Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah

KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP
SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI,
TEMANGGUNG

ALFIANA RACHMAWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ketergantungan Petani
Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Alfiana Rachmwati
NIM I34090006

ABSTRAK
ALFIANA RACHMAWATI. Ketergantungan Petani Tembakau terhadap Sistem
Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggun. Dibimbing oleh HERU
PURWANDARI.
Kemitraan adalah kerjasama yang dilakukan oleh petani tembakau dan
pabrik rokok. Sosialisasi adalah salah satu bagian dari sistem kemitraan. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
hubungan
kemitraan
menimbulkan
ketergantungan petani terhadap pihak mitra. Ketergantungan tersebut membuat
petani sulit mengakses sumberdaya teknologi, finansial, dan pasar. Pada akhirnya,

petani tembakau memilih tidak bermitra dan bekerjasama dengan tengkulak. Saat
ini, petani lebih mudah mengakses kebutuhan produksi tembakau. Selain itu,
petani juga memiliki posisi tawar yang lebih tinggi saat tidak bermitra dengan
pabrik rokok.
Kata kunci: Kemitraan, Ketergantungan, Sosialisasi, Tingkat Akses

ABSTRACT
ALFIANA RACHMAWATI. Dependency Of Tobacco Farmers in Company
Partnership System in Bansari Village, Temanggung. Supervised by HERU
PURWANDARI.
Partnership system is a collaboration by tobacco farmers and cigarette factory.
Socialization is one of part in partnership system. The result showed that
partnership system can raise the dependence of farmers on the partner. That
dependence will make it difficult for farmers to access technological, financial,
and market resources. Finally, the farmers choose to not partnering and make a
collaboration with middleman. Currently, the farmers get easier to access tobacco
production needs. In addition, the farmers also have higher bargaining position
when not partnered with cigarette factory
Keywords: Access Level, Dependency, Partnership, Socialization


KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP
SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI,
TEMANGGUNG

ALFIANA RACHMAWATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan
Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah
Nama

: Alfiana Rachmawati
NIM
: I34090006

Disetujui oleh

Heru Purwandari, SP, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan
Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah
: Alfiana Rachmawati
Nama

NIM
: 134090006

Disetujui oleh

Hem Purwandari, SP, M.Si
Pembimbing

Tanggal Lulus:

2 7 DEC 2013

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah
ketergantungan, dengan judul Ketergantungan Petani Terhadap Sistem Kemitraan
Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi
syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih dan rasa hormat yang mendalam penulis ucapkan kepada Ibu
Heru Purwandari selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak
masukan, dukungan, dan selalu sabar membimbing penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih mendalam juga penulis sampaikan untuk Bapak Rilus A.
Kinseng selaku dosen penguji utama, dan Ibu Anna Fatchiya selaku dosen penguji
akademik, yang telah memberi masukan selama proses ujian skripsi. Terima kasih
untuk Bapak Zainal selaku Kepala Desa Bansari, Bapak Rofi’i selaku Kepala
Dusun Banaran dan seluruh warga Dusun Banaran, Bansari yang telah membantu
dan menerima penulis dengan sangat baik selama proses pengambilan data lapang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta, ayahanda Alwi
Romadlon, ibunda Afifah Nurhayati, Adik Alfian Hamam Akbar yang telah
memberikan doa, kasih sayang, serta dukungan yang besar kepada penulis. Tidak
lupa kepada teman satu bimbingan, Firda Emiria Utami dan Yanitha Rahmasari
yang telah banyak membantu, memberikan kritik dan saran untuk menyelesaikan
skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman
di SKPM 46, BEM KM IPB 2013 “Kreasi Untuk Negeri”, dan KOMINFO BEM
KM IPB 2013 yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi dan bertukar opini
serta pemberi semangat dengan sukarela. Akhir kata semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat bagi banyak pihak yang telah membacanya.


Bogor, Januari 2014
Alfiana Rachmawati
NIM I34090006

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

ix

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3


PENDEKATAN TEORITIS

5

Pola-Pola Kemitraan

5

Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan

6

Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk

7

Posisi Petani dalam Kemitraan

9


Mekanisme Ketergantungan

10

Kerangka Pemikiran

12

Hipotesis Penelitian

12

Definisi Konseptual

13

Definisi Operasional

13


METODE PENELITIAN

15

Pendekatan Penelitian

15

Lokasi dan Waktu

15

Penentuan Responden dan Informan Penelitian

16

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

16

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

17

Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa

17

Kependudukan Desa Bansari

18

Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar

22

MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI PETANI DALAM
KEMITRAAN
27
Stakeholder dan Peran yang dilakukan

27

Penerimaan terhadap Sosialisasi

28

Tingkat Akses Petani

29

Hubungan Penerimaan Sosialisasi dan Tingkat Akses Petani

31

Hubungan Tingkat Ketergantungan dan Tingkat Akses Petani

33

KETERGANTUNGAN PETANI PADA TEMBAKAU

37

Sosialisasi, Akses, dan Ketergantungan

37

Kemitraan, Ketergantungan, dan Perubahan pada Petani Tembakau

38

Ketergantungan Petani pada Tembakau

40

SIMPULAN DAN SARAN

43

Simpulan

43

Saran

43

DAFTAR PUSTAKA

45

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

55

x

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah
9
Penggunaan lahan Desa Bansari
17
Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012
18
Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012
18
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian
19
Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari
20
Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra
21
Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan
pasar tahun 2011
22
Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan
pasar tahun 2012
22
Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal
24
Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap sosialisasi 28
Jumlah dan persentase penerimaan jenis sosialisasi oleh responden, Desa
Bansari
28
Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari
29
Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012
30
Hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani
31
Hubungan tingkat ketergantungan petani dan tingkat akses
33
Perbedaan petani bermitra dan tidak bermitra
37
Perbedaan kondisi ketergantungan 18 responden saat bermitra (2011) dan
tidak bermitra (2012)
39
Jadwal Penelitian tahun 2013
48

