Evaluasi Penyembelihan Halal Dan Good Slaughtering Practices Di Rph Kategori II

EVALUASI PENYEMBELIHAN HALAL DAN
GOOD SLAUGHTERING PRACTICES
DI RPH KATEGORI II

ZIKRI MAULINA GAZNUR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Penyembelihan
Halal dan Good Slaughtering Practices di RPH Kategori II adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Zikri Maulina Gaznur
D151140061

RINGKASAN
ZIKRI MAULINA GAZNUR. Evaluasi Penyembelihan Halal dan Good
Slaughtering Practices di RPH Kategori II. Dibimbing oleh HENNY NURAINI
dan RUDY PRIYANTO.
Daging adalah produk industri peternakan yang dihasilkan dari pemotongan
hewan. Masyarakat Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tidak
hanya mengedepankan faktor nutrisi daging tetapi juga aspek kehalalannya
sehingga keberadaan rumah potong hewan (RPH) sangat diperlukan untuk
menjamin kualitas daging secara aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Penelitian
ini telah dilaksanakan di RPH kategori II (PT. Elders Indonesia) pada bulan
Oktober 2015 sampai Februari 2016. Data yang didapatkan dianalis secara
deskriptif dan dibandingkan dengan standar yang berlaku di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi penyembelihan halal
dan good slaughtering practices (GSP) di RPH Kategori II sudah sesuai
memenuhi persyaratan syariat Islam berdasarkan Halal Assurance System (HAS)

23103 Majelis Ulama Indonesia (2012). Kompetensi juru sembelih halal sudah
memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Nomor 196/2014 dan
kesesuaian fasilitas sudah memenuhi Peraturan Menteri Pertanian No 13/2010.
Standar sanitasi dan higien pada proses pemotongan sudah diterapkan di RPH
PTEI. Hal ini ditunjukkan dengan persyaratan air bersih dan limbah cair yang
sudah memenuhi baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
492/IV/2010 Lampiran II tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih dan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup No 5/2014 tentang Baku Mutu Air Limbah untuk
Usaha/Kegiatan RPH. Demikian juga dengan jumlah total mikroba (TPC),
mikroba patogen (Salmonella sp.) dan pencemar air (Coliform dan Escherichia
coli) yang berada di bawah batas persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI)
3932:2008.
Kata kunci: GSP, juru sembelih halal, RPH

SUMMARY
ZIKRI MAULINA GAZNUR. Evaluation of Halal Slaughtering and Good
Slaughtering Practices at Abattoir Category II. Supervised by HENNY
NURAINI and RUDY PRIYANTO.
Meat is a livestock products produced from abattoir. The Indonesian people
with a muslim majority, not only concider nutrient factor of the meat but also

halal aspect therefore, the existence of abattoir is necessary to ensure whole
someness of meat that was safe, healthy and halal. This study was carried out at
the abattoir category II (PT. Elders Indonesia) in October 2015 to February 2016.
The data of slaughtering process obtained were analyzed descriptively and then
compared to those of standard procedures implemented in Indonesia.
The results showed that the implementation of halal slaughtering and good
slaughtering practices (GSP) in the Abattoir Category II was in accordance to
shari'a Islam requirement based on Halal Assurance System (HAS) 23103
Indonesian Ulema Council 2012. The competence of slaughterman had met the
National Working Competency Standard of Indonesia No 196/2014 and the
facilities used had met the requirements accoording to Agriculture Ministry
Regulation No 13/2010. Sanitation and hygiene standards on slaughtering proces
had been impelemented in the abattoir PTEI. This was indicated by the results of
water quality and liquid waste analysis that were around the threshold set by
Indonesian Republic’s Regulation of Health Ministry No 492/IV/2010 Appendix
II on Quality Requirements of Water and Environment Regulation Ministry No
5/2014 regarding Standard Liquid Waste for Abattoir Trade/Activity. Based on
the laboratory test on total plate count (TPC), pathogen bacteria (Salmonella sp.)
and bacteria water pollution (Coliform and Escherichia coli) did not exceed the
limit standard of National Standard of Indonesia 3932:2008.

Keywords: GSP, halal slaughterman, abattoir

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EVALUASI PENYEMBELIHAN HALAL DAN
GOOD SLAUGHTERING PRACTICES
DI RPH KATEGORI II

ZIKRI MAULINA GAZNUR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji luar komisi pada ujian tesis : Dr Ir Komariah, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Oktober 2015 sampai
Februari 2016 di Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat dengan
judul Evaluasi Penyembelihan Halal dan Good Slaughtering Practices di
RPH Kategori II.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Henny Nuraini, MSi dan
Dr Ir Rudy Priyanto selaku komisi pembimbing, yang telah meluangkan

waktu dan mengikhlaskan ilmunya selama membimbing. Terima kasih
kepada Dr Ir Komariah, MSi selaku penguji yang telah memberi masukan
untuk perbaikan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Dr Ir Salundik, MSi
dan Dr Ir Niken Ulupi, MS selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan. Terima kasih kepada seluruh dosen
pengajar dan staf administrasi Prodi ITP Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih juga disampaikan kepada Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan Indonesia yang telah
memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang
magister. Terima kasih kepada pimpinan dan staf PT. Elders Indonesia
Kecamatan Dramaga yang telah banyak membantu selama penelitian.
Terima kasih kepada rekan-rekan Pascasarjana ITP, Asrama
Mahasiswi Aceh Malahayati (ASWI) Bogor dan Ikatan Keluarga
Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) Bogor, atas kebersamaan,
dukungan, bantuan dan rasa kekeluargaannya yang diberikan.
Terima kasih khususnya disampaikan kepada Ayahanda Drs. Ghazali
Mansur MSi, Ibunda Nurjannah HMA, Abang M. Ridha Gaznur SE,
Fakhrizal Gaznur SHI, Kakak Husnul Khatimah SST, Fitri Muliana Amd.
Keb, Rina Sukma SE, Adik M. Iqbal Gaznur SE. Untuk iparku Kakak

Rostina Amd. Keb, Rahmiati SPdI, Abang Mahlil SE, T. Fadly SE, Ak.
Untuk keponakanku Aufa Fadhilla, M. Zar Alghifary, Zakyal Abrar, M.
Fathan Assyathiry, Cut Fahira Rifadhilla dan M. Fatih Alfayad. Terimaksih
untuk doa, kesabaran dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2016
Zikri Maulina Gaznur

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
3

2 METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Prosedur Pengambilan Data

3
3
3
3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil RPH PT. Elders Indonesia
Penerapan Penyembelihan Halal dan GSP
Evaluasi Juru Sembelih Halal dan Sumberdaya Manusia
Kesesuaian Fasilitas RPH
Kualitas Air Bersih
Penanganan Limbah Cair
Kualitas Mikroba Daging

