Komunikasi Partisipatif Dalam Pengelolaan Hutan Nagari Di Sumatera Barat

KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PENGELOLAAN
HUTAN NAGARI DI SUMATERA BARAT

NALA SARI TANJUNG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif
dalam Pengelolaan Hutan Nagari Secara Berkelanjutan di Sumatera Barat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016
Nala Sari Tanjung
NIM I352140071

RINGKASAN
NALA SARI TANJUNG. Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan
Nagari di Sumatera Barat. Dibimbing oleh DWI SADONO dan CAHYONO TRI
WIBOWO.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerusakan hutan paling parah
kedua di dunia setelah Brazil dan tercatat sebagai negara dengan laju deforestasi
paling tinggi di dunia yaitu dua juta hektar per tahun (CIFOR 2015). Salah satu
penyebab terbesar adalah buruknya kebijakan serta implementasi pengelolaan
hutan. Diluncurkannya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi salah satu jalan keluar bobroknya pengelolaan hutan masa lalu dengan
pergeseran dari paradigma lama pengelolaan hutan berbasis produksi menjadi
pengelolaan hutan yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Permasalahan
pemberdayaan masyarakat sebagai basis utama dari pengelolaan hutan berbasis
masyarakat (PHBM) ini terdapat pada PP 6/2007 yang secara khusus dibahas pada
Bagian Kesebelas “Pemberdayaan Masyarakat Setempat”. Berdasarkan PP
tersebut, pengelolaan hutan diadopsi melalui tiga skema, yaitu Hutan Desa, Hutan

Kemasyarakatan, dan kemitraan. Namun, tidak semua wilayah mencapai
keberhasilan atas program PHBM, seperti hasil temuan Sanudin et al. (2015),
Wilujeng (2015), Ngabdani et al. (2015), Gunawan et al. (2014), Guniastuti et al.
(2014), Anomsari (2013), dan Nugroho (2011).
Komunikasi pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu isu
komunikasi pembangunan dunia berupa pendekatan komunikasi partisipatif secara
dialogis yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Sebagai salah satu
bentuk pembangunan dengan konsep berkelanjutan, PHBM mengusung prinsip
partisipatif yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat (Peraturan Menteri
Kehutanan 2014). Sehubungan dengan prinsip tersebut, Fuad (2000) menemukan
bahwa kesenjangan komunikasi yang lebar antara lembaga desa dan kelompokkelompok masyarakat lainnya di desa menyebabkan implementasi pengelolaan
hutan desa menjadi terhambat, sehingga sejalan dengan temuan Wilujeng (2015)
bahwa salah satu faktor keberhasilan PHBM adalah komunikasi yang
mensyaratkan implementor mengetahui apa yang harus dilakukan dengan
melibatkan seluruh pelaku terkait.
Hutan Desa merupakan salah satu bentuk skema PHBM. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 89 Tahun 2014 (P.89/Menhut-II/2014) dan
Suwarti et al. (2015), Hutan Desa merupakan salah satu bentuk kebijakan untuk
pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dengan
memberikan akses kepada desa melalui lembaga desa dalam mengelola

sumberdaya hutan secara adil dan lestari. Sumatera Barat merupakan salah satu
Provinsi yang menerapkan PHBM dalam bentuk Hutan Desa yang diistilahkan
dengan Hutan Nagari. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan Hutan Nagari serupa
dengan Hutan Desa. Pelaksanaan setiap aktivitas pada pengelolaan Hutan Nagari
harus berdasarkan prinsip partisipatif untuk pemberdayaan masyarakat. Oleh
karena itu, komunikasi partisipatif diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut
sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Seperti dalam
latar belakang masalah di atas, Fuad (2000) dan Wilujeng (2015) menyatakan
bahwa kurangnya keikutsertaan masyarakat dalam proses komunikasi dalam

pelaksanaan program pengelolaan hutan menyebabkan implementasinya menjadi
kurang optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa melibatkan komunikasi
yang partisipatif dalam setiap aktivitas pengelolaan Hutan Nagari, diduga
pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan tidak berjalan
secara optimal.
Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan proses komunikasi
partisipatif dalam pengelolaan Hutan Nagari, mendeskripsikan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan Hutan Nagari, dan mengalisa hubungan
komunikasi partisipatif dengan pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan.
Penelitian ini didesain menggunakan pendekatan survei eksplanatif (analitik)

dengan metode campuran, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pengambilan sampel
dilakukan secara sensus, yaitu 52 orang anggota LPHN Sungai Buluh dan 21
orang anggota LPHN Paru. Data dikumpulkan menggunakan metode survei,
wawancara mendalam, focus group discussion (FGD) dan observasi. Analisa data
menggunakan statistik deskriptif dengan tabel frekuensi dan persentase; dan
statistik infrensia menggunakan uji korelasi chi square dan Rank Spearman, serta
uji beda menggunakan analisa Mann-Whitney.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses komunikasi dalam pengelolaan
Hutan Nagari Sungai Buluh dan Hutan Nagari Paru secara umum sudah
berlangsung partisipatif. Aktivitas komunikasi partisipatif dalam kegiatan
pengelolaan di Hutan Nagari Sungai Buluh dan Hutan Nagari Paru paling
dominan berada pada aktivitas pelaksanaan kegiatan. Terdapat perbedaan
signifikan pada indikator dialog, voice, dan liberating pedagogy antara LPHN
Sungai Buluh dan LPHN Paru. Anggota masyarakat pengelola di Hutan Nagari
Sungai Buluh cukup berpartisipasi dalam pengelolaan Hutan Nagari, sedangkan di
Hutan Nagari Paru kurang berpartisipasi. Hal tersebut terjadi karena masyarakat
kurang dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan. Anggota masyarakat pengelola di
Sungai Buluh terutama kurang dilibatkan pada aktivitas penetapan batas areal
kerja dan monitoring evaluasi, sedangkan anggota masyarakat pengelola di Paru
kurang terlibat pada aktivitas perencanaan, penetapan batas areal kerja,

pelaksanaan kegiatan, dan monitoring dan evaluasi. Terdapat perbedaan signifikan
pada indikator perencanaan, penetapan batas areal kerja, dan pelaksanaan kegiatan
antara LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru. Pengelolaan Hutan Nagari di LPHN
Sungai Buluh dan LPHN Paru sudah berkelanjutan. Secara umum, hal tersebut
didukung oleh komunikasi yang partisipatif. Selain itu juga didorong oleh
tingginya dukungan pemerintah, dukungan tokoh nagari, dan bantuan berupa
sumberdaya; dan partisipasi anggota masyarakat dalam pengelolaan Hutan Nagari.
Di LPHN Sungai Buluh, pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan paling
dominan berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam pengelolaan Hutan
Nagari. Di LPHN Paru, pengelolaan Hutan Nagari paling dominan berhubungan
dengan tingkat dukungan dari pemerintah dan tokoh nagari, serta komunikasi
partisipatif.
Kata kunci: komunikasi partisipatif, Hutan Nagari, partisipasi, pengelolaan.

