Kajian Retrospektif Kasus Infausta Fraktur Ekstremitas pada Satwa Liar Felidae di Taman Safari Indonesia

KAJIAN RETROSPEKTIF KASUS INFAUSTA FRAKTUR
EKSTREMITAS PADA SATWA LIAR FELIDAE
DI TAMAN SAFARI INDONESIA

RACHMIATI AMARYLLIS S. L

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA)*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Retrospektif
Kasus Infausta Fraktur Ekstremitas pada Satwa Liar Felidae di Taman Safari
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Rachmiati Amaryllis S. L
NIM B04090111

ABSTRAK
RACHMIATI AMARYLLIS S.L. Kajian Retrospektif Kasus Infausta Fraktur
Ekstremitas pada Satwa Liar Felidae di Taman Safari Indonesia. Dibimbing oleh
RP AGUS LELANA dan ARDYTA WIDIANTI.
Medik konservasi sangat penting dalam menjaga kelangsungan hidup satwa
di penangkaran atau di kawasan konservasi eksitu seperti Taman Safari Indonesia
(TSI). Dalam posisi ini, medik konservasi diharapkan mampu menentukan
prognosis satwa yang sakit, yaitu prognosis yang positif (fausta), prognosis yang
negatif (infausta), atau prognosis yang meragukan (dubius). Untuk mempelajari
penyebab kasus infausta di TSI, dilakukan kajian retrospektif terhadap enam kasus
fraktur ekstremitas pada satwa liar Felidae tahun 2011–2014 dimana tiga
diantaranya infausta. Studi sebelumnya menjelaskan bahwa fluktuasi kalsium dan
fosfor merupakan faktor predisposisi pada kasus fraktur ekstremitas ini. Untuk
tujuan tersebut data klinis dan laboratoris digunakan untuk menemukan faktor
komplikasi yang menyebabkan prognosis infausta. Terdapat lima dari enam satwa

yang mengalami eosinofilia sebagai gambaran respon tidak spesifik dari penyakit
kronis degeneratif seperti infeksi parasit. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
cacing pada muntahan salah satu satwa. Tiga dari enam satwa mati dengan
komplikasi anemia makrositik, dan satu diantaranya mengalami anemia
makrositik hipokromik. Satu dari tiga satwa yang mati memiliki kadar kreatinin
dan urea yang tinggi sebagai gambaran glomerulonefritis atau hidronefrosis.
Terdapat juga peningkatan limfosit yang mengindikasikan adanya infeksi virus.
Semua temuan ini harus menjadi pembelajaran dalam pengembangan medik
konservasi.
Kata kunci: anemia makrositik, feline glomerulonefritis, feline viral infection,
satwa liar Felidae

ABSTRACT
RACHMIATI AMARYLLIS S.L. Retrospective Study of Infausta Extremity
Fractures on Wild Felids in Indonesian Safari Park. Supervised by RP AGUS
LELANA and ARDYTA WIDIANTI.
Conservation medicine is very important to maintain the survival of
endangered animals in captivity or ex-situ conservation site such as Taman Safari
Indonesia (TSI). In this position, conservation medicine should be able to judge
the recovery progress of ill animal as good prognosis (fausta), bad prognosis

(infausta), or doubt prognosis (dubius). In order to study the cause of infausta
cases in TSI, we did a retrospective study of six extremity fracture cases on wild
felids where three of it were considered infausta during 2011–2014. From the
previous study, fluctuation of calcium and phosphor value were found as a
predisposition factor of these extremity fractures. Clinical and laboratory data
were used to find the complication factors that made these cases infausta. There
were five of six felids which had eosinophilia as a figure of non-specific response
of continuous degenerative chronic disease such as parasitism. This was
confirmed with helminthic material findings in the vomit of one of the felids.
Three of six felids died with complication of macrocytic anemia. One of them had
a hypochromic macrocytic anemia. From those three, on one of them also had a
high value of creatinin and urea, as a figure of glomerulonephritis or
hydronephrosis. There was also an increased presentation of lymphocytes
indicating a complication of feline viral infection. All these findings have to be a
lesson learned in developing conservation medicine.
Keywords: feline glomerulonephritis, feline viral infection, macrocytic anemia,
wild felids

KAJIAN RETROSPEKTIF KASUS INFAUSTA FRAKTUR
EKSTREMITAS PADA SATWA LIAR FELIDAE

DI TAMAN SAFARI INDONESIA

RACHMIATI AMARYLLIS S. L

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Kajian Retrospektif Kasus Infausta Fraktur Ekstremitas pada Satwa
Liar Felidae di Taman Safari Indonesia
Nama
: Rachmiati Amaryllis S. L
NIM

