Penggunaan Kitosan dan Lilin Lebah sebagai Bahan Pelapis untuk Meningkatkan Masa Simpan dan Mempertahankan Kualitas Buah Pepaya

PENGGUNAAN KITOSAN DAN LILIN LEBAH SEBAGAI BAHAN
PELAPIS UNTUK MENINGKATKAN MASA SIMPAN DAN
MEMPERTAHANKAN KUALITAS BUAH PEPAYA

YURISQI MUKDISARI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penggunaan Kitosan dan
Lilin Lebah sebagai Bahan Pelapis untuk Meningkatkan Masa Simpan dan
Mempertahankan Kualitas Buah Pepaya adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Yurisqi Mukdisari
NIM A24110054

ABSTRAK
YURISQI MUKDISARI. Penggunaan Kitosan dan Lilin Lebah sebagai Bahan
Pelapis untuk Meningkatkan Masa Simpan dan Mempertahankan Kualitas Buah
Pepaya. Dibimbing oleh KETTY SUKETI dan WINARSO DRAJAD WIDODO.
Pepaya merupakan buah klimakterik dengan laju respirasi yang meningkat
selama proses pematangan. Laju respirasi pepaya dapat dihambat dengan
memberikan lapisan pada permukaan buah. Bahan pelapis yang dapat digunakan
diantaranya kitosan dan lilin lebah. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari
pengaruh pelapisan kitosan dan lilin lebah terhadap umur simpan dan kualitas buah
pepaya Callina selama penyimpanan. Percobaan dilakukan pada bulan November
2014 sampai Maret 2015 di Kebun Percobaan PKHT, Tajur dan Laboratorium
Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu kitosan 0.75%, lilin lebah 6%,

dan kontrol (tanpa bahan pelapis). Data dianalisis dengan uji F dan perlakuan yang
berpengaruh nyata dianalisis dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Parameter yang diukur adalah umur simpan, indeks skala warna kulit buah, laju
respirasi, susut bobot, kekerasan kulit buah, kekerasan daging buah, padatan terlarut
total, asam tertitrasi total, dan kandungan vitamin C. Hasil percobaan menunjukkan
bahwa perlakuan kitosan dan lilin lebah dapat memperpanjang umur simpan pepaya
Callina 4–5 hari lebih lama dibandingkan kontrol karena menghambat laju respirasi
pepaya selama penyimpanan. Perlakuan kitosan dan lilin lebah dapat
mempertahankan mutu fisik dan kimia buah pepaya Callina.
Kata kunci: Callina, laju respirasi, mutu fisik, mutu kimia, pematangan pascapanen

ABSTRACT
YURISQI MUKDISARI. Usage of Kitosan and Beeswax as Coating for Increasing
Shelf Life and Quality Maintenance of Papaya. Supervised by KETTY SUKETI
and WINARSO DRAJAD WIDODO.
Papaya is a climacteric fruit with increased respiration rate during ripening
process. Respiration rate papaya can be inhibited by providing a coating on the
surface of the fruit. Coating materials that can be used include chitosan and beeswax.
The purpose of this research is to study the effect of chitosan and beeswax coating
on the shelf life and quality of Callina papaya fruit during storage. Experiment was

carried from November 2014 until March 2015 at the Experimental Field of PKHT,
Tajur and Postharvest Laboratory, Department of Agronomy and Horticulture,
Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. The experimental design
used was completely randomized design with 3 treatments and 3 replications, there
are chitosan 0.75%, beeswax 6%, and the control (without coating). Data were
analyzed by F test and treatments that affect were analyzed by

Duncan Multiple Range Test (DMRT). Parameters measured were shelf life, the
index of fruit skin color scale, respiration rate, weight loss, skin firmness, pulp
firmness, total soluble solids, total titratable acids, and the content of vitamin C.
Results of the experiments showed that chitosan and beeswax treatments can extend
the shelf life of papaya Callina 4–5 days compared to control because it inhibits
respiration rate papaya during storage. The use of chitosan and beeswax can
maintain the physical and chemical quality of papaya fruit Callina.
Key words: Callina, chemical quality, physical quality, postharvest ripening,
respiration rate

PENGGUNAAN KITOSAN DAN LILIN LEBAH SEBAGAI BAHAN
PELAPIS UNTUK MENINGKATKAN MASA SIMPAN DAN
MEMPERTAHANKAN KUALITAS BUAH PEPAYA


YURISQI MUKDISARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Penggunaan Kitosan dan Lilin Lebah sebagai Bahan Pelapis
untuk Meningkatkan Masa Simpan dan Mempertahankan Kualitas
Buah Pepaya
Nama
: Yurisqi Mukdisari

NIM
: A24110054

Disetujui oleh

Dr Ir Ketty Suketi, MSi
Dosen Pembimbing I

Ir Winarso D. Widodo, MS, PhD
Dosen Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini telah berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan November 2014 sampai Maret 2015 ini adalah pelapisan
buah pepaya, dengan judul Penggunaan Kitosan dan Lilin Lebah sebagai Bahan
Pelapis untuk Meningkatkan Masa Simpan dan Mempertahankan Kualitas Buah
Pepaya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Ketty Suketi, MSi dan
Ir Winarso Drajad Widodo, MS, PhD sebagai pembimbing yang telah memberikan
arahannya selama penelitian hingga penulisan naskah skripsi ini. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada Dr Ir Eny Widajati, MS selaku pembimbing
akademik, Umiyati, SPd, M. Rahmat, SAg (alm), dan Usman selaku orang tua, serta
Azmi Nawwar dan Moh. Riyan Pratama atas segala bimbingan, saran, doa, dan
kasih sayangnya. Terima kasih kepada Rabobank yang telah memberikan beasiswa
selama perkuliahan hingga penelitian.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam bidang pendidikan dan bidang
pertanian.

Bogor, Agustus 2015
Yurisqi Mukdisari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi Tanaman Pepaya
Syarat Tumbuh Tanaman Pepaya
Buah Pepaya
Masa Simpan Buah Pepaya
Penanganan Pascapanen Buah Pepaya
Pelilinan Buah
Lilin Lebah
Asam Oleat
Kitosan
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Rancangan Percobaan

Prosedur Percobaan
Pengamatan Percobaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Umur Simpan dan Indeks Skala Warna Kulit Buah
Laju Respirasi
Mutu Fisik
Mutu Kimia
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
ix
1
1
2

2
2
3
3
4
4
5
6
6
7
7
7
8
8
8
9
13
13
16
18

19
21
21
21
21
26
27

DAFTAR TABEL
1 Umur simpan pepaya pada stadia kematangan 1 sampai 6
2 Perubahan stadia kematangan pepaya Callina pada setiap perlakuan
3 Mutu fisik pepaya Callina
4 Mutu kimia pepaya Callina

14
14
18
20

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7

Pengukuran kelunakan buah dengan menggunakan alat penetrometer
Indeks skala warna kematangan pepaya Callina
Hasil titrasi kandungan asam tertitrasi total
Inkubasi pepaya Callina dalam toples kedap udara
Hasil titrasi kandungan vitamin C
Perubahan warna kulit buah pepaya Callina hasil penelitian
Laju respirasi pepaya Callina tiap perlakuan

10
10
11
12
12
13
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi pepaya Callina
2 Penyakit antraknosa pada pepaya yang dilapisi lilin lebah