SUMMARY
NALA SARI TANJUNG. Participatory Commmunication in Management of
Hutan Nagari in West Sumatera. Supervised by DWI SADONO and CAHYONO
TRI WIBOWO.
Indonesia is rated to have the second-highest rate of deforestation in the
world after Brazil and the country with the highest deforestation rate in the world

equals in two million hectares of forestdestroyed per year (CIFOR 2015). One of
the biggest causes is bad policy as well as the implementation of forest
management. The launch of Government Regulation No. 41 of 1999 on Forestry
was a way out past decaying forest management with a shift from the old
paradigm of production based on forest management into a new one where forest
management is in favor of the welfare of the community. Issues of community
empowerment as the main platform for community-based forest management
(CBFM) is contained in Regulation 6/2007, while specifically discussed in Part
Eleven "Empowering of Local Communities". Based on the regulations, the forest
management program was adopted through three schemes: Hutan Desa (Village
Forest), Hutan Kemasyarakatan (Forest Community), dan kemitraan (partnership).
However, not all areas achieved success in fulfilling the CBFM program, such as
stated in the findings of Sanudin et al. (2015), Wilujeng (2015), Ngabdani et al.
(2015), Gunawan et al. (2014), Guniastuti et al. (2014), Anomsari (2013), and
Nugroho (2011).
Sustainable development of communication is one of the world's biggest
issues of communication development in the form of participatory communication
approach dialogically involving all stakeholders. As one of the forms of the
concept of sustainable development, CBFM carries the principle of participation
in favor of the empowerment of communities (Regulation of the Minister of

Forestry 2014). In connection with these principles, Fuad (2000) found that the
width of communication gap between village institutions and local community
groups led to the limitations on implementation of village forest management
program, and it isin line with the findings of Wilujeng (2015) that one of the
factors of success of CBFM is communication which requires implementor
knowing what should be done with the help of involving all relevant actors.
Hutan Desa (Rural Forest Area) is one of the forms of PHBM scheme.
Based on Regulations of the Forest Ministry No. 89 Year 2014 (P.89 / Menhut-II /
2014) and Suwarti et al. (2015), Hutan Desa is one of the policy for the
empowerment of communities in and around forest areas by providing access to
the villages through village organizations in managing forest resources equitably
and sustainably. West Sumatera is one of the provinces to implement the CBFM
in the form of Hutan Desa Program termed Hutan Nagari. In practice,
management of Hutan Nagari is similar to Hutan Desa. Implementation of each
activity in management of Hutan Nagari should be based on the principle of
participation for community empowerment. Therefore, participatory
communication is needed to achieve these objectives as stated in Law No. 41 of
1999. As in the background of the above problems, Fuad (2000) and Wilujeng
(2015) states that the lack of community participation in the communication
process of the implementation of the program forest management leads to less


than optimal implementation. This indicates that without engaging in any
communication participatory forest management activities of Nagari,
empowerment, allegedly, of forest communities especially is not running
optimally.
The aims of research are describing the process of participatory
communication in the management of Hutan Nagari, describing the level of
community participation in management of Hutan Nagari, and analyzing
participatory communication links with the management of Hutan Nagari
sustainably. This study used an explanatory survey approach (analytic) with
mixed methods, namely quantitative and qualitative. Sampling was done by
census, there are 52 members of LPHN Sungai Buluh and 21 members of LPHN
Paru. Data was collected using surveys, interviews, focus group discussion (FGD)
and observation. Data were analyzed using descriptive statistics table of frequency
and percentages; and statistical correlation infrential using chi square test and
RankSpearman, as well as different test using Mann-Whitney analysis.
The results showed that the communication process in management of
Hutan Nagari in Sungai Buluh dan Paru already participative. Participatory
communication activities amongmanagement activities of Hutan Nagari in Sungai
Buluh and Paru played the biggest part in the implementation of activities. There

were significant differences in indicators of dialogue, voice, and liberating
pedagogy between LPHN Sungai Buluh and LPHN Paru. Members of LPHN
Sungai Buluh participated enough in management of Hutan Nagari, whereas in the
Paru participation was smaller. This happened because people were less involved
in management activities. Members of the LPHN Sungai Buluh in particularly
were less involved in the activity of the working area boundary determination as
well as monitoring and evaluation, while members of the LPHN Paru were less
involved in planning activities, subsequently the delimitation of the area of
operations, implementation, as well as monitoring and evaluation. There were
significant differences in indicators of planning, the delimitation of the area of
operations, and the implementation of activities between LPHN Sungai Buluh and
LPHN Paru. Management of Hutan Nagari in LPHN Sungai Buluh and LPHN
Paruis already sustainable. In general, it was supported by participatory
communication. It was also pushed by principal government support, the support
of village leaders, and assistance in the form of resources; and the participation of
community members in the management of Hutan Nagari. In LPHN Sungai
Buluh, sustainable management of Hutan Nagari most vividly related to the levels
of participation in forest management powers. In LPHN Paru, it was associated by
far most with the level of support from the government and village leaders, as well
as participatory communication.

