Karakteristik Panenan Ular Sanca Batik Python reticulatus di Sumatera Utara

KARAKTERISTIK PANENAN ULAR SANCA BATIK
Python reticulatus DI SUMATERA UTARA

KRISTINA NAINGGOLAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Panenen
Ular Sanca Batik Python reticulatus di Sumatera Utara adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,
Februari 2015
Kristina Nainggolan
NIM E353120065

RINGKASAN
KRISTINA NAINGGOLAN. Karakteristik Panenen Ular Sanca Batik Python
reticulatus di Sumatera Utara. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan
AGUS PRIYONO KARTONO.
Ular sanca batik atau P. reticulatus merupakan salah satu spesies yang
mendapat perhatian dunia terkait pemanfaatannya sebagai komoditas ekspor yang
cukup tinggi. Pemanfaatan yang berlebih dikhawatirkan akan mengancam
kestabilan populasinya di alam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
karakteristik panenan menggambarkan kondisi populasi hewan di alam. Tingginya
permintaan kulit P. reticulatus untuk kebutuhan fashion membuat usaha
pengulitan P. reticulatus tetap bertahan. Untuk mengetahui proses pengolahan
kulit P. reticulatus di Indonesia dilakukan penelitian dengan pemeriksaan 272
ekor P. reticulatus di tempat pemotongan di wilayah Sumatera Utara. Oleh karena
itu, penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara ini bertujuan untuk
mengidentifikasi karakteristik panenan P. reticulatus di tempat pemotongan dan

menduga perubahan struktur populasinya serta mengidentifikasi prosedur
pengolahan kulit hasil panenan P. reticulatus. Prosedur pengolahan kulit P.
reticulatus di tempat pemotongan terdiri atas proses pengumpulan dan koleksi,
proses pemotongan dan proses pengulitan. Proses pemotongan menjadi isu para
pemerhati konservasi satwa luar negeri karena dianggap tidak memperhatikan
kesejahteraan satwa. Data yang dianalisis meliputi jumlah panenan, jenis kelamin,
sex ratio, morfometri, kelas umur, kematangan reproduksi dan jenis pakan.
Selama penelitian teridentifikasi 272 ekor P. reticulatus dengan perbandingan 146
ekor jantan dan 126 ekor betina. Sex rasio dari 272 ekor P. reticulatus yang
dibedah adalah 1 : 0.86, atau 53.68% jantan dan 46.32% betina, kelas umur
juvenile 79 ekor (29.04%) dengan sex rasio 1 : 0.42 dan dewasa 193 ekor
(70.96%) dengan sex rasio 1 : 0.93. Rerata SVL P. reticulatus yang dipanen
adalah 272.67 cm (SD = 37.76). Berdasarkan jenis kelamin maka terdapat
perbedaan antara ukuran SVL jantan (rerata = 267, SD = 37.04) dan betina (rerata
= 278, SD = 37.91) pada kelas umur yang sama (t270 = -2.363, p = 0.019). Ukuran
testis terbesar jantan matang kelamin (n = 63) pada ukuran SVL 335 cm dan
ukuran folikel terbesar betina matang kelamin (n = 22) terdapat pada betina
ukuran SVL 329 cm. Pada 272 ekor P. reticulatus yang dibedah, diperiksa saluran
pencernaannya, 261 ekor tidak ditemukan sisa pakan. Proses pemotongan yang
dilakukan di Sumatera Utara dimulai dengan memukul kepala ular sanca batik

sampai dianggap mati kemudian dikuliti. Setelah dikuliti, kulit dipaku dan dijemur.
Sebelum dikuliti rerata panjang badan P. reticulatus 2.58 m (n = 232, SD = 0.36)
dan setelah dikuliti rerata panjang kulit kering 3.62 m (n = 232, SD = 0.51).
Rerata diameter perut P. reticulatus sebelum dikuliti 23.28 cm (n = 72, SD = 0.45)
dan setelah dikuliti rerata lebar kulit kering 34.13 cm (n = 72, SD = 0.56). Hasil
penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa
perdagangan kulit komersial tidak memusnahkan populasi P. reticulatus di
Indonesia, namun demikian ukuran tubuh panenan yang lebih kecil dari penelitian
sebelumnya memberikan sinyal kemungkinan terjadinya panenan berlebih.
Kata kunci : P. reticulatus, sanca batik, karakteristik panenan, pengolahan kulit,
Sumatera Utara

SUMMARY
KRISTINA NAINGGOLAN. Characteristics Harvesting of Reticulated Pythons,
P. reticulatus in North Sumatera. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and
AGUS PRIYONO KARTONO.
Reticulated pythons is one of reptile currently getting international concern
due to their high exploitation as export commodity. Over exploitation would
impact to their population density. Several studies have shown that characterics of
basic ecological attributes of exploited species may describes the condition of

their population in nature. The high demand of P. reticulatus skin for fashion
needs make the leather business of P. reticulatus able to survive. To determine the
processing of P. reticulatus culling in Indonesia, we conducted research with 272
P. reticulatus inspection at the slaughterhouse in North Sumatra. Therefore, the
study conducted in North Sumatra aimed to analyzed the characteristics of
Reticulated python harvesting in slaughterhouse, to assessed changes of
population structure and to identify the procedure of P. reticulatus leather
processing in North Sumatra. P. reticulatus leather processing procedure at the
slaughterhouse consists of harvesting and collections process, the process of
culling and cutting process. The later activities had raised critics from
International conservationist due to related issues regarding animal welfare. Sex
ratio from 272 specimens analysed from the slaughterhouse was 1: 0.86, or
53.68% males and 46.32% females. Age class categorie consist of 79 juvenile
(29.04%) with sex ratio of 1: 0.42 and 193 adult (70.96%) with sex ratio 1: 0.93.
Mean snout vent length (SVL) of harvested Reticulated python was 272.67 cm
(SD = 37.76). There was a significant difference in SVL between males (mean =
267, SD = 37.04) and females (mean = 278, SD = 37.91) at the same age class (p
= 0.019). The cutting process conducted in North Sumatra began with a strike at
the head of P. reticulatus until they were considered dead. Afterwards, the leather
were skinned and peeled, nailed and dried. Before skinning, average body length

of P. reticulatus was 2.58 m (n = 232, SD = 0.36) however after it was driedthe
average body length was 3.62 m (n = 232, SD = 0.51). The mean diameter of P.
reticulatus stomach before skinning was 23.28 cm (n = 72, SD = 0.45) and after
dried, the average width became 34.13 cm (n = 72, SD = 0.56). The results of this
study support the conclusion of previous studies that commercial skin trade does
not terminatey the population of Reticulated python in Indonesia. However, the
tendency of smaller body size of harvesting python compared to previous studies
indicate the possibility of excessive harvest.
Keywords: Harvesting characteristics, North Sumatra, P. reticulatus, reticulated
pythons, skin processing procedure

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KARAKTERISTIK PANENAN ULAR SANCA BATIK
Python reticulatus DI SUMATERA UTARA

KRISTINA NAINGGOLAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi
pada
Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc


Judul Tesis : Karakteristik Panenan Ular Sanca Batik Python reticulatus di
Sumatera Utara
Nama
: Kristina Nainggolan
NIM
: E353120065

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi
Ketua

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 9 Januari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari – Pebruari 2014 ini ialah
konservasi jenis, dengan judul Karakteristik Panenan Ular Sanca Batik Python
reticulatus di Sumatera Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi
dan Bapak Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi selaku pembimbing, serta Ibu Prof.

Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc selaku penguji luar komisi, yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan bagi terlaksananya
penelitian ini. Penelitian ini tidak akan mungkin terlaksana tanpa kerjasama dari
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Asosiasi Pengusaha
Reptil dan Amfibi Indonesia (IRATA), terutama Bapak George Saputra dan
pedagang kulit Bapak Sudirman dan Bapak Hardi, yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga
besar Nainggolan terutama papi dan mami, serta kakak, adik-adik juga
keponakanku tersayang, atas segala doa dan dukungannya, teman-teman KKH
2012 atas kebersamaannya dan para pihak yang telah membantu selama penulis
menyelesaikan studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

Februari 2015

Kristina Nainggolan


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pemikiran Penelitian


1
1
2
2
2
3

2 KARAKTERISWTIK PANENAN ULAR SANCA BATIK Python
reticulatus DI SUMATERA UTARA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

5
6
7
9
13
16

3 PENGOLAHAN KULIT HASIL PANENAN ULAR SANCA BATIK P.
reticulatus DI SUMATERA UTARA DAN IMPLIKASI TERHADAP
ETIKA KESEJAHTERAAN HEWAN
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

17
18
18
20
27
29

4 PEMBAHASAN UMUM

29

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

33
33
33

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

34
37
38

DAFTAR TABEL
1 Kelas umur P. reticulatus yang dipanen
2 Data morfometri P. reticulatus yang dipanen di Rantauprapat dan
Rapuan Ilir
3 Perbandingan rataan ukuran morfometri P. reticulatus jantan dan betina
4 Jenis pakan P. reticulatus yang dipanen berdasarkan hasil identifikasi
dalam saluran pencernaan
5 Perbandingan hasil analisis morfometri
6 Rataan ukuran P.reticulatus sebelum dan sesudah dikuliti dari panenan
di kota Rantauprapat dan desa Rapuan Ilir
7 Perbandingan rataan ukuran badan dengan ukuran kulit
8 Total harga kulit dan daging dari spesimen yang diukur di desa Rapuan
Ilir pada tanggal 29 - 30 Januari 2013

9
10
10
14
16
26
26
30

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian
2 Peta lokasi penelitian
3 Distribusi ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen berdasarkan
jenis kelamin
4 Distribusi ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen berdasarkan
jenis kelamin (Shine et al. 1999)
5 Peta lokasi penelitian
6 Bagan alir proses pengumpulan dan koleksi
7 Bagan alir proses pemotongan
8 Bagan alir proses pengulitan
9 (a) P. reticulatus reticulatus dalam bak penyimpanan, (b) proses
pengulitan dengan belah punggung pertengahan, (c) pelepasan
kulit dari daging, dan (d) pelebaran dinding tubuh P. reticulatus

4
8
11
12
19
21
23
24

25

DAFTAR LAMPIRAN
1 Korelasi Paired Samples

37

1

PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang

Pemanenan satwa liar merupakan suatu usaha manusia untuk memanfaatkan
hidupan liar yang ada di sekitarnya bagi kesejahteraan manusia. Pemanenan yang
awalnya ditujukan bagi pemenuhan kehidupan sehari-hari (subsistence) seiring
waktu berubah menjadi pemanenan dalam jumlah besar untuk kepentingan
komersial dan industri. Hilangnya habitat dan penangkapan satwaliar secara
besar-besaran akan menyebabkan menurunnya jumlah tangkapan setiap tahunnya,
mengurangi keuntungan bagi manusia dan dalam beberapa kasus akan
mempercepat terjadinya kepunahan (Webb & Vardon 1998). Menurut Webb &
Vardon (1998), satwaliar seringkali dianggap memiliki nilai ekonomi yang lebih
rendah daripada nilai ekonomi habitatnya, sehingga habitatnya diluar hutan
lindung akan diubah untuk penggunaan lain. Sedangkan satwaliar yang diketahui
mempunyai nilai ekonomi tinggi, akan semakin banyak dieksploitasi.
Kepunahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kepunahan masal
pernah terjadi di dunia pada masa geologi lalu (Indrawan et al. 2007). Salah satu
ancaman utama pada keanekaragaman hayati yang menyebabkan kepunahan
adalah pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia
(Indrawan et al. 2007). Aktifitas manusia sudah berkontribusi pada 45% penyebab
terjadinya penurunan populasi (Wheather 1994). Introduksi dan perusakan habitat
menyebabkan kepunahan sebesar 39% dan 36% dari penyebab kepunahan yang
diketahui, diikuti dengan perburuan yang menyebabkan kepunahan sebesar 23%.
Dalam suatu skenario yang optimistik, spesies yang dieksploitasi biasanya akan
menjadi sangat langka, sehingga perburuan akhirnya dihentikan dan diharapkan
populasi akan kembali melimpah (Indrawan et al. 2007). Laju kepunahan bisa
diperlambat dengan pengelolaan yang tepat.
Pengelolaan satwaliar adalah seni untuk membuat lahan memproduksi
satwaliar yang bernilai (Bailey 1982). Pengelolaan satwaliar merupakan bagian
dari konservasi satwaliar. Bailey (1982) menyatakan bahwa konservasi secara
sederhana didefinisikan sebagai penggunaan sumberdaya secara bijaksana.
Menurut Bailey (1982) pula, konservasi adalah kehidupan yang harmonis antara
manusia dengan alam. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mendefinisikan
konservasi sebagai pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Sekditjen
PHKA 2007a).
Pengelolaan satwaliar harus dilakukan berdasarkan prinsip kelestarian hasil
(Alikodra 1997). Ini berarti bahwa satwaliar dapat dipanen secara periodik tanpa
mengurangi potensi perkembangbiakannya. Menurut Webb & Vardon (1998), arti
dari penangkapan secara lestari dan hubungannya dengan konservasi masih cukup
membingungkan. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan
secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau
dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan
(Webb & Vardon 1998).