5
5
6
21
26
50
51
52

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran


54
54
54

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

55
59

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7


Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI
Peta kompetensi juru sembelih halal
Matriks evaluasi persyaratan sumberdaya manusia RPH PTEI
Matriks evaluasi kesesuaian persyaratan fisik RPH PTEI
Hasil pengujian penggunaan air bersih pada RPH PTEI
Hasil pengujian limbah cair pada RPH PTEI
Hasil pengujian mikroba daging pada RPH PTEI

13
22
23
28
50
51
53

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging adalah salah satu produk industri peternakan yang dihasilkan dari
usaha pemotongan hewan. Semakin tinggi permintaan masyarakat terhadap
daging sapi menyebabkan intensitas pemotongan juga semakin meningkat. Hal ini
menyebabkan semakin terpusatnya perhatian pada keberadaan rumah pemotongan
hewan (RPH) sebagai unit produksi daging. Menurut Tawaf et al. (2013) RPH
adalah lembaga yang menjadi sumber tataniaga sapi potong pada skala produksi
dan pada skala konsumsi, RPH adalah lembaga yang menjamin ketersediaan
daging sapi bagi konsumen, baik kuantitas maupun kualitas. Menurut Soeparno et
al. (2007) fasilitas RPH dapat mempengaruhi pola permintaan daging sehingga
RPH sangat diperlukan untuk menjamin kualitas daging secara aman, sehat, utuh
dan halal (ASUH). Kuntoro et al. (2012) mengatakan bahwa kualitas dan
keamanan daging yang dihasilkan salah satunya ditentukan oleh pelaksanaan
penyediaan daging di RPH. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah dan swasta
banyak mendirikan RPH di berbagai daerah seluruh Indonesia. Sesuai dengan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan yang mengamanatkan bahwa setiap kabupaten/kota harus
mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh menteri
pertanian.
Penyembelihan hewan di RPH harus dilakukan dengan memperhatikan
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 13/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan RPHRuminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant) yaitu
penyembelihan hewan dilakukan secara benar dan tepat (sesuai dengan
persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariat
Islam). Tahapan penyembelihan merupakan titik kritis kehalalan daging sebagai
bahan pangan.
Kehalalan juga tergantung pada pemahaman tentang teknik pemotongan dan
penanganan daging yang harus dimiliki oleh seorang juru sembelih agar
keseragaman pemotongan dapat dilakukan, sehingga pengetahuan dan
keterampilan juru sembelih sangat menentukan dalam praktiknya. RPH wajib
memiliki seorang juru sembelih halal yang memiliki kompetensi agar segala
persyaratan tentang pemotongan dapat terpenuhi.
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
sehingga dalam pemenuhan kebutuhan pangan tidak hanya aspek kecukupan
nutrisi yang harus diperhatikan tetapi juga aspek kehalalan pangan yang
dikonsumsi. Diperlukan suatu persyaratan standar untuk pemotongan halal dan
good slaughtering practices (GSP) yang akan diterapkan oleh RPH. GSP
merupakan suatu syarat untuk mendapatkan sertifikasi nomor kontrol veteriner
(NKV) agar keamanan daging yang dihasilkan dapat terjamin. Untuk itu
diperlukan suatu evaluasi pemotongan halal dan GSP di RPH Kategori II sebagai
contoh RPH bagi RPH lainnya. Pemilihan RPH Kategori II ini sebagai tempat
evaluasi pemotongan halal dan GSP karena RPH ini mempunyai potensi
pengembangan yang cukup baik dan distribusi daging sudah meluas.

2
Keberadaan RPH sebagai gerbang produk daging ASUH di sisi lain juga
menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber pencemaran. Menurut Lestari
(1994), perancangan bangunan RPH dan peralatan sebaiknya sesuai dengan
standar yang telah ditentukan. Produk daging ASUH dapat dijamin oleh RPH
yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, mematuhi
kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat. Selain itu, lokasi
sebaiknya di luar kota, jauh dari pemukiman dan memiliki saluran pengolahan
limbah. Umumnya RPH memiliki tiga sumber limbah utama, yaitu tempat
penampungan hewan (stock yard), tempat penyembelihan hewan (slaughter room)
dan tempat pengolahan karkas atau daging (packing room).
Perumusan Masalah
Tingginya minat konsumen terhadap daging sapi dapat meningkatkan
intensitas pemotongan sapi. Masyarakat Indonesia dengan mayoritas penduduk
beragama Islam, dalam memenuhi asupan pangan tidak hanya mengedepankan
faktor nutrisi tetapi aspek kehalalan juga menjadi perhatian utama sehingga
keberadaan RPH sangat diperlukan untuk menjamin kualitas daging ASUH.
Tahapan penyembelihan hewan yang merupakan titik kritis kehalalan daging
harus dilakukan secara benar dan tepat (sesuai dengan persyaratan kesehatan
veteriner, kesejahteraan hewan dan syariat Islam) yang tercantum dalam
Permentan No 13/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan RPH-R dan Unit
Penanganan Daging (Meat Cutting Plant). Selain itu, juru sembelih halal juga
harus memiliki kompetensi dalam teknik penyembelihan dan penanganan daging.
Keberadaan RPH sisi lain juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber
pencemaran bila tidak ditangani dengan baik. Undang-undang RI No 41/2014
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mengamanatkan bahwa setiap
kabupaten/kota harus mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan teknis yang
ditetapkan oleh menteri pertanian. Diperlukan suatu persyaratan standar untuk
pemotongan halal dan GSP yang akan diterapkan oleh RPH untuk menjamin
keamanan, kualitas dan kehalalan daging yang dihasilkan.
Tujuan Penelitian
Mengevaluasi implementasi pemotongan halal berdasarkan prinsip GSP,
mengevaluasi kesesuaian kompetensi juru sembelih halal dan fasilitas RPH serta
menguji kualitas air bersih, limbah cair dan mikrobiologi daging.
Manfaat Penelitian
Hasil evaluasi implementasi pemotongan halal dan GSP, kompetensi juru
sembelih halal dan kesesuaian fasilitas diharapkan menjadi model bagi RPH lain
sebagai masukan dalam perbaikan manajemen. Informasi yang diperoleh dari
penelitian ini juga dapat dijadikan acuan dan bahan evaluasi bagi pemerintah
pusat dan daerah, pengusaha, karyawan dan semua pihak terkait pengelolaan
kegiatan RPH sehingga sesuai dengan persyaratan teknis, pelayanan prima dan
ramah lingkungan.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua bagian, bagian pertama yaitu mengevaluasi
implementasi pemotongan halal dan GSP, kesesuaian kompetensi juru sembelih
halal dan kelayakan fasilitas. Bagian kedua yaitu pengujian kualitas air bersih,
limbah cair dan mikrobiologi daging.

