Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung

PENGARUH LOKASI LAHAN GARAPAN TERHADAP
MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU
DI KABUPATEN TEMANGGUNG

DESLAKNYO WISNU HANJAGI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Lokasi Lahan
Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Deslaknyo Wisnu Hanjagi
NIM I34100067

ABSTRAK
DESLAKNYO WISNU HANJAGI. Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap
Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung). Dibimbing oleh
FREDIAN TONNY NASDIAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lokasi lahan garapan di
dataran tinggi dan dataran rendah terhadap moda produksi yang berkembang pada
masyarakat petani tembakau. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan
penelitian kuantitatif, yaitu penggunaan instrumen berupa kuisioner, dan
pendekatan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Hasil penelitian ini
memaparkan bahwa terjadi dominasi moda produksi kapitalis di daerah dataran
rendah, sedangkan dataran tinggi dominasi terjadi pada penggunaan moda
produksi komersil. Di dataran tinggi, moda produksi kapitalis juga sudah
digunakan oleh sebagian petani. Informasi yang diperoleh dari hasil studi kasus
menyatakan bahwa penggunaan moda produksi kapitalis semakin banyak

digunakan. Fakta ini menyimpulkan bahwa masyarakat petani tembakau di
dataran tinggi menggunakan moda produksi komersil dengan kecenderungan
kapitalis atau dapat disebut sebagai moda produksi prakapitalis. Perbedaan moda
produksi yang berkembang di dua daerah ini disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah pola pertanian dan orientasi produksi, tingkat pendidikan,
kebutuhan tenaga kerja, dan aksesibilitas pasar.
Kata kunci: lokasi lahan, moda produksi, tembakau.

ABSTRACT
DESLAKNYO WISNU HANJAGI. The Effect of Arable Land Locations to The
Tobacco Farmers Mode of Production in Temanggung Regency. Supervised by
FREDIAN TONNY NASDIAN.
This research aims to determine the effect of the arable land locations in the
highlands and lowlands to the mode of production that develops on tobacco
farming communities. This research was conducted using quantitative research
approach, namely the use of instruments such as questionnaires, and qualitative
research approach using case study method. These results explained that there are
dominations of the capitalist mode of production in the lowlands, while in the
highlands, the dominations occurred in the use of commercial mode of
production. In the highlands, the capitalist mode of production has also been used

by some farmers. Information obtained from the results of the case study states
that the use of the capitalist mode of production in highlands is being increasingly
used. This fact concludes that tobacco farming communities in the highlands
using commercial mode of production with capitalist tendencies or can be referred
to pre-capitalist mode of production. The differences between the mode of
productions that develops in the two locations is caused by several factors,
including the cultivation pattern and orientation of production, education level,
labor requirements, and market accessibility.
Keywords: location of land, mode of production, tobacco.

PENGARUH LOKASI LAHAN GARAPAN TERHADAP
MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU
DI KABUPATEN TEMANGGUNG

DESLAKNYO WISNU HANJAGI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi
Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung
: Deslaknyo Wisnu Hanjagi
: I34100067

Disetujui oleh


Ir Fredian Tonny Nasdian, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: ________________

Judul Skripsi
Nama
NIM

Pengalllh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi
Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung
Deslaknyo Wisnu Hanjagi
134100067

Disetujui oleh


Fredian Tonn Nasdian MS
Pembimbing

Tanggal Lulus:

2 0 JAN

2014

PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang masih
memberikan nikmat waktu yang bermanfaat bagi penulis sehingga skripsi dengan
judul “Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani
Tembakau di Kabupaten Temanggung“ dapat diselesaikan tanpa hambatan dan
masalah yang berarti. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan rasa teruma kasih kepada:
1. Bapak, Ibunda, dan Adik tercinta, sumber motivasi utama yang mendukung
segala sesuatu pilihan penulis, hingga dapat menjadi mahasiswa program

akselerasi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, dosen pembimbing yang telah banyak
mencurahkan waktu untuk membimbing penulis di sela-sela kesibukan beliau.
3. Dikti danKemendikbud yang telah memberikan beasiswa penuh selama
kuliah serta Direktorat Kemahasiswaan IPB yang telah membantu kelancaran
kuliah serta atas semangat dan motivasi untuk berprestasi.
4. Trio Macan (Mbak Maria, Mbak Icha, dan Mbak Dhini) serta Bu Lusi yang
selalu membantu penulis dalam urusan akademik selama menjadi mahasiswa.
5. BPH Forsia 1434 H, tim Ribath, dan seluruh pengurus yang selalu
memberikan semangat, motivasi, dan pengertian dalam kerja-kerja organisasi
dakwah di Fakultas Ekologi Manusia.
6. Sahabat AQSHO dan SABIL, teman bergerak dalam dakwah yang selalu
mendukung dan memberikan perhatian serta pengertian kepada penulis.
7. Rifqie, Hafizh, dan Ajron sahabat dan saudara tercinta dalam dekapan
ukhuwah yang selalu memberikan semangat dan motivasi untuk berkembang.
8. Hermin, Saefihim, Mila, dan seluruh keluarga SKPM 47, sahabat berbagi rasa
pahit dan manis selama belajar di IPB dan memberikan semangat untuk
memotivasi diri.
9. Ustadz Dr. Alfan Gunawan, M.Si, Ustadz Ery Kurnia W, A.Md, Ustadz
Angga Sutawijaya, S.Pi, Ustadz Dedi Mulyono, SP, Ustadz Dr. Ir. Rudi

Hartono, M.Si, dan Ustadz Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc beserta semua teman
satu halaqoh yang memberikan banyak semangat untuk segera menyelesaikan
dan mendahulukan tujuan akademik.
10. Penghuni kosan Badut, Andalusia 11, dan basecamp Bidik Misi, yang telah
memberikan semangat ruhiyah dan tempat menulis yang nyaman.
11. Praktikan Sosiologi Umum, Ilmu Penyuluhan, Pengantar Ilmu
Kependudukan, dan PAI yang memberikan kebersamaan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
12. Semua pihak yang telah memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan, dan
kerja sama selama ini.
Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan pembaca.
Bogor, Januari 2014
Deslaknyo Wisnu Hanjagi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Teknik Pengambilan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
PROFIL DESA
Kondisi Geografis
Kondisi Ekonomi
Kondisi Pendidikan
Struktur Sosial Masyarakat
Pola Kebudayaan Masyarakat

