Perancangan Sistem Zero Runoff Di Kampus Ipb Darmaga, Bogor, Jawa Barat

PERANCANGAN SISTEM ZERO RUNOFF
DI KAMPUS IPB DARMAGA, BOGOR, JAWA BARAT

MUHAMMAD IHSAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perancangan Sistem Zero
Runoff Di Kampus IPB Darmaga, Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Maret 2016

Muhammad Ihsan
F451140126

RINGKASAN
MUHAMMAD IHSAN. Perancangan Sistem Zero Runoff Di Kampus IPB
Darmaga, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh BUDI INDRA SETIAWAN dan
NORA H. PANDJAITAN.
Kampus IPB Darmaga mempunyai permasalahan sistem drainase yang
menyebabkan terjadinya genangan sesaat akibat adanya hujan walau hanya
dengan intensitas sedang. Beberapa daerah genangan berada di sekitar Graha
Widya Wisuda (GWW), Jalan Kamper, Jalan Meranti, dan Jalan Tanjung. Salah
satu cara untuk menanggulangi genangan adalah memodifikasi sistem drainase
menggunakan sistem zero runoff (ZROS). Penelitian ini bertujuan menghasilkan
rancangan water pocket ZROS yang mampu mencegah genangan melalui sistem
penampungan dan penyerapan air hujan. Tahapan penelitian ini mencakup
pemetaan, analisis debit puncak limpasan, evaluasi sistem drainase, perancangan
ZROS dan simulasi ZROS. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan total
station, dan pengukuran infiltrasi dilakukan dengan menggunakan mini disk

infiltrometer. Analisis debit puncak limpasan dilakukan menggunakan metode
rasional. Evaluasi sistem drainase dilakukan di lapangan melalui observasi
langsung, dan perhitungan kapasitas sistem drainase menggunakan persamaan
Manning. Simulasi ZROS dilakukan dengan membangun water pocket ZROS
untuk menguji kemampuan ZROS dan analisis persamaan neraca air berdasarkan
kejadian hujan harian. Perancangan ZROS mencakup analisis dimensi dan
spesifikasi water pocket. Perhitungan dimensi dan spesifikasi water pocket
dilakukan berdasarkan prinsip debit kapasitas water pocket (Qwp) harus lebih
besar dari debit limpasan (Q) .
Dari hasil analisis curah hujan harian ekstrim adalah 125.68 mm. Lokasi
genangan secara lebih spesifik terjadi di sub-sub-DTA 1-1B, 1-1C, 2-1B, dan 22A dengan volume andil berturut-turut 200.55 m3, 47.85 m3, 42.30 m3, dan 34.93
m3. Genangan di sub-sub-DTA 1-1B terjadi akibat kapasitas saluran drainase yang
tidak cukup dalam menanggulangi limpasan. Genangan di sub-sub-DTA 1-1C
terjadi akibat laju infiltrasi tanah yang sangat lambat dan kontur lahan yang tidak
teratur. Genangan di sub-sub-DTA 2-2A dan 2-1B terjadi akibat tidak adanya
sistem drainase dan kontur lahan yang tidak teratur. Berdasarkan hasil analisis
rancangan, total water pocket yang dibutuhkan sebanyak 26 unit. Sub-sub-DTA 11C membutuhkan 14 unit water pocket dengan dimensi panjang 1.50 m, lebar
1.50 m, dan kedalaman 2.25 m. Sub-sub-DTA 1-1B membutuhkan 4 unit water
pocket dengan dimensi panjang 1.25 m, lebar 1.25 m, dan kedalaman 1.9 m. Subsub-DTA 2-2A dan 2-1B membutuhkan 4 unit water pocket dengan dimensi
panjang 1.00 m, lebar 1.00 m, dan kedalaman 1.50 m. Setelah 4 hari pengamatan

kejadian hujan, simulasi ZROS menunjukkan bahwa water pocket dapat
menampung dan menyerap limpasan yang terjadi. Sumur resapan ZROS mampu
mencegah limpasan saat curah hujan 17.4 mm, 18.0 mm, dan 63.1 mm. Sumur
resapan ZROS mampu mengurangi 89.64 % limpasan ketika curah hujan
mencapai 65.4 mm dan intensitas hujan 43.60 mm/jam.
Kata kunci: drainase, genangan, limpasan, water pocket, ZROS

5

SUMMARY
MUHAMMAD IHSAN. Design of Zero Runoff System At IPB Campus
Darmaga, Bogor, West Java. Supervised by BUDI INDRA SETIAWAN and
NORA H. PANDJAITAN.
IPB Campus Darmaga has drainage system problem which caused
flooding after rain events even in moderate intensity. Several flooding areas are
founded around Graha Widya Wisuda (GWW), Kamper Street, Meranti Street,
and Tanjung Street. One of the solution to overcome flood is to modify the
drainage system using zero runoff system (ZROS). This research aimed to design
ZROS water pocket that capable to prevent flood using storage and infiltration
system. This research activities consisted of surveying, peak runoff analysis,

drainage system evaluation, design and simulation of ZROS. Surveying was
conducted using total station and infiltration rate was measured using mini disc
infiltrometer. Peak runoff was predicted using rational method. Drainage system
evaluation were conducted by field observation and drainage channel capacity
were calculated using Manning equation. Simulation of ZROS was conducted by
building a ZROS water pocket to test its performance and the water balance
equation was analyzed based on daily rain events. ZROS design consisted of
water pocket specification and dimension analysis. Water pocket specification and
dimension were calculated using principle of water pocket capacity (Qwp) should
be greater than runoff volume (Q) .
Extreme daily rainfall was 125.68 mm. The study area divided into eight
water catchment area (WCA) with 13 sub-WCA, and 22 sub-sub-WCA based on
WCA outlet. Flooding more specifically occurred in sub-sub-WCA 1-1B, 1-1C, 21B, and 2-2A with volume of 200.55 m3, 47.85 m3, 42.30 m3, and 34.93 m3
respectively. Flooding in sub-sub-WCA 1-1B occurred because of drainage
channel capacity was less than runoff volume. Flooding in sub-sub-WCA 1-1C
happened because of soil infiltration rate was too low (less than runoff volume),
and irregular land contour. Flooding in sub-sub-WCA 2-2A and 2-1B happened
because there are no drainage channel and irregular land contour. Based on water
pocket design analysis results, total water pockets required were 26 units. Subsub-WCA 1-1C required 14 water pocket units with dimension of 1.50 m length,
1.50 m width, and 2.25 m depth. Sub-sub-WCA 1-1B required 4 water pocket

units with dimension of 1.25 m length, 1.25 m width, and 1.9 m depth. Sub-subWCA 2-2A and 2-1B respectively required 4 water pocket units with dimension
of 1.00 m length, 1.00 m width, and 1.50 m depth. After 4 daily rainfall events
observation, ZROS simulation showed that ZROS water pocket could conserve
and infiltrate all runoff. The ZROS water pocket could prevent runoff of 17.4 mm,
18.0 mm, and 63.1 mm precipitation. The ZROS water pocket could reduce
89.64% runoff of 65.4 mm rainfall with intensity of 43.60 mm/hour.
Keywords : drainage, flood, runoff, water pocket, ZROS

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERANCANGAN SISTEM ZERO RUNOFF

DI KAMPUS IPB DARMAGA, BOGOR, JAWA BARAT

MUHAMMAD IHSAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis :

Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng

PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga

tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Agustus 2015 ini adalah Perancangan
Sistem Zero Runoff Di Kampus IPB Darmaga, Bogor, Jawa Barat. Ucapan terima
kasih disampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan M.Agr dan Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan,
DEA sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan yang
bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr. Ir. Yuli Suharnoto M.Eng selaku penguji sidang tesis yang telah
memberikan masukan pada perbaikan tesis ini.
3. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan, baik
dukungan moral hingga dukungan material, sehingga kegiatan penelitian
dapat dilaksanakan dengan baik.
4. BMKG Darmaga atas bantuannya dalam menyediakan data curah hujan
harian maksimum 10 tahun.
Disadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini. Saran dan kritik
demi perbaikan penulisan di masa yang akan datang sangat diharapkan.

