SKRIPSI UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)

  SKRIPSI UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus) Oleh :

ISMA OLIVIA LATIFA NIM 061111051 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2015

  LEMBAR PENGESAHAN UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)

  Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

  Sarjana Kedokteran Hewan Pada

  Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Oleh

ISMA OLIVIA LATIFA

  NIM 061111051 Menyetujui

  Komisi Pembimbing, Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh. Dr. Thomas V. Widiyatno., Msi.drh.

  Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua ii

  PERNYATAAN

  Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul :

  Uji Aktivitas Lendir Bekicot (Achatina fulica) Terhadap Tingkat Kesembuhan Luka Insisi Secara Makroskopis dan Mikroskopis pada Ular Sanca Batik (Phyton reticulatus)

  tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

  Surabaya, Agustus 2015 Isma Olivia Latifa

  NIM 061111051 iii Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian Tanggal : 27 Juli 2015

KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN

  Ketua : Djoko Legowo,drh, M. Kes Sekretaris : Boedi Setiawan, drh, MP Anggota : Dr. Benjamin Chr. Tehupuring, drh, M. Si Pembimbing Utama : Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh.

  Pembimbing Serta : Dr. Thomas V. Widiyatno, Msi.drh. iv

  Telah diuji pada Tanggal : 11 Agustus 2015

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

  Ketua : Djoko Legowo,drh, M. Kes Sekretaris : Boedi Setiawan, drh, MP Anggota : Dr. Benjamin Chr. Tehupuring, drh, M. Si Pembimbing Utama : Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh.

  Pembimbing Serta : Dr. Thomas V. Widiyatno, Msi.drh.

  Surabaya, 11 Agustus 2015 Fakultas Kedokteran Hewan

  Universitas Airlangga Dekan, Prof. Romziah Sidik, drh., Ph. D.

  NIP. 195312161978062001 v

  ACTIVITIY TEST OF SNAIL MUCUS (Achatina fulica) ON THE HEALING LEVEL OF INCISION WOUND GROSSLY AND MICROSCOPICALLY IN BATIK PYTHON (Python reticulatus) Isma Olivia Latifa ABSTRACT

  The aim of this research was to determine the provision of mucus snail (Achatina fulica) can accelerate wound healing incision on the macroscopic and microscopic batik python (Python reticulatus). This reasearh used 16 batik pythons are 300 gram of body weight and 2 meters of body long. The samples in this research from Bogor trader and Banten trader. The number of treatment were two groups P1 and P2, each of group was divided into eight snakes were adopted for seven days. Topical treatment was done after 24 hours. Wound showed positive symptoms such as acute inflammation and pus yellowish white. Treatment was done once a day until there is healing wounds and peeling scab. Treatment is done by applying Betadine (iodine-containing povidine 10%). On the day 5 of this research was observed macroscopically and on the day 10 of this research samples dissected and taken to the skin organ preparations. The macroscopic data obtained were precessed with Chi-Square tests and the microskopic data obtained were precessed with Mann-Withney test. Statistic analysis using SPSS. The result showed that mucus snail can reduced damaged of histopatologic snake skin in epitelisation.

  Keyword :

  Mucus snail (Achatina fulica), batik python (Python reiculatus), healing level. vi

UCAPAN TERIMA KASIH

  Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridhonya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi mengenai Uji Aktivitas

  Lendir Bekicot (Achatina fulica) terhadap Tingkat Kesembuhan Luka Insisi Secara Histopatologis pada Ular Sanca Batik (Phyton reticulatus).

  Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini, antara lain: Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Prof.

  Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D. atas kesempatan mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

  Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh. selaku dosen pembimbing utama dan Dr. Thomas V. Widiyatno, Msi.drh. selaku dosen pembimbing serta atas segala arahan, informasi, bimbingan, dan kesabarannya sampai dengan selesainya penelitian ini.

  Djoko Legowo,drh, M. Kes selaku ketua penilai, Boedi Setiawan, drh, MP selaku sekretaris penilai dan Dr. Benjamin Chr. Tehupuring, drh, M. Si selaku anggota penilai atas segala saran dan arahan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

  Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh. selaku dosen wali yang telah vii memberikan bimbingan selama menempuh kegiatan perkuliahan dan membantu memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis selama menempuh S1 di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

  Seluruh Bapak Ibu Dosen atau Staf Pengajar yang telah banyak memberi ilmu dan pengalaman selama menempuh kegiatan perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

  Seluruh Bapak Ibu Staf Kependidikan, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Akademik, Bagian Keuangan, Bagian Tata Usaha, dan Bagian Sistem Informasi yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

  Kepada Kedua orangtua: Bapak Imam Supriyono, Ibu Siti Asiyah dan adik Syaifullah Hikmahtiyar atas limpahan doa dan pengorbanan yang tak henti- hentinya, kasih sayang, ketulusan cinta, kepercayaan, semangat serta kebahagiaan selama hidup penulis.