Keywords: Hutan
Nagari,
communication.

management,

participation,

participatory

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PENGELOLAAN
HUTAN NAGARI DI SUMATERA BARAT

NALA SARI TANJUNG

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS

Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan Nagari di

Judul Tesis

Sumatera Barat
Nama

Nala Sari Tanjung

NIM

1352140071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Drlr



Si

Dr Cahyono Tri Wibowo. SE, MM

Ketua

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Komunikasi Pembangunan

,-,_

Pertanian dan Pedesaan

/

Tanggal Ujian:
10 Otober 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 ini adalah
komunikasi partisipatif, dengan judul Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan
Hutan Nagari di Sumatera Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Dwi Sadono dan Bapak
Dr Cahyono Tri Wibowo, MM selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Sarwititi
Sarwoprasodjo, MS yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Hery Bachrizal Tanjung, Bapak
Yonevis dari Dinas Kehutanan Sumatera Barat, Bapak Ketua LPHN Sungai
Buluh, Bapak Ketua LPHN Paru, Bendahara LPHN Sungai Buluh, dan fasilitator
dari KKI Warsi yang telah membantu selama proses penelitian. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, adik, seluruh keluarga, serta sahabat
dan teman-teman atas segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

Nala Sari Tanjung

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

ivx

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
4
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan
Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan
Komunikasi Pembangunan Partisipatif
Model Komunikasi Pembangunan
Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)
Pengelolaan Hutan Desa dan Hutan Nagari
Partisipasi Masyarakat dalam PHBM
Karakteristik Individu
Dukungan terhadap Pengelolaan Hutan Nagari
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

5
5
6
7
10
12
14
15
17
18
19
22
24

3 METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel
Instrumen Penelitian
Definisi Operasional
Validitas dan Reliabilitas
Analisis Data

25
25
25
25
27
27
33
34

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambaran Umum Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN)
Kegiatan Pengelolaan Hutan Nagari
Deskripsi Karakteristik Individu LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru
Proses Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan Nagari
Faktor Dukungan Pengelolaan Hutan Nagari
Tingkat Partisipasi dalam Pengelolaan Hutan Nagari
Tingkat Pengelolaan Hutan Nagari Secara Berkelanjutan

35
35
38
41
44
47
54
60
63

Hubungan Karakteristik Individu, Komunikasi Partisipatif dan Tingkat
Dukungan dengan Tingkat Partisipasi dalam Pengelolaan Hutan Nagari
Hubungan Komunikasi Partisipatif dan Tingkat Dukungan dengan
Tingkat Pengelolaan Hutan Nagari Secara Berkelanjutan
Hubungan Tingkat Partisipasi dalam Pengelolaan Hutan Nagari dengan
Tingkat Pengelolaan Hutan Nagari Secara Berkelanjutan

67
71
74

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

77
77
77

DAFTAR PUSTAKA

79

LAMPIRAN

87

RIWAYAT HIDUP

110

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13
14

15

16

17

18

19

Konsep pendekatan untuk komunikasi pembangunan
Penggabungan model-model dasar komunikasi
Populasi dan sampel penelitian
Responden kunci
Indikator, definisi, dan skala pengukuran karakteristik individu
Indikator, definisi, parameter dan skala pengukuran proses komunikasi
partisipatif
Indikator, definisi, parameter dan skala pengukuran aspek dukungan
Indikator, definisi, parameter, dan skala pengukuran tingkat partisipasi
dalam pengelolaan Hutan Nagari
Indikator, definisi, parameter, dan skala pengukuran tingkat pengelolaan
Hutan Nagari secara berkelanjutan
Koefisien Alpha’s Aronbach hasil uji coba kuesioner
Jumlah dan persentase pengelola LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru
menurut indikator karakteristik individu tahun 2016
Jumlah dan persentase pengelola Hutan Nagari menurut indikator
komunikasi partisipatif di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru tahun
2016
Jumlah dan persentase pengelola Hutan Nagari menurut indikator faktor
dukungan LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru tahun 2016
Jumlah dan persentase pengelola Hutan Nagari menurut indikator tingkat
partisipasi dalam pengelolaan Hutan Nagari di LPHN Sungai Buluh dan
LPHN Paru tahun 2016
Jumlah dan persentase pengelola Hutan Nagari menurut indikator tingkat
pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan di LPHN Sungai Buluh
dan LPHN Paru tahun 2016
Nilai koefisien korelasi chi square antara karakteristik individu dengan
tingkat pengelolaan Hutan Nagari secara partisipatif di LPHN Sungai
Buluh dan LPHN Paru
Nilai koefisien korelasi antara komunikasi partisipatif dan tingkat
dukungan dengan tingkat partisipasi dalam pengelolaan Hutan Nagari di
LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru
Nilai koefisien korelasi antara komunikasi partisipatif dan tingkat
dukungan dengan tingkat pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan
di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru
Nilai koefisien korelasi antara indikator komunikasi partisipatif dan
indikator tingkat dukungan dengan indikator tingkat pengelolaan Hutan
Nagari secara berkelanjutan di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru

8
11
26
26
28
29
30
31
32
34
44

48
56

60

63

67

69

71

72

20 Nilai koefisien korelasi antara tingkat partisipasi dalam pengelolaan
Hutan Nagari dengan tingkat pengelolaan Hutan Nagari secara
berkelanjutan di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru
21 Nilai koefisien korelasi antara indikator tingkat partisipasi dalam
pengelolaan Hutan Nagari dengan indikator tingkat pengelolaan Hutan
Nagari secara berkelanjutan di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru

75

75

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Komponen dasar dari model konvergensi komunikasi
Kerangka pemikiran pelaksanaan komunikasi partisipatif pembangunan
Sketsa lokasi Nagari Sungai Buluh dan Nagari Paru
Forum rapat bulanan LPHN Sungai Buluh dan forum diskusi dengan
pemerintah saat ada acara bersama
Kebun Bibit Rakyat (KBR) Hutan Nagari

12
24
36
50
59

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Matriks lembar pengamatan
Tabel validitas dan reliabilitas kuisioner
Hasil analisis komparatif (Mann-Whitney)
Hasil analisis korelasi Chi-Square
Hasil uji korelasi Rank Spearman