Pola-pola Adaptasi Ekologi Masyarakat
Ikhtisar
MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU
Kekuatan Produksi
Hubungan Sosial Produksi
Moda Produksi
Ikhtisar
FAKTOR-FAKTOR PEMBEDA MODA PRODUKSI
Dataran Rendah
Dataran Tinggi
Ikhtisar
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

vi
vi
vi
11 

11 





11 
11 
13 
13 
13 
14 
15 
16 
17 
17 
19 
20 
21 
23 
24 
25 
26 
27 
36 
40 
41 
44 
45 
49 
51 
53 
53 
53 
55 

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

57
69

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17

Perbandingan artikulasi moda produksi subsisten, komersial, dan
kapitalis
Jadwal pelaksanaan penelitian skripsi tahun 2013
Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari, Kecamatan Bulu
berdasarkan pekerjaan
Jumlah dan persentase penduduk angkatan kerja Kelurahan
Jampirejo, Kecamatan Temanggung berdasarkan pekerjaan
Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan
tingkat pendidikan 2013
Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Jampirejo
berdasarkan tingkat pendidikan 2013
Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan
agama 2013
Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Jampirejo
berdasarkan agama 2013
Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan
dan luas lahan garapan
Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan
dan status penguasaan lahan
Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan
dan status penguasaan alat produksi non-lahan
Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan
dan unit produksi
Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan
dan penggunaan hasil produksi
Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan
dan kekuatan produksi
Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan
dan hubungan sosial produksi
Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan
dan moda produksi
Perbandingan dataran rendah dan dataran tinggi berdasarkan
faktor-faktor pembeda moda produksi

8
13
19
20
20
21
22
22
27
29
30
33
34
36
37
40
51

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6

Kerangka pemikiran
Lokasi Desa Bansari
Lokasi Kelurahan Jampirejo
Grafik persentase luas penguasaan lahan garapan berdasarkan
lokasi lahan garapan
Grafik persentase status penguasaan lahan garapan berdasarkan
lokasi lahan garapan
Grafik persentase status penguasaan alat produksi non-lahan
berdasarkan lokasi lahan garapan

10
17
18
28
30
31

Gambar 7

Grafik persentase unit produksi petani tembakau menurut lokasi
lahan garapan
Gambar 8 Grafik persentase penggunaan hasil produksi tembakau menurut
lokasi lahan garapan
Gambar 9 Grafik persentase penggunaan kekuatan produksi tembakau
menurut lokasi lahan garapan
Gambar 10 Grafik persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan
hubungan sosial produksi
Gambar 11 Grafik persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan
moda produksi

34
35
36
38
41

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kerangka sampling
Lampiran 2 Tabel Anova hasill pengolahan data statistik
Lampiran 3 Kuisioner penelitian

57
63
65

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Transformasi sosial dan ekonomi di tengah perkembangan masyarakat
Indonesia terjadi sangat pesat. Pemerintah berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui proses rekayasa sosial seperti menggalakkan
transmigrasi pada periode setelah proklamasi. Program revolusi hijau yang
diwadahi dalam program BIMAS dimulai pada tahun 1967 dengan tahap pertama
meliputi penanaman bibit unggul di daerah Jawa juga dilakukan pada periode
pemerintahan orde baru. Selain itu, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian juga
digalakkan untuk meningkatkan produksi pertanian, terutama beras, dengan
sistem ekonomi pasar yang mulai dikenalkan kepada masyarakat petani di
pedesaan. Proses pengenalan ini selanjutnya mendorong masyarakat petani di
pedesaan yang sebelumnya subsisten, kemudian berusaha bertransformasi menjadi
kapitalis dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya keuntungan dari hasil
pertaniannya (Munthe 2007).
Pengarusutamaan perubahan sosial di masyarakat pedesaan semakin jelas
terlihat. Proses perubahan ini menghasilkan kemajuan fisik dan pertumbuhan
ekonomi yang sangat hebat, namun pada saat yang hampir bersamaan melahirkan
polarisasi yang tajam, yaitu orang kaya berjumlah sedikit di satu sisi, dan orang
yang melarat berjumlah banyak di sisi lain. Kesenjangan sosial mulai tampak jelas
dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Beberapa tradisi di masyarakat semakin
tergerus, seperti tradisi patron-client dan gotong royong. Permasalahan ini
menempatkan uang atau bentuk keuntungan lainnya sebagai tujuan utama. Jika
masuknya kapitalisme ke pedesaan dan transformasi yang terjadi hanya
diserahkan pada penetrasi pasar, maka diperkirakan akan memberikan gambaran
yang suram bagi masyarakat pedesaan (Pranadji dan Hastuti 2004).
Perubahan yang terjadi membuat perubahan pula pada jenis moda produksi
yang berkembang di masyarakat. Moda produksi dijelaskan oleh Shanin (Fadjar et
al. 2008a) adalah sebuah cara bagaimana masyarakat melakukan proses produksi,
sehingga moda produksi terdiri yang dari: (1) kekuatan produksi atau daya
produksi dan (2) hubungan sosial produksi akan membentuk posisi struktur sosial
dalam penguasaan kekuatan produksi. Kekuatan moda produksi di dalamnya
terdapat berbagai faktor seperti lahan, tenaga kerja, dan modal (jika dilihat dalam
kacamata kapitalis), sedangkan hubungan sosial mencakup faktor struktur sosial
dan pembagian peran dalam kegiatan produksi (seperti buruh dan majikan dalam
sistem kapitalis). Kahn (1999) mengelompokkan moda produksi yang
berkembang dalam masyarakat dalam tiga tipe, yaitu moda produksi subsisten,
komersil, dan kapitalis. Tiga tipe moda produksi ini kemudian saling memberikan
ciri khusus yang berbeda satu sama lain.
Perkembangan jenis moda produksi di masyarakat pedesaan juga
dipengaruhi oleh program yang diperkenalkan oleh pemerintah. Pada masyarakat
pedesaan yang berbeda lokasi, berbeda pula program pemerintah untuk
meningkatkan kapasitas petani sebagai bagian terbesar dari masyarakat pedesaan.