26
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pepaya merupakan produk hortikultura yang memiliki prospek baik untuk
dikembangkan secara komersial. Permintaan terhadap buah pepaya tidak hanya
berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri (Eliyani et al. 2013). Pada
tahun 2013 jumlah ekspor pepaya produksi Indonesia ke beberapa negara seperti
Thailand, Singapura, Saudi Arabia, Kuwait, United Emirates Arab, Qatar, Bahrain,
dan Belanda mencapai 25 836 kg atau sebesar US$ 33 732 (Kementan 2014).
Pasar internasional memiliki kriteria kualitas produk yang tinggi, sehingga
kualitas buah pepaya perlu ditingkatkan agar dapat memenuhi permintaan. Kendala
dalam penanganan buah pepaya yang mempengaruhi kualitasnya adalah sifatnya
yang mudah rusak karena tingkat kecepatan pematangan yang tinggi. Konsumen
buah lebih menyukai buah pepaya yang segar dan masih dalam bentuk aslinya,
sehingga umur simpan buah perlu diperpanjang. Upaya menghambat kematangan
diperlukan agar umur simpan buah pepaya dapat diperpanjang dan kualitasnya
dapat dipertahankan.
Banyak metode yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan buah,
meningkatkan penampilan, dan mengurangi kehilangan air. Salah satu caranya
dengan pemberian lapisan tipis pada permukaan buah. Simson dan Straus (2010)
menjelaskan bahwa metode pelapisan pada buah dapat memperpanjang masa
simpan pascapanen dengan cara menggantikan lilin natural yang hilang akibat
pencucian dan memperbaiki luka kecil selama penanganan pascapanen. Secara
umum lapisan yang ditambahkan di permukaan buah memiliki syarat tertentu.
Syarat lilin yang digunakan sebagai bahan pelapis adalah tidak berbahaya, dapat
ikut dikonsumsi bersama buah, lembut, tidak merusak, ketebalan yang cukup,
kemantapan bahan untuk memperbaiki penampilan, dan dapat mengurangi
kehilangan air. Bahan pelapis yang diduga memenuhi kriteria tersebut diantaranya
adalah kitosan dan lilin lebah.
Lilin lebah berasal dari sarang lebah dan dapat diperoleh ketika melakukan
ekstraksi madu. Berdasarkan penelitian Purwoko dan Fitradesi (2000) pelapisan
lilin lebah dengan konsentrasi 6% pada buah pepaya Solo cv Tainung 3 dapat
mempertahankan susut bobot dan padatan terlarut total lebih baik dibandingkan
dengan kontrol setelah disimpan selama 14 hari. Pada penelitian Hidayah (2013)
pelapisan pepaya Callina dengan konsentrasi 6% pada suhu 13 oC dapat
mempertahankan umur simpan pepaya hingga 22 hari, namun penyimpanan pada
suhu ruang belum diteliti lebih lanjut. Pada kedua penelitian tersebut pembuatan
emulsi lilin lebah dilakukan menggunakan bahan trietanolamin. Berdasarkan
Depkes (2008) pada UU nomor 9 tahun 2008 tentang penggunaan bahan kimia dan
larangan penggunaan bahan kimia sebagai senjata kimia, triethanolamine termasuk
ke dalam bahan kimia daftar 3 dan jenis prekursor yang dilarang penggunaannya,
sehingga pembuatan emulsi lilin lebah yang menggunakan bahan trietanolamin
seperti penelitian-penelitian sebelumnya tidak dapat dilakukan. Pembuatan emulsi
dapat dilakukan dengan menggunakan bahan pengemulsi lain seperti asam oleat,
namun hasilnya akan menjadi lebih pekat. Menurut Simson dan Straus (2010)

2
teknik brushing atau pengolesan menjadi alternatif yang dapat dilakukan pada jenis
bahan pelapis dengan sifat pekat.
Penggunaan kitosan dalam meningkatkan umur simpan pascapanen buah dan
sayuran menjadi perhatian dalam industri makanan sekarang ini. Perlakuan kitosan
sebagai pelapis memberikan efek memperpanjang umur simpan pascapanen pada
buah dan sayuran (Jianglian dan Shaoying 2013). Kitosan merupakan polisakarida
yang berasal dari limbah kulit udang (Crustaceae), kepiting, dan rajungan. Kitosan
dapat menginduksi enzim kitinase pada jaringan tanaman, yaitu enzim yang dapat
mendegradasi kitin yang merupakan penyusun dinding sel fungi, sehingga pada
penelitian yang dilakukan Novita et al. (2012) kitosan dapat digunakan sebagai
fungisida pada buah tomat. Berdasarkan penelitian Hamdayanty et al. (2012)
perlakuan kitosan 0.75% dapat digunakan untuk menekan serangan penyakit dan
intensitas kerusakannya sekaligus menghambat kematangan buah pada pepaya
selama 6 hari pengamatan, namun penelitian tersebut hanya mengamati umur
simpan dan intensitas penyakitnya saja sehingga pengamatan pengaruh kitosan
terhadap karakter pascapanen lain pada buah pepaya perlu dilakukan.
Konsentrasi optimum penggunaan lilin lebah dan kitosan untuk
memperpanjang masa simpan telah diketahui, namun terdapat karakter pascapanen
yang belum diamati, penggunaan bahan pengemulsi selain trietanolamin pada
pelapisan menggunakan lilin lebah, dan teknik brushing. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut pada lilin lebah dan kitosan terhadap upaya
memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas buah pepaya.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pelapisan kitosan dan
lilin lebah pada konsentrasi optimum terhadap umur simpan buah pepaya Callina.
Penelitian ini juga mengamati pengaruh pelapisan terhadap kualitas fisik dan kimia
buah pepaya yaitu perubahan parameter warna kulit buah, laju respirasi, susut
bobot, kekerasan kulit dan daging buah, padatan terlarut total, asam tertitrasi total,
dan vitamin C setelah diberikan perlakuan pelapisan.

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi Tanaman Pepaya
Tanaman pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu tanaman buah
tropika asal Meksiko Selatan. Berdasarkan taksonominya, tanaman pepaya berasal
dari famili Caricaceae, genus Carica, dan spesies Carica papaya. Terdapat 3 tipe
bunga pepaya yaitu jantan, hermaprodit, dan betina (Sujiprihati dan Suketi 2009).
Buah pepaya memiliki daging buah yang lunak dengan warna merah atau kuning dan
memiliki rongga buah di bagian tengah. Buah memiliki rasa yang manis dan banyak
mengandung air. Keragaman buah pepaya dibedakan dari bentuk, ukuran, warna, rasa,
dan tekstur buahnya seperti berukuran besar atau kecil, berbentuk bulat atau lonjong,

3
memiliki daging buah berwarna merah atau kuning, keras atau lunak berair, rasanya
manis atau kurang manis, dan kulit buah licin menarik atau kasar tebal (Kalie 2010).