89
93
94
97
100

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan isu global yang terus
menerus didengungkan oleh organisasi-organisasi besar dunia seperti PBB. Salah
satunya adalah dengan terus diperbaharuinya rencana pembangunan berkelanjutan
dunia sebagai konsep yang melandasi pengelolaan lingkungan yang didorong oleh
ekspansi kapitalisme global yang berdampak pada menurunnya kualitas
pengelolaan lingkungan di berbagai negara. Konsep pembangunan berkelanjutan
tersebut tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan
pembaharuan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang telah berakhir
sejak akhir tahun 2015. SDGs diharapkan dapat menanggulangi berbagai masalah
seperti kemiskinan dan kelaparan, memajukan kesehatan dan pendidikan, hingga
konservasi lingkungan.
Salah satu permasalahan yang disoroti dalam SDGs adalah isu pengelolaan
hutan beserta fungsi-fungsinya. Kondisi hutan dunia selama 35 tahun terakhir
telah mencapai titik kritis hingga mendegradasi fungsi-fungsi utama hutan, yaitu
fungsi konservasi, fungsi produksi dan fungsi lindung. Hal tersebut menjadi
penyebab berbagai bencana alam yang terjadi di dunia seperti banjir, tanah
longsor, kabut asap, berkurangnya sumber air bersih, kekeringan, hingga
perubahan iklim global yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian materi
hingga korban jiwa. SDGs meletakan fungsi konservasi lahan dan hutan dalam
tujuan ke-15 tentang Life on Land, yaitu untuk melindungi, memulihkan, dan
meningkatkan pemanfaatan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Target SDGs
yang berkaitan dengan hutan pada poin ini antara lain adalah mengimplementasikan pengelolaan berkelanjutan untuk semua jenis hutan, memberantas penebangan
hutan, serta memulihkan degradasi hutan dengan reboisasi dan peremajaan hutan
(United Nations 2015).
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerusakan hutan paling parah
kedua di dunia setelah Brazil dan tercatat sebagai negara dengan laju deforestasi
paling tinggi di dunia yaitu dua juta hektar per tahun (CIFOR 2015). Salah satu
penyebab terbesar adalah buruknya kebijakan serta implementasi pengelolaan
hutan. Diluncurkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi salah satu jalan keluar bobroknya pengelolaan hutan masa
lalu. Undang-Undang ini merupakan pergeseran dari paradigma lama pengelolaan
hutan berbasis produksi menjadi pengelolaan hutan yang berpihak pada
kesejahteraan masyarakat. Poin penting dari UU ini tercantum dalam penjelasan
umum yang berbunyi “Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada
rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu,
praktik-praktik pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang
memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat perlu diubah menjadi pengelolaan
yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada
pemberdayaan masyarakat”. Tindak lanjut dari UU 41/1999 tersebut adalah
dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 (PP 6/2007) jo
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (PP 3/2008) tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Permasalahan

2

pemberdayaan masyarakat sebagai basis utama dari pengelolaan hutan ini terdapat
pada PP 6/2007 yang secara khusus dibahas pada Bagian Kesebelas
“Pemberdayaan Masyarakat Setempat” yang terdapat dalam Bab IV Pemanfaatan
Hutan. Berdasarkan PP tersebut, pengelolaan hutan diadopsi melalui tiga skema,
yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan kemitraan. Lebih lanjut, kebijakan
pengelolaan Hutan Kemasyarakatan disempurnakan dengan disahkannya
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.52/Menhut-II/2011 dan
pengelolaan Hutan Desa dengan Permenhut No. P.53/Menhut-II/2011.
Hingga tahun 2014, terdapat 360.000 hektar lahan Hutan Kemasyarakatan
yang telah dicapai di seluruh Indonesia (FNHM 2014). Tidak semua wilayah
mencapai keberhasilan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Efektifitas program
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di KPH Kendal memiliki nilai
dampak yang agak rendah bagi masyarakat karena capaian program juga masih
rendah (Guniastuti et al. 2014). Sementara itu, pelaksanaan Hutan
Kemasyarakatan di Pulau Lombok juga masih belum berjalan secara optimal
dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah tidak adanya pendampingan secara
utuh dan kurangnya sumberdaya yang tepat sebagai pengurus kelembagaan
(Nandini 2013). Di Kabupaten Ngawi meskipun PHBM memang berdampak
positif bagi masyarakat, akan tetapi implementasinya masih belum efektif seperti
pengurus yang belum mampu mengelola LMDH dengan baik, rendahnya ketaatan
terhadap norma/aturan yang ada, belum luasnya jaringan kerjasama, dan
sebagainya (Nugroho 2011). Menurut FNHM (2014), terdapat berbagai tantangan
yang harus dihadapi dalam implementasi PHBM sekarang ini, antara lain adalah
pemasaran produk hasil hutan yang masih didominasi oleh para tengkulak, tidak
ada pengawasan dan penilaian dari pemerintah daerah setelah pemberian izin
usaha, kemiskinan dan kapasitas sumberdaya manusia masih rendah, akses
permodalan kurang, dan sebagainya.
Bentuk komunikasi yang berkembang dewasa ini menyusul pemahaman
terhadap pentingnya peran komunikasi sebagai metode dan alat dalam
mendiskusikan isu-isu dan prioritas kegiatan pembangunan adalah komunikasi
pembangunan. Komunikasi pembangunan dipahami sebagai aplikasi yang
terencana dan partisipatif dalam metode komunikasi serta alat yang memfasilitasi
pertukaran informasi dengan dialog, partisipasi, serta perubahan sikap dan praktik
yang bertujuan untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah disepakati di
antara semua pemangku kepentingan, dengan memperhitungkan kebutuhan dan
kapasitas semua pihak melalui penggunaan terpadu dan partisipatif dari proses
komunikasi, media, dan saluran. Dalam kerangka ini, komunikasi dianggap
sebagai proses sosial yang tidak hanya terbatas pada media atau pesan, tetapi
interaksi para pelaku dalam jaringan hubungan sosial (WCCD 2006).
Salah satu isu utama komunikasi pembangunan di dunia saat ini adalah
komunikasi pembangunan berkelanjutan (sustainable development communication). Selama bertahun-tahun inisiatif komunikasi untuk penanggulangannya lebih
difokuskan pada penyebaran dan adopsi paket teknis yang hanya menghasilkan
dampak terbatas. Oleh karena itu, akhirnya ditawarkan alternatif berupa
pendekatan komunikasi partisipatif secara dialogis yang melibatkan seluruh
pemangku kepentingan mengembangkan pemahaman umum, bahasa dan saluran
komunikasi partisipatif dan menanggapi informasi serta kebutuhan pelatihan.