  Staf Laboratorium Kedokteran Dasar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan Laboratorium Patology Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

  Teman-teman saya, Megan, Yayan, Hendro, Bagas, Yonatan, Lesty, Nabil, Arif, Dimas, Kokoh, Ridho, mas Tedy, mas Fajar yang telah membantu penelitian secara bergantian. Titah, Reynata, Wiwit, Nimas, Karina, Dinda, Lina yang selalu memberi dukungan dan selalu menghibur di saat saya sedang sedih. Firza yang viii membantu menyiapkan hewan coba dan yang selalu menyemangati saya agar dapat segera menyelesaikan penelitian dan skripsi penulis.

  Penulis menyadari bahwa masih terdapat kesalahan dan kekurangan pada skripsi ini, untuk itu mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya semua pihak yang membutuhkan.

  Surabaya, 8 Juli 2015 Penulis ix

  x

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  DAFTAR ISI Halaman

  

  HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………………iii HALAMAN IDENTITAS………………………………………………………..iv ABSTRACT………………………………………………………………………vi UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………………..vii DAFTAR TABEL……………………………………………………………….xiii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………....xiv DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..xv SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG………………………………………..xvi

  

  

  

  

  

  

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  BAB III MATERI DAN METODE

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  BAB IV HASIL PENELITIAN

  4.1 Pengamatan Makroskopis………………………………………………29

  4.1.1 Kemerahan ..….………………………………………………......30

  4.1.2 Bengkak .….…………………………...…………………………31

  4.1.3 Exudate ………………………...………………………………...32

  4.2 Pengamatan Mikroskopis……………………………………………….33

  4.2.1 Kolagen…………………...………………………………...….…33

  4.2.2 Epitelisasi….……………...…...………………………………….34

  4.2.3 Angiogenesis………………………...…………...……………….35

  4.2.4 Sel Fibroblas…....………...…………………………….………....37

  BAB V PEMBAHASAN

  5.1 Pengamatan Makroskopis………………………………………………40

  5.1.1 Kemerahan ……………………...……………………………......40

  5.1.2 Bengkak ….………………..…………………………………......41

  5.1.3 Exudate ………………...………………………………………...41

  5.2 Pengamatan Mikroskopis……………………………………………….42 xi

  xii

  5.2.1 Kolagen………………………………...………………………....42

  5.2.2 Epitelisasi……………………………………………...………….43

  5.2.3 Angiogenesis……………………………...……………………....43

  5.2.4 Sel Fibroblas……...……………………………………………….44

  BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………...46 RINGKASAN……………………………………………………………………47 LAMPIRAN……………………………………………………………………...53

  DAFTAR TABEL

  Tabel Halaman

Tabel 3.1 Skor penilaian mikroskopis ................................................. 26Tabel 4.1 Nilai persentase kemerahan ................................................. 30Tabel 4.2 Nilai persentase bengkak ..................................................... 31Tabel 4.3 Nilai persentase exudate ...................................................... 32Tabel 4.4 Nilai persentase kolagen ...................................................... 34Tabel 4.5 Nilai persentase epitelisasi................................................... 35Tabel 4.6 Nilai persentase angiogenesis .............................................. 36Tabel 4.7 Nilai persentase sel fibroblas ............................................... 37

  xiii

  DAFTAR GAMBAR

  Gambar Halaman

Gambar 2.1 Ular sanca batik (Python reticulatus) ............................................... 8Gambar 2.2 Gambaran anatomi tubuh ular ......................................................... 11Gambar 2.3 Peta penyebaran ular sanca batik .................................................... 12Gambar 2.4 Perilaku membelit pada pola makan ular sanca batik ..................... 13Gambar 2.5 Bekicot (Achatina fulica) ................................................................ 14Gambar 2.6 Morfologi Bekicot ........................................................................... 15Gambar 2.7 Luka insisi pada ular sanca batik..................................................... 18Gambar 2.8 Fase Penyembuhan Luka ................................................................. 20Gambar 4.1 Gambaran makroskopis kulit ular normal………………………….29Gambar 4.2 Gambaran kemerahan ….………………………………………….31Gambar 4.3 Gambaran bengkak. ……………………………………………….32Gambar 4.4 Gambaran exudate ………………………………………………..33Gambar 4.5 Gambaran kolagen ………………………………………………...34Gambar 4.6 Gambaran epitelisasi ………….…………………………………...35Gambar 4.7 Gambaran angiogenesis …………………………………………...36Gambar 4.8 Gambaran sel fibroblas ………..…………………………………..38

  xiv

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran Halaman

  Lampiran 1 Metode pengambilan lendir bekicot………………………………...53 Lampiran 2 Prosedur pembuatan preparat histologi kulit…………… …………54 Lampiran 3 Skema pembuatan preparat histologi.……….………………………57 Lampiran 4 Skema pewarnaan Haematoxylin Eosin………….…………………58 Lampiran 5 Hasil pemeriksaan histopatologi……………….……………………59

  Lampiran 6 Dokumentasi penelitian………………………..……………………68 xv

SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

  xvi

  ECM Extracellular Matrix EGF Epitelisation Growth Factor FGF Fibroblast Growth Factor PDGF Platelet-Derived Growth Factor HE Haematoksilin Eosin P1 Perlakuan Satu P2 Perlakuan Dua RAL Rancangan Acak Lengkap SDP Sel Darah Putih SPSS Statistical Package for the Social Science TGF- β β-Transforming Growth Factor TFPI Tissue Factor Pathway Inhibitor

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Reptil adalah hewan yang saat ini mulai banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini popularitasnya meningkat untuk dijadikan hewan piaraan bagi manusia. Salah satu reptil yang digemari karena keeksotikannya adalah ular.

