Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus Di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV. Terraria

MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR:
STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,
TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

ABSTRAK
ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Medik Konservasi Satwa Ular: Studi
Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV.
Terraria, di bawah bimbingan R.P. AGUS LELANA.
Studi kasus dilakukan pada tiga lembaga konservasi eksitu (Taman
Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan Usaha Penangkar Ular
Komersial CV. Terraria) untuk mempelajari implementasi medik konservasi pada
satwa ular. Kajian difokuskan untuk mengamati berbagai bentuk kegiatan medis:
rehabilitatif, preventif, kuratif dan promotif serta upaya karantina. Diperoleh
gambaran bahwa kondisi regulasi biologis satwa ular sangat dipengaruhi oleh

lingkungan. Temperatur dan kelembaban lingkungan sangat mempengaruhi
seluruh fungsi metabolisme dan kegiatan reproduksi. Kelembaban yang rendah
menyebabkan satwa ular rentan terhadap peradangan paru-paru (pneumonia).
Pencahayaan dan radiasi sinar matahari selain mengoptimalkan fungsi
pencernaan, pada beberapa jenis ular juga berperan dalam kawin
(photoperiode). Banyaknya deposit lemak melalui konsumsi pakan dengan
jumlah yang cukup dan berkualitas mendukung pematangan fertilitas telur pada
ular betina. Pemberian pakan yang tidak higienis, seperti tikus liar dan kodok,
menyebabkan ular dapat berperan sebagai inang reservoar cacing pentastomum
dan sparganum yang bersifat zoonosis. Disimpulkan bahwa keberhasilan medik
konservasi pada ular ditentukan dengan: (1) Mempertahankan lingkungan yang
mendukung regulasi biologi ular sebagai hewan ectotherm; (2) Mengadakan
manajemen terhadap tindakan preventif (deworming), rehabilitatif, dan promotif
serta tindakan kuratif; (3) Kualitas sumberdaya manusia yang memadai untuk
menjalankan dan mengelola kegiatan penangkaran ular.

ABSTRACT
ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Conservation Medicine of Snake: a
Case Study at Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia and CV.
Terraria. Under the direction of R.P. AGUS LELANA.

Case study was conducted at three exsitu conservation institutions (Taman
Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia and Commercial Snake Captive
Breeding of CV. Terraria) for observing the implementation of conservation
medicine of snake. The study was focused on all of medical aspect that concisted
of: rehabilitation, prevention, currative, promotion aspects and quarantine efforts.
The observation showed that snake biological regulation was influenced by the
environtment condition. The environment temperature and humidity strongly
influence to all metabolism function and reproduction cycle. Low humidity might
caused snake susceptible to pneumonia. Lighting and sunlight radiation might
optimize digestion function, moreover on particular spesies this factor also play
an important role on mating periode. Fat deposition due to proper diet
consumption induce ovum fertility maturation of female snake. Unhygienic diet
such as wild rat and frog might cause snake to be an secondary zoonotic
reservoar for a pentastomum and sparganum. This study concluded that the
success of conservation medicine were provide by: (1) Maintaining the ultimate
environtment to support biological regulation of snake as an ectotherm animal;
(2) Providing the management of prevention (deworming), rehabilitation,
promotion as well as curative action; (3) Manpower for operating and managing
the captive breeding of snake.


MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR:
STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,
TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul

: Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus di Taman Margasatwa
Ragunan, Taman Safari Indonesia, dan CV. Terraria


Nama

: Zulfa Ikhsanniyati Rucita Ciwi F

NRP

: B04103066

Disetujui,
Pembimbing

Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi.
NIP. 131 473 988

Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
NIP. 131 129 090


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kasih sayang dan
karunia yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Berawal dari latar belakang sebagai mahasiswa kedokteran hewan, minat
terhadap ular dan kepedulian terhadap satwaliar maka dalam penyusunan karya
tulis ilmiah untuk tugas akhir penulis mengambil tema upaya konservasi satwa
ular melalui pendekatan medis dengan judul Medik Konservasi Satwa Ular: Studi
Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV.
Terraria.
Pengambilan data dan penulisan telah dimulai dari September 2006
sampai Agustus 2007. Selama penyusunan karya ilmiah ini penulis telah
mendapat berbagai bantuan materi, informasi dan saran serta dukungan moral
dari

berbagai

pihak.


Sehubungan

dengan

itu

penulis

menyampaikan

penghargaan dan mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi beserta keluarga atas bimbingan,
kesabaran, seluruh tenaga dan waktu serta perhatian yang telah diberikan
kepada penulis selama penyusunan tugas akhir.
2. Bapak Drh. Deni Noviana, Ph.D selaku dosen penilai seminar dan skripsi
serta atas bantuan saran yang diberikan.
3. Direktorat Jendral PHKA Direktorat KKH Dephut RI beserta staf di gedung
Manggala Wana Bakti: Drh. Indra, Ibu Evi dan Ibu Ratna atas bantuan

perizinan dan segala informasi yang telah diberikan.
4. Pimpinan Taman Margasatwa Ragunan DKI Jakarta beserta Drh. Edward,
Drh. Endang, Mas Bambang, Mas Manto, Bapak Kusno dan seluruh staf
perawat di Terrarium Reptil yang telah banyak membantu pengumpulan data.
5. Pimpinan Taman Safari Indonesia beserta Drh. Yohana, Mas Rofandi, Mas
Imam, Mas Yanto dan Bang Ucok

yang telah banyak membantu

pengumpulan data.
6. Pimpinan CV. Terraria: Bapak Budi beserta staf, Bapak Alif, Mr.Vladimir,
Bapak Arif dan Ibu Dina yang telah banyak membantu pengumpulan data.
7. Koordinator kerjasama IPB – Taman Safari Indonesia, Prof. Dondin Sajuthi,
Ph.D atas masukan dan kritik serta pengarahan selama mempersiapkan
tempat pengambilan data.