3

Sejak akhir tahun ‘80-an, pendekatan partisipatif telah menjadi fitur kunci
dalam setiap penerapan komunikasi pembangunan untuk pembangunan
berkelanjutan. Komunikasi memainkan peran strategis dan mendasar yang
berkontribusi terhadap interaksi faktor pembangunan yang berbeda, meningkatkan
berbagi pengetahuan dan informasi serta partisipasi aktif dari semua pihak.
Sebagai salah satu bentuk pembangunan dengan konsep berkelanjutan dengan
asas ekonomis, ekologis, sosial dan budaya, PHBM mengusung prinsip
partisipatif yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat (Peraturan Menteri
Kehutanan 2014). Sehubungan dengan prinsip tersebut, Fuad (2000) menemukan
bahwa kesenjangan komunikasi yang lebar antara lembaga desa dan kelompokkelompok masyarakat lainnya di desa menyebabkan implementasi pengelolaan
hutan desa menjadi terhambat, sehingga sejalan dengan temuan Wilujeng (2015)
bahwa salah satu faktor keberhasilan PHBM adalah komunikasi yang
mensyaratkan implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, di mana
komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada
komunikan. Namun, sebagai bagian dari komunikasi pembangunan berkelanjutan,
konsep dari komunikasi partisipatif tidak hanya sebatas itu. Komunikasi
partisipatif dalam pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses komunikasi di
mana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, di mana setiap pelaku saling
berpartisipasi untuk berbagi pengetahuan dan informasi, dengan memperhitungkan kebutuhan dan kapasitas semua pihak, sehingga menghasilkan suatu
pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan (WCCD 2006; Satriani
et al. 2011).
Penelitian-penelitian mengenai implementasi PHBM dalam berbagai bentuk
serta tingkat partisipasi masyarakat dan lembaga pengelola telah cukup banyak
dilakukan, seperti hasil temuan oleh Sanudin et al. (2015), Wilujeng (2015),
Ngabdani et al. (2015), Gunawan et al. (2014), Guniastuti et al. (2014), Anomsari
(2013), dan Nugroho (2011). Dapat disimpulkan bahwa implementasi PHBM
belum dapat diterapkan secara optimal karena kurangnya partisipasi masyarakat
(Siswiyanti dan Sugihen 2006; Suprayitno 2011; Sudrajat et al. 2016). Seperti
halnya temuan Wilujeng (2015), hal ini diduga karena komunikasi partisipatif
sebagai faktor pendorong dalam partisipasi belum belum berjalan maksimal.
Hingga penelitian ini dilaksanakan, kajian ilmiah mengenai hal tersebut masih
belum dilakukan. Padahal, komunikasi partisipatif yang mengandalkan interaksi
dua arah dengan proses yang dialogis lebih efektif daripada komunikasi satu arah.
Proses komunikasi dialogis menunjukkan terjadinya interaksi yang melibatkan
semua pihak secara sengaja untuk tujuan meningkatkan pemahaman, menangani
masalah, menyatukan pikiran dan mempertanyakan apa yang terjadi dan apa yang
harus dilakukan bersama-sama, hingga muncul kesepahaman yang sama (mutual
understanding). Ketika bentuk komunikasi partisipatif digunakan dengan benar
untuk menerima aspirasi masyarakat lokal, maka peluang pengelolaan
sumberdaya alam secara berkelanjutan menjadi lebih besar, termasuk dalam
bidang pengelolaan hutan (Liliweri 2011; Susanty 2013; Warnock et al. 2007).
Tanpa adanya komunikasi partisipatif, diduga pelaksanaan pengelolaan hutan
berbasis masyarakat, terutama dalam tujuan keberlanjutannya tidak akan dapat
dicapai secara maksimal. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai
komunikasi partisipatif sebagai kunci utama dalam pengelolaan hutan masyarakat.

4

Rumusan Masalah
Salah satu bentuk PHBM di Indonesia adalah Hutan Desa. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 89 Tahun 2014 (P.89/Menhut-II/2014) dan
Suwarti et al. (2015), Hutan Desa merupakan salah satu bentuk kebijakan untuk
pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dengan
memberikan akses kepada desa melalui lembaga desa dalam mengelola
sumberdaya hutan secara adil dan lestari. Sumatera Barat merupakan salah satu
Provinsi yang menerapkan PHBM dalam bentuk Hutan Desa yang diistilahkan
dengan Hutan Nagari. Nagari merupakan istilah yang menggambarkan masyarakat
yang tersusun ke dalam unit kesatuan masyarakat adat di Sumatera Barat. Dalam
hal ini, masyarakat nagari berperan dalam pengelolaan hutan sebagai bagian dari
ulayat nagari. Peran nagari dalam pengelolaan hutan ini salah satunya dikukuhkan
dalam Perda Nomor 10 tentang Tanah Ulayat dan Perda Nomor 2 Tahun 2007
tentang Pokok Pokok Pemerintahan Nagari.
Dalam pelaksanaannya, pengelolaan Hutan Nagari serupa dengan Hutan
Desa. Sebagaimana prinsip PHBM, pelaksanaan setiap aktivitas pada pengelolaan
Hutan Nagari haruslah berdasarkan prinsip partisipatif untuk pemberdayaan
masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi partisipatif diperlukan untuk mencapai
tujuan tersebut sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999. Seperti dalam latar belakang masalah di atas, Fuad (2000) dan Wilujeng
(2015) menyatakan bahwa kurangnya keikutsertaan masyarakat dalam proses
komunikasi dalam pelaksanaan program pengelolaan hutan menyebabkan
implementasinya menjadi kurang optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa
melibatkan komunikasi yang partisipatif dalam setiap aktivitas pengelolaan Hutan
Nagari, diduga pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan
tidak berjalan secara optimal.
Meski demikian, hingga penelitian ini dilakukan belum ada bukti nyata yang
menunjukkan bahwa keberhasilan tersebut disebabkan oleh adanya komunikasi
partisipatif yang menjadi faktor utama dari pengelolaan Hutan Nagari. Secara
umum belum ada penelitian yang secara objektif membuktikan hubungan
komunikasi partisipatif dan komunikasi yang tidak partisipatif dalam pengelolaan
Hutan Nagari oleh masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting
untuk dilakukan. Tujuan utama penelitian ini kemudian diangkat dalam penelitian
berjudul Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan Nagari di Sumatera
Barat.
Adapun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a)
Bagaimanakah proses komunikasi partisipatif dalam pengelolaan Hutan
Nagari?
b)
Bagaimanakah tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan
Nagari?
c)
Bagaimanakah hubungan komunikasi partisipatif dengan pengelolaan Hutan
Nagari secara berkelanjutan?