Syarat Tumbuh Tanaman Pepaya
Tanaman pepaya termasuk tanaman buah yang mudah tumbuh di mana saja.
Daerah budidaya dan pengembangannya meluas di Amerika Tengah, Amerika
Selatan, Afrika Utara, Hawai, India, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Srilanka.
Tanaman pepaya dapat tumbuh di daerah-daerah basah, kering, daerah dataran
rendah, serta pegunungan hingga ketinggian 1 000 m dpl, namun tanaman ini
tumbuh optimal di ketinggian 200–500 m dpl dengan suhu berkisar 25–30 oC.
Tanaman pepaya mampu tumbuh di berbagai jenis tanah, tetapi akan tumbuh
optimum bila ditanam pada tanah yang gembur, subur, dan banyak mengandung
humus dengan pH 6–7 (Sujiprihati dan Suketi 2009).
Tanaman pepaya termasuk tanaman yang sensitif terhadap kekurangan dan
kelebihan air. Secara ideal tanaman pepaya cocok ditanam pada daerah dengan
curah hujan 1 000–2 000 mm/tahun dengan bulan kering (curah hujan < 60 mm) 3–
4 bulan (Sujiprihati dan Suketi 2009). Suhu di lapang mempengaruhi buah pepaya,
suhu yang lebih rendah (kurang dari 10 oC) menurunkan pertumbuhan buah, tingkat
kemanisan, dan ukuran buah pepaya (Workneh et al. 2012).

Buah Pepaya
Buah pepaya termasuk buah buni dengan daging buah yang tebal dan
memiliki rongga buah di bagian tengahnya. Buah umumnya berkulit tipis, halus,
serta berwarna kekuning-kuningan atau jingga ketika matang. Daging buah yang
berwarna kekuning-kuningan sampai dengan warna jingga merah memiliki rasa
yang manis dengan aroma yang lembut dan sedap (Sujiprihati dan Suketi 2009).
Pepaya IPB 9 atau Callina memiliki daging buah yang tebal, manis, dan
produktivitasnya tinggi. Bobot pepaya mencapai 1.5 kg dengan tingkat kemanisan
11 obrix. Bentuk pepaya ini silindris dan rata dengan kulit hijau mulus dan warna
daging buah jingga kemerahan (Sujiprihati dan Suketi 2009). Hasil penelitian
Suketi et al. (2010) menunjukkan bahwa pepaya IPB 9 atau Callina memiliki kadar
air 86.28%, abu 0.41%, lemak 1.38%, protein 4.58%, fosfor 0.04%, kalium 1.57%,
kalsium 23 mg, Fe 215 ppm, pH 5.71, PTT 11 obrix, ATT 0.146%, dan asam
askorbat 103.21 mg. Kekerasan kulit buah pangkal 27.56 mm/150 g/5 detik, tengah
28.89 mm/150 g/5 detik, dan ujung 27.89 mm/150 g/5 detik, sedangkan kekerasan
daging buah pangkal 58.67 mm/150 g/5 detik, tengah 58.50 mm/150 g/5 detik, dan
ujung 61.72 mm/150 g/5 detik. Berdasarkan penelitian Suketi et al. (2015) laju
respirasi buah pepaya Callina tanpa perlakuan KMnO4 terus meningkat hingga
mencapai puncak klimakterik pada 8 hari setelah panen yaitu 1 hari sebelum pepaya
matang penuh atau mencapai stadia 6. Pada penelitian Rini (2008) perlakuan sekat
pada kemasan kardus tidak mempengaruhi kandungan PTT dan ATT buah karena
perbedaan umur petik buah, sehingga umur panen dapat mempengaruhi kualitas
buah pepaya Callina.

4
Masa Simpan Buah Pepaya
Buah pepaya bersifat tidak tahan lama dan mudah busuk selama
penyimpanan. Menurut Suketi et al. (2007) tingkat kematangan buah dapat
berbeda-beda walaupun dalam waktu antesis yang sama sehingga dapat
mempengaruhi kualitas buah. Berdasarkan penelitian Marpudi et al. (2011) pada
kondisi suhu ruang buah pepaya tanpa pelapisan hanya dapat bertahan selama 10
hari. Pada penelitian Novita (2000) warna kulit buah pepaya yang disimpan pada
suhu ruang mencapai skor warna 6 sekitar 9–12 hari.
Pada produk hortikultura setelah panen mengalami proses fisiologi dan
biokimia. Proses yang terjadi pada produk hortikultura setelah panen diantaranya
adalah kehilangan air, perubahan karbohidrat menjadi gula, perubahan rasa,
perubahan kelunakan, perubahan warna, dan perubahan kandungan vitamin
(Zulkarnain 2009). Perubahan yang terjadi setelah buah dipanen disebabkan oleh
terjadinya proses respirasi dan transpirasi buah. Peningkatan tersebut berbanding
lurus dengan proses pematangan buah. Semakin tinggi laju respirasi dan transpirasi
buah akan cepat rusak. Upaya menghambat kerusakan dan meningkatkan masa
simpan dapat dilakukan dengan menekan laju respirasi dan transpirasi buah.
Semakin banyak keberadaan etilen juga meningkatkan laju respirasi buah sehingga
pematangan dan kemunduran jaringan cepat terjadi. Menekan keberadaan etilen
juga dapat dilakukan untuk memperlambat proses pematangan, sehingga kerusakan
lambat terjadi (Simson dan Straus 2010).
Penggunaan sekat tidak efektif untuk memperpanjang masa simpan dan tidak
mempengaruhi mutu pepaya IPB 9 atau Callina. Secara umum masa simpan buah
pepaya bertahan selama 7 HSP dengan kondisi fisik dan mutu kimia buah yang
masih baik. Kerusakan yang terjadi pada kulit buah sebagian besar belum tampak
pada 7 HSP dan tingkat kemanisan buah dalam kondisi yang baik (Rini 2008).
Berdasarkan hasil penelitian Suketi et al. (2015) Perlakuan KMnO4 dengan
dosis 15, 30, dan 45 g tidak mempengaruhi umur simpan buah pepaya Callina, ratarata setiap perlakuan KMnO4 termasuk kontrol mencapai skala warna 2 pada umur
simpan 5.1 hari, mencapai skala warna 3 pada umur simpan 6.5 hari, mencapai skala
warna 4 pada umur simpan 7.6 hari, mencapai skala warna 5 pada umur simpan 8.8
hari, dan mencapai skala warna 6 pada umur simpan 10.2 hari. Umur simpan pepaya
Callina berkisar 12–15 HSP, semua perlakuan umumnya dapat mencapai 15 HSP
untuk masing-masing tipe pepaya, namun infeksi penyakit pascapanen pada 12 HSP
menyebabkan semakin berkurangnya umur simpan buah. Infeksi cendawan pada
fase kematangan pepaya kuning penuh sampai 15 hari setelah panen berkembang
cepat dan memenuhi permukaan kulit buah sehingga sangat mempengaruhi umur
simpan buah pepaya. Hasil penelitian Taris et al. (2015) menyatakan bahwa umur
panen 120 HSA dengan satuan panas 2 102.13 oC hari merupakan umur panen
terbaik untuk perlakuan memperpanjang umur simpan buah pepaya Callina selama
7 hari.