2

Salah satu satwa liar yang dimanfaatkan dalam jumlah besar di Indonesia
adalah sanca batik (Python reticulatus). Undang-undang di Indonesia belum
mengkategorikan ular sanca batik sebagai satwa dengan status dilindungi. Akan
tetapi sejak tahun 1975 CITES telah memasukannya dalam kategori satwa
appendix II (UNEP-WCMC 2009). Penelitian mengenai pemanfaatan sanca batik
telah dilakukan pada tahun 1990an (Shine et al. 1999) namun demikian tidak ada
pembaruan dari penelitian ini. Penelitian ulangan diperlukan untuk melihat
kecenderungan populasi seiring waktu.
Stuebing & Inger (1999) menyatakan bahwa ular terestrial sangat susah
untuk diketahui densitasnya. Untuk itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mengukur estimasi kerapatan adalah dengan menghitung jumlah yang ditangkap
seperti yang dilakukan oleh Shine et al. (1999).
Pemanenan sanca batik bukan saja mendapat sorotan dari kalangan
pemerhati ular luar negeri dari sisi populasi namun juga dari sisi etika dalam
pemanfaatannya (TRAFFIC 2008). Laporan mengenai prosedur pengolahan hasil
panenan sanca batik di Indonesia sangatlah minim, sehingga dirasa perlu untuk
mendata prosedur yang telah dilakukan dan menelaah kemungkinan pengolahan
yang berbasiskan kesejahteraan satwa.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menganalisis karakteristik panenan terkini P. reticulatus di tempat pemotongan
berdasarkan jumlah panenan, jenis kelamin, sex ratio, morfometri, kelas umur,
kematangan reproduksi dan jenis pakan;
2) Menduga perubahan struktur populasi P. reticulatus;
3) Mengidentifikasi prosedur pengolahan kulit hasil panenan P. reticulatus di
Sumatera Utara.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam: 1) Memberikan
gambaran mengenai keadaan struktur populasi Python reticulatus di alam sebagai
akibat adanya aktifitas penangkapan; 2) Memberikan informasi mengenai
karakteristik panenan Python reticulatus di Sumatera Utara yang bisa digunakan
sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan pengelolaan; 3) Menjadi salah
satu pertimbangan bagi satuan kerja lingkup Direktorat Konservasi
Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan selaku Management Authority
dalam penentuan kebijakan Python reticulatus.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mendapatkan data ular sanca batik
(Python reticulatus) yang tertangkap dan dipotong di dua rumah potong ular yaitu
di desa Rapuan Ilir Kabupaten Simalungun dan kota Rantauprapat untuk
mengetahui karakteristik panenan ular sanca batik (Python reticulatus) di
Sumatera Utara. Hasil penelitian ini disajikan dalam 2 (dua) makalah, yaitu:

3

Makalah 1: Karakteristik Panenan Ular Sanca Batik Python reticulatus di
Sumatera Utara, bertujuan; 1) menganalisis karakteristik panenan terkini P.
reticulatus di tempat pemotongan berdasarkan jumlah panenan, jenis kelamin, sex
ratio, morfometri, kelas umur, kematangan reproduksi dan jenis pakan
2) menduga perubahan struktur populasi P. reticulatus.
Makalah 2: Pengolahan Kulit Hasil Panenan Python reticulatus di Sumatera Utara,
bertujuan untuk mengidentifikasi prosedur pengolahan kulit hasil panenan P.
reticulatus di Sumatera Utara dan menganalisis kesesuaian prosedur dengan etika
kesejahteraan hewan.
Kerangka Pemikiran Penelitian
Tindakan pemanenan untuk tujuan konsumsi dan perdagangan
meningkatkan peluang kematian pada populasi satwaliar yang dipanen dan pada
gilirannya memicu penurunan ukuran bahkan kepunahan populasi satwaliar
tersebut. Oleh karena itu, pemanenan terhadap populasi satwaliar seharusnya
dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian. Pemanenan satwaliar
secara lestari adalah konsep pemanfaatan satwaliar melalui pemanenan sejumlah
anggota populasi dari habitat alaminya tanpa melebihi kemampuan populasi
tersebut untuk mempertahankan ukuran minimum lestarinya melalui proses
reproduksi. Konsep ini membutuhkan banyak pertimbangan dan informasi/data
mengenai kondisi demografi, ekologi maupun biologi populasi satwaliar tersebut
untuk dapat menentukan jumlah dan waktu panen serta ukuran maupun jenis
kelamin individu satwa yang akan dipanen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai karakteristik tangkapan, biologi reproduksi, sex
ratio, kelas umur, morfometri dan jenis pakan serta prosedur pengolahan dan
penanganan Python reticulatus di Sumatera Utara yang bisa digunakan sebagai
dasar ilmiah dalam melakukan tindakan pengelolaan. Berdasarkan hal di atas,
kerangka pemikiran penelitian ini disajikan sebagaimana alur pada Gambar 1.

Python reticulatus di tempat
pemotongan

Jumlah
tangkapan

Reproduksi

Kelas
umur

Sex
ratio

Morfometri

Koleksi

ANALISIS
DATA

Hasil tangkapan terkini

Jumlah
tangkapan

Menurun

Biologi
Reproduksi

Sex ratio

PERBANDINGAN

4

Karakteristik panenan & prosedur
pengolahan P. reticulatus di tempat
pemotongan
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Hasil penelitian
Shine et al. (1999)

Kelas umur

Morfometri

Tetap/
meningkat

Penanganan

2

KARAKTERISTIK PANENAN ULAR SANCA BATIK
Python reticulatus DI SUMATERA UTARA
Abstract

Reticulated pythons is one of reptile currently getting international concern
due to their high exploitation as export commodity. Over exploitation would
impact to their population density. Several studies have shown that characterics of
basic ecological attributes of exploited species may describes the condition of
their population in nature. Therefore, the study conducted in North Sumatra aimed
to analyzed the characteristics of Reticulated python harvesting in slaughterhouse
and to assessed changes of population structure. Sex ratio from 272 specimens
analysed from the slaughterhouse was 1: 0.86, or 53.68% males and 46.32%
females. Age class categorie consist of 79 juvenile (29.04%) with sex ratio of 1:
0.42 and 193 adult (70.96%) with sex ratio 1: 0.93. Mean snout vent length (SVL)
of harvested Reticulated python was 272.67 cm (SD = 37.76). There was a
significant difference in SVL between males (mean = 267, SD = 37.04) and
females (mean = 278, SD = 37.91) at the same age class (p = 0.019). The results
of this study support the conclusion of previous studies that commercial skin
trade does not terminatey the population of Reticulated python in Indonesia.
However, the tendency of smaller body size of harvesting python compared to
previous studies indicate the possibility of excessive harvest.
Keywords: Harvesting characteristics, North Sumatra, P. reticulatus
Abstrak
Ular sanca batik atau P. reticulatus merupakan salah satu spesies yang
mendapat perhatian dunia terkait pemanfaatannya sebagai komoditas ekspor yang
cukup tinggi. Pemanfaatan yang berlebih dikhawatirkan akan mengancam
kestabilan populasinya di alam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
karakteristik panenan menggambarkan kondisi populasi hewan di alam. Oleh
karena itu, penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara ini bertujuan untuk
mengidentifikasi karakteristik panenan P. reticulatus di tempat pemotongan dan
menduga perubahan struktur populasinya. Data yang dianalisis meliputi jumlah
panenan, jenis kelamin, sex ratio, morfometri, kelas umur, kematangan reproduksi
dan jenis pakan. Selama penelitian teridentifikasi 272 ekor P. reticulatus dengan
perbandingan 146 ekor jantan dan 126 ekor betina. Sex rasio dari 272 ekor P.
reticulatus yang dibedah adalah 1 : 0.86, atau 53.68% jantan dan 46.32% betina,
kelas umur juvenile 79 ekor (29.04%) dengan sex rasio 1 : 0.42 dan dewasa 193
ekor (70.96%) dengan sex rasio 1 : 0.93. Rerata SVL P. reticulatus yang dipanen
adalah 272.67 cm (SD = 37.76). Berdasarkan jenis kelamin maka terdapat
perbedaan antara ukuran SVL jantan (rerata = 267, SD = 37.04) dan betina (rerata
= 278, SD = 37.91) pada kelas umur yang sama (t270 = -2.363, p = 0.019). Ukuran
testis terbesar jantan matang kelamin (n = 63) pada ukuran SVL 335 cm dan
ukuran folikel terbesar betina matang kelamin (n = 22) terdapat pada betina
ukuran SVL 329 cm. Pada 272 ekor P. reticulatus yang dibedah, diperiksa saluran