5

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
a)
Mendeskripsikan proses komunikasi partisipatif dalam pengelolaan Hutan
Nagari.
b)
Mendeskripsikan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan
Nagari.
c)
Mengalisa hubungan komunikasi partisipatif dengan pengelolaan Hutan
Nagari secara berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

a)

b)

c)

Manfaat dari penelitian ini adalah:
Bagi praktisi, seperti anggota masyarakat pengelola hutan penelitian ini
diharapkan mampu menjadi masukan dalam implementasi komunikasi
partisipatif dalam penerapannya pada program PHBM.
Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk
pengambilan kebijakan aplikasi komunikasi partisipatif dalam mendukung
PHBM.
Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
bagi perkembangan ilmu komunikasi pembangunan, terutama komunikasi
pembangunan berkelanjutan, serta menjadi referensi bagi penelitian lanjutan
sejenis.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan
Pada prinsipnya, seluruh sistem kehidupan di dunia ini selalu melakukan
komunikasi. Secara sederhana, komunikasi mengacu pada tindakan pengiriman
dan penerimaan oleh satu orang atau lebih. Dalam proses komunikasi tidak hanya
terjadi penyampaian informasi, tetapi sekaligus pertukaran informasi,
pengetahuan, ide-ide, perasaan-perasaan, melalui suatu sistem simbol bersama,
yang meliputi proses encoding-decoding pesan, dan melakukan sintesis terhadap
informasi dan makna. Proses komunikasi tidak terhenti hanya pada penyampaian
informasi, tetapi akan terus berlanjut dengan adanya “dialog” sehingga peluang
terjadinya pertukaran informasi, ide, pendapat sangat besar. Kata kunci dari
komunikasi adalah adanya sesuatu “makna” atau pengertian (meaning) yang
terkandung dalam setiap pesan (ide, gagasan, informasi, perasaan, dll) yang perlu
dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi (Mardikanto
2010; Age et al. 2012; Hubeis et al. 2012; Liliweri 2011).
Dalam paradigma awal, komunikasi pembangunan diartikan sebagai proses
komunikasi searah atau linier dari “sumber” kepada “penerima”, atau dengan kata
lain masyarakat masih dipahami sebagai obyek atau sasaran dari komunikasi

6

pembangunan. Selanjutnya, komunikasi pembangunan diperbarui dengan
mengacu pada pengertian pembangunan sebagai proses perubahan sosial yang
partisipatif serta bertujuan untuk memberikan dampak secara sosial dan material,
sehingga komunikasi pembangunan tidak lagi hanya diartikan sebagai
penyampaian informasi, tetapi sebagai proses yang memungkikan partisipan untuk
menciptakan dan berbagi informasi dengan yang lainnya, untuk mewujudkan
pemahaman bersama. Komunikasi pembangunan berfungsi untuk menjembatani
kesenjangan yang terjadi antara kondisi masyarakat saat ini dengan kondisi yang
ingin dicapai melalui proses-proses komunikasi yang partisipatif, dialogis, dan
memotivasi sehingga secara efektif dapat mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi dalam setiap kegiatan pembangunan (Mardikanto 2010; Amanah
2010; Kheerajit dan Flor 2013).
Komunikasi pembangunan haruslah dilihat sebagai suatu proses menyeluruh,
termasuk pemahaman terhadap khalayak serta kebutuhan-kebutuhannya,
perencanaan komunikasi di sekitar strategi-strategi yang terpilih, pembuatan
pesan-pesan, penyebaran, penerimaan, umpan balik terhadap pesan-pesan itu, dan
bukan hanya kegiatan langsung satu arah dari komunikator kepada penerima yang
pasif. Jangkauan utama dan fungsi dari komunikasi pembangunan tidak hanya
secara khusus mengomunikasikan informasi dan pesan, akan tetapi juga termasuk
mengikutsertakan berbagai pelaku dan menaksir situasi yang mungkin akan terjadi
dalam upaya mencapai saling pengertian dan kesepakatan (Rogers 1989;
Mefalopulos 2008; Harun dan Ardianto 2011).
Komunikasi pembangunan dituntut untuk bisa menyelami konteks glocal
(globalization and local). Artinya, perkembangan yang ada sekarang tidak lagi
hanya globalisasi (mendunia), tetapi harus berintegrasi dengan konteks lokal
(salah satunya adalah kearifan lokal), tidak cukup hanya perpektif internasional,
tetapi perlu disertai perpektif lokal. Pembangunan memerlukan rakyat yang
mempunyai kadar kenal huruf serta pendapatan yang rendah dan ciri sosioekonomi yang berkaitan dengannya, mestilah diberitahu tentang adanya teknologi
dan ide-ide baru yang patut diterapkan oleh mereka (Harun dan Ardianto 2011).

Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan
Dalam dua puluh tahun terakhir, pembangunan berkelanjutan telah muncul
dengan mengusung salah satu paradigma pembangunan yang paling menonjol.
(WCCD 2006). Dewasa ini, pembangunan berkelanjutan lebih dikenal sebagai
societal guiding model yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah-masalah
ekonomi, sosial, dan ekologis pada seluruh level dan lingkungan masyarakat, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Steurer et al. 2005).
Terdapat tiga dimensi yang umumnya diakui sebagai pilar pembangunan
berkelanjutan, yaitu: (1) dimensi ekonomi, di mana sistem yang berkelanjutan
harus mampu memproduksi barang dan jasa secara berkelanjutan, menghindari
ketidakseimbangan sektoral ekstrim yang merusak produksi pertanian atau
industri, serta stabilitas perekonomian makro seperti mempertahankan aspekaspek yang dikelola pemerintah dan utang luar negeri, serta aktivitas ekonomi
masyarakat dan lingkungannya; (2) dimensi lingkungan, di mana sistem harus
mempertahankan basis sumberdayanya, menghindari eksploitasi sumberdaya alam