Bogor, Maret 2016

Muhammad Ihsan


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

iii

DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

v

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA


3

Sistem Drainase Perkotaan

3

Sistem Zero Runoff (ZROS)

5

Debit Puncak Limpasan

6

METODE PENELITIAN

9

Waktu dan Tempat


9

Peralatan dan Bahan

9

Prosedur Pengumpulan Data

9

Prosedur Analisis
HASIL DAN PEMBAHASAN

10
19

Analisis Curah Hujan Rencana, Batas Daerah Tangkapan Air, dan Debit
Puncak Limpasan

19

Evaluasi Sistem Drainase Kampus IPB Darmaga

22

Pengukuran Laju Infiltrasi

23

Perancangan Zero Runoff System (ZROS)

24

Pengujian ZROS dan Analisis Neraca Air

29

KESIMPULAN DAN SARAN

32

Kesimpulan

32

Saran

32

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

65

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Penentuan periode ulang curah hujan rencana
Koefisien limpasan untuk metode Rasional
Kategori permeabilitas tanah
Hubungan debit, ketinggian aliran dan rasio lebar-tinggi saluran
Data curah hujan harian maksimum Stasiun Cuaca Dramaga tahun
2004-2013
Hasil analisis frekuensi curah hujan
Kesesuaian Cs dan Ck hasil perhitungan terhadap persyaratan
Luas DTA, sub-DTA, dan sub-sub-DTA lokasi studi
Kondisi tata guna lahan secara keseluruhan pada lokasi studi
Hasil analisis nilai I dan Qpeak pada lokasi genangan (DTA I dan II)
Hasil evaluasi kapasitas saluran drainase di lokasi genangan
Efektivitas water pocket dalam mengurangi limpasan

6
7
14
16
19
19
20
20
21
21
22
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Perbandingan biaya konstruksi saluran dengan b/y
Sistem sumur resapan
Gambar tipikal water pocket ZROS
Hubungan intensitas hujan-laju infiltrasi dengan limpasan permukaan
Tahapan penelitian
Tinggi jagaan pada saluran drainase (USBR)
Model neraca air ZROS
Dokumentasi kejadian genangan di sub-sub-DTA 1-1B, 1-1C, 2-1B,
dan 2-2A
Hasil perhitungan laju infiltrasi
Gambar denah dan potongan melintang water pocket
Peta area genangan sub-sub-DTA 1-1B
Peta area genangan sub-sub-DTA 1-1C
Peta area genangan sub-sub-DTA 2-1B
Peta area genangan sub-sub-DTA 2-2A
Simulasi water pocket (R=17.4 mm)
Simulasi water pocket (R=18 mm)
Simulasi water pocket (R=65.4 mm)
Simulasi water pocket (R=63.1 mm)

3
4
5
6
10
16
18
22
23
25
26
27
27
28
29
29
30
30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Hasil analisis R24 dengan distribusi Normal
Hasil analisis R24 dengan distribusi Log-Normal
Hasil analisis R24 dengan distribusi Log-Person III
Hasil analisis R24 dengan distribusi Gumbel
Peta Topografi dan Jaringan Saluran Drainase Kampus IPB Darmaga
Bogor
Peta batas DTA, sub-DTA, dan sub-sub-DTA
Peta tata guna lahan lokasi studi
Koefisien limpasan (C) pada DTA I
Koefisien limpasan (C) pada DTA II
Koefisien limpasan (C) pada DTA III, IV, V, VI, VIII, dan VIII
Hasil analisis I dan Qpeak setiap DTA, sub-DTA, dan sub-sub-DTA
Hasil pengukuran infiltrasi kumulatif area parkir Gedung GWW
Hasil pengukuran infiltrasi kumulatif area Jalan Kamper, FEMA
Hasil pengukuran infiltrasi kumulatif halaman Gedung Tanoto,
FAHUTAN
Kalkulasi rancangan water pocket
Hasil pengukuran simulasi ZROS (R=17.4 mm) dan perubahan
volume air dalam system
Hasil pengukuran simulasi ZROS (R=18 mm) dan perubahan volume
air dalam sistem
Hasil pengukuran simulasi ZROS (R=65.4 mm)
Perubahan volume air dalam sistem ZROS(R=65.4 mm)
Hasil pengukuran simulasi ZROS (R=63.1 mm)
Perubahan volume air dalam sistem ZROS(R=63.1 mm)

37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
57
58
59
60
61
63

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kampus IPB Darmaga sedang berbenah menuju kampus hijau diantaranya
dewasa ini dengan secara bertahap membatasi lalu lintas kendaraan yang berbahan
bakar minyak digantikan oleh yang digerakkan listrik dan gas. Gerakan ini juga
dilatarbelakangi dengan semakin tak terkendalinya lalu-lalang kendaraan umum
yang semakin mengurangi keamanan, kenyaman dan suasana akademis.
Kampus IPB Darmaga pun ternyata mempunyai permasalahan lain yang
cukup akut, yaitu sistem drainasenya yang buruk sehingga sering timbul genangan
air sesaat dan setelah kejadian hujan walau hanya dengan intensitas sedang. Hal
ini dipicu pula oleh perubahan tutupan lahan seiring pembangunan gedunggedung dan infrastruktur baru yang cukup pesat. Proporsi tata guna lahan berupa
vegetasi semakin sedikit dan digantikan atap, aspal dan beton. Beberapa daerah
yang sering digenangi air adalah di sekitar Gedung Graha Widya Wisuda (GWW),
Jalan Kamper Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Jalan Meranti, dan Jalan
Tanjung (Ihsan 2014; Hapsari 2014; Yuwana 2014; Wijaya 2014; Rajasa 2014;
Nugraha 2014).
Dengan semakin mengecilnya daerah resapan air, pola limpasan aliran
permukaan pun berubah menjadi semakin tidak terkendali. Tidak jarang saluran
drainase yang ada tidak mampu lagi menampungnya bahkan pada saat tertentu air
dari saluran drainase malah meluap ke lahan dan jalan yang dilaluinya. Sistem
drainase yang ada pun masih konvensional yang lebih mengutamakan
mengalirkan air secepatnya ke badan air yang ada di dalam atau ke kedua sungai
yang berada di luar kampus.
Dalam mengantisipasi perubahan iklim dimana musim kemarau semakin
panjang tindakan konservasi air melalui berbagai metode termasuk pemanenan
hujan semakin mendapat perhatian luas. Krebs dan Larsen (1997)
memperkenalkan sistem ekodrainase dalam rancangan struktur drainase yang juga
mampu menyerapkan air limpasan permukaan ke dalam lapisan tanah. Selain itu,
sistem ekodrainase dirancang juga untuk mengurangi erosi (Contreras et al. 2013),
mengisi akuifer dan mencegah kerusakan fasilitas umum (Papafotiou dan
Katsifarakis 2015). Lebih lanjut, Kumar et al. (2011), Afolayan et al. (2012), serta
Otti dan Ezenwaji (2013) menyatakan bahwa konservasi air hujan bermanfaat
untuk menyediakan air di musim kemarau.
Sementara itu, konsep zero-runoff system (ZROS) diperkenalkan
berdasarkan pada model neraca air yang bertujuan mengurangi air limpasan
permukaan keluar dari satu kawasan dengan menyerapkannya secara terdistribusi
ke dalam lapisan tanah yang dilaluinya. Sistem ini telah diterapkan, di antaranya:
Wirasembada (2014) berhasil mengurangi air limpasan permukaan di DAS
Cidanau dari 35.26 % ke 2.43 % pada satu kejadian hujan yang sama, Fachruddin
(2014) berhasil menyerapkan air limpasan permukaan sekitar 0.03 – 1.63
liter/detik yang berdampak positif terhadap produktivitas buah pala di Provinsi
Aceh. Demikian pula, Surdianto, et al (2012) melaporkan kelanjutan produksi
belimbing pada musim kemarau di Kotamadya Depok.