2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2015 sampai Februari
2016 di RPH PT. Elders Indonesia (PTEI) terletak di Jalan Agatis Lingkar Dalam
Kampus Institut Pertanian Bogor Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Analisis
kualitas air bersih dan limbah cair dilakukan di Laboratorium Pengujian Bagian
Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling) Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis
mikrobiologi daging dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas
Peternakan IPB.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pompa vakum,
desikator, timbangan digital, Biochemichal Oxygen Demand (BOD) inkubator,
aerator, gelas piala, botol BOD, pipet, daging sapi bagian chuck (leher), air
PDAM, air limbah, plate count agar (PCA), Buffered Pepton Water (BPW),
sulfamic acid, aquades, nutrien, buret, ferroin dan borang wawancara.

Prosedur Pengambilan Data
Pemilihan PTEI dan pengujian kualitas air, limbah cair dan cemaran
mikrobiologi daging dilakukan secara purposive sampling dengan kriteria yang
telah ditetapkan. PTEI merupakan unit usaha yang beroperasi secara
berkesinambungan dan termasuk lima besar RPH terbaik seluruh Indonesia.
Implementasi Penyembelihan Halal, Kompetensi Juru Sembelih dan Fasilitas
Implementasi penyembelihan halal, kompetensi juru sembelih dan
kesesuaian fasilitas dilakukan melalui observasi dengan borang GSP yang
mengacu pada Permentan No 413/310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan dan
Penanganan Daging serta Ikutannya, Peraturan Pemerintah RI No 95/2012 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Permentan No 13/OT.140/2010 tentang
Persyaratan RPH-R dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant). Borang
penyembelihan halal mengacu pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan
dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) Halal Assurance System
23103 (2012) tentang Pedoman Pemenuhan Kriteria Sistem Jaminan Halal di
RPH.

4
Borang evaluasi implementasi penyembelihan halal dan GSP, kompetensi
juru sembelih halal dan kesesuaian fasilitas yang digunakan sesuai dengan Seputra
(2015) dan sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Pembobotan berdasarkan titik
kritis dengan total bobot (B) = 100. Pemberian nilai skor (S) hasil evaluasi yaitu
skor 3 jika sesuai dengan persyaratan, skor 2 jika kurang sesuai dengan
persyaratan, skor 1 jika tidak sesuai dengan persyaratan, dan skor 0 jika tidak ada
atau tidak dilaksanakan. Kategori nilai kesesuaian (NK) fasilitas ditentukan
berdasarkan nilai kesesuaian, yaitu : sesuai (S) = > 200, kurang sesuai (KS) =
101 – 200, dan tidak sesuai (TS) = < 101. Kesesuaian fasilitas dihitung dengan
persamaan :
n

Keterangan:
NK = nilai kesesuaian
B = bobot
S = skor

NK = ∑ B x S
�=1

Pengujian Kualitas Air, Limbah Cair dan Mikrobiologi Daging
Pengujian kualitas air bersih menggunakan metode American Public Health
Association (APHA) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No
492/IV/2010 Lampiran II tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih dan Air Minum,
sedangkan pengujian limbah cair di RPH menggunakan metode APHA
berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 5/2014 tentang Baku Mutu
Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan RPH. Pengujian total mikroba atau
total plate count (TPC), Coliform, Escherichia coli dan Salmonella sp.
berdasarkan metode Bacteriological Analytical Manual (BAM) (BSN 2008).
Pengambilan sampel air bersih dan limbah cair dilakukan pagi hari pukul
08.00-10.00 WIB. Sebanyak 250 mL air diambil menggunakan gayung lalu
dimasukkan ke dalam botol steril, diuji pH dan suhu di lokasi, kemudian sampel
dibawa ke laboratorium untuk diuji lebih lanjut. Kualitas air yang diuji terdiri atas
zat padat terlarut atau total disolved solid (TDS), jumlah bakteri coliform, pH,
kesadahan total, nitrat dan nitrit. Pengujian limbah cair, yaitu zat tersuspensi atau
total suspended solid (TSS), minyak dan lemak, biochemichal oxygen demand
(BOD5) dan pH. Seluruh data yang diperoleh dibandingkan dengan peraturan atau
standar yang berlaku.
Pengambilan sampel daging dilakukan pukul 08.00-10.00 WIB. Sampel
ditempatkan dalam plastik steril dan dimasukkan ke dalam cool box yang telah
diberi es batu selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.
Metode deskriptif merupakan kegiatan pengumpulan data untuk membuat
gambaran secara sistematis tentang kondisi saat penelitian berlangsung dengan
memeriksa penyebabnya (Nazir 2005). Metode kuantitatif digunakan untuk
menghitung kualitas air bersih, limbah cair dan mikrobiologi daging. Salah satu
cara dalam mengumpulkan informasi deskriptif adalah melalui pengamatan. Data
pada penelitian ini diperoleh dengan cara pengamatan dan wawancara langsung
kepada pihak-pihak terkait yaitu manajer perusahaan, kepala divisi, staf dan
karyawan.

5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil RPH PT. Elders Indonesia
Rumah potong hewan PTEI termasuk RPH Jenis II berdasarkan
Permentan No 13/2010. Pada pola pengelolaannya, usaha pemotongan hewan
dibedakan menjadi tiga jenis :
a) Jenis I : RPH milik pemerintah daerah yang dikelola oleh pemerintah
daerah dan sebagai jasa pelayanan umum
b) Jenis II : RPH milik swasta yang dikelola sendiri atau dikerjasamakan
dengan swasta lain.
c) Jenis III : RPH milik pemerintah daerah yang dikelola bersama antara
pemerintah daerah dan swasta.
Perusahaan PTEI merupakan perusahaan yang terdaftar di Indonesia dan
dimiliki sepenuhnya oleh Elders Limited. PTEI didirikan pada 5 September 2000
dengan izin usaha impor, penggemukan, penjualan sapi dan daging yang
didinginkan/dibekukan. PTEI juga mempunyai lisensi untuk mengimpor produk
kesehatan hewan dan semen. PTEI bekerjasama dengan Fapet IPB dalam
pengelolaan RPH. PTEI sudah mendapat sertifikat dari berbagai lembaga seperti
sertifikat halal MUI Pusat dan Jawa Barat, Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP), International Standard Organization (ISO) 9001:2008 dan NKV.
Usaha pemotongan hewan dibedakan menjadi dua kategori, berdasarkan
kelengkapan fasilitas proses pelayuan (aging) karkas :
a) Kategori I
: usaha pemotongan hewan di RPH tanpa fasilitas
pelayuan karkas, untuk menghasilkan karkas hangat;
b) Kategori II
: usaha pemotongan hewan di RPH dengan fasilitas
pelayuan karkas, untuk menghasilkan karkas dingin
(chilled) dan/atau beku (frozen).
Perusahaan PTEI merupakan tempat pemotongan sapi yang memiliki
fasilitas pelayuan karkas untuk menghasilkan karkas dingin dan beku. Sapi yang
dipotong adalah Brahman Cross (BX) dengan pemotongan 60–70 ekor per hari.
Selain sapi BX, menjelang tahun baru, bulan Ramadhan dan hari raya juga
diadakan pemotongan untuk sapi lokal. Sapi yang dipotong berasal dari feedlot
dibawah naungan PTEI di Propinsi Lampung. Jumlah juru sembelih halal yang
memiliki izin untuk melakukan penyembelihan sebanyak tiga orang dengan total
karyawan berjumlah 45 orang. Distribusi daging dikhususkan bagi perusahaan
skala besar yang terdapat di seputaran Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi (Jabodetabek). Berdasarkan kelengkapan fasilitas proses pelayuan (aging)
karkas, RPH PTEI termasuk RPH Kategori I I.
Jam kerja karyawan adalah hari Senin-Sabtu mulai pukul 07.30-15.00 WIB.
Untuk jaminan kesehatan para karyawan terdaftar pada Jamsostek. PTEI dikepalai
oleh seorang manajer dan memiliki lima divisi yaitu finance and administration
bertugas mengurus keuangan dan administrasi, quality control bertugas
mengontrol kesehatan hewan dan kualitas daging, production bertugas
mengontrol proses produksi mulai ternak turun dari truk sampai menjadi potongan
komersial sedangkan divisi maintenance dan general bertugas dalam proses
gudang, penyimpanan, satpam, kebersihan lingkungan dan baju karyawan.