7

diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui, termasuk di dalamnya pemeliharaan
keanekaragaman hayati, pemilihan barang dan teknologi berorientasi pada
persyaratan integritas ekosistem dan keanekaragaman, stabilitas atmosfer dan
fungsi ekosistem lain yang biasanya tidak diklasifikasikan sebagai sumberdaya
ekonomi (misalnya keindahan beberapa pemandangan); dan (3) dimensi sosial, di
mana sistem harus mencapai pemerataan, ketersediaan produk layanan sosial,
termasuk kesehatan dan pendidikan, kesetaraan gender, menghormati minoritas,
akuntabilitas dan partisipasi politik. Dimensi sosial pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu bentuk keadilan antar generasi sekarang dan antara generasi
sekarang dan generasi masa yang akan datang (Harris 2000; Streurer et al. 2005;
WCCD 2006).
Pembangunan berkelanjutan menyiratkan partisipatif, pendekatan multistakeholder untuk pembuatan kebijakan dan pelaksanaan, mobilisasi sumberdaya
publik dan swasta untuk pengembangan dan memanfaatkan pengetahuan,
keterampilan dan energi dari semua kelompok sosial berkaitan dengan masa
depan planet ini dan orang-orangnya. Dalam kerangka ini, komunikasi
memainkan peran strategis dan mendasar yang berkontribusi terhadap interaksi
faktor pembangunan yang berbeda, meningkatkan berbagai pengetahuan dan
informasi serta partisipasi aktif dari semua pihak (WCCD 2006; Servaes 2011).
Menghadapi permasalahan tersebut, komunikasi pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai suatu proses saling mengerti dan memahami antara
pemerintah dan warga negaranya menuju suatu masyarakat yang terjamin masa
depannya (sustainable society), di mana nilai-nilai dan norma-norma keadilan
dijunjung tinggi. Selain itu, komunikasi pembangunan berkelanjutan adalah
sebuah proses kesepahaman bersama yang berhadapan dengan pembangunan
masa depan masyarakat pada bagian tengah visi keberlanjutan. Proses
kesepahaman bersama ini terjadi pada konteks dan level yang berbeda; antar
individu, antar individu dan institusi, antar institusi dan dalam institusi, di dalam
sekolah dan universitas, dan sebagainya. Kesuksesan komunikasi berkelanjutan
dan komunikasi pembangunan berkelanjutan tergantung pada banyaknya faktorfaktor yang tidak menyederhanakan proses yang ada (Godemann dan Michelsen
2011; Cahyandito 2009).

Komunikasi Pembangunan Partisipatif
Pada akhir tahun delapan puluhan, pendekatan partisipatif menjadi model
utama dalam aplikasi komunikasi pembangunan berkelanjutan. Komunikasi
pembangunan adalah tentang dialog, partisipasi dan berbagi pengetahuan serta
informasi yang memperhitungkan kebutuhan dan kapasitas semua pihak melalui
penggunaan proses komunikasi, media dan saluran secara terpadu dan partisipatif.
Dalam kerangka ini, komunikasi dianggap sebagai proses sosial yang tidak
terbatas pada media atau pesan, tetapi untuk interaksi mereka dalam jaringan
hubungan sosial (WCCD 2006). Komunikasi pembangunan partisipatif telah
banyak digunakan dalam berbagai proyek pembangunan di seluruh dunia, seperti
Thailand, Vietnam, Afrika, yang kemudian diakui dan diapresiasi pada tingkat
pemerintahan sebagai kritik dan perbaikan dalam memfasilitasi, memperbaiki dan
menjalankan pembangunan, terutama dalam isu-isu pembangunan berkelanjutan

8

yang terbukti telah mendukung upaya konservasi dengan melibatkan berbagai
stakeholders terkait (Msibi dan Penzhorn 2010; Kheerajit dan Flor 2013; Pert et
al. 2013).
Komunikasi pembangunan partisipatif merupakan sebuah perencanaan
kegiatan, yang dalam satu sisi berbasis pada proses partisipatif, dan di sisi lain
didasarkan pada media dan komunikasi interpersonal, dengan menggunakan
dialog antar para pelaku untuk membicarakan berbagai masalah atau tujuan utama
pembangunan, dengan sasaran untuk berkontribusi dalam solusi masalah-masalah
pembangunan, implementasi dan realisasi kebijakan, serta mendukung dan
menyertai berbagai inisiatif kegiatan di lapangan (Bessette 2004; Manda dan
Wozniak 2015). Dalam kerangka ini, komunikasi ditekankan pada proses diskusi
yang dapat meningkatkan aspirasi masyarakat sebagai perangsang untuk
berpartisipasi dan bertindak nyata untuk mewujudkan tujuan pembangunan
(Rinawati 2006; Muchtar 2016). Tufte dan Mefalopulos (2009) menggambarkan
perbedaan komunikasi partisipatif dan tidak partisipatif seperti yang tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1 Konsep pendekatan untuk komunikasi pembangunan
Development
Communication

The Diffusion Model
(monologic communication)

The Participatory Model
(dialogic communication)

Definisi masalah

Kekurangan informasi

Rendahnya kerja sama dengan
para pelaku (stakeholders)

Aspek Budaya

Budaya sebagai halangan

Budaya sebagai “way of life”
atau “cara untuk hidup”

Aspek katalis

Agen perubahan dari luar

Menjalin kerjasama (di luar dan
di dalam komunitas)

Aspek Pendidikan

Banking pedagogy (pendidikan
bergaya bank)

Liberating pedagogy
(pendidikan yang
membebaskan)

Aspek kelompok
sasaran

Pasif: targetnya adalah audiens

Aktif: targetnya adalah
masyarakat atau stakeholders

Bagaimana
berkomunikasi

Pesan untuk membujuk

Isu-isu sosial yang terkait,
mengatasi masalah, dialog.

Tujuan utama
perubahan

Perilaku individu

Perilaku individu dan sosial,
norma-norma sosial, kekuatan
hubungan

Hasil yang
diharapkan

Perubahan perilaku individu,
berorientasi terhadap jumlah

Mampu menerjemahkan proses
politis dan sosial, perubahan
berkelanjutan, tindakan
bersama.