6

pencernaannya, 261 ekor tidak ditemukan sisa pakan. Hasil penelitian ini
mendukung penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa perdagangan kulit
komersial tidak memusnahkan populasi P. reticulatus di Indonesia, namun
demikian ukuran tubuh panenan yang lebih kecil dari penelitian sebelumnya
memberikan sinyal kemungkinan terjadinya panenan berlebih.
Kata kunci : Karakteristik panenan, P. reticulatus, sanca batik, Sumatera Utara
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor reptil dalam dua dekade
terakhir ini (Soehartono & Mardiastuti 2002). Python reticulatus (P. reticulatus)
merupakan salah satu spesies reptil dengan permintaan yang tinggi (Mardiastuti &
Soehartono 2003) sehingga banyak dieksploitasi (Abel 1998, Requier 1998, Shine
et al. 1998a, Yuwono 1998, Auliya et al. 2002, Mardiastuti & Soehartono 2003).
Periode tahun 1983 – 1999, rata-rata jumlah ekspor per tahun kulit P. reticulatus
dari Indonesia mencapai 230 957 lembar (Mardiastuti & Soehartono 2003). Pada
tahun 2000 jumlah ekspor kulit P. reticulatus 158 400 lembar dan ekspor untuk
pet 3 600 ekor. Pada periode dua tahun terakhir, yakni tahun 2013 jumlah ekspor
kulit P. reticulatus 157 500 lembar dan ekspor untuk pet 4 800 ekor (Ditjen
PHKA 2013), sedangkan tahun 2014 jumlah ekspor kulit P. reticulatus meningkat
menjadi 175 200 lembar dan ekspor untuk pet 3 600 ekor (Ditjen PHKA 2014).
Tingginya tingkat pemanfaatannya sebagai komoditas ekspor, menyebabkan P.
reticulatus menjadi salah satu spesies yang mendapat perhatian dunia terkait
dengan kestabilan populasinya di alam.
Sesuai kesepakatan internasional, tingkat eksploitasi komersial hidupan liar
harus dikontrol agar lestari secara ekologis dalam jangka waktu yang panjang
(Alikodra 1997). Ini berarti bahwa satwaliar dapat dipanen secara periodik tanpa
mengurangi potensi perkembangbiakannya. Dasar umum yang biasa dipakai untuk
mengevaluasi pemanenan lestari meliputi kuantifikasi tingkat sumber daya dan
ketetapan dari kemampuan sumber daya untuk bertahan dari berbagai macam
eksploitasi pada berbagai tingkat intensitas. Namun demikian, masih ditemukan
hambatan untuk mencapai tujuan tersebut, baik dari segi merancang maupun
melaksanakan manajemen strategis yang efektif. Meskipun telah dilakukan
pemantauan populasi hidupan liar yang dieksploitasi, kenyataannya adalah banyak
spesies yang dieksploitasi tidak dapat terpantau. Rata-rata eksploitasi P.
reticulatus untuk tujuan komersial di Asia Tenggara sekitar 300 000 ekor per
tahun. Hal ini meningkatkan kekhawatiran karena akan berpengaruh terhadap
keberlanjutan perdagangan P. reticulatus.
Untuk menetapkan jumlah panenan lestari yang dibutuhkan adalah data laju
pertumbuhan populasi dan ukuran populasinya. Permasalahan dalam memahami
kondisi populasi di alam pada kelompok reptil adalah sifat satwa yang tidak
memungkinkan dilakukan sampling dalam satu satuan waktu yang pendek (Shine
et al. 1998a, Schlaeper et al. 2005, Iskandar & Erdelen 2006). Oleh karena itu,
sangat dibutuhkan teknik untuk menentukan tingkat pemanenan lestari secara
cepat, mudah dan murah. Dengan demikian, teknik alternatif untuk mengevaluasi
keberlanjutan sangat dibutuhkan sebagai indikator penting mengenai kondisinya
di alam sehingga dapat dicapai suatu keputusan yang tepat yang berasaskan

7

“sustainable harvest” (TRAFFIC 2008). Salah satu cara adalah melakukan
pemantauan terhadap hasil yang dipanen yang ada di tempat pemotongan.
Pemantauan tentang panenan P. reticulatus melalui pemotongan pernah dilakukan
oleh Shine et al. (1999) pada kurun waktu tahun 1996 – 1997, diantaranya
dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Setelah penelitian Shine et al. (1999) tidak
ada data terbarui terkait pemantauan panenan di tempat pemotongan. Oleh karena
itu, dibutuhkan penelitian terkini untuk mengetahui perubahan pemanfaatan
python dan kemungkinan efek jangka panjang pemanfaatan ular ini di Sumatera
Utara.
Provinsi Sumatera Utara menjadi pusat perdagangan utama reptil di pulau
Sumatera. Berdasarkan data jumlah penangkapan satwaliar yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA)
selaku Management Authority Indonesia, untuk periode tahun 2005 – 2009,
Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi dengan jumlah penangkapan
terbesar. Ada dua jenis reptil yang jumlah tangkapnya terbesar di Provinsi
Sumatera Utara, yaitu ular sanca darah merah (Python brongersmai), dan biawak
air tawar (Varanus salvator). Untuk jenis ular sanca batik (P. reticulatus),
Provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat kedua setelah Provinsi Sulawesi
Selatan.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis
karakteristik panenan terkini P. reticulatus di tempat pemotongan berdasarkan
jumlah panenan, jenis kelamin, sex ratio, kelas umur, morfometri, kematangan
reproduksi dan jenis pakan; 2) menduga perubahan struktur populasi P.
reticulatus.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkini
mengenai karakteristik panenan dan perubahan struktur populasi P. reticulatus di
Sumatera Utara yang dapat digunakan sebagai dasar ilmiah dalam melakukan
tindakan pengelolaan.
Bahan dan Metode
Lokasi dan Waktu
Lokasi pengumpulan data adalah di tempat pengumpul yang memiliki
rumah pemotongan P. reticulatus. Ular-ular tersebut dikumpulkan dari berbagai
daerah baik di sekitar wilayah kecamatan, kabupaten maupun kota di Sumatera
Utara, yang diangkut dalam keadaan hidup ke rumah pemotongan.
Penelitian dilakukan selama 18 hari di dua rumah potong P. reticulatus
yaitu Desa Rapuan Ilir Kabupaten Simalungun tanggal 29 Januari – 30 Januari
2014 dan Kota Rantauprapat pada tanggal 6 – 21 Pebruari 2014. Peta lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 2.
Metode Pengumpulan Data
Di lokasi pemotongan, setiap individu P. reticulatus yang baru saja
dimatikan segera diamati sebelum dan sesudah dikuliti. Parameter yang dicatat
saat pengamatan adalah jumlah panenan, morfometri, jenis kelamin, bagian
reproduksi (telur dan testis) dan jenis pakan.
Jumlah panenan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jumlah
tangkapan yang dipotong di tempat pemotongan. Data panenan dikumpulkan