8. Ketua Ophio Jogja Reptiles Club tahun 2003, Bapak Drh. Slamet Raharjo
atas segala informasi yang telah diberikan.
9. Bapak Drh. Triatmo B. S. yang telah bersedia meminjamkan berbagai judul
buku sebagai sumber referensi, masukan saran dan dukungan moral kepada

penulis.
10. Kedua orang tua serta seluruh keluarga besar di Cilegon, Jakarta, Bekasi,
dan Bogor atas dorongan, doa, dan dukungannya kepada penulis.
11. Revina “Kakak sulung” atas kesediaannya untuk saling mendukung, segala
bantuan moral serta materi yang telah diberikan.
12. Agusriady dan Nining untuk semua kasih sayang, ketulusan, bantuan materi,
kritik dan saran serta dukungan moral.
13. Herli, Yasmilia dan Yasmin atas kesediaannya menjadi editor selama
penulisan dan mempersiapkan materi presentasi.
14. Dewi, Astri, Mami , Puji, Ramlah, Mbak Irao, Devi, Aji, dan Isaias atas
kesediaannya membantu memfasilitasi pengetikan naskah, pengambilan
data dan presentasi dalam seminar selama pengerjaan tugas akhir.
15. Kabo, Dewilis, Wywy, Prita, Adam, Togu, Nita dan semua Keluarga besar
Gymnolaemata

40

atas

kebersamaan


dan

ketulusan

untuk

saling

menguatkan dan kenangan berharga selama 4 tahun.
16. Anggota H impunan Profesi Satwa Liar: Rama, Mbak Hamria, Aisy, Winy,
Liza, Silvi, Rani, Cepi serta seluruh teman-teman yang memiliki minat dan
dedikasi terhadap satwaliar atas informasi dan dukungan moral yang telah
diberikan.
17. Seluruh teman-teman kiper dan tenaga medis di Pusat Penyelamatan Satwa
Cikananga (PPSC) yang telah memberi inspirasi dan dukungan moral.

Serta semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut
memperlancar penyelesaian penyusunan karya ilmiah ini. Penulis memohon
maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat di dalam karya ilmiah

ini dan penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat.

Bogor, 5 September 2007
Zulfa Ikhsanniyati Rucita Ciwi F

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1985 sebagai
anak ketiga dari tiga bersaudara, dari ayah yang bernama Drs. Fadhllilah Djamud
dan ibu R Yeyet Rohayati. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Inpres
Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten pada tahun 1991 kemudian lulus tahun
1997 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah
Tsanawiyah Al Khairiyah Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten dan lulus
tahun 2000. Pendidikan menengah ditempuh di Madrasah Aliyah Negeri 1
Serang Propinsi Banten mulai tahun 2000 sampai tahun 2003. Penulis diterima
sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor ditahun
yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama
perkuliahan penulis menjadi anggota Himpunan Minat dan Profesi (Himpro)
Ruminansia dan Satwa Liar serta Veterinary English Club (VEC).

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .........................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

ix

PENDAHULUAN ........................................................................................

1

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
Bioekologi Ular .................................................................................
Pemanfaatan Satwa Ular ..................................................................
Konsep Medik Konservasi ................................................................

3
3
7
8

METODOLOGI PENELITIAN .....................................................................
Tempat dan Waktu ...........................................................................
Bahan dan Metode ...........................................................................

11
11
11

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
Lembaga Konservasi dan Usaha Penangkaran ...............................
Pemeliharaan yang Baik (Good Care Practices) ..............................
Manajemen Kandang ................................................................
Manajemen Pakan ....................................................................
Manajemen Sarana dan Prasarana ..........................................
Manajemen Sumberdaya Manusia ...........................................
Manajemen Pencatatan ............................................................
Tindak Medis yang Baik (Good Medical Practices) ..........................
Tindakan Preventif ....................................................................
Tindakan Rehabilitatif ...............................................................
Karantina ..................................................................................
Tindakan Kuratif ........................................................................
Tindakan Promotif .....................................................................
Penangkaran yang Baik (Good Breeding Practice) ..........................
Pemanfaatan Jenis Hasil Penangkaran ...........................................

16
16
17
18
24
27
27
28
29
29
29
30
32
49
50
52

KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................

56

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

57

LAMPIRAN .................................................................................................

61

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Struktur taksonomi ular ...........................................................................

3

2. Gambaran umum lembaga konservasi dan usaha penangkaran ...........

16

3. Jenis koleksi ular (dokumentasi Februari–Juli 2007) ..............................

17

4. Pengaturan mikroklimat di TMR, TSI dan CV. Terraria ..........................

19

5. Manajemen pakan ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ...........................

25

6. Sumber koleksi ular dan kondisi yang mengikutinya ..............................

30

7. Kegiatan karantina ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ..........................

31

8. Kasus penyakit yang terjadi (Periode Januari 2004–Januari 2007,
rekapitulasi data dari TMR, TSI dan CV. Terraria) .................................

34

9. Kegiatan penangkaran ular di TSI dan CV. Terraria ..............................

51

10. Teknis pengemasan di CV. Terraria .......................................................

53

MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR:
STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,
TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

ABSTRAK
ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Medik Konservasi Satwa Ular: Studi
Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV.
Terraria, di bawah bimbingan R.P. AGUS LELANA.
Studi kasus dilakukan pada tiga lembaga konservasi eksitu (Taman
Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan Usaha Penangkar Ular
Komersial CV. Terraria) untuk mempelajari implementasi medik konservasi pada
satwa ular. Kajian difokuskan untuk mengamati berbagai bentuk kegiatan medis:
rehabilitatif, preventif, kuratif dan promotif serta upaya karantina. Diperoleh
gambaran bahwa kondisi regulasi biologis satwa ular sangat dipengaruhi oleh
lingkungan. Temperatur dan kelembaban lingkungan sangat mempengaruhi
seluruh fungsi metabolisme dan kegiatan reproduksi. Kelembaban yang rendah
menyebabkan satwa ular rentan terhadap peradangan paru-paru (pneumonia).
Pencahayaan dan radiasi sinar matahari selain mengoptimalkan fungsi
pencernaan, pada beberapa jenis ular juga berperan dalam kawin
(photoperiode). Banyaknya deposit lemak melalui konsumsi pakan dengan
jumlah yang cukup dan berkualitas mendukung pematangan fertilitas telur pada
ular betina. Pemberian pakan yang tidak higienis, seperti tikus liar dan kodok,
menyebabkan ular dapat berperan sebagai inang reservoar cacing pentastomum
dan sparganum yang bersifat zoonosis. Disimpulkan bahwa keberhasilan medik
konservasi pada ular ditentukan dengan: (1) Mempertahankan lingkungan yang
mendukung regulasi biologi ular sebagai hewan ectotherm; (2) Mengadakan
manajemen terhadap tindakan preventif (deworming), rehabilitatif, dan promotif
serta tindakan kuratif; (3) Kualitas sumberdaya manusia yang memadai untuk
menjalankan dan mengelola kegiatan penangkaran ular.