Penanganan Pascapanen Buah Pepaya
Penanganan pascapanen disebut juga sebagai pengolahan primer (primary
processing) merupakan istilah yang digunakan untuk semua perlakuan mulai dari

5
panen sampai komoditas dapat dikonsumsi segar atau untuk persiapan pengolahan
berikutnya. Perlakuan tersebut pada umumnya tidak mengubah bentuk dan
penampilan. Penanganan pascapanen hasil hortikultura yang umumnya dikonsumsi
segar dan mudah rusak, bertujuan mempertahankan kondisi segarnya dan mencegah
perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki selama penyimpanan. Perlakuan
dapat berupa pembersihan, pencucian, sortasi, grading, pelilinan, dan pengemasan.
Pengolahan (secondary processing) merupakan tindakan yang mengubah hasil
tanaman ke kondisi lain atau bentuk lain dengan tujuan dapat tahan lebih lama
(pengawetan), mencegah perubahan yang tidak dikehendaki atau untuk penggunaan
lain termasuk pengolahan pangan dan pengolahan industri (Grolleaud 1997).
Penanganan pascapanen buah harus dapat mempertahankan mutu, kesegaran,
keseragaman buah, kandungan vitamin, dan zat mineralnya, sehingga buah dapat
disimpan lebih lama hingga diterima konsumen. Kegiatan pascapanen yang dapat
memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu buah berdasarkan
beberapa penelitian adalah pelapisan (coating) kitosan pada pisang (Sañudo 2009),
coating lilin lebah pada pepaya (Purwoko dan Fitradesi 2000), atmosfer
termodifikasi pada stroberi (Xanthopoulos et al. 2012), dan irradiasi pada tomat
(Castagna et al. 2013).
Suketi et al. (2007) menjelaskan bahwa umur panen dan waktu simpan
mempengaruhi nilai Asam Terlarut Total (ATT) buah pepaya. Nilai ATT semakin
menurun pada umur panen yang lebih tua atau demikian sebaliknya. Berdasarkan
perbandingan nilai Padatan Terlarut Total (PTT) dan ATT pada lima genotipe
pepaya, terlihat bahwa dengan semakin meningkat nilai PTT, maka nilai ATT
semakin menurun. Pada data rasio perbandingan PTT/ATT, dapat dilihat bahwa
semakin besar kandungan ATT maka nilai rasio perbandingan PTT/ATT akan
semakin kecil. Berdasarkan hasil penelitian Reninda (2006) nilai rata-rata
organoleptik dipengaruhi oleh bertambahnya nilai PTT, sehingga konsumen
menyukai buah pepaya dengan rasio perbandingan PTT/ATT yang tinggi.

Pelilinan Buah
Buah yang telah mengalami beberapa proses seperti perendaman, pencucian,
penyikatan, penggosokkan, dan proses lainnya akan kehilangan lilin pelapis alami
buah. Fungsi lilin pelapis adalah sebagai cara alami menghadapi respirasi pada buah
tanpa kehilangan air yang berlebihan. Lilin pelapis alami tidak dapat diproduksi
ulang oleh buah sehingga masa simpan dan kualitas buah akan berkurang.
Penggunaan lilin pelapis buatan atau waxing menjadi alternatif meningkatkan masa
simpan dan kualitas buah menjadi lebih baik. Beberapa fungsi lilin pelapis buatan
adalah sebagai pelindung permukaan buah, memperbaiki luka kecil, memuluskan
permukaan buah, menutup luka tangkai buah, mengurangi hilangnya kadar air yang
berlebihan, memperpanjang masa simpan, dan meningkatkan daya tarik (Simson
dan Straus 2010).

6
Lilin Lebah
Lilin lebah atau beeswax merupakan salah satu lilin yang berasal dari
binatang dan memiliki komposisi kimia yang stabil. Lilin lebah berasal dari sarang
lebah dan dapat diperoleh ketika melakukan ekstraksi madu. Dalam proses
pembentukannya, lilin lebah disekresikan oleh kelenjar lilin (wax glands) yang
terdapat pada bagian bawah perut lebah pekerja. Satu koloni lebah madu
mengonsumsi ± 10 kg madu untuk menghasilkan 1 kg lilin. Penggunaan lilin lebah
tidak hanya terbatas pada bidang industri lilin saja, tetapi telah meluas pada
industri-industri lainnya seperti kosmetika dan teknik. Sebanyak 70% produksi lilin
lebah dunia digunakan untuk industri kosmetik dan preparat farmasi (PPP 2003).
Emulsi lilin lebah 6% dapat memperpanjang masa simpan dan
mempertahankan kualitas buah pepaya Solo. Diantara perlakuan bahan pelapis,
susut bobot terkecil terdapat pada buah pepaya yang dilapisi dengan lilin lebah 6%.
Hal ini dapat disebabkan oleh pori-pori buah yang dilapisi dengan lilin lebah lebih
tertutup dibandingkan dengan perlakuan lain sehingga transpirasi buah lebih dapat
ditekan. Buah pepaya Solo yang paling lunak ditunjukkan oleh buah yang tidak
mendapat pelapisan atau kontrol terutama pada 12 HSP, sedangkan buah yang
memiliki tingkat kekerasan paling tinggi ditunjukkan oleh buah yang mendapat
perlakuan dengan pelapisan lilin lebah 6%. Warna kulit buah yang disimpan pada
suhu kamar cenderung lebih cepat mengalami perubahan menjadi warna kuning
dibandingkan dengan buah yang disimpan pada suhu dingin. Pelapisan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan warna kulit buah pepaya
Solo. Pemberian bahan pelapis dan suhu simpan memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap PTT buah pepaya Solo pada 8 HSP (Purwoko dan Fitradesi
2000).

Asam Oleat
Asam lemak terbagi dua yaitu asam lemak jenuh dan tak jenuh. Dalam bahan
pangan asam lemak jenuh yang paling banyak ditemukan adalah asam palmitat,
yaitu 15%–50% dari seluruh asam lemak yang ada, sedangkan asam stearat paling
banyak terdapat pada lemak atau minyak dari biji-bijian. Asam lemak tak jenuh
berasal dari luar tubuh, umumnya tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh. Asam
jenis ini biasa dikenal dengan asam lemak esensial, misalnya asam oleat, linoleat,
dan arachidonat, yang banyak terdapat pada minyak sayur, minyak jagung, minyak
kacang, kedelai, dan alpukat (Marsetyo 1991, Notoatmodjo 2003).
Lemak tak jenuh memiliki atom hidrogen yang lebih sedikit bila
dibandingkan dengan jumlah atom hidrogen yang ada pada lemak jenuh. Terdapat
dua jenis lemak tak jenuh yaitu lemak tak jenuh tunggal dan lemak tak jenuh ganda.
Lemak tak jenuh tunggal memiliki sepasang molekul karbon yang tidak jenuh oleh
hidrogen. Lemak tak jenuh ganda memiliki dua atau lebih karbon yang tidak jenuh
oleh atom hidrogen. Sumber makanan yang dapat dijadikan sebagai asupan lemak
tak jenuh tunggal antara lain minyak zaitun, minyak kacang tanah, dan minyak jenis
kacang-kacangan (Nursanyoto 1993).
Asam oleat atau asam cis-9-oktadekanoat merupakan asam lemak tak jenuh
yang banyak terkandung dalam minyak nabati. Salah satu sumber utama dari asam

7
oleat dalam makanan adalah minyak zaitun. Minyak zaitun terdiri atas 50–80%
asam oleat. Asam oleat juga terkandung dalam minyak bunga matahari dan minyak
biji anggur (Suhardjo dan Kusharto 1992, Nursanyoto 1993).
Asam oleat dapat digunakan sebagai pengemulsi lilin lebah dalam pembuatan
bahan pelapis. Menurut Hasenhuettl dan Hartel (2008) dalam pembuatan emulsi
lilin diharapkan hasil yang homogen dan tidak terdapat gumpalan lilin yang tidak
merata. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang baik, misalnya dengan
menggunakan pengemulsi yang sesuai untuk menghasilkan emulsi stabil dan
homogen. Pada penelitian Purwoko dan Fitradesi (2000) dan Hidayah (2013)
emulsi lilin lebah dibuat dengan menggunakan pengemulsi trietanolamin dan asam
oleat. Emulsi yang dihasilkan memiliki bentuk yang cair sehingga aplikasi dengan
metode pencelupan dapat dilakukan.