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Kerangka pemikiran
Rantai pemasaran tembakau
Masa tanam lahan Desa Bansari
Ketergantungan pada tembakau

12
35
40
41

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Peta Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah
Jadwal Penelitian
Data Responden
Kuesioner
Dokumentasi

47
48
49
50
54

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fenomena ketergantungan dalam sejarah ekonomi Indonesia dapat ditelusuri
dari kondisi perkebunan. Sejak kemunculannya pada masa kolonial, karakteristik
perkebunan tampak khas karena disamping memiliki ciri struktur internal negara
yang terkait dengan produksi dan tenaga kerja, juga terlibat dengan dunia luar dan
terintegrasi dengan sistem ekonomi dunia (Purwandari 2011). Perkebunan sebagai
salah satu sub-sektor pertanian, memainkan peranan penting bagi penerimaan
devisa negara yaitu dengan meningkatkan pendapatan petani perkebunan rakyat,
meningkatkan ekspor dan devisa negara, memperluas tenaga kerja, serta
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya tanpa meninggalkan usaha-usaha
pelestariannya (Heriyanto 2000). Sari (2008) menambahkan bahwa salah satu
diantara komoditi perkebunan yang mempunyai peran penting tersebut adalah
tembakau.
Menurut data FAO (2002) dalam Widiyanto (2009) secara internasional,
Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau.
Kontribusi Indonesia sekitar 15.000 ton daun tembakau atau 2,3% suplai dunia.
Selain itu, industri tembakau juga mampu menyediakan lapangan kerja, baik
secara langsung maupun tidak langsung bagi sekitar 6,4 juta orang meliputi 2,3
juta petani tembakau, 1,9 juta petani cengkeh, serta 900.000 orang yang bekerja di
sektor lembaga keuangan, percetakan, dan transportasi (Mukani dan Murdiyati
(2003) dalam Mamat (2006).
Industri tembakau memang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi
petani. Tetapi, Hafsah (2003) dalam Latifah (2010) mengatakan bahwa budidaya
tembakau memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah cposisi petani yang
kerap kali lemah baik dalam hal manajemen, profesionalisme, akses terhadap
permodalan, teknologi dan jaringan pemasaran. Oleh karena itu, diperlukan peran
serta pengusaha besar (pemilik modal) untuk membantu mengembangkan
usahatani petani kecil dalam bentuk kemitraan.
Kemitraan yang terjalin haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada.
Hal ini dijabarkan dalam UU No.18 tahun 2004 pasal 22, yaitu perusahaan
perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling
menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling
ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan.
Kemitraan usaha perkebunan polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana
produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi,
operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. Penjabaran lain
juga dijelaskan dalam UU No.9 Tahun 1995 bahwa kemitraan adalah kerja sama
usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai
pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan
memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu bentuk
pembinaan dan pengembangan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil
atau koperasi (Hakim 2004).

2

Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah adalah salah
satu desa dengan penduduk yang setiap tahunnya selalu menanam tembakau.
Hubungan kemitraan dengan perusahaan juga pernah dialami oleh petani
tembakau di desa ini, salah satunya pada tahun 2011 bersama PT. Djarum. Pola
kemitraan yang terjalin adalah hubungan produksi, dimana petani hanya menjual
hasil panen tembakau kepada pabrik. Harga jual daun tembakau pun sudah
ditentukan pabrik. Sedangkan, semua kebutuhan selama proses produksi disiapkan
secara mandiri oleh petani sesuai dengan ketentuan yang diinginkan mitra.
Kemitraan yang terjalin antara petani dengan perusahaan bergantung pada
bagaimana perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Tetapi, kemitraan yang
terjadi selama ini masih terkesan menempatkan petani dalam posisi yang lemah.
Dimana petani hanya melakukan kegiatan produksi saja sesuai standar yang
diinginkan oleh perusahaan sehingga petani tidak dapat mengelola sendiri
kegiatan usahataninya (Susrusa dan Zulkifli 2009). Bachriadi (1995)
menambahkan dalam model contract farmingnya ada hubungan produksi yang
mengikat petani untuk menyediakan/menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam
batasan-batasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah). Pada banyak kasus, petani
tidak dapat terlibat di pasar bebas untuk kelebihan komoditi yang dimiliki, karena
akses tersebut tidak mereka miliki.
Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada petani Garut. Kertawati (2008)
menjelaskan bahwa pola kemitraan yang terjadi di Garut adalah keterikatan
perjanjian modal dengan pabrik. Petani yang terikat perjanjian modal memilih
sistem ini dengan alasan sudah saling mengenal lama sehingga tumbuh
kepercayaan, lokasinya pun lebih dekat, dan adanya keterikatan modal. Walaupun
kondisi seperti ini membuat petani tidak dapat menjual bebas hasil produksinya
kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT
Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih
jalur ini karena dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang
pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat
menjual tembakaunya kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses
pelaksanaannya, banyak petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran
tataniaga yang pendek dan sudah ada jaminan penjualan tembakau.
Para petani mencoba untuk tetap bertahan dalam kondisi dan situasi ini,
karena pilihan untuk keluar mengharuskan diri untuk berhadapan dengan
sejumlah kepentingan ekonomi, sosial, dan politik yang lebih besar dari sekedar
usaha produksi. Apabila melihat kepentingan setiap aktor yang terlibat dalam
proses kemitraan, tampak bahwa posisi petani seperti terjepit dalam kondisi yang
bergantung dengan setiap pemberian bantuan dari pihak mitra. Hal ini dapat
dikarenakan dominasi pihak mitra dalam keterlibatan proses pengembangan usaha
produksi petani tembakau. Bachriadi (1995) melanjutkan, secara psikologis pun
sulit bagi petani untuk membebaskan diri dari struktur ini, kecuali jika ingin
kembali ke kesulitan-kesulitan masa lalu. Akibatnya tentu saja posisi tawar
menawar petani sangat rendah di hadapan pemberi kontrak. Oleh karena itu,
diciptakanlah sistem-sistem yang membuat petani terus menerus tergantung secara
teknologi, finansial dan pasar terhadap pihak mitra. Hal ini menimbulkan
pertanyaan sejauh mana kemitraan berpengaruh terhadap ketergantungan
petani tembakau pada pilihan produksi dan hubungan yang terbentuk.