ABSTRACT
ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Conservation Medicine of Snake: a
Case Study at Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia and CV.
Terraria. Under the direction of R.P. AGUS LELANA.
Case study was conducted at three exsitu conservation institutions (Taman
Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia and Commercial Snake Captive
Breeding of CV. Terraria) for observing the implementation of conservation
medicine of snake. The study was focused on all of medical aspect that concisted
of: rehabilitation, prevention, currative, promotion aspects and quarantine efforts.
The observation showed that snake biological regulation was influenced by the
environtment condition. The environment temperature and humidity strongly
influence to all metabolism function and reproduction cycle. Low humidity might
caused snake susceptible to pneumonia. Lighting and sunlight radiation might
optimize digestion function, moreover on particular spesies this factor also play
an important role on mating periode. Fat deposition due to proper diet
consumption induce ovum fertility maturation of female snake. Unhygienic diet
such as wild rat and frog might cause snake to be an secondary zoonotic
reservoar for a pentastomum and sparganum. This study concluded that the
success of conservation medicine were provide by: (1) Maintaining the ultimate
environtment to support biological regulation of snake as an ectotherm animal;
(2) Providing the management of prevention (deworming), rehabilitation,
promotion as well as curative action; (3) Manpower for operating and managing
the captive breeding of snake.

MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR:
STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,
TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul

: Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus di Taman Margasatwa
Ragunan, Taman Safari Indonesia, dan CV. Terraria

Nama

: Zulfa Ikhsanniyati Rucita Ciwi F

NRP

: B04103066

Disetujui,
Pembimbing

Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi.
NIP. 131 473 988

Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
NIP. 131 129 090

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kasih sayang dan
karunia yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Berawal dari latar belakang sebagai mahasiswa kedokteran hewan, minat
terhadap ular dan kepedulian terhadap satwaliar maka dalam penyusunan karya
tulis ilmiah untuk tugas akhir penulis mengambil tema upaya konservasi satwa
ular melalui pendekatan medis dengan judul Medik Konservasi Satwa Ular: Studi
Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV.
Terraria.
Pengambilan data dan penulisan telah dimulai dari September 2006
sampai Agustus 2007. Selama penyusunan karya ilmiah ini penulis telah
mendapat berbagai bantuan materi, informasi dan saran serta dukungan moral
dari

berbagai

pihak.

Sehubungan

dengan

itu

penulis

menyampaikan

penghargaan dan mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi beserta keluarga atas bimbingan,
kesabaran, seluruh tenaga dan waktu serta perhatian yang telah diberikan
kepada penulis selama penyusunan tugas akhir.
2. Bapak Drh. Deni Noviana, Ph.D selaku dosen penilai seminar dan skripsi
serta atas bantuan saran yang diberikan.
3. Direktorat Jendral PHKA Direktorat KKH Dephut RI beserta staf di gedung
Manggala Wana Bakti: Drh. Indra, Ibu Evi dan Ibu Ratna atas bantuan
perizinan dan segala informasi yang telah diberikan.
4. Pimpinan Taman Margasatwa Ragunan DKI Jakarta beserta Drh. Edward,
Drh. Endang, Mas Bambang, Mas Manto, Bapak Kusno dan seluruh staf
perawat di Terrarium Reptil yang telah banyak membantu pengumpulan data.
5. Pimpinan Taman Safari Indonesia beserta Drh. Yohana, Mas Rofandi, Mas
Imam, Mas Yanto dan Bang Ucok

yang telah banyak membantu

pengumpulan data.
6. Pimpinan CV. Terraria: Bapak Budi beserta staf, Bapak Alif, Mr.Vladimir,
Bapak Arif dan Ibu Dina yang telah banyak membantu pengumpulan data.
7. Koordinator kerjasama IPB – Taman Safari Indonesia, Prof. Dondin Sajuthi,
Ph.D atas masukan dan kritik serta pengarahan selama mempersiapkan
tempat pengambilan data.

8. Ketua Ophio Jogja Reptiles Club tahun 2003, Bapak Drh. Slamet Raharjo
atas segala informasi yang telah diberikan.
9. Bapak Drh. Triatmo B. S. yang telah bersedia meminjamkan berbagai judul
buku sebagai sumber referensi, masukan saran dan dukungan moral kepada
penulis.
10. Kedua orang tua serta seluruh keluarga besar di Cilegon, Jakarta, Bekasi,
dan Bogor atas dorongan, doa, dan dukungannya kepada penulis.
11. Revina “Kakak sulung” atas kesediaannya untuk saling mendukung, segala
bantuan moral serta materi yang telah diberikan.
12. Agusriady dan Nining untuk semua kasih sayang, ketulusan, bantuan materi,
kritik dan saran serta dukungan moral.
13. Herli, Yasmilia dan Yasmin atas kesediaannya menjadi editor selama
penulisan dan mempersiapkan materi presentasi.
14. Dewi, Astri, Mami , Puji, Ramlah, Mbak Irao, Devi, Aji, dan Isaias atas
kesediaannya membantu memfasilitasi pengetikan naskah, pengambilan
data dan presentasi dalam seminar selama pengerjaan tugas akhir.
15. Kabo, Dewilis, Wywy, Prita, Adam, Togu, Nita dan semua Keluarga besar
Gymnolaemata

40

atas

kebersamaan

dan

ketulusan

untuk

saling

menguatkan dan kenangan berharga selama 4 tahun.
16. Anggota H impunan Profesi Satwa Liar: Rama, Mbak Hamria, Aisy, Winy,
Liza, Silvi, Rani, Cepi serta seluruh teman-teman yang memiliki minat dan
dedikasi terhadap satwaliar atas informasi dan dukungan moral yang telah
diberikan.
17. Seluruh teman-teman kiper dan tenaga medis di Pusat Penyelamatan Satwa
Cikananga (PPSC) yang telah memberi inspirasi dan dukungan moral.