2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghasilkan rancangan ZROS berupa bangunan
water pocket guna mengatasi masalah genangan air dan mengetahui persentase
tampungannya. Rancangan ZROS ini mencakup lokasi, dimensi dan spesifikasi
struktur water pocket yang didasarkan pada hasil analisis hidrologi, topografi,
sistem drainase yang ada, dan infiltrasi tanah.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian berupa dokumen perencanaan detail ZROS dapat dijadikan
acuan bagi stakeholder Kampus IPB Darmaga dalam mengatasi permasalahan
genangan di Kampus IPB Darmaga.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup analisis limpasan, pembuatan
rancangan ZROS, serta pengujian ZROS. Cakupan lokasi penelitian adalah
wilayah Gedung Graha Widya Wisuda (GWW), Jalan Kamper Fakultas Ekologi
Manusia (FEMA), Jalan Meranti, dan Jalan Tanjung.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Drainase Perkotaan
Filosofi dari sistem drainase perkotaan adalah adanya perbedaan antara
sistem drainase minor dan mayor. Menurut Hans dan Brian (2006) sistem drainase
minor didesain untuk mengatasi limpasan dari hujan dengan frekuensi tinggi
(curah hujan kecil) yang biasa digunakan pada taman, lapangan parkir dan
lainnya, sedangkan sistem drainase mayor didesain untuk mengatasi limpasan dari
hujan dengan frekuensi rendah (curah hujan tinggi) dan ketika kapasitas sistem
drainase minor terlampaui.
Sistem Drainase Mayor
Sistem drainase mayor dijumpai dalam bentuk saluran terbuka, kali, sungai,
dan parit di pinggir jalan, serta kolam resapan. Contoh sistem drainase mayor
antara lain saluran drainase, reservoir, tanggul banjir, bangunan pencegah erosi,
bangunan pelengkap saluran (rorak), dan kolam detensi (Needhidasan et al. 2013)
Saluran banjir merupakan komponen vital pada sistem drainase. Suatu
saluran drainase didesain dengan mempertimbangkan efisiensi hidraulik, biaya
konstruksi, estetika, keamanan dan pemeliharaan.
Menurut Guo (2004) saluran drainase yang paling efisien dapat diperoleh
dengan meminimalisir penampang saluran sehingga sesuai dengan debit rencana
atau mendesain jaringan drainase sehingga diperoleh debit rencana yang sesuai
dengan kemampuan konstruksi saluran dengan dimensi penampang tertentu.
Meskipun begitu, biaya konstruksi saluran lebih mahal dibandingkan biaya
pengerukan volume tanah. Penampang saluran yang murah berbeda dengan
saluran paling efisien karena keduanya memiliki objek tujuan yang berbeda dalam
proses optimasi (Guo 2004). Hubungan antara biaya saluran dan rasio antara lebar
(b) dan kedalaman (y) saluran disajikan pada Gambar 1 (Gerald dan Guo 2009) .

Gambar 1 Perbandingan biaya konstruksi saluran dengan b/y

4

Sistem Drainase Minor
Sistem drainase minor biasa dijumpai dalam bentuk pemanenan air hujan
atau rain water harvesting yang merupakan konsep ekodrainase berupa sistem
resapan seperti biopori, sumur resapan, dan green roof. Kapasitas sistem drainase
minor dibatasi untuk desain dengan periode ulang 5 – 10 tahun agar perencanaan
lebih ekonomis. Sistem ekodrainase yang berkelanjutan (sustain) merupakan
suatu upaya pengelolaan dan pengontrolan struktur yang didesain untuk
menyerapkan limpasan di permukaan ke dalam tanah (Krebs dan Larsen 1997).
a. Sumur resapan
Bangunan sumur resapan meningkatkan kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah
hingga mencapai sistem air tanah. Air yang dapat dimasukkan ke tanah melalui
sumur resapan ini mampu untuk dimanfaatkan pada musim kemarau atau ketika
suplai air mengalami defisit. Tabung-tabung pemasukan air memegang peranan
penting dalam desain sumur resapan. Tabung-tabung pemasukan air harus
berujung di bawah tinggi muka air statis dan harus didesain sehingga tekanan
positif berada disepanjang tabung tersebut (Tjahjanto et al. 2008). Faktor jenis
tanah memiliki faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas sumur resapan.
Johnson et al (1986) menyatakan bahwa jenis tanah liat kurang potensial dan
memiliki konduktivitas hidraulik vertikal yang rendah. Salah satu pedoman desain
sumur resapan yang digunakan di Indonesia adalah SNI 03-2453-2002 tentang
Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan (BSN
2002). Pada SNI 03-2453-2002 dijelaskan bahwa perancangan sumur resapan
mencakup sistem penyaluran air hujan, rancangan boks kontrol, dan tipe-tipe
sumur resapan.
b. Parit Berorak
Parit berorak merupakan salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk
menanggulangi permasalahan banjir akibat tidak mencukupinya kapasitas saluran
drainase. Parit berorak merupakan model sumur resapan yang meresapkan air
melalui parit-parit dengan sumur atau rorak penampung air (Ridhoatmaji 2013).
Sistem ini dibangun dengan membuat lubang-lubang pada saluran dengan dimensi
dan jarak tertentu. Sistem ini dapat diterapkan pada lokasi yang tidak memiliki
lahan untuk dibangun sumur resapan.

Gambar 2 Sistem sumur resapan

5

c.