8

dengan memeriksa spesimen saat proses pemotongan. Jumlah panenan di tempat
pemotongan ditentukan dengan cara menghitung langsung seluruh spesimen yang
di potong. Pendekatan dasar yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi
tentang spesimen yang ditangkap untuk mendokumentasikan sifat dasar dan bias
yang melekat dalam proses penangkapan (misalnya: konsentrasi pada ukuran
tertentu, jenis kelamin atau musim).

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
Variabel yang diukur untuk mendapatkan data morfometri adalah Snout-vent
length (SVL) yaitu panjang tubuh mulai dari moncong sampai kloaka (cm), bobot
tubuh (g) dan jenis kelamin (Reinert 1993, TPBC 1998) serta panjang badan yaitu
panjang dari leher sampai kloaka (cm), panjang ekor yaitu panjang dari kloaka
sampai ujung tubuh (cm), panjang kepala yaitu panjang dari moncong sampai
belakang thorax (cm) dan jarak antar mata (cm). Pengukuran panjang ekor
dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai panjang total ular (TPBC
1998). Informasi tentang panjang badan digunakan sebagai indikator utama
penangkapan ular yang diperdagangkan. Pengukuran terhadap semua variabel
dilakukan dengan menggunakan pita ukur (ketelitian 0.1 cm).
Setelah python dikuliti kemudian diamati bangkai ular untuk menentukan
jenis kelamin dan kondisi reproduksi (dengan pemeriksaan langsung dari gonad).
Telur dan testis diambil dan dipindahkan ke dalam kantong-kantong plastik yang
telah diberi label, kemudian ditimbang, dihitung dan diukur jumlah telur folikel
kecil dan besar. Panjang dan diameter testis diukur kemudian volume testis
ditimbang (James & Shine 1985). Panjang dan diameter testis diukur
menggunakan kaliper ketelitian 0.1 mm dan volume testis ditimbang
menggunakan timbangan analitik ketelitian 0.001 mg. Jantan digolongkan sebagai
dewasa jika memiliki testis besar dan saluran eferen menebal serta berwarna
buram. Betina yang diklasifikasikan sebagai dewasa jika memiliki telur folikel

9

ovarium vitellogenesis (diameter > 10 mm), corpus luteum atresia, dan/atau
saluran otot telur yang menebal.
Setiap item mangsa dalam saluran pencernaan diamati untuk identifikasi.
Jenis-jenis pakan yang berhasil diidentifikasi melalui pengamatan langsung
disajikan dalam bentuk tabulasi jenis pakan P. reticulatus.
Pendugaan perubahan atau kecenderungan struktur populasi (trend
pemanenan) dilakukan dengan membandingkan data hasil penelitian yang
diperoleh pada saat penelitian dilakukan dengan data hasil penelitian yang
dilakukan oleh Shine et al. (1999) pada tahun 1996 – 1997 dengan
membandingkan hasil dari analisis terhadap morfometri.
Analisis Data
Normalitas data diuji dengan menggunakan uji One Sample Kolmogorov
Smirnov. Analisis sex ratio dilakukan untuk mengetahui proporsi jantan dan
betina pada jumlah individu yang dipanen. Hubungan antara variabel dengan
peubah SVL diuji dengan menggunakan Regresi Linier. Perbedaan variabel antar
jenis kelamin diuji dengan menggunakan Independent Sample T Test pada selang
kepercayaan 95%. Analisis data yang didapatkan dari kedua lokasi digabungkan
karena trend dan perlakuan yang sama di kedua lokasi tersebut.
Hasil
Jumlah Panenan
Panenan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jumlah tangkapan
yang dipotong di tempat pemotongan. Data panenan dikumpulkan dengan
memeriksa spesimen saat dilakukan proses pemotongan. Selama penelitian
teridentifikasi 272 ekor P. reticulatus dengan perbandingan 146 ekor jantan
(53.68%) dan 126 ekor betina (46.32%).
Sex Ratio dan Kelas Umur
Sex ratio dari 272 ekor P. reticulatus adalah 1 : 0.86, atau 53.68% jantan
dan 46.32% betina. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah individu jantan yang
dipanen lebih banyak dibandingkan betina. Panenan P. reticulatus pada kelas
umur juvenil 79 ekor (29.04%) dengan sex ratio 1 : 0.42 dan dewasa 193 ekor
(70.96%) dengan sex ratio 1 : 0.93 (Tabel 1).
Tabel 1 Kelas umur P. reticulatus yang dipanen
Jantan
Betina

Juvenil (ekor)
46
33

Dewasa (ekor)
100
93

Dari hasil tersebut tergambar bahwa panenan P. reticulatus pada kelas umur
juvenil 79 ekor (29.04%) dengan sex ratio 1 : 0.42 dan dewasa 193 ekor (70.96%)
dengan sex ratio 1 : 0.93.
Morfometri
Rerata SVL P. reticulatus yang dipanen adalah 272.67 cm (SD = 37.76).
Data morfometri P. reticulatus yang dipanen selengkapnya seperti yang disajikan
pada Tabel 2.