Kitosan
Kitosan merupakan polisakarida yang berasal dari limbah kulit udang
(Crustaceae), kepiting, dan rajungan. Kitosan dapat membentuk matriks yang kuat
dan bersifat permeabel terhadap O2 dan CO2 (Sugita et al. 2009). Hal tersebut
menyebabkan perlakuan kitosan mampu meningkatkan umur simpan pada pada
buah yang dilapisi. Penelitian yang dilakukan oleh Karina et al. (2012) menjelaskan
bahwa kitosan kepiting dapat memperpanjang masa simpan dan menjaga mutu buah
stroberi lebih baik daripada kitosan udang.
Kitin diekstrak dari limbah udang dan cangkang kepiting dengan proses
deproteinisasi dengan menggunakan larutan NaOH 5%, selanjutnya proses
demineralisasi dilakukan menggunakan larutan HCl 2%. Kitin yang telah
diekstraksi diproses menjadi kitosan dengan metode deasetilasi dengan
menggunakan larutan NaOH 40%, sehingga dihasilkan bubuk berukuran partikel
kurang dari 1 mm (Hewajulige et al. 2009).
Kitosan dapat menginduksi enzim kitinase pada jaringan tanaman, yaitu
enzim yang dapat mendegradasi kitin yang merupakan penyusun dinding sel fungi,
sehingga pada penelitian yang dilakukan Novita et al. (2012) kitosan dapat
digunakan sebagai fungisida pada buah tomat. Berdasarkan penelitian Hamdayanty
et al. (2012) konsentrasi kitosan 0.75% paling efektif untuk menekan serangan
penyakit dan meningkatkan masa simpan buah pepaya selama pengamatan.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penandaan bunga dilaksanakan pada November 2014 di kebun produksi
untuk benih pepaya Callina Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Tajur,
Bogor. Pengujian pascapanen mulai dilaksanakan pada bulan Maret 2015 di
Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut
Pertanian Bogor. Percobaan dilaksanakan pada bulan November 2014 hingga Maret
2015.

8
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan mengacu pada penelitian Taris et al. (2015) yaitu
pepaya Callina berumur 120 HSA. Deskripsi buah pepaya Callina disajikan pada
Lampiran 1. Buah pepaya berasal dari pohon hermaprodit yang berumur 1.5 tahun.
Bahan lain yang digunakan adalah lilin lebah, kitosan, NaOH, asam oleat, dan asam
asetat. Alat yang digunakan adalah refraktometer, penetrometer, kosmotektor, alat
titrasi, dan pH-meter.

Rancangan Percobaan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
faktorial dengan menggunakan 3 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu :
P1
= Kontrol
P2
= Pelapisan 6.00% lilin lebah
P3
= Pelapisan 0.75% kitosan
Model statistik dari rancangan percobaan yaitu:
Yijk = µ + αi + εij
Keterangan:
Yijk = Nilai pengamatan perlakuan pelapisan buah pepaya taraf ke-i dan
ulangan ke-j,
(µ, αi) merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh utama perlakuan
pelapisan buah pepaya
µ
= Nilai rataan umum
Αi
= Nilai pengaruh perlakuan pelapisan ke-i
Εij
= Pengaruh galat percobaan
Data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan dengan
melakukan uji F pada taraf nyata α = 5 %. Uji lanjut yang digunakan adalah Duncan
Multiple Range Test (DMRT).

Prosedur Percobaan
Pembuatan Emulsi Lilin Lebah
Pembuatan emulsi lilin lebah mengacu pada penelitian Purwoko dan Fitradesi
(2000), yaitu menggunakan konsentrasi optimum lilin lebah sebesar 6% (b/v). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Mladenoska (2012) emulsi lilin lebah dibuat dengan
melarutkan lilin lebah pada pelarut minyak sebagai pengemulsi, minyak yang
digunakan adalah minyak bunga matahari dan minyak kelapa. Pada percobaan ini
minyak kelapa yang digunakan pada penelitian Mladenoska (2012) diganti
menggunakan asam oleat yang diekstrak dari minyak zaitun. Lilin lebah dibuat
menjadi emulsi 6% dengan memanaskan 6 g lilin lebah hingga mencair, 16 ml asam
oleat, dan 84 ml akuades.

9
Aplikasi Emulsi Lilin Lebah pada Pepaya
Pepaya yang akan dilapisi lilin dicuci bersih dan ditiriskan. Pepaya dilapisi
dengan emulsi lilin lebah menggunakan metode pengolesan, kemudian dianginanginkan hingga lilin mengering. Pepaya tersebut kemudian disimpan pada suhu
kamar (25–27 oC).
Pembuatan Larutan Kitosan
Pembuatan larutan kitosan mengacu pada penelitian yang dilakukan
Hamdayanty et al. (2012) yaitu larutan dengan konsentrasi 0.75% (b/v). Pembuatan
larutan mengacu pada prosedur yang dilakukan pada penelitian Hewajulige et al.
(2009) yaitu larutan kitosan dengan konsentrasi 0.1% dibuat dengan
mencampurkan 0.1 g kitosan dalam 100 ml larutan asam asetat 10%. Larutan
disesuaikan pH-nya dengan menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi 50%.
Berdasarkan hal tersebut maka larutan kitosan 0.75% dibuat dengan mencampurkan
0.75 g kitosan dengan 100 ml larutan asam asetat 10%. Berdasarkan Chien (2013)
larutan kitosan disesuaikan hingga mencapai pH 5.0 dengan menggunakan NaOH
agar pH tidak terlalu rendah akibat pelarut asam.
Aplikasi Kitosan pada Pepaya
Pepaya yang akan dilapisi kitosan dicuci bersih dan ditiriskan. Pepaya
dicelupkan ke dalam larutan kitosan sesuai dengan konsentrasi perlakuan selama
15 detik, ditiriskan, dan diangin-anginkan agar cepat kering dan pelapisan merata.
Pepaya tersebut kemudian disimpan pada suhu kamar (25–27 oC).

Pengamatan Percobaan
Pengamatan yang dilakukan dalam percobaan meliputi karakter fisik yaitu
susut bobot buah, kekerasan daging buah, kekerasan kulit buah, dan indeks skala
warna kulit buah. Karakter kimia yang diamati yaitu kandungan PTT, ATT, laju
respirasi, dan kandungan vitamin C. Pengukuran susut bobot buah dilakukan
mengacu pada penelitian Pratiwi et al. (2014) yaitu pada saat buah mencapai stadia
6. Laju respirasi dan indeks skala warna kulit buah diamati setiap hari selama
pengamatan hingga mencapai stadia 6, sedangkan pengamatan kekerasan kulit dan
daging buah, PTT, ATT, dan kadar vitamin C mengacu pada penelitian yang
dilakukan Suketi et al. (2015) yaitu pengukuran dilakukan setelah buah pepaya
mencapai stadia kematangan kuning penuh atau stadia 6.
Susut bobot
Sampel buah pepaya ditimbang terlebih dahulu sebelum diberikan perlakuan.
Pengukuran susut bobot dilakukan dengan membandingkan selisih bobot pepaya
sebelum perlakuan dan bobot pepaya diakhir perlakuan. Hasil pengamatan
dinyatakan dalam persen.