2
Tahun-tahun awal hingga pertengahan orde baru seperti yang telah dijelaskan
pada awal pendahuluan, pemerintah memberikan program khusus BIMAS hanya
kepada petani yang menanam padi. Padahal jika dilihat dari lokasi penanaman
padi, program ini kemudian terkonsentrasi pada lahan di daerah dataran rendah
hingga menengah. Lahan pertanian bukan padi di daerah dataran tinggi sama
sekali tidak tersentuh program pengembangan pangan nasional ini. Hal ini diduga
menjadi faktor penyebab perubahan moda produksi petani di daerah dataran
rendah sehingga terjadi perbedaan dengan moda produksi petani yang berada di
daerah dataran tinggi.
Sistem pertanian tembakau di Kabupaten Temanggung menggunakan sistem
satu musim tanam selama satu tahun. Di luar musim tanam tembakau, petani
menanam komoditas lain untuk menopang kehidupan mereka. Petani tembakau di
daerah dataran rendah menanam padi atau cabai, sedangkan petani tembakau di
daerah dataran tinggi menanam jagung atau palawija. Perbedaan jenis komoditas
lain yang ditanam ini disebabkan oleh ketersediaan fasilitas irigasi yang berbeda.
Jika ditinjau dari segi kultural, perbedaan mendasar dari sistem pertanian
tembakau antara dua daerah tersebut adalah pada penggunaan tenaga produksi dan
hubungan sosial produksi yang berkembang. Di daerah dataran tinggi, petani
tembakau masih menggunakan keluarga sebagai tenaga kerja. Berbeda jauh dari
masyarakat di dataran rendah, petani cenderung membayar buruh upah harian
sebagai tenaga kerja. Hubungan sosial kekeluargaan yang masih bertahan di
dataran tinggi di Kabupaten Temanggung membuat saling tergantungnya antara
petani pemilik lahan pertanian tembakau dengan petani pekerja yang membantu
menggarap lahan. Masih ada rasa guyub antara dua kelompok petani ini. Lain
halnya dengan petani tembakau di dataran rendah, bahkan mereka dapat tidak
mengenal siapa yang bekerja di lahan yang mereka punya. Perbedaan pengelolaan
juga terdapat pada mekanisme pengelolaan hasil tembakau. Mekanisasi
pengolahan yang mulai dikenal oleh petani membuat perbedaan kembali pada
jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat dua dataran ini.
Banyak penelitian telah meneliti jenis moda produksi yang berkembang di
daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Purnomo (2005) telah memetakan
perkembangan dan perubahan jenis moda produksi dalam masyarakat perkebunan
teh di daerah dataran tinggi di Kota Malang. Penelitian lain pula banyak
membahas tentang moda produksi yang berkembang dalam masyarakat petani
padi sawah di daerah dataran rendah, namun ada penelitian mengenai moda
produksi yang berkembang dalam masyarakat petani tembakau dan perbedaannya
antara daerah dataran rendah dengan dataran tinggi belum ditemukan, padahal
sejak zaman kolonial tembakau telah dikenal sebagai komoditas bernilai tinggi.
Oleh karena itu, penting untuk diteliti jenis-jenis moda produksi, perbedaan, dan
faktor yang mempengaruhinya pada komunitas petani tembakau di dua lokasi
lahan yang berbeda.

Rumusan Masalah
Tembakau sebagai komoditas bernilai tinggi sejak zaman kolonial telah
diusahakan oleh petani di Kabupaten Temanggung. Pengusahaan penanaman
tanaman ini dilakukan oleh petani dalam satu musim tanam setiap tahunya oleh

3
petani di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi di sekitar lereng Gunung
Sumbing dan Sindoro. Di luar musim tanam tembakau, petani memilih untuk
mengusahakan tanaman lainnya tergantung pada wilayah dan ketersediaan
fasilitas irigasi. Di daerah dataran rendah dengan fasilitas irigasi yang memadai,
petani memilih untuk menanam padi, sedangkan petani di daerah dataran tinggi
lebih memilih untuk menanam palawija dan jagung. Sama halnya dengan
masyarakat di daerah lain, semestinya masyarakat petani tembakau ini memiliki
kekhasan kenis moda produksi yang berkembang. Namun hingga saat ini, penulis
belum menemukan hasil penelitian yang memetakan jenis-jenis moda produksi
petani tembakau di dua dataran ini. Oleh karena itu, menarik bagi penulis
untuk menganalisis dan mengidentifikasi jenis-jenis moda produksi yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah
dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung.
Terdapat perbedaan hubungan sosial produksi dalam kehidupan
masyarakat petani tembakau di daerah dataran rendah dan dataran tinggi.
Perbedaan ini memicu munculnya perbedaan jenis moda produksi yang
berkembang. Hubungan sosial produksi yang lebih menekankan kekeluargaan di
daerah dataran tinggi sangat berbeda dengan hubungan sosial produksi di daerah
dataran rendah yang menghubungkan antara petani pemilik lahan dengan buruh
upah harian. Oleh karena itu, penting bagi penulis untuk menganalisis dan
mengidentifikasi perbedaan antara jenis-jenis moda produksi yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah
dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung.
Perbedaan yang terjadi sangat kontras jika dibandingkan, padahal jarak
tempuh daerah dataran rendah dan dataran tinggi di kabupaten ini tidak
membutuhkan waktu yang lama. Padahal, jika dipikirkan secara logika, seharunya
jenis moda produksi yang berkembang di dua daerah ini sama. Perbedaan ini
dipicu oleh beberapa faktor yang belum diidentifikasi hingga saat ini. Oleh
karena itu, penting bagi penulis untuk mengidentifiaksi faktor-faktor yang
mempengaruhi perbedaan jenis-jenis moda produksi antara petani
tembakau di daerah dataran rendah dan dataran tinggi di Kabupaten
Temanggung.

Tujuan Penelitian
1. Menganalisis dan mengidentifikasi jenis-jenis moda produksi yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah
dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung.
2. Menganalisis dan mengidentifikasi perbedaan antara jenis-jenis moda
produksi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau
antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten
Temanggung.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan jenis-jenis
moda produksi antara petani tembakau di daerah dataran rendah dan
dataran tinggi di Kabupaten Temanggung.

4
Kegunaan Penelitian
1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah
khasanah keilmuan mengenai perkembangan jenis moda produksi yang
berkembang di masyarakat petani tembakau, perbedaan antara masyarakat
petani tembakau di daerah dataran tinggi dan dataran rendah, serta faktorfaktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membuat
regulasi mengenai pola pengembangan masyarakat disesuaikan dengan
moda produksi masyarakat.
3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi
mengenai strategi-strategi ekonomi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan status ekonomi masyarakat.