3

Perumusan Masalah
Pola pengembangan tembakau yang kerap kali ditemui adalah menjalin
kemitraan dengan pihak yang dianggap menguntungkan. Berbagai jenis pola
kemitraan banyak berkembang di setiap daerah dengan ciri khas masing-masing.
Setiap pola juga melibatkan berbagai macam pihak yang dapat membantu
mencapai hasil maksimal. Oleh karena itu, timbul pertanyaan bagaimana
mekanisme kemitraan terbentuk dan siapa saja stakeholder yang terlibat?
Tanpa bantuan pihak mitra, petani sulit untuk masuk dan menembus pasar
global. Faktor pembinaan, teknologi, finansial, dan akses pasar diduga menjadi
alasan terciptanya pola kemitraan pada usaha produksi tembakau. Berbagai jenis
bantuan dari mitra kerap kali diterima petani walau jumlahnya tidak banyak.
Tetapi, dengan bantuan yang diterima, umumnya petani akan bergantung pada
pihak mitra, karena penjualan dan harga jual biasanya sudah ditentukan oleh
mitra. Melihat kondisi ini, timbul pertanyaan bagaimana posisi petani dalam
hubungan kemitraan?
Pada saat petani sudah bermitra, akan sulit bagi petani untuk keluar dari
lingkaran kemitraan. Lingkaran ini biasanya dibuat dan dikondisikan oleh pihak
mitra agar proses produksi dapat dikontrol dengan baik. Tetapi, saat kemitraan ini
sudah berakhir masa kontrak dan tidak lagi diperpanjang, maka petani harus
menyiapkan segala kebutuhan produksi tembakau secara mandiri. Hal ini menjadi
menarik dengan timbulnya pertanyaan bagaimana perubahan yang terjadi pada
petani ketika tidak lagi bermitra?
Tujuan Penelitian
Merujuk pada perumusan masalah yang ada, tujuan dari pelaksanaan
penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui pembentukan mekanisme kemitraan dan stakeholder yang
terlibat
2. Mengetahui posisi petani dalam hubungan kemitraan
3. Menganalisis perubahan yang terjadi pada petani ketika tidak lagi bermitra
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
kalangan, diantaranya:
1. Peneliti dan civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan pengetahuan mengenai sejauh mana ketergantungan petani
tembakau terhadap sistem kemitraan yang ada.
2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terutama
masyarakat sekitar untuk mengetahui ketergantungan petani tembakau
terhadap sistem kemitraan yang ada.
3. Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk
membuat regulasi mengenai pertanian terutama penanaman tembakau.

PENDEKATAN TEORITIS
Pola-Pola Kemitraan
Kemitraan menjadi salah satu solusi dalam pelaksanaan pengembangan
usaha pertanian. Sebagai wujud dari keterkaitan usaha dalam rangka
merealisasikan kemitraan, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai
dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan sesuai dengan UU No. 9 Tahun
1995. Pola ini dapat membantu perusahaan maupun petani dalam melakukan
kerjasama kemitraan. Pola yang dimaksud, diantaranya:
1. Pola Inti Plasma
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995, yang dimaksud dengan “pola inti plasma adalah hubungan kemitraan
antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang
didalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai inti dan
Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai
dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan
pemasaran hasil produksi.”
2. Pola Subkontrak
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995 bahwa “pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil
dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil
memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha
Besar sebagai bagian dari produksinya.” Selanjutnya menurut Soewito (1992)
dalam Hakim (2004), pola subkontraktor adalah suatu sistem yang
menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil atau
menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firma)
meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku subkontraktor untuk
mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung
penuh pada perusahaan induk. Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola
subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan
komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar. Oleh
karena itu, maka melalui kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada usaha kecil untuk
membeli bahan baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga
yang wajar.
3. Pola Dagang Umum
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995, “pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil
dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha
Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau
Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau
Usaha Besar mitranya”. Dengan demikian maka dalam pola dagang umum,
usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima
pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang
diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.

6

4.

5.