10
Pengukuran Kekerasan Buah
Pengukuran kekerasan buah dilakukan dengan alat penetrometer (Gambar 1).
Pengukuran kekerasan dilakukan pada daging buah dan kulit buah yang dilakukan
pada 3 bagian buah yang berbeda yaitu ujung, tengah, dan pangkal buah. Buah
pepaya ditempatkan pada alat hingga menempel pada jarum, kemudian dilakukan
penusukan jarum alat pada buah. Pergeseran skala penanda dari angka nol
menggambarkan kedalaman tusukan dari jarum penetrometer per bobot beban
tertentu dalam waktu tertentu (mm/g/detik). Pengukuran kekerasan daging buah
dilakukan dengan mengupas terlebih dahulu, sedangkan pengukuran kekerasan
kulit buah dilakukan tanpa dikupas. Pengukuran ini mengacu pada penelitian yang
dilakukan Pratiwi et al. (2014) dan Suketi et al. (2015).

Gambar 1 Pengukuran kelunakan buah dengan menggunakan alat penetrometer
Pengamatan Indeks Skala Warna Kulit Buah
Pengamatan keragaan visual buah pepaya mengacu pada parameter yang
digunakan pada penelitian Suketi et al. (2015) dan Pratiwi et al. (2014), yaitu
dengan menggunakan indeks derajat kekuningan kulit buah (Gambar 2). Indeks
skala warna kulit buah pepaya Callina yang digunakan adalah 1: hijau, 2: hijau
dengan sedikit kuning, 3: hijau kekuningan, 4: kuning lebih banyak dari hijau, 5:
kuning dengan ujung hijau, dan 6: kuning penuh. Tujuan pengamatan ini adalah
untuk mengetahui seberapa efektif perlakuan yang dibandingkan dengan kontrol
terhadap kualitas visual buah pepaya.

Gambar 2 Indeks skala warna kematangan pepaya Callina
Sumber: Pratiwi et al. (2014)

11
Padatan Terlarut Total
Pengukuran PTT menggunakan alat refraktometer. Pengamatan dilakukan
dengan cara mengambil daging buah setelah dipisahkan dari kulit dan biji,
kemudian dihancurkan dan diambil sarinya menggunakan kain atau kertas saring.
Sari yang telah diperoleh diteteskan pada lensa refraktometer untuk mengetahui
nilai PTT.
Asam Tertitrasi Total
Pengukuran ATT mengacu pada prosedur yang dilakukan Suketi et al. (2015),
dengan menghancurkan 25 g daging buah menggunakan mortar. Daging buah yang
telah hancur ditambahkan aquades hingga 100 ml lalu disaring. Setelah disaring,
larutan diambil sebanyak 25 ml dan ditambahkan dua tetes indikator phenoftalein,
kemudian dilakukan titrasi dengan NaOH 0.1 N hingga larutan berwarna merah
muda (Gambar 3). Kandungan ATT dihitung menggunakan rumus :
Asam Tertitrasi Total (ml/100 g bahan) = ml NaOH x 0.1 N x Fp x 100
Bobot contoh (g)
Keterangan :
N
= Normalitas larutan NaOH (0.1)
Fp
= Faktor pengenceran (100 ml/25 ml)

Gambar 3 Hasil titrasi kandungan asam tertitrasi total
Laju Respirasi
Pengukuran laju respirasi menggunakan alat kosmotektor dan toples kedap
udara (Gambar 4). Perhitungan laju respirasi mengacu pada prosedur yang
dilakukan pada penelitian Pratiwi et al. (2014) dan Suketi et al. (2015). Buah
pepaya dan toples yang akan digunakan diukur volumenya terlebih dahulu. Buah
pepaya ditimbang kemudian dimasukan ke dalam toples yang tutupnya
dihubungkan dengan alat kosmotektor. Inkubasi dilakukan selama 2 jam, kemudian
kadar CO2 diukur dengan menghubungkan selang dan alat kosmotektor. Laju
respirasi dihitung dengan rumus:

12
L = V x K x 1.76
WxB
Keterangan :
L = Laju respirasi (mg CO2/kg/jam)
V = Volume udara bebas dalam stoples (V toples - V bahan) dalam ml
K = Kadar CO2 sesudah inkubasi - kadar CO2 awal (0.03%)
W = Waktu inkubasi (jam)
B = Bobot bahan (kg)
Nilai 1.76 merupakan konstanta gas

Gambar 4 Inkubasi pepaya Callina dalam toples kedap udara
Kadar vitamin C
Pengukuran kadar vitamin C mengacu pada prosedur yang digunakan pada
penelitian Pratiwi et al. (2014) dan Suketi et al. (2015). Kandungan vitamin C
diukur dengan melakukan titrasi larutan Iodin 0.01 N dengan indikator amilum.
Filtrat buah sebanyak 25 ml dititrasi dengan larutan iodin 0.01 N. Indikator amilum
dibuat dengan melarutkan 1 g amilum ke dalam 100 ml akuades yang dididihkan.
Sebelum titrasi dilakukan filtrat ditambah indikator amilum. Akhir titrasi ditandai
dengan perubahan warna menjadi biru pada filtrat (Gambar 5). Kandungan vitamin
C dihitung menggunakan rumus :
Vitamin C (mg/100 g) = ml iod 0.01 N x 0.88 x fk x 100
Bobot contoh (g)
Keterangan :
fk
= faktor konversi (100 ml/25ml)

Gambar 5 Hasil titrasi kandungan vitamin C

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Umur Simpan dan Indeks Skala Warna Kulit Buah
Umur simpan dihitung dengan cara melihat perubahan indeks skala warna
dan perubahan fisik buah pepaya. Pengamatan umur simpan buah dilakukan pada 0
HSP hingga buah mencapai indeks skala warna 6 atau tidak layak konsumsi
(Gambar 6). Berdasarkan penelitian Reninda (2006) bertambahnya warna kuning
pada kulit buah pepaya akan semakin meningkatkan kesukaan konsumen terhadap
rasa dan warna buah. Menurut Suketi et al. (2015) penggunaan indeks skala warna
≥ 4 dijadikan acuan dalam menentukan umur simpan buah pepaya karena sudah
siap sampai ke tangan konsumen untuk dikonsumsi.

