keluarga berakibat pada pengasuhan dan secara tidak langsung berdampak
pada perkembangan anak baik secara fisik maupun psikologis. Pada psikologis
ibu, perceraian dapat menyebabkan kondisi stres, sehingga mempengaruhi gaya
pengasuhan yang dilakukan ibu kepada anaknya (Nair dan Murray 2005).
Dibandingkan dengan keluarga utuh, anak dari keluarga cerai memiliki
kecenderungan untuk mengalami masalah akademis, masalah eksternal, masalah
internal, memiliki nilai diri rendah, dan lain-lain.
Perceraian orang tua adalah hal yang sulit diterima oleh anak, perceraian
sering diakhiri dengan kepergian ayah untuk hidup berpisah dengan anak dan istri.
Menurut Benyamin Spock yang diacu dalam Gunarsa dan gunarsa (2008)
terhadap anak laki-laki, ibu lebih banyak mengalami kesulitan. Karena seorang

7

wanita, maka ibu tidak akan tahu benar kebutuhan dan perkenbangan anak secara
wajar. Tetapi terhadap anak wanita, ibu tidak begitu sangsi (Gunarsa dan Gunarsa
2008). Lebih lanjut dikatakan bahwa peranan lingkungan keluarga, terutama
tingkah laku dan sikap orang tua, sangat penting bagi seorang anak. Kehilangan
ayah menyebabkan anak mentransfer afeksi pada ibu dan berharap dengan cara
tersebut remaja akan memperoleh rasa aman yang didapatkan sebelumnya dari
kedua orangtua. Tetapi kenyataan yang didapat justru sebaliknya, ibu mengalami
kekurangan waktu untuk memberikan perhatian, asuhan dan kasih sayang yang
dibutuhkan anak, karena harus bekerja, dan juga harus menyelesaikan tugas-tugas
rumah tangga.
Konsep Diri
Konsep diri berasal dari teori kepribadian yang dikemukakan oleh Carl
Rogers dan Abraham Maslow. Menurut Rogers (1959), semua makhluk hidup
memiliki kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, semacam dorongan ke
depan yang bukan hanya untuk bertahan hidup tetapi juga untuk bertumbuh dan
mencapai kapasitas maksimal bawaan. Bagi manusia yang berpikir dan merasa,
terdapat kebutuhan alamiah untuk mengaktualisasikan diri, dorongan untuk
bertingkah laku dengan cara yang konsisten dengan identitas sadar atau konsep
diri. Konsep diri menjadi penting karena memiliki pengaruh yang besar terhadap
keseluruhan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang. Konsep diri juga sebagai
fondasi yang sangat penting untuk keberhasilan. Bukan hanya keberhasilan di
bidang akademis, melainkan yang lebih penting adalah keberhasilan hidup.
Istilah konsep diri berbeda dengan kepribadian. Kepribadian terbentuk
berdasarkan penglihatan orang lain terhadap diri sendiri. Sedangkan konsep diri
merupakan pandangan terhadap sesuatu yang ada dalam diri sendiri dan timbul
dari dalam (Gunarsa dan Gunarsa 2008). Menurut Rogers konsep diri seseorang
dibentuk melalui interaksi berulang dengan orang-orang penting dalam hidupnya.
Menurut Rogers (1959) semua manusia pada dasarnya baik, pengalaman mental
sadar menjadi penting, dan itulah yang disebut konsep diri yang menjadi inti dari
kepribadian. Istilah konsep diri juga sering menjadi perbincangan dan disamakan
dengan self-esteem oleh para ahli. Konsep diri merupakan gambaran seseorang
dalam melihat dirinya secara keseluruhan, sedangkan self-esteem merupakan
evaluasi dari konsep diri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam
perkembangan kepribadian konsep diri terbentuk sebelum self-esteem. Maslow
menghubungkan self esteem sebagai kebutuhan tingkat tinggi dalam piramida
hirarki kebutuhan, diatas kebutuhan dasar, keamanan dan kenyamanan, serta
kepemilikan dan cinta. Kebutuhan akan penghargaan diri (esteem need)
merupakan sarana untuk menghantar seseorang menuju tahap aktualisasi diri (self
actualization).
Konsep diri adalah gambaran seseorang tentang diri sendiri (Wiloughby et
al 1996). Menurut Fitts (1971) konsep diri mencerminkan pandangan positif atau
negatif seorang remaja mengenai dirinya. Harter (1999) yang diacu oleh Manning
(2007) menyatakan bagi remaja konsep diri merupakan persepsi individu
mengenai kompetensi yang dimiliki dalam domain akademik dan non akademik.
Konsep diri (self concept) adalah global self, suatu konstrak multidimensional