Tipe Perkerasan Jalan
Jenis perkerasan jalan yang digunakan pada suatu wilayah sudah tentu
mempengaruhi kemampuan wilayah dalam menginfiltrasikan air ke dalam tanah.
Salah satu jenis perkerasan jalan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
resapan air ke tanah adalah penggunaan beton permeabel. Beton permeabel
merupakan beton dengan slump nol, bergradasi semen, agregat kasar, admikstur,
dan air (Darshan et al. 2013). Beton ini tidak mengandung agregat halus seperti
pasir. Keuntungan dari penggunaan beton ini antara lain: mengurangi limpasan,
mengurangi kebutuhan pembuatan kolam retensi atau bangunan mahal lainnya,
mengisi akuifer, memungkinkan pengembangan lahan yang lebih efisien, dan
mencegah air masuk ke saluran dan terkontaminasi (Sneha dan Pataskar 2011).

Sistem Zero Runoff (ZROS)
Konsep ZROS dirancang dengan tujuan untuk menanggulangi limpasan
yang terjadi dengan membuat suatu sistem penampungan dan penyerapan air
hujan (water pocket). Hasil penelitian sebelumnya oleh Wirasembada (2014),
penerapan ZROS di DAS Cidanau mampu menekan laju runoff tahunan rata-rata
dari 35.26% menjadi 2.81% atau laju runoff bulanan rata-rata dari 33.6% menjadi
2.43%. Hasil penelitian oleh Fachruddin (2014) penerapan ZROS di kebun pala
yang terletak di Aceh menunjukkan pembangunan rorak mampu menampung
sebagian besar aliran permukaan sebesar 0.03 – 1.63 liter/detik. Sistem
penampungan air bertujuan untuk memanfaatkan air limpasan untuk keperluan
lain seperti penyiraman tanaman. Sistem peresapan bertujuan untuk meresapkan
kelebihan air yang tidak dapat ditampung sistem penampungan ke dalam tanah.
Water pocket dibuat dengan sistem mengutamakan air limpasan masuk
terlebih dahulu ke sistem penampungan, kemudian kelebihan limpasan diteruskan
ke sistem penyerapan dengan jumlah unit tergantung kebutuhan air atau
kebutuhan kapasitas penampungan dan penyerapan air hujan. Contoh gambar
tipikal dari sistem penampungan dan penyerapan ZROS disajikan pada Gambar 3.
Air hujan

Penampungan

Penyerapan

Gambar 3 Gambar tipikal water pocket ZROS

6

Debit Puncak Limpasan
Metode yang digunakan untuk menghitung debit puncak limpasan antara
lain metode rasional, SCS, dan metode rasional yang dimodifikasi (Needhidasan
dan Manoj 2013). Asquith et al. (2011) menyatakan bahwa metode rasional biasa
dapat digunakan untuk wilayah studi dengan cakupan yang kecil, sedangkan untuk
cakupan wilayah yang besar perlu digunakan metode rasional yang dimodifikasi.
Faktor yang mempengaruhi debit puncak limpasan berdasarkan metode rasional
adalah intensitas hujan, koefisien limpasan, dan luas daerah tangkapan air.
Intensitas Hujan
Intensitas hujan merupakan jumlah curah hujan tiap satuan waktu. Intensitas
hujan berbanding lurus dengan debit puncak limpasan. Limpasan permukaan akan
terjadi apabila intensitas hujan lebih besar dibandingkan laju infiltrasi lahan.
Grafik yang menunjukkan hubungan intensitas hujan-laju infiltrasi dengan
limpasan permukaan disajikan pada Gambar 4.

I

I

I

I

Gambar 4 Hubungan intensitas hujan-laju infiltrasi dengan limpasan permukaan
Intensitas hujan dapat dihitung berdasarkan curah hujan harian maksimum
pada periode ulang tertentu. Curah hujan harian maksimum dengan periode ulang
tertentu dapat diprediksi menggunakan analisis frekuensi. Penentuan periode
ulang mengacu pada tabel materi drainase dari Kementerian Pekerjaan Umum
dalam Suripin (2004) seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Penentuan periode ulang curah hujan rencana
Tipologi Kota
Daerah Tangkapan Air
500
Kota Metropolitan
2 tahun
2-5 tahun
5-10 tahun
10-25 tahun
Kota Besar
2 tahun
2-5 tahun
2-5 tahun
5-20 tahun
Kota Sedang
2 tahun
2-5 tahun
2-5 tahun
5-10 tahun
Kota Kecil
2 tahun
2 tahun
2 tahun
2-5 tahun
Berdasarkan analisis frekuensi dilakukan untuk mengetahui nilai curah
hujan maksimum dengan periode ulang tertentu dengan menggunakan beberapa
jenis distribusi frekuensi atau analisis probabilitas. Distribusi frekuensi membantu
untuk mengetahui hubungan besarnya kejadian hidrologis ekstrim seperti banjir
dengan jumlah kejadian yang telah terjadi, sehingga peluang kejadian ekstrim

7

terhadap waktu dapat diprediksi (Bhim et al. 2012). Jenis distribusi yang umum
digunakan adalah distribusi normal, log normal, log pearson III, dan Gumbel.
Intensitas hujan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Mononobe.
Parameter yang digunakan dalam persamaan Mononobe adalah curah hujan
rencana hasil analisis frekuensi, dan waktu konsentrasi. Waktu konsentrasi
dihitung dengan menggunakan persamaan Kirpich.
Koefisien limpasan
Tata guna lahan memegang peranan penting terhadap kondisi drainase suatu
wilayah. Wilayah dengan tata guna yang dipenuhi permukaan kedap air, akan
sering mengalami banjir karena air yang terinfiltrasi ke dalam tanah sedikit. Tata
guna lahan yang buruk akan menyebabkan limpasan permukaan menjadi cepat,
dan meningkatkan jumlah air yang masuk ke dalam saluran, sedangkan untuk
aliran di bawah tanah, jumlah air yang hilang sebelum masuk ke saluran akan
berkurang. Hal ini disebabkan evapotranspirasi mengalami penurunan karena
tanaman tidak mampu mengambil air limpasan yang masuk ke tanah.
Tata guna lahan beserta topografi pada akhirnya akan mempengaruhi
koefisien limpasan. Menurut Rajil et al. (2011) koefisien limpasan (C) merupakan
perbandingan antara limpasan dan curah hujan. Menurut McCueen (1981) nilai
koefisien limpasan untuk metode rasional disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Koefisien limpasan untuk metode Rasional
Deskripsi lahan/ karakter permukaan

Bisnis
Perkotaaan
Pinggiran
Perumahan
Rumah tungga
Multiunit, terpisah
Multiunit, tergabung
Perkampungan
Apartemen
Industri
Ringan
Berat
Perkerasan
Aspal dan beton
Batu bata, paving
Atap
Halaman, tanah berpasir
Datar 2%
Rata - rata, 2-7 %
Curam, 7 %
Halaman, tanah berat
Datar 2%
Rata - rata, 2-7 %
Curam, 7 %
Halaman kereta api
Taman tempat bermain
Taman, perkuburan
Hutan
Datar, 0-5 %
Bergelombang, 5-10 %
Berbukit, 10-30 %