6
Penerapan Penyembelihan Halal dan GSP
Cara penyembelihan halal menurut Alwasim (2010) berdasarkan perspektif
Islam mengikuti rukun penyembelihan dengan syarat : (a) proses penyembelihan
(ada unsur kesengajaan dan terpotong tiga saluran), (b) penyembelih adalah
muslim atau ahli kitab, (c) hewan sembelihan adalah hewan halal menurut syariat,
(d) alat yang digunakan untuk menyembelih harus benda tajam bukan tulang, gigi
atau kuku. Regenstein et al. (2008) menambahkan bahwa beberapa syarat khusus
penyembelihan halal adalah jenis ternak halal, petugas penyembelih dewasa dan
sehat mental, menyebut nama Allah, dan menggunakan pisau tajam. Menurut
Soeparno et al. (2007) semua prinsip teknis penyembelihan harus diperhatikan
dan dijalankan dengan benar agar daging berjaminan mutu dan bersertifikat halal.
Selama proses penyembelihan juru sembelih halal menggunakan pisau
dengan panjang 25-30 cm. Pisau yang tajam untuk meminimalkan rasa sakit
adalah titik kritis penyembelihan halal. Hal ini sejalan dengan Regenstein (1994)
yang mengatakan bahwa di New Zealand para juru sembelih halal yang belum
menggunakan aplikasi pemingsanan diberi pelatihan khusus mengenai
menajamkan pisau dan meningkatkan teknik penyembelihan sesuai syariat Islam.
Selain itu, pengasahan pisau tidak dilakukan di depan hewan yang akan
disembelih mengikuti kaedah animal walfare. Sesuai dengan Regenstein et al.
(2013) bahwa Islam menekankan perlakuan yang manusiawi pada hewan sebelum
disembelih, diantaranya tidak mengasah pisau di depan hewan, diistirahatkan dan
diberikan air minum yang cukup dan menghindari stres. Soeparno et al. (2007)
menegaskan bahwa perlu adanya pengaturan dan pengawasan terhadap sapi
sebelum dan sesudah disembelih serta sosialisasi tentang kesadaran animal
walfare. Berdasarkan pengamatan, seluruh pelaksanaan pemotongan menerapkan
penyembelihan yang halal. Hal tersebut menunjukkan bahwa jaminan halal dapat
diterapkan guna memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan daging yang
disembelih secara halal.
Badan Kesehatan Hewan Dunia atau Office Internationale Epizooticae
(OIE) pada tahun 2010 secara formal mensosialisasikan animal walfare dan
merekomendasi prosedur penyembelihan halal yang menjadi acuan dunia
kesehatan hewan bagi 178 negara dengan tujuan mengurangi perlakuan kejam
terhadap hewan sembelihan dan untuk mendapatkan produk daging yang halal.
Dalam proses penyembelihan terdapat etika yang harus diperhatikan oleh
juru sembelih. Menurut Alwasim (2010) hal ini meliputi (a) tidak diperbolehkan
menyembelih jika tidak memahami ilmu syariat dan tata cara menyembelih yang
benar, (b) diwajibkan untuk mempelajari ilmu syariat dan tata cara menyembelih
yang benar, (c) menyembelih binatang harus diniatkan sebagai ibadah, dan (d)
selalu menerapkan aspek halal dan menjauhi yang haram.
Fungsi penerapan GSP dapat menjadikan produksi karkas bersih dan
meminimalkan tingkat terjadinya kontaminasi patogenik. Faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam GSP adalah fasilitas, penerimaan ternak, eksanguinasi
(pengeluaran darah), eviserasi (pengeluaran jeroan), sanitasi, trimming akhir dan
pencucian karkas (Harris dan Jeff 2003). Ditambahkan oleh Whetley et al. (2014)
penerapan HACCP (sanitasi dan higien) dan GSP mampu mengurangi
kontaminasi mikroba. Berdasarkan penelitiannya kontaminasi Enterobacteriaceae
(EB) tinggi pada proses pemotongan.