8

yang merupakan seperangkat penilaian diri (global evaluation) yang berhubungan
dengan tingkatan kemampuan atau kompetensi yang dapat dicapai oleh seseorang
(Shavelson 1976; Marsh 1993; Hattie 2003). Adapun konsep diri pada penelitian
ini merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Marsh (1992) dan Shavelson
(1976) yang membagi konsep diri menjadi tiga area. Area pertama yaitu
akademik, yang terdiri dari tiga dimensi: math atau matematika (MT), verbal atau
bahasa (VB), dan school atau sekolah secara umum (SCH). Area kedua yaitu non
akademik yang terdiri dari tujuh dimensi yaitu: physical abilities atau kemampuan
fisik (PAB); physical appearance atau penampilan fisik (PAP); peer relationships
atau relasi dengan teman sebaya (PER); parent relationships atau relasi dengan
orangtua (PAR); emotional stability atau kestabilan emosi (EMO); spiritual (SPI);
dan problem solving atau pemecahan masalah (PRO). Dalam penelitian
selanjutnya Marsh menambahkan area non akademik dengan General Self atau
diri secara keseluruhan (GEN) yang dimodifikasi dari Self Esteem Scale
(Rosenberg 1989), dan menambahkan Opposite Sex Relationshis atau relasi
dengan teman lawan jenis (OSR), dan Same Sex Relationships atau relasi dengan
teman yang berjenis kelamin sama (SSR) baik untuk laki-laki maupun perempuan,
serta honesty/truthworthines atau kejujuran (HON).
Menurut Calhoun dan Acocella (1990) konsep diri terbagi menjadi konsep
diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif bukan kebanggaan yang
besar tentang diri, melainkan berupa penerimaan diri. Dalam hal ini, individu
dengan konsep diri positif merupakan individu yang dapat memahami dan
menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri.
Mengenai pengharapan, individu dengan konsep diri positif merancang tujuantujuan yang sesuai dan realistis. Konsep diri negatif memiliki dua tipe terkait
pengharapan. Pertama, yaitu pandangan individu tentang dirinya sendiri benarbenar tidak teratur atau dapat diartikan sebagai individu tidak memiliki perasaan
kestabilan dan keutuhan diri. Individu ini tidak mengenali dirinya sendiri. Kedua,
konsep diri negatif tipe ini terlalu stabil dan teratur (kebalikan dari tipe pertama)
sehingga informasi tentang diri cenderung menyebabkan kecemasan dan ancaman
bagi diri sendiri. Konsep diri negatif tercermin dari kepercayaan individu bahwa
dirinya tidak dapat mencapai suatu apapun yang berharga, sehingga dalam
kenyataannya individu ini mengalami kegagalan. Hal inilah yang menyebabkan
individu merasa harga diri dan citra dirinya rapuh dan tidak memiliki kepercayaan
diri.
Konsep Diri Ibu
Perceraian memiliki pengaruh yang besar terhadap keberlangsungan
anggota keluarga yang ditinggalkan, terutama perkembangan anak. Selain
dampaknya terhadap perkembangan anak, perceraian juga mengakibatkan ibu
memiliki gangguan kesehatan mental seperti stres. Hal ini didukung oleh data life
changes chart (Rahe dan Holmes 1967) yang menyebutkan bahwa perceraian
merupakan peristiwa perubahan yang paling berat dan membutuhkan penyesuaian
diri. Ketika terjadi perceraian ibu mengalami perubahan peran dan status yaitu
menjadi “janda” atau ibu tunggal (single parent) yang dapat menimbulkan
gangguan konsep diri yang disebabkan oleh gangguan peran yang disandang ibu.
Kondisi semacam ini akan berdampak pada perlakuan orang tua single parent
terhadap anak remajanya, karena remaja juga memiliki emosi yang masih labil