: B04090111

Disetujui oleh

Dr Drh RP Agus Lelana SpMP MSi
Pembimbing I

Drh Ardyta Widianti
Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono MS Ph.D APVet
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang

dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini memiliki judul Kajian Retrospektif Kasus
Infausta Fraktur Ekstremitas pada Satwa Liar Felidae di Taman Safari Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Pimpinan Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor dan Koordinator Kerjasama
Institut Pertanian Bogor – Taman Safari Indonesia, Drs. Yansen Manansang
M.Si dan Prof. Drh. Dondin Sajuthi M.ST, Ph.D.
2. Pembimbing skripsi, Dr. Drh. RP. Agus Lelana SpMP, M.Si dan Drh Ardyta
Widianti yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan
skripsi ini.
3. Dosen penguji dan dosen moderator pada seminar skripsi penulis, Drh. Retno
Wulansari MS, Ph.D dan Drh. Leni Maylina M.Si.
4. Dosen penguji luar pada sidang skripsi penulis, Dr. Drh. Susi Soviana M.Si
dan Drh. Kusdiantoro Muhamad M.Si.
5. Pembimbing akademik, Dr. Drh. Eva Harlina M.Si yang telah membimbing
penulis dalam masa perkuliahan.
6. Kedua orang tua, Dr. Jur. Rizal Sofyan Gueci SH, MIC (Ayah) dan Dipl. Ing
Yetty Limansastro SH (Ibu), adik, Rosalinar Amilia Mayalestari Gueci serta
keluarga yang telah memberikan doa dan dukungannya.
7. Teman-teman Tingkat Persiapan Bersama dan teman-teman Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah menemani penulis

selama perkuliahan.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Rachmiati Amaryllis S. L

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Satwa Liar Felidae

2

MATERI DAN METODE


4

Tempat dan Waktu

4

Bahan

4

Metode

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Rekam Medik


5

Rekonstruksi Kasus

8

SIMPULAN DAN SARAN

8

Simpulan

8

Saran

8

DAFTAR PUSTAKA


8

LAMPIRAN

11

RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR TABEL
1

2

3

Data selektif patologi klinis pada satwa liar Felidae di Taman Safari
Indonesia Cisarua Bogor yang mengalami fraktur ekstremitas pada
tahun 2011–2014
Data hematologi hasil analisis komparatif patologi klinis pada satwa
liar Felidae di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor yang
mengalami fraktur ekstremitas pada tahun 2011–2014
Data biokimia darah hasil analisis komparatif patologi klinis pada
satwa liar Felidae di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor yang
mengalami fraktur ekstremitas pada tahun 2011–2014

6

7

7

DAFTAR LAMPIRAN
1

2

3

4

5

6

Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Naidu (P. t.
sumatrae) di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi
tanggal 2/7/2011 (Gambar 1a dan 1b) dan tanggal 20/7/2011 (Gambar
2a dan 2b)
Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Cash (P. p. pardus)
di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi tanggal
13/7/2011 (Gambar 1) dan tanggal 24/8/2011 (Gambar 2)
Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Tanggo (P. p.
pardus) di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi
tanggal 29/7/2011 (Gambar 1), 8/8/2011 (Gambar 2) dan 30/9/2011
(Gambar 3)
Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Giselle (P.
concolor) di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi
tanggal 14/4/2012 (Gambar 1) dan tanggal 18/5/2012 (Gambar 2a dan
2b)
Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Glenn (P. concolor)
di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi tanggal
26/10/2014 (Gambar 1a dan 1b) dan tanggal 5/2/2015 (Gambar 2a
dan 2b)
Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Lola (P.temminkcii)
di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi tanggal
7/6/2014 (Gambar 1)

11

12

13

14

15

16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Medik konservasi telah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal ini penting bagi Indonesia dalam
pengelolaan biodiversitas satwa liar, khususnya program konservasi satwa liar.
Dalam implementasinya, salah satu tantangan yang dihadapi oleh Rumah Sakit
Satwa Taman Safari Indonesia (TSI) adalah mengurangi jumlah kasus dengan
prognosis infausta (tidak dapat disembuhkan).
Jumlah kasus dengan prognosis infausta diantaranya terlihat pada kasus
fraktur ekstremitas yang dialami oleh tiga dari enam ekor satwa liar Felidae dalam
kurun tahun 2011–2014. Keenam satwa tersebut meliputi seekor harimau
sumatera (Panthera tigris sumatrae), dua ekor macan tutul afrika (Panthera
pardus pardus), dua ekor puma (Puma concolor), serta seekor kucing emas asia
(Pardofelis temminkcii).
Berdasarkan hasil evaluasi gabungan antara tim medik dan kurator satwa
diperoleh gambaran bahwa kejadian fraktur ekstremitas pada satwa liar Felidae
tersebut di atas bukan karena kesalahan manusia (human error) maupun kesalahan
teknis perawatan satwa (technical error). Selain itu, hasil kajian sebelumnya
menunjukkan bahwa fluktuasi kadar kalsium dan fosfor dalam darah merupakan
faktor predisposisi terjadinya fraktur ekstremitas. Mengingat kasus fraktur ini
berulang dan diantaranya infausta, maka perlu dilakukan rekonstruksi kasus
berdasarkan kajian retrospektif yang lebih mendalam menggunakan data klinis
dan laboratoris.
Pada umumnya, kasus infausta terjadi sejalan dengan perkembangan
patogenesis penyakit yang berbeda antar individu maupun lingkungan satwa
tersebut. Menurut Kahn (2005), komplikasi yang sering mengikuti patogenesis
penyakit antara lain anemia dan gagal ginjal. Selain itu, menurut Schmid-Hempel
(2009) penurunan ketahanan tubuh menyebabkan agen penyakit oportunis seperti
parasit cacing mudah berkembang dan satwa mudah terkena infeksi sekunder.
Berdasarkan pemikiran tersebut, studi retrospektif ini dimaksudkan untuk
melakukan rekonstruksi kejadian penyakit dan perkembangan prognosis infausta.
Hasil kajian ini penting untuk mendukung kebijakan pengelolaan pemeliharaan
eksitu satwa liar Felidae di Indonesia.