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Perubahan Sosial
Kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat bukan merupakan
kehidupan yang statis, berjalan di tempat tanpa dinamika sosial dalam kegiatannya
berhubungan dengan orang lain sebagai fungsi dari status makhluk sosial yang
disandangnya (Soemardjan dan Soelaeman 1964). Kehidupan manusia yang terus
berubah akan memberikan perbedaan antara kehidupan di masa lalu, masa kini,
dan masa yang akan datang. Perubahan sosial yang terjadi akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat secara langsung, baik dalam kerangka analisis mikro
maupun makro.
Secara sederhana, perubahan sosial dapat diartikan sebagai proses yang
menyebabkan perbedaan dalam suatu sistem sosial yang dapat diukur dan terjadi
dalam kurun waktu tertentu (Mashud 2011). Pengertian ini juga disampaikan oleh
Sztompka (2011) yang mendefinisikan bahwa perubahan sosial dapat
dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi dalam atau mencakup sistem sosial,
lebih tepatnya terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka
waktu berlainan. Sistem sosial yang dimaksud adalah seluruh kegiatan antara
beberapa orang yang berhubungan timbal balik (Mashud 2011). Sistem sosial
selalu ada dalam sistem kehidupan masyarakat, sehingga perubahan sosial selalu
terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Definisi mengenai perubahan sosial yang
telah disampaikan mengerucutkan pada konsep dasar perubahan sosial yang
mencakup tiga gagasan, yaitu: (1) perbedaan, (2) pada waktu yang berbeda, dan
(3) di antara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka 2011). Perubahan sosial
sebagai sebuah peristiwa dapat dianalisis di berbagai tingkat kehidupan manusia
sebagai subjek perubahan, mulai dari level individu hingga level dunia.
Perubahan sosial dalam masyarakat dapat bergerak maju maupun mundur.
Secara lebih khusus, Sztompka (2011) memperlihatkan bahwa perubahan sosial
adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat.
Masyarakat pada hasil akhir perubahan sosial akan terlihat semakin kompleks dan
dinamis. Penyebab dari gerak perubahan ini berasal dari faktor internal dan
eksternal. Rahardjo (2004) mendefinisikan faktor internal dan eksternal dalam
sebuah konsep. Faktor internal terdiri dari pertambahan dan penyusutan
penduduk, penemuan-penemuan baru, dan konflik atau pemberontakan yang
terjadi dalam masyarakat itu sendiri, sedangkan faktor eksternal terdiri dari
peristiwa fisik (bencana-bencana alam yang besar), peperangan, dan kontak
dengan atau pengaruh dari kebudayaan lain.
Mashud (2011) dalam tulisannya mengenai perubahan sosial menjelaskan
mengenai mekanisme perubahan. Terdapat tiga perspektif penting sebagai sumber
dalam menjelaskan mekanisme secara benar, yaitu: (1) perspektif materialis, (2)
perspektif idealis, dan (3) perspektif mekanisme interaksional. Perspektif
materialis menempatkan budaya material (seperti teknologi) sebagai pendorong
utama mekanisme perubahan (Mashud 2011). Beberapa tokoh menyetujui
preposisi bahwa perilaku manusia mencerminkan perkembangan teknologi dan

6
ekonominya (Lauer dalam Mashud 2011). Preposisi ini menempatkan teknologi
dan ekonomi sebagai sumber perubahan yang mempengaruhi perilaku masyarakat.
Pengaruh yang kuat dari teknologi dan ekonomi disebabkan oleh nilai yang
dibawa dua sumber perubahan ini. Teknologi yang terus berkembang mengubah
masyarakat sama sekali baru, sangat berbeda dengan masyarakat pada waktu
lampau. Teknologi mempengaruhi perubahan melalui dua cara, yaitu
meningkatkan alternatif-alternatif baru bagi masyarakat, mengubah pola interaksi,
dan menimbulkan konflik yang membawa permasalahan baru (Lauer dalam
Mashud 2011). Dalam perspektif ini kemudia dikenal istilah cultural lag atau
ketertinggalan budaya, yaitu ketika masyarakat tidak dapat mengikuti perubahan
teknologi yang terjadi.
Perspektif ideologi merupakan lawan dari perspektif material. Perspektif
ideologi menjelaskan bahwa perubahan sosial justru bermula dari ide (Mashud
2011). Ide yang muncul dalam masyarakat akan mengubah interaksi sosial
antarmasyarakat di dalamnya. Sebagai contoh adalah agama sebagai ide secara
umum. Konsep etika protestan yang diangkat oleh Weber menjelaskan bahwa
kehidupan beragama kaum protestanis mendorong mereka mencari sebanyakbanyaknya modal kapital untuk kehidupannya (Sudrajat 1994). Kapitalisme mulai
berkembang dengan adanya ide dalam norma yang ada pada masyarakat protestan.
Perspektif ketiga, yaitu perspektif mekanisme interaksional menjelaskan
bahwa perubahan sosial adalah hasil dari dinamisasi proses sosial dalam
masyarakat (Mashud 2011). Proses sosial di dalam masyarakat terdiri dari proses
sosial yang asosiatif dan disosiatif. Proses asosiatif akan mendekatkan
antaranggota masyarakat dalam proses berinteraksi, sedangkan proses disosiatif
sebaliknya. Proses asosiatif setidaknya ditunjukkan dengan kerjasama hingga
terjadinya asimilasi dan akomodasi antarmasyarakat, sedangkan proses disosiatif
mensyaratkan adanya konflik dan kompetisi.
Dalam menganalisis permasalahan perubahan sosial di masyarakat desa,
perubahan terjadi dalam dua dimensi besar, yaitu dimensi kultural dan dimensi
struktural (Raharjo 2004). Secara garis besar, perubahan masyarakat desa pada
dua dimensi ini merujuk pada akibat sistem ekonomi uang dan modernisasi,
sehingga terjadi pergeseran sektor pekerjaan masyarakat desa. Penjelasan dari dua
dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dimensi Kultural
Perubahan pada dimensi kultural atau kebudayaan adalah
perubahan kebudayaan masyarakat pedesaan dari pola tradisional menjadi
bersifat modern (Raharjo 2004). Raharjo (2004) juga menjelaskan bahwa
ada dua penyebab perubahan dalam dimensi ini, yaitu semakin
meningkatnya jumlah penduduk dan semakin masuknya sisten ekonomi
uang (kapitalisme modern). Meningkatnya jumlah penduduk berhubungan
dengan ketersedian lahan bagi masyarakat desa yang bekerja di sektor
pertanian. Semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin sempit lahan
yang dimiliki oleh masyarakat untuk kemudian digarap menjadi lahan
pertanian. Semakin sempitnya lahan pertanian memaksa masyarakat desa
untuk beralih ke sektor selain pertanian karena sektor pertanian dengan
lahan sempit bahkan tanpa lahan tidak akan meningkatkan tingkat
pendapatan mereka. Masyarakat desa kemudian beralih ke sektor industri
dan jasa yang notabene merupakan bentuk dari perwajahan modernisasi.