  Ular adalah hewan liar yang saat ini masih banyak dijumpai di sekitar kita. Salah satunya adalah ular sanca batik yang mempunyai nama latin Python

  reticulatus

  . Berbagai upaya untuk merawat ular sanca batik dilakukan mulai dari menyediakan kandang yang ideal dan menjaga kebersihannya, pakan yang sehat, mengembangbiakkan untuk memperoleh keturunan dengan mengawinkan jenis ular sanca batik, serta melakukan perawatan kondisi kesehatan, terutama bila terjadi luka pada tubuh.

  Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan sebagai akibat dari ruda paksa. Luka dapat sengaja dibuat untuk tujuan tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat trauma seperti luka akibat kecelakaan (Hunt, 2003). Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak tersebut adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam empat fase yaitu hemostatis, inflamasi, proliferasi, atau granulasi, dan remodeling (Guo and DiPietro, 2010).

  Penyembuhan luka merupakan proses alamiah dari tubuh, tetapi penggunaan beberapa obat diberikan untuk mempercepat proses penyembuhan

  1 luka (Taqwim, 2009). Beberapa obat yang membantu mempercepat proses penyembuhan saat ini relatif mahal. Selain itu seringkali terjadi kekebalan atau yang biasa disebut resistensi pada tubuh, terutama pada penggunaan antibotika yang tidak tepat sesuai aturan. Resistensi tersebut dapat menimbulkan dampak pada penigkatan aktivitas bakteri pada luka.

  Ada beberapa cara yang dilakukan manusia untuk menyembuhkan luka salah satunya adalah dengan menggunakan obat antiseptic seperti betadine.

  Betadine mengandung 10 % povidone iodine. Povidone Iodine harus digunakan secara hati-hati pada penderita yang alergi terhadap iodine karena dapat menimbulkan alergi sehingga dapat menghambat penyembuhan luka. Alergi povidone-iodine dapat menyebabkan dermatitis. Selain itu, alergi povidone juga berpotensi mengakibatkan syok anafilaksis. Syok Anafilaksis adalah keadaan alergi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba dan penyempitan saluran pernafasan, menyebabkan penderita jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri (Mawaddatulkarimah, 2014). Povidone iodine yang memiliki efek antimikroba masih juga menjadi perdebatan karena menimbulkan efek toksik pada penelitian in vitro tingkat sel, sehingga diperlukan alternatif pengobatan lain (Muhammad, 2005). Pengobatan alternatife selain menggunakan obat sintetis adalah menggunakan tanaman atau herbal yang berkhasiat sebagai obat dan beberapa bahan alam.

  Negara yang beriklim tropis seperti Indonesia memiliki potensi alam yang sangat besar untuk digali, salah satunya adalah pemanfaatan flora dan fauna dibidang kesehatan. Masyarakat desa terpencil tidak tergantung sepenuhnya pada obat modern karena faktor geografis yang tidak memungkinkan ketersediaan obat- obatan. Mereka mewarisi pengobatan tradisional secara turun temurun, bahan alam yang dipercaya berkhasiat sebagai bahan antimikroba salah satunya adalah lendir bekicot (Achatina fulica) (Grahacendikia, 2009 dalam Purnasari, 2012) yang diberikan secara topical pada luka external. Glycosaminoglycan (GAG) adalah kandungan penting yang terdapat dalam lendir bekicot yang dapat mengikat senyawa copper peptide di dalamnya. Secara teori, senyawa ini bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan kelembaban kulit. Glycosaminoglycan merupakan sejenis karbohidrat yang memegang peran penting dalam menjaga jaringan penghubung antar sel sehingga kulit selalu tampak lebih kencang.

  Senyawa ini juga termasuk komponen penyusun hyalorunat, yakni senyawa yang menjaga kelembaban kulit. Sementara copper peptide merupakan senyawa yang merangsang pembentukan kolagen di kulit. Berbagai penelitian membuktikan, copper peptide memegang peran penting dalam proses penyembuhan luka yakni merangsang pembentukan sel-sel baru untuk menggantikan sel yang rusak.

  Penyembuhan menggunakan lendir bekicot bisa menjadi salah satu alternatif karena mudah dalam penggunaan, daya sebarnya pada kulit baik, tidak menyumbat pori permukaan kulit, juga memiliki efek antibakteri. Lendir bekicot memberikan reaksi positif terhadap pengujian kandungan asam amino dan enzim.