Tujuan Penelitian
Tulisan ini bertujuan untuk merekonstruksi ulang kasus fraktur ekstremitas
pada satwa liar Felidae dengan prognosis infausta berdasarkan data rekam medik
di Rumah Sakit Satwa Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor dalam kurun tahun
2011–2014.

2
Manfaat Penelitian
Studi kasus ini diharapkan memberikan informasi mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi kasus fraktur ekstremitas sehingga kasus tersebut mengalami
perkembangan infausta.

TINJAUAN PUSTAKA
Satwa Liar Felidae
Satwa liar Felidae merupakan satwa yang populer di kebun binatang. Secara
fisik satwa liar Felidae memiliki kesamaan dengan kucing domestik (Felis
silvetris catus). Kesamaan ini berguna dalam melakukan tindakan medis pada
satwa liar Felidae dimana kucing domestik dapat digunakan sebagai model
fisiologi. Satwa liar Felidae memiliki kuku yang retraktil, kecuali pada cheetah.
Pola hidup satwa ini adalah soliter, kecuali pada singa yang hidup berkelompok.
Di alam bebas, daerah teritorialnya ditandai dengan urine atau raungan.
(Kusumawati dan Sardjana 2011).
Harimau Sumatera
Di Indonesia terdapat beberapa subspesies harimau, yaitu harimau sumatera
(Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929), harimau bali (Panthera tigris balica)
dan harimau jawa (Panthera tigris sondaica). Selain harimau sumatera, dua
subspesies lainnya telah dinyatakan punah, dan harimau sumatera memiliki status
Terancam Punah (Linkie et al. 2008). Harimau sumatera diklasifikasikan ke
dalam:
Dunia
: Animalia
Famili
: Felidae
Filum
: Chordata
Subfamili
: Pantherinae
Subfilum
: Vertebrata
Genus
: Panthera
Kelas
: Mammalia
Spesies
: P. tigris
Ordo
: Carnivora
Subspesies
: P. t. sumatrae
Dibandingkan dengan subspesies harimau lainnya, harimau sumatera
memiliki ukuran tubuh yang paling kecil. Ukuran harimau sumatera adalah
seukuran macan tutul dan jaguar. Harimau sumatera betina dewasa memiliki berat
badan 75–110 kg dengan panjang tubuh 2.15–2.3 m. Pada umumnya ukuran
harimau jantan lebih besar daripada betina, dengan panjang tubuh 2.2–2.55 m dan
bobot 100–140 kg. Rambut harimau sumatera tergolong pendek, 7–20 mm pada
bagian punggung dan 15–35 mm pada bagian perut, dan pada harimau jantan juga
terdapat surai (Mazak 1981; Nowell dan Jackson 1996). Mazak dan Groves
(2006) mengatakan bahwa harimau sumatera dapat dibedakan dengan harimau
lainnya secara morfologis dengan melihat bentuk tengkorak kepala dan panjang
tulang hidungnya. Harimau memiliki warna dasar jingga dengan garis-garis
berwarna hitam hingga coklat tua yang lebih lebar sehingga jumlah garisnya
cenderung lebih sedikit. Pada punggung, panggul, dan kaki belakang terdapat
garis belang yang sempit dan hitam diantara garis belang biasa (Mazak 1981;
MacDonald 1984).