Pola Keagenan
Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995 “pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha
Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah
atau Usaha Besar mitranya”. Dalam pola keagenan, usaha menengah dan atau
usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak
keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini usaha menengah atau
usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa lainnya kepada usaha
kecil yang mampu melaksanakannya.
Pola Waralaba
Menurut Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995 “pola waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi
waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran
distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan
bimbingan manajemen”. Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas,
dalam pola waralaba, pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan
hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima
waralaba.
Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan

Menurut UU No.9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerja sama usaha antara
usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan
dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan
memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan. Dari definisi kemitraan sebagaimana tersebut di atas, mengandung
makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha menengah/besar untuk membimbing
dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya
sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk menarik keuntungan dan
kesejahteraan bersama. Bobo (2003) dalam Hakim (2004) menyatakan bahwa
tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang
mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan
struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat
sebagai tulang punggung utamanya.
Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan
pengembangan. Hakim (2004) kembali menjelaskan bahwa yang membedakan
hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan
pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap
pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa.
Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan didalam mengakses
modal yang lebih besar, manajemen usaha, peningkatan Sumber Daya Manusia
(SDM), manajemen produksi, mutu produksi serta pembinaan didalam
pengembangan aspek institusi kelembagaan dan fasilitas alokasi serta investasi.
Menurut penjelasan UU No. 9 Tahun 2005 pasal 14 juga menjabarkan dalam
hubungan kemitraan, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan
pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang pemasaran, sumber daya
manusia, teknologi, produksi dan pengolahan. Oleh karena itu, pembinaan dan
pengembangan skill petani tembakau menjadi salah satu bagian dari proses

7

kemitraan yang dilakukan dengan pihak mitra. Pembinaan ini dapat dilakukan
dengan cara melakukan proses sosialisasi berbagai faktor yang diperlukan dalam
pengembangan produksi tanam tembakau.
Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk
Crosby (1992) dalam Iqbal (2007) mengatakan bahwa secara garis besar,
pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu:
1. Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau
negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan.
2. Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam
membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak
penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti
organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan,
pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok
kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal.
3. Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting
terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran
kegiatan.
Stakeholder atau pemangku kepentingan menjadi pihak yang berperan
dalam pelaksanaan pemasaran tembakau petani yang sudah dipanen. Menurut
Iqbal (2007) dalam konteks sektor pertanian, secara organisasi pemangku
kepentingan dapat dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas.
Secara perorangan atau kelompok, pemangku kepentingan mencakup aparat
pemerintah (lingkup nasional hingga lokal), peneliti, penyuluh, petani (kontak
tani, pemilik, penggarap, buruh tani), pedagang (sarana produksi dan hasil
pertanian), penyedia jasa (alsintan dan transportasi), dan pihak pihak terkait
lainnya. Sedangkan dalam sistem perdagangan tembakau, menurut Fathorrahman
dan Nasikun (2004) terdapat empat kelompok, yaitu tauke, juragan, bandol, dan
petani. Sistem perdagangan yang melibatkan kelompok tersebut cenderung
menampakkan hubungan superioritas struktural.
Pola kemitraan perdagangan tembakau dapat menjadi salah satu cara
merangkai stakeholder yang terlibat didalamnya. Menurut UU No.9 Tahun 1995,
kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah
atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha
menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Harjono dalam Fadloli (2005)
dalam Rochmatika (2006) menambahkan bahwa kemitraan diciptakan karena
pihak pertama memerlukan sumber-sumber yang dimiliki pihak lain meliputi
modal, tanah, tenaga kerja, akses terhadap teknologi baru, kapasitas pengolahan
dan outlet untuk pemasaran hasil produksi.
Pola kemitraan ini dijelaskan oleh Santoso (2001) bahwa di Madura terdapat
dua sistem perdagangan tembakau, yaitu sistem perdagangan tembakau pasaran,
dan sistem perdagangan tembakau melalui juragan dan bandol. Sistem
perdagangan tembakau pasaran adalah cara penjualan tembakau pada hari
pasaran yaitu Minggu, Selasa dan Jumat dimana petani membawa hasil panen
tembakaunya untuk dijual di pasar. Sistem perdagangan tembakau yang kedua

8

melalui juragan dan bandol. Juragan adalah orang yang dipercaya oleh pabrik
rokok untuk membeli tembakau. Juragan ini biasanya dibantu oleh bandol yang
bertugas untuk mendapatkan tembakau dari para petani.
Sebagai upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha yang mampu
memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran
masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan tersebut. Rochmatika (2006)
menjelaskan dalam tulisannya bahwa peran pengusaha besar dalam bermitra yaitu
melaksanakan pembinaan dan pengembangan kepada pengusaha kecil dalam hal
(a) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pengusaha kecil seperti pelatihan,
permagangan, dan keterampilan teknis produksi, (b) menyusun rencana usaha
dengan pengusaha mitra untuk disepakati bersama, (c) bertindak sebagai
penyandang dana atau penjamin kredit, (d) memberikan pelayanan dan
penyediaan sarana produksi untuk keperluan usaha, (e) menjamin pembelian hasil
produksi pengusaha mitra sesuai kesepakatan, (f) promosi hasil produksi untuk
mendapatkan pasar yang baik, dan (g) pengembangan teknologi yang mendukung
pengembangan usaha dan keberhasilan kemitraan.
Berbeda dengan kemitraan di Kabupaten Pamekasan daerah tegalan dan
sawah yang dilakukan bersama pabrik rokok Gudang Garam. Pihak pabrik
menyediakan input seperti pupuk, bibit, pestisida dan pembinaan untuk petani.
Akan tetapi, jumlah petani yang terlibat dengan kemitraan ini sedikit karena
jumlah tenaga kerja yang banyak dapat mengurangi inefisiensi produksi
tembakau. Jika dibandingkan dengan jumlah petani yang bermitra, petani
tembakau swadaya di daerah tegalan dan sawah jumlahnya jauh lebih besar hanya
dengan mengandalkan tenaga kerja dari dalam keluarga. Hal ini disebabkan
karena tenaga kerja yang tidak memiliki lahan sebagian besar bermigrasi keluar
daerah (Fauziah et al. 2010).
Lain halnya dengan hasil yang ditunjukkan Kertawati (2008) bahwa di
Kabupaten Garut mengkategorikan tataniaga tembakau atas keterikatan modal
kepada pembeli. Garut memiliki dua macam saluran tataniaga tembakau yaitu
petani yang tidak terikat perjanjian modal dan petani yang terikat perjanjian
modal. Petani yang terikat perjanjian modal adalah petani yang terikat ketentuan
menjual hasil produksinya hanya pada pembeli tertentu saja. Biasanya petani
menjual langsung kepada bandar/supplier dan kemudian langsung dikirim ke
pabrik rokok (dalam saluran ini PT Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak
terikat dengan modal, petani dapat melakukan tawar menawar harga dengan
pedagang pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan
dan dapat menjual tembakaunya kepada pembeli manapun.
Uraian diatas menunjukkan bahwa terjadi pola hubungan antara stakeholder
yang terlibat. Merujuk pada berbagai sumber, stakeholder yang terlibat dalam
perdagangan tembakau adalah pabrik rokok/pembeli, juragan, bandol/bandar, lalu
petani sebagai pihak penyedia tembakau. Pola hubungan yang terbentuk antar
stakeholder ini terlihat dari pola kemitraan yang terjadi pada masing-masing
daerah. Akan tetapi tidak semua petani melibatkan diri dalam proses kemitraan
yang ditawarkan oleh pabrik rokok dengan alasan dapat menjualnya kepada
siapapun.