Gambar 6 Perubahan warna kulit buah pepaya Callina hasil penelitian; (1) hijau,
(2) hijau dengan sedikit kuning, (3) hijau kekuningan, (4) kuning lebih
banyak dari hijau, (5) kuning dengan ujung hijau, (6) kuning penuh.
Perlakuan pelapisan lilin lebah dan kitosan dapat memperpanjang umur
simpan buah pepaya Callina (Tabel 1). Pelapisan mempengaruhi buah pepaya
mencapai stadia kematangan 2, 3, 5, dan 6. Umur simpan buah pepaya dihitung
sejak panen hingga mencapai stadia kematangan 6 atau rusak akibat penyakit.
Perubahan stadia kematangan pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.
Umur simpan yang paling lama didapat dari buah yang diberikan perlakuan lilin
lebah yaitu 12.33 HSP. Umur simpan buah pepaya yang diberikan perlakuan
kitosan adalah 11.33 HSP dan tidak berbeda dengan umur simpan perlakuan
pelapisan lilin lebah. Umur simpan yang paling pendek terdapat pada pepaya yang
tidak diberikan bahan pelapis (kontrol) yaitu hanya mencapai 7.67 HSP. Pada
penelitian Novita (2000) warna kulit buah pepaya yang disimpan pada suhu ruang
mencapai skor warna 6 pada 9–12 hari. Berdasarkan penelitian Taris et al. (2015)
umur simpan yang dicapai buah pepaya Callina dengan umur petik 120 HSA
merupakan umur panen yang baik dan memiliki umur simpan yang cukup lama
yaitu 6.5 HSP.

14
Tabel 1 Umur simpan pepaya pada stadia kematangan 1 sampai 6
Perlakuan
Kontrol
Lilin lebah
Kitosan

Stadia 1 Stadia 2
1
2.67b
1
4.67a
1
6.00a

Umur (HSP)
Stadia 3 Stadia 4
4.00b
6.00
7.33a
8.67
8.00a
9.00

Stadia 5
6.67b
11.00a
10.33ab

Stadia 6
7.67b
rusak
11.33a

Keterangan: angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata menurut
Duncan’s multiple range test (DMRT) pada taraf α = 5%

Tabel 2 Perubahan stadia kematangan pepaya Callina pada setiap perlakuan
Stadia kematangan
Perlakuan
1
2
3
4
5
6

Kontrol

Lilin lebah

Rusak

Kitosan

Pelapisan menggunakan kitosan dapat memperpanjang umur simpan buah
pepaya Callina 3.66 hari lebih lama dibandingkan kontrol. Hasil tersebut hampir
sama dengan penelitian Hamdayanty et al. (2012) yang menyatakan pelapisan
kitosan 0.75% pada buah pepaya dapat meningkatkan masa simpan buah 3 hari
lebih lama dibandingkan dengan kontrol selama 6 hari pengamatan. Umur simpan
buah pepaya Callina yang dilapisi lilin lebah pada percobaan ini lebih pendek
dibandingkan hasil penelitian Purwoko dan Fitradesi (2000) yang menyatakan
perlakuan 6% pada buah pepaya Solo cv Tainung 3 dapat mempertahankan kualitas
buah hingga 14 hari pengamatan. Hal ini diduga karena perbedaan varietas dan
umur petik buah pepaya yang digunakan.
Buah pepaya yang diberikan bahan pelapis memerlukan waktu lebih lama
untuk mencapai stadia kematangan 6, sehingga umur simpannya lebih panjang.
Buah memiliki umur simpan yang lebih panjang karena respirasi dan transpirasi
buah yang lebih rendah. Perubahan stadia kematangan pada pepaya tanpa bahan
pelapis, dilapisi lilin lebah, dan dilapisi kitosan dapat dilihat pada Tabel 2.

15
Berdasarkan Simson dan Straus (2010) buah yang tidak diberikan bahan pelapis
akan mengalami transpirasi dan respirasi yang lebih tinggi sehingga metabolisme
buah berjalan dengan cepat. Metabolisme buah akan mempengaruhi kecepatan
kerusakan pada buah dan mempengaruhi umur simpan buah. Semakin tinggi
kecepatan metabolisme pada buah maka umur simpan buah akan semakin pendek.
Berdasarkan penelitian Trisnawati (2013) pelapisan kitosan pada buah duku
berguna untuk menghambat proses pematangan dengan mencegah keluarnya gas,
uap air, dan kontak dengan O2, sehingga proses pematangan dapat diperlambat.
Respirasi yang rendah dipengaruhi oleh berkurangnya kontak antara permukaan
buah dengan O2 karena lapisan yang menyelimuti permukaan buah. Transpirasi
yang rendah disebabkan adanya lapisan yang menghalangi uap air untuk keluar dari
buah ke lingkungan.
Pengelompokkan stadia kematangan dilakukan berdasarkan perubahan warna
kulit dari hijau hingga berwarna kuning menyeluruh. Tabel 1 menunjukkan bahwa
perlakuan pelapisan mempengaruhi umur buah pepaya ketika mencapai stadia
kematangan berikutnya. Pelapisan menggunakan lilin lebah maupun kitosan
mempengaruhi umur buah pepaya ketika mencapai stadia 2 dan stadia 3. Pada stadia
5 buah pepaya yang diberikan pelapisan lilin lebah memiliki umur yang paling lama
yaitu 11 HSP dibandingkan dengan kontrol yaitu 6.67 HSP. Berdasarkan Sujiprihati
dan Suketi (2009) warna kulit buah pepaya mengalami perubahan selama proses
pematangan. Buah umumnya berkulit tipis, halus, serta berwarna kekuningkuningan atau jingga ketika matang.
Pada buah pepaya yang diberikan pelapisan lilin lebah mulai mengalami
tanda-tanda penyakit yang ditandai munculnya cendawan dan rusak pada stadia 5
sehingga dilakukan uji kimia sebelum mencapai stadia 6 (Lampiran 2). Hal tersebut
dilakukan karena buah yang rusak menjadi tidak layak konsumsi dan untuk
mencegah hasil pengujian yang tidak akurat akibat kontaminasi. Buah yang rusak
tidak layak dipasarkan kepada konsumen dan perubahan yang disebabkan penyakit
tidak mewakili hasil uji kimia yang sebenarnya, sehingga umur simpan juga
ditentukan oleh kondisi kesehatan buah. Munculnya cendawan pada buah yang
diberikan pelapisan lilin lebah diduga karena teknik pelapisan brushing yang
menyebabkan lilin yang melapisi kulit lebih tebal daripada teknik pencelupan,
sehingga menyebabkan kelembaban sekitar buah yang lebih tinggi. Berdasarkan
penelitian Rini (2008) kelembaban udara yang tinggi menyebabkan spora pada
buah pepaya yang terbawa dari lapang dapat berkembang dengan baik.
Cendawan ditandai oleh munculnya hifa putih yang berawal dari pangkal
buah atau bagian buah yang terluka. Berdasarkan penelitian Hidayah (2013)
semakin lama penyimpanan buah pepaya maka akan semakin banyak pula
cendawan yang tumbuh. Tingkat kematangan buah pepaya dan semakin banyaknya
cendawan akan menambah laju perubahan konsumsi O2. Peningkatan cendawan
yang tumbuh karena buah yang matang mengandung substrat-substrat yang
dibutuhkan cendawan untuk hidup. Menurut penelitian Arista (2014) timbulnya
cendawan pada pisang Raja Bulu selama penyimpanan diduga dapat mendukung
laju produksi CO2 yang dihasilkan menjadi meningkat sehingga mempengaruhi laju
respirasi buah.
Buah pepaya yang dilapisi kitosan memiliki umur simpan yang tidak berbeda
dari buah yang dilapisi lilin lebah. Buah yang dilapisi kitosan memiliki keragaan
yang lebih baik dan mulus serta tidak terserang cendawan. Menurut Hui et al.