3
Macan Tutul Afrika
Secara taksonomi macan tutul afrika (Panthera pardus pardus, Linnaeus
1758) dapat di klasifikasikan ke dalam:
Kerajaan
: Animalia
Famili
: Felidae
Filum
: Chordata
Subfamili
: Pantherinae
Subfilum
: Vertebrata
Genus
: Panthera
Kelas
: Mammalia
Spesies
: P. pardus
Ordo
: Carnivora
Subspesies
: P. p. pardus
Macan tutul afrika memiliki status Hampir Terancam Punah pada The
International Union for Conservation of Nature and Resources (IUCN) Red List
of Threatened Species (Henschel et al. 2008). Macan tutul memiliki warna dasar
kuning tua dengan bercak hitam di sisi tubuh dan sekitar punggung. Macan tutul
memiliki berat badan 45–90 kg dan panjang tubuh 2.10 m (Kusumawati dan
Sardjana 2011).
Puma
Puma (Puma concolor, Linnaeus 1771) secara taksonomi dapat di
klasifikasikan ke dalam:
Kerajaan
: Animalia
Ordo
: Carnivora
Filum
: Chordata
Famili
: Felidae
Subfilum
: Vertebrata
Genus
: Puma
Kelas
: Mammalia
Spesies
: P. concolor
Puma, yang juga dikenal dengan nama Mountain Lion atau Cougar adalah
Felidae asal Amerika terbesar kedua setelah Panthera onca (Jaguar) dari segi
ukuran tubuhnya (Martinez et al. 2010 dalam Lescano et al. 2014). Habitat puma
adalah di berbagai zona ekologi seperti gurun, savana, hutan hujan tropis dan
stepa alpine (Culver et al. 2000 dalam Lescano et al. 2014). Berdasarkan IUCN,
puma termasuk ke dalam kategori Least Concern akibat populasinya yang terus
menurun dalam daftar Red List of Threatened Species (Caso et al. 2008).
Kucing Emas Asia
Kucing emas asia (Pardofelis temminkcii, Vigors dan Horsfield 1827)
secara taksonomi dapat di klasifikasikan ke dalam:
Kerajaan
: Animalia
Ordo
: Carnivora
Filum
: Chordata
Famili
: Felidae
Subfilum
: Vertebrata
Genus
: Pardofelis
Kelas
: Mammalia
Spesies
: P. temminckii
Kucing emas asia adalah Felidae kecil yang mendiami negara-negara yang
berada di sebelah Tenggara benua Asia, termasuk Nepal, Bhutan, Myanmar,
Kamboja, Thailand, Vietnam, China, Bangladesh, India, Laos, Malaysia dan
Indonesia. Spesies ini dapat dijumpai pada hutan gugur tropis dan subtropis
lembab, hijau dan kering (Nowell dan Jackson 1996). Kucing emas asia saat ini
terdaftar sebagai Hampir Terancam Punah oleh IUCN (Sanderson et al. 2008) dan
pada Lampiran I Convention on International Trade in Endangered Species od
Wild Fauna and Flora (CITES), dimana perburuan spesies ini dilarang dan satwa
ini dilindungi sepenuhnya oleh kebijakan negara.

4

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu
Pengambilan data dalam penelitian ini dilaksanakan di Taman Safari
Indonesia Cisarua Bogor, pada bulan April sampai dengan Mei 2015. Pengolahan
data dan analisis dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor pada bulan Juni hingga Juli 2015.

Bahan
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari rekam medik
Rumah Sakit Satwa Taman Safari Indonesia dari tahun 2011 sampai dengan tahun
2014. Data yang terkumpul berasal dari enam satwa liar Felidae yaitu:
1. Naidu, harimau sumatera (P. t. sumatrae) betina.
Lahir: 20/10/2010. Fraktur: 2/7/2011. Mati: 21/7/2011.
2. Cash, macan tutul afrika (P. p. pardus) jantan.
Lahir: 1/4/2011. Fraktur: 13/7/2011. Mati: 24/8/2011.
3. Tanggo, macan tutul afrika (P. p. pardus) jantan.
Lahir: 1/4/2011. Fraktur: 29/7/2011; 30/9/2011. Mati: 15/10/2011.
4. Giselle, puma (P. concolor) betina.
Lahir: 11/11/2011. Fraktur: 21/12/2011.
5. Glenn, puma (P. concolor) jantan.
Lahir: 23/6/2014. Fraktur: 26/10/2014.
6. Lola, kucing emas asia (P. temminkcii) betina.
Lahir: 15/3/2014.

Metode
Kajian retrospektif dalam penelitian ini menggunakan data berupa rekam
medik di Rumah Sakit Satwa TSI. Data yang dikumpulkan meliputi data klinis
dan laboratoris berupa hematologi, biokimia darah, dan hasil x-ray. Data ini
kemudian diekstraksi dan disusun ulang dalam bentuk tabel menggunakan
Microsoft Excel. Setiap data yang menyimpang dari normal ditandai sebagai
indikasi patologi klinis, kemudian dilanjutkan dengan diagnosa. Nilai referensi
normal bersumber dari International Species Information System (ISIS).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang
menyebabkan prognosis infausta yang sering dihadapi dalam implementasi medik
konservasi di lembaga konservasi eksitu seperti Taman Safari Indonesia (TSI).
Untuk mengetahui hal tersebut dilakukan kajian retrospektif terhadap rekam
medik periode 2011–2014 yang tersimpan di Rumah Sakit Satwa TSI Cisarua

5
Bogor. Berdasarkan rekam medik tersebut dilakukan kajian retrospektif terhadap
enam kasus fraktur ekstremitas pada satwa liar Felidae. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa fluktuasi kalsium dan fosfor merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur ekstremitas. Tiga diantara enam kasus tersebut
berakhir dengan kematian, sehingga mendapat prognosis infausta. Adapun hasil
dan pembahasan dari penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut.