9

sebagai akibat dari pertumbuhan fisik dan hormon yang sangat pesat (Monks dkk
2001). Disatu sisi remaja membutuhkan bimbingan dan arahan dari orang tua,
sementara disisi lain orang tua tidak mampu berperan secara optimal. Hal ini akan
mengakibatkan frustrasi pada diri remaja sehingga mereka cenderung melamun,
menekuni hobi secara berlebihan dan suka menyendiri (Balson 1993).
Konsep diri ibu akan mempengaruhi pemikiran dan sikapnya dalam
mengambil keputusan-keputusan penting dalam pemilihan tindakan-tindakan yang
dibutuhkan demi berlangsungnya kehidupan diri dan anak-anak. Tingkat stres ibu
akan mempengaruhi kualitas pengasuhan yang diberikan pada anak-anaknya, dan
remaja memiliki tingkat stres tersendiri yang berkaitan dengan perkembangan
fisik dan psikologisnya. Karena itu pengasuhan pada remaja memerlukan
keterampilan tersendiri. Gaya pengasuhan yang tepat dapat mendorong
terciptanya hubungan yang harmonis dengan remaja. Pengasuhan yang baik yang
ditandai dengan adanya hubungan yang harmonis dengan anak menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi pembentukan konsep diri remaja. Menurut
Rakhmat (2011) konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
komunikasi interpersonal. Salah satu bentuk komunikasi interpersonal dalam
keluarga adalah dengan terbentuknya relasi antara anak dan orangtua melalui
interaksi dalam proses pengasuhan.
Konsep Diri Remaja
Remaja adalah masa-masa dimana anak sedang mengalami banyak konflik
yang berkaitan dengan perubahan fisik dan psikologis yang dialaminya yang
menjadi sumber stresor tersendiri. Menurut Hurlock (1980) remaja adalah mereka
yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks dkk (2001) memberi batasan usia
remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (Santrock 2003) usia remaja
berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan
para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi
berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan
istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Pernyataan ini
sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak
Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu
bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai
sekarang masih banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah
masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini
dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas
diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan
identity achieved (Santrock 2003; Papalia 2001; Monks dkk 2001), karena itu
karakteristik remaja yang khusus ini sering menimbulkan konflik dengan orang
tua.
Beberapa penelitian terkait konsep diri menunjukkan bahwa konsep diri
siswa memberikan pengaruh terhadap prestasi akademik dan motivasi. Hal ini
menunjukkan pentingnya konsep diri dalam perkembangan anak terutama anak
yang berada pada masa remaja. Masa remaja menjadi lebih kompleks
dibandingkan pada masa kanak-kanak. Pada masa ini tugas perkembangan remaja
untuk mengintegrasikan berbagai konsep diri menjadi suatu masalah bagi remaja
(Santrock 2003). Perkembangan anak dipengaruhi oleh pengasuhan yang