Durasi aktifitas

Jangka pendek dan menengah

Jangka menengah dan panjang

Sumber: Tufte dan Mefalopulos (2009)

9

Komunikasi partisipatif lekat dengan model komunikasi Paulo Freire yang
berisi lima konsep utama, yaitu: (1) dialog, (2) penyadaran (conscientization), (3)
praxis, (4) perubahan (transformation), dan (5) kesadaran kritis (critical
consciousness) (McPhail 2009). Menurut Tufte dan Mefalopulos (2009) terdapat 4
prinsip dasar yang melandasi proses komunikasi partisipatif. Keempat prinsip
tersebut harus saling mendukung satu sama lainnya dalam sebuah program
pembangunan partisipatif. Sebab, tanpa mengandalkan prinsip-prinsip tersebut
komunikasi partisipatif tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, yang
menyebabkan tidak optimalnya suatu program atau kegiatan pembangunan.
Prinsip dasar tersebut adalah: (1) dialog, (2) voice, (3) liberating pedagogy, (4)
action-reflection-action.
Dialog. Kebebasan dan keterbukaan dalam dialog merupakan prinsip dasar
komunikasi partisipatif. Liliweri (2011) menyebutkan bahwa dialog merupakan
komunikasi terstruktur yang mengandalkan perhatian penuh, mendengarkan
secara aktif tentang akar yang paling dalam dari perasaan, keyakinan dan
pengalaman. Menurutnya, dalam dialog tidak hanya melibatkan pikiran, tetapi
terutama hati. Dialog tertarik pada hubungan antara peserta yang hati mereka
terikat oleh topik atau tema yang dapat mereka eksplorasi bersama.
Voice atau penyampaian aspirasi menekankan pada adanya ruang dan waktu
bagi masyarakat, terutama masyarakat yang termarjinalkan untuk diperhatikan
dalam menyuarakan pendapat, menerjemahkan masalah-masalah mereka,
merancang solusi, untuk kemudian melakukannya bersama-sama.
Liberating Pedagogy merupakan cara seseorang dalam berkomunikasi yang
dilakukan dengan proses dialogis untuk membantu menyalurkan aspirasinya.
Freire menyebutkan terdapat 4 pilar dari liberating pedagogy yang terkait dengan
komunikasi, yaitu; (a) cinta, (b) kerendahan hati (membuang arogansi), (c)
kepercayaan, dan (d) harapan. Hasil dari liberating pedagogy disebut Freire
sebagai “scientilizacao”, yang dapat diterjemahkan sebagai pencapaian kesadaran
‘action-oriented’ atau mencapai kesadaran yang berorientasi pada tindakan.
Muslikhah (2015) menambahkan bahwa proses liberating pedagogy atau
pembelajaran yang membebaskan ini dimaknai bukan hanya sekedar membantu
memfasilitasi penyaluran aspirasi ataupun proses diseminasi informasi dari yang
tidak tahu menjadi tahu, melainkan lebih kepada bagaimana cara untuk
membentuk sebuah dialog, sehingga mampu mengidentifikasi masalah secara
bersama dan menetapkan solusi yang akan diambil.
Action-Reflection-Action atau aksi refleksi merupakan kegiatan dalam
merefleksikan masalah serta melakukan tindakan dengan mencoba menghimpun
gerakan dari masalah yang diidentifikasi dalam sebuah komunitas/kelompok. Kata
kunci dalam konsep ini adalah meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk
bertindak dalam sebuah kelompok. Hal tersebut bisa dicapai dengan melibatkan
tindakan kolektif dalam kelompok yang mempunyai komitmen dan rasa memiliki
pada masalah yang dihadapi (Tufte dan Mefalopulos 2009; Muslikhah 2015).
Komunikasi pembangunan partisipatif telah banyak diterapkan dalam
berbagai program pembangunan dan pengembangan masyarakat di Indonesia.
Beberapa contohnya tertuang dalam penelitian mengenai Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri oleh Rusadi (2014), program SLPTT oleh Muchtar et al. (2014), dan program Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat (PHBM) oleh Wilujeng (2015), Guniastuti et al. (2014), dan

10

Anomsari (2013). Seluruh penelitian tersebut menjelaskan bahwa komunikasi
yang partisipatif berperan dalam mendorong kesuksesan suatu program agar dapat
berjalan hingga mencapai tujuan yang diharapkan.

Model Komunikasi Pembangunan
Model komunikasi merupakan deskripsi verbal atau visual yang menjelaskan
suatu proses komunikasi. Sejak awal mula diperkenalkan, paradigma dari proses
komunikasi ini telah berkembang cukup pesat, dari yang semula bersifat garis
lurus (linier) berupa penyampaian pesan atau informasi dari sumber kepada
penerima, menjadi yang bersifat memusat/konvergensi (convergence) yaitu
pertukaran pesan (informasi, ide, perasaan) antar pihak-pihak yang berkomunikasi
sampai terjadinya kesepakatan atau pemahaman bersama terhadap pesan yang
disampaikan atau respon yang diberikan terhadap pesan tersebut (Mardikanto
2010).
One-Way Communication/Monologic Mode
Model satu arah ini juga sering disebut sebagai model atau pola linier atau
top down, di mana seseorang mengkomunikasikan pesan-pesannya melalui sebuah
saluran kepada seorang penerima yang kemudian memberikan umpan balik
kepada pengirim tersebut. Tujuan utama komunikasi satu arah ini terbagi atas dua
jenis penerapan yang berbeda, yaitu; (1) komunikasi untuk menginformasikan
(communication to inform); dan (2) komunikasi untuk mempersuasi
(communication to persuade) (Jahi 1988; Mefalopulos 2008).
Model komunikasi satu arah ini tidak hanya digunakan dalam transfer
informasi program pembangunan dari pemerintah pusat. Pada kenyataannya,
dalam program-program yang sudah langsung menyentuh masyarakat pun, model
satu arah masih banyak dilakukan, seperti dalam penelitian Hintow (2006) dan
Zainal et al. (2014).
Two-Way Communication/Dialogic Mode
Menurut Kusumadinata et al. (2012) proses komunikasi dengan model
dialogis adalah proses komunikasi melibatkan masyarakat dalam peran serta
kegiatan. Terdapat beberapa penelitian yang membuktikan bahwa komunikasi dua
arah dengan dialog banyak dilakukan dalam program-program yang diterapkan
pada level masyarakat, baik berupa program dari pemerintah maupun program
yang berasal dari kearifan budaya setempat (local wisdom) seperti penelitian
Hendri et al. (2014) dan Maifianti et al. (2014). Perbedaan antara model
komunikasi yang monologis dan model komonukasi yang dialogis