Rekam Medik
Pada Tabel 1 disajikan data selektif rekam medik enam ekor satwa liar
Felidae di TSI Cisarua Bogor yang mengalami fraktur ekstremitas pada tahun
2011–2014. Tiga dari enam satwa tersebut mengalami kematian (infausta). Data
selektif tersebut meliputi penyimpangan nilai White Blood Cell (WBC), Red
Blood Cell (RBC), Hemoglobin (Hb), Hematokrit (HCT), Mean Corpuscular
Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration (MCHC), Limfosit, Eosinofil, Urea, dan Kreatinin.
Setelah dilakukan analisis komparatif terhadap referensi pada Tabel 1,
diperoleh gambaran bahwa nilai parameter patologi klinis tersebut ada yang
meningkat dan menurun. Hasil analisis komparatif tersebut disajikan pada Tabel 2
untuk data hematologi dan pada Tabel 3 untuk data biokimia darah.
Dari Tabel 2 diperoleh gambaran bahwa satu dari enam satwa mengalami
limfositosis dan lima dari enam satwa mengalami peningkatan eosinofil.
Eosinofilia ini menurut Fabre et al. (2009) merupakan respon dari proses
degeneratif akibat infeksi yang kronis seperti infeksi parasit atau reaksi alergi.
Kemungkinan adanya infeksi parasit ini didukung dengan laporan klinis yang
menjelaskan adanya penemuan cacing pada muntahan harimau sumatera.
Penemuan ini menekankan bahwa kasus kecacingan tersebut parah sehingga
menyebabkan kematian pada harimau tersebut.
Dari Tabel 2 juga diperoleh gambaran bahwa tiga dari enam ekor satwa
mengalami penurunan jumlah RBC yang mengindikasikan anemia. Setelah
diperhatikan lebih seksama, dua dari tiga satwa tersebut mengalami peningkatan
MCV dan MCH; menurut Kahn (2005), keadaaan tersebut mengindikasikan
adanya anemia makrositik. Salah satu satwa juga memiliki nilai MCHC rendah
yang berarti anemia makrositik hipokromik. Jika hal ini dikaitkan dengan adanya
eosinofilia, dapat dikonstruksikan bahwa anemia ini disebabkan oleh penyakit
parasiter yang sifatnya penghisap darah. Menurut Shrivastav dan Singh (2012),
parasit tersebut kemungkinan Ankilostoma dan Toxocara (helminth), serta
Trypanosoma, Babesia dan Haemobartonella (protozoa).
Selain diduga akibat infeksi parasit, Weiser dan Kociba (1983) menjelaskan
bahwa anemia makrositik juga dapat disebabkan oleh Feline Leukemia Virus
(FeLV). Hal ini didukung dengan adanya satu dari enam satwa yang mengalami
limfositosis.
Pada Tabel 3 diperoleh gambaran bahwa empat dari enam satwa memiliki
nilai urea darah yang tinggi. Menurut Archer (2005), peningkatan urea darah
merupakan indikasi dari dehidrasi atau kekurangan cairan dan disebut sebagai
uremia. Selain itu juga diperoleh gambaran bahwa satu dari satwa yang uremia

6
Tabel 1 Data selektif patologi klinis pada satwa liar Felidae di Taman Safari Indonesia
Cisarua Bogor yang mengalami fraktur ekstremitas pada tahun 2011–2014
No.

Data Laboratoris

Satwa
Data

Gejala Klinis
Referensi

1

Panthera tigris sumatrae
(Naidu)

WBC: 9.3 103/μL
*RBC: 4.99 106/μL
*Hb: 9.7 g/dL
*HCT: 29.5%
MCV: 59.1 fL
MCH: 19.4 pg
MCHC: 32.9 g/dL
Lim: 1 103/μL
*Eosin: 0.8 103/μL
*UREA: 231 mg/dL
*CREA: 1.85 mg/dL
GOT: 29 U/L
GPT: 60 U/L

11.22 ± 3.431
6.83 ± 1.08
13.2 ± 2.0
39.7 ± 5.9
58.3 ± 6.3
19.4 ± 2.0
33.3 ± 2.6
1.758 ± 1.149
0.274 ± 0.233
28 ± 8
2.6 ± 0.9
31 ± 21
70 ± 45

Muntah, hipotermia, banyak
ditemukan cacing pada
muntahan.