7
Semakin masuknya sistem ekonomi uang (kapitalisme modern)
membuat orientasi produksi petani berubah, dari yang awalnya subsisten
kini menjadi komersil. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
disampaikan oleh Pranadji (2004) yang menjelaskan tentang transformasi
ekonomi pertanian yang berciri budaya agribisnis tradisional atau
subsisten ke agribisnis modern atau komersial disebabkan oleh respon dan
antisipasi terhadap tuntutan kemajuan untuk hidup lebih baik dalam
globalisasi pasar atau sistem ekonomi uang. Tidak sebatas pada perubahan
orientasi produksi petani, namun masyarakat akan menganggap bahwa
sektor pertanian kemudian tidak dapat diandalkan untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Masyarakat dituntut untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dengan mekanisme uang secara terus menerus, sedangkan hasil
pertanian hanya didapatkan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini
menyebabkan masyarakat desa cenderung beralih kepada sektor lain yang
dapat memberikan hasil setiap hari. Masuknya sistem ekonomi uang juga
memacu tingkat adopsi teknologi. Derasnya arus informasi melalui
teknologi membuat perubahan secara kultural masyarakat desa yang
kemudian beralih menganut mazhab kehidupan kota.
b. Dimensi Struktural
Perubahan pada dimensi struktural sangat erat kaitannya dengan
mekanisme penguasaan lahan sebagai salah satu moda produksi pertanian
di desa. Perubahan sistem penguasaan lahan di desa menjadi corong bagi
polarisasi struktur kehidupan masyarakat semakin kuat. Fadjar et al.
(2008b) dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa polarisasi terjadi
dan melahirkan bentuk stratifikasi masyarakat baru, yaitu status tunggal
(pemilik, penggarap, dan buruh tani) dan status kombinasi (petani pemilik
+ penggarap, pemilik + penggarap + buruh tani, pemilik + buruh tani, dan
penggarap + buruh tani). Masyarakat desa pada awalnya merupakan
kelompok yang berdiam secara komunal dan cenderung egaliter kemudian
berubah menjadi masyarakat dengan pengelasan sosial yang nyata.
Struktur masyarakat desa yang berubah menjadi semakin kompleks
merupakan akibat dari sistem ekonomi uang yang berkembang.
Raharjo (2004) berpendapat bahwa gejala pecahnya desa sebagai
suatu unit kesatuan komunitas kecil seiring dengan perkembangan yang
terjadi perlu mendapatkan perhatian lebih. Masyarakat desa semakin lama
akan berubah menjadi masyarakat yang individualis, menyesuaikan
dengan perkembangan modernisasi yang melanda desa. Kajian penting
yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana memurnikan kembali
struktur sosial di masyarakat pedesaan seperti semula, namun bukan hanya
tertuju pada sektor pertanian, akan tetapi pada sektor lain seperti industri
dan jasa.

Moda Produksi
Shanin (Fadjar et al. 2008a) mendefinisikan moda produksi sebagai
sebuah cara bagaimana masyarakat melakukan proses produksi, sehingga moda
produksi terdiri dari: (1) kekuatan atau daya produksi; (2) hubungan sosial

8
produksi yang akan membentuk posisi superior atau subordinat sehingga
hubungan sosial yang berjalan akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan
kekuatan produksi. Dua hal ini saling bergantung satu sama lain. Hingga saat ini
menurut pengalaman empiris dan dari berbagai sumber pustaka, moda produksi di
wilayah pedesaan telah, sedang, atau bahkan akan bertransformasi dari moda
produksi nonkapitalis menjadi moda produksi kapitalis karena pengaruh sistem
ekonomi uang. Sebagai contoh penelitian di suku Bajo (Wianti et al. 2012)
menunjukkan masyarakat yang pada awalnya menggunakan sistem ekonomi
subsisten yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindah-pindah,
penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan
keluarganya, kemudian berubah menjadi masyarakat yang cenderung kapitalis
akibat masuknya modernisasi yang membawa sistem ekonomi uang atau pasar.
Sjaf (2006) menyarikan hasil penelitian Kahn dalam Sitorus (1999)
mengenai artikulasi tiga moda produksi yaitu subsisten, komersial, dan kapitalis
dalam sebuah matriks sebagai berikut:
Tabel 1

Perbandingan artikulasi moda produksi subsisten, komersial, dan
kapitalis

Moda Produksi
Subsisten

Komersil

Kapitalis

Artikulasi Moda Produksi
Kekuatan Produksi
Hubungan Produksi
Tanah sebagai alat
Terbatas keluarga inti,
produksi, keluarga
hubungan antara
sebagai unit produksi,
pekerja bersifat
anggota
egaliter.
keluarga/kerabat
sebagai tenaga kerja
utama (buruh upahan
langka), dan padi
sebagai produk utama.
Tanah dan non-lahan
Hadirnya gejala
sebagai alat produksi,
eksploitasi suplus
individu sebagai unit
melalui ikatan kerabat
produksi, individu
dekat, hubungan sosial
dan anggota keluarga
antara pekerja bersifat
sebagai tenaga kerja
egaliter, tetapi
utama (buruh upahan
kompetitf (dimana
langka), dan komoditi
pekerja memiliki hasil
ekspor/konsumsi
kerjanya untuk
lokal sebagai produk
dipertukarkan sebagai
utama.
komoditi).
Modal sebagai alat
Majikan-buruh, dimana
produksi, perusahaan
majikan sebagai
sebagai unit produksi,
pemilik modal
buruh upahan sebagai
sedangkan buruh tidak
tenaga kerja utama,
memiliki alat produksi
dan komoditi
(kecuali menjual tenaga
ekspor/konsumsi
yang menghasilkan
domestik sebagai
nilai), surplus nilai
produk utama.
diserap pemilik modal.