10

Tabel 2 Data morfometri P. reticulatus yang dipanen di kota Rantauprapat dan
desa Rapuan Ilir
Aspek morfometri

N

Massa tubuh (g)

Mean

35 8500.00

Std.
Minimum Maximum
Deviation
348.72

KS

2500.00 14300.00 0.585

Panjang ekor (cm)

271

42.53

6.79

13.00

58.00 0.006

Panjang kepala (cm)

272

8.47

1.07

5.50

12.50 0.000

Jarak antar mata (cm)

107

2.96

0.65

1.50

4.50 0.010

Diameter perut (cm)

86

23.80

3.99

15.00

32.00 0.193

Panjang total (cm)

272 314.28

42.17

210.00

442.50 0.792

SVL (cm)

272 272.67

37.76

183.00

404.00 0.156

Panjang badan (cm)

272 263.44

37.24

173.00

395.00 0.526

Berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan antara ukuran SVL jantan
(rerata = 267 cm, SD = 37.04) dan betina (rerata = 278 cm, SD = 37.91) pada
kelas umur yang sama (p = 0.019) seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan rataan ukuran morfometri P. reticulatus jantan dan betina
Jenis
kelamin

N

x ± SD

Std. Error
Mean

Jantan

21

787.62 ± 331.81

72.41

Betina

14

943.57 ± 364.62

97.45

Jantan

42

23.40 ± 4.27

0.66

Betina

44

24.17 ± 3.72

0.56

Jantan

146

309.08 ± 40.41

3.34

Betina

126

319.29 ± 42.49

3.79

Jantan

146

267.68 ± 37.04

3.06

Betina

126

278.44 ± 37.91

3.38

Panjang badan (cm) Jantan

146

259.31 ± 36.34

3.01

Betina

126

268.22 ± 37.84

3.37

Morfometri
Bobot tubuh (g)
Diameter perut
(cm)
Panjang total (cm)
SVL (cm)

t-test
0.199
0.377
0.043
0.019
0.049

Peubah SVL berhubungan nyata dengan massa tubuh (n=35, r2=0.826,
p=0.000). Hubungan SVL dengan massa tubuh membentuk persamaan SVL =
216.63 + 0.091 (Massa Tubuh). Peubah SVL berhubungan nyata dengan diameter
perut (n=86, r2=0.774, p=0.000). Hubungan SVL dengan diameter perut
membentuk persamaan SVL = 81.76 + 8.17 (Diameter Perut). Hal tersebut
mengindikasikan adanya dimorfisme seksual antara jantan dan betina.

11

Jantan
50
45
40

Jumlah

35
30
25
20

Juvenile

15

Adult

10
5
1100
1350
1600
1850
2100
2350
2600
2850
3100
3350
3600
3850
4100
4350
4600
4850
5100
5350
5600
5850

0

Snout-vent length (mm)

Betina
35
30

Jumlah

25
20

Juvenile

15

Adult

10
5

1100
1350
1600
1850
2100
2350
2600
2850
3100
3350
3600
3850
4100
4350
4600
4850
5100
5350
5600
5850

0

Snout-vent length (mm)

Gambar 3 Distribusi ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen
berdasarkan jenis kelamin
Meskipun distribusi SVL antara jantan dan betina relatif sama namun pada
ukuran SVL yang sama, pada jantan sudah dewasa sementara pada betina masih
muda. Distribusi SVL antara jantan dan betina seperti yang disajikan pada
Gambar 3.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Shine et al. (1999) di Sumatera
Utara yang menyatakan bahwa meskipun distribusi ukuran tubuh jantan dan
betina relatif sama, tetapi terdapat perbedaan ukuran tubuh pada SVL yang sama
dimana kebanyakan dari jantan sudah dewasa sementara setengah dari betina
adalah juvenil (Gambar 4).

12

Gambar 4 Distribusi ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen
berdasarkan jenis kelamin (Shine et al. 1999)
Reproduksi
Ukuran testis terbesar jantan matang kelamin (n = 63) pada ukuran SVL 335
cm dengan berat testis kanan 42.63 g dan berat testis kiri 38.43 g, diameter testis
kanan 27.5 mm dan diameter testis kiri 21 mm, panjang testis kanan 200 mm dan
testis kiri 180 mm, dan testis berwarna putih kekuningan. Ukuran testis terkecil
jantan matang kelamin pada ukuran tubuh 303 cm dengan berat testis kanan 2.91
g dan berat testis kiri 3.29 g, diameter testis kanan 11 mm dan diameter testis kiri
12 mm, panjang testis kanan 75 mm dan testis kiri 68 mm, dan testis berwarna
putih kekuningan.
Ukuran folikel terbesar betina matang kelamin (n = 22) terdapat pada betina
ukuran SVL 329 cm dengan berat folikel 500 g dan diameter 35 mm. Ukuran
folikel terkecil betina matang kelamin terdapat pada betina ukuran SVL 295 cm
dengan berat folikel 25.19 g dan diameter 11 mm. Pada saat penelitian dilakukan,
tidak semua dewasa yang dibedah berada pada kondisi reproduksi aktif, beberapa
jantan dewasa dan betina dewasa dalam keadaan non reproduktif.
Jenis Pakan
Pada 272 ekor P. reticulatus yang dibedah untuk diperiksa saluran
pencernaannya, 261 ekor tidak ditemukan sisa pakan. Pada 11 ekor P. reticulatus
ditemukan tikus dan ayam pada saluran pencernaannya. Jenis pakan yang
ditemukan pada saluran pencernaan disajikan pada Tabel 4.

13

Tabel 4 Jenis pakan P. reticulatus yang dipanen berdasarkan hasil identifikasi
dalam saluran pencernaan

Family
Muridae
Phasianidae

Species
Rat (Rattus
sp.)
Domestic
chicken
(Gallus
gallus)

Jumlah
mangsa
(ekor)

Jumlah jantan
Jumlah betina
(ekor)
(ekor)
Juvenil Dewasa Juvenil Dewasa

10

1

5

1

3

1

-

-

-

1

Pembahasan
Jumlah Panenan
Secara umum, P. reticulatus yang tertangkap di Sumatera Utara memiliki
ukuran yang bervariasi, namun terdapat ukuran yang dominan tertangkap. Modus
ukuran tersebut diduga merupakan P. reticulatus yang siap untuk ditangkap.
Peluang P. reticulatus jantan dan betina untuk tertangkap adalah sama karena
eksploitasi P. reticulatus oleh penangkap tidak mempertimbangkan jenis kelamin.
Pada penelitian ini, jumlah jantan yang dipanen lebih banyak (53.68%) daripada
betina. Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan Shine et al.
(1999) yang menyatakan bahwa sebagian besar (52%) P. reticulatus yang dipanen
adalah jantan. Kemungkinan ini bisa terjadi karena memang jumlah jantan lebih
banyak dibandingkan betina.
Selama 50 hari penelitian Shine et al. (1999) menghasilkan 784 ekor Python
reticulatus, maka rata-rata tangkapan perhari adalah 15.68 ekor, sedangkan pada
penelitian ini, selama 18 hari penelitian menghasilkan 272 ekor Python
reticulatus, maka rata-rata tangkapan perhari adalah 15.11 ekor. Hal ini
mengindikasikan tidak ada perbedaan terhadap jumlah panenan saat penelitian ini
dilakukan dengan penelitian Shine et al. (1999).
Sex Ratio dan Kelas Umur
Menurut Duvall et al. (1998), sistem perkawinan ular bisa poligami,
poliandri, poligini maupun monogami, namun lebih banyak kecenderungan untuk
poligini. Pada jenis satwaliar yang bersifat poligami, perbandingan akan dianggap
seimbang jika betina lebih banyak dari jantan. Pada jenis satwaliar yang bersifat
poligini, akan seimbang jika jantan lebih banyak dari betina.
Sistem perkawinan P. reticulatus adalah poligini (Shine 1998). Pada kondisi
sistem perkawinan poligini, jumlah jantan lebih banyak dari betina untuk
mendapatkan perkawinan yang optimal hasilnya. Dengan demikian dapat
diindikasikan bahwa proporsi jantan dan betina yang dihasilkan pada penelitian
ini normal karena lebih banyak jantan dari pada betina. Keseimbangan jumlah
jantan dan betina menjadi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan
populasi P. reticulatus.
Jumlah panenan paling besar sesuai dengan hasil penelitian ini terjadi pada
kelas umur jantan dewasa. Kematian karena panenan tidak terjadi pada kelas umur