Koefisien limpasan, (C)

0.70 - 0.90
0.50 - 0.70
0.30 - 0.50
0.40 - 0.60
0.60 - 0.75
0.25 - 0.40
0.50 - 0.70
0.50 - 0.80
0.60 - 0.90
0.70 - 0.95
0.50 - 0.70
0.75 - 0.95
0.05 - 0.10
0.10 - 0.15
0.15 - 0.20
0.13 - 0.17
0.18 - 0.22
0.25 - 0.35
0.10 - 0.35
0.20 - 0.35
0.10 - 0.25
0.10 - 0.40
0.25 - 0.50
0.30 - 0.60

8

Daerah tangkapan air
Deliniasi batas Daerah Tangkapan Air (DTA) diperlukan untuk mengetahui
batas-batas dan luas cakupan wilayah yang akan dianalisis sistem drainasenya.
Batas-batas DTA dapat ditentukan dengan mengetahui outlet dari aliran air yang
terjadi di suatu wilayah, dan mengetahui inlet dari air yang jatuh ke suatu lahan
sehingga diketahui sub DTA nya. Kemudian dilakukan survei untuk mengetahui
koordinat beserta elevasi sehingga dapat dihasilkan peta kontur.
Algarni dan Hassan (2001) mendefinisikan metode interpolasi sebagai
prosedur untuk mengestimasi nilai suatu properti pada titik yang belum diuji,
dengan menggunakan data yang telah ada. Metode interpolasi yang digunakan
tergantung dari sebaran titik detail yang dimiliki saat melakukan survei. Kerapatan
dari data dengan interval sampling yang berbede juga merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi akurasi interpolasi (Chaplot et al. 2006; Weng 2006).
Kemudian karakteristik dari permukaan seperti datar, berbukit, atau terjal
merupakan faktor utama kedua yang mempengaruhi akurasi dari DEM. Saffet
(2009) menyatakan bahwa metode interpolasi IDW baik digunakan pada lokasi
studi yang tidak terjal dan memiliki sebaran titik detail yang rata, sedangkan
metode kriging lebih baik digunakan apabila sebaran titik detail yang dimiliki
tidak rata.

9

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di sekitar Graha Widya Wisuda (GWW), Jalan
Kamper Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Jalan Meranti, dan Jalan Tanjung,
Kampus IPB Dramaga Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Februari
hingga Agustus 2015.

Peralatan dan Bahan
Penelitian ini menggunakan beberapa peralatan pengukuran seperti kompas,
global positioning system (GPS), pita ukur, penggaris, dan mini disk infiltrometer.
Peralatan lain untuk proses pengolahan data adalah kalkulator dan laptop yang
dilengkapi dengan software Microsoft Word, Microsoft Excel, Google Earth,
Surfer versi 10, ArcGIS versi 10, dan AutoCAD 2010.
Data primer berupa titik lokasi genangan, peta topografi, dimensi dan
kondisi saluran drainase, serta permeabilitas tanah, digunakan sebagai bahan
pengolahan data. Selain itu beberapa data sekunder juga diperlukan, antara lain
peta kampus IPB Darmaga, site plan kampus IPB Darmaga, data curah hujan
maksimum selama 10 tahun tahun 2004-2013 dari Stasiun Klimatologi BMKG
Darmaga, Bogor, serta citra satelit Google Earth akuisisi 2 Januari 2015. Secara
umum, tahapan penelitian ini mencakup analisis debit puncak limpasan dan
kemampuan infiltrasi, rancangan sistem drainase mayor, dan rancangan sistem
drainase minor.

Prosedur Pengumpulan Data
Tahapan penelitian secara umum disajikan berupa bagan alir pada Gambar
5. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (data sekunder) dan
kegiatan di lapangan (data primer).
Studi pustaka dilakukan untuk menentukan metode pengumpulan data dan
analisis data. Studi pustaka dilakukan dengan berbagai sumber, antara lain buku,
jurnal, skripsi, tesis, disertasi, internet, dan sumber lain.
Data yang dikumpulkan adalah data curah hujan, peta topografi, kondisi tata
guna lahan, dan data kemampuan infiltrasi di beberapa lokasi. Penggunaan data
curah hujan pada penelitian ini berupa data curah hujan harian maksimum selama
10 tahun dari stasiun cuaca BMKG Darmaga Bogor. Peta topografi dibuat
berdasarkan hasil survei dengan menggunakan total station. Hasil pengukuran
berupa koordinat x dan y serta data elevasi. Peta tata guna lahan dibuat
berdasarkan citra satelit Google Earth akuisisi 2 Januari 2015. Kondisi tata guna
lahan digunakan untuk menganalisis koefisien limpasan suatu DTA. Data
permeabilitas tanah diperoleh dengan melakukan pengujian menggunakan mini
disk infiltrometer. Pengukuran dilakukan di tiga lokasi, yaitu sekitar Gedung
Graha Widya Wisuda (GWW), Jalan Kamper Fakultas Ekologi Manusia (FEMA),
dan Jalan Meranti, Kampus IPB Dramaga Bogor.

10

Metode penelitian

Studi literatur

Mulai

Pengumpulan data

-Curah hujan
-Topografi
-Citra satelit
-Batas DTA
- Permeabilitas
-Sistem drainase

Analisis data
dan perancangan

-Debit rencana
-Volume andil banjir
-Evaluasi sistem drainase
-Spesifikasi sistem
drainase mayor dan
ZROS

Tidak

Pembangunan water
pocket skala lab

Simulasi dan pengamatan
kapasitas water pocket
saat hujan

Perancangan water
pocket ZROS

Dimensi Water Pocket

Water Pocket
Zero Runoff ?

Ya

Selesai

Gambar 5 Tahapan penelitian

Prosedur Analisis
Analisis debit puncak limpasan dan kemampuan infiltrasi
Analisis frekuensi data hidrologi bertujuan mengetahui peristiwa-peristiwa
ekstrim (R24) yang berkaitan dengan frekuensi kejadian hujan melalui penerapan
distribusi kemungkinan (Suripin 2004). Distribusi frekuensi berfungsi untuk
mengetahui hubungan kejadian hidrologis ekstrim, seperti banjir, dengan jumlah
kejadian, sehingga peluang kejadian ekstrim terhadap waktu dapat diprediksi
(Bhim et al. 2012). Jenis analisis distribusi frekuensi adalah distribusi normal,

11

distribusi Log normal, distribusi Log-Person III, dan distribusi Gumbel untuk
periode ulang 2 , 5, 10, 20, 25, dan 50 tahun. Data dalam analisis frekuensi berupa
data curah hujan harian maksimum dalam tiap tahun.
a. Distribusi Normal
Persamaan dalam distribusi normal adalah :
̅

(1)

Keterangan :
XT
̅
S
KT

= perkiraan nilai periode ulang T tahunan
= nilai rata-rata data
= deviasi standar data
= faktor frekuensi (Lampiran 1)

b. Distribusi Log-Normal
Persamaan dalam distribusi Log-Normal adalah :
̅

(2)

Keterangan :
YT
̅
S
KT

= perkiraan nilai periode ulang T tahunan
= nilai rata-rata bentuk logaritmik data
= deviasi standar bentuk logaritmik data
= faktor frekuensi (Lampiran 1)

c. Distribusi Log-Person III
Langkah-langkah penggunaan distribusi Log-Pearson Tipe III adalah sebagai
berikut.
-

Data curah hujan diubah ke dalam bentuk logaritmik, X = log X
Nilai rata-rata dihitung melalui persamaan (3).