Orientasi
Usaha Subsisten

Pasar

Pasar

9
Tiga tipe moda produksi yang ada dalam mayarakat ini kemudian dapat
saling bertransformasi menjadi moda produksi yang lainnya secara linear maupun
siklikal.
Transformasi moda produksi ini menyebabkan perubahan sosial pada
dimensi kultural maupun struktural. Transformasi moda produksi menjadi lebih
modern dengan sistem pembagian kerja yang spesifik dan beraneka ragam
memungkinkan terjadinya penumpukan surplus produksi, sehingga dapat
menimbulkan pola hubungan memeras terhadap para massa pemproduksi oleh
pemilik modal (Giddens 1986). Istilah yang lazim digunakan adalah kekuasaan
kelas. Munculnya kelas sosial yang dominan terhadap kelas sosial lain yang lebih
besar berakibat pada ketimpangan terhadap akses sumber daya. Hal ini dapat
memicu terjadinya konflik antarkelas. Ini terjadi pada tipe moda produksi
komersil dan kapitalis. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul (1992) memberikan
contoh nyata tentang kondisi ini. Penelitian itu mengungkapkan bahwa
transformasi moda produksi yaitu pembangunan perkebunan di daerah penelitian,
seperti yang difasilitasi oleh kebijakan negara dan kekuatan internal, telah
mengakibatkan konsentrasi penguasaan tanah di tangan beberapa kapitalis,
perampasan tanah antara Maguidanaons, dan munculnya persewaan dan sistem
upah. Hal ini disertai dengan perubahan pada organisasi sosial desa dan
munculnya bentuk baru dari bentuk kelas sehingga menimbulkan konflik.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Purnomo (2005) menyimpulkan bahwa
moda-moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial
hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang
berasal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh
oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi
moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa
banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal daripada internal sistem sosial.
Dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa ke masa didominasi oleh moda
produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi
lokal berangsur-angsur memudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama
sekali. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat pegunungan di Jawa dengan
komoditas utama tanaman teh dalam sektor perkebunan yang telah diusahakan
sejak zaman kolonial. Kemiripan lokasi dan komoditas yang diusahakan oleh
subjek penelitian ini dapat menjadi acuan untuk menentukan moda produksi yang
berkembang pada petani tembakau di daerah pegunungan di Kabupaten
Temanggung, dilihat dari dua sisi lokasi yaitu dataran rendah dan dataran tinggi.
Perubahan terhadap kelembagaan moda produksi menimbulkan banyak
konflik jika tidak terdapat keadilan dalam mendapatkan kesejahteraan bagi
masyarakat. Dominasi kelas jelas sangat terlihat di dalam kelembagaan moda
produksi yang bersifat kapitalis. Minimalisasi dampak negatif transformasi
kelembagaan moda produksi harus dilakukan dengan memberikan kesejahteraan
lebih kepada masyarakat dan membantu masyarakat dalam mengelola masingmasing moda produksi yang mereka miliki. Upaya ini dapat dilakukan dengan
efektif apabila terjalin kerjasama yang baik dari masyarakat dengan pihak yang
membantu sehingga terjalin sebuah pola kolaborasi partnership yang mapan dan
tidak saling merugikan.

10
Kerangka Pemikiran

Moda Produksi
Kapitalis Dari Luar

Program Intensifikasi
Pertanian

X. LOKASI
Dataran Tinggi

Dataran Rendah

Usaha Produksi Pertanian

Y. MODA PRODUKSI

Kekuatan Produksi

Hubungan Sosial
Produksi

: Saling berhubungan
: Berpengaruh pada
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Pertanian tembakau di Kabupaten Temanggung mempunyai peran penting
dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Perkembangan komoditas ini dimulai
sejak zaman kolonial Belanda yang secara langsung mengenalkan tembakau
sebagai tanaman perkebunan yang banyak dibutuhkan oleh pasar Eropa dan
Amerika. Petani tembakau di Kabupaten Temanggung menggunakan sistem
penanaman satu musim setiap tahunnya. Hal ini disebabkan tembakau hanya bisa
diproduksi dengan baik ketika musim kemarau. Di luar pengusahaan tembakau
sebagai komoditas pertanian, petani kemudian menanam komoditas lain sesuai
dengan kondisi lingkungan dan ketersediaan fasilitas irigasi. Hal ini diperkuat
juga dengan perbedaan lokasi pengusahaan komoditas, yaitu daerah dataran
rendah dan dataran tinggi. Daerah dataran rendah biasanya ditanami dengan

11
komoditas padi. Komoditas pangan ini ditanam sebagai selingan dari komoditas
tembakau karena fasilitas irigasi yang memadai. Ditanamnya komoditas padi di
lahan sawah dataran rendah menyebabkan program intensifikasi pertanian juga
dirasakan oleh masyarakat di daerah dataran rendah. Berbeda dengan dataran
tinggi yang setiap musim tanam selain tembakau masyarakat petani menanam
tanaman pangan yang tidak banyak membutuhkan banyak air sebab kondisi
fasilitas irigasi yang tidak memadai. Perbedaan cara pengelolaan lahan ini,
ditambah fenomena masyarakat daerah dataran rendah dengan program
intensifikasi pertanian dalam jangkauan BIMAS, membuat perbedaan dalam jenis
moda produksi yang berkembang di masyarakat. Sentuhan moda produksi dari
luar juga mewarnai jenis-jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat.
Penelitian ini akan memetakan jenis-jenis moda produksi petani tembakau di dua
lokasi, yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Peneliti akan melihat perbedaan
jenis moda produksi di antara dua masyarakat petani tembakau ini dan faktor
menyebabkan terjadinya perbedaan.

Hipotesis Penelitian
1. Moda produksi yang berkembang di daerah dataran tinggi akan berbeda
dengan moda produksi yang berkembang di daerah dataran rendah.
2. Bersentuhannya moda produksi lokal di dua lokasi penelitian dengan
moda produksi dari luar akan menimbulkan dominasi penggunaan moda
produksi dari luar yang dikenalkan kepada masyarakat.