7
Penerapan SSOP dan GSP dapat menghasilkan daging dengan kualitas baik,
berdasarkan penelitian Zweifel et al. (2008) di RPH Swiss dengan sampel 535
ekor sapi. Pemeriksaan dilakukan pada bagian leher, brisket dan flank
menunjukkan bahwa bakteri masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan.
Parameter GSP telah dipenuhi oleh RPH PTEI berdasarkan pemeriksaan
dokumen pada form penerimaan ternak yang diperiksa oleh dokter hewan. Form
berisikan waktu kedatangan, nomor kendaraan pengangkut, nama pengemudi,
nomor surat jalan, asal ternak, surat kesehatan hewan, sertifikat kesehatan hewan,
sertifikat pelepasan karantina, surat keterangan retribusi, izin pengeluaran ternak,
surat keterangan cap “S”, nota pengantar transport, jumlah ternak, jenis kelamin,
kondisi keseluruhan, jumlah pakan dan kondisi unloading area.
Petugas bagian produksi berjumlah 25 orang, dengan pemotongan yang
dikhususkan pada sapi atau kerbau (jika ada permintaan) dan tidak digunakan
untuk memotong ruminansia kecil atau babi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya resiko kontaminasi dengan babi agar tidak menyalahi aturan kehalalan.
Penerimaan dan Penampungan Ternak
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa proses penerimaan dan
penampungan ternak sudah sesuai prosedur karena ternak yang baru datang dari
feedlot melalui transportasi darat diturunkan menggunakan fasilitas unloading
sehingga tidak menimbulkan stres. Ternak yang dikirim adalah sapi yang sudah
siap untuk dipotong dan biasanya masuk satu hari sebelum pemotongan. Pada saat
penurunan, bagian belakang truk yang membawa ternak merapat pada ujung
tempat penurunan ternak (loading yard) agar ternak dapat turun dengan aman dan
bisa langsung berjalan menuju kandang peristirahatan. Alur produksi dimulai
dengan mendatangkan sapi, kemudian sapi diistirahatkan di kandang kurang lebih
24 jam. Menurut Soeparno (1992) ternak yang akan disembelih adalah ternak
yang tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan. Ditambahkan oleh
Prasetyo et al. (2013) perlakuan istirahat dapat menurunkan tingkat stres.
Pemeriksaan Ante-mortem
Pemeriksaan ante-mortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan sebelum
disembelih. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemeriksaan ante-mortem di
RPH PTEI dilakukan secara inspeksius yaitu pengamatan secara langsung dan
kasat mata seperti pemeriksaan habitus (tingkah laku), pernafasan abdominal
normal (jika terjadi hipermea atau terengah-engah secara berlebihan dianggap
sebagai masalah minor, kecuali jika bersamaan dengan discharge atau keluar air
liur kekuningan). Jika ada kelainan mayor misalnya sulit berjalan, maka sapi
tersebut akan disembelih terlebih dahulu. Sapi yang terkena downer (lumpuh)
atau trauma lainnya akan disembelih di kandang dengan tetap mematuhi aspek
animal walfare seperti dipisahkan dari kandang koloni dan ditutupi dengan
terpal agar tidak terlihat oleh sapi lainnya. Untuk penyimpanan juga dipisah
karena pengeluaran darah dan pengulitan tidak sempurna, sanitasi kandang juga
tidak sebersih slaughter room. Pemeriksaan ante-mortem dilakukan pukul 06.0007.15 WIB. Keputusan yang diambil petugas pemeriksa sesuai dengan hasil
pemeriksaan sehingga hanya ternak yang sehat diizinkan untuk dipotong.

8
Persiapan Sebelum Penyembelihan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persiapan sebelum penyembelihan
sesuai dengan prosedur, yaitu sapi terlebih dahulu dibersihkan dengan air
menggunakan selang. Semua kotoran yang menempel pada tubuh sapi dibersihkan
terutama pada bagian perut, kaki, paha belakang serta bagian dubur karena sifat
sapi bila sedang stress adalah sering mengeluarkan kotoran. Proses ini bertujuan
agar pada penanganan selanjutnya karkas tidak tercemar sehingga dapat
menghasilkan karkas yang sehat dan higienis. Air yang digunakan harus bebas
dari bakteri patogen. Berdasarkan hasil penelitian Sartika et al. (2005) 60%
sampel air yang digunakan di RPH Cibinong, Bogor positif tercemar E. coli.
Proses Pemingsanan (Stunning)
Terdapat dua teknik pemotongan ternak yaitu (a) teknik pemotongan ternak
secara langsung dan (b) secara tidak langsung. Pemotongan ternak secara
langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada
bagian leher dengan memutuskan saluran pernafasan, makanan dan darah.
Pemotongan ternak secara tidak langsung adalah dengan perlakuan pemingsanan
terlebih dahulu yang bertujuan untuk memudahkan penyembelihan ternak, agar
ternak tidak stres sehingga kualitas karkas lebih baik (Soeparno 2005).
Sapi dimasukkan ke dalam knocking box berukuran 2 x 1 m melalui gang
way untuk dipingsankan. Proses stunning merupakan suatu tahapan yang mulai
diterapkan di Indonesia yang umumnya dilakukan di RPH yang sudah memiliki
alat stunning dan operator yang terlatih. MUI telah mengeluarkan Fatwa No
12/2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Hewan dimana stunning
disarankan penggunaannya agar sapi tidak merasakan sakit saat penyembelihan.
Fungsi stunning yaitu meningkatkan kualitas daging, efisiensi waktu dan tenaga
kerja serta meminimalisir kecelakaan kerja (MLA 2011). Regenstein (1994)
melaporkan bahwa setelah tahun 1980 di New Zealand sudah mulai berkembang
penggunaan stunning listrik yang memenuhi syariat Islam dan sudah banyak
diaplikasikan di RPH modern.
Teknik stunning yang dilakukan di RPH PTEI menggunakan alat
pemingsanan (stunning gun) berupa captive bolt, yaitu suatu tongkat besi yang
bekerja di dalam suatu silinder yang diaktifkan oleh suatu muatan eksplosif yang
menyerupai selongsong kosong ditembakkan oleh suatu tekanan, selongsong
peluru akan tertinggal di dalam senjata dan dapat diambil. Operator yang sudah
terlatih dapat menjamin ketepatan penggunaan stunning gun agar tidak membuat
sapi mati. Operator harus memakai hearing protective device (HPD) selama proses
stunning. Stunning memiliki titik kritis dengan penggunaan ukuran peluru. Peluru
yang berwarna hitam dengan ukuran 3 mm untuk sapi kecil (550 kg). Posisi stunning
adalah di dahi (forehead) sekitar 2 cm diatas garis silang antara dua mata atau
tepat di bagian otak besar.
Penyembelihan dengan pemingsanan mempunyai titik kritis terhadap
kehalalan, dimana penggunaan stunning gun tidak sampai menyebabkan sapi mati
karena syarat halal adalah sapi harus disembelih dalam keadaan hidup. Kegagalan
pada proses stunning hanya diperbolehkan 5% untuk setiap total jumlah
penyembelihan yang dilakukan dalam satu hari.