16
(2004) kitosan merupakan bahan bioaktif yang aktivitasnya dapat diaplikasikan
dalam bidang farmasi, pertanian, lingkungan, dan industri. Senyawa kitosan dapat
membunuh bakteri dengan cara merusak membran sel. Berdasarkan Hafdani dan
Sadeghinia (2011) kitosan memiliki sifat antimikroba karena dapat menghambat
patogen dan mikroorganisme pembusuk, termasuk jamur. Menurut Azeredo et al.
(2010) kitosan digunakan sebagai pelapis (film) pada berbagai bahan pangan
tujuannya adalah menghalangi oksigen masuk dengan baik, sehingga dapat
digunakan sebagai kemasan berbagai bahan pangan dan juga dapat dimakan
langsung karena kitosan tidak berbahaya terhadap kesehatan.
Berdasarkan penelitian Hamdayanty et al. (2012) kitosan dapat menginduksi
enzim kitinase pada jaringan tanaman, yaitu enzim yang dapat mendegradasi kitin
yang merupakan penyusun dinding sel fungi, sehingga serangan penyakit pada buah
pepaya yang disebabkan cendawan dapat ditekan. Pada penelitian Karina et al.
(2012) kitosan dapat memperpanjang umur simpan dan menjaga mutu buah stroberi
lebih baik daripada kontrol. Trinurasih (2012) menyatakan peningkatan laju
produksi CO2 pada belimbing disebabkan oleh munculnya bintik-bintik hitam yang
disebabkan pertumbuhan cendawan. Berdasarkan Hayati (2013) salak yang
terserang cendawan menghasilkan perubahan nilai CO2 menjadi lebih tinggi
dibandingkan yang tidak diserang cendawan. Menurut Kitinoja dan Kader (2002)
kerusakan mekanis selama panen juga dapat meningkatkan laju respirasi serta
produksi etilen yang berakibat pada cepatnya pematangan dan kemunduran produk
terjadi.

Laju Respirasi
Pengamatan terhadap laju respirasi buah pepaya Callina menunjukkan pola
klimakterik yaitu terjadi peningkatan laju respirasi seiring dengan pematangan
buah. Buah pepaya yang tidak diberikan perlakuan pelapisan (kontrol) laju
respirasinya lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang diberikan bahan pelapis.
Laju respirasi pada buah pepaya yang diberi perlakuan lilin lebah tidak berbeda
dengan buah yang diberikan perlakuan pelapis kitosan. Respirasi mengalami
peningkatan hingga 1 hari sebelum pepaya matang pada warna kulit buah mencapai
skala 6, namun pada buah yang diberi pelapisan lilin lebah hingga hari ke 12 masih
terjadi peningkatan respirasi dimana laju respirasi tertinggi pada hari ke 12 dan
belum terlihat adanya penurunan laju repirasi seperti perlakuan lain. Pada buah
pepaya yang dilapisi lilin lebah dilakukan pengamatan sebelum mencapai stadia 6
sehingga diduga buah pepaya belum mencapai puncak klimakterik dan penurunan
laju respirasi belum terjadi (Gambar 7). Berdasarkan penelitian Taris et al. (2015)
laju respirasi buah pepaya Callina dengan umur petik 120 HSA terus meningkat
hingga mencapai puncak klimakterik pada stadia 6. Menurut Hidayah (2013) upaya
mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan buah pepaya dilakukan
dengan menekan laju respirasi serendah mungkin. Laju respirasi pepaya sangat
dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, semakin rendah suhu penyimpanan maka laju
respirasinya akan semakin rendah. Laju respirasi yang rendah dapat meningkatkan
umur simpan buah pepaya Callina.

17
450

Laju Respirasi
(mg CO2 kg/jam)

400
350
300
250
200

Kontrol

150

Lilin lebah

100

Kitosan

50
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Umur simpan (HSP)

Gambar 7 Pengaruh perlakuan pelapisan terhadap laju respirasi pepaya Callina
Hasil uji analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan
mempengaruhi laju respirasi buah pepaya Callina. Laju respirasi rata-rata pada buah
pepaya kontrol sebesar 319.05 mg CO2 kg/jam dengan puncak laju respirasi pada
umur simpan 6 HSP, laju respirasi rata-rata pada buah pepaya dengan perlakuan
kitosan sebesar 221.60 mg CO2 kg/jam dengan puncak laju respirasi pada umur
simpan 11 HSP, dan laju respirasi rata-rata buah pepaya dengan perlakuan lilin
lebah sebesar 219.74 mg CO2 kg/jam namun puncak klimakterik belum terjadi.
Pelapisan buah pepaya Callina menggunakan kitosan dan lilin lebah dapat
menghambat respirasi buah sehingga meningkatkan masa simpan. Laju respirasi
terendah dimiliki oleh pepaya dengan perlakuan pelapisan lilin lebah. Pada
penelitian Hidayah (2013) pelapisan menggunakan lilin lebah pada buah pepaya
Callina dapat menurunkan laju konsumsi O2. Pada penelitian Irmayanti (2012) buah
avokad yang diberikan lapisan lilin mengalami penurunan laju konsumsi O2 diikuti
dengan penurunan laju produksi CO2, semakin tinggi kadar O2 di sekitar lingkungan
maka laju produksi CO2 akan tinggi. Dalam memenuhi kebutuhan O2 untuk proses
respirasi, maka energi yang digunakan diperoleh di jaringan bahan simpan yaitu
energi hasil perombakan gula menjadi pati yang kemudian dapat digunakan sebagai
energi untuk melangsungkan proses respirasi.
Pada perlakuan pelapisan lilin lebah, buah pepaya rusak meskipun umur
simpannya panjang yaitu 12.33 HSP dan belum mencapai stadia 6, diduga akibat
metode brushing yang menyebabkan lapisan lilin terlalu tebal. Lapisan yang terlalu
tebal menyebabkan O2 sangat sedikit tersedia sehingga terjadi reaksi anaerobik dan
buah mengalami kerusakan sebelum mencapai stadia kematangan 6. Menurut
Ahmad (2013) penurunan konsentrasi O2 dalam udara akan menurunkan laju
respirasi, namun konsentrasi O2 yang terlalu rendah dapat memicu reaksi anaerobik
yaitu suatu reaksi metabolisme tanpa kehadiran oksigen yang menyebabkan
kerusakan buah.

18
Mutu Fisik
Pengamatan mutu fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
kelayakan buah ketika diterima konsumen untuk dikonsumsi. Kriteria mutu fisik
yang diamati adalah susut bobot, kekerasan kulit buah, dan kekerasan daging buah.
Perlakuan pelapisan mempengaruhi susut bobot buah pepaya Callina menjadi lebih
rendah dibandingkan kontrol, namun tidak mempengaruhi kekerasan kulit dan
daging buah pepaya Callina. Susut bobot tertinggi terdapat pada buah pepaya
kontrol yaitu 8.54%, sedangkan susut bobot terendah terdapat pada buah pepaya
yang diberi pelapisan lilin lebah yaitu 5.71% (Tabel 3). Berdasarkan penelitian
Purwoko dan Fitradesi (2000) pelapisan lilin lebah dengan konsentrasi 6% pada
buah pepaya Solo cv Tainung 3 dapat mempertahankan susut bobot buah 9.2%
setelah 14 hari pengamatan. Pada pen