9

Tabel 1 Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah
Daerah
Stakeholder
Kategori
Proses Mitra
Proses Non-mitra
Madura Pabrik rokok, Pemasaran Melalui bandol Penjualan
juragan,
 juragan  dilakukan
secara
bandol, petani
pabrik rokok
langsung di pasar
Pameka Petani
dan Tenaga
Bekerjasama
Swadaya keluarga
san
pabrik rokok
kerja
dengan
PT
Gudang Garam
Garut
Petani
dan Pendanaan Petani
terikat Petani tidak terikat
pembeli
perjanjian modal perjanjian modal
Posisi Petani dalam Kemitraan
Petani tembakau sebagai pihak yang menjalankan proses produksi tentunya
menjadi ujung tombak bagi industri besar rokok. Bachriadi (1995) memberikan
beberapa prasyarat agar petani dapat tetap berkembang (berkembang dalam
ketergantungan) dalam sistem ini, yaitu:
a. Stabilnya harga jual olahan pihak inti di pasar eksternal yang nilainya relatif
lebih tinggi dibanding biaya produksi minimal yang telah ditetapkan pihak
inti.
b. Tersedianya manajemen usaha bagi pihak inti.
c. Ada transfer teknologi dari pihak inti kepada petani yang berlangsung dengan
lancar dan berkesinambungan
d. Tersedianya modal usaha yang cukup untuk petani memulai usaha
produktifnya
Seluruh prasyarat tersebut pada akhirnya memang jatuh pada pihak inti,
karena pada jalinan hubungan produksi ini mereka lebih dominan. Sifat dominan
itulah yang menempatkan petani pada posisi pasif di dalam kerangka hubungan
produksi. Kepasifan petani ini dapat terlihat melalui hubungan kemitraan yang
terjalin dengan perusahaan rokok. Susrusa dan Zulkifli (2009) mencantumkan
sebuah pendapat yang menyatakan bahwa kemitraan yang terjadi selama ini masih
terkesan menempatkan petani dalam kondisi yang sangat lemah. Dimana petani
diharuskan untuk melaksanakan kegiatan usahatani sesuai analisa yang dibuat
perusahaan, sehingga petani tidak dapat bertindak sebagai manajer dalam
usahataninya melainkan hanya sebagai buruh tani yang memperoleh upah (bukan
keuntungan). Kesan ini muncul karena kegiatan usahatani dilakukan oleh petani
mitra, sedangkan evaluasi kinerja kemitraan hanya dilakukan pihak perusahaan
terhadap petani mitra. Selain itu masih ada kesepakatan-kesepakatan dalam
kemitraan yang dilaksanakan perusahaan mitra belum sesuai dengan harapan.
Sebagai contoh pelayanan dan fasilitas yang diberikan perusahaan dalam
kemitraan dinilai belum optimal, sehingga petani hanya merasa cukup puas
selama proses kemitraan yang berlangsung.
Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada petani Garut. Kertawati (2008)
menjelaskan bahwa pola kemitraan yang terjadi di Garut adalah keterikatan
perjanjian modal dengan pabrik. Petani yang terikat perjanjian modal memilih
sistem ini dengan alasan sudah saling mengenal lama sehingga tumbuh
kepercayaan, lokasinya pun lebih dekat, dan adanya keterikatan modal. Walaupun
kondisi seperti ini membuat petani tidak dapat menjual bebas hasil produksinya