Definisi Operasional
X. Lokasi lahan didefinisikan sebagai lokasi lahan garapan petani tembakau
ditentukan dari ketinggian di atas permukaan laut. Lokasi lahan dikelompokkan
dalam dua kategori, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Kategori dataran
tinggi didefinisikan sebagai lokasi lahan pertanian tembakau yang tidak dapat
ditanami komoditas padi sebagai komoditas sampingan sebelum musim kemarau
tiba untuk kembali menanam tembakau. Sedangkan dataran rendah adalah lokasi
lahan pertanian tembakau yang dapat ditanami komoditas tanaman padi sebagai
komoditas sampingan sebelum musim kemarau tiba untuk kembali menanam
tembakau. Dalam analisis data, lokasi lahan di dataran rendah diberikan skor 1,
sedangkan lokasi lahan di dataran tinggi diberikan skor 2.
Y. Moda produksi merupakan sebuah cara bagaimana masyarakat melakukan
proses produksi yang akan dikelompokkan menjadi moda produksi subsisten,
komersial, atau kapitalis. Jenis moda produksi dapat ditentukan menggunakan dua
variabel, yaitu kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi.
Y.1 Kekuatan produksi dapat diukur menggunakan luas lahan garapan,
status penguasaan lahan, penguasaan alat produksi non-lahan, unit
produksi, dan penggunaan hasil produksi. Jawaban pertanyaan
penelitian akan diberi skor menggunakan tiga pilihan jawaban yang

12
masing-masing jawaban mengacu pada setiap jenis moda produksi,
yaitu subsisten, komersial, dan kapitalis.
1. Luas lahan garapan ditentukan dengan kategori sempit (0-0,5
ha), sedang (0,5-1 ha), dan luas (>1 ha).
2. Status penguasaan lahan ditentukan dengan pertanyaan
langsung dengan kategori keluarga besar (skor 1), keluarga
kecil (skor 2), dan penggarap (skor 3).
3. Penguasaan alat produksi non-lahan ditentukan dengan
pertanyaam langsung dengan kategori keluarga besar (skor 34), keluarga kecil (skor 5-7), dan juragan (skor 8-9).
4. Unit produksi ditentukan dengan pertanyaan langsung dengan
kategori keluarga sendiri (skor 7-10), tetangga dekat (skor 1117), dan buruh harian (skor 18-21).
5. Penggunaan hasil produksi ditentukan dengan pertanyaan
langsung dengan kategori konsumsi sendiri (skor 1), konsumsi
pengusaha lokal (skor 2), dan konsumsi perusahaan (skor 3).
Masing-masing kategori kemudian diberikan skor 1-3 untuk
menentukan jenis kekuatan produksi yang digunakan. Skor 1
diberikan untuk kategori sempit, keluarga besar, keluarga sendiri,
dan konsumsi sendiri. Skor 2 diberikan untuk kategori sedang,
keluarga kecil, tetangga dekat, dan konsumsi pengusaha lokal.
skor 3 diberikan untuk kategori luas, penggarap, juragan, buruh
harian, dan konsumsi perusahaan. Untuk menentukan jenis
kekuatan produksi yang digunakan maka dibuah kategori dari
kumulatif skor masing-masing variabel, yaitu kategori subsisten
(skor 12-19), kategori komersil (skor 20-28), dan kategori
kapitalis (skor 29-36).
Y.2 Hubungan sosial produksi dapat diukur dengan pola hubungan
antarpekerja dalam kegiatan produksi masyarakat. Jawaban
pertanyaan penelitian akan diberi skor menggunakan tiga pilihan
jawaban yang masing-masing jawaban mengacu pada setiap jenis
moda produksi, yaitu subsisten, komersial, dan kapitalis. Pemberian
kategori ditentukan oleh skor kumulatif dari masing masing jawaban,
yaitu subsisten (skor 5-7), komersil (skor 8-12), dan kapitalis (skor 1315).

13

PENDEKATAN LAPANGAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
 

Penelitian mengenai moda produksi masyarakat petani tembakau di
Kabupaten Temanggung dilakukan di dua tempat yang berbeda, yaitu Desa
Bansari, Kecamatan Bulu sebagai desa contoh dari daerah dataran tinggi dan
Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung sebagai desa contoh dari daerah
dataran rendah. Pemilihan tempat di dua desa ini dilakukan secara sengaja oleh
penulis dengan pertimbangan akses dan kedekatan penulis dengan masyarakat.
Penulis berasumsi akan mendapatkan kemudahan dalam menggali informasi
mengenai moda produksi yang berkembang di masyarakat karena penulis telah
menjadi bagian dari komunitas petani tembakau di dua desa tersebut.
Kegiatan penelitian ini berlangsung dari bulan Juni hingga Januari 2013
yang meliputi kegiatan penyusunan proposal penelitian, kolokium untuk
memaparkan proposal penelitian, studi lapangan, penyusunan dan penulisan
laporan, ujian skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Kegiatan dan waktu
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jadwal pelaksanaan penelitian skripsi tahun 2013
Kegiatan
Penyusunan
proposal skripsi
Kolokium
Perbaikan
proposal
penelitian
Pengambilan data
lapangan
Pengolahan data
dan analisis data
Penulisan
draft
skripsi
Sidang skripsi

Juni

September

Oktober

November

Desember

Januari

Perbaikan
skripsi

Metode Penelitian
 

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif
dengan strategi studi kasus didukung dengan metode kuantitatif menggunakan
instrumen kuisioner. Strategi studi kasus dipilih karena dapat menjelaskan
fenomena sosial secara lebih mendalam (Babie 2004). Stake (1995) menjelaskan
bahwa strategi studi kasus dalam metode penelitian kualitatif terdiri dari dua jenis,
yaitu intrinsik dan instrumental. Studi kasus intrinsik menunjuk pada penelitian
dimana objek telah ada dan ditentukan, sedangkan studi kasus instrumental
digunakan pada penelitian dengan pertanyaan penelitian dibangun dari rumusan
masalah, sehingga perlu dipilih kasus tertentu untuk dianalisis. Dengan demikian,

14
karena pertanyaan penelitian ini dibangun secara jelas dari rumusan masalah
mengenai moda produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau pada
dua daerah dataran yang berbeda untuk menganalisis fakta-fakta sosial, maka
penelitian ini dapat dikategorikan dalam strategi studi kasus instrumental. Pada
pendekatan kuantitatif, peneliti menggunakan metode penelitian survai dengan
mengambil contoh dari populasi masyarakat. Instrumen yang digunakan dalam
metode ini adalah kuisioner yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian dan
studi data sekunder dokumen terkait. Penelitian ini bertujuan menjelaskan
hubungan antarvariabel yang ada di dalamnya melalui uji hipotesa. Variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lokasi lahan dan jenis moda
produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau tersebut.
 