2

Panthera pardus pardus
(Cash)

*WBC: 20.9 103/μL
*RBC: 6.91 106/μL
Hb: 12.5 g/dL
HCT: 38%
*MCV: 55 fL
*MCH: 18.1 pg
MCHC: 32.9 g/dL
Lim: 1.5 103/μL
*Eosin: 2.6 103/μL
*UREA: Tinggi
*CREA: Tinggi
GOT: –
GPT: –

12.33 ± 3.858
8.30 ± 1.39
12.5 ± 1.7
37.9 ± 5.6
46.1 ± 5.7
15.2 ± 1.6
33.0 ± 2.7
1.732 ± 1.126
0.652 ± 0.694
34 ± 9
2.3 ± 0.8
34 ± 21
49 ± 30

Distensi abdomen, muntah,
dehidrasi, ginjal terlihat
membesar, hidronefrosis ginjal
kiri.

3

Panthera pardus pardus
(Tanggo)

*WBC: 13.8; 3.5 103/μL
*RBC: 7.09; 7.36 106/μL
Hb: 12.1; 12 g/dL
HCT: 37.1; 39.7%
*MCV: 52.3; 53.9 fL
*MCH: 17.1; 16.3 pg
*MCHC: 32.6; 30.2 g/dL
*Lim: 4.2; 2.3 103/μL
*Eosin: 1.2; 0 103/μL
UREA: –
CREA: –
GOT: –
GPT: –

12.33 ± 3.858
8.30 ± 1.39
12.5 ± 1.7
37.9 ± 5.6
46.1 ± 5.7
15.2 ± 1.6
33 ± 2.7
1.732 ± 1.126
0.652 ± 0.694
34 ± 9
2.3 ± 0.8
34 ± 21
49 ± 30

Aktivitas menurun, muntah.

4

Puma concolor (Giselle)

WBC: 7.7; 6.3 103/μL

7.259 ± 2.510



RBC: 7.65; 8.56 106/μL

8.09 ± 1.37

Hb: 12.9; 14 g/dL
HCT: 38.8; 43.1%

12.6 ± 1.9
37.7 ± 6.2

MCV: 50.7; 50.4 fL

47.3 ± 7.3

MCH: 16.9; 16.4 pg

15.9 ± 2.5
33.6 ± 2.7

MCHC: 33.2; 32.5 g/dL

Puma concolor (Glenn)

5

Lim: 1.2; 1.8 103/μL
*Eosin: 1.2; 0.5 103/μL
*UREA: 119.48; 89.88 mg/dL
*CREA: 0.95; 0.38 mg/dL
GOT: 21.98; 42.72 U/L
GPT: 74.05; 47.52 U/L

1.759 ± 0.967

WBC: 6.2; 6.5 103/μL

7.259 ± 2.510

RBC: 7.67; 8.97 106/μL

Pardofelis
(Lola)
a

temminkcii



Keterangan: * Data selektif patologi klinis; – Tidak ada data;
Sumber referensi: ISIS 2002.

b



8.09 ± 1.37

*Hb: 13.1; 14.7 g/dL
*HCT: 39.3; 44 %
MCV: 51.2; 49.1 fL
MCH: 17.1; 16.4 pg
MCHC: 33.3; 33.4 g/dL
Lim: 1.7; 2.6 103/μL
*Eosin: 0.4; 0.3 103/μL
*UREA: 49.37; 29.06 mg/dL
*CREA: 0.92; 3.22 mg/dL
*GOT: Tinggi
*GPT: Tinggi
6

0.212 ± 0.164
32 ± 13
2.3 ± 0.9
36 ± 19
50 ± 29

12.6 ± 1.9
37.7 ± 6.2
47.3 ± 7.3
15.9 ± 2.5
33.6 ± 2.7
1.759 ± 0.967
0.212 ± 0.164
32 ± 13
2.3 ± 0.9
36 ± 19
50 ± 29




7
memiliki kadar kreatinin darah yang tinggi. Menurut Shrivastav dan Singh (2012)
kenaikan nilai kreatinin dan urea sering dihubungkan dengan penyakit gagal ginjal
atau glomerulonefritis. Glomerulonefritis pada Felidae menurut Rand (2006)
sering dikaitkan juga dengan infeksi FeLV, Feline Immunodeficiency Virus (FIV)
dan Feline Infectious Peritonitis (FIP). Dalam perkembangannya, peradangan
pada glomerulus dan nefron menyebabkan terbentuknya jaringan parut sehingga
menimbulkan penyumbatan dan komplikasi berupa hidronefrosis.
Tabel 2 Data hematologi hasil analisis komparatif patologi klinis pada satwa
liar Felidae di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor yang
mengalami fraktur ekstremitas pada tahun 2011–2014
No.