10

kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT
Djarum) dan petani tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga. Berbeda
dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih jalur ini karena
dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul, sehingga
harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat menjual tembakaunya
kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses pelaksanaannya, banyak
petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran tataniaga yang pendek dan
sudah ada jaminan penjualan tembakau.
Kepasifan petani yang lain dalam hubungan kemitraan adalah organisasi
petani atau kelompok tani. Bachriadi (1995) mengatakan bahwa salah satu
mekanisme yang diupayakan dalam penerapan contract farming adalah
pengontrolan organisasi petani plasma. Petani plasma selalu diatur untuk
berorganisasi hanya dalam batas-batas yang telah ditetapkan pihak inti.
Pembatasan-pembatasan dalam organisasi petani selain untuk meredam keresahan
petani juga diperlukan perusahaan untuk mempermudah operasionalisasi
pengelolaan hubungan produksi. Pihak inti bersinggungan langsung dengan petani
pada saat penyuluhan, penimbangan hasil, atau pengukuran mutu/nilai hasil
produksi petani. Bahkan dalam penyuluhan pun pihak inti hanya memberikannya
kepada ketua-ketua kelompok tani saja. Dengan kata lain model pengorganisasian
petani lebih ditujukan untuk menunjang proses hubungan produksi antara pihak
inti dan plasma dalam perspektif kepentingan pihak inti.
Uraian diatas menunjukkan bahwa posisi petani dalam mekanisme
kemitraan ini sebenarnya kurang diuntungkan. Petani cenderung pasif dalam
setiap pengambilan keputusan produksinya. Penentuan harga dan evaluasi
kemitraan pun hanya dilakukan oleh pabrik rokok. Bachriadi (1995)
menambahkan bahwa dampak hubungan ketergantungan dalam contract farming
cenderung negatif untuk pihak plasma, karena cenderung eksploitatif dan
merampas hak berusaha dari plasma sepenuhnya, sehingga perkembangan sosial
mereka pun terhambat. Pihak plasma yang dimaksud dalam hal ini adalah petani
tembakau.
Mekanisme Ketergantungan
Purwandari (2011) mengatakan bahwa terkait dengan konteks hubungan
ekonomi Indonesia dengan negara maju, pencapaian pertumbuhan sub-sektor
perkebunan dilakukan dengan cara meningkatkan permodalan, bahan baku dan
sistem produksi, serta sistem pemasaran. Dari perkembangannya, terlihat bahwa
perkebunan menjadi sektor yang penting dalam menopang perekonomian
Indonesia. Namun sayangnya, perkebunan memberi peluang bagi terciptanya
ketergantungan negara produsen terhadap negara maju.
Secara mikro, peluang terciptanya ketergantungan ini ditunjukkan dengan
hubungan produksi antar pihak-pihak yang bermitra. Bachriadi (1995)
menjelaskan bahwa, bagi petani hubungan produksi memang memberikan satu
kesempatan dan ruang untuk berkembang. Namun, perkembangan yang dapat
dinikmati ini bersifat bergantung. Artinya, petani memasuki satu kondisi dimana
perkembangan tersebut sangat ditentukan oleh pihak lain, baik arah, orientasi,
bentuk, maupun watak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan

11

proses sosialisasi yang diberikan oleh pihak mitra kepada petani tembakau.
Sosialisasi yang diberikan ini pada akhirnya akan mengikat petani dalam
memperoleh dan memilih faktor penentu proses produksi yang dibutuhkan selama
penanaman tembakau.
Kembali Bachriadi (1995) menjelaskan bahwa mengikat petani dalam
situasi ketergantungan finansial dan teknologi bisa dianggap sebagai satu
mekanisme yang mereka ciptakan untuk mengontrol proses produksi.
Pengontrolan proses produksi ini sangat penting untuk mencapai hasil yang sesuai
dengan keinginan mereka. Sebagai bentuk pengontrolan proses produksi, pihak
inti merencanakan menyediakan seluruh paket teknologi dan pembiayaannya.
Proses pengontrolan produksi ini dapat terlihat melalui pola kemitraan Di
Kabupaten Bojonegoro dimana PT Gudang Garam sebagai perusahaan yang
melakukan kemitraan dengan petani tembakau dapat memberikan suplai barang
produksi yang dibutuhkan petani. Latifah (2010) menjabarkannya dengan
pemberian pinjaman modal yang diberikan tepat waktu dan tidak terlambat sesuai
dengan kebutuhan petani. Selain itu, PT Gudang Garam juga menyiapkan
pengadaan saprodi, seperti benih, pupuk, pestisida, dan teknologi yang digunakan.
Penyediaan berbagai sumberdaya ini dilakukan sebagai salah satu cara
untuk menimbulkan perasaan tergantung petani. Kotter (2001) mengungkapkan
metode yang kerap kali digunakan oleh para manajer untuk menciptakan rasa
ketergantungan orang lain. Hal ini dilakukan dengan cara manajer
mengidentifikasi serta menjamin (jika perlu) beraneka sumberdaya yang
dibutuhkan orang lain untuk melakukan pekerjaannya, sumberdaya yang tidak
dimilikinya, serta sumberdaya yang tidak tersedia dimana-mana. Menurut Latifah
(2010) masalah modal awal, fluktasi harga, sarana produksi, harga jual hasil
produksi, persaingan antar petani tembakau besar dan kecil, minimnya teknologi
dan kesulitan akan akses pasar yang lebih luas dalam menyalurkan hasil panen
tembakaunya adalah permasalahan sumberdaya yang sulit dijangkau oleh petani.
Kertawati (2008) juga menjelaskan kesulitan akses sumberdaya ini menjadi
alasan petani untuk melakukan kemitraan bersama dengan perusahaan rokok
besar. Petani Garut yang terikat modal dapat menjual langsung kepada
bandar/supplier dan langsung dikirim ke pabrik rokok. Cara penjualan ini dipilih
sebagian besar petani karena petani telah meminjam modal untuk kegiatan
usahataninya kepada pembeli dan hasil yang diperoleh diserahkan kepada
pedagang tersebut sesuai dengan modal yang telah dipinjamnya dulu.
Bandar/supplier dalam saluran ini menentukan harga berdasarkan informasi dari
pabrik rokok. Dalam kondisi demikian petani tidak dapat menjual bebas kepada
pembeli lain.
Ketergantungan petani terhadap finansial dan teknologi juga dapat
memberikan manfaat sesuai harapan jika pelaksanaan kemitraan berjalan
semestinya. Santoso (2011) memberikan contoh bahwa Intensifikasi Tembakau
Rakyat (ITR) Non-program ternyata memiliki program paling efektif. Selain
produktivitasnya paling tinggi dibanding ITR lainnya yang dicapai karena pihak
petani dan pabrik rokok bekerjasama secara timbal-balik dan saling
menguntungkan.