Teknik Pengambilan Informan
Sumber data pada penelitian ini menggunakan informasi yang berasal dari
informan (subjek kasus) sebagai subjek penelitian. Informan merupakan pihak
yang dianggap penting karena dapat memberikan keterangan mengenai dirinya
sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Informan yang dipilih pada
penelitian ini adalah disesuaikan dengan poin-poin kasus yang diangkat.
Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai
kehidupan sosial masyarakat dan perubahan yang telah terjadi dalam kaitannya
dengan moda produksi masyarakat petani tembakau dari masa ke masa. Informan
ditentukan menggunakan metode snowball sampling untuk mengetahui informasi
yang banyak dan akurat.
Pada penelitian yang dilakukan di Desa Bansari sebagai representasi dari
dataran tinggi, sebanyak lima orang informan kunci didapatkan untuk mencari
informasi mengenai praktik moda produksi di daerah ini. Penentuan informan
pertama kali dilakukan ketika pelaksanaan wawancara menggunakan instrumen
kuisioner untuk melengkapi data kuantitatif dengan cara menanyakan kepada
responden terpilih secara acak mengenai informasi orang yang dapat memberikan
informasi secara akurat. Informan pertama yang didapatkan adalan Bapak EKO,
Kepala Dusun Dari, Desa Bansari. Dari informan pertama kemudian diperoleh
informasi mengenai informan selanjutnya yang dapat memberikan informasi lebih
banyak, yaitu Bapak PNS, petani tembakau dan mantan anggota BPD Bansari
yang merupakan tetua desa dan menjadi rujukan setiap ada kegiatan masyarakat di
desa tersebut. Informasi banyak didapatkan dari informan kedua ini. Informan
kedua mengusulkan untuk menggali informasi mengenai pendidikan dari Bapak
SYM, petani tembakau yang juga menjadi guru dan ketua beberapa LSM.
Selanjutnya untuk mengetahui perkembangan moda produksi yang
digunakan oleh petani besar atau juragan, informan kedua mengusulkan untuk
menggali informasi kepada Bapak MJN, juragan tembakau terbesar di Desa
Bansari. Setelah menggali informasi kepada informan keempat, kemudian
informasi mengenai hubungan sosial produksi secara lebih lengkap pada petani
besar atau juragan ditanyakan kepada informan terakhir, yaitu Ibu WSN, istri
juragan tembakau. Dari informan terakhir ini diperoleh informasi mengenai
hubungan sosial produksi secara lengkap sebagai bahan untuk menyimpulkan
moda produksi yang dominan digunakan.

15
Pada penelitian yang dilakukan di Kelurahan Jampirejo sebagai representasi
dari dataran rendah, informan juga didapatkan setelah melakukan wawancara
kepada responden terpilih secara acak untuk melengkapi data kuantitatif. Dari
hasil wawancara tersebut, didapatkan informasi bahwa informan yang pertama
kali dapat dihubungi adalah Ibu MSN, istri Ketua Gabungan Kelompok Tani. Ibu
MSN dipilih karena dianggap memiliki informasi sama seperti suaminya, Ketua
Gabungan Kelompok Tani, mengenai kehidupan masyarakat petani tembakau di
daerah ini. Selain itu informan yang juga ditemui adalah Bapak BBS, ketua
Gabungan Kelompok Tani. Dari informan pertama dan kedua, diketahui bahwa
informasi secara lengkap dapat diperoleh dari Bapak SKN, petani tembakau dan
pensiunan PNS. Bapak SKN adalah tetua desa dan ketua salah satu kelompok tani
di desa ini. Informasi secara lengkap diperoleh dari hasil wawancara terhadap
Bapak SKN. Informan terakhir yang diperoleh adalah Ibu NKI, istri juragan
tembakau, untuk mengetahui kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi
secara lebih rinci pada petani besar atau juragan. Pemilihan Ibu NKI ini
didasarkan pada usulan yang diberikan oleh Bapak SKN.

Teknik Pengumpulan Data
Sumber data pada penelitian ini menggunakan informasi yang berasal dari
informan dan responden sebagai subyek penelitian. Informan merupakan pihak
yang dianggap penting karena dapat memberikan keterangan mengenai dirinya
sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Informan yang dipilih pada
penelitian ini adalah aparatur desa, juragan tembakau, dan tokoh masyarakat
setempat. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas
mengenai moda produksi yang berkembang di masyarakat. Sedangkan responden
adalah orang yang dipilih dalam populasi untuk mewakili data dari seluruh
populasi. Dalam penelitian ini, informan akan difokuskan untuk melengkapi data
pada pendekatan kualitatif dan responden akan difokuskan untuk melengkapi data
pada pendekatan kuantitatif.
Pendekatan metode kuantitatif dilakukan menggunakan unit analisa adalah
individu petani tembakau. Unit observasi adalah individu petani tembakau dengan
asumsi dia mengetahui keadaannya dan keluarganya. Sebanyak 30 responden
diambil dari seluruh populasi (2.370 jiwa) di Desa Bansari sebagai representasi
dataran tinggi, dan sebanyak 15 responden diambil dari seluruh populasi (199
jiwa) di Kelurahan Jampirejo. Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Jampirejo
difokuskan pada kawasan Dusun Nglarangan karena petani tembakau
terkonsentrasi di daerah ini. Keterangan mengenai kerangka sampling dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Jumlah responden ini ditentukan dengan harapan dapat merepresentasikan
seluruh populasi yang ada. Perbedaan jumlah responden yang dipilih antara
dataran tinggi dan dataran rendah dilakukan karena jumlah populasi yang berbeda
di dua daerah penelitian tersebut. Pemilihan responden dilakukan dengan
menggunakan metode simple random sampling sebab masyarakat dianggap
mempunyai status yang setara.

16
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Terdapat dua data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kualitatif dan
data kuantitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan secara tiga tahap, yaitu
reduksi data, penyaj