WBC RBC

Hb

HCT MCV MCH MCHC LY

EO

1



















2



















3

◦↓













↑◦

↑↓

4



















5



















6



















Keterangan: ↑ Nilai data lebih tinggi dari referensi. ◦ Nilai data berada dalam
kisaran referensi. ↓ Nilai data lebih rendah dari referensi. – Tidak ada data;
b
Sumber referensi: ISIS 2002.
a

Tabel 3 Data biokimia darah hasil analisis komparatif patologi klinis pada
satwa liar Felidae di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor yang
mengalami fraktur ekstremitas pada tahun 2011–2014
No.

UREA

CREA

GOT

GPT

1









2









3









4









5









6









Keterangan: ↑ Nilai data lebih tinggi dari referensi. ◦ Nilai data berada dalam
kisaran referensi. ↓ Nilai data lebih rendah dari referensi. – Tidak ada data;
b
Sumber referensi: ISIS 2002.
a

Pada Tabel 3 diperoleh gambaran bahwa satu dari enam satwa memiliki
GOT dan GPT yang tinggi. Roelke et al. (2009) menyatakan bahwa tingginya
GOT dan GPT mengindikasikan adanya kelainan fungsi hati.

8
Rekonstruksi Kasus
Dalam penelitian ini, satwa yang mengalami kematian memiliki prognosa
infausta. Dari hasil kajian retrospektif terhadap rekam medik klinis maupun
laboratoris, diperoleh gambaran bahwa satwa yang mendapat prognosa infausta
memiliki lebih banyak parameter yang menyimpang. Parameter yang
menyimpang ini tidak saja berhubungan dengan kasus fraktur itu sendiri, tetapi
juga berhubungan dengan faktor lain yang menyebabkan komplikasi.
Berdasarkan temuan diatas dapat direkonstruksikan bahwa kasus infausta
pada satwa Felidae adalah sebagai berikut:
1. Harimau sumatera (Naidu) fraktur ekstremitas diikuti dengan komplikasi
anemia dan kecacingan yang parah.
2. Macan tutul afrika (Cash) fraktur ekstremitas diikuti dengan komplikasi
anemia makrositik dan glomerulonephritis atau hidronefrosis.
3. Macan tutul afrika (Tanggo) fraktur ekstremitas diikuti dengan komplikasi
anemia makrositik hipokromik dan limfositosis.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Lima dari enam satwa liar Felidae di TSI yang mengalami fraktur
ekstremitas mengalami peningkatan eosinofil sebagai indikasi adanya infeksi
parasiter. Pada enam satwa tersebut, dua diantaranya berakhir infausta dengan
komplikasi anemia makrositik. Satu diantaranya infausta dengan komplikasi
limfositosis. Selain itu terdapat juga satu satwa yang mengalami peningkatan
kreatinin dan urea sebagai indikasi gromerulonefritis atau hidronefrosis.

Saran
Perlu dilakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab
infausta pada fraktur ekstremitas satwa liar Felidae agar pencegahan dan
penanggulangan dapat dilakukan secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Archer J. 2005. Urine Analysis dalam Manual of Canine and Feline Clinical
Pathology. Ed. ke-2. Villiers E, Blackwood L, editor. Gloucester (GB):
BSAVA.
Caso A, Lopez-Gonzalez C, Payan E, Eizirik E, de Oliveira T, Leite-Pitman R,
Kelly M, Valderrama C, Lucherini M. 2008. Puma concolor. The IUCN
Red List of Threatened Species. (Version 2015.2) [internet]. [diunduh 2015
Jul 05]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org/details/full/18868/0.