  Protein dapat berfungsi dan berperan dalam pertumbuhan, pertahanan, fungsi tubuh sebagai fungsi pengganti jaringan dan sel yang rusak. Berdasarkan dari fungsi protein ini diperkirakan kandungan protein hewani pada lendir bekicot mempunyai nilai biologis yang tinggi, yaitu dalam penyembuhan dan penghambatan proses inflamasi (Ernawati, 1994 dalam Purnasari, 2012).

  Penelitian mengenai lendir bekicot belum banyak dilakkan, sehingga penelitian ini ingin mengetahui mengenai uji aktivitas lendir bekicot (Achatina

  fulica)

  terhadap tingkat kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton reticulatus).

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yaitu apakah pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) berperan di dalam proses penyembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton reticulatus)?

  1.3 Landasan Teori

  Segala aktivitas keseharian dapat menimbulkan risiko timbulnya luka pada tubuh. Luka adalah putusnya kontinuitas kulit dan jaringan di bawah kulit oleh karena trauma (Sutawijaya,2009). Berbagai rangsangan yang meninduksi kematian beberapa sel dapat memicu pengaktifan alur replikasi pada sel lainnya; sel radang yang direkrut tidak hanya membersihkan nekrotik, tetapi juga menghasilkan mediator yang merangsang sintesis matriks extraselular yang baru.

  Oleh karena itu pada proses peradangan pemulihan dilakukan sangat dini dan melibatkan dua proses yang sangat berbeda : Regenerasi jaringan yang mengalami jejas oleh sel parenkim dari jenis

   yang sama.

   Penggantian oleh jaringan ikat (fibrosis), yang menimbulkan suatu jaringan parut. Beberapa kejadian yang menimbulkan luka salah satunya adalah akibat benturan seperti yang sering di alami ular sanca batik yang dipelihara dengan cara dikandangkan. Khusunya pada ular sanca batik yang akan diikut sertakan dalam kontes sangat berpengaruh terhadap penilaian kecantikan kulit ular. Apabila terdapat luka atau bekas luka akan mengurangi nilai kecantikannnya. Oleh karena itu orang ingin obat yang murah, mudah didapat dan tanpa efek samping untuk kesembuhan luka pada ular sanca batik. Salah satu solusi untuk hal tersebut adalah dengan lendir bekicot (Achatina fulica) yang mudah didapatkan di sekitar kita (Dewi, 2010).

  Bekicot termasuk golongan hewan lunak (mollusca) yang termasuk dalam kelas Gastropoda. Badannya lunak dan dilindungi oleh cangkang yang keras. Jenis hewan ini tersebar di laut, air tawar dan daratan yang lembab (Intergrated Taxonomic Information System, 2004).

  Lendir bekicot mengandung glikokonjugat kompleks, yaitu glikosaminoglikan dan proteoglikan. Molekul tersebut terutama disusun dari gula sulfat atau karbohidrat, protein globuler terlarut, asam urat, dan oligoelemen (tembaga, seng, kalsium, dan besi). Glikosaminoglikan yang terisolasi dari bekicot (Achatina fulica) ini terkait dengan golongan heparin dan heparin sulfat.

  Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel, berperan pada matriks sel, proliferasi fibroblast, spesialisasi, dan migrasi, serta secara efektif mengontrol fenotip seluler. Glikokonjugat pada lendir bekicot utamanya adalah glikosaminoglikan disekresi oleh beberapa granula yang terdapat dalam tubuh bekicot dan terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga mengikat kation seperti tembaga yang dapat mempercepat proses angiogenesis yang secara tidak langsung mempengaruhi proses penyembuhan luka (Nuringtyas, 2008 dalam Putra, 2014).

  1.4 Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dapat berperan di dalam proses penyeembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton reticulatus).

  1.5 Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini adalah :

  1. Memberikan informasi tentang peranan lendir bekicot dalam tingkat kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca batik (Python reticulatus).

  2. Memberikan informasi pada masyarakat bahwa ada pengobatan tradisional dengan lendir bekicot dengan mudah, dan murah serta tidak berisiko tinggi.

  1.6 Hipotesis

  Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teori, hipotesis ini adalah pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dapat berperan di dalam proses penyembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton reticulatus).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Ular Sanca Batik

2.1.1 Klasifikasi Ular Sanca Batik

  Ular sanca batik memilki klasifikasi sebagai berikut (Iskandar dan Colijn 2002): Domain : Eukarya Kingdom : Animalia Subkingdom : Eumetazoa Superphylum : Deuterostomia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Reptilia Subclass : Lepidosauria Ordo : Squamata Subordo : Serpentes Infraordo : Alethinophidia Family : Pythonidae Subfamily : Pythoninae Genus : Python Species : Python reticulatus

  7

  Gambar 2.1

  Ular sanca batik (Python reticulatus) (dokumentasi pribadi, 2012)

2.1.2 Morfologi Ular Sanca Batik

  Reptil pada umumnya mempunyai empat kaki. Tetapi berbeda dengan ular. Ular tidak memiliki kaki, mereka juga tidak mempunyai pectoral girdle (tulang bahu) kecuali boids yang mempunyai panggul vestigial dan taji eksternal. Seperti semua jenis reptil, ular ditutupi oleh sisik halus dan mengkilap yang berfungsi sebagai perlindungan dari cedera. Ular sanca batik (Python reticulatus) mempunyai kulit kasar dan kusam seperti ular Hognose. Bagian terluar kulit ular adalah epidermis yang tebal. Kemudian lapisan di bawahnya adalah dermis.