-

log ̅

-

∑n log i - log ̅
[ i1
n-1

2

0.5

]

(4)

Koefisien kemencengan dihitung melalui persamaan (5).
n ∑ni 1 log i - log ̅
(n-1)(n-2) s3

3

(5)

Logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T tahun dihitung melalui
persamaan (6)
log

-

(3)

Nilai simpangan baku dihitung melalui persamaan (4)
s

-

∑ni 1 log i
n

log ̅

.s

(6)

K adalah variabel standar untuk X. Nilai K tergantung koefisien kemencengan
G, yang nilainya disajikan dalam Lampiran 2.
Perhitungan hujan atau banjir kala ulang melalui antilog log XT.

12

d. Distribusi Gumbel
Persamaan distribusi Gumbel disajikan pada persamaan (7) :
̅

.

(7)

Keterangan :
̅ = harga rata-rata contoh uji.
S = standar deviasi contoh uji.

Faktor probabilitas K untuk harga-harga ekstrim Gumbel dapat dinyatakan dalam
persamaan (6).
r-

n

(8)

n

Keterangan :
Yn = reduce mean. Nilai ini tergantung jumlah contoh uji/data n (Lampiran 3)
Sn = reduce standard deviation. Nilai ini tergantung pada jumlah contoh uji/data n
(Lampiran 3)
YTr = reduce variate. Nilai ini dihitung melalui persamaan (9) :
r

- ln {- ln

rr

1

}

(9)

Dengan mensubstitusikan persamaan (9), dihasilkan persamaan (10) :
1
r

dengan

(10)

r
n

dan

̅-

n
n

Uji kecocokan jenis distribusi dilakukan pada keempat jenis distribusi
tersebut. Uji ini bertujuan mengetahui tingkat kecocokan jenis distribusi untuk
digunakan dalam analisis selanjutnya. (Agus et al. 2013). Uji ini dilakukan
dengan metode uji parameter statistik.
Pembuatan peta topografi
Data koordinat X dan Y serta elevasi Z hasil pengukuran dengan
menggunakan total station diolah dengan menggunakan pogram Surfer versi 10,
sert disimp n d l m form t “. ln”. D t terse ut kemudi n diol h d l m proses
pembentukan grid dengan metode interpolasi Kriging. Menurut Saffet (2009)
metode interpolasi inverse distance weighted (IDW) baik digunakan pada lokasi
studi yang tidak terjal dan memiliki sebaran titik detail yang rata. Metode kriging
lebih baik digunakan apabila sebaran titik detail yang dimiliki tidak rata. Data grid
hasil pengolahan kemudian akan diinterpretasikan sistem koordinatnya dengan
sistem koordinat UTM WGS 1984 dengan satuan meter. Peta topografi
ditampilkan dengan menggunakan perintah new contour map, kemudian dipilih
dokumen grid yang telah dibuat. Arah aliran air ditampilkan dengan
menggunakan menu map  add  1 grid-vector layer.

13

Digitasi peta landuse dan Deliniasi DTA
Digitasi peta tata guna lahan dan deliniasi DTA menggunakan citra satelit
Google Earth, peta topografi, dan program ArcGIS versi 10. Citra satelit Google
Earth dengan cakupan lokasi penelitian disimpan dan dibuka dengan
menggunakan program ArcGIS 10. Citra satelit tersebut direktifikasi dengan
memasukkan empat koordinat acuan, dan dilakukan digitasi sesuai jenis tutupan
lahan. Kemudian poligon hasil digitasi ditambahkan informasi tutupan lahan
dalam tabel atribut. Peta kontur dimasukkan ke ArcGIS 10, ditumpangtindihkan
ke peta tata guna lahan, dan dilakukan interseksi antara keduanya. Batas-batas
DTA ditentukan berdasarkan outlet dan arah aliran air dari kontur lahan.
Kemudian, batas-batas sub DTA ditentukan berdasarkan inlet saluran. Dari
penggabungan peta DTA dan tata guna lahan diperoleh informasi tata guna lahan
untuk tiap-tiap DTA. Luas tiap-tiap poligon dihitung dengan menggunakan
ArcGIS 10.
Perhitungan intensitas hujan.
Intensitas hujan menyatakan jumlah air hujan yang terjadi persatuan waktu.
Perhitungan intensitas hujan menggunakan persamaan Mononobe (Sosrodarsono
dan Takeda 1983) seperti pada persamaan (11)
24

24

24
t

2⁄
3

(11)

Keterangan :
I
= intensitas hujan (mm/jam)
tc
= waktu konsentrasi (jam)
R24
= curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)
Perhitungan waktu konsentrasi menggunakan rumus Kirpich.
0.385
0.87 x 2

t

1000 x

(12)

Keterangan :
L
= jarak tempuh air atau panjang saluran (km)
S
= Kemiringan rata-rata saluran atau lintasan air.

Perhitungan koefisien limpasan
Koefisien limpasan untuk setiap DTA dihitung dengan menggunakan
persamaan (13).
D

∑ni 1 i . i
∑ni 1 i

(13)

Keterangan :
C
= koefisien limpasan
A
= luas tutupan lahan (ha)
Nilai C yang digunakan adalah nilai C referensi dari McCuen (1981) pada Tabel
2.

14

Perhitungan debit puncak limpasan
Metode perhitungan debit puncak limpasan antara lain, metode rasional, Soil
Conservation Service (SCS), dan modifikasi rasional (Needhidasan dan Manoj
2013). Asquith et al. (2011) menyatakan metode rasional biasa dapat digunakan
untuk wilayah studi dengan cakupan kecil, sedangkan untuk cakupan wilayah
besar perlu digunakan metode modifikasi rasional.
Perhitungan debit puncak limpasan menggunakan metode rasional engan
persamaan :
p

0.002778. . .

(14)

Keterangan :
Qp
= laju aliran permukaan (debit) puncak (m3/det)
C
koefisien lir n permuk n limp s n 0 ≤ ≤ 1
I
= intensitas hujan (mm/jam)
A
= luas daerah tangkapan air (ha)

Pengukuran infiltrasi kumulatif dan perhitungan laju infiltrasi
Pengukuran infiltrasi kumulatif dilakukan menggunakan mini disc
infiltrometer dengan mengacu pada manual penggunaan mini disc infiltrometer
(Decagon 2014). Tabung air mini disc infiltrometer diisi air hingga penuh,
kemudian diletakkan di atas tanah yang datar. Pengukuran dilakukan hingga air di
dalam tabung habis. Minimal pengukuran dilakukan selama 15 menit, apabila air
di dalam tabung habis sebelum andakan suction rate yang digunakan pada alat
perlu untuk ditingkatkan agar pengukuran memberikan hasil yang akurat. Data
infiltrasi kumulatif dan waktu pengukuran kemudian diolah menggunakan model
Philip (1969) untuk menghitung laju infiltrasi.
2 √t

1t

Tabel 3 Kategori permeabilitas tanah
Permeabilitas tanah (cm/jam)
Tipe
< 0.5
P1
0.5-2.0
P2
2.0-6.25
P3
6.25-12.5
P4
>12.5
P5

(15)

Kategori
Lambat
Agak lambat
Sedang
Agak cepat
Cepat

Evaluasi sistem drainase
Evaluasi saluran drainase dilakukan berdasarkan hasil observasi di lapangan.
Kapasitas saluran terkini dihitung dengan mengukur dimensi saluran, kemudian
menghitung debit maksimum yang mampu ditampung saluran menggunakan
persamaan Manning (16), (17), dan (18).
1
n

.
.