9
[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora. 2015. Appendices. www.cites.org
Culver M, Johnson WE, Pecon-Slattery J, O´Brien SJ. 2000. Genomic ancestry of
the
American
Puma
(Puma
concolor).
J
Heredity.
91(3):186.doi.org/10.1093/jhered/91.3.186
Fabre V, Beiting DP, Bliss SK, Gebreselassie NG, Gagliardo LF, Lee NA, Lee JJ,
Appleton JA. 2009. Eosinophil Deficiency Compromises Parasite Survival
in Chronic Nematode Infection. J Immunol. 182(3):1577–1583.
Henschel P, Hunter L, Breitenmoser U, Purchase N, Packer C, Khorozyan I,
Bauer H, Marker L, Sogbohossou E, Breitenmoser-Wursten C. 2008.
Panthera pardus. The IUCN Red List of Threatened Species (Version
2015.2) [internet]. [diunduh 2015 Jul 05]. Tersedia pada:
http://www.iucnredlist.org/details/full/18868/0.
[ISIS] International Species Information System. 2002. Physiological Data
Reference Values. Minnesota (US). www2.isis.org
Kahn CM. 2005. The Merck Veterinary Manual. Ed ke-9. Whitehouse Station
(US): Merck & Co.
Kusumawati D, Sardjana IKW. 2011. Bahan Ajar Satwa Liar. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada Univ Pr.
Lescano J, Quevedo M, Baselly L, Crespo A, Fernàndes V. 2014. Chemical
Immobilization of Captive Cougar Puma concolor (Linnaeus 1771)
(Carnivora: Felidae) Using a Combination of Tiletamine – Zolazepam,
Ketamine and Xylazine. J Threatened Taxa. 6(14): 6659-6667.
doi:10.11609/JoTT.o3973.6659-67
Linkie M, Wibisono HT, Martyr DJ, Sunarto S. 2008. Panthera tigris ssp.
sumatrae. The IUCN Red List of Threatened Species (Version 2015.2)
[internet].
[diunduh
2015
Jul
05].
Tersedia
pada:
http://www.iucnredlist.org/details/full/15966/0.
MacDonald D. 1984. The Encyclopedia Of Mammals: 1. Oxford (GB): Grolier
International.
Martinez JA, Rudolf JC, Queirolo D. 2010. Puma concolor (Carnivora, Felidae)
in Uruguay: Local Situation and Regional Context. Mastozoología
Neotropical. 17(1): 153–159.
Mazak JH, Groves CP. 2006. A taxonomic revision of the tigers (Panthera tigris)
of
Southeast
Asia.
J
Mamm
Biol.
71(5):268287.doi:10.1016/j.mambio.2006.02.007.
Mazak V. 1981. Panthera tigris. Mammalian Species. 152:1-8.
Nowell K, Jackson P. 1996. Wild Cats: Status Survey and Conservation Action
Plan. Gland (CH):IUCN
Rand J. 2006. Problem-Based Feline Medicine. London (GB): Elsevier Saunders.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Roelke ME, Brown MA, Troyer JL, Winterbach H, Winterbach C, Hemson G,
Smith D, Johnson RC, Pecon-Slattery J, Roca1 AL et al. 2009. Pathological
Manifestations of Feline Immunodeficiency Virus (FIV) Infection in Wild
African Lions. Virology. 390(1):1–12.doi:10.1016/j.virol.2009.04.011.
Sanderson J, Mukherjee S, Wilting A, Sunarto S, Hearn A, Ross J, Khan JA. 2008.
Catopuma temminckii. The IUCN Red List of Threatened Species (Version

10
2015.2) [internet]. [diunduh 2015 Juli 05]. Tersedia pada:
http://www.iucnredlist.org/details/full/4038/0.
Schmid-Hempel P. 2009. Immune Defense, Parasite Evasion Strategies and their
Relevance for “Macroscopic Phenomena” such as Virulence. Biol Sci.
364(1513):85–98.doi:10.1098/rstb.2008.0157.
Shrivastav AB, Singh KP. 2012. Tigers Blood: Hematological and Biochemical
Studies, Blood Cell – An Overview of Studies in Hematology. Moschandreu
T, editor. InTech. doi:10.5772/50360
Weiser MG, Kociba GJ. 1983. Erythrocyte Macrocytosis in Feline Leukemia
Virus
Associated
Anemia.
Vet
Pathol.
20(6):687–
697.doi:10.1177/030098588302000604.

11
Lampiran 1 Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Naidu (P. t.
sumatrae) di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi
tanggal 2/7/2011 (Gambar 1a dan 1b) dan tanggal 20/7/2011
(Gambar 2a dan 2b)

Gambar 1a

Gambar 1b

Gambar 2a

Gambar 2b

12
Lampiran 2 Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Cash (P. p. pardus)
di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi tanggal
13/7/2011 (Gambar 1) dan tanggal 24/8/2011 (Gambar 2)

Gambar 1

Gambar 2

13
Lampiran 3 Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Tanggo (P. p.
pardus) di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi
tanggal 29/7/2011 (Gambar 1), 8/8/2011 (Gambar 2) dan 30/9/2011
(Gambar 3)

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

14
Lampiran 4 Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Giselle (P.
concolor) di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi
tanggal 14/4/2012 (Gambar 1) dan tanggal 18/5/2012 (Gambar 2a
dan 2b)

Gambar 1

Gambar 2a

Gambar 2b

15
Lampiran 5 Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Glenn (P. concolor)
di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi tanggal
26/10/2014 (Gambar 1a dan 1b) dan tanggal 5/2/2015 (Gambar 2a
dan 2b)

Gambar 1a

Gambar 1b

Gambar 2a

Gambar 2b

16
Lampiran 6 Gambaran X-Ray kasus fraktur ekstremitas pada Lola (P.temminkcii)
di Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor, dokumentasi tanggal
7/6/2014 (Gambar 1)

Gambar 1

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Frankfurt am Main, Jerman pada tanggal 12 Februari
1992 dari ayah Rizal S. Gueci dan ibu Yetty Limansastro. Penulis merupakan
putri pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMAK
Kolese Santo Yusuf Malang. Di tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan
diterima di Fakultas Kedokteran Hewan.