9
Proses Penyembelihan dan Pengeluaran Darah (Exanguinasi/Bleeding)
Hasil pengamatan menunjukkan proses penyembelihan sudah sesuai
prosedur, yaitu sapi yang telah dipingsankan segera disembelih, tidak boleh
dibiarkan lebih dari 40-50 detik, setelah disembelih sapi dibiarkan mati dengan
sempurna sekitar 2-3 menit agar darah keluar dengan baik (darah berhenti
mengalir), ditandai dengan pupil mata sudah tidak berkedip dan abdomen (perut)
sudah tidak bergerak, uji reflek kaki dengan memukul persendian kaki atau
dengan memijit sela-sela kuku bahwa tidak terjadi gerakan atau konstraksi
terkejut dan uji reflek ekor dengan membengkokkan ekor jika sudah tidak ada
gerakan berarti ternak sudah mati.
Penyembelihan dilakukan oleh juru sembelih halal sesuai syariat Islam,
menggunakan pisau yang tajam dengan sekali tekan tanpa diangkat. Setelah
hewan disembelih, luka akibat disembelih tidak disiram air. Untuk mempercepat
proses pengeluaran darah maka dilakukan penggantungan pada kaki belakang.
Darah murni dialirkan ke dalam bak penampungan di bawah tanah. Penelitian
Datta et al. (2012) menemukan bahwa bakteri E. coli paling dominan
mengkontaminasi daging pada tahapan penyembelihan, pengulitan dan distribusi.
Pemotongan Kepala dan Kaki
Setelah ternak digantung, ternak ditarik dengan katrol yang terkontrol untuk
digantung pada sistem rel (conveyor). Penggantungan dilakukan pada tulang kaki
belakang yaitu pada tendon acchilles. Kemudian dilakukan pengikatan pada
saluran makan di leher dan anus untuk menghindari terjadinya pencemaran kulit,
memperkecil kontaminasi mikroba dan kotoran terhadap karkas. Menurut
Prastowo (2014) proses penggantungan kaki dapat membantu pengeluaran darah
dan mencegah cemaran mikroba. Teknik pengikatan atau penyumbatan saluran
makanan dapat membantu mencegah cemaran kotoran yang keluar akibat
kontraksi oesophagus ke daging. Apabila penyembelihan kurang sempurna
menyebabkan darah kembali ke tubuh dan akan merusak (rupture) pembuluh
darah halus (kapiler) di otot yang akan menyebabkan proses pembusukan daging.
Penyembelihan sempurna mampu mengeluarkan darah lebih dari 50% yang
terkandung di tubuh hewan, sehingga hanya tertinggal otot (khusus di longisimus
dorsi) sekitar 10-25 %.
Pemotongan kepala dilakukan di persendian leher yang paling ujung dekat
otak atau yang disebut bagian ulak-ulak, sehingga bagian leher tidak banyak
terbuang dari karkas, sedangkan pemotongan kaki (karpus/tarsus) sapi dilakukan
pada persendian di bawah tulang matakarpal untuk kaki bagian depan dan pada
bagian phalageal bone untuk kaki belakang. Pemotongan kaki dilakukan secara
mekanik menggunakan hog cutter.
Proses Pengulitan (Skinning)
Ada tiga cara pengulitan menurut Soeparno (1992), yaitu pengulitan
dilantai, digantung dan menggunakan mesin. Proses pengulitan di PTEI dilakukan
dengan cara sapi digantung di hoist dengan posisi kepala di bawah, diawali
dengan irisan sepanjang garis dada, perut dan sepanjang permukaan dalam
(medial) kaki serta kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung. Proses
pengulitan dilakukan dengan perlahan agar daging tidak bersisa di kulit.

10
Pengeluaran Jeroan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengeluaran jeroan telah sesuai
prosedur, yaitu: rongga perut dan rongga dada dibuka dengan membuat irisan
sepanjang garis perut dan dada (brisket). Organ-organ yang ada di rongga perut
dan dada dikeluarkan dan dijaga agar rumen dan alat pencernaan lainnya tidak
pecah/robek dan langsung ditempatkan dalam keranjang jeroan (riversed) lalu
dipindahkan ke ruang jeroan (oval room). Menurut Harsojo dan Irawati (2011)
jeroan adalah sasaran kontaminasi mikroba yang mempercepat kerusakan
sehingga tidak layak dikonsumsi, seperti E. coli. Bakteri ini dapat menyebabkan
hemorrhagic colitis yang banyak dijumpai pada air yang terkontaminasi oleh
kotoran manusia.
Tahapan selanjutnya dilakukan pemisahan jeroan merah (red oval) yaitu
hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan lidah dan jeroan hijau (lambung, usus
dan esophagus) kemudian dibersihkan dengan menggunakan air mengalir di oval
table. Jeroan hijau dikategorikan sebagai hasil ikutan. Setiap sapi akan
mengeluarkan isi rumen rata-rata 10-12% dari berat hidupnya sebelum disembelih
(Aboenawan 1993).
Pemeriksaan Post-mortem
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemeriksaan post-mortem telah
sesuai prosedur, yaitu pemeriksaan dilakukan oleh petugas yang berwenang
terhadap setiap sapi setelah dipotong. Pemeriksaan dilakukan pada bagian
organ rongga mulut, dada, perut dan karkas yang dilakukan dengan cara melihat,
meraba dan menyayat. Keputusan telah sesuai hasil pemeriksaan.
Pembelahan Karkas (Splitting)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembelahan karkas telah sesuai
prosedur, yaitu pembelahan karkas dilakukan dengan gergaji mesin (carcass
splitting saw) dibantu dengan tangga hidrolik untuk mempermudah pembelahan
dari bagian atas ke bawah sepanjang tulang belakang dibagi menjadi dua bagian
(khusus untuk produksi PTEI) atau empat bagian sesuai dengan permintaan
konsumen yang membeli jasa penyembelihan di PTEI. Proses ini memerlukan air
yang mengalir untuk memperlancar proses pembelahan dan menghilangkann
serpihan tulang, lemak dan darah. Keran air dibuka sebelum gergaji mesin
dinyalakan dan ditutup kembali setelah gergaji mesin dimatikan.
Penimbangan Karkas (Wheighing)
Setelah karkas terpisah kemudian ditimbang dengan menggunakan
timbangan karkas (carcass scale) dan mencatat bobot karkas kanan (A) dan kiri
(B). Bagian yang masih tersisa serpihan daging, tulang dan kotoran disemprot air
untuk mengurangi kontaminasi mikroba agar daging tetap higienis, terutama
bagian bekas gergajian. Lemak yang menempel pada karkas juga dibersihkan.
Selanjutnya dilakukan penyayatan pada bagian paha dan brisket untuk
mempercepat proses pelayuan. Penimbangan karkas berguna untuk mengetahui
presentase karkas. Presentase karkas dapat dipengaruhi oleh umur, bangsa, jenis
kelamin, kualitas pakan, bobot hidup, isi rumen dan perlemakan.