Serta semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut
memperlancar penyelesaian penyusunan karya ilmiah ini. Penulis memohon
maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat di dalam karya ilmiah
ini dan penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat.

Bogor, 5 September 2007
Zulfa Ikhsanniyati Rucita Ciwi F

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1985 sebagai
anak ketiga dari tiga bersaudara, dari ayah yang bernama Drs. Fadhllilah Djamud
dan ibu R Yeyet Rohayati. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Inpres
Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten pada tahun 1991 kemudian lulus tahun
1997 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah
Tsanawiyah Al Khairiyah Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten dan lulus
tahun 2000. Pendidikan menengah ditempuh di Madrasah Aliyah Negeri 1
Serang Propinsi Banten mulai tahun 2000 sampai tahun 2003. Penulis diterima
sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor ditahun
yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama
perkuliahan penulis menjadi anggota Himpunan Minat dan Profesi (Himpro)
Ruminansia dan Satwa Liar serta Veterinary English Club (VEC).

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .........................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

ix

PENDAHULUAN ........................................................................................

1

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
Bioekologi Ular .................................................................................
Pemanfaatan Satwa Ular ..................................................................
Konsep Medik Konservasi ................................................................

3
3
7
8

METODOLOGI PENELITIAN .....................................................................
Tempat dan Waktu ...........................................................................
Bahan dan Metode ...........................................................................

11
11
11

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
Lembaga Konservasi dan Usaha Penangkaran ...............................
Pemeliharaan yang Baik (Good Care Practices) ..............................
Manajemen Kandang ................................................................
Manajemen Pakan ....................................................................
Manajemen Sarana dan Prasarana ..........................................
Manajemen Sumberdaya Manusia ...........................................
Manajemen Pencatatan ............................................................
Tindak Medis yang Baik (Good Medical Practices) ..........................
Tindakan Preventif ....................................................................
Tindakan Rehabilitatif ...............................................................
Karantina ..................................................................................
Tindakan Kuratif ........................................................................
Tindakan Promotif .....................................................................
Penangkaran yang Baik (Good Breeding Practice) ..........................
Pemanfaatan Jenis Hasil Penangkaran ...........................................

16
16
17
18
24
27
27
28
29
29
29
30
32
49
50
52

KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................

56

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

57

LAMPIRAN .................................................................................................

61

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Struktur taksonomi ular ...........................................................................

3

2. Gambaran umum lembaga konservasi dan usaha penangkaran ...........

16

3. Jenis koleksi ular (dokumentasi Februari–Juli 2007) ..............................

17

4. Pengaturan mikroklimat di TMR, TSI dan CV. Terraria ..........................

19

5. Manajemen pakan ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ...........................

25

6. Sumber koleksi ular dan kondisi yang mengikutinya ..............................

30

7. Kegiatan karantina ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ..........................

31

8. Kasus penyakit yang terjadi (Periode Januari 2004–Januari 2007,
rekapitulasi data dari TMR, TSI dan CV. Terraria) .................................

34

9. Kegiatan penangkaran ular di TSI dan CV. Terraria ..............................

51

10. Teknis pengemasan di CV. Terraria .......................................................

53

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Ruang lingkup medik konservasi ..........................................................

8

2. Diagram alir kerangka pemikiran strategi medik konservasi ................

9

3. Diagram efisiensi dan efektifitas upaya konservasi ..............................

10

4. Kandang ular di TMR (Terrarium 1 dan 2) ............................................

22

5. Kandang ular di TSI ..............................................................................

22

6. Kandang induk sanca hijau (Chondropython viridis) di CV. Terraria ....

23

7. Contoh sumber udara dan pencahayaan .............................................

23

8. Keamanan bentuk dan fasilitas kandang ..............................................

24

9. Contoh keamanan pakan .....................................................................

26

10. Tube feeding pada ular ........................................................................

33

11. Abrasi mulut pada sanca batik (Python reticulatus) .............................

36

12. Mouth rot pada ular ..............................................................................

38

13. Endoparasit pada ular ..........................................................................

43

14. Ektoparasit tungau pada ular (Ophionyssus natricis) ...........................

43

15. Kejadian prolaps hemipenis pada ular .................................................

46

16. Nekropsi ular betina saat siklus lemak .................................................

50

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Daerah Utama Pemeriksaan Fisik Pada Ular....................................

62

2. Bagan Pengambilan Keputusan untuk Satwa yang Akan
Ditangkarkan (IUCN 2000).................................................................

64

3. Bagan Pengambilan Keputusan untuk Satwa yang Akan
Dilepaskan ke Alam (IUCN 2000).......................................................

65

4. Contoh surat angkut tumbuhan dan satwa liar luar negeri (SATSLN) dengan stamp CITES..................................................................

66

5. Contoh surat angkut tumbuhan dan satwa liar luar negeri (SATSLN) tanpa stamp CITES.....................................................................

67

6. Contoh surat angkut tumbuhan dan satwa liar dalam negeri (SATSDN).....................................................................................................