  Dermis terdiri dari kromatofora, beberapa sel pigmen yang memberikan warna pada kulit ular. Sisik terbentuk sebagian besar dari keratin yang berasal dari epidermis (Mader, 2006).

  Menurut Mader (2006) sebagai ular yang tumbuh, semakin lama pertumbuhannya mulai melambat ketika usia mereka bertambah. Sepanjang hidup mereka akan melakukan pelepasan epidermis yang kemudian sisik baru akan tumbuh di bawah sisik lama yang berada di luar tubuh ular. Akhirnya sisik luar lepas dan proses pelepasan sisik ular biasanya terbalik seperti kaus kaki yang ditarik dari atas ke bawah. Serangkaian proses pelepasan epidermis ini disebut shedding.

  Ular mempunyai sisik yang melekat satu sama lain dengan kulit tipis yang pada umumnya tidak terlihat dari luar. Bagian sisik berbentuk lipatan ke dalam antar sisik saling berdekatan. Sisik tidak dapat meregang tapi ketika ular makan makanan yang besar, lipatan kulit ditarik keluar langsung untuk memperluas permukaan (Mader, 2006).

  Ular memiliki dua mata, tetapi tidak memiliki kelopak mata. Bagian mata pada ular berwarna transparan yang sebenarnya adalah bagian dari kulit yang berfungsi untuk melindungi setiap mata. Ketika ular mengalami shedding, bagian yang transparan akan ikut mengelupas bersama kulitnya (Mader, 2006).

  Ular tidak memiliki telinga external, tetapi mereka memiliki telinga internal yang mampu mendeteksi suara frekuensi rendah yaitu antara 100-700 hertz (Pendengaran orang normal mampu mendeteksi suara dengan frekuensi antara 20 dan 20.000 hertz). Telinga internal seekor ular juga memungkinkan untuk mendeteksi gerakan, posisi statis, dan gelombang suara melalui tanah (Mader, 2006).

  Bagian kepala ular terdiri dari mata, hidung, mulut (dan struktur dalam) otak, dan struktur sensorik khusus yang disebut vomeronasal atau organ Jacobson.

  Organ Jacobson adalah lubang yang berpasangan, terletak di depan moncong ular. Organ tersebut mempunyai struktur slitlike terbuka pada bagian dalam atas mulut reptil. Semua ular memiliki lidah bercabang. Ketika mereka menjulurkan lidah mereka, ujung lidah akan mengambil partikel bau di udara dan menempatkan partikel tersebut langsung pada organ hidung (Mader, 2006).

  Ular mempunyai baris permukaan gigi ular bagian luar dan bagian dalam tulang rahang atas dan bawah (maxilla dan mandibula). Ular nonvenomous memiliki empat baris gigi atas ; dua baris yang melekat pada rahang atas (luar) tulang, dan dua baris melekat pada palatine dan pterygoideus (inner) tulang.

  Hanya dua baris berada di rahang bawah ; satu melekat pada setiap rahang. Ular paling berbisa menggantikan taring untuk gigi rahang atas. Taring tempat bisa berada di depan mulut misalnya ular Hognose (Mader, 2006).

  Ular menggunakan gigi mereka untuk menangkap, tidak untuk mengunyah makanan mereka. Gigi mereka berbentuk bengkok, sehingga setelah menggigit mangsa akan langsung diarahkan menuju perut ular (Mader, 2006).

2.1.3 Anatomi Ular Sanca Batik

  Ular pada dasarnya mempunyai tubuh berbentuk tabung panjang yang terbagi menjadi beberapa bagian. Seperempat bagian tubuhnya terdiri dari kepala, kerongkongan, trakea dan jantung. Bagian tubuh sekitar 26 sampai 50 peren terdiri dari paru – paru, hati, dan lambung. Bagian tubuh sekitar 51 sampai 75 persen dari tubuh ular merupakan kandung empedu, limpa dan pancreas (atau splenopancreas, tergantung pada spesies). Setelah serangkaian organ-organ tersebut akan ditemukan gonad (testis atau ovarium). Diantara struktur usus kecil yang berdampingan dengan usus halus adalah paru-paru kanan (dalam beberapa spesies terletak pada paru-paru kiri). Bagian akhir tubuh antara 76 sampai 100 persen merupakan usus kecil, usus besar, dan sekum (jika ada) ginjal (tepat di depan sebelah kiri) dan kloaka yang di temukan bersimpangan (Mader, 2006).

  Gambar 2.2

  Gambaran anatomi tubuh ular (Mader, 2006)

2.1.4 Daerah Penyebaran dan Habitat Ular Sanca Batik

  Ular sanca batik memiliki habitat hutan yang lebat rumputnya dan termasuk hutan tropis, banyak ditemukan di dekat sungai dan area yang dekat dengan sungai kecil maupun danau (Mehrtens, 1987 dalam Matswapati, 2009).