14

bayi. Kelas umur bayi dan muda sangat sedikit karena penangkap menganggap
ukuran SVL pada kelas ini masih terlalu kecil dan tidak memberi keuntungan.
Keadaan seperti ini memberi nilai positif pada upaya kelestarian karena dengan
ditangkapnya ular pada kelas umur tertentu saja, memberikan kesempatan pada
kelas umur lain untuk tumbuh dan berkembang hingga mencapai kelas umur yang
sesuai untuk dipanen.
Terdapat perbedaan sex ratio antara kelas umur muda dan dewasa dimana
pada kelas umur muda, jumlah betina yang dipanen lebih banyak daripada jantan.
Pada pembagian kelas umur berdasarkan ukuran tubuh, ada perpotongan antara
kelas umur betina muda dan jantan dewasa, sehingga pada perpotongan tersebut
betina masih muda sementara pada jantan sudah merupakan jantan dewasa.
Kelas umur jantan dewasa yang dipanen mempunyai persentase 37.13% dari
seluruh ular yang dipanen, kelas umur betina dewasa 34.19%, jantan juvenile
16.54%, betina juvenile 12.13% dan 69.18% dari jantan yang ditangkap adalah
jantan dewasa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Shine et al. (1999) yang
menyatakan bahwa P. reticulatus yang dipanen di Sumatera pada saat penelitian
dilakukan, sebagian besar adalah jantan (52%), dan 89% dari jantan yang
ditangkap adalah jantan dewasa. Menurut Shine et al. (1999), kemungkinan ini
bisa terjadi karena memang jantan lebih banyak jumlahnya dibandingkan betina.
Terdapat perbandingan yang cukup besar antar kelas umur dewasa yang
dipanen dengan kelas umur lain, ini berarti terjadi penangkapan yang besar pada
kelas umur dewasa atau dengan kata lain tingkat kematian pada kelas umur
dewasa jauh lebih besar daripada tingkat kematian pada kelas umur lainnya.
Kemungkinan ini bisa terjadi karena pasar menghendaki ukuran minimal untuk
perdagangan.
Morfometri
Rerata SVL P. reticulatus yang dipanen adalah 272.67 cm (SD = 37.76).
Peubah SVL berhubungan nyata dengan bobot tubuh (n=35, r2=0.826, p=0.000).
Berdasarkan hasil korelasi regresi antara pertambahan SVL dengan bobot tubuh
secara keseluruhan diperoleh nilai r2=0.826, hal ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara pertambahan SVL dengan bobot tubuh ular yaitu jika
SVL bertambah maka bobot tubuh juga akan bertambah. Hubungan SVL dengan
bobot tubuh membentuk persamaan SVL = 216.63 + 0.091 (Bobot tubuh). Peubah
SVL berhubungan nyata dengan diameter perut (n=86, r2=0.774, p=0.000).
Berdasarkan hasil korelasi regresi antara pertambahan SVL dengan diameter perut
secara keseluruhan diperoleh nilai r2=0.774, hal ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara pertambahan SVL dengan diameter perut ular yaitu jika
SVL bertambah maka diameter perut juga akan bertambah. Hubungan SVL
dengan diameter perut membentuk persamaan SVL = 81.76 + 8.17 (Diameter
perut).
Morfometri jantan dan betina yang relatif sama juga menjadikan tidak
adanya pemilihan jenis kelamin yang dipanen. Hal ini menyebabkan panenan
dilakukan tanpa memilih jenis kelamin sehingga sesuai dengan prinsip kelestarian
karena jumlah yang banyak yang mempunyai kemungkinan untuk ditangkap.
Artinya bila jantan lebih banyak di alam, maka kemungkinan yang tertangkap
jantan akan lebih besar dibandingkan betina. Jumlah populasi jantan yang dipanen

15

lebih banyak dibandingkan dengan betina, sehingga pemanenan yang dilakukan
telah mengindikasikan panenan lestari.
Reproduksi
Dewasa kelamin pada ular sanca pada umur antara 2 – 4 tahun dengan
panjang tubuh pada jantan antara 2.1 – 2.7 meter dan betina 3.4 meter (Mexico
2000). Namun, umur pubertas ular yang kurang asupan makanan dapat lebih
terlambat. Para ilmuwan dan ahli herpetologi telah mengobservasi bahwa ada
hubungan antara bobot badan dengan keberhasilan reproduksi pada reptil
khususnya ular. Dimana betina yang kurang bobot badannya kurang sukses pula
dalam perkawinan, bahkan proses ovulasi dapat terhambat. Betina yang tidak
cukup suplai makanannya akan menjadi anorexia/kelaparan (Ross & Marzec
1990), sehingga besar kemungkinan terjadinya kematian sebelum masa
kebuntingan berlangsung.
Frekuensi reproduksi betina dewasa menjadi satu variabel yang paling
penting menentukan kemampuan populasi P. reticulatus untuk menahan tingkat
panenan yang tinggi, tapi merupakan suatu kondisi yang kompleks mengenai
pergeseran frekuensi reproduksi dengan ukuran tubuh betina dewasa di P.
reticulatus (Shine et al. 1998a), sehingga perubahan distribusi ukuran betina
cenderung mempengaruhi frekuensi reproduksi juga.
Jenis Pakan
Tidak ditemukannya sisa mangsa pada sebagian besar saluran pencernaan P.
reticulatus diduga karena ular dapat bergerak lebih banyak ketika lapar, sehingga
lebih berpeluang untuk bertemu dengan manusia dan ditangkap. Di sisi lain, ular
dapat mempertahankan sisa makanan di saluran pembuangan untuk waktu yang
sangat lama setelah makan, mangsa yang lebih besar (yang lebih mungkin untuk
dimakan oleh ular besar) lebih cenderung untuk meninggalkan sisa-sisa untuk
diidentifikasi daripada mangsa kecil (Shine et al. 1999).
Tikus dan ayam negeri yang ditemukan pada saluran pencernaan sebagian
kecil P. reticulatus mengindikasikan bahwa habitat tangkap P. reticulatus di
Sumatera Utara adalah lokasi dengan penggunaan intensif untuk aktifitas
pertanian, khususnya pada kebun kelapa sawit dan karet (Shine et al. 1999). Hal
ini sesuai dengan yang disampaikan oleh para penangkap dan pemilik rumah
potong saat penelitian ini dilakukan. Keberadaan P. reticulatus di kebun kelapa
sawit kemungkinan berhubungan dengan ketersediaan makanan dan air di lokasi
tersebut. Jenis makanan yang tersedia di kebun kelapa sawit misalnya tikus,
burung, katak, tupai dan mamalia kecil lainnya.
Keberadaan P. reticulatus di lokasi yang merupakan areal di luar hutan dan
bahkan merupakan areal dengan penggunaan intensif oleh manusia,
mengindikasikan bahwa P. reticulatus mempunyai tingkat toleransi yang tinggi
terhadap manusia. Sehingga dapat diartikan bahwa P. reticulatus bukan jenis
satwa yang rentan dan mudah terganggu dengan keberadaan manusia di sekitarnya.
Pendugaan Perubahan Struktur Populasi
Terdapat kecenderungan perubahan ukuran SVL yang dipanen saat ini
dibandingkan panenan pada 18 tahun yang lalu. Perbandingan morfometri P.
reticulatus untuk melihat trend pemanenan yang terjadi di Sumatera Utara seperti
yang disajikan pada Tabel 5.