2/3

.

1/2

(16)
(17)

15

/
Keterangan :
V
n
R
S
A
P
Q

(18)

= Kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/detik)
= Koefisien manning
= Radius Hidrolis (m)
= Kemiringan rata-rata saluran (slope)
= Luas penampang basah saluran(m2)
= Keliling basah saluran (m)
= Debit aliran (m3/det)

Rancangan water pocket
Perencanaan desain water pocket mencakup perencanaan bangunan water
pocket, saluran kolektor, dan struktur inlet. Perencanaan bangunan water pocket
mencakup panjang, lebar, dan kedalaman galian, serta volume reservoir dan batu
split untuk menampung air hujan. Perencanaan saluran kolektor mencakup
perhitungan dimensi penampang saluran inlet dan outlet. Perencanaan struktur
inlet mencakup penentuan dimensi pipa inlet yang akan digunakan untuk
mengalirkan air limpasan ke reservoir.
Water pocket yang dirancang harus memiliki kapasitas debit (Qwp) yang
sama atau lebih besar dengan debit limpasan (Q). Debit limpasan dihitung
berdasarkan luas area kontribusi genangan, seperti luas atap dan genangan.
Intensitas hujan dihitung menggunakan persamaan Mononobe dengan durasi
hujan (T) deras yang umum terjadi dilokasi studi (1.5 jam). Qwp terdiri dari debit
kapasitas pengisian (Qr) dan debit kapasitas infiltrasi (Qinf). Qr dihitung dari
penjumlahan volume reservoir dan volume void kerikil atau batu split dibagi
dengan T. Volume void batu split adalah 40% dari keseluruhan volume kerikil
(Das 2008). Qwp, Qr, dan Qinf dihitung menggunakan persamaan (19), (20), dan
(21).
............................................................(19)
..........................................................(20)
................................................................(21)
Bentuk persegi serta rasio panjang-lebar dengan kedalaman galian water
pocket sebesar 1 : 1.5 ditentukan berdasarkan pertimbangan kemudahan dan
keamanan konstruksi water pocket. Panjang dan lebar water pocket bervariasi
antara 1-1.5 meter tergantung kondisi permeabilitas tanah. Kondisi permeabilitas
tanah yang cepat (k > 12.5 mm/jam) menggunakan panjang 1 meter. Kondisi
permeabilitas tanah yang sedang (2< k 1.00
3

Gambar 6 Tinggi jagaan pada saluran drainase (USBR)
Sebelum masuk ke struktur inlet, air limpasan di saluran pembawa harus
masuk terlebih dahulu ke bak kontrol untuk menanggulangi sedimentasi yang
mungkin terjadi dari air limpasan. Desain bak kontrol yang digunakan pada water
pocket mengacu pada rancangan bak kontrol pada Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup no.12 tahun 2009 (KLH 2009). Berdasarkan peraturan
tersebut bak kontrol yang dibangun dua unit yaitu bak pengendap dan bak
penyaring. Ukuran bak penyaring adalah panjang 1 m, lebar 1.5 m, dan
kedalaman 1 m, sedangkan ukuran bak pengendap adalah panjang 1 m, lebar 1.5
m, dan kedalaman 1.5 m. Bak penyaring diisi dengan pasir dengan ketebalan 25
cm, koral setebal 25 cm dan ijuk setebal 25 cm. Bak pengendap diisi dengan ijuk
setebal 25 cm, arang aktif setebal 25 cm, koral setebal 25 cm, dan ijuk (lapisan
ijuk ke-2) setebal 25 cm. Bak pengendapterletak minimal 50 cm dari water
pocket.
Struktur inlet terdiri dari bangunan transisi, pipa inlet, dan dinding inlet.
Bangunan transisi dibuat dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hambatan
aliran (bottleneck) akibat transisi aliran dari saluran ke pipa inlet. Bangunan
transisi yang digunakan dalam struktur inlet adalah jenis warped transition yang
memiliki nilai headloss lebih kecil. Perancangan dimensi bangunan transisi

17

menggunakan sudut transisi 12.5° dari sumbu saluran. Panjang bangunan transisi
dihitung menggunakan persamaan (22) (Hinds 1928). Diameter pipa inlet
ditentukan menggunakan persamaan Hazen-Williams yang disajikan pada
persamaan (23) (Mays 1999). Pipa inlet yang digunakan adalah pipa PVC yang
memiliki koefisien kehalusan C =150. Struktur dinding inlet memiliki konstruksi
dari cor beton untuk menyangga pipa inlet agar kokoh.

D

0.5 ( s lur n -D)
................................................................(22)
t n
0.38
3.59 . 106 .

(

. 0.54

)

.......................................................(23)

Keterangan :
L
= Panjang bangunan transisi (mm)
Bsaluran = Lebar saluran (mm)
= Sudut transisi (°)
D
= Diameter pipa dibutuhkan (mm)
Q
= Debit limpasan (liter/detik)
C
= Koefisien kehalusan pipa
S
= Kemiringan pipa (%)
Simulasi ZROS dan Analisis Neraca Air
Simulasi ZROS dilakukan di Laboratorium Wageningen IPB dengan
membangun water pocket dan sekat ukur, kemudian dilakukan pengukuran debit
limpasan di inlet dan outlet ketika hujan. Sekat ukur yang digunakan adalah sekat
ukur segi empat dan lebar penuh dengan tinggi ambang 15 cm, dan lebar ambang
34 cm. Persamaan debit dalam menggunakan metode ini menurut Sosrodarsono
dan Takeda (1983) disajikan pada persamaan (24) dan (25). Hasil pengukuran
digunakan dalam analisis neraca air untuk mengetahui jumlah air yang tertampung
dan terinfiltrasi ke dalam tanah. Analisis dibagi ke dalam dua sistem, yaitu
penampungan air (sistem 1) dan peresapan air (sistem 2). Parameter yang
dianalisis secara skematik disajikan pada Gambar 7. Persamaan neraca air pada
sistem 1 dan 2 disajikan pada persamaan (26) dan (27)
. .h

0.177

107.1
in
out1

3⁄
2 .....................................................................(24)

h
r1
inf

h

14.2
. 1
............................................(25)
D
out1 .....................................................................(26)
r2
out2 ...........................................................(27)

Keterangan :
h
= tinggi muka air di atas mercu (m)
b
= lebar mercu (m)
D
= tinggi sekat mercu (m)
Q
= debit aliran dalam m3/menit
K
= Koefisien sekat ukur
= 0, jika D < 1 m, dan =0.55.(D-1 jik D ≥ 1 m

18

Gambar 7 Model neraca air ZROS

19

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Curah Hujan Rencana, Batas Daerah Tangkapan Air, dan Debit
Puncak Limpasan
Analisis curah hujan dilakukan menggunakan data curah hujan harian
maksimum tahun 2004-2013 dari Stasiun Cuaca BMKG Darmaga Bogor. Data
curah hujan tersebut disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Data curah hujan harian maksimum Stasiun Cuaca Dramaga tahun 20042013
Curah Hujan (mm)

Tahun
Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nov

Des

Maks.