  Ular sanca batik tersebar di wilayah Asia Tenggara dan pulau –pulau di sekitar laut pasifik antara lain ditemukan di Flipina, Borneo, Jawa, Sumatra, Timor Timur dan Seram. Ular tersebut terlihat dibeberapa pulau kecil dan penduduk sekitarnya sering melihat di sungai atau di dermaga urban area (Mehrtens, 1987 dalam Mastaswapati, 2009).

  Gambar 2.3

  Peta penyebaran ular sanca batik (Barker et al., 1994; )

2.1.5 Perilaku, Makanan dan Perburuan

  Lilitan adalah teknik khusus gigitan dan pegangan yang digunakan oleh banyak ular untuk menahan atau membunuh mangsanya. Ular menyerang mangsanya dengan melilitkan tubuhnya di sekitar mangsanya dengan terus- menerus yang disesuaikan untuk mengurangi lilitan yang tumpang tindih. Mangsa yang berusaha meloloskan diri akan dililit semakin kuat oleh ular. Lilitan yang semakin kuat akan terus dilakukan ular untuk menggagalkan peredaran darah mangsa sehingga menyebabkan kematian karena meningkatkan tekanan dada dan menghentikan aliran darah ke jantung. Ketika mangsanya sudah mati atau tidak sadar, ular akan melonggarkan lilitannya dan menempatkan mulutnya pada kepala mangsa dan mulai menelannya dari kepala hingga ekor mangsa. (Vitt and Caldwell, 2009).

  Gambar 2.4

  Perilaku membelit pada pola makan ular sanca batik (dokumentasi pribadi, 2014)

2.1.6 Ular Sebagai Satwa Eksotik dan Peliharaan

  Akhir-akhir ini kegemaran terhadap satwa-satwa peliharaan kesayangan seperti kucing, anjing, kelinci dan yang lainnya mulai bergeser ke satwa-satwa melata (ular, kadal, biawak), karena mudah memeliharanya dan bersih. Perhatian dan penelitian terhadap berbagai satwa yang dimiliki Indonesia perlu dilakukan pemanfaatannya untuk domestik dan dunia internasional (Sihombing, 2002).

  Dewasa ini di Indonesia mulai banyak yang memelihara reptil, selain biaya pakan yang murah, hal ini juga disebabkan memelihara reptil lebih mudah dipelihara. Dalam memelihara reptil ular adalah salah satu reptil yang digemari. Jenis ular yang digemari terutama adalah ular sanca batik (Python reticulatus). Ular ini mempunyai daya tarik tersendiri karena mempunyai pola dan warna tubuh yang mempunyai daya tarik khas yang belum banyak dikenal umum. Selain itu, Ular Sanca Batik mempunyai kelebihan yang dapat tumbuh dengan ukuran besar dan panjang untuk menyergap serta menelan mangsa. Cukup menarik bagi sebagian orang (Vitt dan Caldwell, 2009).

2.2 Tinjauan Tentang Bekicot

2.2.1 Klasifikasi Bekicot (Achatina fulica)

  Menurut Integrated Taxonomic Information System (2004) taksonomi bekicot adalah sebagai berikut : Fillum : Mollusca Kelas : Gastropoda Ordo : Stylommatophora Familli : Achatinidae Sub familli : Achatininae Genus : Achatina Subgenus : Lissachatina Spesies : Achatina fulica

  Gambar 2.5

  Bekicot (Achatina fulica) (Taxonomic Information System, 2004)

2.2.2 Tinjauan Tentang Morfologi Bekicot

  Bekicot (Achatina fulica) memiliki sebuah cangkang sempit berbentuk kerucut dan terdiri dari tujuh sampai Sembilan ruas lingkaran ketika umurnya dewasa. Cangkang bekicot umumnya memiliki warna cokelat kemerahan dengan corak vertical berwarna kuning tetapi warna spesies tersebut tergantung pada keadaan lingkungan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Bekicot dewasa panjangnya dapat melampaui 20 cm tetapi rerata panjangnya sekitar 5 – 10 cm. sedangkan berat rerata bekicot kurang lebih adalah 32 gram (Cooling, 2005 dalam Dewi, 2010). Skema bekicot dapat dilihat di Gambar 2.6.

  Bekicot lebih memilih untuk memakan tumbuhan yang busuk, hewan, dan alga. Bekicot juga dapat menyebabkan kerusakan serius pada tanaman pangan dan tanaman hias (Neehall, 2004 dalam Dewi, 2010).

  Gambar 2.6

  Morfologi Bekicot (Nordsieck, 2009)

  2.2.3 Penyebaran Bekicot

  Bekicot berasal dari pesisir timur Afrika (Raund and Baker, 2002 dalam Dewi, 2010). Negara dimana terdapat bekicot (Achatina fulica) memiliki iklin tropis yang hangat, suhu yang sepanjang tahun, dan tingkat kelembaban yang tinggi (Vennette and Larson, 2004 dalam Dewi, 2010). Spesies ini dapat hidup di daerah pertanian, wilayah pesisir dan lahan basah, hutan alami, semak belukar, dan daerah perkotaan. Bekicot dapat hidup secara liar di hutan maupun diperkebunan atau tempat budidaya (Raut and Barker, 2002 dalam Dewi, 2010).