16

Tabel 5 Perbandingan hasil analisis morfometri
Ukuran SVL
SVL matang kelamin (cm)
Jantan
Betina
Rataan SVL dewasa (cm)
Jantan
Betina
SVL terbesar (cm)
Jantan
Betina

Tahun 1996 – 1997
(Shine et al. 1999)

Tahun 2014

190
240

251
252

262.8
315.3

273
286

460
580

404
364

Menurunnya ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen pada jantan (460 cm
menjadi 404 cm) dan betina (580 menjadi 364) kemungkinan karena memang
ukuran tersebut yang tersedia di habitat tangkapnya. Hal ini dapat pula
mengindikasikan semakin berkurangnya P. reticulatus pada ukuran yang lebih
besar. Ular lebih besar cenderung memilih mangsa yang lebih besar (Hoesel 1959),
sementara pakan yang tersedia saat ini umumnya berukuran kecil (tikus). Namun
demikian, perubahan ukuran yang dipanen bisa jadi indikasi bahwa telah terjadi
penangkapan ular yang berukuran lebih besar sehingga populasi cenderung terdiri
dari ular yang lebih muda.
SVL matang kelamin P. reticulatus yang dipanen bertambah, pada jantan
(190 menjadi 251) dan betina (240 menjadi 252) disebabkan oleh ketersediaan dan
pilihan jenis pakan. Umur pubertas dapat lebih lambat pada ular yang kekurangan
asupan pakan.
Sejumlah besar hewan yang diambil untuk perdagangan kulit cenderung
menekan kelimpahan lokal P. reticulatus dan mungkin mengeliminasi sebagian
kecil hewan dengan ukuran yang lebih besar dari habitat yang sangat
terfragmentasi namun tidak mengakibatkan kepunahan.
Simpulan
Panenan ular sanca batik didominasi oleh jantan dewasa dengan jumlah
yang tidak berbeda jauh dengan penelitian Shine et al. (1999) namun dengan
karakteristik morfometri yang berbeda.
Struktur populasi didominasi oleh ular dengan kelas umur berdasarkan SVL
yang lebih kecil daripada hasil penelitian Shine et al. (1999) yang
mengindikasikan adanya pengaruh pemanenan atau tekanan habitat.

17

3

PENGOLAHAN KULIT HASIL PANENAN ULAR SANCA
BATIK P. reticulatus DI SUMATERA UTARA DAN
IMPLIKASI TERHADAP KESEJAHTERAAN HEWAN
Abstrak

The high demand of P. reticulatus skin for fashion needs make the leather
business of P. reticulatus able to survive. To determine the processing of P.
reticulatus culling in Indonesia, we conducted research with 272 P. reticulatus
inspection at the slaughterhouse in North Sumatra. This study aims to identify the
procedure of P. reticulatus leather processing in North Sumatra. P. reticulatus
leather processing procedure at the slaughterhouse consists of harvesting and
collections process, the process of culling and cutting process. The later activities
had raised critics from International conservationist due to related issues
regarding animal welfare. The cutting process conducted in North Sumatra began
with a strike at the head of P. reticulatus until they were considered dead.
Afterwards, the leather were skinned and peeled, nailed and dried. Before
skinning, average body length of P. reticulatus was 2.58 m (n = 232, SD = 0.36)
however after it was driedthe average body length was 3.62 m (n = 232, SD =
0.51). The mean diameter of P. reticulatus stomach before skinning was 23.28
cm (n = 72, SD = 0.45) and after dried, the average width became 34.13 cm (n =
72, SD = 0.56).
Keywords : North Sumatera, P. reticulatus, reticulated python, skin processing
procedure
Abstrak
Tingginya permintaan kulit P. reticulatus untuk kebutuhan fashion membuat
usaha pengulitan P. reticulatus tetap bertahan. Untuk mengetahui proses
pengolahan kulit P. reticulatus di Indonesia dilakukan penelitian dengan
pemeriksaan 272 ekor P. reticulatus di tempat pemotongan di wilayah Sumatera
Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi prosedur pengolahan kulit
hasil panenan P. reticulatus di Sumatera Utara. Prosedur pengolahan kulit P.
reticulatus di tempat pemotongan terdiri atas proses pengumpulan dan koleksi,
pros

Dokumen yang terkait

Isolasi Dan Potensi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Ular Sanca (Python sp.) Dalam Mendegradasi Limbah Keratin

8 126 54

Infeksi cacing saluran pencernaan ular sanca (python reticulatus schneider 1810) sebagai exotic pets

1 7 26

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM ULAR SANCA KEMBANG (PYTHON RETICULATUS) TERHADAP PERDAGANGAN ILEGAL SATWA LIAR DI PROPINSI DIY BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.

0 3 15

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM ULAR SANCA KEMBANG (PYTHON RETICULATUS) TERHADAP PERDAGANGAN ILEGAL SATWA LIAR DI PROPINSI DIY BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.

0 4 12

A. Kesimpulan PERLINDUNGAN HUKUM ULAR SANCA KEMBANG (PYTHON RETICULATUS) TERHADAP PERDAGANGAN ILEGAL SATWA LIAR DI PROPINSI DIY BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.

0 3 5

PREVALENSI INFEKSI CACING NEMATODA PADA ULAR PYTHON RETICULATUS YANG DIPELIHARA PECINTA ULAR DI DENPASAR.

0 4 28

KORELASI PANJANG EKOR DAN PANJANG TUBUH TERHADAP JENIS KELAMIN ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus | Raharjo | Jurnal Sain Veteriner 325 228 1 PB

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ular Sanca (Python sp.) - Isolasi Dan Potensi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Ular Sanca (Python sp.) Dalam Mendegradasi Limbah Keratin

0 0 5

Isolasi Dan Potensi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Ular Sanca (Python sp.) Dalam Mendegradasi Limbah Keratin

0 0 12

SKRIPSI UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)

0 0 85