2004

98.5

48.3

66.2

83.4

78.3

102.2

65.6

141.6

86.4

133.0

64.4

101.6

141.6

2005

115.0

126.5

107.5

76.0

105.5

101.5

44.8

58.1

95.5

62.6

79.6

57.5

126.5

2006

136.4

66.0

24.0

66.5

93.3

78.2

7.6

73.8

23.0

44.3

81.5

38.7

136.4

2007

114.3

83.0

36.5

155.5

27.4

41.5

35.5

57.5

115.0

50.4

79.3

77.0

155.5

2008

82.1

75.5

104.5

67.5

70.0

45.5

102.2

32.7

95.5

59.1

89.4

58.2

104.5

2009

93.0

37.5

40.5

62.2

115.1

94.3

40.6

15.7

35.5

63.0

78.2

48.0

115.1

2010

48.6

81.2

75.6

14.6

71.3

101.1

66.3

100.0

144.5

91.2

48.0

21.4

144.5

2011

58.8

15.6

27.5

49.5

97.6

75.5

88.2

56.6

23.9

67.0

74.3

57.8

97.6

2012

42.0

85.3

34.5

116.0

44.1

36.8

79.3

58.2

57.5

86.4

123.1

76.7

123.1

2013

74.2

96.5

71.5

42.0

95.6

36.5

92.7

86.7

136.8

60.2

46.1

97.4

136.8

Data pada Tabel 5 digunakan untuk menentukan curah hujan rencana (R24).
R24 merupakan curah hujan yang diestimasi menggunakan analisis frekuensi
dengan beberapa jenis model distribusi. Model distribusi yang digunakan adalah
distribusi Normal, Log-Normal, Log-Person III, dan Gumbel. Perhitungan
keempat jenis distribusi tersebut disajikan pada Lampiran 1, 2, 3, dan 4.
Rekapitulasi analisis frekuensi dengan empat jenis distribusi frekuensi
disajikan pada Tabel 6. Jenis distribusi terbaik dapat diketahui dengan
menghitung koefisien kemencengan (Cs) dan koefisien kurtosis (Ck). Bhim et al.
(2012) menyatakan setiap jenis distribusi memiliki persyaratan parameter statistik.
Perbandingan nilai Cs dan Ck hasil perhitungan dan persyaratan disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 6 Hasil analisis curah hujan
T(tahun)
2
5
10
25
50

Normal
128.16
143.57
151.65
159.54
165.78

Analisis Probabilitas Hujan Rencana (mm/hari)
Log Normal
Log Person III
126.93
128.76
143.78
144.13
153.47
151.71
163.59
159.35
172.05
164.01

Gumbel
125.68
147.58
162.09
180.41
194.01

Berdasarkan Tabel 7, jenis distribusi yang terbaik adalah distribusi Gumbel.
Suripin (2004) menyatakan DTA dengan luas 10 – 100 ha dapat menggunakan R24
dengan periode ulang 2 tahun. Analisis rancangan ZROS dilakukan pada skala

20

sub-sub-DTA yang memiliki luas area kecil yaitu kurang dari 10 ha, sehingga
digunakan periode ulang 2 tahun. Nilai R24 yang digunakan adalah 125.68 mm.
Tabel 7 Kesesuaian Cs dan Ck hasil perhitungan terhadap persyaratan
Jenis Distribusi
Gumbel
Log Normal
Log-Person tipe III
Normal

Syarat
Cs ≤ 1.1396
Ck ≤ 5.4002
Cs = 3 Cv + Cv2
Cs = 0.8325
Cs ≈ 0
Cs = 0

Perbandingan
Cs = 0.156
Ck = 3.209
0.156 ≠ 0.454
0.156 ≠ 0.8325
Cs = 0.156
Cs = 0.156

Keterangan
Memenuhi
Tidak memenuhi
Tidak memenuhi
Tidak memenuhi

Batas Daerah Tangkapan Air (DTA) ditentukan berdasarkan kondisi
topografi lahan dan sistem saluran drainase. Suatu DTA, sub-DTA, dan sub-subDTA memiliki satu saluran outlet dan satu atau lebih saluran inlet. Peta topografi
dan jaringan saluran drainase Kampus IPB Darmaga disajikan pada Lampiran 5.
Berdasarkan peta tersebut dapat diketahui bahwa Kampus IPB Darmaga memiliki
kondisi topografi yang tidak rata, sehingga mempengaruhi kecepatan aliran
limpasan pada beberapa DTA. Lokasi studi dibagi menjadi 8 DTA, 13 sub-DTA,
dan 22 sub-sub-DTA. Luas masing-masing DTA disajikan pada Tabel 8. Lokasi
genangan terjadi di DTA I dan II. Peta batas DTA serta lokasi genangan disajikan
pada Lampiran 6.
Tabel 8 Luas DTA, sub-DTA, dan sub-sub-DTA lokasi studi
No

DTA

Sub-DTA

SubSub-DTA

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

DTA I
DTA I
DTA I
DTA I
DTA I
DTA I
DTA II
DTA II
DTA II
DTA II
DTA II
DTA II
DTA II
DTA II
DTA II
DTA III
DTA III
DTA IV
DTA V
DTA VI
DTA VII
DTA VIII
Danau LSI

1-1
1-1
1-1
1-2
1-2
1-3
2-1
2-1
2-1
2-1
2-1
2-2
2-2
2-2
2-3
3-1
3-2
4-1
5-1
6-1
7-1
8-1
Danau LSI
Total

1-1A
1-1B
1-1C
1-2A
1-2B
1-3A
2-1A
2-1B
2-1C
2-1D
2-1E
2-2A
2-2B
2-2C
2-3A
3-1A
3-2A
4-1A
5-1A
6-1A
7-1A
8-1A
Danau LSI

Luas Subsub-DTA
(ha)
4.208
5.900
1.984
1.444
0.313
0.783
2.138
7.810
1.734
1.414
0.895
2.955
1.471
1.473
1.451
1.557
1.292
0.773
3.337
0.435
2.912
4.163
3.004
53.444

Luas Sub-DTA (ha)

Luas DTA (ha)

12.093
14.632
1.757
0.783

13.991
21.341
5.899
1.451
1.557
1.292
0.773
3.337
0.435
2.912
4.163
3.004
53.444

2.848
0.773
3.337
0.435
2.912
4.163
3.004
53.444

Kondisi tata guna lahan ditentukan berdasarkan foto udara yang diperoleh
dari citra satelit, kemudian dik