11
Pelayuan Karkas
Karkas lalu dimasukkan ke dalam chilling room dengan suhu 0oC selama
12-24 jam, sedangkan untuk jasa pemotongan karkas yang sudah ditimbang
langsung dibawa ke mobil angkut untuk didistribusikan.
Semua kegiatan produksi dilakukan di tempat khusus dengan permukaan
yang terbuat dari keramik agar dapat terjamin kebersihannya karena terdapat
pembagian area bersih dan area kotor sehingga mengurangi resiko kontaminasi.
Menurut BSN RPH (1999), daerah kotor terdiri atas tempat pemotongan,
pengeluaran darah, penyelesaian proses penyembelihan, ruang jeroan, kepala dan
kaki, kulit dan pemeriksaan postmortem. Sedangkan daerah bersih yaitu tempat
penimbangan karkas dan tempat keluar karkas.
Pemotongan Bagian-bagian Daging (Deboning)
Tahapan deboning dimulai dengan memasukkan karkas ke dalam boning
room yang bersuhu 10oC, karkas ditimbang, dilakukan pengecekan oleh dokter
hewan seperti sisa darah, feses atau rambut, kemudian dilakukan pemisahan
daging dan tulang. Pemisahan tersebut dilakukan dengan tiga tahap perlakuan
yaitu boning, cutting dan trimming. Pemotongan dilakukan juga untuk
mendapatkan potongan komersial daging. Pemotongan dimulai dengan memotong
bagian blade, chuck, shank dan chuck tender. Kemudian dilakukan pemotongan ¼
karkas yang dipotong lagi menjadi potongan yang lebih kecil dengan
menggunakan bond saw menjadi tulang brisket. Kemudian dilakukan pemisahan
bagian striploin, flank dan pemisahan tulang belakang (back bone), lalu dilakukan
pemisahan bagian rump, silverside, knuckle dan shank. Lemak yang menempel
pada bagian luar daging diiris dengan pisau. Daging yang masih menempel pada
tulang dikikis dengan menggunakan pisau untuk dijadikan daging tetelan.
Potongan karkas dilakukan di PTEI berdasarkan metoda Australia dengan
membagi menjadi 14 potong dalam tiga kategori, yaitu :
a. Enam potong pada bagian belakang (potongan pistol) : 1) filet, 2) sirloin,
3) rump, 4) topside, 5) inside dan 6) silverside
b. Empat potong pada kategori kedua : 1) cube roll, 2) chuck, 3) chuck tender
dan 4) blade
c. Empat potong pada kategori ketiga : 1) rib meat, 2) brisket, 3) flank dan
4) shank
Pengemasan
Daging yang sudah dipotong dibaging yaitu dimasukkan ke dalam plastik
vaccum dengan menggunakan alat vaccum pack machine agar daging berada
dalam keadaan hampa udara (pressmeat). Yanti et al. (2008) mengatakan bahwa
pengemasan daging sangat penting dalam mencegah atau mengurangi kerusakan
oleh mikroorganisme dan gangguan fisik. Pembungkusan dengan plastik dapat
mencegah kontaminasi bakteri dari udara dan tangan manusia.
Tahapan selanjutnya daging dicelupkan ke dalam shrinkt tank yang berisi
air dengan suhu 80oC – 90oC selama satu detik agar plastik pembungkus daging
tersebut lebih rekat dan untuk mendeteksi kebocoran plastik pembungkus.
Kemudian daging dipacking dengan kardus, kemudian ditimbang dengan
timbangan digital dan diberi label. Tahapan akhir, kardus diikat dengan
menggunakan stripping band machine.

12
Label yang diberikan berisi informasi logo dan nomor sertifikat halal MUI,
berat bersih, masa kadaluarsa, nama jenis kode produk, produsen, nama dan logo
perusahaan, merk dagang, NKV, kode dan tanggal produksi, jumlah kemasan dan
informasi cara penyimpanan. Daging dari RPH diberikan label pada plastik dan
karton yang menandakan bahwa daging tersebut halal. Cara memperoleh label
halal adalah dengan mengevaluasi seluruh rantai produksi dalam pemotongan
halal. Evaluasi tersebut dilakukan oleh organisasi pengawas berwenang, yang
berperan sebagai badan kontrol dan sertifikasi (Bonne dan Verbeke 2008). Di
Indonesia ada dua tahap dalam menentukan kehalalan sebuah produk. Pertama,
adalah sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI. Kemudian dilanjutkan
proses lebelisasi halal yang menjadi kewenangan BPOM.
Pengecekan kembali dilakukan oleh dokter hewan sebelum kardus ditutup
dan diikat dengan memeriksa daging utuh, tidak cacat atau memar, kemasan
vacuum tidak bocor, kesesuian label dengan item dan cemaran fisik. Jika terdapat
kejanggalan maka item akan direject untuk pengerjaan ulang, jika sudah sesuai
item didorong dengan conveyor ke ruang penyimpanan (aging) pada suhu -5oC.
Ini bertujuan agar daging tetap segar dan tidak rusak. Menurut Cetin et al. (2010)
proses pendinginan dan penyimpanan yang tidak benar dapat menyebabkan
daging terkontaminasi mikrobiologi.
Maksimal lama penyimpanan untuk produk chilled adalah tiga bulan,
terhitung mulai dari tanggal produksi dengan kondisi penyimpanan pada suhu
0-4oC. Sedangkan untuk produk frozen adalah 12 bulan dengan penyimpanan
pada suhu -20oC. Kemasan daging terdiri dari kemasan primer berupa barrier bag
(plastik vaccum) dan kemasan sekunder berupa plastik HDPE dan karton (kardus).
Informasi pada kemasan primer hanya berupa logo produk yaitu ”Vaccum Chilled
Beef by Elders”. Informasi lainnya diberikan pada kemasan sekunder.
Pendistribusian Daging
Pendistribusian daging dilakukan setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Hasil
ikutan pemotongan seperti kepala, kaki, jeroan dan kulit dijual kepada pelanggan
tetap yang datang setiap hari pemotongan, yaitu hari Senin, Rabu dan Jumat.
Daging didistribusikan dengan mobil box bersuhu -1oC. Alat transportasi
yang terjaga dapat menjamin daging tidak tercemar bahan yang bersifat haram
sehingga tidak menurunkan kualitasnya. Sejalan dengan Harsajo dan Irawati
(2011) bahwa sistim transportasi dan distribusi daging dari tempat pemotongan ke
tempat pengolahan berperan penting dalam penerapan jaminan keamanan mutu.
Menurut Murdhiati (2007) transportasi merupakan titik penting dalam rantai
penyediaan bahan pangan asal ternak, baik transportasi dari peternakan ke RPH
ataupun dari RPH ke konsumen. Daging merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroba patogen sehingga diperlukan fasilitas pendingin pada saat
transportasi. Transportasi berpendingin dapat menekan mikroba berkembangbiak
sehingga jumlahnya tidak mencapai tingkat yang berbahaya.
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/1992 dikeluarkan sebagai
pedoman pelaksanaan kegiatan pemotongan dan penyembelihan di Indonesia
sehingga kesehatan daging untuk konsumsi masyarakat terjamin. Nilai kesesuaian
(NK) prosedur pemotongan ternak RPH PTEI adalah 299 sehingga termasuk
kategori sesuai (S). Hasil evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI
disajikan pada Tabel 1.