  Untuk bertahan hidup, bekicot perlu temperature di atas titik beku sepanjang tahun dan kelembaban yang sepanjang tahun. Pada musim kemarau bekicot menjadi tidak aktif atau dorman untuk mrnghindari sinar matahari (Venette and Larson,2004 dalam Dewi, 2010). Bekicot (Achatina fulica) tetap aktif pada suhhu 9°C hingga 29°C, bertahan pada suhu 2°C dengan cara hibernasi, dan pada suhu 30°C dengan keadaan dorman (Smith and Flower, 2003 dalam Zaif 2009).

  2.2.4 Tentang Kasiat Bekicot

  Bekicot mempunyai banyak manfaat, mulai dari dagingnya sampai dengan lendir bekicot dapat dikonsumsi karena dipercaya terdapat kandungan protein yang tinggi. Daging bekicot mengandung asam amino esensial yang lengkap di samping mempunyai kandungan zat besi yang tinggi (Udofia, 2009 dalam Dewi 2010).

  Lendir bekicot mengandung glikokonjugat kompleks, yaitu glikosaminoglikan dan proteoglikan. Molekul tersebut terutama disusun dari gula sulfat atau karbonat, protein globular terlarut, asam urat, dan oligoelemen

  (tembaga, seng kalsium, dan besi). Glikosaminiglika yang terisoasi dari bekicot (Achatina fulica) ini terkait dengan golongan heparin dari heparin sulfat.

  Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel, berperan pada interaksi matriks sel, proliferasi fibroblast, spesialisasi, dan migrasi, secara efektif mengontrol fenotif seluler. Glikokonjugat utama pada lendir bekicot yaitu glikosaminoglikan disekresi oleh granula yang terdapat di dalam tubuh bekicot dan terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga meningkatkan kation divales seperti tembaga yang dapat mempercepat angiogenesis yang secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka (Nuringtyas, 2008; dalam Putra, 2014).

2.3. Tinjauan Tentang Luka Insisi

  Luka atau vulnus adalah putusnya kesinambungan kulit dan jaringan di bawah kulit oleh karena trauma. Ada beberapa jenis luka salah satunya adalah luka insisi atau yang biasa disebut luka sayat (incisivum) yaitu luka yang ditimbulkan oleh irisan benda bertepi tajam : seperti pisau, silet, parang, dan sejenisnya. Luka sayat termasuk dalam golongan luka terbuka. Luka ini dapat dibuat untuk tujuan tertentu seperti operasi luka yang timbul biasanya akan berbentukmemanjang, tepi luka berbentuk lurus, akan tetapi jaringan kulit di sekitar luka tidak mengalami kerusakan (Sutawijaya, 2009).

  Luka insisi atau luka sayat pada ular yang dipelihara atau di kandangkan terjadi akibat gesekan pada kandang yang kotor sehingga menimbulkan luka.

  Menurut Indah (2015) luka pada ular yang dikandangkan biasanya terjadi pada saat ular terus menerus menggesekkan kepalanya ke bagian kandang berusaha untuk keluar. Luka juga dapat terjadi akibat gigitan dari binatang lain (mangsa) atau ular lain jika dikandangkan secara bersamaan. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8

  Gambar 2.7

  Luka Insisi pada Ular Sanca Batik (Chris Cooke, Animal Attendant, Reptile Park, NZG, 2011)

2.3.1 Terapi dan Pencegahan

  Menurut Indah (2015) pada kasus di atas yaitu luka insisi pada ular sanca batik yang disebabkan karena kandang yang kotor dapat selalu menjaga kebersihan kandang ular agar ular tidak menggesekkan tubuhnya ke kandang karena kotor sehingga terjadi luka.

  Pada kasus ular yang di kandangkan secara berkelompok, sebaiknya ular dipisah agar tidak terjadi kanibalisme saat ular kelaparan dan pemberian pakan secara teratur misalnya dua minggu sekali (Indah, 2015)

  Jika sudah terjadi luka akibat beberapa perlakuan di atas, dapat diberikan lendir bekicot secara topical. Selain mudah di dapat penggunaannya juga mudah.

2.4 Proses Penyembuhan Luka

  Penyembuhan luka merupakan sebuah proses transisi yang merupakan salah satu proses paling kompleks dalam fisiologi manusia yang melibatkan serangkaian reaksi dan interaksi kompleks antara sel dan mediator (Med J Indone,

  2009)

  Fase penyembuhan luka (Guo and DiPietro, 2010): Tahap pertama dari hemostasis dimulai setelah terjadinya luka, dengan

   penyempitan pembuluh darah dan pembentukan bekuan fibrin. Bekuan dan sekitarnya melepaskan jaringan luka sitokin pro-inflamasi dan faktor pertumbuhan seperti transforming growth factor (TGF) -β, faktor pertumbuhan platelet derived (PDGF), faktor pertumbuhan fibroblast (FGF), dan faktor pertumbuhan epidermal (EGF). Setelah pendarahan dikendalikan, sel-sel inflamasi bermigrasi ke luka (kemotaksis) dan mempromosikan fase inflamasi, yang ditandai oleh infiltrasi berurutan neutrofil, makrofag, dan limfosit.