10

dilakukan keluarga terutama orang tua memiliki peran penting di dalamnya. Suatu
studi menyatakan bahwa pembentukan konsep diri lebih dipengaruhi oleh kondisi
keluarga dari pada kondisi sosialnya (Sallay 2000). Keluarga dengan kondisi yang
kurang baik terutama sikap menerima dari orang tua kepada anak mepengaruhi
konsep diri anak. Pada pengasuhan orang tua yang menerima anak, kehangatan,
dan kasih sayang menunjukkan konsep diri positif dalam diri anak (Cournoyer
2005).
Gaya Pengasuhan Penerimaan-Penolakan
Dalam memberikan pendidikan pada anak, orangtua harus berorientasi
pada kasih sayang dan memberikan pengawasan serta dorongan. Pengawasan
orangtua harus dikurangi pada masa remaja dini dan lebih banyak memberikan
kesempatan kepada anak untuk melatih pengendalian diri. Mengurangi
pengawasan bukan berarti mengurangi perhatian pada anak karena pada masa
remaja kehangatan orangtua, bimbingan, dan saran sangat diperlukan (Gunarsa &
Gunarsa 2004). Proses-proses tersebut akan membentuk gaya pengasuhan yang
diterapkan orang tua kepada anak. Gaya pengasuhan adalah serangkaian perilaku
yang menonjol dan dominan, menyangkut keterampilan, kualitas, dan tanggung
jawab sebagai orangtua dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai hidup,
menumbuhkembangkan kepribadian anak dari kelahiran sampai anak memasuki
usia dewasa sehingga anak tumbuh menjadi individu yang berkualitas,
bertanggung jawab, memiliki karakter-karakter baik, dan menjadi anggota
masyarakat yang baik. Jadi gaya pengasuhan menyangkut serangkaian cara-cara
yang menonjol dari orangtua dalam menumbuhkembangkan anak sesuai dengan
nilai-nilai yang diyakininya. Hal ini ditegaskan oleh Sunarti (2004) yang
menyatakan bahwa gaya pengasuhan adalah pola perilaku orang tua yang paling
menonjol atau dominan dalam menangani anaknya sehari-hari. Pola orang tua
dalam mendisiplinkan anak, menanamkan nilai-nilai hidup, mengajarkan
keterampilan hidup, dan mengelola emosi anak.
Para ahli mengelompokkan berbagai gaya pengasuhan orang tua ke dalam
beberapa dimensi, salah satunya adalah gaya pengasuhan yang berdasarkan
dimensi kehangatan (warmth dimension) yang dikemukakan oleh Rohner (1986)
atau disebut juga dengan gaya pengasuhan penerimaan-penolakan (parental
acceptance-rejection). Karena kasih sayang orang tua yang mencintai anaknya
tercermin dari cara interaksi dan perilaku orang tua dalam hubungannya dengan
anak baik secara verbal maupun non verbal serta kehangatan yang diberikan.
Pengasuhan dengan penerimaan dan penolakan mencerminkan kehangatan yang
diberikan orang tua kepada anaknya serta dapat dirasakan oleh anak sendiri
(Hastuti 2009). Menurut Rohner (1986) gaya pengasuhan orang tua berdasarkan
dimensi kehangatan diklasifikasikan menjadi dua kategori utama yaitu gaya
pengasuhan penerimaan (acceptance) dan penolakan (rejection).
Pengasuhan penerimaan berkaitan dengan kehangatan, kasih sayang,
kepedulian, perhatian, dukungan, kenyamanan, pemeliharaan, dan perwujudan
cinta lainnya yang dirasakan orang tua dan diekspresikan kepada anak baik secara
fisik maupun verbal. Ciri orang tua yang menerima kehadiran dan keberadaan
anak adalah dengan berkata baik tentang diri anak, bermain, terlibat dengan baik,
berbicara tentang masalah anak dan mendengarkan perkataan anak, menarik