68

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia

sebagai

negara

memiliki

mega-biodiversity

potensi

keanekaragaman hidupan liar yang sangat besar. Dokumen Biodiversity Action
Plan for Indonesia mencatat bahwa Indonesia memiliki 10% jenis tumbuhan
berbunga dunia, 12% jenis mamalia dunia, 16% jenis reptil dunia, 17% jenis
burung dunia, serta 20% jenis ikan dunia. Kelimpahan hidupan liar ini mampu
menunjang kebutuhan hidup sebagian masyarakat Indonesia. Sekitar 12 juta
diantara populasi penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari hutan
salah satunya adalah dengan menjual satwa yang banyak diminati publik
(Soehartono dan Mardiastuti 2003).
Permintaan publik terhadap hidupan satwaliar sebagai hewan peliharaan
dan beberapa produk lain (konsumsi, obat-obatan dan asesoris) cenderung
meningkat. Salah satunya adalah pemanfaatan reptil jenis ular dengan
banyaknya permintaan daging, kulit, organ dalam, bisa dan segala produk yang
mungkin dari ular, serta berkembangnya trend ular sebagai hewan kesayangan.
Ular juga dimanfaatkan sebagai hewan peraga di kebun binatang dan keperluan
penelitian. Hal ini menyebabkan aktivitas eksploitasi ular dari alam meningkat
(Hackbart 2003). Saat ini beberapa jenis ular dikategorikan ke dalam Apendiks II
dalam CITES (Convention on International Trades of Endangered Spesies of
Wild Fauna and Flora) sebagai satwa yang berpotensi terancam punah bila
usaha pelestarian tidak segera dilakukan (Samedi et al. 2004).
Untuk menata kembali tata cara pemanfaatan satwa secara lestari maka
dirumuskan suatu aturan mengenai manajemen pemanfaatan satwa liar berbasis
konservasi berupa: pengembangbiakan jenis satwa, terutama spesies satwa
yang terancam punah; penyelamatan satwa akibat kegiatan manusia; dan
kegiatan penangkaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai upaya
menekan eksploitasi dari alam yang semakin marak dilakukan (Santoso 2003).
Tujuannya adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa dan kebutuhan hidup
manusia

secara

langsung

maupun

tidak

langsung

berdasarkan

prinsip

kelestarian.

Konsep Pemikiran
Eksploitasi sejumlah spesies ular dari habitatnya setiap tahun semakin
meningkat dan jika ini tidak diantisipasi maka ular berpotensi terancam punah.

Indonesia telah melakukan program konservasi ular melalui pemeliharaan
di habitat buatan beserta kegiatan penangkaran. Beberapa lembaga konservasi
yang mengupayakan program tersebut diantaranya adalah Taman Margasatwa
Ragunan (TMR) dan Taman Safari Indonesia (TSI). Salah satu contoh lembaga
usaha yang diberi izin oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan penangkaran
satwa ular dalam rangka memenuhi permintaan publik ialah usaha penangkaran
reptil CV. Terraria.
Upaya memelihara ular dalam habitat buatan memiliki beberapa kendala
yaitu: masalah kesehatan, belum optimalnya upaya reproduksi, serta kejadian
kematian yang cukup sering. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan medik
konservasi satwa ular.
Medik konservasi satwa merupakan serangkaian tindakan rehabilitatif,
preventif, kuratif, dan promotif yang diterapkan dalam menunjang program
pelestarian satwa liar. Berangkat dari masalah pemeliharaan ular dalam habitat
buatan ini, maka dilakukan suatu studi terhadap implementasi medik konservasi
pada perawatan ular di habitat buatan yang telah dilaksanakan oleh TMR, TSI
dan CV. Terraria sebagai lembaga yang mengupayakan program konservasi.

Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk mempelajari implementasi konsep
medik konservasi yang telah dilakukan. Hasil studi kasus ini diharapkan dapat
memberi informasi yang lebih komprehensif mengenai manajemen perawatan
ular di habitat buatan dan keberhasilan upaya penangkaran, serta dapat
dijadikan acuan untuk mengevaluasi implementasi konsep medik konservasi
dalam rangka meningkatkan keberhasilan program konservasi eksitu ular.

TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Ular
Taksonomi dan Distribusi Geografi
Penyusunan famili dalam taksonomi ular mengikuti teori evolusi (Tabel 1).
Semua famili yang termasuk peralihan ordo Scolecophidia dianggap primitif.
Kelompok ular berbisa yang merupakan sebagian besar dari peralihan ordo
Xenophidia adalah ular modern yang paling berkembang sampai sekarang.
Sedangkan

peralihan

ordo

Henophidia

seperti

famili

Boidae

dianggap

pertengahan diantaranya. Genus Phyton dan Boa tidak seprimitif genus pada
famili Typhlopydae namun tidak berkembang dengan sempurna seperti genus
pada famili Colubridae dan ular berbisa lain (Hediger 1975) .

Tabel 1 Struktur taksonomi ular (Pope 1949; Hotstetter et al. 1969; Breen 1974; Hediger
1975; Wikipedia.org 2006)
Kingdom
Animalia
Filum
Chordata
Kelas
Sauropsida
Ordo
Squamata
Subordo
Serpentes
Intermediate
ordo
Scolecopidhia

Henophidia

Xenophidia

Famili

Genus ( dalam jumlah)

Spesies (dalam jumlah)

Typhlopidae
Leptotyphlopidae
Anomalepidae
Acrochordidae
Anillidae
Anomochilidae
Bolyeridae
Cylindrophidae
Loxocemidae
Trophidopidae
Boidae
Uropeltidae
Xenopeltidae
Atractaspididae
Colubridae
Elaphidae
Viperidae
Hydrophidae

5
23
Tidak ada informasi
2
9
Tidak ada informasi
Tidak ada informasi
Tidak ada informasi
Tidak ada informasi
Tidak ada informasi
22 (Phyton, Boa)
8
1 (Xenopeltis)
Tidak ada informasi
250
41
14
16

200
50
Tidak ada informasi
3
Tidak ada informasi
Tidak ada informasi
Tidak ada informasi
Tidak ada informasi
Tidak ada informasi
Tidak ada informasi
90 (Phyton reticulatus)
40
1 (Xenopeltis unicolor)
Tidak ada informasi
2500
180
150
50

Sebagai hewan poikilotermik, ular semakin jarang ditemukan di tempat
bersuhu rendah, puncak gunung, padang salju dan daerah kutub kecuali berapa

spesies dari famili Viperidae seperti Vipera ruselli (ular bandotan), Southern
Hemisphere Bothrops ammodytoides (ular derik Argentina), Vipera berus (ular
derik Eropa) serta Rhamnopis sirtalis (American common garter snake) (Breen
1974).
Ular lebih banyak tersebar di daerah tropis hingga subtropis terutama
spesies ular ukuran besar yang termasuk famili Boidae seperti spesies dari
genus Python dan Boa. Spesies ini umum ditemui di daerah Asia Tenggara
seperti Indonesia dan Filipina; India Barat; Indian; Afrika; dan sepanjang daerah
Amazon di Amerika. Ular yang termasuk famili Elaphidae (kobra) tersebar di
seluruh daratan kecuali benua Eropa (Wikipedia.org 2006).
Penyebaran dan kelimpahan jumlah ular semakin tinggi ke arah katulistiwa.
Indonesia memiliki ± 400 spesies dan 115 spesies diantaranya adalah ular
berbisa. Sebanyak 35 spesies ular berbisa tersebut hidup di terestrial dan
selebihnya di ekosistem akuatik (Santoso 2003).

Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi Tubuh
Tehupuring (2003) mengatakan, secara umum tubuh ular dibagi menjadi
tiga bagian yaitu:
a.

sepertiga bagian depan meliputi trakhea, esofagus dan jantung

b.

sepertiga bagian tengah meliputi jantung, lambung dan paru-paru

c.

sepertiga bagian belakang meliputi usus halus, pankreas, limpa, kantung
empedu, kelenjar adrenal, usus besar, gonad, saluran reproduksi, ginjal,
lemak tubuh dan kloaka. Pada daerah kaudal kloaka terdapat musk gland
pada betina dan sepasang hemipenis pada jantan.
Os thoracalis (tulang rusuk) tidak memiliki sternum sehingga menggantung

bebas dan tidak melindungi jantung yang terletak di bagian ventral. Paru-paru
ular memanjang dan di ujung membentuk kantung udara. Fungsi kantung udara
adalah sebagai cadangan udara yang dipompa saat menelan mangsa yang
besar (Hediger 1975). Saluran esofagus sangat tipis dan tidak mengandung otot
polos. Saluran ini terus menuju lambung tanpa batas yang jelas karena lambung
tidak memiliki cardiac sphincter. Proses pencernaan berlangsung sangat cepat
sedangkan proses penyerapan berlangsung sangat lambat dan membutuhkan

waktu berhari-hari (O’ Malley 2005). Ular tidak memiliki kantung kemih sehingga
saluran urinari langsung menuju kloaka (Hediger 1975).
Ular tidak memiliki kelopak mata. Sebagai gantinya terdapat lapisan bening
dari semacam material gelas yang melapisi seluruh kornea, disebut spektakel
(spectacle). Spektakel sebenarnya merupakan diferensiasi dari kulit yang akan
terkelupas saat molting (Hotstetter et al. 1969).

b. Temperatur Tubuh
Temperatur tubuh ular bersifat ectotherm (Underwood 1970). Kemampuan
refleks homeotermik pada ular kurang berkembang sehingga temperatur
tubuhnya mengalami fluktuasi cukup besar mengikuti temperatur lingkungan
(hewan

poikilotermik).

Sebagai

satwa

ectotherm

maka

seluruh

fungsi

metabolisme ular bergantung temperatur lingkungan (temperature-dependent)
(Ross dan Marzec 1990). Menurut Funk (1996) ular memiliki Prefered Optimum
Temperatur Zone (POTZ); suatu temperatur tertentu di lingkungan yang dapat
mendukung keseluruhan fungsi metabolisme ular secara optimal. POTZ ular
umumnya 27°-30°C dan bervariasi untuk beberapa spesies ular lain (Scott 1995).
Spesies ular yang berhabitat di daerah temperatur sedang (temperate spesies)
memiliki POTZ pada suhu ± 24°C sedangkan spesies ular tropis memiliki POTZ
pada suhu ± 28°C (O’ Malley 2005).
Temperatur tubuh ular harus berada pada POTZ tertentu yang disebut
Prefered Body Temperatur (PBT), agar fungsi metabolisme berlangsung baik.
Kondisi ini ditandai dengan aktif bergerak, berjemur, berlangsungnya fungsi
pencernaan, fungsi hormon reproduksi (Funk 1996), dan sistem imunitas yang
bekerja maksimal (Mader 1996). Hediger (1975) mengatakan, suhu rendah di
bawah POTZ atau melewati toleransi PBT akan menghambat sensor indra
peraba dan pergerakan, serta mengakibatkan paralisis dengan mortalitas hampir
100%.
Kondisi ini menggambarkan kebergantungan ular terhadap ketersediaan
energi panas untuk mengontrol temperatur tubuh melalui proses termoregulasi.
Termoregulasi dilakukan dengan memasukan dan mengeluarkan panas dari
matahari atau sumber lain dengan cara meluruskan atau meregangkan tubuh
sedangkan untuk bertahan hidup ketika temperatur lingkungan rendah ular
melakukan hibernasi (Ummas.edu 2006).

c. Kelembapan
Kelembapan lingkungan juga sangat mempengaruhi homeostasis tubuh
ular. Kelembapan yang rendah menyebabkan ular mengalami dehidrasi,
pneumonia dan kegagalan inkubasi telur (Ross dan Marzec 1990; Klingenberg
1993; Ackerman 1995). Kondisi sebaliknya menyebabkan ular mengalami
dermatits (Ackerman 1995). Spesies ular yang berhabitat di padang pasir
(spesies padang pasir) membutuhkan kelembapan 30-50%; spesies subtropis
60-80%; dan spesies tropis 80-90% (Mitchell 2003).

d. Fisiologi Reproduksi
Siklus hormonal reproduksi pada jantan dan betina dipengaruhi oleh
musim dan kondisi temperatur, umumnya musim penghujan dan saat temperatur
rendah (Ross dan Marzec 1990). Kematangan seksual lebih dipengaruhi oleh
ukuran tubuh dari pada tingkat umur. Betina memulai siklus lemak dan siap
kawin saat mencapai ukuran tubuh tertentu yang dipengaruhi faktor kuantitas
pakan. Ular yang tumbuh dengan perawatan dan pemberian pakan optimal
biasanya mulai mengalami kematangan seksual pada umur 2-3 tahun (Mader
1996).