   Tahap kedua adalah fase proliferatif umumnya mengikuti dan dilanjutkan dengan tahap ketiga yaitu fase inflamasi, dan ditandai dengan proliferasi epitel dan migrasi matriks sementara dalam luka (re-epitelisasi). Dalam dermis reparatif, fibroblas dan sel endotel adalah jenis sel yang paling menonjol saat ini dan mendukung pertumbuhan kapiler, pembentukan kolagen, dan pembentukan jaringan granulasi di lokasi cedera. Dalam luka, fibroblas memproduksi kolagen serta glikosaminoglikan dan proteoglikan, yang merupakan komponen utama dari matriks ekstraselular (ECM). Setelah proliferasi kuat dan ECM sintesis, penyembuhan luka memasuki fase akhir remodeling, yang dapat bertahan selama bertahun- tahun.

   terbentuk terjadi, sehingga kepadatan pembuluh darah dari luka kembali normal. Salah satu fitur penting dari fase remodeling adalah renovasi ECM untuk arsitektur yang mendekati bahwa dari jaringan normal. Luka juga mengalami kontraksi fisik selama proses penyembuhan luka seluruh, yang diyakini dimediasi oleh fibroblas kontraktil (myofibroblasts) yang muncul dalam luka.

  Tahap keempat adalah fase remodeling, regresi dari banyak kapiler baru

  Gambar 2.8

  Fase Penyembuhan Luka (John, 2004)

BAB III MATERI DAN METODE

  3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

  Penelitian ini dilaksanakan di kandang hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga sebagai tempat pemeliharaan ular dan Laboratorium Patology Veteriner untuk membuat sediaan preparat mikroskopis luka insisi.

  Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Maret 2015.

  3.2 Bahan dan Materi Penelitian

  3.2.1 Hewan percobaan

  Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah ular sanca batik (Python reticulatus) berumur enam bulan, berat rerata 300 gram, panjang rerata dua meter. Hewan coba diperoleh dari pengepul dari Bogor dan Banten.

  3.2.2 Bahan Penelitian

  Beberapa bahan penelitian yang digunakan adalah Betadine sebagai media pembanding, dan lendir bekicot sebagai media pengobatan yang diperoleh dengan cara memecah cangkang bekicot pada bagian ujungnya yang lancip kemudian ditampung dengan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kapas Alkohol digunakan untuk membersihkan daerah yang akan diinsisi sebelum diberikan Lidokain untuk anastesi daerah yang akan diinsisi.

  3.2.3 Alat Penelitian

  Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan coba berupa kandang kelompok perlakuan yang terbuat dari plastik berbentuk lemari yang mempunyai lima laci, keranjang buah dengan penutupnya, glove tebal, hook,

  21 tabung reaksi, scalpel, penggaris, spuit, plester luka, pipet, object glass, cover glass dan mikroskop.

3.2.4 Besar sampel

  Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan rumus Federer (1963) dalam Kusriningrum (2008) :

Dokumen yang terkait

PENGARUH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TOPIKAL TERHADAP KECEPATAN PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT IIA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR

1 6 29

DAYA ANTI MIKROBA BERBAGAI KONSENTRASI LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP DIAMETER ZONA HAMBAT BAKTERI Streptococcus mutans SECARA IN VITRO

1 10 2

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR ANTARA PEMBERIAN MADU DAN KLINDAMISIN SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

2 16 60

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA SAYAT TERBUKA ANTARA PEMBERIAN ETAKRIDIN LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

4 42 59

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

1 17 71

PENGARUH PEMBERIAN GETAH TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) SECARA TOPIKAL TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA IRIS PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR Sprague dawley

6 52 59

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LENDIR BEKICOT(Achatina fulica) DENGAN KITOSAN TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA

0 0 7

KARYA TULIS ILMIAH PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SIRSAK (Annona muricata) TERHADAP WAKTU KESEMBUHAN LUKA INSISI YANG DIINFEKSI Staphylococcus aureus PADA MENCIT (Mus musculus)

0 0 18

SKRIPSI PENGARUH TUMBUKAN DAUN SIRIH TERHADAP PROSES PERCEPATAN PENYEMBUHAN LUKA INSISI PADA HEWAN COBA MENCIT(mus musculus) STRAIN Balb c

0 0 20

METODE ELEKTROSPININGUNTUK MENGHASILKAN SERAT NANO HASIL SINTESIS KOMPOSIT BERBASIS ALGINAT-POLIVINIL ALKOHOL DENGAN PENAMBAHAN LENDIR BEKICOT (Achatina fulica)

0 0 17