11

perhatian anak, mencintai dan hangat kepada anak, memuji anak di depan orang,
dan membuat anak nyaman untuk bicara serta menikmati kebersamaan dengan
anak. Gaya pengasuhan penerimaan dicirikan oleh curahan kasih sayang orang tua
kepada anak baik secara fisik maupun verbal, seperti memberi pujian, ciuman di
pipi dan kening, serta pelukan hangat (Sunarti 2004). Sedangkan pengasuhan
penolakan berkaitan dengan bentuk perlakuan orang tua yang terkesan
meninggalkan kehangatan, tidak ada kasih sayang serta tidak ada perwujudan
bentuk cinta lainnya yang dirasakan orang tua kepada anaknya. Pengasuhan ini
juga mengekspresikan pengabaian ibu terhadap anak. Ekspresi ini diwujudkan
dalam bentuk agresi, pengabaian, dan bahkan disertai dengan perilaku yang dapat
menyakiti anak secara fisik maupun psikis. Ciri orang tua dengan pengasuhan
penolakan diantaranya adalah mempermalukan anak, merasa anak tidak
dibutuhkan, menghukum anak, cepat marah dan kesal, memperlakukan anak
dengan kasar seperti memukul, mencubit, dan menendang (Hastuti 2009).
Pengasuhan penolakan juga tercermin dari ketiadaan perhatian orang tua kepada
anaknya sehingga anak tidak merasakan kehadiran orang tua.
Rohner (1986) membagi pengasuhan penolakan ke dalam tiga ekspresi,
yaitu; 1) Hostility and aggression (kekerasan, merupakan perasaan psikologis dari
dalam diri seseorang. Adapun perasaan tersebut meliputi perasaan marah,
dendam, kebencian, dan permusuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak.
Sedangkan aggression merupakan perilaku agresi dalam bentuk fisik dan verbal.
Agresi dalam bentuk fisik diantaranya adalah memukul, menggigit, mendorong,
dan mengguncang badan anak. Di sisi lain, agresi dalam bentuk verbal adalah
berkata kasar, mengutuk, tidak ramah, meremehkan, dan bertindak kejam kepada
anak; 2) Indifference and neglect (pengabaian), merupakan perasaan psikologis
dari dalam seperti halnya yang secara sederhana dapat diartikan dengan
kurangnya perhatian kepada anak atau tindakan pengabaian dari orangtua.
Berbeda dengan hostility, indifference hanya mempunyai satu motif untuk
mengabaikan kehadiran anak (Rohner 1986). Dalam teori PAR, neglect diartikan
sebagai ketidakhadiran kedua orangtua di sisi anaknya, sehingga anak merasa
sendiri karena tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Sekalipun orang tua
berada di dekat anaknya, namun orang tua tidak memberikan akses kepada anak
untuk berinteraksi dengan orang tuanya. Hal ini dikarenakan orang tua tidak
merespon kehadiran maupun interaksi dari seorang anak; 3) Undifferentiated
rejection (tidak sayang), yaitu perasaan dari seorang anak yang merasa bahwa
dirinya tidak dicintai, tidak diinginkan, atau ditolak orang tuanya tanpa alasan
yang diketahui oleh anak (Rohner 1986). Seorang anak merasa bahwa orang
tuanya tidak menunjukkan kemarahan atau sebab kemarahannya, dan tidak juga
mengabaikan anaknya. Namun, seorang anak merasakan bahwa orang tuanya
tidak peduli padanya. Pengasuhan penolakan ini tidak diketahui secara jelas
indikator penyebabnya.
Pengasuhan yang dilakukan orang tua kepada anaknya memiliki dampak
terhadap perkembangan anak. Rohner (1986) menyebutkan bahwa orang tua
yang menerapkan pengasuhan acceptance-rejection berhubungan dengan
kepribadian anak, yaitu orang tua yang hostility (bermusuhan pada anak),
indifference (ketiadaan peran orang tua), undifferentiated rejection (penolakan
terhadap anak) berhubungan positif signifikan dengan personality anak di
antaranya adalah negative self esteem dan negative self adequacy. Negative self

12

esteem berhubungan dengan konsep diri negatif. Menurut Peterson dan Haan,
orang tua yang memeluk, mencium, memuji, dan meluangkan waktu secara positif
akan memberikan ikatan kuat, sehingga anak menjadi percaya diri dan identitas
dirinya berkembang dengan baik (Fabes dan Martin 2003) seperti yang diacu oleh
Hastuti (2009).
Kelekatan Teman Sebaya
Kelekatan merupakan proses yang terjadi antara pengasuh (ibu) dan
bayinya. Menurut Ainsworth (1991) yang diacu dalam Guarnieri et al (2010)
kelekatan disebut sebagai ikatan emosi/perhatian yang dibentuk oleh manusia atau
binatang, antara dirinya dan seseorang atau sesuatu yang khusus. Ikatan yang
merekatkan dalam ruang kebersamaan dan bertahan sepanjang waktu. Kelekatan
adalah proses dua arah atau timbal balik yang berkembang sepanjang waktu.
Kadang dibingungkan dengan istilah “bonding”, yang lebih sering digambarkan
sebagai proses „mistik‟ yang dialami oleh ibu secara singkat pasca kelahiran bayi.
Menurut Ainsworth (1979) yang diacu oleh Guarnieri (2010) hubungan kelekatan
adalah dengan pengasuh utama (primary caregiver) dan bukan hanya dengan ibu
biologis.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan diadik ibu dan bayi yang
dilakukannya, Ainsworth mengidentifikasi tiga pola kelekatan: secure, ambivalen