Ular

yang

mengalami

kekurangan

pakan

tidak

akan

mencapai

kematangan seksual (Vladimir 2007).
Ketika kopulasi betina dan jantan akan saling bertumpuk atau melilit.
Organ reproduksi betina disebut musk gland dan organ kopulator jantan disebut
hemipenis yang berjumlah sepasang. Saat kopulasi hanya satu hemipenis yang
dimasukan ke dalam musk gland dan jika kopulasi selesai hemipenis akan ditarik
kembali ke dalam kloaka (Hediger 1957).
Sebagian besar jenis ular bersifat vivipar seperti pada Python, dan
sebagian lagi bersifat ovovivipar seperti pada Boa. Jumlah telur yang dihasilkan
beragam. Telur mengalami inkubasi normal pada kelembapan relatif 75-85% dan
temperatur ideal 25,5°- 28,80C selama ± 55-60 hari (Animal hospital-usa.com
2006). Ross dan Marzec (1990) mengatakan bahwa kelembapan yang
dibutuhkan untuk inkubasi telur ular adalah = 88–100 %. Sedangkan Phyton dan
Boa, umumnya membutuhkan kelembapan relatif pada 90-100 %.

e. Molting (Ecdysis)
Molting atau ecdysis adalah proses pergantian kulit yang terjadi secara
berkala. Proses ini terjadi di bawah kontrol hormonal serta berhubungan dengan

nutrisi dan pertumbuhan (Mader 1996). Frekuensi molting bergantung kepada
banyak faktor terutama temperatur lingkungan, frekuensi dan jumlah pakan, serta
tingkat aktivitas yang dialaminya. Umumnya ular berganti kulit 4-8 kali pertahun.
Ular muda yang sedang tumbuh mengalami pergantian kulit yang lebih sering,
terutama pada beberapa tahun pertama setelah menetas atau dilahirkan
(Ummas.edu 2006).
Hediger (1975) mengatakan proses molting ditandai dengan adanya
inaktifitas yaitu ular cenderung diam dan menolak makan, warna kulit kusam dan
spektakel yang memutih keruh. Molting yang normal terjadi ± 14 hari dan setelah
molting, warna kulit baru cerah dan berkilauan. Ular akan defekasi dan sangat
lapar sehingga nafsu makannya tinggi.

Pemanfaatan Satwa Ular
Herpetologist di universitas Massachusetts percaya bahwa manusia telah
mengeksploitasi ular sejak berabad-abad lalu untuk kebutuhan hidupnya
(Ummas.edu 2006). Beberapa negara timur khususnya China, menganggap
daging, darah, bisa dan empedu ular adalah obat berkhasiat tinggi. Bisa ular
dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit serius melalui pengenceran
beberapa ribu kali dan telah dibuktikan oleh para ahli pengobatan tradisional.
Sampai saat ini bisa ular digunakan untuk mencegah serangan jantung dan
stroke, serta membasmi kanker dan mengobati alergi berat (Dwiyono 2004).
Selain itu, kulit beberapa jenis ular memiliki ketebalan dan corak menarik yang
dianggap bernilai tinggi untuk dijadikan produk perhiasan, sepatu, tas, dompet,
hiasan dinding, dan pakaian. Semakin bergesernya anggapan sebagian
masyarakat terhadap ular dengan menganggap ular sebagai satwa eksotik yang
menarik, maka beberapa spesies satwa ini juga semakin banyak dijadikan hewan
peliharaan (Soehartono dan Mardiastuti 2003).
Pemanfaatan ini dijadikan peluang bagi para pengusaha untuk mengambil
keuntungan melalui perdagangan ular. Menurut Soehartono dan Mardiastuti
(2003), jumlah kulit mentah ular dan ular hidup yang diperdagangkan di seluruh
dunia mencapai ratusan ribu hingga jutaan pertahun. Negara pengimpor terbesar
spesies ular untuk dipelihara sebagai koleksi kebun binatang dan hewan
kesayangan dari Indonesia adalah Amerika dan Eropa sedangkan negara
pengimpor terbesar produk ular berupa daging dan obat-obatan adalah
Hongkong, China dan Taiwan.

Konsep Medik Konservasi
Medik konservsi lahir untuk menyatukan konsep kesehatan manusia dan
kesehatan hewan yang akhir-akhir ini menunjukan korelasi yang semakin berarti
(Weinhold 2003). Secara sederhana, manusia berinteraksi dengan lingkungan
untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi ini hampir selalu mengakibatkan
homeostasis

lingkungan

terganggu

dan

menimbulkan

perubahan

dalam

ekosistem. Salah satu tanda yang dapat dikenali akibat perubahan ekosistem
adalah mencuatnya suatu agen penyakit dari lingkungan, hewan, tumbuhan
maupun manusia.
Konsep medik konservasi adalah pendekatan baru ilmu konservasi yang
selama ini biasa dikaji melalui ilmu biologi dan kehutananan. Mencuatnya suatu
agen penyakit dari ekosistem salah satunya bersumber dari satwa yang sakit
karena

mengalami

ketidakseimbangan

homeostasis

tubuh.

Gangguan

homeostasis terjadi akibat adanya gangguan pada jumlah populasi, kondisi
habitat, ketersediaan pakan, serta perubahan lingkungan. Oleh karena itu, para
pelaku konservasi yang berlatar belakang ahli medis hewan mulai melakukan
pendekatan strategi konservasi satwaliar dari sudut pandang medis. Satwa yang
sehat akan menjalani aktivitasnya dengan normal, terutama aktivitas reproduksi
sebagai upaya untuk mempertahankan populasi.
Profesi dokter hewan didefinisikan sebagai orang yang mendapat
kualifikasi dan wewenang untuk mengatasi penyakit dan cedera pada hewan.

Gambar 1 Ruang lingkup medik konservasi. (Lelana 2004)

Dalam ruang lingkup medik konservasi (Gambar 1), tanggung jawab dan
wewenang dokter hewan menjadi lebih luas yaitu: tindakan pencegahan

(preventif) yang meliputi aspek manajemen pemeliharaan, higiene dan sanitasi;
penyembuhan (kuratif), yang meliputi tindakan pengurangan sakit dan penyakit
serta pemulihan; penanganan penyakit zoonosa yang berujung pada jaminan
kesehatan masyarakat; dan keberhasilan reproduksi di habitat buatan untuk
menurunkan tingkat eksploitasi dari alam dan mendukung program reintroduksi
sebagai upaya memantapkan kembali kestabilan ekosistem di habitat asli.
Peran dokter hewan dalam otoritas medik konservasi terwujud melalui
beberapa kontrol dalam penanganan satwa, yaitu kontrol fisiologi, kontrol
mikrobiologi, kontrol perilaku (behavior), kontrol genetik, kontrol reproduksi,
kontrol kualitas, dan kontrol adaptasi (Gambar 2).

Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran strategi medik konservasi. (Lelana 2004)

Medik konservasi berupa wujud dari serangkaian tindakan medik veteriner
berupa tindakan rehabilitatif, preventif, kuratif, dan promotif yang diterapkan
dalam menunjang program pelestarian satwaliar. Termasuk aspek sumberdaya
manusia dan alat-alat pendukung lain yang menunjang satwa dapat tetap hidup
secara normal dan sehat.
Dokter hewan dapat dianggap sebagai salah satu sumberdaya manusia
dalam bidang konservasi, diharapkan lewat konsep medik konservasi dan
pengembangan sumberdaya manusianya, efektifitas dan efisiensi konservasi
sebagai upaya pelestarian akan berkesinambungan dan lebih optimal (Gambar
3). Riki (2005) mengatakan, melalui pengetahuan dokter hewan terhadap
penyakit satwa, peranan dokter hewan sebagai pelaku medik konservasi menjadi
sangat penting dalam pelestarian satwa. Diagnosa berbagai jenis penyakit,
evaluasi kesehatan berkala, berbagai tindakan preventif, manajemen reproduksi

serta perbaikan nutrisi satwa yang ditangkarkan secara eksitu menjadi bagian
penting dalam konservasi satwa.

Upaya
pelestarian:
berkesinam
bungan

Konsep baru:
Strategi
medik
konservasi:

SDM: kualitas
& kuantitas

Gambar 3 Diagram efisiensi dan efektifitas upaya konservasi. (Lelana 2004)

Tinjauan dasar di atas merupakan abstraksi dari medik konservasi. Sesuai
dalam definisi medik konservasi menurut Lelana (2004) yaitu:
1. Segala urusan yang berhubungan dengan penanganan medik maupun
keterlibatan tenaga medik secara langsung atau tidak langsung dalam
program pelestarian satwa liar dan dampaknya terhadap lingkungan
hidup dan kesehatan manusia.
2. Merupakan salah satu strategi sistem kesehatan hewan nasional dalam
mengharmonikan

kesehatan

hewan,

masyarakat

dan

lingkungan.

(Pengganti UU No. 6/1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan)
3. Merupakan salah satu strategi dalam pelestarian spesies/ plasma nutfah
berikut habitatnya.

METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Studi kasus dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2007 s.d. 31 Juli 2007
di (1) Taman Margasatwa Ragunan, (2) CV. Terraria dan (3) Taman Safari
Indonesia Unit 1 Bogor. Penelusuran literatur dan pengumpulan informasi dari
berbagai pihak dilakukan selama 1 tahun, sejak September 2006 s.d. Agustus
2007.

Bahan dan Metode
Bahan terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dari
perpustakaan

maupun

melalui

observasi

di

lapangan,

wawancara,

dan

mempelajari data rekam medik (medical record). Wawancara petugas mencakup
kiper, teknisi medis, tenaga ahli (dokter hewan dan ahli biologi hewan) serta
pengelola penangkaran satwa. Materi wawancara lebih ditekankan pada aspek
medik konservasi dan implementasinya di lapangan. Hasil dari kegiatan ini
dianalisa dan dikonfirmasi dengan literatur yang telah ada
Informasi yang akan dikumpulkan diajukan dalam daftar pertanyaan
sebagai berikut:

Aspek Preventif
Manajemen Umum
1. Apakah sistem catatan untuk informasi siap untuk diperiksa setiap saat?
2. Apakah catatan itu menyediakan informasi yang cukup relevan dengan
pemeliharaan ular?
Manajemen Kandang
1. Apakah

kondisi

kandang

sedemikian

rupa

sehingga

tidak

ada

kemungkinan dapat mencelakai atau mencederai ular (material dan
konstruksi kandang, sirkulasi udara, pencahayaan, suhu dan kelembapan
serta ukuran)?
2. Apakah

fasilitas

kandang

dapat

memenuhi

kebutuhan

ular

mengekspresikan perilaku alami dan normalnya (bentuk tempat air dan
air untuk minum dan berendam; tempat berlindung, bak, lorong dan
semak-semak)?

3. Apakah semua bangunan dan perlengkapan termasuk peralatan listrik
yang terpasang tidak menimbulkan resiko atau tidak mengganggu
jalannya kegiatan operasional?
4. Apakah kandang yang dihuni beserta area yang berdampingan bebas
dari sampah dan peralatan?
5. Bagaimana pengaturan kebersihan kandang?
6. Apakah ukuran kandang disesuaikan dengan jumlah populasi ular yang
menghuni kandang tersebut?
7. Apakah pohon-pohon di dalam maupun di luar kandang dalam kondisi
aman?
8. Apakah

standar

kebersihan

kandang

dan

ruang

pengobatan

memuaskan?
9. Apakah semua kandang memiliki sistem saluran yang baik?
10. Apakah kandang karantina dilegalisir oleh pihak karantina hewan?
Manajemen Pakan dan Air
1. Apakah kuantitas dan kualitas pakan yang disediakan untuk ular sudah
memuaskan?
2. Apakah variasi jenis pakan untuk ular mendapat perhatian?
3. Bagaimana mengatur jadwal pemberian pakan?
4. Apakah penetapan menu pakan melibatkan ahli nutrisi ular (termasuk
dokter hewan)?
5. Darimana mendapatkan suplai pakan?
6. Bagaimana manajemen suplai pakan (pakan sehat, tidak sakit, dan tidak
membawa parasit atau agen infeksius lain)?
7. Apakah pakan diberikan dalam kondisi hidup, sehingga naluri ular untuk
memangsa tetap ada?
8. Apakah pakan yang diberikan diyakini dimakan oleh ular (terutama pada
kandang bersama)?
9. Darimana sumber air yang digunakan?
10. Apakah kebersihan dan kualitas air terkontrol sehingga bebas dari
kontaminasi bakteri, parasit dan agen infeksius lain serta zat kimiawi yang
terkandung di dalamnya?
11. Apakah kuantitas air yang diberikan diyakini mencukupi?
12. Bagaimana pengaturan penempatan air dalam kandang?

Manajemen Kesehatan Ular
1. Apakah kondisi fisik dan kesehatan ular di