13

Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI
Indikator
B
Hasil pengamatan
Penerimaan dan penampungan
ternak
1. Ternak yang baru datang di RPH
Terdapat fasilitas unloading untuk
harus diturunkan dari alat angkut
menurunkan
ternak
dengan
2
dengan hati-hati dan tidak
kemiringan maksimal 300
membuat ternak menjadi stres
2. Dilakukan pemerikasaan
Selalu dilakukan pemeriksaan oleh
dokumen (kartu ternak/asal usul
petugas setiap ternak baru didatangkan
ternak atau surat kesehatan
sebelum
diturunkan
dari
truk
2
hewan, surat keterangan asal
pengangkut
hewan, surat karantina dsb untuk
ternak luar daerah)
3. Ternak harus diistirahatkan
Diistirahatkan selama 24 jam
terlebih dahulu di kandang
3
penampungan minimal 12 jam
sebelum dipotong
4. Ternak tidak dipuasakan
Ternak tidak dipuasakan
3
5. Ternak diperiksa jenis kelamin,
umur dan berat badannya. Jika

2

Diperiksa untuk jantan kebiri (stear)
atau betina dara (heifer) dengan BB
485 - 550 kg

S

NK

Tindakan koreksi

3

6

3

6

-

3

9

2

6

3

6

B : Bobot (100). S : Skor (0-3). NK : Nilai Kesesuaian (Tidak Sesuai = 201)

Ternak harus dipuasakan
untuk memenuhi kaedah
animal walfare
-

14

Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 1)
Indikator
B
Hasil pengamatan
betina diperiksa status kesehatan
reproduksinya
Sub total
12
Pemeriksaan ante-mortem
1. Dilakukan oleh petugas pemeriksa yang
Pemeriksaan dilakukan oleh dokter
2 hewan sesuai dengan SOP
berwenang paling lama 24 jam sebelum
penyembelihan
2. Dilakukan di tempat yang disediakan
Pemeriksaan dilakukan di kandang
dan/atau sesuai pertimbangan petugas
2 penampungan
pemeriksa yang berwenang
3. Mengamati secara seksama ternak
Mengamati lubang kumlah, tingkah
(sikap hewan saat berdiri atau bergerak
laku, pernafasan, suhu tubuh, cermin
yang dilihat dari segala arah, lubang
hidung (lembab = normal, kering =
kumlah, selaput lendir mulut, mata,
2 demam),
pemeriksaan
dilakukan
cermin hidung, kulit, kelenjar getah
secara menyeluruh
bening, tanda-tanda suntikan hormon
dan suhu badan)

S
3

NK
6

14

33

3

6

3

6

Tindakan koreksi
-

-

-

3

B : Bobot (100). S : Skor (0-3). NK : Nilai Kesesuaian (Tidak Sesuai = 201)

6

15

Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 2)
Indikator
B
Hasil pengamatan
S
4. Keputusan yang diambil petugas
Ternak yang sehat dipersiapkan untuk
pemeriksa sesuai dengan hasil
pemotongan, ternak yang sakit
pemeriksaan (diizinkan tanpa
ditunda dan/atau ditolak pemotongan.
syarat, diizinkan dengan syarat,
Ternak yang sakit akan langsung 3
3
ditunda dan/atau ditolak untuk
dipisahkandangkan dengan ternak
disembelih) dan diberi tanda
sehat sehingga tidak diberikan cap
(cap)
Sub total
9
12
Persiapan
sebelum
penyembelihan
1. Ternak dibersihkan atau
Disemprot dengan air mengalir untuk
dimandikan
3
menghindari kontaminasi produk 3
dengan lingkungan produksi
2. Ternak dibawa ke ruang
Ternak dibawa melalui gang way
pemotongan dengan cara yang
3
3
baik (tidak kasar)
3. Tata cara menjatuhkan hewan
Ternak dimasukkan ke dalam
harus dapat meminimalkan rasa
knocking box kemudian dipingsankan
3
3
sakit dan stres
dengan stunning gun dan dijatuhkan
pada lantai yang beralas

NK

Tindakan koreksi
-

9

27

9
9
9

B : Bobot (100). S : Skor (0-3). NK : Nilai Kesesuaian (Tidak Sesuai = 201)

16

Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 3)
Indikator
B
Hasil pengamatan
4. Pengekangan/pengikatan ternak
Ternak tidak diikat
dilakukan dengan baik (tidak kasar)
3
dengan meminimalisir kemungkinan
ternak stres
Sub total
12
Proses penyembelihan
1. Penyembelihan tanpa pemingsanan
Penyembelihan dilakukan dengan
dilakukan oleh juru sembelih halal
pemingsanan untuk menjaga
dan sesuai syariat Islam.
animal walfare karena kesulitan
Penyembelihan dengan pemingsandalam menjatuhkan ternak dan
5
an dilakukan oleh juru sembelih
mengurangi
rasa
sakit.
halal dan mengacu pada ketentuan
Berdasarkan fatwa MUI (2009)
dalam HAS 23103
tentang
Standar
Sertifikasi
Penyembelihan Hewan
2. Menggunakan pisau yang tajam
Pisau tajam (25-30 cm) dan
4
dengan sekali tekan tanpa diangkat
dilengkapi dengan alat pengasah
3. Harus memotong saluran darah,
Sudah sesuai dengan prosedur
saluran nafas dan saluran makanan
4
sekaligus
4. Setelah hewan disembelih, luka
Sudah sesuai dengan prosedur
3
sembelihan tidak disiram air
5. Ternak harus benar-benar mati (tidak
Sudah sesuai dengan prosedur
bergerak) dan pengeluaran darah
4
sempurna (darah berhenti mengalir)
sebelum dilakukan proses selanjutnya

S

NK

3

9

12

36

3

15

-

3

12

-

3

12

-

3

9

-

3

12

-

B : Bobot (100). S : Skor (0-3). NK : Nilai Kesesuaian (Tidak Sesuai = 201)

Tindakan koreksi
-

17

Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 4)
Indikator
B
Hasil pengamatan
6. Dilakukan pemisahan kepala dan kaki
Sudah sesuai dengan prosedur
3
(tarsus/karpus) dari badan
Sub total
23
Pengulitan
1. Sebelum proses pengulitan dilakukan,
Sudah sesuai dengan prosedur
terlebih dahulu harus dilakukan
pengikatan pada saluran makan di leher
4
dan anus, sehingga isi lambung dan
feses tidak keluar dan mencemari
karkas
2. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali
Sudah sesuai dengan prosedur
dengan irisan panjang pada kulit
3
sepanjang garis dada dan bagian perut
dilanjutkan sepanjang permukaan
dalam (medial) kaki
3. Kulit dipisahkan mulai dari bagian
Sudah sesuai dengan prosedur
2
tengah ke punggung
4. Pengulitan harus hati-hati tidak terjadi
Sudah sesuai dengan