12

Kerangka Pemikiran
Menurut beberapa sumber rujukan, pola kemitraan adalah salah satu cara
pengembangan usaha produksi tembakau. Hubungan kemitraan ini melibatkan
berbagai stakeholder dengan kesepakatan yang dibuat bersama. Salah satu
diantaranya pembinaan dalam bentuk sosialisasi terkait pembudidayaan dan
pilihan penggunaan faktor produksi yang diinginkan mitra. Proses inilah yang
pada akhirnya mempengaruhi tingkat akses petani terhadap faktor-faktor produksi
tembakau. Penyedia sarana produksi, pengambil keputusan, perolehan modal,
pasar penjualan tembakau, penentu harga jual, dan peluang terbukanya pasar
alternatif menjadi hal yang diduga menentukan tingkat akses petani.
Ketergantungan petani baru akan terlihat setelah kemitraan berjalan cukup lama.
Secara sederhana dapat dijelaskan melalui Gambar kerangka analisis berikut:
Sosialisasi

Kemitraan

Tingkat akses
petani

Alur penjualan
tembakau

Teknologi
1. Penyediaan
sarana produksi
2. Pengambil
keputusan

1. Tipe Kemitraan
2. Hubungan dengan
stakeholder lain
3. Posisi petani

Finansial
1. Modal
2. Penentuan
harga jual

Pasar
alternatif

Tingkat
ketergantungan
Keterangan:
: hubungan
: dianalisis secara kuantitatif
: dianalisis secara kualitatif

Gambar 1 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dibuat, maka hipotesis pada
penelitian ini adalah:
1. Penerimaan sosialisasi (bagian dalam kemitraan) petani tembakau
mempengaruhi tingkat akses petani terhadap sumber lain (teknologi,
finansial, dan pasar)
2. Tingkat akses petani (teknologi, finansial, dan pasar) mempengaruhi tingkat
ketergantungan petani

13

Definisi Konseptual
Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Tipe kemitraan adalah pihak yang melakukan kemitraan/kerjasama dengan
petani tembakau. Tipe kemitraan ini dibagi dalam dua pihak yaitu bermitra
dengan pabrik rokok atau dengan tengkulak
2. Hubungan dengan stakeholder lain adalah hubungan yang dijalin oleh pihak
yang bermitra kepada pihak lain yang berkaitan dengan pembudidayaan
tembakau
3. Posisi petani adalah keadaan yang terjadi pada petani selama proses
kemitraan
4. Alur penjualan tembakau adalah proses distribusi hasil panen tembakau dari
petani hingga pihak mitra.
Definisi Operasional
Pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada
perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional, yaitu:
1. Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak
mitra yang terkait dengan pembudidayaan tembakau. Sosialisasi yang
diberikan berkaitan dengan bibit, pupuk, obat, pestisida, alat teknologi, pasar,
harga, dan pendanaan. Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan
dengan interpretasi nilai sebagai berikut:
- Nilai: 1 = tidak;
2 = ya
- Skor 9-13 = penerimaan sosialisasi rendah
- Skor 14-18 = penerimaan sosialisasi tinggi
2.

Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan
memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat
akses ini akan diukur melalui tiga variabel yang dijabarkan sebagai berikut:
a. Teknologi
 Penyediaan sarana produksi adalah adanya kebutuhan alat dan bahan
untuk proses produksi tembakau. Penyediaan ini menggolongkan setiap
kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik dengan melihat jenis alat dan
bahan yang disediakan, yaitu bibit, pupuk organik, pupuk kimia,
pestisida, obat dan teknologi.
 Pengambil keputusan adalah langkah yang diambil oleh para aktor
kemitraan dalam setiap proses pengolahan dan pengelolaan produksi
tembakau yang akan dilihat dalam hal pemilihan bibit, pupuk, pestisida,
obat, teknologi, dan penentuan pasar penjualan.
Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan
interpretasi nilai sebagai berikut:
- Nilai: 1 = tidak;
2 = ya
- Skor 11-16 = tingkat akses rendah
- Skor 17-22 = tingkat akses tinggi

14

b. Finansial
 Modal adalah biaya atau dana yang digunakan oleh petani tembakau
terhadap seluruh pembayaran kebutuhan proses produksi tembakau.
 Penentu harga adalah ketetapan harga yang digunakan oleh para aktor
dalam memberikan harga jual hasil produksi tembakau.
Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan
interpretasi sebagai berikut:
- Nilai: 1 = tidak;
2 = ya
- Skor 7-10 = tingkat akses rendah
- Skor 11-14 = tingkat akses tinggi
c. Pasar
 Pasar alternatif adalah peluang terciptanya proses pemasaran yang lebih
luas oleh pihak petani terhadap hasil produksi berlebih.
Jumlah nilai dari variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi
sebagai berikut:
- Nilai: 1 = tidak;
2 = ya
- Skor 5-7 = tingkat akses rendah
- Skor 8-10 = tingkat akses tinggi
Tingkat ketergantungan petani terhadap tingkat akses petani akan diukur dan
dinilai berdasarkan nilai akumulasi variabel tingkat akses yang dibagi atas
dua kategori, yaitu:
a. Tinggi: apabila akumulasi tiga variabel memiliki dominasi nilai tingkat
akses rendah
b. Rendah: apabila akumulasi tiga variabel memiliki dominasi nilai tingkat
akses tinggi

METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data
kualitatif. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkaya data dan lebih memahami
fenomena sosial yang diteliti dengan menambahkan informasi kualitatif pada data
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan instrumen
terstruktur (kuesioner) dan wawancara sampel penelitian yang telah ditentukan
untuk mengetahui tingkat akses dan ketergantungan petani tembakau. Selain itu,
perolehan data diinterpretasikan lebih mendalam menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode studi kasus yang bersifat deskriptif. Metode ini
digunakan untuk mengetahui tipe kemitraan yang terbentuk dan alur penjualan
tembakau. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan
pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk menggali informasi lebih dalam
dari pihak informan dan responden.
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi tersebut dilakukan
secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Bansari merupakan
salah satu sentra penghasil tembakau terbaik di Kabupaten Temanggung. Desa
yang berada di wilayah Gunung Sindoro ini, seluruh penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani tembakau. Hubungan kemitraan petani
dilakukan bersama pabrik rokok Djarum sepanjang tahun 2011. Kemitraan ini
hanya melibatkan petani yang menjadi anggota kelompok tani. Petani yang
terlibat wajib menanam tembakau sesuai kesepakatan. Keadaan ini menimbulkan
ketergantungan petani terhadap mitra, dan mengalami berbagai kesulitan dalam
hal akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Sedangkan pada tahun 2012,
seluruh petani Desa Bansari tidak lagi bermitra dengan pabrik rokok. Hal ini
dikarenakan petani lebih memiliki kebebasan akses terhadap teknologi, finansial,
dan pasar. Melihat dua keadaan yang berbeda inilah, peneliti memilih Desa
Bansari sebagai lokasi dalam penelitian ini.
Penelitian dilaksanakan dalam waktu tujuh bulan. Waktu penelitian lapang
dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2013. Hal ini dikarenakan pada bulan
tersebut adalah rentang waktu dimulainya masa tanam tembakau. Selama
pengambilan data berlangsung, peneliti tinggal bersama objek penelitian di
lapangan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan agar
peneliti dapat mengetahui lokasi penelitian dengan baik dan juga terciptanya
hubungan sosial yang dekat dengan objek penelitian. Kegiatan penelitian lainnya
meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan,
penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Jadwal
pelaksanaan penelitian terdapat pada Lampiran 2.

16

Penentuan Responden dan Informan Penelitian
Terdapat dua subyek dalam penelitian ini, yaitu responden dan informan.
Populasi yang dipilih adalah seluruh petani di Desa Bansari, Kecamatan Bansari,
Temanggung, Jawa Tengah. Kerangka sampling yang diambil adalah seluruh
petani tembakau Desa Bansari. Responden penelitian ini adalah petani tembakau
Desa Bansari (Lampiran 3). Unit analisis dari penelitian ini adalah individu.
Peneliti memilih Dusun Banaran, Desa Bansari secara cluster dan responden
secara sensus. Keadaan ini dilihat dari populasi penduduk yang bekerja sebagai
petani tembakau murni. Selain itu, pemerintah Desa Bansari tidak memiliki data
tertulis terkait nama penduduk yang bekerja sebagai petani dan petani tembakau
khususnya. Pemerintah desa juga tidak memiliki data terkait dengan proses
kemitraan yang terjadi di tahun 2011 bersama pabrik rokok Djarum. Pendataan
petani tembakau oleh pihak desa baru dilaksanakan saat peneliti berada dilapang
yang dilakukan oleh masing-masing kepala dusun. Dusun Banaran sengaja
dipilihkan oleh pemerintah desa karena sudah mulai melakukan pendataan. Oleh
karena itu, sebanyak 65 orang petani tembakau Dusun Banaran yang sudah
terdaftar kemudian dipilih seluruhnya sebagai responden dalam penelitian ini.
Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja
(purposive). Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memahami
perkembangan tembakau di Desa Bansari. Oleh karena itu, peneliti memilih
perangkat dan sesepuh desa. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi
atau data tambahan terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui
kuesioner.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh
peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti, yakni
hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti
sendiri. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari
responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner yang
telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan
wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data sekunder sebagai
data pendukung diperoleh melalui studi literatur, informasi dari internet, dokumen
yang berhubungan dengan tembakau, data potensi desa, serta berbagai dokumen
dan pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian.
Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan teknik tabel frekuensi dan tabulasi silang. Selain itu,
dilakukan pula analisis data secara kualitatif sebagai pendukung hasil penelitian
dengan mengutip hasil wawancara mendalam. Analisis ini dilakukan kepada
responden atau informan yang disampaikan secara deskriptif guna mempertajam
hasil penelitian. Hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif kemudian
disinergikan sehingga dapat saling melengkapi kebutuhan penelitian.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa
Desa Bansari terletak di Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah dengan luas wilayah 302.4 Ha. Desa Bansari memiliki sembilan dusun
(Dusun Sawit, Dusun Tambahrejo, Dusun Srimulyo, Dusun Tegalsari, Dusun
Banaran, Dusun Bangunsari, Dusun Pringapus, dan Dusun Malatan) dengan 10
Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Letak desa ini berada di lereng
Gunung Sindo